Bab II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Tindak Pidana Pembentuk Undang-undang kita telah menggunakan kata “strafbaar feit” dan ada juga yang mempergunakan istilah delik, untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai Tindak Pidana di dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana tanpa memberi sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan strafbaar feit tersebut. Kata “feit” dalam bahasa belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan, sedang strafbaar berarti dapat dihukum. Sehingga secara harafiah strafbaar feit adalah Sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum.1 Untuk mengetahui arti tindak pidana dibawah ini akan diuraikan beberapa pendapat mengenai istilah tersebut : a. Menurut Simons, Tindak Pidana adalah Kelakukan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. b. Menurut Van Hamel, Strafbaarfeit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam Wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.2 Dalam menjabarkan suatu rumusan delik kedalam unsur-unsurnya, maka akan dijumpai suatu perbuatan atau tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan suatu tindakan yang terlarang oleh undang-undang. Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
1
PAF.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: SINAR BARU, hlm. 172
2
Prof. Moeljatno, S.H., Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara 1983, hal 56
1
(KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. Simons menyebutkan adanya unsur objektif dan unsur subjektif dari strafbaarfeit. Unsur objektif antara lain : a) Perbuatan atau kelakuan manusia. b) Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik. c) Adanya unsur melawan hukum. Unsur subjektif yaitu : a) Orang yang mampu bertanggung jawab. b) Adanya kesalahan (dolus atau culpa).3
Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno terdiri dari : 1) Kelakuan dan akibat 2) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi : a. Unsur subyektif atau pribadi. Yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan, misalnya unsur pegawai negeri yang diperlukan dalam delik jabatan seperti dalam perkara tindak pidana korupsi. Pasal 418 KUHP jo. Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3 Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang pegawai negeri yang menerima hadiah. Kalau yang menerima hadiah bukan pegawai negeri maka tidak mungkin diterapka pasal tersebut b. Unsur obyektif atau non pribadi Yaitu mengenai keadaan di luar si pembuat, misalnya pasal 160 KUHP tentang penghasutan di muka umum (supaya melakukan perbuatan pidana atau melakukan kekerasan terhadap penguasa umum). Apabila penghasutan tidak dilakukan di muka umum maka tidak mungkin diterapkan pasal ini.4
3
Dikutip dari TAJMIATI-BLOGER,TINDAK PIDANA PENCURIAN, pada 19 September 2013.
4
Prof. Moeljatno, S.H., Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara 1983, hal 62-63
2
B. Penyertaan 1. Pengertian Penyertaan Beberapa istilah dalam penyertaan : 1) Turut Campur dalam peristiwa pidana. 2) Turut berbuat delik. 3) Turut serta. 4) Deelnaming. Menurut Prof. Moeljatno, dapat dikatakan adanya penyertaan apabila bukan satu orang saja yang tersangkut dalam terjadinya perbuatan pidana, akan tetapi beberapa orang. Meskipun demikian tidak setiap orang yang tersangkut dalam terjadinya perbuatan pidana dapat dinamakan peserta dalam makna pasal 55 dan 56. Untuk itu harus memenuhi syarat-syarat seperti orang-orang yang melakukan atau turut serta melakukan perbuatan pidana atau membantu melakukan perbuatan pidana.5
2. Pengaturan Penyertaan Pengaturan mengenai penyertaan dalam melakukan tindak pidana terdapat dalam KUHP yaitu Pasal 55 dan Pasal 56. Dari ketentuan dalam KUHP tersebut dapat disimpulkan bahwa antara yang menyuruh maupun yang membantu suatu perbuatan tindak pidana dikategorikan sebagai pembuat tindak pidana. Menurut Van Hamel dalam Lamintang mengemukakan ajaran mengenai penyertaan itu adalah : “Sebagai suatu ajaran yang bersifat umum, pada dasarnya merupakan suatu ajaran mengenai pertanggungjawaban dan pembagian pertanggungjawaban, yakni dalam hal dimana suatu delik yang menurut rumusan undang-undang sebenarnya dapat dilakukan oleh seseorang secara sendirian, akan tetapi dalam kenyataannnya telah dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam suatu kerja sama yang terpadu baik secara psikis (intelektual) maupun secara material”.6
5
Prof. Moeljatno, S.H., Delik-delik Percobaan dan delik-delik Penyertaan, Jakarta: Bina Aksara 1985, hal 63-64 6
Ibid., hlm 556
3
3. Jenis Penyertaan Pembagian penyertaan menurut KUHP Indonesia ialah : a. Pembuat / dader (pasal 55) yang terdiri dari : Pembuat atau dader diatur dalam Pasal 55 KUHP. Pengertian dader itu berasal dari kata daad yang di dalam bahasa Belanda berarti sebagai hal melakukan atau sebagai tindakan. Dalam ilmu hukum pidana, tidaklah lazim orang mengatakan bahwa seorang pelaku itu telah membuat suatu tindak pidana atau bahwa seorang pembuat itu telah membuat suatu tindak pidana, akan tetapi yang lazim dikatakan orang adalah bahwa seorang pelaku itu telah melakukan suatu tindak pidana.7
Pembuat atau dader sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 KUHP, yang terdiri dari : 1) Pelaku (pleger) Pelaku ialah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan delik. 2) Yang menyuruh melakukan (doenpleger) Doenplegen ialah orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedangkan perantara ini hanya diumpamakan sebagai alat. Pihak-pihak dalam doenplegen : a) Pembuat langsung. b) Pembuat tidak langsung. Pada doenplegen terdapat unsur-unsur sebagai berikut : a) Alat yang dipakai adalah manusia. b) Alat yang dipakai itu berbuat. c) Alat yang dipakai tidak dapat dipertanggung jawabkan. Unsur ketiga inilah yang merupakan ciri dari dounplegen. Hal-hal yang menyebabkan alat (pembuat materiil) tidak dapat dipertanggung jawabkan ialah: a) Bila ia tidak sempurna pertumbuhan jiwanya (pasal 44) b) Bila ia berbuat karena daya paksa (pasal 48) c) Bila ia melakukannya atas perintah jabatan yang tidak sah (pasal 51 ayat 2) d) Bila ia keliru mengenai salah satu unsur delik.
7
Ibid., hlm 562
4
e) Bila ia tidak mempunyai maksud seperti yang diisyaratkan untuk kejahatan yang bersangkutan. 3) Yang turut serta (madepleger) Mereka yang turut serta yaitu orang yang dengan sengaja turut serta dalam suatu tindak pidana. Terdapat syarat sebagai berikut : a) Ada kerjasama secara sadar. Adanya kesadaran ini tidak berarti ada pemufakatan lebih dulu cukup ada pengertian antara peserta pada saat perbuatan dilakukan dengan tujuan mencapai hasil yang sama. Yang penting harus ada kesengajaan untuk bekerja sama dan ditujukan kepada hal yang dilarang oleh undang-undang. b) Ada pelaksanaan bersama secara fisik. Dapat dikatakan perbuatan pelaksanaan berarti perbuatan yang langsung menimbulkan selesainya delik.yang penting disini harus ada kerja sama yang erat dan langsung.8
Menurut Pompe turut mengerjakan terjadinya sesuatu tindak pidana itu ada tiga kemungkinan : a) Mereka masing-masing memenuhi semua unsur dalam rumusan delik b) Salah satu memenuhi semua unsur delik, sedangkan yang lain tidak. c) Tidak seorangpun memenuhi unsur-unsur delik seluruhnya, tetapi mereka bersama-sama mewujudkan delik itu. Menurut Prof. Lamintang, hakim tidak perlu menyebutkan secara tegas bentuk-bentuk keturutsertaan yang telah dilakukan oleh seorang tertuduh, oleh karena pencantuman dari peristiwa yang sebenarnya telah terjadi itu sendiri sebenarnya telah menunjukkan bentuk keturutsertaan yang dilakukan oleh masing-masing peserta didalam suatu tindak pidana yang telah mereka lakukan.9
4) Penganjur (uitlokker) Penganjur ialah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan saranasarana yang ditentukan oleh undang-undang. Syarat penganjur yang dapat dipidana ialah : 8
M. Haryanto, SH. M.Hum , Hukum Pidana II, hlm 24-28
9
PAF.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: SINAR BARU, hlm. 589
5
a) Menggunakan salah satu atau beberapa daya upaya yang disebut dalam Pasal 55 ayat (1) ke 2 KUHP. b) Sengaja menggerakkan orang melakukan perbuatan pidana. c) Adanya kehendak dari orang yang dibujuk untuk melakukan perbuatan pidana yang dilarang oleh Undang-Undang. d) Orang yang dibujuk telah melaksanakan atau mencoba melaksanakan perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang yang dikehendaki orang yang membujuk. e) Orang yang dibujuk berrtanggung jawab penuh menurut hukum pidana.10
b. Pembantu / mendeplictige (pasal 56) yang terdiri dari : 1) Pembantu saat kejadian dilakukan. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHP. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan ini mirip dengan turut serta (medeplegen), namun perbedaannya terletak pada : a) Pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu atau menunjang, sedang pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan. b) Pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa diisyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan atau berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta, orang yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan sendiri. c) Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP), sedangkan turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana. d) Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi 1/3 (sepertiga), sedangkan turut serta dipidana sama. 2) Pembantu sebelum kejadian dilakukan. Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Pembantuan dalam rumusan ini mirip dengan penganjuran (uitlokking). Perbedaannya pada niat atau kehendak, pada pembantuan kehendak jahat pembuat materiel sudah ada sejak semula atau tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam penganjuran, 10
M. Haryanto, SH. M.Hum, Hukum Pidana II, hlm 29
6
kehendak melakukan kejahatan ditimbulkan oleh si penganjur.11
pada
pembuat
materiel
C. Pertanggung jawaban Pidana 1. Pertanggung Jawaban Pidana Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk pertanggungjwaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Namun orang yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan, hal ini tergantung pada “ apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut mempunyai kesalahan “, yang merujuk kepada asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana : “ tidak dipidana jika tidak ada kesalahan ( geen straf zonder schuld ; actus non facit reum nisi mens sit rea ) “. Asas ini memang tidak diatur dalam hukum tertulis tapi dalam hukum tidak tertulis yang juga berlaku di Indonesia. Dalam buku – buku Belanda pada umumnya tidak mengadakan pemisahan antara dilarangnya perbuatan ( strafbaar heid van het feit ) dan dipidananya orang yang melakukan perbuatan tersebut ( strafbaar heid van de persoon). Dengan kata lain, schuld ( kesalahan ) tidak dapat dimengerti tanpa adanya wederrechttelijkheid ( sifat melawan hukum ), tapi sebaliknya sifat melawan hukum mungkin ada tanpa adanya kesalahan. Prof. Moeljatno mengartikannya ; orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan ( dijatuhi pidana ) kalau dia tidak melakukan tindak pidana. Tapi meskipun melakukan tindak pidana, tidak selalu dia dapat dipidana. Lebih lanjut Prof. Moeljatno menjelaskan bahwa orang yang tidak dapat dipersalahkan melanggar sesuatu tindak pidana tidak mungkin dikenakan pidana, meskipun orang tersebut dikenal buruk perangainya, kikir, tidak suka menolong orang lain, sangat ceroboh, selama dia tidak melanggar larangan pidana.12
Untuk lebih memahami tentang pertanggungjawaban dalam hukum pidana maka kita harus mengetahui apa sebenarnya arti kesalahan. Prof. Moeljatno dalam bukunya Asas – Asas Hukum Pidana, berpandangan bahwa “ orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu 11
12
PAF.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: SINAR BARU, hlm. hal 612-613 Prof. Moeljatno, S.H., Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara 1983, hal 153- 155
7
melakukan perbuatan pidana , dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu mengetahui makna ( jelek ) perbuatan tersebut, dengan kata lain perbuatan tersebut memang sengaja dilakukan. Selain itu orang juga dapat dicela karena melakukan perbuatan pidana ( tindakan pidana menurut UU dan Sudarto ) meskipun tak sengaja dilakukan tapi terjadinya perbuatan itu dimungkinkan karena dia alpa atau lalai terhadap kewajiban – kewajiban yang dalam hal tersebut, oleh masyarakat dipandang seharusnya ( sepatutnya ) dijalankan olehnya. Dalam hal ini celaan bukan disebabkan oleh kenapa melakukan perbuatan padahal mengerti ( mengetahui ) sifat jeleknya perbuatan seperti dalam hal kesengajaan, tetapi disebabkan oleh kenapa tidak menjalankan kewajiban – kewajiban yang seharusnya dilakukan olehnya, sehingga karenanya masyarakat dirugikan. Dengan kata lain perbuatan tersebut terjadi karena kealpaan. Selain itu , orang juga dapat melakukan tindak pidana walaupun tanpa adanya kesengajaan ataupun kealpaan, sehingga tidak dapat dicela.13
Untuk adanya pertanggung jawab pidana diperlukan syarat bahwa pembuat mampu bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggung-jawabkan apabila ia tidak mampu bertanggung-jawab. KUHP tidak memberikan rumusan mengenai kriteria seseorang itu dikatakan mampu bertanggung-jawab dan mengenai ukuran untuk menyatakan adanya kemampuan bertanggung-jawab. a) Menurut Simons, “kemampuan bertanggung-jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya”. Dikatakan selanjutnya, bahwa seseorang mampu bertanggung-jawab, jika jiwanya sehat, yakni apabila : (1) Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum. (2) Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut. b) Menurut Van Hamel, “kemampuan bertanggung-jawab adalah suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan (kecerdasan) yang membawa 3 kemampuan : (1) Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri. (2) Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan.
13
Ibid. hlm 157
8
(3) Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatannya itu. c) Van Bammelen, “seseorang yang dapat dipertanggung-jawabkan ialah orang yang dapat mempertahankan hidupnya dengan cara yang patut. Adapun Memorie van Teolichting (Memori Penjelasan) secara negative menyebutkan mengenai pengertian kemampuan bertanggug-jawab itu antara lain : Tidak ada kemampuan bertanggung-jawab pada sipembuat : (1) Dalam hal ia tidak ada kebebasan untuk memilih antara berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang. (2) Dalam hal ia ada dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa, sehingga tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hokum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya. KUHP tidak memuat perumusan mengenai kapan seseorang mampu bertanggung-jawab. Disitu dimuat ketentuan yang menunjuk kearah itu, ialah dalam Buku I Bab III pasal 44, yang berbunyi : “barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu jiwanya karena penyakit, tidak di-pidana”. Alasan berupa keadaan pribadi sipembuat yang bersifat biologisch ialah jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit. Dalam keadaan itu pembuat tidak punya kebebasan kehendak dan tidak dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya.14
Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana, menurut Roeslan Saleh, bahwa pada umumnya orang yang disangka telah melakukan perbuatan pidana harus bertanggung jawab, dan pada umumnya seseorang bertanggung jawab pada perbuatan-perbuatannya sendiri. Tetapi ada yang disebut vicarious responsibility. Dalam kejadian ini seseorang juga bertanggung jawab atas perbuatan orang lain.15
2. Pertanggung Jawaban Pidana dalam Penyertaan
14
M. Haryanto, SH. M.Hum, Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, 2005. Hal 39-40 15
Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungan Jawab Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 32.
9
Dalam proses penegakkan hukum pidana kerap dipergunakan Pasal 55 ayat 1 Ke1 KUHP yang digunakan dalam penanganan suatu tindak pidana yang melibatkan lebih dari satu orang pelaku. Penyertaan adalah berkaitan dengan suatu peristiwa pidana korupsi yang pelakunya lebih dari 1 (satu) orang, sehingga harus mementukan pertanggung jawaban daripada peserta terhadap tindak pidana yang telah dilakukan. Selain itu ajaran ini juga mempersoalkan peranan atau hubungan tiap-tiap peserta dalam suatu pelaksanaan tindak pidana sumbangan apa yang telah diberikan oleh tiap-tiap peserta agar tindak pidana tersebut dapat diselesaikan.16 Jika diuraikan bunyi Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jelas terlihat suatu penyertaan yang tersusun, yakni : 1. yang melakukan 2. yang menyuruh lakukan 3. yang turut serta melakukan 4. yang sengaja melakukan Jika disimak dalam uraian Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, maka ada keharusan untuk menemukan peran pelaku dan para pelaku dimintai pertanggung jawabannya sesuai dengan peranannya masing-masing. Dalam Pasal 55 ayat 2 dinyatakan bahwa penganjur dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan yang sengaja dianjurkannya beserta akibatnya 17.
Tentang pertanggung jawaban peserta, Prof. Moeljatno berpendapat ada dua sistem pokok yang satu sama lain bertentangan. Yaitu yang pertama: tiap – tiap peserta dipandang sama nilainya (sama jahatnya) dengan orang yang melakukan perbuatan pidana sendiri, Sehingga mereka itu juga dipertanggung jawabkan sama dengan pelaku. Yang kedua : tiap – tiap peserta dipandang tidak sama nilainya, masing – masing dibedakan menurut perbuatan yang dilakukan, ada kalanya disamakan dengan pelaku, ada kalanya tidak. Dan oleh karena pertanggung jawaban demikian pula, ada kalanya sama beratnya dengan pelaku, ada kalanya lebih ringan.18
Dalam pertanggungjawaban pembantu lebih ringan daripada pembuat. Prinsip ini terdapat dalam pasal 57 KUHP yaitu : 16
Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H., M.Si. Hukum Pidana. Jakarta : Rajagrafindo Persada. Hal 204
17
M. Haryanto, SH. M.Hum, Hukum Pidana II, hlm 33
18
Prof. Moeljatno, S.H., Delik-delik Percobaan dan delik-delik Penyertaan, Jakarta: Bina Aksara 1985, hal 71-72
10
(1) Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga. (2) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (3) Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri. (4) Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.
Menurut Prof. Mulyatno dan Prof. Oemar Seno Adji, bahwa sistem pemidanaan
untuk
pembuat
hendaknya
dipakai
sistem
“Facultative
Minderbestrafung” yaitu terserah pada hakim apakah terhadap pembantu pidananya akan dikurangi atau tidak. Menurut Prof. Mulyatno sistem ini dapat juga dipakai untuk bentuk-bentuk penyertaan lainnya.19
D. Hal–hal yang harus dipertimbangkan Hakim berkaitan dengan penyertaan. 1. Keberlakuan Hukum Keberlakuan hukum tidak hanya berupa hukum tersebut telah ditetapkan, tetapi hukum tersebut juga bisa berlaku secara efektif. Suatu produk hukum yang baik dan benar adalah yang sah dan berlaku efektif. Syarat-syarat ini juga merupakan titik pangkal dalam mengidentifikasi kesalahan-kesalahan dalam produk hukum. Syarat-syarat keberlakuan tersebut adalah: a. Memenuhi syarat Filosofis Norma hukum berlaku efektif jika memenuhi cita-cita kolektif masyarakatnya. b. Memenuhi syarat yuridis Secara yuridis, ada 3 kreteria suatu norma bisa berlaku efektif, yaitu 19
Ibid., hlm 38
11
1) Norma tersebut tidak bertentangan dan sesuai dengan norma yang lebih tinggi (materiil toetsing). Bertentangan (contra legem), Tidak sesuai (penyimpangan, misalnya penambahan sesuatu yang pada norma di atasnya sudah ditegaskan). 2) Norma yang berlaku ditetapkan dengan prosedur yang sah(formil toetsing) 3) Norma yang berlaku ditetapkan oleh lembaga yang berwenang (formil toetsing)20
c. Memenuhi syarat Sosiologis Syarat sosiologis diperlukan untuk memperoleh social support. Ada berbagai macam teori tentang berlakunya hukum secara sosiologis, diantaranya yaitu: 1) Harus diterima oleh masyarakat (Teori Social Acceptance) 2) Diakui oleh masyarakat (teori social recognition) 3) Diberlakukan dengan kekuasaan (Power Theory) 4) Kenyataannya berlaku (teori faktisitas)21
Demikian juga putusan hakim untuk menyelesaikan suatu perkara yang diajukan di Pengadilan, bahwa putusan yang baik adalah yang memperhatikan tiga nilai unsure yaitu yuridis (kepastian hukum), nilai sosiologis (kemanfaatan),dan folosofis (keadilan) sehingga tujuan pemidanaan dapat tercapai.22
Menurut Prof. DR. Muladi, S.H., tujuan pemidanaan ada 3 pendekatan yaitu Pendekatan-pendekatan sosiologis, ideologis, dan yuridis filosifis, dilandasi oleh asumsi dasar bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan, dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang mengakibatkan kerusakan individual atau masyarakat.
20
http://alisafaat.wordpress.com, Tolak ukur, Indikator dan Parameter kesalahan perda, diakses pada 11 april 2013 21
Ibid.
22
Keyakinan Hakim Dalam Memutus perkara Ditinjau dari Aspek Sosiologi, diakses pada 26 juni 2013
12
Dengan demikian tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana.23
2. Pertimbangan Hakim tentang keberlakuan hukum dalam putusan Pertimbangan hukum merupakan dasar argumentasi Hakim dalam memutuskan suatu perkara. Jika argumen hukum itu tidak benar dan tidak sepantasnya (proper), maka orang kemudian dapat menilai bahwa putusan itu tidak benar dan tidak adil. Pertimbangan hukum yang tidak benar dapat terjadi karena berbagai kemungkinan: a. Hakim tidak mempunyai cukup pengetahuan hukum tentang masalah yang sedang ditangani. Namun secara normatif seharusnya hal ini tidak boleh terjadi, karena Hakim dapat memerintahkan setiap pihak untuk menyediakan ahli yang akan memberikan keterangan dan menjelaskan pokok persoalannya di dalam persidangan. b. Hakim sengaja menggunakan dalil hukum yang tidak benar atau tidak semestinya karena adanya faktor lain seperti adanya tekanan pihak-pihak tertentu, suap, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi indepensi Hakim yang bersangkutan. c. Hakim tidak memiliki cukup waktu untuk menuliskan semua argumen hukum yang baik disebabkan karena terlalu banyaknya perkara yang harus diselesaikan dalam kurun waktu yang relatif singkat. d. Hakim malas untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasannya, sehingga berpengaruh terhadap kualitas putusan yang dibuatnya. Faktor ini merupakan faktor yang pengaruhnya tidak langsung, namun cukup menentukan kualitas putusan.24
Putusan Pengadilan dalam KUHAP Pasal 1 butir 11 adalah Pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dan segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
23
Prof. DR. Muladi, S.H., Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni 1992, hal 61
24
http://rudini76ban.wordpress.com, keputusan hakim yang tidak adil,Diakses pada 1 juli 2013.
13
Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan : Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib, Putusan Bebas, Putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Tiga hal tersebut merupakan alternatif vonnis/putusan akhir. a) Pemidanaan Pemidanaan ini diatur dalam Pasal 193 KUHAP, yang bunyinya : (1) Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. (2) a. Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dasi terdapat alasan cukup untuk itu. (3) b. Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusannya, dapat menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan cukup untuk itu. b) Bebas Tentang putusan bebas diatur dalam pasal 191 ayat (1) KUHAP. Yaitu : Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa dakwa diputus bebas. Dari bunyi pasal tersebut pemakaian istilah “KESALAHAN” adalah tidak tepat. Karena asumsinya jika kesalahan terdakwa tidak terbukti, ini berarti tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa dapat dibuktikan hanya perbuatan tersebut tidak melawan hukum atau ada alasan pemaaf. Jika memang demikian maka konsekuensinya putusan seharusnya bukan bebas tetapi lepas dari segala tuntutan hukum. c) Lepas dari segala tuntutan hakim Putusan ini diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP, yang bunyinya sebagai berikut : “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan képada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.” Dari bunyi pasal diatas perlu dicatat bahwa seharusnya kalau perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa bukan perbuatan pidana,
14
maka sejak semula seharusnya hakim tidak menerima tuntutan Jaksa Penuntut Umum.25
Seorang hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran yuridis (hukum) dengan kebenaran fisolofis (keadilan). Seorang Hakim harus membuat keputusan – keputusan yang adil dan bijaksana dengan mempertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi dalam masyarakat.26
Kebebasan Hakim terutama di Indonesia hanya dalam batas persidangan dalam memutus perkara namun yang penting rasa keadilan dan hati nurani yang adil yang perlu ditanamkan pada setiap insan hakim. Jangan takut memutus sebuah perkara meskipun telah mempunyai polisi hakim (KY). Kalau menurut keyakinan seorang hakim dan menurut rasa keadilan hati nurani dan hukumnya telah sesuai dengan Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa. Oleh karenanya aparat hukum terutama aparat Pengadilan khusus hakim harus mengetahui bahwa putusan Pengadilan merupakan suatu yang sangat diinginkan atau dinanti-nanti oleh pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan sebaikbaiknya sebab dengan putusan tersebut pihak-pihak yang bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum-hukum keadilan dalam perkara yang mereka hadapi dan mereka betul-betul merasa mendapatkan keadilan yang diharapkan para pencari keadilan tersebut.27
25
M. Haryanto, SH. M.Hum, Hukum Acara Pidana, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, 2007. Hal 99-101 26
http://setaaja.blogspot.com, Pertimbangan Sosiologi dalam Putusan Hakim, diunduh 11 april 2013
27
Ibid.,
15