BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum Parkir didefinisikan sebagi tempat khusus bagi kendaraan untuk berhenti demi keselamatan. Parkir mempunyai tujuan yang baik, akses yang mudah dan jika seseorang tidak dapat memarkir kendaraannya, dia tidak bisa membuat suatu perjalanan. Jika parkir terlalu jauh dari tujuan maka orang akan beralih ke tempat lain. Sehingga tujuan utama adalah agar lokasi parkir sedekat mungkin dengan tujuan perjalanan antara 300 - 400 adalah jarak berjalan yang pada umumnya masih dianggap dekat (Tamin, 2000). Masalah parkir telah menimbulkan persoalan pelik di banyak kota besar karena keterbatasan ruang kota. Meskipun demikian, parkir justru dapat dimanfaatkan sebagai peluang dan potensi atau salah satu alat pengelola lalulintas kota. Parkir berkaitan erat dengan kebutuhan ruang, sedangkan sediaan ruang terutama di daerah perkotaan sangat terbatas tergantung pada luas wilayah kota, tata guna lahan, dan bagian wilayah kota. Yang mana, bila ruang parkir dibutuhkan di wilayah pusat kegiatan, maka sediaan lahan merupakan masalah yang sangat sulit, kecuali dengan mengubah sebagian peruntukannya. Jumlah kendaraan yang bertambah setiap tahun terutama jenis kendaraan pribadi jelas menjadi penyebab utama meningkatnya kebutuhan akan ruang parkir. Kota-kota lama yang dibangun sebelum era kendaraan bermotor pasti mengalami kesulitan untuk menyediakan lahan parkir tanpa pengorbanan besar, apalagi di pusat kegiatan kota. Setiap pelaku lalu lintas mempunyai kepentingan yang berbeda dan menginginkan fasilitas parkir sesuai dengan kepentingannya. Keinginan para pengguna parkir ini patut diperhatikan oleh penyedia tempat parkir dalam merencanakan dan merancang fasilitas parkir. Selain itu, lokasi tempat parkir dengan tempat yang dituju harus berada dalam jarak yang dapat dijangkau dengan berjalan kaki. Ketiadaan fasilitas parkir (pelataran atau gedung) di kawasan tertentu dalam kota, menyebabkan jalan menjadi tempat parkir, yang berarti mengurangi lebar 6
efektif jalan dan dengan sendirinya menurunkan kapasitas ruas jalan yang bersangkutan. Akibat selanjutnya adalah kemacetan lalu lintas (Warpani, 2002).
2.2
Jenis-jenis Tempat Parkir Jenis-jenis tempat parkir dapat dikelompokan menjadi beberapa bagian
antara lain berdasarkan penempatan dan jenis peruntukan. 2.2.1 Berdasarkan Penempatannya Menurut cara penempatannya terdapat dua cara penataan parkir yaitu : 1. Parkir di badan jalan (On Street Parking). Parkir di tepi jalan ini mengambil tempat disepanjang jalan, dengan atau tanpa melebarkan jalan. Parkir ini baik bagi pengunjung yang ingin dekat dengan tujuannya. Tetapi untuk lokasi dengan intensitas penggunaan lahan tinggi, cara ini kurang menguntungkan. Sistem parkir di badan jalan banyak dijumpai di kota-kota di Indonesia pada umumnya, karena beberapa keuntungan yang dimilikinya, antara lain : a. Tidak memerlukan biaya untuk membangun ruang parkir karena jalan sudah tersedia. b. Praktis, mudah dicapai oleh kendaraan dalam waktu yang relatif singkat. c.
Pada umumnya, pusat kegiatan dan daya tarik perkotaan mengumpul di sepanjang jaringan jalan.
Walaupun demikian, akibat yang merugikan kurang disadari. Kerugian tersebut antara lain : a. Berkurangnya kapasitas jalan. b. Menyebabkan kemacetan lalu lintas. c. Mengurangi kenyamanan mengemudi. 2. Parkir di luar badan jalan (Off Street Parking). Parkir di luar badan jalan mempunyai dua bentuk yaitu : a.
Pelataran parkir. Suatu bentuk parkir berupa ruang terbuka atau pelataran khusus yang disediakan untuk parkir kendaraan. Keuntungan bentuk parkir semacam ini adalah tidak mengganggu (gangguan kecil) 7
terhadap lalu lintas dan faktor keamanan lebih terjamin baik kecelakaan maupun kendaraannya. Kerugiannya adalah sulitnya mencari lahan di daerah pusat kota, jika ada harganya pasti mahal, jauh dari pusat kegiatan dan tentu membutuhkan jalan kaki yang cukup jauh. b. Bangunan parkir. Bentuk penyediaan parkir berupa parkir di bangunan. Bentuk bangunan ini dapat berupa parkir diatap bangunan, di bawah tanah maupun bangunan bertingkat yang disediakan khusus untuk parkir kendaraan. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi dalam pengembangan parkir digedung parkir yaitu : i.
Tersedia tata guna lahan.
ii.
Memenuhi
persyaratan
konstruksi
dan
perundang-
undangan yang berlaku. iii.
Tidak mencemarkan lingkungan.
iv.
Memberi kemudahan bagi pengguna jasa.
2.2.2 Berdasarkan Jenis Peruntukan Parkir Berdasarkan jenis peruntukan parkir dapat dikelompokan sebagai berikut : 1. Untuk kegiatan parkir yang tetap. a. Pusat perdagangan. b. Pusat perkantoran swasta atau pemerintahan. c. Pusat perdagangan eceran atau pasar swalayan. d. Pasar. e. Sekolah. f. Tempat rekreasi. g. Hotel, dan tempat penginapan. h. Rumah sakit. 2. Untuk kegiatan parkir yang bersifat sementara. a. Bioskop. b. Tempat pertunjukan. c. Tempat pertandingan olahraga. 8
2.3
Standar Kebutuhan Ruang Parkir Standar kebutuhan parkir adalah jumlah luas areal parkir yang dibutuhkan
untuk menampung kendaraan berdasarkan fasilitas dan tata guna lahan. Kebutuhan parkir ini berbeda-beda untuk setiap jenis dan fungsi tata guna lahan, daerah/kawasan pada suatu negara, sehingga adanya penelitian mengenai parkir ini sangat perlu untuk mendapatkan standar kebutuhan parkir sesuai hal tersebut. Diharapkan dengan menggunakan data hasil parkir akan didapatkan gambaran mengenai kebutuhan parkir yang lebih akurat. Dalam beberapa keadaan untuk mengetahui kebutuhan ruang parkir adalah dengan cara menggunakan angka kebutuhan yang sudah disesuaikan terhadap lahan yang berbeda (Warpani, 1990). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 2.1 Kebutuhan ruang parkir untuk guna lahan tertentu Luas untuk parkir Guna lahan Kawasan tempat kerja, usaha, daerah perdagangan jasa.
1/4 dari luas lantai bangunan.
Untuk kawasan industri ringan, industri berat.
1/8 dari luas lantai bangunan.
Bangunan pasar.
Sama dengan luas lantai pasar.
Tempat tinggal untuk umum: hotel, losmen, dan sejenisnya.
Tiap kamar ada 1 (satu) petak parkir.
Sumber: Perda Tingkat I Bali, 1997, pasal 32.
2.4
Satuan Ruang Parkir (SRP) Satuan Ruang Parkir (SRP) adalah ukuran luas efektif untuk kebutuhan satu
kendaraan termasuk ruang bebas dan bukaan pintu mobil. Satuan ruang parkir (SRP) digunakan untuk mengukur kapasitas ruang parkir. Untuk ruang bebas kendaraan parkir diberikan pada arah lateral dan longitudinal kendaraan. Ruang bebas arah lateral ditetapkan pada saat posisi pintu kendaraan terbuka yang diukur dari ujung paling luar pintu ke badan kendaraan parkir yang ada disampingnya. Ruang bebas arah memanjang diberikan didepan kendaraan untuk menghindari dengan dinding atau kendaraan yang lewat jalur gang. Untuk lebar bukaan pintu merupakan fungsi karakteristik pemakai kendaraan yang memanfaatkan fasilitas 9
parkir. Jadi untuk menentukan satuan ruang parkir (SRP) didasarkan atas pertimbangan: 1. Dimensi kendaraan standar untuk mobil penumpang. 2. Ruang bebas kendaraan parkir. 3. Lebar bukaan pintu kendaraan.
Berikut ini adalah gambar Satuan Ruang Parkir (SRP) tersebut :
Bp Keterangan : Bp = Lebar SRP. Lp = Panjang SRP.
SRP
Lp
Gambar 2.1 Satuan ruang parkir (SRP)
Penentuan Satuan Ruang Parkir (SRP) dibagi atas tiga jenis kendaraan seperti yang ada pada tabel berikut ini: Tabel 2.2 Penentuan satuan ruang parkir (SRP). Jenis kendaraan 1. a. Mobil penumpang untuk golongan I
Satuan ruang parkir (m²) 2,30 x 5,00
b. Mobil penumpang untuk golongan II
2,50 x 5,00
c. Mobil penumpang untuk golongan III
3,00 x 5,00
2. Bus/truk
3,40 x 12,50
3. Sepeda motor
0,75 x 2,00
Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1996
10
Mobil penumpang diklasifikasikan menjadi tiga golongan yang didasarkan atas lebar bukaan pintu kendaraan yang didapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 2.3 Lebar bukaan pintu kendaraan. Penggunaan dan/atau Gol. peruntukan fasilitas parkir Karyawan/pekerja kantor Tamu/pengunjung pusat Pintu depan/belakang terbuka tahap I kegiatan perkantoran, awal 55 cm perdagangan, pemerintah, universitas Pengunjung tempat olahraga, pusat Pintu depan/belakang terbuka hiburan/rekreasi, hotel, II penuh 75 cm pusat perdagangan eceran, swalayan, rumah sakit, dan bioskop Pintu depan terbuka penuh dan III ditambahkan untuk pergerakan Orang cacat kursi Jenis bukaan pintu
Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1996.
2.5
Inventarisasi Fasilitas Parkir Untuk keteraturan kendaraan yang parkir biasanya kendaraan ditempatkan
pada kotak-kotak parkir (stall) yang sudah disediakan. Kotak-kotak parkir ini digambarkan secara khusus pada lantai parkir kendaraan sehingga dapat dilihat secara jelas dan mudah. Inventarisasi fasilitas parkir dalam studi parkir selalu dimulai dari keadaan yang ada sekarang. Inventarisasi fasilitas parkir berguna untuk mengetahui jumlah petak parkir yang ada pada daerah studi, yang berkaitan dengan kapasitas parkir. Pada pelataran parkir yang tidak terdapat marka dari petak parkir, maka untuk menentukan ukuran petak parkir dipakai standar fasilitas parkir (Warpani, 1990).
2.5.1 Pola Parkir Untuk melakukan suatu kebijakan yang berkaitan dengan parkir, terlebih dahulu dipikirkan pola parkir yang akan diimplementasikan. Pola parkir tersebut akan baik apabila sesuai dengan kondisi yang ada. Pola parkir tersebut adalah sebagai berikut (Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1996): 11
1. Pola parkir paralel. Pola parkir ini menampung kendaraan lebih sedikit dibandingkan dengan pola parkir bersudut.
Akses Gedung
6m
0.2 m
6m 2.3 m (min)
5m E Akhir persimpangan
Gambar 2.2 Pola parkir paralel Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1996
2. Pola parkir bersudut a. Membentuk sudut 30º, 45º, 60º. Pola parkir ini mempunyai daya tampung lebih banyak jika dibandingkan dengan pola parkir paralel. Kemudahan dan kenyamanan pengemudi melakukan manuver masuk dan keluar keruangan parkir lebih besar jika dibandingkan dengan pola parkir dengan sudut 90º. b. Membentuk sudut 90º Pola parkir ini mempunyai daya tampung lebih banyak jika dibandingkan dengan pola parkir paralel. Tetapi kemudahan dan kenyamanan pengemudi melakukan manuver masuk dan keluar ke ruangan parkir lebih sedikit jika dibandingkan dengan sudut yang lebih kecil dari 90º.
Untuk jenis mobil penumpang, pola parkir yang membentuk sudut dapat dilihat pada Gambar 2.3, 2.4, 2.5, dan Gambar 2.6.
12
Pola parkir dengan sudut 30º.
12 m
B
9m
0.2 m
30°
D
A C
E
Gambar 2.3 Pola parkir dengan sudut 30º Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1996
Keterangan: Mobil penumpang Golongan I Golongan II Golongan III
A (m) 2,3 2,5 3,0
B (m) 4,6 5,0 6,0
C (m) 3,45 4,30 5,35
D (m) 4,70 4,85 5,0
E (m) 7,6 7,75 7,9
Pola parkir dengan sudut 45º.
12 m
B
9m
0.2 m
45°
A
D
E
A
C
Gambar 2.4 Pola parkir dengan sudut 45º Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1996
Keterangan: Mobil penumpang Golongan I Golongan II Golongan III
A (m) 2,3 2,5 3,0
B (m) 3,5 3,7 4,5
C (m) 2,5 2,6 3,2
D (m) 5,6 5,65 5,75
E (m) 9,3 9,35 9,45
13
Pola parkir dengan sudut 60º.
12 m
B
9m
0.2 m
60°
D
A
E
C
Gambar 2.5 Pola parkir dengan sudut 60º Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1996
Keterangan: Mobil penumpang Golongan I Golongan II Golongan III
A (m) 2,3 2,5 3,0
B (m) 2,9 3,0 3,7
C (m) 1,45 1,5 1,85
D (m) 5,95 5,95 6,0
E (m) 10,55 10,55 10,6
Pola parkir dengan sudut 90º.
12 m
B
9m
0.2 m
90°
A
D
E
Gambar 2.6 Pola parkir dengan sudut 90º Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1996
Keterangan : Mobil penumpang Golongan I Golongan II Golongan III
A (m) 2,3 2,5 3,0
B (m) 2,3 2,5 3,0
C (m) -
D (m) 5,4 5,4 5,4
E (m) 11,2 11,2 11,2
Dimana: A = Lebar ruang parkir (meter). B = Lebar kaki ruang parkir (meter). C = Selisih panjang ruang parkir (meter). 14
De = Ruang parkir efektif (meter). Dm = Ruang manuver (meter). E = Ruang parkir efektif ditambah ruang manuver (meter).
Sedangkan untuk sepeda motor, penentuan pola petak parkir dapat dilihat pada Gambar 2.7 (Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1996): 0.7 m 0.7 m 0.7 m 0.7 m 0.7 m 0.7 m 0.7 m
2.0 m
Gambar 2.7 Pola parkir untuk sepeda motor 2.5.2 Penentuan Sudut Parkir Bermacam-macam hal yang perlu diperhatikan pada suatu badan jalan, dimana hal-hal tersebut menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan sudut parkir. Hal-hal yang menjadi pertimbangan yang secara umum digunakan adalah sebagai berikut : a. Lebar jalan. b. Volume lalu lintas. c. Karakteristik kecepatan. d. Dimensi kendaraan. e. Sifat peruntukan lahan sekitarnya dan peranan jalan yang bersangkutan. Dalam penentuan sudut parkir pada suatu badan jalan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dimana perbedaan tersebut dikarenakan oleh fungsi jalan dan arah gerak lalu lintas pada jalan yang bersangkutan. Seperti yang ditunjukan pada Tabel 2.4, 2.5, dan 2.6.
15
Tabel 2.4 Lebar minimum jalan lokal primer satu arah untuk parkir pada badan jalan Kriteria parkir Sudut parkir
Lebar Ruang ruang parkir parkir efektif (A) (D) m m
Satu lajur
Ruang manuver (M) m
D+M
Lebar jalan D + M – J efektif (L) m
Dua lajur
Lebar total jalan (W) m
Lebar jalan efektif (L) m
Lebar total jalan (W) m
0º
2,3
2,3
3,0
5,3
2,8
3
5,8
6,0
8,8
30º
2,5
4,5
2,9
7,4
4,9
3
7,9
6,0
10,9
45º
2,5
5,1
3,7
8,8
6,3
3
9,3
6,0
12,3
60º
2,5
5,3
4,6
9,9
7,4
3
10,4
6,0
13,4
90º
2,5
5,0
5,8
10,8
8,3
3
11,3
6,0
14,3
Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1996.
Tabel 2.5 Lebar minimum jalan lokal sekunder satu arah untuk parkir pada badan jalan Dua lajur Kriteria parkir Satu lajur Sudut parkir
Lebar total jalan (W) m
Lebar jalan efektif (L) m
Lebar total jalan (W) m
2,5
5,3
5,0
7,8
4,9
2,5
7,4
5,0
9,9
8,8
6,3
2,5
8,8
5,0
11,3
4,6
9,9
7,4
2,5
9,9
5,0
12,4
5,8
10,8
8,3
2,5
10,8
5,0
13,3
Lebar ruang parkir (A) m
Ruang parkir efektif (D) m
Ruang manuver (M) m
Lebar jalan D + M – J efektif (L) m
D+M
0º
2,3
2,3
3,0
5,3
2,8
30º
2,5
4,5
2,9
7,4
45º
2,5
5,1
3,7
60º
2,5
5,3
90º
2,5
5,0
Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1996.
16
Tabel 2.6 Lebar minimum jalan kolektor satu arah untuk parkir pada badan jalan Kriteria parkir Sudut parkir
Satu lajur
Dua lajur
Lebar total jalan (W) m
Lebar jalan efektif (L) m
Lebar total jalan (W) m
3,5
6,3
7,0
9,8
4,9
3,5
8,4
7,0
11,9
8,8
6,3
3,5
9,8
7,0
13,3
4,6
9,9
7,4
3,5
10,9
7,0
14,4
5,8
10,8
8,3
3,5
11,8
7,0
15,3
Lebar ruang parkir (A) m
Ruang parkir efektif (D) m
Ruang manuver (M) m
Lebar jalan D + M – J efektif (L) m
D+M
0º
2,3
2,3
3,0
5,3
2,8
30º
2,5
4,5
2,9
7,4
45º
2,5
5,1
3,7
60º
2,5
5,3
90º
2,5
5,0
Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1996.
Sebagai salah satu contoh parkir kendaraan yang disertai dengan dimensi yang ada dapat dilihat pada Gambar 2.8 (Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1996).
L M
W
D
J
A Kereb
Gambar 2.8 Ruang Parkir Pada Badan Jalan
Dimana: A = Lebar ruang parkir (meter). D = Ruang parkir efektif (meter). M = Ruang manuver (meter). J = Lebar pengurangan ruang manuver (meter). W = Lebar total jalan (meter). L = Lebar jalan efektif (meter). 17
2.6
Karateristik Parkir Karakteristik Parkir merupakan suatu sifat-sifat dasar yang dapat
memberikan penilaian terhadap pelayanan parkir dan permasalahan parkir yang terjadi pada daerah studi (Hobbs, 1995). Berdasarkan hasil dari karakteristik parkir ini, akan dapat diketahui kondisi perparkiran yang terjadi pada daerah studi yang meliputi: volume parkir, akumulasi parkir, rata-rata lamanya parkir, tingkat pergantian parkir, kapasitas parkir, penyediaan ruang parkir, dan indeks parkir.
2.6.1 Volume Parkir Volume parkir adalah merupakan jumlah dari keseluruhan kendaraan yang menggunakan ruang parkir pada suatu lahan parkir tertentu dalam satu satuan waktu. Waktu yang digunakan kendaraan untuk parkir, dalam menit atau jam untuk menyatakan lamanya parkir. Data volume parkir diperlukan untuk mengetahui intensitas penggunaan ruang parkir yang ada dilokasi penelitian.
2.6.2 Akumulasi Parkir Akumulasi parkir adalah merupakan jumlah seluruh dari kendaraan yang parkir
di suatu tempat pada waktu tertentu dan dapat dibagi sesuai dengan
kategori jenis maksud perjalanan, dimana integrasi dari akumulasi parkir selama periode tertentu menunjukan beban parkir/jumlah kendaraan parkir dalam satuan jam kendaraan per periode waktu tertentu. Akumulasi parkir dapat dijadikan ukuran kebutuhan ruang parkir di lokasi penelitian.
2.6.3 Rata-rata Lama Waktu Parkir Rata-rata lama waktu parkir adalah lamanya suatu kendaraan berada pada suatu parkir tertentu. Suatu ruang parkir akan mampu melayani lebih banyak kendaraan jika waktu parkirnya singkat dibandingkan dengan ruang parkir yang digunakan parkir oleh kendaraan dalam waktu yang lama. Menurut waktu yang digunakan untuk parkir, maka parkir dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Parkir waktu singkat yaitu pemarkir mempergunakan ruang parkir kurang dari satu jam.
18
b. Parkir waktu sedang yaitu pemarkir mempergunakan ruang parkir antara satu sampai empat jam dan untuk keperluan belanja. c. Parkir waktu lama yaitu pemarkir mempergunakan ruang parkir lebih dari empat jam dan biasanya untuk keperluan kerja. Persamaan yang dapat dipakai (Oppenlender, 1976): D
Nx . X . I Nt
(2.1)
Dimana: D
= Rata-rata lamanya parkir (jam/kendaraan).
Nx = Jumlah kendaraan yang parkir selama x interval (kendaraan). X
= Jumlah interval parkir.
I
= Lamanya waktu setiap interval (jam).
Nt = Jumlah total kendaraan selama waktu survei (kendaraan).
2.6.4 Tingkat Pergantian Parkir (Parking Turn Over) Tingkat pergantian parkir adalah menunjukan tingkat penggunaan ruang parkir dan diperoleh dengan membagi jumlah total kendaraan yang parkir dengan jumlah petak yang ada pada periode waktu tertentu. Persamaan yang dapat dipakai (Oppenlender, 1976): TR
Nt S . Ts
(2.2)
Dimana: TR = Angka pergantian parkir (kendaraan/SRP/Jam). Nt = Jumlah total kendaraan selama waktu survei (kendaraan). S
= Jumlah petak parkir yang ada (SRP).
Ts = Lamanya waktu survei (jam).
2.6.5 Kapasitas Parkir Kapasitas parkir merupakan banyaknya kendaraan yang dapat dilayani oleh suatu lahan parkir selama waktu pelayanan. Kapasitas parkir dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
19
KP
S D
(2.3)
Dimana: KP = Kapasitas parkir (kendaraan/jam). S
= Jumlah petak parkir yang ada (SRP).
D
= Rata-rata lamanya parkir (kendaraan/jam).
2.6.6 Indeks parkir Indeks parkir adalah perbandingan antara akumulasi dengan kapasitas parkir. Indeks parkir ini dipergunakan untuk mengetahui apakah jumlah petak parkir tersedia di lokasi penelitian memenuhi atau tidak untuk menampung kendaraan yang parkir. Indeks parkir dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: IP
IP > 100%
Akumulasi Parkir Kapasitas Parkir
(2.4)
Artinya kebutuhan parkir melebihi daya tampung yang ada atau terjadi masalah parkir.
IP = 100%
Artinya kebutuhan parkir seimbang dengan daya tampung yang ada atau normal.
IP < 100%
Artinya kebutuhan parkir masih dibawah daya tampung yang ada atau tidak ada masalah parkir.
Besarnya indeks parkir yang tertinggi didapat dari perbandingan antara akumulasi parkir terbanyak dengan kapasitas parkir. Nilai indeks parkir yang paling tinggi ini dipakai sebagai dasar untuk menganalisis kebutuhan fasilitas ruang parkir (Warpani, 2002).
2.7 Kebijakan Parkir Perparkiran merupakan bagian penting dalam manajemen lalu lintas, untuk itu diperlukan dukungan kebijakan perparkiran yang harus dilakukan secara konsisten dan teratur. Sasaran utama kebijakan tersebut adalah pengendalian wilayah, meningkatkan fungsi dan peranan jalan serta keselamatan lalu lintas.
20
Bila permintaan terhadap parkir meningkat dan tidak mungkin untuk memenuhinya
maka
sudah
tentu
mempertimbangkan
penerapan
suatu
kebijaksanaan untuk mengendalikannya. Adapun kebijakan parkir tersebut antara lain: kebijakan melarang parkir, kebijakan membatasi parkir, manajemen parkir.
2.7.1 Kebijakan larangan parkir Ada dua macam larangan parkir yaitu larangan berdasarkan tempat, dan larangan parkir berdasarkan waktu. Adapun tempat-tempat tertentu tersebut adalah sebagai berikut: a. Pada daerah dimana kapasitas lalu lintas diperlukan, dimana lebar jalan secara keseluruhan dibutuhkan untuk mengalirkan arus lalu lintas. b. Pada daerah dimana akses jalan masuk ke lahan sekitarnya diperlukan. c. Di dalam daerah persimpangan dengan jarak minimum absolut 10 meter. Jarak-jarak
ini
dikombinasikan
dengan
pertimbangan
terhadap
keselamatan (jarak pandangan), pembatasan kapasitas (pengurangan lebar jalan), dan lintasan membelok dari kendaraan-kendaraan besar. d. Pada jalan yang sempit yang lebarnya kurang dari 6 meter, dan mengijinkan parkir hanya pada 1 sisi jalan saja untuk jalan-jalan dengan lebar 6-9 meter. e. Dalam jarak 6 meter dari suatu penyeberangan pejalan kaki. f. Pada jembatan dan terowongan. g. Dalam jarak 6 meter dari sumber air (hidrant) pemadam kebakaran. h. Selanjutnya ”parkir ganda” atau parkir diatas trotoar tidak diperbolehkan. i. Larangan parkir pada tempat-tempat rawan macet.
Sedangkan untuk larangan parkir berdasarkan waktu diterapkan pada daerah-daerah yang terjadi kemacetan pada jam-jam tertentu. Sehingga pada jamjam tersebut larangan parkir benar-benar harus diberlakukan untuk mengurangi terjadinya kemacetan.
21
2.7.2 Kebijakan membatasi parkir Menerapkan pembatasan kegiatan parkir merupakan salah satu dari kebijakan parkir. Pembatasan kegiatan parkir ini dilakukan terhadap parkir di badan jalan ataupun pada parkir di luar badan jalan, yang diterapkan terutama di jalan-jalan utama dan di pusat-pusat kegiatan serta di jalan-jalan yang bermasalah akibat adanya parkir. Adapun kebijakan parkir yang diambil yang erat kaitannya dengan pembatasan lalu lintas antara lain: a. Mengendalikan penyediaan tempat parkir swasta dan pemerintah. b. Mengendalikan penetapan biaya parkir swasta dan biaya parkir pemerintah. c. Mengurangi penggunaan fasilitas parkir dalam jangka panjang dan mendorong penggunaan parkir dalam waktu singkat. d. Membangun gedung atau taman parkir di lokasi yang ideal. e. Melarang parkir, terutama pada periode sibuk pada jalan-jalan tertentu. f. Mewajibkan bangunan-bangunan umum untuk menyediakan fasilitas parkir.
2.7.3 Manajemen Parkir Arti manajemen secara umum adalah pengaturan. Jadi manajemen parkir berarti pengaturan dibidang perparkiran. Aktivitas parkir di badan jalan akan membawa konsekuensi penyediaan fasilitas parkir di luar badan jalan, dimana pengelolaan fasilitas parkir di luar badan jalan tersebut akan diusahakan oleh pemerintah daerah atau pihak swasta. Di sisi lain aktivitas parkir, baik yang berada di badan jalan ataupun di luar badan jalan dapat menjadi sumber pendapatan daerah yang potensial apabila dikelola secara baik. Bila permintaan parkir meningkat dan tidak mungkin untuk memenuhinya atau parkir yang dilakukan di pinggir jalan mengakibatkan gangguan terhadap kelancaran lalu lintas ataupun untuk membatasi arus lalu lintas menuju kawasan tertentu, maka perlu untuk mempertimbangkan penerapan suatu manajemen parkir guna mengendalikannya. Kebijakan ini diberlakukan pada parkir di badan jalan (on street parking) dan parkir di luar badan jalan (off street parking). Manajemen parkir dilakukan dengan menerapkan kebijakan tarif parkir. Penerapan kebijakan ini dimaksudkan 22
untuk menentukan tarif parkir yang tepat, sehingga retribusi parkir merupakan alat (tools) untuk pengendalian pemakaian kendaraan pribadi serta mengurangi kemacetan lalu lintas, misalnya dengan menerapkan kebijakan sebagai berikut: a. Level tarif parkir pada jaringan jalan yang rawan macet lebih tinggi dari jaringan jalan lain yang tidak rawan macet. b. Penerapan level tarif parkir didasarkan pada zona, artinya tarif parkir di pusat kota lebih besar daripada zona wilayah antara dan luar kota.
2.8 Pengendalian Parkir Pengendalian parkir bertujuan untuk mengurangi masalah parkir seperti kemacetan serta berkurangnya sistem jaringan jalan. Pada jalan menuju pusat kota akan lebih besar hambatan akibat parkir dan kebutuhan parkir, dibandingkan dengan diluar pusat kota. Bila pemintaan parkir (demand) melampaui penyediaan ruang parkir (supply), maka peranan ruang, waktu, dan ongkos parkir (tarif) sebagai wacana pengendalian parkir sangat berpengaruh. Pengendalian parkir pada tempat rawan macet, lebih ditekankan pada: a. Pembatasan lokasi/ruang parkir, dimaksudkan untuk mengendalikan arus lalu lintas kendaraan pribadi ke suatu daerah tertentu, atau untuk membebaskan koridor/kawasan tertentu dari pengaruh parkir untuk tujuan kelancaran arus lalu lintas. b. Pembatasan dan pengendalian waktu parkir yang dilakukan pada jam-jam sibuk. c. Penetapan tarif optimal dapat dilakukan dengan menaikkan tarif parkir. d. Pembatasan wilayah parkir pada sistem jaringan jalan.
2.8.1 Alat Pengendalian Parkir Pembatasan-pembatasan parkir khususnya di jalan biasanya menurut lokasi dan waktunya, tetapi hal ini memerlukan penegakan dan penindakan yang tegas. Metode-metode pengendalian yang umum dilakukan adalah:
23
a. Sistem karcis Para pengemudi yang akan memarkir kendaraannya mendapatkan karcis dari juru parkir, pada karcis dituliskan jam masuk ke ruang parkir dan nomor pelat kendaraan. b. Alat pengukur karcis Terdiri dari jam pengukur waktu, dimana jam berfungsi untuk mengukur lamanya parkir. c. Sistem kartu dan disk Dengan sistem ini pemilik kendaran diminta untuk menyerahkan kartu/disk yang memperlihatkan waktu kedatangan kendaraan. Peraturan setempat akan menentukan batas waktu kendaraan tersebut diijinkan menunggu/parkir.
2.9 Arus dan Komposisi Lalu Lintas Nilai arus lalu lintas (Q) mencerminkan komposisi lalu lintas, dengan menyatakan arus dalam satuan mobil penumpang (smp). Semua nilai arus lalu lintas (per arah dan total) diubah menjadi satuan mobil penumpang (smp) dengan menggunakan ekivalensi mobil penumpang (emp) yang diturunkan secara empiris. Untuk tipe kendaraan berikut: 1. Kendaraan Ringan (LV) meliputi: mobil penumpang, opelet, mikrobis, pick-up, dan truk kecil. 2. Kendaraan Berat (HV) meliputi: truk dan bus. 3. Sepeda Motor (MC) meliputi kendaraan bermotor beroda dua atau termasuk sepeda motor dan skuter. 4. Kendaraan tak Bermotor (UM) yaitu kendaraan yang beroda yang menggunakan tenaga manusia atau hewan yang termasuk sepeda, beca, kereta kuda dan gerobak/kereta dorong. Untuk kendaraan ringan (LV), nilai (emp) selalu 1,0. Ekivalensi mobil penumpang (emp) untuk jalan perkotaan dapat dilihat pada Tabel 2.7 dan Tabel 2.8
24
Tabel 2.7 Emp untuk jalan perkotaan tak-terbagi Tipe jalan : Jalan tak terbagi
Dua-lajur tak terbagi (2/2 UD) Empat-lajur tak terbagi (4/2 UD)
Arus lalulintas total dua arah
emp HV
(kend/jam) 0
1,30
≥ 1800 0
1,20 1,30
≥ 3700
MC Lebar jalur lalu-lintas Cw (m) ≤6 >6 0,50 0,40 0,35
0,25 0,40
1,20
0,25
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997
Tabel 2.8 Emp untuk jalan perkotaan terbagi Tipe jalan : Jalan satu arah dan jalan terbagi Dua-lajur satu-arah (2/1) dan Empat-lajur terbagi (4/2D) Tiga-lajur satu-arah (3/1) dan Enam-lajur terbagi (6/2D)
emp
Arus lalulintas per lajur (kend/jam)
HV
MC
0
1,3
0,40
≥1050 0
1,2 1,3
0,25 0,40
≥1100
1,2
0,25
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997
2.10 Kapasitas jalan Kapasitas jalan adalah arus lalu lintas maksimum yang dapat dialirkan pada suatu ruas jalan pada kondisi lalu lintas, geometrik jalan dan lingkungan yang ada. Evaluasi mengenai kapasitas bukan saja bersifat mendasar pada permasalahan pengoperasian dan perancangan lalu lintas tetapi juga dihubungkan dengan aspek keamanan. Kapasitas merupakan ukuran kinerja (performance), pada kondisi yang bervariasi yang dapat diterapkan pada kondisi tertentu. Kapasitas dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp) sebagai berikut: C = CO . FCW . FCSP . FCSF . FCCS
(2.5)
Dimana: C
= Kapasitas jalan sesungguhnya (smp/jam). 25
CO
= Kapasitas dasar (smp/jam).
FCW
= Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas.
FCSP = Faktor penyesuaian pemisah arah. FCSF = Faktor penyesuaian hambatan samping. FCSF = Faktor penyesuaian ukuran kota.
2.10.1 Kapasitas Dasar Kapasitas dasar (base capacity) merupakan kapasitas pada kondisi ideal. Kapasitas dasar jalan lebih dari empat lajur (banyak lajur) dapat ditentukan dengan menggunakan kapasitas per lajur. Tabel 2.9 Kapasitas dasar Tipe jalan
Kapasitas dasar (smp/jam)
Catatan
1650
Per lajur
Empat lajur terbagi atau jalan satu arah
1500
Per lajur
Empat lajur tak terbagi Dua lajur tak terbagi
2900
Total dua arah
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997
2.10.2 Faktor Penyesuaian Lebar Jalur Lalu Lintas Untuk Jalan Perkotaan (FCW) Penentuan penyesuaian untuk lebar jalur lalu lintas (FCW) berdasarkan lebar jalur lalu lintas efektif (WC). Faktor penyesuaian kapasitas untuk jalan lebih dari empat lajur dapat ditentukan dengan menggunakan nilai per lajur yang diberikan untuk jalan empat lajur.
26
Tabel 2.10 Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas untuk jalan perkotaan (FCW) Tipe jalan
Empat lajur terbagi atau jalan satu arah
Empat lajur tak terbagi
Dua lajur tak terbagi
Lebar jalur lalu lintas efektif (WC) (m) Per lajur 3,00 3,25 3,50 3,75 4,00 Per lajur 3,00 3,25 3,50 3,75 4,00 Total dua arah 5 6 7 8 9 10 11
FCW 0,92 0,96 1,00 1,04 1,08 0,91 0,95 1,00 1,05 1,09 0,56 0,87 1,00 1,14 1,25 1,29 1,34
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997
2.10.3 Faktor Penyesuaian Pemisah Arah (FCSP) Untuk menentukan penyesuaian pemisah arah (FCSP) untuk jalan dua lajur dua arah (2/2) dan empat lajur dua arah (4/2) tak terbagi terdapat pada Tabel 2.11 berikut: Tabel 2.11 Faktor penyesuaian pemisah arah (FCSP) Pemisah arah SP %-% FCSP
50-50
60-40
70-30
80-20
90-10
100-0
Dua lajur 2/2
1,00
0,94
0,88
0,82
0,76
0,70
Empat lajur 4/2
1,00
0,97
0,94
0,91
0,88
0,85
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997
Untuk jalan terbagi dan jalan satu arah, faktor penyesuaian kapasitas untuk pemisah arah tidak dapat diterapkan dan nilainya 1,0.
27
2.10.4 Faktor Penyesuaian Hambatan Samping dan Bahu Jalan/Kereb (FCSF) Hambatan samping yang berpengaruh pada kapasitas dan kinerja jalan perkotaan adalah: a. Jumlah pejalan kaki berjalan atau menyeberang sepanjang segmen jalan, memiliki faktor bobot sebesar 0,5. b. Jumlah kendaraan berhenti dan parkir, memiliki faktor bobot sebesar 1,0. c. Jumlah kendaraan bermotor yang masuk dan keluar ke/dari lahan samping jalan dan jalan sisi, memiliki faktor bobot sebesar 0,7. d. Arus kendaraan yang bergerak lambat, yaitu arus total (kend./jam) dari sepeda, becak, delman, pedati, traktor, dan sebagainya memiliki faktor bobot sebesar (0,4). Untuk menyederhanakan peranannya dalam prosedur perhitungan, tingkat hambatan samping telah dikelompokan dalam lima kelas dari sangat rendah sampai sangat tinggi sebagai fungsi dari frekuensi kejadian hambatan samping sepanjang segmen jalan yang diamati. Adapun kelas hambatan samping pada suatu ruas jalan dapat dilihat pada Tabel 2.12 berikut ini: Tabel 2.12 Kelas hambatan samping Kelas hambatan samping (SFC)
Kode
Jumlah berbobot kejadian per 200 m per jam (dua sisi)
Sangat rendah
VL
< 100
Kondisi khusus Daerah pemukiman; jalan samping tersedia. Daerah pemukiman;
Rendah
L
100 - 299
beberapa kendaraan umum dsb.
Sedang
M
300 - 499
Tinggi
H
500 - 899
Sangat tinggi
VH
> 900
Daerah industri; beberapa toko di sisi jalan. Daerah komersial; aktivitas sisi jalan tinggi. Daerah komersial; aktivitas pasar di samping jalan.
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997
28
Jika data terinci hambatan samping tidak tersedia, kelas hambatan samping dapat ditentukan dengan memeriksa uraian tentang “kondisi khusus” dari Tabel 2.10 dan pilih salah satu yang paling tepat untuk keadaan segmen jalan yang dianalisis. Dalam menentukan faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan bahu jalan/kereb (FCSF) dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu: 1. Jalan dengan bahu Faktor penyesuaian kapasitas untuk pengaruh hambatan samping dan bahu jalan (FCSF) pada jalan pertokoan dapat dilihat pada Tabel 2.13 berikut: Tabel 2.13 Faktor penyesuaian kapasitas untuk pengaruh hambatan samping dan bahu jalan (FCSF) untuk jalan perkotaan Faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan lebar Kelas bahu (FCSF) Tipe hambatan jalan Lebar bahu efektif Ws samping ≤ 0,5 1,0 1,5 ≤ 2,0 VL 0,96 0,98 1,01 1,03 L 0,94 0,97 1,00 1,02 4/2 D M 0,92 0,95 0,98 1,00 H 0,88 0,92 0,95 0,98 VH 0,84 0,88 0,92 0,96 VL 0,96 0,99 1,01 1,03 L 0,94 0,97 1,00 1,02 4/2 UD M 0,92 0,95 0,98 1,00 H 0,87 0,91 0,94 0,98 VH 0,80 0,86 0,90 0,95 VL 0,94 0,96 0,99 1,01 2/2 UD L 0,92 0,94 0,97 1,00 Atau M 0,89 0,92 0,95 0,98 jalan H 0,82 0,86 0,90 0,95 satu arah VH 0,73 0,79 0,85 0,91 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997
2. Jalan dengan kereb Faktor penyesuaian kapasitas untuk hambatan samping( FCSF) dari Tabel 2.14 dibawah ini adalah berdasarkan jarak antara kereb dan penghalang pada trotoar (Wk) dan kelas hambatan samping (SFC).
29
Tabel 2.14 Faktor penyesuaian kapasitas untuk pengaruh hambatan samping dan jarak kereb - penghalang (FCSF) untuk jalan perkotaan Faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan jarak Kelas kereb - penghalang (FCSF) Tipe hambatan jalan jarak kereb - penghalang Wk samping ≤ 0,5 1,0 1,5 ≤ 2,0 VL 0,96 0,97 0,99 1,01 L 0,94 0,96 0,98 1,00 4/2 D M 0,91 0,93 0,95 0,98 H 0,86 0,89 0,92 0,95 VH 0,81 0,85 0,88 0,92 VL 0,95 0,97 0,99 1,01 L 0,93 0,95 0,97 1,00 4/2 UD M 0,90 0,92 0,95 0,97 H 0,84 0,87 0,90 0,93 VH 0,77 0,81 0,85 0,90 VL 0,93 0,95 0,97 0,99 2/2 UD L 0,90 0,92 0,95 0,97 Atau M 0,86 0,88 0,91 0,94 jalan H 0,78 0,81 0,84 0,88 satu arah VH 0,68 0,72 0,77 0,82 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum,1997
2.10.5 Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCCS) Faktor penyesuaian untuk ukuran kota disesuaikan dengan jumlah penduduk (juta). Tabel 2.15 Faktor penyesuaian kapasitas untuk ukuran kota (FCCS) Ukuran kota
Faktor penyesuaian
(juta penduduk) CS < 0.1 0,1 ≤ CS < 0,5 0,5 ≤ CS < 1,0 1,0 ≤ CS < 3,0 3,0 ≤ CS
ukuran kota (FCCS) 0,86 0,90 0,94 1,00 1,04
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997
2.11 Volume Lalu Lintas Volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melewati garis pengamatan pada suatu ruas jalan pada periode waktu tertentu. Biasanya jumlah kendaraan ini dikelompokan berdasarkan masing-masing jenis kendaraan yaitu kendaraan ringan, kendaraan berat, sepeda motor, dan kendaraan tak bermotor. 30
2.12 Derajat Kejenuhan Derajat kejenuhan (DS) didefinisikan sebagai rasio arus terhadap kapasitas dan digunakan sebagai faktor utama penentuan tingkat kinerja segmen jalan. Nilai derajat kejenuhan menunjukan apakah segmen jalan tersebut mempunyai masalah kapasitas atau tidak. Persamaan dasar derajat kejenuhan adalah: DS
Q C
(2.6)
Dimana: DS = Derajat kejenuhan Q
= Arus lalu lintas (smp/jam)
C
= Kapasitas ruas jalan
Derajat kejenuhan dihitung dengan menggunakan arus dan kapasitas yang dinyatakan dengan smp/jam. Derajat kejenuhan digunakan untuk analisis prilaku lalu lintas berupa kecepatan.
2.13 Kecepatan Kecepatan adalah jarak yang ditempuh dalam satuan waktu, atau nilai perubahan jarak terhadap waktu. Kecepatan dari suatu kendaraan dipengaruhi oleh faktor-faktor manusia, kendaraan, dan prasarana, serta dipengaruhi pula oleh kondisi arus lalu lintas, kondisi cuaca dan kondisi lingkungan di sekitarnya. Kecepatan dipakai sebagai pengukur kualitas perjalanan bagi pengemudi.
2.13.1 Kecepatan Arus Bebas Kecepatan arus bebas (PV) dapat didefinisikan sebagai kecepatan pada tingkat nol, yaitu kecepatan yang akan dipilih pengemudi jika mengendarai kendaraan bermotor tanpa dipengaruhi oleh kendaraan bermotor lain di jalan. Kecepatan arus bebas kendaraan ringan dapat digunakan sebagai ukuran utama kinerja segmen jalan pada saat arus sama dengan nol. Kecepatan arus bebas untuk mobil penumpang biasanya 10-15% lebih tinggi dari pada tipe kendaraan lainnya. Persamaan untuk menentukan kecepatan arus bebas mempunyai bentuk sebagai berikut (MKJI, 1997): 31
FV = ( FVO + FVW ) x FFVSF x FFVCS
(2.7)
Dimana: FV
= kecepatan arus bebas kendaraan ringan (km/jam)
FVO
= kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan (km/jam)
FVW
= penyesuaian lebar jalur lalulintas efektif (km/jam) (penjumlahan)
FFVSF
= Faktor penyesuaian kondisi hambatan samping (perkalian)
FFVCS = faktor penyesuaian ukuran kota.
a. Kecepatan Arus Bebas Dasar Penentuan kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan untuk jalan delapan lajur di anggap sama seperti jalan enam lajurseperti terdapat di dalam Tabel 2.16 seperti berikut ini: Tabel 2.16 Kecepatan arus bebas dasar (FVo) (km/jam) Kecepatan arus bebas dasar (FVo) (km/jam) Kendaraan Kendaraan Sepeda Semua Tipe Jalan ringan berat Motor kendaraan LV HV MC (rata-rata) Enam-lajur terbagi (6/2 D) 61 52 48 57 atau Tiga-lajur satu-arah(3/1) Empat-lajur terbagi (4/2 D) 57 50 47 55 Atau Dua-lajur satu-arah Empat-lajur tak terbagi 53 46 43 31 (4/2 UD) Dua-lajur tak terbagi 44 40 40 42 (2/2 UD) Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997
b. Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Untuk Lebar Jalur Lalu Lintas (FVW) Untuk jalan lebar dari empat lajur dari penyesuaian pada Tabel 2.17 untuk jalan empat-lajur terbagi dapat digunakan.
32
Tabel 2.17 Penyesuaian kecepatan arus bebas untuk lebar jalur lalu lintas FVW pada kecepatan arus bebas kendaraan ringan, jalan perkotaan Lebar Jalur Lalu Lintas Tipe Jalan VCW Evektif (Wc) (meter) Enam-jalur terbagi atau Per lajur Jalan satu-arah 3,00 -4 3,25 -2 3,50 0 3,75 2 4,00 4 Empat-lajur tak terbagi Per lajue 3,00 -4 3,25 -2 3,50 0 3,75 2 4,00 4 Dua-lajur tak terbagi Total dua arah 5 -9,5 6 -3 7 0 8 3 9 4 10 6 11 7 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997
c. Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Untuk Hambatan Samping (FFVSF) a.
Jalan dengan bahu Penentuan faktor penyesuaian untuk hambatan samping berdasarkan lebar
bahu efektif yang sesungguhnya dan tingkat hambatan samping yang dapat dilihat pada tabel 2.18
33
Tabel 2.18 faktor penyesuaian untuk pengaruh hambatan samping dan lebar bahu (FFVSF) pada kecepatan arus bebas kendaraan ringan untuk jalan perkotaan dengan bahu Faktor penyesuaian untuk hambatan Kelas samping dan lebar bahu Tipe Jalan hambatan Lebar bahu efektif rata-rata Ws (m) samping (SFC) 1,0 1,5 0,5 2,0 Sangat rendah 1,02 1,03 1,03 1,04 Rendah 0,98 1,00 1,02 1,03 Empat-lajur Sedang 0,94 0,97 1,00 1,02 terbagi 4/2 D Tinggi 0,89 0,93 0,96 0,99 Sangat tinggi 0,84 0,88 0,92 0,96 Sangat rendah 1,02 1,03 1,03 1,04 Rendah 0,98 1,00 1,02 1,03 Empat-lajur Sedang 0,93 0,96 0,99 1,02 terbagi 4/2 U D Tinggi 0,87 0,91 0,94 0,98 Sangat tinggi 0,80 0,86 0,90 0,95 Sangat rendah 1,00 1,01 1,01 1,01 Dua-lajur tak Rendah 0,96 0,98 0,99 1,00 terbagi 2/2 UD Sedang 0,90 0,93 0,96 0,99 atau Tinggi 0,82 0,86 0,90 0,95 Jalan satu-arah Sangat tinggi 0,37 0,79 0,85 0,91 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997
b. Jalan dengan kereb Penentuan faktor penyesuaian untuk hambatan samping berdasarkan jarak antara kereb dan penghalang pada trotoar dan tingkat hambatan samping dapat di lihat pada tabel 2.19 berikut ini:
34
Tabel 2.19 faktor penyesuaian untuk pengaruh hambatan samping dan jarak kereb penghalang (FFVSF) pada kecepatan arus bebas kendaraan ringan untuk jalan perkotaan dengan kereb Faktor penyesuaian untuk hambatan Kelas samping dan lebar bahu hambatan Tipe Jalan samping Lebar bahu efektif rata-rata Ws (m) (SFC) 1,0 1,5 0,5 2,0 Sangat rendah 1,00 1,00 1,01 1,02 Rendah 0,97 0,98 0,99 1,00 Empat-lajur Sedang 0,93 0,95 0,97 0,99 terbagi 4/2 D Tinggi 0,87 0,90 0,93 0,96 Sangat tinggi 0,81 0,85 0,88 0,92 Sangat rendah 1,00 1,01 1,01 1,02 Rendah 0,96 0,98 0,99 1,00 Empat-lajur Sedang 0,91 0,93 0,96 0,98 terbagi 4/2 U D Tinggi 0,84 0,87 0,90 0,94 Sangat tinggi 0,77 0,81 0,85 0,90 Sangat rendah 0,98 0,99 0,99 1,00 Dua-lajur tak Rendah 0,93 0,95 0,96 0,98 terbagi 2/2 UD Sedang 0,87 0,89 0,92 0,95 atau Tinggi 0,78 0,81 0,84 0,88 Jalan satu-arah Sangat tinggi 0,68 0,72 0,77 0,82 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997
d. Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk ukuran kota (FFVcs) Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk ukuran kota (juta penduduk) ditentukan berdasarkan Tabel 2.20 berikut ini:
Tabel 2.20 Penyesuaian kecepatan arus bebas untuk ukuran kota pada kecepatan arus bebas kendaraan ringan (FFVcs), jalan perkotaan Ukuran kota Faktor penyesuaian (juta penduduk) ukuran kota (FCCS) CS < 0.1 0,90 0,1 ≤ CS < 0,5 0,93 0,5 ≤ CS < 1,0 0,95 1,0 ≤ CS < 3,0 1,00 3,0 ≤ CS 1,03 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997
35
2.13.2 Kecepatan Rata-rata Ruang/Kecepatan Tempuh Kecepatan tempuh didefinisikan sebagai kecepatan rata-rata ruang dari kendaraan ringan (LV) di sepanjang segmen jalan. Persamaan untuk penentuan kecepatan ruang mempunyai bentuk sebagai berikut (Departemen Pekerjaan Umum, 1997): V
L TT
(2.8)
Dimana: V
= Kecepatan rata-rata ruang kendaraan ringan (km/jam)
L
= Panjang segmen (km)
TT = Waktu tempuh rata-rata kendaraan ringan sepanjang segmen (jam)
2.14 Tingkat Pelayanan Jalan Tingkat pelayanan jalan merupakan suatu indikator yang mencerminkan tingkat kenyamanan suatu ruas jalan, yaitu perbandingan antara volume lalu lintas yang ada terhadap kapasitas jalan tersebut. Apabila volume lalu lintas meningkat, maka tingkat pelayanan jalan menurun karena kondisi lalu lintas yang memburuk akibat interaksi dari faktorfaktor yang berpengaruh terhadap tingkat pelayanan jalan. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pelayanan jalan adalah: a. Kecepatan b. Hambatan atau halangan lalu lintas c. Kebebasan untuk manuver d. Keamanan dan kenyamanan e. Karakteristik pengemudi
Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997), tidak dengan tegas menyatakan tingkat pelayanan jalan, secara implisit kinerja jalan diukur dari Q/C rasio, akan tetapi tidak dengan jelas mengklasifikasikan tingkat pelayanan setiap kategori Q/C rasio. MKJI (1997) hanya merekomendasikan Q/C rasio yang masih dapat
36
diterima adalah < 0,8. Adapun tingkat pelayanan jalan dan rasio nilai Q/C berdasarkan TRB (1985) dapat dilihat pada Tabel 2.21.
Tabel 2.21 Hubungan Q/C rasio dengan tingkat pelayanan jalan Tingkat pelayanan A
B
C
D
E F
Kondisi lapangan Arus bebas dengan kecepatan tinggi, pengemudi dapat memilih kecepatan yang diinginkan tanpa tundaan. Arus stabil, kecepatan mulai dibatasi oleh kondisi lalu lintas, pengemudi memiliki kebebasan yang cukup untuk memilih kecepatan. Arus stabil, tetapi kecepatan dan gerak kendaraan dibatasi oleh kondisi lalu lintas, pengemudi dibatasi dalam memilih kecepatan. Volume lalu lintas mendekati tidak stabil, kecepatan masih dikendalikan oleh kondisi lalu lintas, rasio Q/C masih bisa ditoleransi. Volume lalu lintas mendekati kapasitas, arus tidak stabil, kecepatan terkadang terhenti. Arus lalu lintas macet, kecepatan rendah, antrian panjang serta hambatan/ tundaan besar.
Q/C rasio 0,00 – 0,20
0,20 – 0,45
0,45 – 0,754
0,75 – 0,85 0,85 – 1,00 -
Sumber: Depaartemen Perhubungan, 1996
Gambar 2.9 Kecepatan sebagai fungsi dari (Q/C) untuk jalan banyak-lajur dan satu-arah 37
Gambar 2.9 di atas menggambarkan hubungan antara kecepatan rata-rata dengan derajat kejenuhan. Tingkat pelayanan jalan tidak hanya dapat dilihat dari perbandingan rasio Q/C, namun juga tergantung dari besarnya kecepatan operasi pada suatu ruas jalan. Kecepatan operasi dapat di ketahui dari survei langsung di lapangan. Apabila kecepatan operasi telah di dapat, maka akan dapat dibandingkan dengan kecepatan optimum ( kecepatan yang di pilih pengemudi saat kondisi tertentu). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar
Gambar 2.10 Tingkat pelayanana berdasarkan volume dengan kapasitas Yang dibandingkan dengan kecepatan operasi
38