BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Secara garis besar kebutuhan rumah tangga dapat dikelompokkan dalam 2 kategori besar, yaitu kebutuhan pangan dan non pangan. Dengan demikian pada tingkat pendapatan tertentu, rumah tangga akan mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut. Secara alamiah kuantitas pangan yang dibutuhkan seseorang akan mencapai titik maksimum sementara kebutuhan non pangan, tidak akan ada batasnya. Dengan demikian, besaran pendapatan yang dibelanjakan untuk pangan dari suatu rumah tangga dapat digunakan sebagai petunjuk tingkat kesejahteraan rumah tangga tersebut. Dengan kata lain semakin tinggi pengeluaran untuk pangan, berarti semakin kurang sejahtera rumah tangga yang bersangkutan. Sebaliknya, semakin kecil pangsa pengeluaran pangan maka rumah tangga tersebut semakin sejahtera (Mulyanto, 2005). Tabel 1. Rata-rata pengeluaran per bulan kabupaten Deli Serdang Pengeluaran 2001 2003 Pangan 102.649 129.356 Non Pangan 49.479 64.052 Rata-rata pengeluaran 152.128 193.408 Sumber : Susenas Deli Serdang, 2001, 2003, dan 2006
2006 163.475 114.103 277.578
Dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran penduduk tahun 2001, rata-rata pengeluaran rumah tangga pada tahun 2003 dan 2006 terlihat mengalami kenaikan. Jika pada tahun 2001 rata-rata pengeluaran perkapita per bulan sebesar Rp 152.128, maka pada tahun 2003 naik menjadi sebesar Rp. 193.408 dan kembali naik lagi pada tahun 2006 menjadi sebesar Rp 277.578. Jika diperhatikan tabel pengeluaran diatas, terlihat jelas bahwa rata-rata pengeluaran per bulan rumah tangga naik dari tahun ke tahun, baik untuk pengeluaran pangan maupun pengeluaran non pangan. Rata-rata pengeluaran rumah tangga dari tahun ke tahun didominasi oleh pengeluaran pangan (Susenas Deli Serdang, 2001,2003, dan 2006).
Universitas Sumatera Utara
Pola pengeluaran konsumsi penduduk
merupakan informasi untuk melihat
kesejahteraan penduduk. Besarnya nilai nominal (dapat diukur dalam satuan uang) yang dibelanjakan baik dalam bentuk pangan maupun non pangan, secara tidak langsung dapat mencerminkan kemampuan ekonomi rumah tangga, untuk mencukupi kebutuhan yang mencakup barang dan jasa (Aminuddin, 2006). Pendapatan rumah tangga amat besar pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi. Biasanya makin baik tingkat pendapatan, tingkat konsumsi makin tinggi. Karena ketika tingkat pendapatan meningkat, kemampuan rumah tangga untuk membeli aneka kebutuhan konsumsi menjadi semakin besar dan peningkatan kehidupan juga menjadi berubah (Sumardi, 2003). Setiap orang atau keluarga mempunyai tingkat kebutuhan konsumsi yang dipengaruhi oleh pendapatan. Kondisi pendapatan seseorang akan mempengaruhi tingkat konsumsinya. Makin tinggi pendapatan, makin banyak jumlah barang yang dikonsumsi. Sebaliknya, makin sedikit pendapatan, makin berkurang jumlah barang yang dikonsumsi. Bila konsumsi ingin ditingkatkan sedangkan pendapatan tetap, terpaksa tabungan digunakan akibatnya tabungan berkurang (Prayudi, 2000). Dalam realitanya tingkat pengeluaran akan berbanding lurus dengan tingkat pendapatan. Semakin besar pendapatan masyarakat maka akan semakin besar tingkat pengeluaran. Asumsi ini menjadi acuan dalam kajian untuk mengukur distribusi pendapatan masyarakat (Rosida, 2007). Distribusi pendapatan menjadi ukuran yang relatif cukup mewakili untuk menggambarkan kesejahteraan penduduk atau rumah tangga. Pengukuran distribusi pendapatan dimaksudkan agar pemerintah dapat melihat ada tidaknya peningkatan kesejahteraan penduduk dalam suatu wilayah dan dalam periode tertentu (Samuelson, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Ukuran yang lebih umum digunakan untuk melihat tingkat pemerataan pendapatan adalah dengan menggunakan koefisien gini ratio. Nilai koefisien gini ratio mempunyai interval 0 sampai dengan 1. Dari data susenas 2006 di kabupaten Deli Serdang, diperoleh koefisien gini ratio sebesar 0.49. Jika dibandingkan dengan keadaan tahun 2006 di Serdang Bedagai, terlihat sedikit ada kenaikan yang tidak begitu besar, yaitu koefisien gini ratio nya sebesar 0.45 (Susenas, 2006). Pengeluaran rumah tangga dapat menjadi ukuran kesejahteraan, makin besar pengeluaran untuk bahan non pangan menandakan semakin sejahtera kehidupan rumah tangga tersebut (BPS Sumut, 2004). Proporsi pengeluaran masyarakat dengan tingkat pendapatan tinggi terhadap kebutuhan non pangan seperti: perumahan, barang dan jasa, pakaian, dan barang tahan lama (kendaraan, perhiasan, dan sebagainya) biasanya lebih besar dibanding masyarakat dengan tingkat pendapatan yang lebih rendah (Royyan, 2006). Pergeseran pola pengeluaran dari pangan ke non pangan terjadi karena elastisitas permintaan terhadap pangan pada umumnya rendah, sebaliknya permintaan terhadap barang non pangan pada umumnya tinggi. Keadaan ini terlihat jelas pada kelompok penduduk yang tingkat konsumsi pangannya mencukupi maksimal, sehingga peningkatan pendapatan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan barang non pangan, ditabung, ataupun investasi (Kuncoro, 2007). Distribusi pendapatan akan menentukan bagaimana pandapatan yang tinggi mampu menciptakan perubahan-perubahan dan perbaikan - perbaikan dalam masyarakat, seperti mengurangi kemiskinan, penganguran dan kesulitan-kesulitan lain dalam masyarakat. Distribusi pendapatan nasional yang tidak merata, tidak akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara umum. Sistem distribusi yang tidak merata hanya akan menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu saja
Universitas Sumatera Utara
(Sondang, 2005). Elastisitas pendapatan merupakan perubahan jumlah konsumsi suatu barang disebabkan adanya perubahan penghasilan konsumen. Untuk mengetahui tingkat elastisitas barang pangan, disajikan pada tabel dibawah ini. Tabel 2. Elastisitas pendapatan dari beberapa komoditi Barang pangan Elastisitas pendapatan susu 0.07 beras 0.42 telur 0.37 daging 0.35 Buah-buahan 0.7 Margarine - 0.2 Sumber : Wold, 2000 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa barang pangan merupakan barang yang bersifat inelastis, tetapi untuk daerah yang berbeda, waktu yang berbeda, kelas masyarakat yang berbeda, besar kemungkinan elastisitas pendapatan dari beberapa komoditi tersebut tidak sama. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa klasifikasi barang-barang itu sifatnya relatif. Dalam arti, bagi rumah tangga lain di tempat, waktu, dan kelas masyarakat dengan penghasilan tertentu merupakan barang necessities, tetapi mungkin bagi masyarakat lain, di tempat, dan waktu yang berbeda merupakan barang luxuries (Sudarman, 2000).
2.1 Landasan Teori Koefisien Gini (Gini Ratio) Koefisien gini adalah ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan pendapatan secara agregat (secara keseluruhan) yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan/pemerataa yang tidak sempurna). Koefisien gini ratio berasal dari nama seorang ahli statistik italia C.Gini, orang pertama yang memformulasikannya pada tahun 1912. Angka ketimpangan untuk negara-negara
Universitas Sumatera Utara
yang
sedang
berkembang
berkisar
antara
0,50
hingga
0,70.
Untuk negara-negara yang distribusi pendapatannya dikenal relatif paling baik (paling merata), berkisar antara 0,20 sampai 0,35 Distribusi pendapatan makin merata jika nilai Koefisien gini mendekati nol (0). Sebaliknya, suatu distribusi pendapatan dikatakan makin tidak merata jika nilai koefisien gininya makin mendekati satu (Kadariah, 2004). Rumus untuk mencari gini ratio adalah : GR = 1 – ∑ fi ( Yi + Yi – 1 ), 0 < GR< 1 dimana : GR
: gini ratio
fi
: persentase kumulatif jumlah rumah tangga
Yi
: persentase kumulatif jumlah pendapatan
Kriteria uji ketimpangan pendapatan sebagai berikut : Bila GR = 0 ketimpangan sempurna (perfect quality) Bila GR = 1 ketimpangan tidak sempurna (perfect inequality)
Kriteria uji gini ratio : 1. Bila GR < 0,3
: ketimpangan rendah
2. Bila 0.3 < GR < 0,4
: ketimpangan sedang
3. Bila GR > 0,4
: ketimpangan tinggi
(Mahyudi, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Pola Konsumsi
Konsep konsumsi, yang merupakan konsep yang di Indonesiakan dari bahasa inggris ”Consumption”. Konsumsi adalah pembelanjaan atas barang - barang dan jasa-jasa yang dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan pembelanjaan tersebut. Pembelanjaan masyarakat atas makanan, pakaian, dan barang-barang kebutuhan mereka yang lain digolongkan pembelanjaan atau konsumsi. Barang-barang yang diproduksi digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dinamakan barang konsumsi (Cahyono, 2003). Seorang ahli ekonomi yang bernama Christian Lorent Ernst Engel mengemukakan sebuah ”hukum konsumsi”. Hukum ini didasarkan pada hasil penelitiannya yang dilakukan pada abad 19 di Eropa. Menurut pendapat Engel, semakin miskin suatu keluarga atau bangsa, akan semakin besar pula persentase pengeluaran yang digunakan untuk barang pangan (Sudarman, 2004). Pola konsumsi rumah tangga merupakan salah satu indikator kesejahteraan rumah tangga/keluarga. Selama ini berkembang pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi pangan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga dapat memberikan gambaran kesejahteraan rumah tangga tersebut. Rumah tangga dengan
proporsi
pengeluaran
yang
lebih
besar
untuk
konsumsi
pangan
mengindikasikan rumah tangga yang berpenghasilan rendah. Makin tinggi tingkat penghasilan rumah tangga, makin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa rumah tangga/keluarga akan semakin sejahtera bila persentase pengeluaran untuk pangan jauh lebih kecil dibandingkan persentase pengeluaran untuk non pangan.
Universitas Sumatera Utara
Rumus untuk mencari pengeluaran konsumsi pangan adalah sebagai berikut : % rata – rata pengeluaran : Jumlah pengeluaran konsumsi pangan konsumsi pangan x 100% Jumlah total pengeluaran rumah tangga Rumus untuk mencari pengeluaran konsumsi non makanan adalah sebagai berikut : % rata – rata pengeluaran : Jumlah pengeluaran konsumsi non pangan konsumsi non pangan x 100% Jumlah total pengeluaran rumah tangga
Kriteria Uji : •
Bila % rata – rata pengeluaran konsumsi pangan > % pengeluaran konsumsi non pangan : pola konsumsi keseluruhan rumah tangga dominan terhadap pengeluaran konsumsi pangan (kebutuhan pokok).
•
Bila % rata – rata pengeluaran konsumsi pangan < % pengeluaran konsumsi non pangan : pola konsumsi keseluruhan rumah tangga dominan terhadap pengeluaran konsumsi non pangan (kebutuhan sekunder) (Purwitasari, 2007).
Elastisitas Pendapatan
Elastisitas pendapatan adalah koefisien yang menunjukkan sampai dimana besarnya perubahan permintaan terhadap sesuatu barang sebagai akibat perubahan pendapatan dinamakan elastisitas permintaan pendapatan atau elastisitas pendapatan. Konsep elastisitas ini mengukur sejauh mana kuantitas permintaan berubah mengikuti perubahan pendapatan. Elastisitas pendapatan dari permintaan didefinisikan sebagai persentase perubahan kuantitas barang yang dikonsumsi dibagi persentase perubahan pendapatan (Lipsey, 2000). Berdasarkan besarnya elastisitas pendapatan, komoditi dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu kebutuhan pokok (necessities) dan luks (lux). Komoditi dengan
Universitas Sumatera Utara
elatisitas pendapatan kecil disebut barang kebutuhan pokok, di lain pihak, komoditi yang mempunyai elastisitas pendapatan lebih besar dari satu diklasifikasikan sebagai barang luks (Mankiw, 2001) Besarnya elastisitas pendapatan dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Persentase perubahan jumlah barang pangan yang dikonsumsi Ep = Persentase perubahan pendapatan = Konsumsi pangan bulan Maret-Februari / Februari x 100 % Pendapatan bulan Maret-Februari / Februari x 100 % Persentase perubahan jumlah barang non pangan Ep = Persentase perubahan pendapatan = Konsumsi non pangan bulan Maret-Februari / Februari x 100 % Pendapatan bulan Maret-Februari / Februari x 100 %
Kriteria uji elastisitas pendapatan : •
Bila Ep < 1 (inelastis) untuk barang kebutuhan pokok : apabila terjadi perubahan pendapatan akan menimbulkan perubahan jumlah barang yang dikonsumsi dalam jumlah yang kecil.
•
Bila Ep > 1 (elastis) untuk barang mewah : apabila terjadi perubahan pendapatan menimbulkan pertambahan konsumsi dalam jumlah yang lebih besar.
•
Bila Ep = 1 (unitary) : besarnya perubahan pendapatan akan sama dengan perubahan jumlah barang yang dikonsumsi.
Universitas Sumatera Utara
Keterangan kriteria uji elastisitas pendapatan : •
Bila Ep = positif untuk barang normal : peningkatan dalam jumlah barang yang dikonsumsi apabila pendapatannya bertambah.
•
Bila Ep = negatif untuk barang inferior : pengurangan dalam jumlah barang yang dikonsumsi apabila pendapatannya bertambah (Danny, 2002).
Untuk suatu barang normal, elastisitasnya adalah positif karena kenaikan pendapatan mengakibatkan kenaikan pembelian akan barang tersebut. Selain barang normal, di pasar juga tersedia barang inferior. Untuk barang inferior, elastisitasnya adalah negatif karena kuantitas permintaannya menurun ketika pendapatan konsumen meningkat. Dengan kata lain, barang inferior adalah barang yang dibeli oleh orang – orang yang tidak mampu membeli barang lain yang lebih baik atau karena harganya lebih tinggi. Contohnya adalah angkutan umum bis kota. Jika pendapatan masyarakat meningkat, mereka tentu akan membeli mobil sendiri akibatnya permintaan jasa angkutan bis kota menurun. Alasannya, karena barang pangan merupakan kebutuhan pokok sehingga naik atau tidaknya pendapatan, orang tetap akan membelinya. Jika pendapatan naik, kuantitas permintaannya memang bertambah, tapi tidak banyak. Berbeda dengan barang – barang mewah seperti mobil atau barang – barang elektronik, baru akan dibeli jika pendapatan meningkat. Itu sebabnya kuantitas permintaan barang – barang mewah naik mencolok ketika pendapatan masyarakat meningkat (Sukirno, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.2 Kerangka Pemikiran
Rumah tangga petani, pedagang, dan nelayan memiliki pendapatan yang berbeda. Perbedaan pendapatan setiap rumah tangga tersebut disebabkan karena lapangan usaha yang digeluti berbeda. Perbedaan pendapatan rumah tangga ini mengakibatkan ketimpangan pendapatan antara satu dan lainnya. Perbedaan pendapatan tersebut juga dapat mengakibatkan perubahan pola konsumsi dan pengeluaran konsumsi. Ketimpangan pendapatan tersebut dapat diukur dengan gini ratio yang dapat melihat ketimpangan pendapatan melalui persentase kumulatif jumlah penduduk dan jumlah pendapatan secara keseluruhan. Pola konsumsi dapat diukur dengan persentase rata – rata pengeluaran konsumsi yang dapat melihat jumlah pengeluaran konsumsi baik pangan maupun non pangan terhadap jumlah total pengeluaran rumah tangga. Pengeluaran konsumsi dapat diukur dengan elastisitas pendapatan dimana perubahan pendapatan menyebabkan perubahan pola konsumsi.
Universitas Sumatera Utara
Secara skematis kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut :
Pendapatan rumah tangga: Petani Pedagang Nelayan
Ketimpangan pendapatan
Gini ratio
ketimpangan sempurna
Pola Konsumsi
Pengeluaran Konsumsi
Persentase ratarata pengeluaran konsumsi
Elastisitas pendapatan
elastis
ketimpangan tidak sempurna Dominan terhadap konsumsi pangan
inelastis
Dominan terhadap konsumsi non pangan
Gambar 1. Skema kerangka pemikiran : Menyatakan sebab : Menyatakan alat ukur : Menyatakan hasil
Universitas Sumatera Utara
unitary
2.3 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut : Tingkat ketimpangan pendapatan masyarakat desa pesisir di kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai termasuk dalam kategori tinggi, pola konsumsi masyarakat desa pesisir didominasi oleh pengeluaran kebutuhan pokok (pangan), dan tingkat elastisitas pendapatan terhadap konsumsi barang pangan di daerah penelitian adalah ”inelastis”.
Universitas Sumatera Utara