BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Katup buang Katup adalah komponen penting dalam proses pembakaran bahan bakar di dalam silinder. Katup berfungsi sebagai pintu gerbang pemasukan bahan bakar dan pembuangan gas sisa pembakaran, yang mana waktu pembukaan dan penutupan katup diatur sesuai dengan mekanisme katup (Naresh, 2012), fungsi lain katup buang adalah mentransfer panas dari ruang bakar ke saluran pembuangan. Ketika mesin bekerja, temperatur katup buang mencapai 650°C, sedangkan temperatur katup masuk 250°C (Willard W. Pulkrabek, 2003). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.1 sebagai berikut :
Gambar 2.1.
Suhu pada ruang bakar (satuan celcius) mesin menurut SI pada kondisimesin normal stabil (Willard W. Pulkrabek, 2003)
Katup (valve) mempunyai susunan dan bentuk tertentu yang ditunjukan pada Gambar 2.2. katup buang sepeda motor 4 Tak dan 2 Tak mempunyai parameterparameter sebagai berikut: a)
Pressure-temperature ratings (nilai tekanan temperatur)
b) Corrosion resistance requirements (syarat ketahanan korosi) c)
Thermal shock (pemanasan secara cepat)
5
d) Physical shock (perubahan fisik) e)
Line stresses (tegangan garis)
f)
Fire hazards (bahaya terbakar)
Gambar 2.2. Bagian- bagian katup (Singaiah, G, 2012)
2.2. Kerusakan pada katup Katup bekerja secara kontinyu pada temperatur tinggi yang menyebabkan fatigue dan kerusakan (Naresh, 2012). Katup buang bekerja pada temperatur ekstrim antara 650°C - 810°C, bagaimana pada Gambar 2.3 (Larry Carley, 2005), sedangkan katup masuk pada temperatur 400°C- 550°C (Ika dkk, 2010). Katup buang terpapar temperatur tinggi dan secara mekanis mengalami tegangan berlebih. Selain itu, katup buang selalu kontak dengan gas buang hingga mudah mengalami korosi dan mengakibatkan retak (Ravindra, 1989) yang ditampilkan Gambar 2.4. Karena alasan ini katup buang jauh lebih peka terhadap korosi dan terbakar dibanding katup masuk (Nurten, 2010). Deposit terbentuk pada katup buang berasal dari reaksi bahan bakar dan oli. Sulfur, vanadium dan sodium yang terkandung dalam bahan bakar teroksidasi selama proses pembakaran dan membentuk sulfur dioksida, sulfur trioksida, sodium oksida dan vanadium pentaoksida. Pada temperatur 550oC, garam-garam deposit akan mencair dan mengalir sepanjang batas butir, kemudian larut dalam
6
lapisan proteksi mengakibatkan korosi sepanjang butir pada katup buang (Nanda, 2003).
Gambar 2.3. Distribusi panas pada kepala katub buang (SEB, 2010)
Gambar 2.4. Korosi disebabkan gas buang pada katub buang (Ravindra. P., 2012) Material katup buang sepeda motor yang mempunyai kandungan unsur Mangan (Mn) besar berpengaruh terhadap ketahanan aus dan meningkatkan ketahanan korosi (Ravindra. P., 1989). Sedangkan Material katup buang yang punya kandungan unsur Mangan paling rendah akan mudah aus dan lecet (Ika dkk., 2010). Baja mangan tinggi memiliki ketahanan terhadap luka lecet yang diperlihatkan Gambar 2.5. Mangan berinteraksi dengan sulfur dalam baja tahan
7
karat untuk membentuk sulfida mangan. Morfologi dan komposisi sulfida ini dapat memiliki efek besar pada ketahanan korosi (ASM. vol., 01., 2005).
Lecet
Gambar 2.5. Luka lecet pada katup buang sepeda motor (Peter J., 2009)
2.3. Material Katup Awal tahun 1900 katup telah dibuat dari campuran logam baja. Selanjutnya tahun 1950 material katup yang paling umum adalah PPH Baja Tahan-Karat (214N, 12-12, 23-8) dan tahun 1970-1980 dikembangkan logam campuran nikel, stellite dan triboloy (www.CMCManufacturing.com). Pada bulan oktober 1998 salah satu produsen katup menciptakan katup masuk dan buang dengan material titanium paduan Tib yang disebut Metal Matrick Composite (MMC) dari Toyota Motor Corporation (Furuta, 2001) Menurut Yamagata (2005), Katup masuk terbuat dari baja JIS-SUH3 fasa martensitic atau mempunyai sifat keras. Sedangkan katup buang terbuat dari baja JIS-SUH35 yang mempunyai fasa austenitic. Material katup buang sepeda motor memiliki kombinasi dua fasa yaitu austenit dan ferit
atau disebut Duplex
Stainless Steel (DSS). DSS akan memiliki sifat kekuatan dan ketangguhan yang tinggi serta ketahanan korosi yang sangat baik. Selain dua sifat di atas duplex juga mudah untuk difabrikasi dan mudah di las (Sanchez. R et.al., 2002). Baja merupakan paduan yang terdiri dari besi, karbon dan unsur lainnya. Besi dikenal sebagai Ferrite yang mempunyai format kristal di bawah titik leburnya, Salah satu berbentuk atom BCC (body centered cubic) stabil di bawah suhu kamar untuk 912°C (1675°F) dan dari 1394°C (2540°F) kepada titik lebur 1530°C (2785°F) (ASM vol.1, 2005). 8
Karbon merupakan salah satu unsur terpenting karena dapat meningkatkan kekerasan dan kekuatan baja (Calister, 2007). Baja merupakan logam yang paling banyak digunakan dalam teknik, dalam bentuk plat, lembaran, pipa, batang, profil dan sebagainya (Amstead dkk,1995) Baja tahan karat / Stainless Steel dibagi menjadi lima kelompok : 1. Baja tahan karat martensitic. 2. Baja tahan karat ferritic. 3. Baja tahan karat austenitic. 4. Baja tahan karat duplex (ferritic - austenitic). 5. Baja tahan karat precipitation hardening.
2.3.1. Kriteria Katup Buang Menurut Afham dkk (2012) Material katup buang harus mempunyai kriteria sebagai berikut : 1. Tahan temperatur tinggi sampai 700°C. 2. Tahan tekanan tinggi sampai 500 MPa. 3. Memiliki kekuatan besar dengan massa kecil. 4. Tahan terhadap oksidasi. 5. Keras, liat, densitasnya besar dan permukaannya tahan korosi. 6. Material mudah didapatkan.
Penggabungan dua unsur baja dan nikel dapat meningkatkan kekerasan dan kekuatan tarik dari material, dimana bisa dilihat pada Gambar 2.6. Material ini memenuhi kriteria katup buang sepeda motor mulai dari tahan temperatur tinggi, korosi, tahan lama pada tekanan tinggi, oksidasi, lecet (Afham. M. et, al, 2012). Unsur Cr dan Ni mampu bekerja pada tekanan dan temperatur tinggi sampai pada suhu 810oC (D.N. Gideon et al, 1962). Hubungan Ni, Cr terhadap temperatur ditampilkan pada Gambar 2.7.
9
Gambar 2.6. Hubungan nikel dan baja terhadap kekuatan tarik (Afham. M. et, al, 2012).
Gambar 2.7. Hubungan nikel dan kromium terhadap temperatur kerja (Afham. M. et, al, 2012).
10
Sedangkan sifat mekanik katup buang sepeda motor yang masuk jenis Duplex Stainless Steel (DSS) diterangkan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Sifat mekanik Duplex Stainless Steel (Afham. M. et, al, 2012).
2.3.2. Klasifikasi Baja Sifat dari baja karbon tergantung dari seberapa besar karbon yang dikandungnya. Berdasarkan kadar karbonnya baja dikelompokkan sebagai berikut (Surdia, dkk, 2000) : 1. Baja karbon rendah (Low CarbonSteel), kandungan kadar karbon kurang dari 0,3%. 2. Baja karbon sedang (Medium CarbonSteel), kandungan kadar karbon antara 0,3-0,45%. 3. Baja karbon tinggi (High CarbonSteel), kandungan kadar karbon antara 0,45-1,7%.
2.3.3. Baja Paduan / Alloy Steel Berdasarkan persentase paduannya 1. Baja paduan rendah Bila jumlah unsur tambahan selain karbon lebih kecil dari 8%.
11
2. Baja paduan tinggi Bila jumlah unsur tambahan selain karban lebih dari atau sama dengan 8% seperti baja HSS (High Speed Steel) atau SKH 53 (JIS) atau M3-1 (AISI). Sumber lain menyebutkan: 1. Low alloy steel (baja paduan rendah), elemen paduannya ≤ 2,5 %. 2. Medium alloy steel (baja paduan sedang), elemen paduannya 2,5-10 %. 3. High alloy steel (baja paduan tinggi), elemen paduannya > 10 %.
Tabel 2.2. Spesifikasi baja paduan (JIS) dan komposisi kimia untuk material katup. CYAUTO Symbols
JIS
SAE
BS
C
Si
Mn
P
S
Ni
Cr
W
SNCM4 SNCM7
4140 8645
0.43 0.40
0.35 0.04
0.85 0.65
0.03 0.03
0.03 0.35
0.9
1.2 0.75
SNCM8 SUH3 SUH11
4030
EN49 AEN10 0D EN24 EN52
0.44 0.45 0.5
0.35 2.5 3.0
0.70 0.6 0.6
0.03 0.03 0.03
0.035 0.03 0.035
1.7 0.6 0.5
1.4 12.0 8.5
349S54
0.58
0.35
10.00
0.04
0.045
4.5
22.0
EN54 EN59
0.50 0.85
1.75 2.25
1.20 0.60
0.045 0.03
0.045 0.03
10.0 1.65
14.0 20.5
0.45 0.4
2.5 3.50
0.6 0.6
0.03 0.03
0.03 0.03
14.0 0.6
15.0 9.5
A H B
SUH35 (21-N4) SUH4
DIN DIN
1.4882 1.4718
HNV 3 EV8
ENV 6 EV9
(Sumber : CYATO AUTOPART.CO.LTD)
Seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 2.2. simbol – simbol diatas antara lain : 1. W Chromium-Manganium-Molybdenum-Steel (JIS SCM4) berlaku untuk katup masuk. 2. H Silicon-Chromium (Silichrome 1) (JIS SUH11) berlaku untuk katup masuk saja. 3. A Silicon-Manganium-Molybdenum-Steel (JIS SUH3) berlaku untuk katup masuk. 4. B Chromium-Mangane Tinggi Baja Austenitic ( JIS Baja SUH35) (anti magnetic 21-4N) berlaku untuk katup buang.
12
Baja karbon rendah memiliki sifat pengerjaan yang baik seperti sifat keuletan, sifat mampu tempa, kelunakan dan mampu mesin yang baik. Untuk pemakaian pada suhu tinggi baja sejauh mungkin bebas dari nitrogen dengan jalan menambahkan Al tetapi tidak melebihi 300 gr/ton baja cair (Wiryosumarto, 2008).
2.3.4. Baja Tahan Karat / Stainless Steel Stainless Steel (SS) adalah paduan besi dengan minimal 12 % kromium. Komposisi ini membentuk lapisan pelindung anti korosi (protective layer) yang merupakan hasil oksidasi oksigen terhadap krom yang terjadi secara spontan. Tentunya harus dibedakan mekanisme protective layer ini dibandingkan baja yang dilindungi dengan coating (misal seng dan cadmium) ataupun cat. Sifat Stainless Steel (SS) antara lain: 1. Tahan temperatur rendah maupun tinggi. 2. Memiliki kekuatan besar dengan massa yang kecil. 3. Keras, liat, densitasnya besar dan permukaannya tahan aus. 4. Tahan terhadap oksidasi. 5. Kuat dan dapat ditempa. 6. Mudah dibersihkan, mengkilat dan tampak menarik Adapun Material katup buang yang termasuk golongan steel dapat dilihat pada Tabel 2.3. Tabel 2.3. Spesifikasi Steel dan komposisi kimia untuk material katup (Krzysztof, 2012) Paduan
C
Cr
Ni
Mn
Si
ASTM A 743
0.5-1.0
10.0-11.0
5.0-7.0
0.4-0.6
1.0-2.0
X33CrNiMnN
0.28-0.38
22.0-24.0
7.0-9.0
1.5-3.5
0.50-1.0
X50CrMnNiNbN
0.45-0.55
20.0-22.0
3.50-5.50
8.0-10.0
< 0.45
X53CrMnNiNbN
0.48-0.58
20.0-23.0
3.25-4.50
8.0-10.0
< 0.25
X55CrMnNiN
0.50-0.60
19.5-21.5
1.50-2.75
7.0-10.0
< 0.25
13
Kategori SS tidak halnya seperti baja lain yang didasarkan pada persentase karbon tetapi didasarkan pada struktur metalurginya. Lima golongan utama SS adalah Austenitic, Ferritic, Martensitic, Duplex dan Precipitation Hardening SS.
1. Austenitic Stainless Steel Austenitic SS mengandung sedikitnya 16% Chrom dan 6% Nickel (grade standar untuk 304), sampai ke grade Super Autenitic SS seperti 904L (dengan kadar Chrom dan Nickel lebih tinggi serta unsur tambahan Mo sampai 6%). Molybdenum (Mo), Titanium (Ti) atau Copper (Co) berfungsi untuk meningkatkan ketahanan terhadap temperatur serta korosi. Austenitic cocok juga untuk aplikasi temperature rendah disebabkan unsur Nickel membuat SS tidak menjadi rapuh pada temperatur rendah. 2. Ferritic Stainless Steel Kadar Chrom bervariasi antara 10,5 - 18 % seperti grade 430 dan 409. Ketahanan
korosi
tidak
begitu
istimewa
dan
relatif
lebih
sulit
di
fabrikasi/machining. Tetapi kekurangan ini telah diperbaiki pada grade 434 dan 444 dan secara khusus pada grade 3Cr12. 3. Martensitic Stainless Steel SS jenis ini memiliki unsur utama Chrom (masih lebih sedikit jika dibanding Ferritic SS) dan kadar karbon relatif tinggi misal grade 410 dan 416. Grade 431 memiliki Chrom sampai 16% tetapi mikro strukturnya masih martensitic disebabkan hanya memiliki Nickel 2%. Grade SS lain misalnya 174PH/ 630 memiliki tensile strength tertinggi dibanding SS lainnya. Kelebihan dari grade ini, jika dibutuhkan kekuatan yang lebih tinggi maka dapat di hardening. 4. Duplex Stainless Steel Duplex SS seperti 2304 dan 2205 (dua angka pertama menyatakan persentase Chrom dan dua angka terakhir menyatakan persentase Nickel) memiliki bentuk mikrostruktur campuran austenitic dan Ferritic. Duplex ferriticaustenitic memiliki kombinasi sifat tahan korosi dan temperatur relatif tinggi atau secara khusus tahan terhadap Stress Corrosion Cracking. Meskipun kemampuan Stress Corrosion Cracking-nya tidak sebaik ferritic SS tetapi ketangguhannya jauh lebih baik (superior) dibanding ferritic SS dan lebih buruk dibanding
14
Austenitic SS. Sementara kekuatannya lebih baik dibanding Austenitic SS (yang di annealing) kira-kira 2 kali lipat. Sebagai tambahan, Duplex SS ketahanan korosinya sedikit lebih baik dibanding 304 dan 316 tetapi ketahanan terhadap pitting corrosion jauh lebih baik (superior) dibanding 316. Ketangguhannya Duplex SS akan menurun pada temperatur dibawah - 50oC dan diatas 300oC. 5. Precipitation Hardening Steel Precipitation hardening
stainless steel adalah SS yang keras dan kuat
akibat dari dibentuknya suatu presipitat (endapan) dalam struktur mikro logam. Sehingga gerakan deformasi menjadi terhambat dan memperkuat material SS. Pembentukan ini disebabkan oleh penambahan unsur tembaga (Cu), Titanium (Ti), Niobium (Nb) dan alumunium (Al). Proses penguatan umumnya terjadi pada saat dilakukan pengerjaan dingin (cold work). Perbandingan masing-masing sifat dari grade SS ditunjukkan pada Tabel 2.4. Tabel 2.4. Perbandingan Sifat Mekanik Berbagai Jenis Stainless Steel Jenis Stainless Steel
Respon Ketahanan Magnet
Korosi
Metode
Ke-liat-an
Hardening (Ductility)
Sgt Tinggi Cold Work Sgt Tinggi
Ketahanan Ketahanan Temperatur Temperatur
Kemampuan Welding
Tinggi
Rendah
Sgt Tinggi
Sgt Tinggi
Sgt Tinggi
Austenitic
Tdk
Duplex
Ya
Sedang
Tidak ada
Sedang
Rendah
Sedang
Tinggi
Ferritic
Ya
Sedang
Tidak ada
Sedang
Tinggi
Rendah
Rendah
Martensitic
Ya
Sedang
Q&T
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
2.3.5. High Strength Low Alloy Steel (HSLA) Sifat dari HSLA adalah memiliki tensile strength yang tinggi, anti bocor, tahan terhadap abrasi, mudah dibentuk, tahan terhadap korosi, ulet, sifat mampu mesin yang baik dan sifat mampu las yang tinggi (weldability). Untuk mendapatkan sifat-sifat di atas maka baja ini diproses secara khusus dengan menambahkan unsur-unsur seperti: tembaga (Cu), nikel (Ni), Chromium (Cr), Molybdenum (Mo), Vanadium (Va) dan Columbium. 2.4. Duplex Stainless Steel Duplex Stainless Steel (DSS) adalah material dengan kombinasi dua fasa yaitu austenite dan ferrite. Hadirnya fasa austenite dalam duplex membuat
15
material ini tangguh dan ulet sedangkan fasa ferit memberikan sifat ketahanan korosi namun ketangguhannya rendah. Sehingga DSS akan memiliki sifat kekuatan dan ketangguhan yang tinggi serta ketahanan korosi yang sangat baik. Selain dua sifat di atas duplex juga mudah untuk difabrikasi dan mudah di las. Kemampuan untuk di las dan karakteristik pengelasan DSS lebih baik dari feritic SS, tetapi secara umum tidak lebih baik dari material austenitic. Produk DSS diperoleh dengan beberapa proses pengerjaan seperti pengecoran (casting), tempa (forging), extrusi dan canai (rolling). Secara umum sifat DSS dapat dicapai untuk kesetimbangan fasa dalam rentang 30 sampai 70% ferrite dan austenite. Namun, DSS paling banyak memiliki komposisi yang seimbang antara ferrite dan austenite, dimana untuk produksi komersial saat ini lebih banyak penambahan austenite untuk alasan ketangguhan dan karakteristik fabrikasi yang lebih baik. Untuk menjaga kesetimbangan kedua fasa di atas bergantung pada komposisi paduan dan perlakuan panas. Dalam proses pengerjaannya, untuk memprediksi struktur mikro yang diinginkan (austenite dan ferrite) dapat merujuk pada diagram Schaeffler-DeLong di Gambar 2.8.
Gambar 2.8. Diagram Schaeffler-DeLong menunjukkan struktur mikro yang terbentuk pada komposisi paduan tertentu (Sourmail, T. et. Al., 2004).
Elemen-elemen paduan penstabil ferit disebut Chrom-equivalents dan elemen-elemen penstabil austenit di sebut Nickel-equivalents dengan formula: Cr-equivalent = Cr + Mo + 1.5Si + 0.5Nb [wt%]
(1)
Ni-equivalent = Ni + 30(C+N) + 0.5Mn [wt%]
(2)
16
DSS dapat di aplikasikan pada rentang temperatur intermediate dari temperatur ambient sampai beberapa ratus derajat Farenheit (tergantung lingkungan), dimana ketahanan terhadap asam dan larutan klorida di persyaratkan. DSS dapat di aplikasikan pada sektor onshore dan offshore industri minyak dan gas sebagai sistem pemipaan, (process piping, seawater piping, tube & pipe fittings, instrumentation & hydraulic tubing), heat exchanger dan reaction vessel karena sifatnya yang tahan korosi dan memiliki kekuatan yang tinggi.
2.4.1. Unsur-Unsur Penting Paduan Duplex Stainless Steels 1. Chromium (Cr) Kromium adalah unsur pembentuk ferrite, yang berarti penambahan kromium menstabilkan struktur BCC besi. Jumlah minimum krom sekitar 10.5% penting untuk membentuk lapisan pasif krom stabil yang berguna untuk melindungi baja dari mild atmospheric corrosion. Efek kromium ini penting karena pengaruhnya pada pembentukan dan penghilangan scale oksida yang dihasilkan dari perlakuan panas atau pengelasan. 2. Molibdenum (Mo) Molibdenum berfungsi untuk mendukung kromium dalam ketahanan korosi klorida tehadap SS. Ketika kandungan krom dalam SS sedikitnya 18%, penambahan molybdenum menjadi tiga kali lebih efektif seperti penambahan krom dalam melawan pittingdan crevice corrosion. Di lingkungan klorida, Molibdenum (Mo) adalah unsur pembentuk ferrite dan juga meningkatkan kecenderungan SS membentuk fasa intermetalik yang merusak. Oleh karena itu kandungan Molibdenum dibatasi kurang dari 4% dalam DSS. 3. Nitrogen Nitrogen meningkatkan ketahanan pitting dan crevicecorrosion pada austenitic dan DSS. Nitrogen adalah unsur penting pembentuk austenite dan bisa menggantikan nikel dalam austenitic SS. Unsur pembentuk ferit, kromium dan molibdenum, diseimbangkan dengan unsur pembentuk austenite nickel dan nitrogen, untuk mendapatkan struktur duplex.
17
4. Nickel Nickel adalah unsur penstabil austenit, yang berarti penambahan nikel pada besi paduan dapat meningkat ketahanan terhadap tegangan-retak dan korosi. Juga terbentuknya unsur penstabil austenite untuk mempromosikan perubahan struktur kristal dari BCC (ferritic) ke FCC (austenitic) yang dijelaskan pada Gambar 2.9 (ASM. vol. 01., 2003).
Gambar 2.9. Penambahan nikel, struktur kristal berubah dari Body Centered Cubic (tanpa nikel) menjadi Face-Centered Cubic (sedikitnya 8% nickel) (International Molybdenum Association., 2009) Penambahan nikel menunda pembentukan fasa intermetalik yang merusak pada austenitic ss tetapi nikel kurang efektif dibanding nitrogen pada DSS. Sruktur FCC membuat austenitic stainless steels memiliki ketangguhan tinggi. Kehadirannya dari sekitar setengah struktur mikro duplex meningkatkan ketangguhan duplex dibanding Ferritic SS (Sourmail, T. et. Al., 2004). Untuk penambahan unsur nikel akan mengubah strukturmikro dari material besi paduan yang diperlihatkan pada Gambar 2.10.
Gambar 2.10. Peningkatan kandungan nikel merubah struktur mikro Stainless Steel dari Ferritic (kiri) menjadi Duplex (tengah) menjadi Austenitic (kanan) (Sourmail, T. et. Al., 2004)
18
2.4.2. Diagram fasa Fe-Cr-Ni Diagram fasa ternari besi-kromium-nikel menjelaskan sifat metalurgi DSS. Pada konsentrasi 68% besi (Gambar 2.8. Diagram Schaeffler-DeLong) mengilustrasikan bahwa paduan ini membeku sebagai ferit (α), sebagiannya kemudian berubah menjadi austenit (γ) pada suhu sekitar 1000°C (1832°F) tergantung pada komposisi paduan. Disana ada perubahan lebih jauh dalam kesetimbangan ferrite–austenite pada temperatur rendah. Efek peningkatan nitrogen juga ditunjukkan dalam Gambar 2.10. Efek positif nitrogen lainnya adalah meningkatkan temperatur dimana austenit mulai terbentuk dari ferit. Oleh karena itu, bahkan pada laju pembekuan cepat, keseimbangan level austenit dapat dicapai. Pada generasi kedua DSS, efek ini mengurangi masalah kelebihan ferit pada daerah HAZ. Secara termodinamik, karena austenit terbentuk dari ferit, maka tidak mungkin untuk paduan menuju kesetimbangan austenit. Namun, karena proses pembekuan ke temperatur rendah akan membentuk fasa-fasa yang merugikan seperti karbida, nitrida, sigma dan fasa intermetalik lainnya pada struktur mikro. Hal ini harus dihindari karena fasafasa tersebut bersifat getas, dan mengurangi ketangguhan duplex.
Gambar 2.11. Diagram fasa terner Fe-Cr-Ni pada kandungan 68% besi. Perubahan kecil pada kandungan nikel dan kromium membuat pengaruh yang besar pada jumlah austenite dan ferrite dalam duplex stainless steels (Sourmail, T. et. Al., 2004). Perubahan kecil pada kandungan nikel dan kromium membuat pengaruh yang besar pada jumlah austenite dan ferrite yang ditampilkan pada Gambar 2.11 (Sourmail, T. et. Al., 2004). Untuk strukturmikro baja paduan yang mengandung unsur nikel dan kromium lebih kecil menjadikan banyak terbentuk ferit. 19
Sedangkan baja paduan yang mengandung unsur nikel dan kromium lebih besar, maka banyak terbentuk austenite. Secara termodinamik, austenit terbentuk dari ferit, maka tidak mungkin untuk paduan menuju kesetimbangan austenite yang ditampilkan pada Gambar 2.12 (Zucato. I., 2002) Namun, karena proses pembekuan ke temperatur rendah akan membentuk fasa-fasa yang merugikan seperti karbida, nitrida, sigma dan fasa intermetalik lainnya pada struktur mikro.
Gambar 2.12. Strukturmikro Material 2205 dengan keseimbangan fasa ferit (F) dan austenite (A). untuk tanda panah menunjukan precipitasi fasa sigma (Zucato. I., 2002) 2.5. Sifat-sifat material 1.
Komposisi Kimia Proses pengujian komposisi berlangsung dengan pembakaran bahan
menggunakan elektroda dimana terjadi suhu rekristalisasi, dari suhu rekristalisasi terjadi penguraian unsur yang masing-masing beda warnanya. Penentuan kadar berdasar sensor perbedaan warna. Proses pembakaran elektroda ini tidak lebih dari tiga detik. Pengujian komposisi dapat dilakukan untuk menentukan jenis bahan yang digunakan dengan melihat persentase unsur yang ada. Untuk mengetahui komposisi logam cair dilakukan inspeksi logam cair. Alat uji yang digunakan CE meter atau spektrometer. Seperti yang dijelaskan sebelumnya setelah diketahui komposisi logam cair dengan pengujian komposisi dilakukan proses penyesuaian untuk mencapai komposisi yang sesuai dengan standar. Pada Gambar 2.13 ada tiga bagian utama proses pengujian komposisi yaitu (Hendri, 2002).
20
1. Furnace berisi logam cair yang dilebur dari beberapa raw material. 2. Standar material yang menentukan kandungan komposisi masing-masing unsur yang ditetapkan. 3. Proses pengujian komposisi yang menggunakan CE meter dan Spectrometer.
Gambar 2.13 Ilustrasi proses pengujian komposisi dan proses penyesuaian (Hendri, 2002)
2.
Struktur Mikro Mikrografi adalah metode yang digunakan untuk memperoleh gambar
yang menunjukkan struktur mikro pada hal ini struktur logam dan paduannya. Dengan pengujian mikrografi ini kita dapat mengetahui struktur dari suatu logam dengan memperjelas batas-batas butir logam. Dalam setiap butir, semua sel satuan teratur dalam satu arah dan satu pola tertentu. Batas butir mempunyai lima derajat kebebasan, Pada batas butir antara dua butir yang berdekatan terdapat daerah transisi yang tidak searah dalam kedua butiran tadi. Batas butir dapat kita anggap berdimensi dua, bentuknya mungkin melengkung dan sesungguhnya memiliki ketebalan tertentu yaitu antara dua sampai tiga jarak atom. Ketidak seragaman orientasi antara butiran yang berdekatan menghasilkan tumpukan atom yang kurang efisien sepanjang batas.
21
Struktur mikro sangat penting dalam suatu logam dalam suatu logam yang diperlukan untuk mengetahui sifat-sifat
dari logam tersebut.
Strukturmikro pada baja akan mempengaruhi sifat-sifat mekanik dan juga sifat fisik. Struktur matrik pada baja antara lain: a) Ferrite (besi alpha) b) Austenit (besi gamma) c) Besi Delta d) Cementit (Karbida besi) e) Bainit f)
Martensit
g) Perlit Struktur mikro adalah struktur terkecil yang terdapat dalam suatu bahan yang keberadaannya tidak dapat di lihat dengan mata telanjang, tetapi harus menggunakan alat pengamat struktur mikro diantaranya; mikroskop cahaya, mikroskop electron, mikroskop field ion, mikroskop field emission dan mikroskop sinar-X. Penelitian ini menggunakan mikroskop cahaya, adapun manfaat dari pengamatan struktur mikro ini adalah: 1. Mempelajari hubungan antara sifat-sifat bahan dengan struktur dan cacat pada bahan. 2. Memperkirakan sifat bahan jika hubungan tersebut sudah diketahui. Langkah-langkah untuk melakukan pengamatan struktur mikro dapat memakai referensi ASTM E3 dari persiapan sempel dan prosedur pengujian mikroskop sebagai berikut : a. Cutting (Pemotongan) Pemilihan sampel yang tepat dari suatu benda uji studi mikroskopik merupakan hal yang sangat penting. Pemilihan sampel tersebut didasarkan pada tujuan pengamatan yang hendak dilakukan. Pada umumnya bahan komersil tidak homogen, Sehingga satu sampel yang diambil dari suatu volume besar tidak dapat dianggap representatif. Pengambilan sampel harus direncanakan sedemikian sehingga menghasilkan sampel yang sesuai dengan kondisi rata-rata bahan atau kondisi di tempat-tempat tertentu (kritis) yang mana ditunjukan pada
22
Gambar 2.14 dengan memperhatikan kemudahan pemotongan pula. Secara garis besar, pengambilan sampel dilakukan pada daerah yang akan diamati mikrostruktur
maupun
makrostrukturnya.
Sebagai
contoh,
untuk
pengamatan struktur mikro material yang mengalami kegagalan. Maka sampel diambil sedekat mungkin pada daerah kegagalan (pada daerah kritis dengan kondisi terparah), untuk kemudian dibandingkan dengan sampel yang diambil dari daerah yang jauh dari daerah gagal. Perlu diperhatikan juga bahwa dalam proses memotong, harus dicegah kemungkinan deformasi dan panas yang berlebihan. Oleh karena itu, setiap proses pemotongan harus diberi pendinginan yang memadai.
Symbol in diagram A B C D E F
Suggested designation
Rolled Surface Direction of rolling Rolled edge Plannar edge Longitudinal section perpendicular to rolled surface Transverse section
G
Radial longitudinal section
H
Tangential longitudinal section
Gambar 2.14 Metode menentukan lokasi pemotongan untuk menentukan area yang dimikrografi (ASTM Handbook E18, 2002).
Ada beberapa sistem pemotongan sampel berdasarkan media pemotong
yang
digunakan,
yaitu
meliputi
proses
pematahan,
pengguntingan, penggergajian, pemotongan abrasi (abrasive cutter), gergaji kawat, dan EDM (Electric Discharge Machining) yang bisa dilihat pada Tabel 2.5.
23
Tabel 2.5. Macam-macam pisau pemotong material (ASTM E18, 2002)
Hardness HV Materials
abrasive
Bond
Bond Hardness
Up to 300
non-ferrous (Al, Cu)
SiC
P or R
Hard
Up to 400
non-ferrous (Ti)
SiC
P or R
med hard
Up to 400
soft ferrous
Al2O3
P or R
Hard
Up to 500
Medium soft ferrous
Al2O3
P or R
med hard
Up to 600
Medium hard ferrous
Al2O3
P or R
Medium
Up to 700
hard ferrous
Al2O3
P or R&R
med soft
Up to 800
very hard ferrous
Al2O3
P or R&R
Soft
> 800
extremely hard ferrous
CBN
P or R
Hard
more brittle ceramics
diamond
P or R
very hard
tougher ceramics
diamond
M
ext hard
P – phenolic
R&R - resin and rubber
R – rubber
M – Metal
Sumber : ASTM Handbook E18, 2002
Berdasarkan tingkat deformasi yang dihasilkan, teknik pemotongan terbagi menjadi dua, yaitu:
Teknik pemotongan dengan deformasi yang besar, menggunakan gerinda
Teknik pemotongan dengan deformasi kecil, menggunakan diamond saw
b.
Mounting Spesimen yang berukuran kecil atau memiliki bentuk yang tidak
beraturan akan sulit untuk ditangani khususnya ketika dilakukan pengamplasan dan pemolesan akhir. Sebagai contoh adalah spesimen yang berupa kawat, spesimen lembaran logam tipis, potongan yang tipis dan lainlain. Untuk memudahkan penanganannya, maka spesimen-spesimen tersebut harus ditempatkan pada suatu media (media mounting). Secara umum syarat-syarat yang harus dimiliki bahan mounting adalah :
Bersifat inert (tidak bereaksi dengan material maupun zat etsa)
Sifat eksoterimis rendah 24
Viskositas rendah
Penyusutan linier rendah
Sifat adesif baik
Memiliki kekerasan yang sama dengan sampel
Flowabilitas baik, dapat menembus pori, celah dan bentuk ketidakteraturan yang terdapat pada sampel
Khusus untuk etsa elektrolitik dan pengujian SEM, bahan mounting harus kondusif Media mounting yang dipilih haruslah sesuai dengan material dan
jenis reagen etsa yang akan digunakan. Pada umumnya mounting menggunakan material plastik sintetik. Materialnya dapat berupa resin (castable resin) yang dicampur dengan hardener atau bakelit. Penggunaan castable resin lebih mudah dan alat yang digunakan lebih sederhana dibandingkan bakelit, karena tidak diperlukan aplikasi panas dan tekanan. Namun bahan castable resin ini tidak memiliki sifat mekanis yang baik (lunak) sehingga kurang cocok untuk material-material yang keras. Teknik mounting yang paling baik adalah menggunakan thermosetting resin dengan menggunakan material bakelit. Material ini berupa bubuk yang tersedia dengan warna yang beragam. c.
Grinding (Pengamplasan) Tabel 2.6. Ukuran grit amplas standart Eropa dan USA (ASTM E18, 2002) FEPA Grit Number Size (µm) P120 125.0 P150 100.0 P240 58.5 P320 46.2 P360 40.5 P500 30.2 P600 25.8 P800 21.8 P1000 18.3 P1500 12.6 P2000 10.3 P2500 8.4
ANSI/CAMI Grit Number Size (µm) 120 116.0 180 78.0 …. …. …. …. 280 42,3 …. …. 360 27.3 400 22.1 500 18.2 800 11.5 1000 9.5 1500 8.0
not found in the FEPA granding system ANSI - Amirican National Standart institute CAMI - Coated abrasives manucfacturers institute FEPA - european federation of abrasive producers
25
Sampel yang baru saja dipotong, atau sampel yang telah terkorosi memiliki permukaan yang kasar. Permukaan yang kasar ini harus diratakan agar pengamatan struktur mudah untuk dilakukan. Pengamplasan dilakukan dengan menggunakan kertas amplas yang ukuran butir abrasifnya dinyatakan dengan mesh. Urutan pengamplasan harus dilakukan dari nomor mesh yang rendah (150 mesh) ke nomor mesh yang tinggi (2000 mesh) bisa dilihat pada Tabel 2.6. Ukuran grit pertama yang dipakai tergantung pada kekasaran permukaan dan kedalaman kerusakan yang ditimbulkan oleh pemotongan. Hal yang harus diperhatikan pada saat pengamplasan adalah pemberian air.
Air berfungsi sebagai pemindah geram, memperkecil
kerusakan akibat panas yang timbul yang dapat merubah struktur mikro sampel dan memperpanjang masa pemakaian kertas amplas. Penggunaan air dan langkah-langkah pengamplasan bisa dilihat pada Tabel 2.7. untuk pengamplasan material lunak. Hal lain yang harus diperhatikan adalah ketika melakukan perubahan arah pengamplasan, maka arah yang baru adalah 450 atau 900 terhadap arah sebelumnya. Tabel 2.7. Persiapan uji mikrografi material lunak dibawah 45 HRC (ASTM Handbook E18, 2002). Surface planar grinding paper/stone
Lubricant
Water
free grinding heavy compotible nylon clotch
lubricant
rought polishing low compotible nap cloth
lubricant
final polishing
compotible
med/high nap clotch lubricant
Abrasive type/size ANSI (FEPA) 120-320 (p120-400)
time sec
force N
Platen
(lbf)
RPM3
Rotation
15-45 20-30(5-8) 200-300
00O
6-15 µm diamond 160-300 20-30(5-8) 100-150
00O
3-6 µm diamond 120-300 20-30(5-8) 100-150
00O
grit SiC/al2O3
1 µm diamond
60-120 10-20(3-5) 100-151
00O
0.04 µm diamond synthetic suede
Water
colloidall silica or 0.05 or 0.05 mm alumina
26
30-60 20-30(5-8) 100-152 Contra
d.
Polishing (Pemolesan) Setelah diamplas sampai halus, sampel harus dilakukan pemolesan.
Pemolesan bertujuan untuk memperoleh permukaan sampel yang halus bebas goresan dan mengkilap seperti cermin dan menghilangkan ketidakteraturan sampel hingga orde 0.01 μm. Permukaan sampel yang akan diamati di bawah mikroskop harus benar-benar rata. Apabila permukaan sampel kasar atau bergelombang, maka pengamatan struktur mikro akan sulit untuk dilakukan karena cahaya yang datang dari mikroskop dipantulkan secara acak oleh permukaan sampel. Tahap pemolesan dimulai dengan pemolesan kasar terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan pemolesan halus. Ada 3 metode pemolesan antara lain yaitu sebagai berikut : 1. Pemolesan elektrolit kimia Hubungan rapat arus dan tegangan bervariasi untuk larutan elektrolit dan material yang berbeda dimana untuk tegangan, terbentuk lapisan tipis pada permukaan, dan hampir tidak ada arus yang lewat, maka terjadi proses etsa. Sedangkan pada tegangan tinggi terjadi proses pemolesan. 2. Pemolesan kimia mekanis Merupakan kombinasi antara etsa kimia dan pemolesan mekanis yang dilakukan serentak di atas piringan halus. Partikel pemoles abrasif dicampur dengan larutan pengetsa yang umum digunakan. 3. Pemolesan elektro mekanis (Metode Reinacher) Merupakan kombinasi antara pemolesan elektrolit dan mekanis pada piring pemoles. Metode ini sangat baik untuk logam mulia, tembaga, kuningan, dan perunggu.
e. Etching (Etsa) Etsa merupakan proses penyerangan atau pengikisan batas butir secara selektif dan terkendali dengan pencelupan ke dalam larutan pengetsa baik menggunakan listrik maupun tidak ke permukaan sampel, sehingga
27
detil struktur yang akan diamati akan terlihat dengan jelas dan tajam. Untuk beberapa material, struktur mikro baru muncul jika diberikan zat etsa. Sehingga perlu pengetahuan yang tepat untuk memilih zat etsa yang tepat. 1. Etsa kimia Merupakan proses pengetsaan dengan menggunakan larutan kimia, lihat Tabel 2.8. dimana zat etsa yang digunakan ini memiliki karakteristik tersendiri sehingga pemilihannya disesuaikan dengan sampel yang akan diamati.
Tabel 2.8. Jenis-jenis etsa kimia pada uji mikrografi material (ASTM Handbook E18, 2002).
6H
HCL
plus
2
gl
hexametylene tetamine
immerse specimentin solution for 1 to 15 min. good for steels.cleaning action can be enhanced by light brushing or by brief (5 s) periods in an ultrasonic cleaner
3 mL HCL 4
mL
2-Butyne-,
4
diolinhibitor
use a fresh solution at room temperature. Use in an ultrasonic cleaner for about 30 s
50 mL water 49 mL water 49 mL HCL
wash speciment in alcohol for 2 min in ultrasonic cleaner before and after a 2 min ultrasonic cleaning period with the inhibeted acid bath
2 mL Rodine -50 Inhibitor 6 g sodium cyanide 5 g sodium sulphite 100 mL distiled water 10 g ammonium citrate
electrolytic rust removal solution. Use under a hood with care. Use 100-mA/cm2 current density for up to 15 min
use solution heated to 30oC (86F)
100 mL distiled water 70 mL orthophosphoric acid 32 g chromic acid
recommended for removin oxides from aluminum alloy fracture ( some sources claim that only organic solvent shoild be used)
130 mL water 8 0z endox 214 powder
use electrolytically at 250-mA/cm2current density for 1 min with a Pt cathoda to remove oxidation products. Wash in ultrasonic cleaner with the solution for 1 min.
1000 mL cold water ( add
repeat this cycle several times if necessary.use under a hood
small amount of photo-flo) ASTM Handbook E18, 2002
28
2. Elektro etsa (Etsa Elektrolitik) Merupakan proses etsa dengan menggunakan reaksi elektroetsa. Cara ini dilakukan dengan pengaturan tegangan dan kuat arus listrik serta waktu pengetsaan. Etsa jenis ini biasanya khusus untuk stainless steel karena dengan etsa kimia susah untuk medapatkan detil strukturnya. f. Pengamatan Struktur Makro dan Mikro Pengamatan metalografi dengan mikroskop dapat dibagi dua, yaitu : 1. Makro yaitu pengamatan struktur pembesaran 10-100 kali. 2. Mikro yaitu pengamatan struktur pembesaran di atas 100 kali. Selanjutnya pengamatan dapat dilakukan dengan Microscope electron Untuk Gambar 2.15 menunjukan material katup yang akan di mikrografi. Mengetahui jenis dan jumlah / distribusi strukturmikro yang menjadi salah satu alat dalam control kualitas bahan, karena sifat bahan akan dipengaruhi oleh struktur mikronya.
Gambar 2.15. Katup buang Honda, Yamaha, dan Kawasaki 110 Metode perhitungan besar butir Ada tiga metode yang direkomendasikan ASTM, yaitu : 1. Metode Perbandingan Foto struktur mikro bahan dengan perbesaran 100X dapat dibandingkan dengan grafik ASTM E11 dapat ditentukan besar butir. Nomor besar butir ditentukan dengan rumus :
N–2n-1 Dimana N adalah jumlah butir per inch2 dengan perbesaran 100X. Metode ini cocok untuk sampel dengan butir beraturan. 29
2. Metode intercept Plastik transparan dengan grid (bergaris kotak-kotak) diletakkan di atas foto atau sampel. Kemudian dihitung semua butir yang berpotongan pada akhir garis dianggap setengah. Perhitungan dilakukan pada tiga daerah agar mewakili. Nilai diameter rata-rata ditentukan dengan membagi jumlah butir yang berpotongan dengan panjang garis. Metode ini cocok untuk butir yang tidak beraturan. 3. Metode Planimetri Metode ini menggunakan lingkaran yang umumnya memiliki 5000 mm2 perbesaran. Sehingga ada sedikitnya 75 butir yang berada di dalam lingkaran. Kemudian hitung jumlah total semua butir dalam lingkaran ditambah setengah dari jumlah butir yang berpotongan dengan lingkaran. 3.
Kekerasan Logam Kekerasan merupakan ketahanan suatu material terhadap penetrasi
material lain. Pada umumnya kekerasan menyatakan ketahanan terhadap deformasi, dan untuk logam dengan sifat tersebut merupakan ketahanannya terhadap deformasi plastik atau deformasi permanen. Ada 2 (dua) tipe pengidentasian, yaitu statik dan dinamis. Test identasi statik yang umumnya dipakai merupakan pengidentasian yang dilakukan pada permukaan material dengan beban tertentu. Sedangkan test identasi dinamik meliputi beban bebas yang dijatuhkan yang memberikan impak terhadap material. Berikut ini metodemetode pengujian logam :
a) Metode Brinell Penetrator yang digunakan berupa bola baja yang dikeraskan dengan diameter 0,625 s/d 10 mm dan standard beban 0,97 s/d 3000 Kgf. Lama penekanan 10 s/d 30 detik. Bola harus berupa baja yang dikeraskan, ditemper, dan dengan kekerasan minimum 850 VPN. Kekerasan yang diberikan merupakan hasil bagi beban penekan dengan keras permukaan lekukan bekas penekanan dari bola baja yang ditunjukan pada Gambar 2.16. 30
Gambar 2.16. Metode Brinell (Callister,2007).
HB
2F D2 - d 2
DD
Dimana : HB =
Nilai kekerasan Brinell
F
=
Beban yang diterapkan (Kg)
D
=
Diameter bola (mm)
d
=
diameter (mm)
Diameter lekukan diukur pada kaca pembesar dengan menggunakan mistar yang sesuai dengan pembesarannya. HB dilihat langsung dalam Tabel 2.9. yang tertera pada body preparat. Bola baja hanya digunakan untuk mengetes baja yang dikeraskan, besi tuang kelabu dan non logam. Tabel 2.9. Standar Uji Brinell (ASTM E-10,1990) Diameter Bola
Beban ( kg )
(mm)
Daerah Angka Kekerasan
10 mm
3000
96 s/d 600
10mm
1500
48 s/d 300
10mm
500
16 s/d 100
31
b) Metode Rockwell Pengujian kekerasan Rockwell didasarkan pada kedalaman masuknya penekan benda uji. Nilai kekerasan dapat langsung dibaca setelah beban utama dihilangkan. Untuk menghitung nilai kekerasan Rokwell dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : HR = E - e
Dimana: HR = nilai kekerasan Rockwell E = konstanta tergantung pada bentuk identor. e
= perbedaan antara dalamnya penembusan,
Untuk itulah digunakan Tabel 2.10 Skala Kekerasan Rockwell yang memperlihatkan skala yang digunakan untuk tipe-tipe material tertentu. Tabel 2.10. Skala Kekerasan Rockwell (Callister,2007).
Skala
Beban Mayor (Kg)
Tipe Indentor
A
60
1/16” bola intan kerucut
Sangat keras, tungsten, karbida
B
100
1/16” bola
Kekerasan sedang, baja karbon rendah dan sedang, kuningan, perunggu
C
150
Intan kerucut
Baja keras, paduan yang dikeraskan, baja hasil tempering
D
100
1/8” bola
Besi cor, paduan alumunium, magnesium yg dianealing
E
100
Intan Kerucut
Baja kawakan
F
60
1/16” bola
Kuningan yang dianealing dan tembaga
G
150
1/8” bola
Tembaga, berilium, fosfor, perunggu
H
60
1/8” bola
Pelat alumunium, timah
K
150
¼” bola
Besi cor, paduan alumunium, timah
L
60
¼” bola
Plastik, logam lunak
M
100
¼” bola
Plastik, logam lunak
R
60
¼” bola
Plastik, logam lunak
S
100
½” bola
Plastik, logam lunak
V
150
½” bola
Plastik, logam lunak
32
Tipe Material Uji
Pengujian kekerasan Rockwell memiliki dua metode yang biasa digunakan yaitu: 1) Metode dengan Kerucut (HRC) Pada percobaan dengan metode ini menggunakan identer kerucut untuk penekanan ke material (Gambar 2.17) dengan besar nilai kekerasan HRC. Skala HRC memiliki nilai kekerasan 0 sampai 100,
Gambar 2.17. Diagram mekanisme uji kekerasan Rockwell (Callister,2007). Namun pengujian untuk material tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan mesin khusus yang memiliki kapasitas beban 1-30 kg. Metode ini hanya cocok untuk bahan-bahan dengan susunan yang homogen. Gambar 2.18 menunjukan bagan pengujian Rockwell Cone atau HRC :
Gambar 2.18. Bagan Pengujian HRC (Callister,2007). 33
2) Metode dengan Peluru (HRB) Metode ini pada dasarnya sama dengan metode kerucut. Hanya saja metode ini menggunakan penetrator sebuah peluru. Berikut ini adalah bagan pengujian Rockwell Ball atau HRB (Gambar 2.19)
Gambar 2.19. Bagan Pengujian HRB (Callister,2007). 3) Metode Rockwell Superficial Perbedaannya dengan Rockwell biasa adalah dalam beban minor dan beban mayor. Pada Rockwell Superficial, beban minor adalah 3 kg, sedangkan beban mayor adalah 15, 30 dan 45 kg diperlihatkan pada Tabel 2.11. Tabel 2.11. Skala Superficial Rockwell (Callister,2007). Scale Simbol
Identor
15 N 30 N 45 N 15 T 30 T 45 T 15 W 30 W 45 W
Diamond Diamond Diamond 1/16 in ball 1/16 1n ball 1/16 in ball 1/8 in ball 1/8 in ball 1/18 in ball
34
Mayor Load 15 30 45 15 30 45 15 30 45
c) Metode Vickers Metode ini mirip dengan metode brinell tetapi penetrator yang dipakai berupa intan berbentuk piramida dengan dasar bujur sangkar dan sudut puncak 1360 (Gambar 2.16). Maka pada bahannya terdapat bekas pijakan dari intan tersebut. Cetakan ini bertambah besar hanya jika bahannya bertambah lunak, dan jika bebannya bertambah besar. Beban yang digunakan biasanya 1 s/d 120 kg.
Gambar 2.20. Cara Pengukuran Diameter Pada Identor Vickers (Callister,2007) Perhitungan dengan metode vikers:
D
D1 D2 2
HV = 1,854
F D2
Dimana : F
= Beban yang ditetapkan
D = Panjang diagonal rata-rata D1 = Panjang diagonal 1 D2 = Panjang diagonal 2 D = Panjang diagonal rata-rata
35