BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. Analisis Kerentanan Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan memiliki kekayaan alam yang berlimpah. Tetapi di sisi lain Negara kita juga dikenal dengan istilah supermarket bencana. Hal ini dikarenakan banyaknya potensi bencana yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang RI no. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manuasia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, daPn dampak psikologis. Sedangkan resiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta dan gangguan kegiatan masyarakat. Salah satu upaya untuk meminimalisasi resiko terjadinya suatu bencana adalah dengan melakukan suatu kajian resiko bencana yang dapat dilakukan berdasarkan rumus di bawah ini R( Risk ) =
2.1.1
Hazard ( H ) xVu ln erability (V ) Capacity (C )
Bahaya (Hazard)
Bahaya (Hazard) didefinisikan sebagai suatu kejadian atau peristiwa yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kerusakan, kehilangan jiwa manusia, atau kerusakan lingkungan. Dengan kata lain suatu potensi bencana (bahaya) belum 9
menjadi bencana bila tidak mendatangkan dampak negatif kepada masyarakat secara luas. Menurut Rustiady (2005), Penilaian bahaya (hazard assessment) diperlukan untuk mengenali dan memahami bahaya. Cara efekif penilaian bahaya adalah dengan melakukan pemetaan bahaya yang ditujukan untuk mengetahui jenis, sifat, keluasan daerah pengaruh, waktu dan durasi dampak yang ditimbulkan, menghasilkan zonazona bahaya yang merupakan dasar bagi kegiatan mitigasi bencana. 2.1.2
Kerentanan (Vulnerability)
Kerentanan (vulnerability) merupakan kondisi atau karakteristik geologis, biologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu
(UU no 24 tahun 2007). Guna mengetahui kondisi kerentanan maka diperlukan penilaian kerentanan (vulnerability assessment) terhadap jenis dan tingkat kerentanan berbagai aspek, yang akan memberikan informasi mengenai aspek mana yang paling rentan apabila suatu ancaman bahaya alam terjadi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menjabarkan bahwa kerentanan terhadap bencana dapat ditijau dari berbagai aspek yang meliputi: 1. Letak wilayah, 2. Kepadatan penduduk di daerah potensi bencana, 3. Jalur evakuasi, dan 4. Jumlah fasilitas kritis 2.1.3
Ketahanan (Capacity)
Ketahanan atau kemampuan dalam menghadapi bencana (capacity) merupakan gabungan semua sumberdaya, cara dan kekuatan yang tersedia di masyarakat sehingga masyarakat memiliki daya tangkal dan daya tahan untuk mengurangi 10
tingkat dampak atau akibat dari bencana. Dengan kata lain, kerentanan adalah kebalikan dari kapasitas. Jika masyarakat memiliki banyak kapasitas dalam menanggulangi bencana, maka dampak bencana bisa dikurangi atau dihilangkan. Demikian pula sebaliknya, jika kerentanan yang lebih banyak, maka resiko jatuhnya korban atau kerusakan akan semakin besar. Kapasitas masyarakat dapat dilihat dari: 1. Tingkat kesadaran masyarakat tentang potensi bencana di daerahnya, 2. Kemampuan masyarakat meminimaisir kemungkinan timbulnya bencana, dan 3. Ketahanan masyarakat baik secara moril dan meteril setelah terjadi bencana (LIPI, 2007). Saefudin Amsya (2009), menjelaskan bahwa kerentanan dan kapasitas terhadap bencana dapat dilihat dari enam faktor utama yakni: 1. Sumber daya manusia. Ini meliputi sikap, motivasi, kebiasaan, kepandaian, jenis kelamin, usia, kelengkapan anggota badan dan fungsi indra. Beberapa masyarakat memiliki kekayaan budaya lokal dalam memahami tanda-tanda datangnya ancaman, 2. Alam dan lingkungan. Akses dan kontrol terhadap bentang alam, tanah, tumbuhan, binatang, air sebagai modal penghidupan. Suatu komunitas yang terganggu sistem kehidupannya akibat bencana bisa bertahan jika ketahanan pangan mereka baik, misalnya memiliki persediaan pangan yang cukup sampai bantuan datang, 3. Fisik. Akses dan kontrol yang dimiliki suatu komunitas terhadap infrastruktur (gedung, jalan, fasilitas umum dan jembatan). Terkadang ancaman atau bencana yang dialami masyarakat tidak begitu besar, namun tidak tersedianya infrastruktur yang memadai bisa menimbulkan dampak yang lebih buruk, 4. Sosial. Akses dan kontrol masyarakat terhadap sistem sosial yang terjaga dengan baik, meliputi sistem keluarga, organisasi, kelembagaan, jaringan sosial. Jika bencana terjadi, sistem sosial yang baik bisa membantu komunitas untuk segera bangkit dan memulai kembali kehidupannya, 11
5. Finansial. Akses dan kontrol komunitas terhadap keuangan, akses pinjaman dan pekerjaan. Suatu komunitas yang terganggu sistem kehidupannya akibat bencana masih bisa bertahan jika akses finansial terjaga dengan baik. Begitu pula sebaliknya, dan 6. Po Dalam konflik kekerasan atau kerusuhan, penyebabnya adalah tidak meratanya atau terbatasnya akses sebagian anggota masyarakat dalam menyalurkan aspirasi politiknya. Demikian juga dalam masa paska bencana alam, partisipasi dan keterlibatan aktif masyarakat bisa mempercepat proses pemulihan
2.2 Manajemen Bencana (Disaster Management) 2.2.1
Pengertian Manajemen Bencana
Secara umum, upaya penanggulangan bencana meliputi 2 hal yaitu pre-disaster dan post-disaster. Seperti yang kita ketahui, upaya penanggulangan post disaster akan membutuhkan alokasi dana dan sumber daya yang sangat besar. Upaya penanggulangan ini akan semakin besar jika masyarakat dan negara tidak memiliki manajemen pre-disaster yang baik (Wawan,2008). Salah satu contoh kejadian bencana yang terjadi di Indonesia yang menimbulkan korban dan membutuhkan alokasi dana dan sumberdaya yang besar adalah kejadian tsunami pada tahun 2004. Agar kejadian serupa tidak akan terjadi lagi di masa yang akan datang maka dibutuhkan suatu manajemen bencana yang baik dalam upaya meminimalisasi resiko yang mungkin terjadi. Manajemen bencana (Disaster Management) merupakan seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana, pada sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana yang dilakukan melalui tahapan koordinasi Pra Bencana; koordinasi pada saat terjadi bencana (tanggap darurat) dan koordinasi paska bencana (Handayani, 2004). Secara keseluruhan, kegiatan manajemen bencana dapat dilihat pada gambar 2.1 di bawah ini. 12
Kejadian Bencana M a n a j e m e n R e s i k o
Kesiapsiagaan
Tanggap Darurat
Rehabilitasi
Mitigasi
Rekonstruksi
Pencegahan
M a n a j e m e n K r i s i s
Pembangunan
Gambar 2.1. Siklus Manajemen Bencana [KHAN, 2008]
Kondisi ideal dari manajemen bencana adalah dengan tidak memisahkan masingmasing tahapan dari konsep pembangunan sebagaimana konsep manajemen bencana yang dikenalkan oleh JICA (Japan International Cooperation Agency). Hal ini dilakukan untuk mencapai pembangunan yang berorientasi pada mitigasi bencana. 2.2.2
Mitigasi Bencana
Proses mitigasi bencana merupakan tindakan-tindakan yang seharusnya diambil sebelum terjadinya suatu bencana yang terkait dengan tindakan secara struktural dan nonstruktural yang terintegrasi dengan menggunakan pengembangan yang berkelanjutan (sustainable development) (Haifani, 2008). Mitigasi bencana terbagi atas dua yaitu mitigasi fisik dan non fisik. Upaya mitigasi fisik dapat dilakukan melalui upaya teknis baik alamiah maupun buatan. Untuk bencana tsunami, mitigasi fisik ini dapat berupa penanaman vegetasi pantai, pembuatan bukit buatan (artificial heel), tembok laut (sea wall), penguatan struktur bangunan ataupun pembuatan bangunan evakuasi (tsunami evacuation building). Contoh-contoh dari upaya mitigasi fisik dapat dilihat pada gambar 2.2 dan 2.3
13
Gambar 2.2 Contoh upaya mitigasi fisik di Jepang [NDA, 2007]
Gambar 2.3 Contoh Rencana Pembangunan Kota Hilo, Hawaii [National Tsunami Hazard Mitigation Program, 2001]
Sedangkan mitigasi non fisik menyangkut masalah penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi fisik maupun upaya lainnya. Hal ini dapat dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, penyadaran masyarakat serta peraturan perundangan. Upaya mitigasi yang dilakukan, baik fisik dan non fisik, dapat dilakukan secara berbeda untuk masingmasing daerah sesuai dengan karakter fisik, sosial dan budaya setempat. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri no. 33 tahun 2006 tentang Pedoman Umum Mitigasi Bencana disebutkan bahwa ada empat hal penting dalam mitigasi bencana yaitu:
14
1. Tersedia informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap jenis bencana; 2. Sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana, karena bermukim di daerah rawan bencana; 3. Mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta mengetahui cara penyelamatan diri jika bencana timbul, dan 4. Pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancaman bencana.
2.2.3
Strategi Mitigasi Bencana
Sedangkan strategi mitigasi bencana sebagaimana diuraikan dalam peraturan tersebut meliputi kegiatan-kegiatan: 1. Pemetaan. Langkah pertama dalam strategi mitigasi bencana ialah melakukan pemetaan daerah rawan bencana. Pada saat ini berbagai sektor telah mengembangkan peta rawan bencana. Peta rawan bencana tersebut sangat berguna bagi pengambil keputusan terutama dalam antisipasi kejadian bencana alam. Meskipun demikian sampai saat ini penggunaan peta ini belum dioptimalkan. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, diantaranya adalah : 1. Belum seluruh wilayah di Indonesia telah dipetakan, 2. Peta yang dihasilkan belum tersosialisasi dengan baik, 3. Peta bencana belum terintegrasi, dan 4. Peta bencana yang dibuat memakai peta dasar yang berbeda beda sehingga menyulitkan dalam proses integrasinya.
15
2. Pemantauan. Dengan mengetahui tingkat kerawanan secara dini, maka dapat dilakukan antisipasi jika sewaktu-waktu terjadi bencana, sehingga akan dengan mudah melakukan penyelamatan. Pemantauan di daerah vital dan strategis secara jasa dan ekonomi dilakukan di beberapa kawasan rawan bencana. 3. Penyebaran informasi Penyebaran informasi dilakukan antara lain dengan cara memberikan poster dan leaflet kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dan Propinsi seluruh Indonesia yang rawan bencana, tentang tata cara mengenali, mencegah dan penanganan bencana. Memberikan informasi ke media cetak dan etektronik tentang kebencanaan adalah salah satu cara penyebaran informasi dengan tujuan meningkatkan kewaspadaan terhadap bencana geologi di suatu kawasan tertentu. Koordinasi pemerintah daerah dalam hal penyebaran informasi diperlukan mengingat Indonesia sangat luas. 4. Sosialisasi dan Penyuluhan Sosialisasi dan penyuluhan tentang segala aspek kebencanaan kepada SATKOR-LAK PB, SATLAK PB, dan masyarakat bertujuan meningkatkan kewaspadaan dan kesiapan menghadapi bencana jika sewaktu-waktu terjadi. Hal penting yang perlu diketahui masyarakat dan Pemerintah Daerah ialah mengenai hidup harmonis dengan alam di daerah bencana, apa yang perlu dilakukan dan dihindarkan di daerah rawan bencana, dan mengetahui cara menyelamatkan diri jika terjadi bencana. 5. Pelatihan/Pendidikan Pelatihan difokuskan kepada tata cara penyelamatan dan pengungsian jika terjadi bencana. Tujuan latihan lebih ditekankan pada alur informasi dan petugas lapangan, pejabat teknis, SATKORLAK PB, SATLAK PB dan masyarakat sampai ke tingkat pengungsian dan penyelamatan korban
16
bencana. Dengan pelatihan ini terbentuk kesiagaan tinggi menghadapi bencana akan terbentuk. 2.2.4
Rencana Mitigasi Bencana pada Masa yang Akan Datang
Beberapa hal untuk rencana mitigasi (mitigation plan) pada masa depan dapat dilakukan sebagai berikut (Ilyas, 2006): 1. Perencanaan lokasi (land management) dan pengaturan penempatan penduduk, 2. Memperkuat bangunan dan infrastruktur serta memperbaiki peraturan (code) disain yang sesuai, 3. Melakukan usaha preventif dengan merelokasi aktivitas yang tinggi ke daerah yang lebih aman dengan mengembangkan mikrozonasi, 4. Melindungi dari kerusakan dengan melakukan upaya perbaikan lingkungan dengan maksud menyerap energi dari gelombang tsunami (misalnya dengan melakukan penanaman mangrove sepanjang pantai), 5. Mensosialisasikan dan melakukan training yang intensif bagi penduduk di daerah area yang rawan tsunami, dan 6. Membuat early warning sistem sepanjang daerah pantai/perkotaan yang rawan tsunami. 2.2.5
Elemen-Elemen Mitigasi Bencana
Haifani (2008) menguraikan bahwa upaya mitigasi bencana meliputi beberapa elemen yang meliputi: 1. Identifikasi bencana dan kerentanannya serta evaluasi resiko bencana tersebut, 2. Strategi pengurangan bencana yang bersumber dari wilayah dan dimiliki oleh pemegang kebijakan,
17
3. Seperangkat peraturaan, perundang-udangan dan regulasi yang menyediakan kerangka kerja yang komprehensif untuk interaksi antara berbagai organisasi dan insitusi yang berbeda, 4. Mekanisme koordinasi institusi yang kuat, 5. Sistem yang solid untuk mengendalikan pemenuhan dan penguatan code dan standar untuk konstruksi bangunan yang aman, 6. Perencanaan tataguna lahan dan permukiman yang menggabungkan kepedulian akan bencana dan pengurangan resiko, 7. Penggunaan peralatan komunikasi untuk pengurangan resiko akibat bencana yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bencana, pendidikan, pelatuhan dan penelitian, 8. Manajemen kesiapsiagaan dan kedaruratan berdasarkan pada pemahaman resiko, dan 9. Kerjasama dan koordinasi antar kota dalam satu program mega city. 2.3 Tsunami 2.3.1
Pengertian Tsunami
Secara harfiah istilah tsunami berasal dari bahasa Jepang. “Tsu” mempunyai makna pelabuhan dan “nami” berarti gelombang. Jadi secara umum tsunami dapat diartikan sebagai pasang laut yang besar di pelabuhan (Subandono dkk, dalam Yusyahnonta, 2006). Sedangkan Latief (dalam Yusyahnonta, 2006), mengemukakan bahwa tsunami merupakan gelombang panjang yang timbul karena adanya perubahan dasar laut atau perubahan badan air yang terjadi secara tiba-tiba dan impulsif, karena terjadinya gempabumi, erupsi vulkanik, longsoran bawah laut, atau runtuhan gunung es bahkan akibat terjangan benda-benda angkasa ke permukaan laut. 2.3.2
Karakteristik Tsunami
Menurut Prof. Yoshiaki Kawata (dalam Yusyahnonta, 2006), Kepala Pusat Penelitian Bencana Besar, Institut Penelitian Pencegahan Bencana, Universitas Kyoto, terjadinya tsunami disebabkan oleh pergerakan air dalam volume besar 18
secara vertikal. Jika dilihat dari kondisi geografis Sumatera Barat, pergerakan tersebut disebabkan oleh dua hal yakni: 1. Gempa dengan patahan vertikal, baik patahan naik maupun patahan turun (lihat gambar 2.4) lebih dari beberapa meter secara mendadak yang terjadi di laut dengan kedalaman mencapai ribuan meter. Dimana secara empirik, jika gempanya memiliki kekuatan lebih dari 6,5 SR, dan gempanya merupakan gempa dangkal dengan kedalaman kurang dari 60 km dari dasar laut, maka tsunami akan terjadi, dan Patahan Geser
Patahan Turun
Patahan Naik
Gambar 2.4. Bidang patahan (Kogami, 2006)
2. Longsor besar yang diakibatkan oleh adanya gempabumi, aktivitas gunung berapi, atau longsor di dasar laut. Tetapi selain dari penyebab di atas, letusan gunung berapi di dasar laut juga dapat memicu terjadinya tsunami. Setelah terjadinya bencana tsunami di Aceh pada tahun 2004, istilah tsunami menjadi sangat familiar dan begitu menakutkan bagi masyarakat karena gelombangnya yang sangat besar. Padahal tsunami juga terjadi tidak selalu menimbulkan gelombang yang besar di daerah pantai. Pada lokasi pembentukan tsunami, tinggi gelombang yang terbentuk diperkirakan tidak lebih dari 60 cm dengan panjang gelombang yang lebih dari 100 km serta kecepatan bisa mencapai lebih dari 900 km/jam (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi). Selama penjalaran dari tengah laut menuju pantai, cepat rambat gelombang berkurang akibat adanya gesekan dengan dasar laut yang semakin dangkal. Tetapi hal ini akan 19
mengakibatkan
tinggi gelombang
yang
semakin
tinggi
karena terjadinya
penumpukan masa air laut. Ketika mencapai pantai, gelombang naik (run up) ke daratan dengan kecepatan yang terus berkurang menjadi sekitar 25 – 100 km/jam. Mekanisme ini dapat dilihat pada gambar 2.5 di bawah ini.
Gambar 2.5. Perbandingan antara kedalaman, kecepatan dan panjang gelombang tsunami (vsi.esdm, 2007)
2.3.3
Sejarah Tsunami di Indonesia
Menurut Latief (2000) selama kurun waktu 1600 – 1999, Indonesia mengalami tsunami sebanyak 105 kali dengan presentasi kejadian 90 % dipicu oleh gempabumi dasar laut. Secara lebih lengkap presentasi ketiga penyebab tsunami di atas dapat dilihat pada tabel 2.1 Tabel 2.1 Sejarah tsunami di Indonesia [Latief, et al, 2000]
Tsunami Sources Tsunamigenic Earthquake
Number of Tsunami 95
Percentage of Occurrence 90%
Tsunamigenic Volcanoes
9
8%
Tsunamigenic Lanslide
1
1%
105
100%
Total
20
2.3.4
Potensi tsunami di Sumatera Barat
Keadan geografis kota Padang yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia di sebelah Barat yang terdapat zona subduksi antara lempeng Eurasia dan lempeng Indoaustralia yang bergerak aktif sebesar 70 mm pertahun. Kondisi ini akan memicu terjadinya gempabumi yang berpotensi tsunami. Selama kurun waktu tahun 1600 – 1900, di Indonesia terjadi sekitar 105 kejadian tsunami dan tsunami yang terjadi di zona A (pulau Sumatera dan Andaman) sebanyak 17 kejadian dan 8 kejadian di antaranya terjadi dipesisir Sumatera Barat serta ditambah satu kejadian tsunami Aceh pada tahun 2004. Sejarah kejadian tsunami tersebut terdapat pada tabel 2.2 di bawah ini. Tabel 2.2 Sejarah tsunami di pesisir barat Sumatera [Latief, et al, 2000] Year
M
D
Lat
Lon
1797 1799 1818 1833 1833 1843 1861 1861 1864 1883 1904 1907 1908 1909 1928 1964 1967 2004
02
10
0,58
100,2
13 01 11 01 02 09
18 29 24 5-6 16 25
-3,5
100,5
2,08
98,23
-2,04
100,6
08 07
26 04
-5,8
106,3
02 06 03 04 04 12
06 03 26 02 12 26
-2 -2,5 -5,8 5,8 5,3
100 101,5 106,3 95,6 96,5
Mag/dept Dead / Injured (km)
8,5
50
Volc
36000
7,3 Volc 7 6,5 9
200 110/479 300000
Observed Area , Province : Location West Sumatera: Padang, Sipora, Pagai Sumatera Bengkulu West Sumatera: Padang, Pariaman, Sipora, Pagai Bengkulu North Sumatera: Barus Is, Gunung Sitoli-Nias North Sumatera: Batu Is, Nias Is Sumatera: Padang, Indrapura West Sumatera: Padang, Batu Sumatera: Sunda st, Java West Sumatera, Siri-siri Sumatera: Western Coast West Sumatera Sumatera: Kerinci- Jambi South Sumatera: Lampung, Sunda St Sumatera North Sumatera: Sigli Aceh, Andaman, Nicobar
Kejadian tsunami di pesisir barat pulau Sumatera sebagaimana terdapat pada tabel 2.2 di atas dapat dilihat pada gambar 2.6 di bawah ini
21
Gambar 2.6 Kejadian Tsunami di Pesisir Barat Sumatera (diadopsi dari Latief, 2000) Dari kejadian-kejadian tersebut, kejadian tsunami besar yang menghantam kota Padang terjadi pada tahun 1797 dengan ketinggian tsunami diperkirakan sekitar 9 m dan tahun 1833 dengan ketinggian tsunami berkisar 3 – 4 m (Yusyahnonta, 2006). Sejarah terjadinya perulangan gempa besar pada zona subduksi diawali oleh kejadian gempabumi pada tahun 2000 terjadi gempa dengan magnitude 8,0 SR yang terjadi di daerah Bengkulu, kemudian diikuti oleh gempabumi pada
segmen Sumatera –
Andaman yang terjadi pada tahun 2004 dengan magnitude 9,2 SR, gempabumi dengan M = 8,4 SR melanda pulau Nias pada tahun 2005 yang menghancurkan sebagian besar pulau tersebut. Pada tanggal 12 September 2007 terjadi gempabumi dengan M=8,4 SR yang terjadi di antara pulau Pagai dan Pulau Enggano setelah itu terjadi lagi gempabumi besar pada Februari 2008 dengan M= 7,4 SR yang terjadi di pulau Simeuleu yang terjadi pada bidang antara gempabumi tahun 2004 dan 2005. Dari rangkaian gempabumi ini terlihat adanya seismic gap pada daerah Mentawai, hal ini dikhawatirkan akan memicu terjadinya gempabumi besar yang berpotensi tsunami mengingat gempabumi besar pernah terjadi di daerah ini pada tahun 1907 22
dengan magnitude lebih dari 8,5 SR (www.gsi.go.jp). Rangkaian sejarah gempabumi besar tersebut dapat dilihat pada gambar 2.7 di bawah ini
Gambar 2.7. Sejarah gempabumi di pesisir barat pulau Sumatera (GSI, 2008)
Pusat Penelitian Kelautan ITB telah melakukan simulasi tsunami dari dua kejadian tsunami pada tahun 1797 dan 1883 serta dari beberapa skenario yang disusun berdasarkan tektonik setingnya. Untuk kecamatan Koto Tangah di bagian utara sampai kecamatan Padang Barat di daerah selatan diperoleh ketinggian tsunami di daerah pantai setinggi 5,06 meter dengan jarak maksimum rendaman tsunami mencapai 2.316 meter dan jarak rata-rata tsunami ke darat sekitar 1.995 meter serta travel time tsunami adalah 37 menit. (Yusyanonta, 2006). Hasil dari simulasi tersebut dapat dilihat pada gambar 2.8
23
Gambar 2.8. Simulasi Elevasi dan Travel Time Tsunami yang terjadi tahun 1797 dan 1833 di Kecamatan Padang Barat [Latief dalam Yusyahnonta, 2006] Borero dan Sieh, 2006 telah membuat simulasi inundasi tsunami di pesisir barat Sumatera. Simulasi ini dibuat dengan menggunakan 4 skenario besar dengan memakai variasi slip, sifat dan episentrum gempa yang berbeda. 1. Skenario 1: mengalami slip 10 m dan rupture yang terjadi “extend to the trench” seperti layaknya rupture pada gempabumi Aceh-Andaman 2. Skenario 2: mengalami slip 10 m dan rupture yang terjadi “not extend to the trench” seperti layaknya rupture pada gempabumi Nias 3. Skenario 3: mengalami slip 20 m dan rupture yang terjadi “extend to the trench” seperti layaknya rupture pada gempabumi Aceh-Andaman 4. Skenario 4: mengalami slip 20 m dan rupture yang terjadi “not extend to the trench” seperti layaknya rupture pada gempabumi Nias Keempat skenario ini mengalami gepabumi dengan Mw yang lebih besar dari gempabumi yang terjadi pada tahun 1797 dan 1833. Skenario paling ekstrim adalah skenario 3 dimana Mw = 9,3 SR. Dari hasil simulasi diperoleh inundasi yang berbeda di daerah Padang dan Bengkulu. Untuk skenario paling ekstrim, Kota Padang dilanda gelombang tsunami setinggi 24
5 m dengan jangkauan inundasi antara 1 – 2 km. Sedangkan di kota Bengkulu, gelombang yang terjadi sekitar 8 m dan inundasi yang terjadi menjagkau 0,6 – 6 km. Dari hasil simulasi Pusat Penelitian Kelautan, Yushaynonta 2006 mengklasifikasikan tingkat kerentanan suatu wilayah terhadap tsunami berdasarkan topografi atau ketinggian elevasinya. Klasifikasi kelas ketinggian wilayah disusun menurut kriteria: 1. Elevasi yang dianggap sangat berbahaya adalah sampai ketinggian 2,5 m dimana dengan ketinggian tsunami tertinggi yang lebih dari 5 meter titik ini masih akan terendam sedalam 2,5 m. 2. Untuk kelas berbahaya antara 2,5 m – 5 m dianggap masih potensial untuk terkena tsunami. 3. Kelas berikutnya adalah 5 – 9 m. Asumsi 9 m diambil dari sejarah terjadinya tsunami pada tahun 1797 yang mencapai ketinggian 9 m. 4. Serta 9 – 25 m dianggap kurang berbahaya. Berdasarkan kriteria di atas, maka kelas ketinggian tempat atau elevasi disusun seperti tabel di bawah ini: Tabel 2.3 kelas ketinggian wilayah [Yusyahnonta, 2006] No 1. 2. 3. 4. 5.
Klasifikasi Bahaya Sangat Berbahaya Berbahaya Cukup berbahaya Kurang Berbahaya Tidak Berbaaya
Kelas ketinggian tempat E < 2,5 m 2,5 m ≤ E < 5 m 5m≤E<9m 9 m ≤ E < 25 m E ≥ 25 m
2.4 Dampak Tsunami Tinggi dan kecepatan tsunami yang besar menyebabkan gelombang ini mampu menghantam daerah pesisir pantai yang diterjang menjadi luluh lantak. Salah satu contohnya adalah kejadian tsunami Aceh yang merupakan gelombang tsunami yang paling besar sepanjang sejarah. Gelombang tsunami tersebut mengakibatkan lebih dari 200.000 orang tewas. Selain menelan korban jiwa, kerasnya hantaman tsunami juga mampu merusak infrastuktur seperti jalan, jembatan, rumah/gedung dan tambak. Total keseluruhan nilai kehancuran tersebut diperkirakan mencapai US$ 2,9 25
miliar. Hal ini tentu saja mengakibatkan matinya perekonomian, sosial dan kehidupan di kota Banda Aceh. Selain itu juga tsunami dapat megakibatkan terjadinya bencana lanjutan (collateral hazard) yang meliputi rendaman (run up), angkutan sedimen, floating material dan kebakaran.
(a)
(b)
(c) Gambar 2.9 Akibat Tsunami di Thailand (a), Aceh (b) dan Pulau Okusiri (c) (Kogami, 2006 dan Takashi, 2005)
Sepanjang sejarah kejadian tsunami di dunia, kejadian bencana tersebut telah melanda berbagai negara.
Dari catatan yang diperoleh dari berbagai sumber,
dampak yang tercatat sebagian besar berupa jumlah korban jiwa dan ketinggian tsunami saja. Rekaman kejadian tersebut dapat dilihat pada tabel 2.4 di bawah ini
26
Tabel 2.4 kejadian tsunami di dunia serta akibat yang ditimbulkannya (dari bebagai sumber) No. 1
Tahun 2004
2
1998
Tempat Nanggroe Aceh Darussalam Papua New Guinea
3 4 5
1983 1976 1964
Jepang Philiphine Alaska
6
1960
Chili
7 8 9
1946 1946 1896
Pulau Aleutian Tsunami Pasifik Jepang
10
1833
Krakatau - Indonesia
11
1755
Lisbon-Portugal
Daerah terkena dampak Afrika, Bangladesh, India, Srilanka, Maldives, Desa Arop dan Warapu
Dampak Lebih dari 200.000 orang meninggal dunia Ketinggian gelombang tertinggi mencapai 35 meter 3000 orang meninggal dunia ketinggian tsunami mencapai 12 meter Jepang 104 orang meninggal dunia Philiphine 5000 orang meninggal dunia Alaska, Kolumbia, California 122 orang meninggal ketinggian tsunami lebih dari 6 meter Chili, Samudera Pasifik, Ketinggian tsunami tertinggi 25 meter Jepang diperkirakan sekitar 490 - 2.290 orang meninggal Hawai dan Alaska 159 orang meninggal dunia Hawai dan Alaska 165 orang meninggal Jepang 26000 orang meninggal dunia ketinggian tsunami lebih dari 20 meter Pasifik, Pantai Barat Amerika, ketinggian tsunami lebih dari 40 meter 36000 orang meninggal dunia dan Amerika Utara Lisbon-Portugal Lebih dari 91.600 orang tewas
2.5 Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) AHP adalah prosedur yang berbasis matematis yang sangat baik dan sesuai untuk kondisi evaluasi atribut-atribut kualitatif. Atribut-atribut tersebut secara matematik dikuantitatif
dalam
satu
set
perbandingan
berpasangan.
Kelebihan
AHP
dibandingkan dengan yang lainnya karena adanya struktur yang berhirarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih, sampai kepada sub-sub kriteria yang paling mendetail. Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan (Saaty dalam Sudarsono, 2004). Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, stratejik, dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut
27
Secara garis besar, ada tiga tahapan AHP dalam penyusunan prioritas, yaitu : 1. Dekomposisi dari masalah 2. Penilaian untuk membandingkan elemen-elemen hasil dekomposisi 3. Sintesis dari prioritas Jika diuraikan dalam bentuk langkah-langkah maka pada dasarnya langkah-langkah dalam metode AHP meliputi : 1. Menyusun hirarki dari permasalahan yang dihadapi. Persoalan yang akan diselesaikan, diuraikan menjadi unsur-unsurnya, yaitu kriteria dan alternatif, kemudian disusun menjadi struktur hierarki seperti Gambar 2.10 di bawah ini :
Gambar 2.10 Struktur Hierarki AHP [Susila dan Munadi, 2007] 2. Penilaian kriteria dan alternatif Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan. Menurut Saaty (dalam Sudarsono, 2004), untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty dapat dilihat pada Tabel 2.5
28
Tabel 2.5. Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan [Saaty dalam Sudarsono, 2004] Intensitas Kepentingan 1 3
Keterangan Kedua elemen sama pentingnya Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya Nilai-nilai antara dua nilai pertimbanganpertimbangan yang berdekatan
5 7 9 2,4,6,8
Perbandingan dilakukan berdasarkan kebijakan pembuat keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen terhadap elemen lainnya Proses perbandingan berpasangan, dimulai dari level hirarki paling atas yang ditujukan untuk memilih kriteria, misalnya A, kemudian diambil elemen yang akan dibandingkan, misal A1, A2, dan A3. Maka susunan elemen-elemen yang dibandingkan tersebut akan tampak seperti pada gambar matriks 2.6 di bawah ini : Tabel 2.6. Contoh matriks perbandingan berpasangan
A1 A2 A3
A1 1
A2
A3
1 1
Untuk menentukan nilai kepentingan relatif antar elemen digunakan skala bilangan dari 1 sampai 9 seperti pada Tabel 2.5., Penilaian ini dilakukan oleh seorang pembuat keputusan yang ahli dalam bidang persoalan yang sedang dianalisa dan mempunyai kepentingan terhadapnya.
29
Apabila suatu elemen dibandingkan dengan dirinya sendiri maka diberi nilai 1. Jika elemen i dibandingkan dengan elemen j mendapatkan nilai tertentu, maka elemen j dibandingkan dengan elemen i merupakan kebalikannya. Dalam AHP ini, penilaian alternatif dapat dilakukan dengan metode langsung (direct), yaitu metode yang digunakan untuk memasukkan data kuantitatif. Biasanya nilai-nilai ini berasal dari sebuah analisis sebelumnya atau dari pengalaman dan pengertian yang detail dari masalah keputusan tersebut. Jika si pengambil keputusan memiliki pengalaman atau pemahaman yang besar mengenai masalah keputusan yang dihadapi, maka dia dapat langsung memasukkan pembobotan dari setiap alternatif. 3. Penentuan prioritas Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat alternatif dari seluruh alternatif. Baik kriteria kualitatif, maupun kriteria kuantitatif, dapat dibandingkan sesuai dengan penilaian yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan proritas. Bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik. Pertimbangan-pertimbangan terhadap perbandingan berpasangan disintesis untuk memperoleh keseluruhan prioritas melalui tahapan-tahapan berikut: 1. Kuadratkan matriks hasil perbandingan berpasangan. 2. Hitung jumlah nilai dari setiap baris, kemudian lakukan normalisasi matriks.
4. Konsistensi Logis Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis.
30
Matriks bobot yang diperoleh dari hasil perbandingan secara berpasangan tersebut harus mempunyai hubungan kardinal dan ordinal. Hubungan tersebut dapat ditunjukkan sebagai berikut (Suryadi & Ramdhani, 1998): Hubungan kardinal
: a ij . a jk = a ik
Hubungan ordinal
: A i > A j , A j > A k maka A i > A k
Hubungan diatas dapat dilihat dari dua hal sebagai berikut : 1. Dengan melihat preferensi multiplikatif, misalnya bila anggur lebih enak empat kali dari mangga dan mangga lebih enak dua kali dari pisang maka anggur lebih enak delapan kali dari pisang. 2. Dengan melihat preferensi transitif, misalnya anggur lebih enak dari mangga dan mangga lebih enak dari pisang maka anggur lebih enak dari pisang. Pada keadaan sebenarnya akan terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan tersebut, sehingga matriks tersebut tidak konsisten sempurna. Hal ini terjadi karena ketidakkonsistenan dalam preferensi seseorang. Penghitungan konsistensi logis dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut : 1. Mengalikan matriks dengan proritas bersesuaian. 2. Menjumlahkan hasil perkalian per baris. 3. Hasil penjumlahan tiap baris dibagi prioritas bersangkutan dan hasilnya dijumlahkan. 4. Hasil c dibagi jumlah elemen, akan didapat λmaks. 5. Indeks Konsistensi (CI) = (λmaks-n) / (n-1) 6. Rasio Konsistensi = CI/ RI, di mana RI adalah indeks random konsistensi. Jika rasio konsistensi≤ 0.1, hasil perhitungan data dapat dibenarkan. Daftar RI dapat dilihat pada Tabel 2.7.
31
Tabel 2.7. Nilai Indeks Random [Saaty dalam Supriyono, et al, 2007] Ukuran Matriks 1,2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Nilai RI 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 1,51 1,48 1,56 1,57 1,59
32