5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
PENGERTIAN STAINLESS STEEL
Stainless steel adalah baja paduan yang memiliki sifat tahan korosi (karat), sehingga secara luas digunakan dalam industri kimia, pupuk, makanan dan minuman, industri yang berhubungan dengan air laut dan semua industri yang memerlukan ketahanan korosi (Raharjo, 2015) Stainless steel didapat dengan menambahkan unsur Chromium (Cr) pada baja, minimum sejumlah 12%. Unsur Cr ini akan bereaksi dengan oksigen yang ada di udara (atmosfir) dan membentuk lapisan oksida-Crom yang sangat tipis. Lapisan ini kedap dan kuat sehingga berfungsi sebagai tembok yang melindungi permukaan logam dibawahnya,
lapisan tersebut akan mencegah proses korosi (karat)
berkelanjutan. Lapisan Cr-oksida ini dapat dikatakan bersifat permanen, karena jika lapisan tersebut rusak misalkan akibat goresan, maka segera akan segera terbentuk lapisan Cr-oksida yang baru (INCO,1963). AISI 316L stainless steel sudah secara luas digunakan pada dunia rekayasa material
(Material
Engineering),
dunia
industri pada
stainless
steel tipe
AISI 316L stainless steel mempunyai kandungan karbon yang rendah sehingga memiliki nilai ketahan korosi, akan tetapi memiliki ketahanan lelah yang rendah . AISI 316L mengandung unsur chromium (Cr) sehingga mampu bertahan dari oksidasi yang menyebabkan terjadinya karat. AISI 316L sangat sering digunakan pada dunia ilmu biomedik karena memiliki ketahanan korosi yang tinggi dan sangat cocok untuk bahan implant (bahan yang ditanamkan kedalam tubuh) (Azar, V.,Hashemi, 2010). Penggunaan karakteristiknya
stainless steel
yang
didunia semakin
menguntungkan.
Terdapat
meningkat
penambahan
dikarenakan tuntutan
dari
karakteristik material untuk bangunan dan industri konstruksi dimana stainless steel
http://digilib.mercubuana.ac.id/
6
digunakan agar material berpenampilan menarik (attractive). Tahan korosi (corrosion resistance), rendah perawatan (low maintenance) dan berkekuatan tinggi (high strength). Banyak lagi industri- industri yang mengadopsi logam stainless steel untuk alasan yang sama sebagaimana faktanya dilapangan bahwa stainless steel tidak memerlukan perlakuan tambahan, seperti surface treatment, pengecatan, pelapisan dan lain sebagainya untuk sifat karakteristik fungsionalnya. Meskipun juga faktanya didunia pemasaran bahwa stainless steel ini cukup mahal bahkan sangat mahal dibandingkan dengan baja karbon biasa (plain carbon steel) (Defrancq, 2013). 2.2
JENIS-JENIS STAINLESS STEEL
Stainless steel merupakan salah satu logam ferro dari klasifikasi logam baja (Fe+C = Fe3C) dan dari klasifikasi logam baja paduan tinggi (high alloy) yang unsur paduan diatas 8-10%. Sedangkan stainless steel memiliki unsur paduan utamanya adalah Chromium (Cr) dan Nickel (Ni) sebagian (Seitovirta, 2013) Terdapat 5 pembagian dari stainless steel yaitu: 1.
Austenitic Stainless Steel
2.
Ferrictic Stainless Steel
3.
Duplex Stainless Steel
4.
Precipitation Hardening Stainless Steel
5.
Martensitic stainless stell Meskipun semua stainless steel tergantung pada presentase unsur chrome
(sebagian besar) dan nikel, elemen paduan lainnya juga sering di tambahkan untuk meningkatkan sifat-sifat stainless steel tersebut menjadi lebih baik lagi. Kategori stainless steel tidak seperti pada logam- logam alamiah pada umumnya, struktur Kristal yang berubah pada suhu kamar (tak stabil) tergantung presentase unsure chrome dan nikel yaitu FCC (austenitic), BCC (ferrinitic), penggabungan FCC dan BCC (duplex) dan BCT martensitic. Stainless steel mempunyai bermacam- macam jenis dan kelas yang berbedabeda. Dengan penambahan austenite akan membuat stainless steel menjadi stabil. Unsur inlah yang membuat stainlees steel menjadi non-magnetic (magnet tidak dapat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
7
menempel) dan rapuh pada suhu rendah. Untuk menambah kekuatannya biasanya dicampur dengan karbon, disamping itu kadar campuran menentukan kualitas stainless steel, misalnya yang umum ditanyakan pada waktu membeli stainless adalah kadar nikelnya 1%, 2%, 4%, 8% (semakin tinggi semakin baik ketahana n terhadap korosi) atau yang tidak pakai nikel juga ada. Karena dapat dicampur dengan berbagai bahan yang berbeda-beda menjadikan stainless steel mempunyai banyak sekali jenis antara lain : Jenis – 101 austenitic biasanya dipakai untuk cold working pada furniture Jenis – 102 austenitic chromium dipakai untuk furniture Jenis ser – 200 austenitic – chromium – nikel – manganasse alloy terdiri atas dua tipe. Jenis – 201 prosesnya melalui cold working Jenis – 202 no data seri – 300 austenitic chromium – nikel alloy Jenis – 301 sangat elastis biasanya untuk welding product Jenis – 302 sifatnya tahan korosi, kekuatannya lebih tinggi karena ditambah karbon Jenis – 303 proses pembuatannya dengan penambahan balerang dan fosfor juga disebut A1 sesuai dengan ISO 3506 Jenis – 304 disebut juga A2 Jenis – 304L sama seperti kelas 304 tapi komposisi karbon lebih sedikit sehingga kekuatannya lebih lemah 304. Jenis – 304 – LN jenis ini sama dengan 304L tapi dengan ditambahn nitrogen untuk mendapatkan kekuatan tegangan yang jauh lebih tinggi dari je nis 304L dan masih banyak lagi. Jenis 316L dengan komposisi carbon <0,03 %, manganese <2,00 %, phosphorus <0,045 %, sulfur <0,03 %, silicon <0,75 %, chromium 16-18 %, nickel 10-14 %, molybdenum 2-3%, nitrogen <0,10 % (AK Steel, 2007).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
8
2.3
MEKANISME KOROSI
Korosi merupakan penurunan mutu logam akibat reaksi elektrokimia dengan lingkungannya yang berhubungan langsung dengan udara terbuka, sering disebut juga dengan
korosi atmosfer. Hamper seluruh produk korosi disebabkan oleh
lingkungan atmosfer. Hal ini dikarenakan pada umumnya logam selalu berhubungan dengan udara terbuka yang kelembaban dan kandungan polutannya dapat mempengaruhi korosifitas logam. Faktor- faktor seperti temperatur, kelembaban dan kandungan bahan kimia dalam udara sangat menentukan laju korosi. Sementara itu komposisi logam ,struktur metalurgi, dan proses pembuatan logam juga mempercepat timbulnya korosi (Sumarji, 2012). Korosi dapat didefinisikan sebagai suatu peristiwa elektrokimia antara logam atau paduan logam dengan lingkungannya, dengan beberapa komponen sebagai syarat terjadinya yaitu : 1.
Anoda, sebagai kutup terjadinya reaksi oksidasi.
2.
Katoda, sebagai kutup terjadinya reaksi reduksi.
3.
Media elektrolit, sebagai penghantar arus listrik
4.
Adanya hubungan arus listrik antara anoda dan katoda. Mekanisme korosi dalam elektrokimia dapat ditinjau dari potensial standar
(reduksi), dimana suatu logam yang memiliki potensial reduksi lebih rendah dibandingkan dengan potensial reduksi sistem maka memiliki kecenderungan spontan untuk beroksidasi (Erick Folkhard, 1984). Sebagai contoh logam Zn yang di celupkan dalam larutan asam akan teroksidasi, karena potensial reduksi Zn lebih rendah dibandingkan potensial reduksi H2 : Zn → Zn2+ + 2eBesi memiliki permukaan tidak halus akibat komposisi yang tidak sempurna, juga akibat perbedaan tegangan permukaan yang menimbulkan potensial pada daerah tertentu lebih tinggi dari daerah lainnya. Pada daerah anodik (daerah permukaan yang bersentuhan dengan air) terjadi pelarutan atom-atom besi disertai pelepasan elektron membentuk ion Fe2+ yang larut dalam air.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
9
Fe(s) → Fe2+(aq) + 2e– Elektron yang dilepaskan mengalir melalui besi, sebagaimana elektron mengalir melalui rangkaian luar pada sel volta menuju daerah katodik hingga terjadi reduksi gas oksigen dari udara. O2 (g) + 2H2 O(g) + 2e– → 4OH– (aq) Ion Fe2+ yang larut dalam tetesan air bergerak menuju daerah katodik, sebagaimana ion- ion melewati jembatan garam dalam sel volta dan bereaksi dengan ion- ion OH– membentuk Fe(OH)2 . Fe(OH)2 yang terbentuk dioksidasi oleh oksigen membentuk karat. Fe2+(aq) + 4OH– (aq) → Fe(OH)2 (s) 2Fe(OH)2 (s) + O2 (g) → Fe2 O 3 .nH2 O(s)
Gambar 2.1 Mekanisme reaksi keseluruhan pada korosi besi 4Fe(s) + 3O 2 (g) + n H2 O(l)
2Fe2 O3 .nH2 O(s) Karat
Akibat adanya migrasi ion dan elektron, karat sering terbentuk pada daerah yang agak jauh dari permukaan besi yang terkorosi (lubang). Warna pada karat beragam
http://digilib.mercubuana.ac.id/
10
mulai dari warna kuning hingga cokelat merah bahkan sampai berwarna hitam. Warna ini bergantung pada jumlah molekul H2 O yang terikat pada karat (Sumarji, 2012).
Gambar 2.2 Mekanisme korosi pada besi Korosi logam tidak dapat dicegah, tetapi dapat dikendalikan seminimal mungkin. Ada tiga metode umum untuk mengendalikan korosi, yaitu pelapisan (coating), proteksi katodik, dan penambahan zat inhibitor korosi. 2.4
PRINSIP TERJADINYA KOROSI SUMUR
Stainless steel yang digunakan diberbagai bidang adalah untuk pertahanan korosi yang kuat. Pada atmosfer lingkungan laut,ini menjadi sebuah masalah pada bentuk pengkaratan dalam hubungan jenis korosi sumur (pitting corrosion) yang disebabkan oleh deposisi dari penguapan garam laut. Uap air yang ada pada atsmosper mungkin berkondensasi dan dari tetesan atau penipisan lapisan elektrolitn yang mengandung ion- ion klorida ketika temperatur menurun dan relative humidity (RH) atau kelembapan rata-rata meningkat. Jadi, faktor lingkungan seperti temperatur, relative humidity (RH) atau kelembapan rata-rata, air hujan dan penguapan garam laut merupakan faktor yang sangat penting untuk kejadian korosi sumuran (pitting corrosion dan stainless stell (ss). ditambahkan kedalam untuk memperoleh sifat tertentu sehingga jenis baja akan beragam pada lingkungan laut, ketika tempertur menurun dam relative humidity (RH) dan kelembapan rata-rata meningkat, uap air diudara mengkin menghantar dan juga dari tetesan atau lapisan tipis yang mengandung ion klorida pada lapisan permukaan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
11
logam. Pada proses evaporasi, yang mana kenaikan konsentrasi ion klorida untuk tiap tetes, berdasarkan waktu maka terperatur meningkat dan RH menurun. Perubahan tetes klorida mungkin bergantung pada kondensasi dan air hujan yang mana mempengaruhi laju transport oksigen. Efek dari perubahan ukuran tetes klorida ini perlu dilakukan pengamatan. Studi lanjut tentang pengamatan klorida untuk korosi sumuran (pitting corrosion) pada stainless stell 316L sekarang ini sangat terbatas, sehingga efek dari tetesan
klorida pada korosi sumuran (pitting
corrosion) perlu
diperjelas.
Microbiologically influenced (MIC) atau bicorrosion phenomenom pada baja adalah Masalah serius pada lingkungan perairan dan banyak industri, seperti power generation,petrochimical, pulp dan kertas dengan keseriusan keselamatan dan urusan ekonomi. Metal yang secara umum bergantung pada formasi dari kestabilan oxide film ketahanannya terhadap korosi, seperti stainless stell yang terutama sekali retan terhadap MIC, MIC dari stainless stell telah dinyatakan dalam banyak korosi lokal, yang mana termasuk pitting, cervice, dengan edapan korosi dan stress corrosion cracking. Baja nikarat austenitik merupakan baja yang mengandung campuran nikel dan nitrogen dengan struktur kubus berpusat muka (FCC: face center cubic) pada suhu kamar tahan spesifikasi baja terhadap korosi berbeda-beda sesuai dengan kandungan komposisi penyusunannya. Pada umumnya baja dengan kandungan komposisi molibdenum akan tahan terhadap SCC (stress corrosion cracking), namun apabila kandungan dari Mo berkisar antara 4-5 % masih rawan terhadap korosi celah (crevice corrosion). 2.5
FAKTOR FAKTOR TERJADINYA KOROSI
Beberapa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi proses korosi antara lain, yaitu: 1. Suhu Kenaikan suhu akan menyebabkan bertambahnya kecepatan reaksi korosi. Hal ini terjadi karena makin tinggi suhu maka energi kinetik dari partikel-partikel yang bereaksi akan meningkat sehingga melampaui besarnya harga energi aktivasi dan akibatnya laju kecepatan reaksi (korosi) juga akan makin cepat, begitu juga sebaliknya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
12
2. Kecepatan Alir Fluida Atau Kecepatan Pengadukan Laju korosi cenderung bertambah jika laju atau kecepatan aliran fluida bertambah besar. Hal ini karena kontak antara zat pereaksi dan logam akan semakin besar sehingga ion- ion logam akan makin banyak yang lepas sehingga logam akan mengalami kerapuhan (korosi). 3. Konsentrasi Bahan Korosif Hal ini berhubungan dengan pH atau keasaman dan kebasaan suatu larutan. Larutan yang bersifat asam sangat korosif terhadap logam dimana logam yang berada didalam media larutan asam akan lebih cepat terkorosi karena karena merupakan reaksi anoda. Sedangkan larutan yang bersifat basa dapat menyebabkan korosi pada reaksi katodanya karena reaksi katoda selalu serentak dengan reaksi anoda. 4. Oksigen Adanya oksigen yang terdapat di dalam udara dapat bersentuhan dengan permukaan logam yang lembab. Sehingga kemungkinan menjadi korosi lebih besar. Di dalam air (lingkungan terbuka), adanya oksigen menyebabkan korosi. Waktu Kontak Aksi inhibitor diharapkan dapat membuat ketahanan logam terhadap korosi lebih besar. Dengan adanya penambahan inhibitor kedalam larutan, maka akan menyebabkan laju reaksi menjadi lebih rendah, sehingga waktu kerja inhibitor untuk melindungi logam menjadi lebih lama. Kemampuan inhibitor untuk melindungi logam dari korosi akan hilang atau habis pada waktu tertentu, hal itu dikarenakan semakin lama waktunya maka inhibitor akan semakin habis terserang oleh larutan.
2.6
JENIS – JENIS KOROSI
Adapun jenis korosi menurut mekanisme terjadinya korosi adalah sebagai berikut : (Seitovirta, 2013) 1. Korosi merata (uniform attack) Jenis korosi ini adalah yang paling umum dimana korosi terjadi secara menyeluruh pada permukaan logam yang terekspos pada lingkungan korosif. Korosi ini sering pula disebut sebagai penipisan (thinning) atau general corrosion. Contoh paling umum adalah korosi pada logam yang terpapar pada udara.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13
2 Korosi galvanic (galvanic corrosion) Korosi ini terjadi ketika logam yang saling berbeda saling kontak atau tersambung secara elektrik dalam lingkungan yang korosif (elektrolit). Kecenderungan untuk terkorosif tergantung pada potensial (volt) dimana makin rendah potensialnya, makin mudah terkorosi, namun prinsip galvanic ini dapat digunakan untuk melindungi logam yang lebih mahal dengan melapisinya dengan logam yang potensialnya lebih rendah. Contoh pada cooler atau condenser dimana tube aluminium di rol atau dipasang pada tubesheet paduan tembaga, dalam kasus ini ujung tube aluminium akan terkorosi lebih parah. 3 Korosi Celah (crevice corrosion) Serupa dengan korosi galvanic dengan pengecualian pada perbedaan konsentrasi media korosifnya. Celah atau ke tidak teraturan permukaan lainnya seperti celah pada paku keling (rivet), baut, washer, gasket, deposit, dsb. Dimana bersentuhan dengan media korosif dapat menyebabkan korosi terlokalisasi. Jenis korosi ini kadang disebut cell konsentrasi atau korosi kontak. 4 Korosi Batas butir (intergranular corrosion) Setiap logam memiliki kerentanan terhadap serangan batas butir pada lingkungan tertentu, contoh pada baja tahan karat austenitic lingkungan yang dapat menyebabkan korosi batas butir diantaranya HNO 3, H2 SO3, H2 SO4, HF, H3 PO4, asam nafta dan Polithionik H2 SxO 6. 5 Korosi Tegangan ( strees corrosion cracking) Fenomena korosi ini dapat di divinisikan sebagai retak material akibat effect kombinasi dari tegangan (statik) dan lingkungan korosif. Tegangan yang terlibat dapat berupa tegangan sisa dan tegangan yang dibebankan dan korosi jenis ini sangat terlokalisasi. Korosi yang terlokalisasi pada permukaan bertindak sebagai peningkat tegangan (strees riser or concentrator) dan kombinasi dari serangan korosi serta tegangan dapat menyebabkan penghambatan retak. Kegagalan karena korosi ini sangat tiba–tiba tanpa adanya peringatan dan setiap perubahan fisik
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14
dalam ukuran atau penampilan material tidak dapat di perbaiki. Bentuk retak dapat berupa transgranular dan intergranular tergantung jenis panduan dan kondisi metalurgi dan lingkungan. 6 Korosi Lelah (Fatique corrosion) Mirip dengan korosi jenis tegangan, perbedaannya tegangan pada korosi lelah adalah disebabkan tegangan dinamik atau siklik. Retak yang terbentuk yang di bawah fitting di pengaruhi pengulangan tegangan dan menjadi makin dalam dan tajam menghasilkan jejak perambatan kontinu dan umumnya trans granular. Setiap peralatan atau struckture yang terkena vibrasi atau tegangan fluktuatif lainnya dan berada pada lingkungan korosif dapat mengalami kegagalan karena korosi ini. 7 Korosi sumuran (Pitting) Merupakan jenis korosi yang sangat terlokalisasi dan sangat merusak dimana dapat menyebabkan kegagalan dan kebocoran peralatan dalam waktu yang singkat. Paduan yang mengandalkan lapisan oksida protektif untuk ketahan korosi, seperti baja tahan karat dan aluminium, menjadi sangat rentan terhadap sumuran jika lapisan rusak. Sumuran dapat terjadi pada daerah bekas kegagalan mekanik dimana kerak tidak dihilangkan secara sempurna, daerah di bawah penumpukan deposit, pada daerah cela, dsb. Sumuran sering diasosiasikan dengan kehadiran anion Cl dalam kasus baja tahan karat.
Gambar 2.3 Pitting corrotion (korosi sumuran)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15
2.7
PENCEGAHAN KOROSI
1. Metode Pelapisan (Coating) Metode pelapisan adalah suatu upaya mengendalikan korosi dengan menerapkan suatu lapisan pada permukaan logam besi. Misalnya, dengan pengecatan atau penyepuhan logam. Penyepuhan besi biasanya menggunakan logam krom atau timah. Kedua logam ini dapat membentuk lapisan oksida yang tahan terhadap karat (pasivasi) sehingga besi terlindung dari korosi. Pasivasi adalah pembentukan lapisan film permukaan dari oksida logam hasil oksidasi yang tahan terhadap korosi sehingga dapat mencegah korosi lebih lanjut. Logam seng juga digunakan untuk melapisi besi (galvanisir), tetapi seng tidak membentuk lapisan oksida seperti pada krom atau timah, melainkan berkorban demi besi. Seng adalah logam yang lebih reaktif dari besi, seperti dapat dilihat dari potensial setengah reaksi oksidasinya: Zn(s) → Zn2+(aq) + 2e–
Eo = –0,44 V
Fe(s) → Fe2+(g) + 2e–
Eo = –0,76 V
Oleh karena itu, seng akan terkorosi terlebih dahulu daripada besi. Jika pelapis seng habis maka besi akan terkorosi bahkan lebih cepat dari keadaan normal (tanpa seng). Paduan logam juga merupakan metode untuk mengendalikan korosi. Baja stainless steel terdiri atas baja karbon yang mengandung sejumlah kecil krom dan nikel. Kedua logam tersebut membentuk lapisan oksida yang mengubah potensial reduksi baja menyerupai sifat logam mulia sehingga tidak terkorosi. 2. Proteksi Katodik Proteksi katodik adalah metode yang sering diterapkan untuk mengendalikan korosi besi yang dipendam dalam tanah, seperti pipa ledeng, pipa pertamina, dan tangki penyimpan BBM. Logam reaktif seperti magnesium dihubungkan dengan pipa besi. Oleh karena logam Mg merupakan reduktor yang lebih reaktif dari besi, Mg akan teroksidasi terlebih dahulu. Jika semua logam Mg sudah menjadi oksida maka besi akan terkorosi. Proteksi katodik ditunjukkan pada Gambar 2.6.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
16
Gambar 2.4 Proses katodik dengan menggunakan logam Mg. Reaksi yang terjadi dapat ditulis sebagai berikut. Anode
: 2Mg(s) → 2Mg2+(aq) + 4e–
Katode
: O2 (g) + 2H2 O(l) + 4e– → 4OH– (aq)
Reaksi
: 2Mg(s) + O 2 (g) + 2H2 O → 2Mg(OH)2 (s)
Oleh sebab itu, logam magnesium harus selalu diganti dengan yang baru dan selalu diperiksa agar jangan sampai habis karena berubah menjadi hidroksidanya. (Agung, 2004) 2.8
LAJU KOROSI
Kecepatan korosi dapat dihitung dengan pertambahan berat persatuan waktu persatuan luas dapat juga dihitung dengan tebalnya oksidasi yang terbentuk persatuan waktu (Suhartanti,2005). Sering pula penunjukan korosi dibuat dengan grafik penambahan atau pengurangan berat sebagai fungsi dari waktu. Seperti yang digunakan oleh Neuveld (1999) untuk mengetahui tingkat laju korosi baja pada berbagai kondisi atau musim. Menurut Agung (2004) apabila data yang mempengaruhi tinggat korosivitas lingkungan atmosfir tidak tesedia maka dapat diprediksi dengan model matematik hubungan laju kososi dengan factor iklim dan polutan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17
Laju korosi merupakan suatu besaran cepat atau lambat suatu material bereaksi dengan lingkungannya dan mengalami korosi. Menurut Fontana (1987) dalam bukunya “Corrosion Engineering“ laju korosi dapat didefinikan dalam berbagai macam, seperti presentase kehilangan massa, milligram per sentimeter persegi per hari dan gram per inchi persegi per jam. Selainitu juga digunakan mils per year (mpy) yang menyatakan laju penetrasi serangan korosi. Menghitung
laju korosi
padaumumnya menggunakan 2 cara yaitu : 2.8.1
Metode Kehilangan Berat
Metode kehilangan berat adalah perhitungan laju korosi dengan mengukur kekurangan berat akibat korosi yang terjadi. Metode ini menggunakan jangka waktu penelitian hingga mendapatkan jumlah kehilangan akibat korosi yang terjadi. Menurut Graedel (2001), parameter yang digunakan untuk mengukur tingkatan rata-rata laju korosi dapat dihitung dengan persamaan berikut (Sumarji, 2012) : Laju korosi = (K . W) / (A . T . D) dengan : K
= ketetapan (dalam ASTM G-31-72,2004)
T
= waktu pengujian (jam)
W
= pengurangan berat (gr)
D
= kerapatan (g/cm3 )
A
= luas permukaan (cm2 )
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18
Tabel 2.1 Nilai ketetapan laju korosi (K) tiap laju korosi yang diinginkan Unit laju korosi yang diinginkan
Nilai ketetapan laju korosi (K)
Mil per tahun
3.45 x 106
Inchi per tahun
3,45 x 103
Inchi per bulan
2,87 x 102
Millimeter per tahun
8.76 x 104
Mikrometer per tahun
8.76 x 107
Gram per meter persegi per jam 1.00 x 104 x DA (g/m2 .h) (Sumber : Graedel 2001) 2.8.2
Metode Elektrokimia
Metode elektrokimia adalah metode mengukur laju korosi dengan mengukur `beda potensial objek hingga didapat laju korosi yang terjadi, metode ini mengukur laju korosi pada saat diukur saja dimana memperkirakan laju tersebut dengan waktu yang panjang (memperkirakan walaupun hasil yang terjadi antara satu waktu dengan waktu lainnya berbeda). Kelemahan metode ini adalah tidak dapat menggambarkan secara pasti laju korosi yang terjadi secara akurat karena hanya daoat mengukur laju korosi hanya pada waktu tertentu saja, sehingga secara umur pemakaian maupun kondisi untuk dapat ditratmen tidak dapat diketahui. Kelebihan metode ini adalah kita langsung mengetahui laju korosi pada saat diukur, hingga waktu pengukuran tidak memakan waktu yang lama.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19
2.9
POTENSIOSTAT
Untuk keperluan pengadaan informasi itu, dibutuhkan suatu piranti yang dapat mengukur secara kuantitatif. Piranti pengukur tersebut menggunakan komponen sistem data akuisisi yang berfungsi untuk mengambil dan menyimpan data pengukuran. Data hasil pengukuran itulah yang nantinya dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan baik dalam bentuk data mentah ataupun data kuantitatif yang telah divisualisasikan dalam bentuk grafik. Proses pengukuran dengan menggunakan sensor elektrokimia ini akan menggunakan metode cyclic voltammetry (P. Puranto, 2010). untuk mengukur besar arus yang dihasilkan dari proses transfer elektron antar elektroda dan larutan kimia selama pemberian tegangan pada elektroda dalam sebuah sel elektrokimia. Proses pengukuran ini dilakukan secara otomatis yang dikontrol dengan program perangkat lunak yang telah dibuat. Hasil akhir yang didapat setelah melakukan pengukuran dengan prototip ini, pengguna akan dapat melihat respon arus terhadap tegangan, yang disebut dengan kurva voltamogram siklik. Analisis kuantitatif akan dapat dilakukan dengan melihat kurva voltamogram tersebut. Metode
voltametrik
atau
polarography
atau
polarographic
analysis
merupakan metode elektroanalisis dimana informasi tentang analit diperoleh dari pengukuran arus fungsi potensial. Teknik pengukurannya dilakukan dengan cara mempolarisasikan elektroda kerja. Metode ini terkontrol. termasuk metode aktif karena pengukurannya berdasarkan potensial yang terkontrol.
Pengukuran ini
dilakukan dengan menerapkan suatu potensial kedalam sel elektrokimia, kemudian respon arus yang dihasilkan dari proses reaksi redoks diukur. Respon arus diukur pada daerah potensial yang telah ditentukan. Kemudian dibuat plot arus fungsi potensial yang disebut voltamogram siklik. Scan tegangan dengan metode voltametri siklik ini tentunya menghasilkan respon arus yang spesifik. Jika respon arus fungsi scan potensial ini digambarkan, maka akan berbentuk kurva voltamogram. Kurva voltamogram ini ditunjukan pada gambar.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20
Arus
Tega ng an
Va
Vb
Gambar 2.5 2.10
Kurva voltamogram typical dari electrode kimia reversible
SEM (Scanning Electron Microscope)
Dalam beberapa tahun terakhir ini, penelitian dan pengembangan paduan zirkonium dengan tambahan elemen-elemen Nb, Mo dan Ge dalam jumlah kecil khusus untuk material kelongsong bahan bakar nuklir telah dikembangkan di PSTBM-BATAN (Parikin, Bandriyana, A. H. 2013, Bandriyana, D. H. Prajitno, A. 2014, Parikin, A. Fajar, Ismoyo A.H., 2011). Salah satu parameter dan persyaratan terpenting pada bahan kelongsong yang perlu diteliti adalah ketahanan material terhadap korosi yang disebabkan proses oksidasi pada suhu tinggi, terlebih dalam kondisi kecelakaan dengan banyak kehilangan air pendingin (LOCA), situasi dengan integritas pembangkit nuklir harus tetap terjaga. Pada kondisi operasi suhu tinggi ketahanan oksidasi material yang baik ditentukan oleh kemampuan material dalam membentuk lapisan oksida yang dapat melindungi bahan dari proses oksidasi berlanjut atau bahkan kehancuran material yang dikenal dengan istilah Breakaway. Oksidasi temperatur tinggi merupakan proses kimia yang terjadi dalam skala mikroskopik. Proses pembentukan fasa oksidasi berikut fenomena yang menjadi ciri khas-nya seperti epitaxy, spinnel, dan metastability terjadi dalam ukuran yang lebih kecil dari panjang gelombang cahaya terlihat (A. Sujatno, 2015). Teknik karakterisasi konvensional yang berbasis pada panjang gelombang 650nm keatas, seperti mikroskop optik pada analisis metalografi tidak memiliki resolusi yang cukup untuk mendapatkan informasi ilmiah yang diharapkan. Oleh karena itu
diperlukan metode identifikasi dan karakterisasi lain yang dapat
memberikan resolusi yang lebih tinggi sehingga dapat memberikan bantuan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
21
“penglihatan” bagi para peneliti untuk dapat mengamati apa yang terjadi di dalam dan sekitar interface antara bahan dengan lapisan oksida secara detil atau bahkan secara In-Situ. Untuk keperluan tersebut, Scanning Electron Microscopy (SEM) dipahami sebagai teknik yang sesuai yang diterima dan diakui oleh komunitas peneliti material dunia, ini ditandai dengan diberikannya penghargaan Nobel terhadap para penemunya, Ernst Ruska dan Max Knoll. Identifikasi struktur mikro lapisan oksida dengan menggunakan SEM tidaklah sekedar pengambilan gambar dan fotografi, tetapi harus dilakukan dengan teknik dan metode operasi yang benar mengingat
proses pembentukan image pada alat ini
merupakan proses fisika yang merupakan interaksi korpuskular antara elektron sumber dengan atom bahan yang diamati. Meskipun sinyal data yang dihasilkan cukup kuat dibanding mikroskop optik atau XRD, tetapi karena
seringkali obyek
pengamatan yang terbilang kecil dan mengandung komponen non-konduktif, seperti lapisan pasivasi oksida pada permukaan, SEM dapat memberikan kontras yang relatif rendah terlebih pada perbesaran tinggi. Oleh karena itu SEM harus dioperasikan dengan pengaturan parameter elektron seperti high voltage, spot size, bias dan beam current juga parameter optik seperti kontras, fokus dan astigmatismus yang tepat sehingga diperoleh hasil gambar yang optimal secara ilmiah dan tidak memberikan interpretasi ganda. Selain itu, proses pengambilan gambar dan analisis kimia dengan SEM sangatlah dipengaruhi oleh jenis sampel berik ut cara penangannya serta teknik preparasinya disamping kemampuan operasional dari operator nya. Dalam Gambar 2.6 adalah skema diagram standar SEM JSM-6510LA dari fabrikan JEOL yang digunakan dalam penelitian ini dengan fasilitas analisis komposisi kimia berupa detektor sinar X. Komponen utama alat SEM ini pertama adalah tiga pasang lensa- lensa elektromagnetik yang berfungsi memfokuskan berkas elektron menjadi sebuah titik kecil, lalu oleh dua pasang scan coil discan-kan dengan frekuensi variabel pada permukaan sampel. Semakin kecil berkas difokuskan semakin besar resolusi lateral yang dicapai. Kesalahan fisika pada lensa- lensa elektromagnetik berupa astigmatismus dikoreksi oleh perangkat stigmator. SEM tidak memiliki sistem koreksi untuk kesalahan aberasi lainnya. Yang kedua adalah sumber elektron, biasanya berupa filamen dari bahan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
22
kawat tungsten atau berupa jarum dari paduan Lantanum Hexaboride LaB6 atau Cerium Hexaboride CeB6, yang dapat menyediakan berkas elektron yang teoretis memiliki energi tunggal (monokromatik), Ketiga adalah imaging detector, yang berfungsi mengubah sinyal elektron menjadi gambar/image. Sesuai dengan jenis elektronnya, terdapat dua jenis detektor dalam SEM ini, yaitu detektor SE dan detektor BSE.
Gambar 2.6. Blok diagram SEM Untuk menghindari gangguan dari molekul udara terhadap berkas elektron, seluruh jalur elektron (column) divakum hingga 10-6 torr. Tetapi kevakuman yang tinggi menyebabkan naiknya
sensitifitas
pendeteksian
alat
terhadap
non-
konduktifitas, yang menyulitkan analisis pada bahan bahan non-konduktif, seperti keramik dan oksida. Untuk mengatasi hal tersebut SEM ini memiliki opsi untuk dapat dioperasikan dengan vakum rendah, yang disebut Low-Vaccum Mode. Dengan teknik low vaccum kita dapat menganalisis bahan yang non konduktif sekalipun. Tekanan pada mode ini berkisar antara 30 hingga 70 Pa.
http://digilib.mercubuana.ac.id/