BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keterampilan Sosial 2.1.1 Pengertian Keterampilan Sosial Penyesuaian sosial merupakan salah satu aspek psikologis yang sangat perlu dikembangkan dalam kehidupan individu, mencakup penyesuain diri dengan individu lain, baik di dalam maupun di luar kelompok yang bersangkutan.Penyesuaian sosial dapat dicapai individu dengan mempelajari pola tingkah laku yang diperlukan untuk kebiasaan- kebiasaan sedemikian, sehingga tingkah laku tersebut cocok bagi kelompok di suatu lingkungan sosial. Sebagai alat untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, individu
memerlukan
keterampilan
sosial.
Secara
umum
pengertian
keterampilan sosial adalah tingkah laku yang di pelajari dan dapat di terima oleh masyarakat yang memungkinkan individu memperolah respon positif dalam berinteraksi dengan orang lain dan menghindari terhadap respon negatif dari lingkungan individu (Cartledge dan Milburn dalam Victoria, 2001). Keterampilan sosial sangat penting di dalam penyesuain sosial, individu yang memiliki keterampilan sosial yang baik akan memiliki penyesuaian diri
11
yang baik pula, sebaliknya individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik akan memiliki keterampilan sosial yang baik pula. Schloss dan Smith (1994). memfokuskan keterampilan sosial dalam 2 hal yaitu: respon keterampilan sosial yang menghasilkan, meningkatkan dan memelihara hasil yang positif dari siswadan keterampilan sosial yang meningkatkan interaksi positif antara siswa dengan orang lain. Mappiare (dalam Tulak, 2010) mengartikan keterampilan sosial sebagai kemampuan individu dalam berinteraksi sosial dengan masyarakat di lingkungannyadalam rangka memenuhi kebutuhannya untuk dapat di terima oleh teman sebayanya baik sejenis kelamin atau lawan jenis agar ia memperoleh rasa di butuhkan dan rasa beharga. Adapun pendapat Michelson dkk (dalam Tulak, 2010) menyebutkan bahwa keterampilan sosial merupakan suatu keterampilan yang di peroleh individu melalui proses belajar, mengenai cara-cara mengatasi atau melakukan hubungan sosial dengan tepat dan baik. Definisi lain di kemukakan oleh Libet dan Lewinsohn (dalam Fajar,2007) yang menjelaskan bahwa keterampilan sosial merupakan suatu kemampuan yang kompleks untuk melakukan perbuatan yang akan di terima dan menghindari perilaku yang akan di tolak oleh lingkungan. Combs dan Slaby (dalam Victoria, 2001) mendefinisikan bahwa keterampilan sosial adalah kemampuan berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial dengan cara yang spisifik, yang dapat di terima oleh masyarakat, bermanfaat secara pribadi, saling menguntungkan dan terutama bermanfaat
12
bagi
orang
lain.
Sebaliknya
menurut
Eisler,
Miller
dan
Hersen
(1973)menunjukkan bahwa individu yang memiliki keterampilan sosial akan bersuara lebih keras, lebih cepat merespon orang lain, memberikan jawapan yang lebih rinci, lebih peka dan memahami, lebih banyak bertukar respon, lebih terbuka dalam mengekspresikan diri di bandingkan dengan individu yang kurang
memilikiketerampilan
sosial.
Bellack
dan
Hersen
(1977)
menghubungkan keterampilan sosial sebagai alat kemampuan individu mengekspresikan perasaan positif dan negatif dalam hubungan interpersonal tanpa harus kehilangan konsikuen dan reinforcement sosial dalam konteks interpersonal yang lebih luas termasuk mengatur pengiriman respon verbal maupun nonverbal secara tepat. Philips (1978) mengemukakan suatu definisi keterampilan sosial yang menekankan pada elemen makro dalam hubungan sosial di tinjau dari sudut interaksi antar individu. Dia menyimpulkan bahwa seorang dianggap memiliki keterampilan sosial apabilaseseorang dapat berkomunikasi dengan orang lain dalam cara yang memenuhi hak, kebutuhan, kepuasan dan keperluan-keperluan untuk hal-hal yang dapat di terima tanpa menggangu hak-hak orang lain, kebutuhan, kepuasan dan keperluan orang lain dan diharapkan terdapat suasana bebas dan terbuka dalam berelasi dengan orang lain. Definisi ini mengacu pada konsep yang lebih luas dan komplek, sebab menyangkut situasi sosial yang bermacam-macam dan luas serta sulit diprediksi oleh individu. Menurut Greesham dan Elliot (1987), keterampilan sosial dikaitkan dengan penerimaan teman sebaya.Individu yang di terima dan populer di antara 13
teman sebaya di katakan memiliki keterampilan sosial yang baik.Keterampilan sosial juga dikaitkan pada tingkah laku khusus yang bersifat situasional yang memaksimalkan pemeliharaan atau mengurangi hukuman/menghentikan reinforcement tertentu pada perilaku sosial. Disamping itu Gresham juga mengatakan bahwa keterampilan seseorang adalah perilaku dalam situasi tertentu, memprediksikan suatu hasil interaksi sosial yang penting bagi individuyaitu penerimaan teman sebaya, popularitas, penilaian orang lain (misalnya guru, dosen) tentang keterampilan sosial, prestasi akademik dan tingkah laku sosial yang berkorelasi secara konsisten. Pada hakekatnya keterampilan sosial adalah tingkah laku kompleks yang
terdiri
atas
berbagai
perilaku
sosial
tunggal.Philips
(1978)
mengemukakan keterampilan sosial pada elemen makro dalam hubungan sosial di tinjau dari sudut interaksi antar individu. Dia menyimpulkan seseorang yang mempunyai keterampilan sosial adalah individu yang dapat berkomunikasi dengan orang lain dengan cara yang memenuhi hak, kebutuhan, kepuasan dan kepeluan-keperluan untuk hal-hal yang dapat di terima tanpa menggangu hakhak, kebutuhan, kepuasan dan keperluan-keperluan orang lain dan diharapkan terdapat suasana bebas dan terbuka dalam berelasi dengan orang lain. Definisi ini mengacu pada konsep keterampilan sosial yang sangat luas dan komplek, sebab menyangkut situasi sosial yang bermacam- macam dan luas yang sulit di prediksi oleh individu. Berdasarkan berbagai pendapat dan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial keterampilan yang berinteraksi dengan orang lain 14
dalam konteks sosial baik secara spisifik maupun nonspisifik, yang dapat diterima oleh masyarakat, individu, dan lingkungan yang bermanfaat bagi sesama. 2.1.2 Konstruk Keterampilan Sosial Keterampilan
sosial
adalah
konstruk
psikologis
yang
bersifat
multidimensional. Menurut Gresham (dalam Victoria, 2001) merupakan serangkaian tingkah laku interpersonal yang bersifat kompleks karena terdiri dari
tingkah
laku
interpersonal
(keterampilan
berbicara/percakapan,
bekerjasama, menolong orang lain), tingkah laku yang berhubungan dengan diri sendiri (mengekspresikan perasaan, perilaku, moral, bersikap positif terhadap diri sendiri)serta tingkah laku yang berkaitan dengan tugas (mengikuti instruksi atau petunjuk, kerja mandiri dan sebagainya). Shepherd (1983) mengatakan keterampilan sosial terdiri dari 2 komponen yaitu komponen pengetahuan dan komponen perilaku. Komponen pengetahuan mengacu pada keterampilan berfikir yang menentukan arah tindakan yang masuk akal dalam berbagai situasi sosial. Komponen perilaku dapat di amati dan dapat diukur. Komponen pengetahuan merupakan komponen kognitif, bersifat covert dan merupakan mediator bagi munculnya keterampilan sosial.Komponen
kognitif
meliputi
keterampilan
mempersepsi
dan
mengiterpretasi situasi sosial yang dihadapi, serta menentukan perilaku atau tindakan yang harus dimunculkan dalam situasi sosial yang sedang di hadapi.Komponen ini mengacu pada perilaku atau respon-respon sosial yang
15
terdiri dari respon verbal dan nonverbal yang dapat diamati.Philip dalam (L’Abate dan Milan, 1985), mengatakan bahwa konsep keterampilan sosial sangat luas dan kompleks, karena menekankan elemen makro dalam hubungan sosial di tinjau dari sudut interaksi antar individu serta menyangkut situasi sosial yang bermacam- macam dan luas yang sulit dipredikisi oleh individu. Dalam
perkembangannya,
Marlowe
(1986)
mengatakan
bahwa
keterampilan sosial merupakan subkonstruk dari kecerdasan sosial. Ada 4 subkonstruk dari kecerdasan sosial yaitu minat sosial (social interest), kemauan individu
untuk
berperilaku
sosial
(social
self-efficacy),
empati
dan
keterampilan sosial (social skill). Social interest berhubungan dengan minat atau kemauan individu untuk menaruh perhatian (concern) pada orang lain. Social self-efficacy berkaitan dengan kemauan individu untuk berperilaku sosial sebagaimana diharapkan.Empathy skill berkaitan dengan kemampuan individu untuk memahami perasaan dan pikiran orang lain. Social skillmengacu pada kemampuan individu untuk menunjukkan perilaku-perilaku sosialnya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati. Menurut Marlowe, konstruk keterampilan sosial merupakan bagian dari kecerdasan sosial (berakar dari pendapat Thorndike tentang kecerdasan sosial, 1920), lebih mengacu pada perilaku tampak/over dalam berelasi dengan orang lain, serupa
dengan
pendapat Shepherd. Riggio (1986) berpendapat lain mengenai konstruk keterampilan sosial yang terdiri dari sejumlah subkonstruk. Keterampilan sosial terdiri atas 2 domain yaitu domain emosi dan domain sosial.Domain emosi terdiri dari 3 16
kategori yaitu ekspresi emosi, kepekaan emosi dan kontrol emosi.Domain sosial terdiri dari 3 kategori yang akhirnya berkemang menjadi 4 kategori yaitu ekspresi sosial, kepekaan sosial, kontrol sosial dan manipulasi sosial.Emotional expressive (ekspresi emosi) adalah kemampuan untuk berkomunikasi secara non verbal, khusus dalam mengirimkan pesan-pesan emosional termasuk mengekspresikan kondisi perasaan, sikap dan orientasi personalnya. Emotional sensitivy (kepekaan emosi) mengacu pada keterampilan untuk menerima dan menginterpretasikan komunikasi non verbal, termasuk sikap dan keyakinan orang lain. Individu yang mempunyai kepekaan emosi dikatakan sebagai individu yang memiliki kemampuan untuk mengempati kondisi orang lain. Keterampilan ini di tandai dengan adanya keterampilan memperhatikan dan keterampilan dengan menginterpretasikan sinyal-sinyal emosional orang lain. Emotional control (kontrol emosi) adalah kemampuan untuk mengontrol dan mengatur penampakan emosi (emotional display),termasuk kemampuan untuk menunjukkan dan menyembunyikan perasaan tertentu dalam bentuk “topeng”. Social expressivity (ekspresi sosial) mengacu pada kemampuan verbal seseorang dalam mengekspresikan dirinya, misalnya hal-hal yang dirasakan dan dipikirkan. Orang yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam ekspresi sosial biasanya terampil dalam memulai, mengarahkan dan mengakhiri suatu pembicaraan dalam berbagai topik.Social sensitivity (kepekaan sosial) adalah kemampuan untuk menerima dan menginterpretasikan komunikasi verbal orang lain serta sensitif dan memahami norma-norma yang berkenaan dengan
17
perilaku sosial yang tepat. Social control (kontrol sosial) juga ditunjukan dengan kemampuan mengarahkan dan memimpin komunikasi dalam suatu interaksi sosial.Kontrol sosial meliputi juga kemampuan bermain peran, kemampuan mengatur dan mengontrol perilaku verbal.Sosial manipulation( manipulasi sosial) menunjukkan kemampuan individu untuk memanipulasi orang lain atau mengubah situasi untuk mendapatkan suatu hasil dari kontak sosial. Sebagai contoh, seseorang memikul kesalahan atau tanggung jawap untuk melindungi orang lain (sikap berkorban untukorang lain). Dalam penelitian ini, pengukuran keterampilan sosial mengacu pada konstruk keterampialn sosial menurut Riggio (1986) yang terdiri atas 2 domain yaitu domain emosi dan domain sosial.Domain emosi terdiri dari 3 kategori yaitu ekspresi emosi, kepekaan sosial dan kontrol emosi.Domain sosial terdiri dari 3 kategori yang akhirnya berkembang menjadi 4 kategori yaitu ekspresi sosial, kepekaan sosial, kontrol sosial dan manipulasi sosial. 2.2. Bermain Peran (Role Play) 2.2.1. Pengertian Bermain Peran (Role Play) Peran (role) bisa diartikan sebagai cara seseorang berperilaku dalam posisi dan situasi tertentu. Gangel (1986) mengatakan bahwa Metode role play adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Pandangan senada dikemukakan oleh Blatner (2002) menurutnya role play
18
adalah sebuah metode untuk mengekspresikan hal-hal yang menyangkut situasi sosial kompleks. Role Play (bermain peran) merupakan suatu teknik pembelajaran untuk menghadapi proses pemikiran dan perasaan yang majemuk secara efektif (Reni Akbar- Hawadi dkk, 2001). Sedangkan pengertian metode Role Playmenurut kiranawati (2007) adalah “suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa”. Role play adalah suatu cara penguasaan bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan itu dilakukan siswa dengan memerankanya sebagai tokoh hidup atau tokoh mati.Permainan ini pada umumnya di lakukan oleh lebih dari satu orang. Hal ini tergantung kepada apa yang diperankan (Depdikbud, 1987 : 34). Menurut Djahiri, Kosasih : 1980 pembelajaran bermain peran adalah salah satu bentuk permainan pendidikan (Edu cational Game) yang di pakai untuk menjelaskan perasaan, sudut pandang dan cara berfikir orang lain (membayangkan diri sendiri dalam keadaan orang lain). Menurut Yamin Martinis,(2005; 152) menyebutkan bahwa metode bermain peran adalah metode yang melibatkan interaksi antara dua siswa atau lebih tentang topik atau situasi. Siswa menerangkan masing-masing tokoh sesuai tokoh yang ia lakoni, siswa berinteraksi dengan mereka yang melakukan peran terbuka.
19
Menurut Bennet (Romlah,2001) bermain peran adalah suatu alat belajar yang menggambarkan keterampilan-keterampilan dan pengertian-pengertian mengenai hubungan antar mannusia dengan jalan memerankan situasi-situasi yang pararel dengan yang terjadi dalam kehidupan yang sebenarnya. Bannet menyebutkan ada dua macam permainan peranan, yaitu sosiodrama dan psikodrama: 1. Sosiodrama Sosiodrama adalah permainan peranan yang di tujukan untuk memecahkan masalah sosial yang timbul dalam hubungan antar manusia. Langkah-langkah pelaksanaan sosiodrama adalah sebagai berikut : a) persiapan, pemimpin kelompok mengemukakan masalah dan tema yang akan disosiodramakan, dan tujuan permainan. b) membuat skenario sosiodrama c) menenukan kelompok penonton dan menjelaskan tugasnya. Kelompok penonton adalah anggota kelompok lain yang ikut menjadi
pemain,
tugasnya
adalah
untuk
mengobservasi
pelaksanaan permainan. d) melaksanakan sosiodrama. Dalam permainan ini diharapkan terjadi identifikasi antara pemain dan penonton dengan peranperan yang dimainkannya. e) evaluasi dan diskusi. Setelah selesai permainan diadakan diskusi mengenai pelaksanaan permainan berdasarkan hasil observasi dan tanggapan-tanggapan penonton. 20
f) ulangan permainan. Dari hasil diskusi dapat ditentukan apakah perlu diadakan permainan ulang atau tidak. 2. Psikodrama Menurut Corey (Romlah,2001) psikodrama merupakan permainan yang dimaksudkan agar individu yang bersangkutan dapat memperoleh pengertian yang lebih baik tentang dirinya, dapat menemukan konsep dirinya,menyatakan kebutuhan-kebutuhannya, dan menyatakan reaksi terhadap tekanan-tekanan terhadap dirinya. Langkah-langkah pelaksanaan psikodrama terdiri dari tiga tahap yaitu persiapan, pelaksanaan dan diskusi atau tahap berbagi pendapat dan perasaan. Tahap persiapan dilakukan untuk memotivasi anggota kelompok agar mereka siap berpartisipasi secara aktif dalam permainan, dan menciptakan perasaan sama dan saling percaya antar kelompok. Tahap pelaksanaan terdiri dari kegiatan dimana pemain utama dan pemain pembantu memperagakan permainannya. Dengan bantuan pemimpin kelompok dan anggota kelompok lain. Tahap diskusi atau tahap bertukar pendapat dan kesan, para anggota kelompok diminta untuk memberikan tanggapan dan sumbangan pikiran terhadap permainan yang dilakukan pemain utama. Tahap diskusi ini penting karena merupakan rangkaian proses perubahan perilaku pemeran utama kearah keseimbangan pribadi. Bermain peran (Role Play) merupakan salah satu model pembelajaran yang diarahkan pada upaya pemecahan masalah-masalah
21
yang
berkaitan
dengan
relationship), terutama
hubungan
antarmanusia
(interpersonal
yang menyangkut kehidupan peserta didik.
Pengalaman belajar yang diperoleh dari metode ini meliputi, kemampuan kerjasama, komunikatif, dan menginterprestasikan suatu kejadian. Melalui bermain peran, peserta didik mencoba mengeksplorasi hubunganhubungan
antar
manusia
dengan
cara
memperagakan
dan
mendiskusikannya, sehingga secara bersama-sama para peserta didik dapat mengeksplorasi perasaan-perasaan, sikap-sikap, nilai-nilai,dan berbagai strategi pemecah masalah. Dengan mengutip dari Shaftel dan Shaftel, E. Mulyasa (2003) mengemukakantahapan pembelajaran bermain peran meliputi : a. menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik; b. memilih peran; c. menyusun tahap-tahap peran; d. menyiapkan pengamat; e. menyiapkan format pengamat; f. tahap pemeranan; g. diskusi dan evaluasi tahap diskusi dan evaluasi tahap I; h. pemeranan ulang; dan i. diskusi dan evaluasi tahap II; j. membagi pengalaman dan pengambilan keputusan pada metode ini, siswa memainkan peran sehingga dapat menghayati sesuatu. Role Playmemang di maksutkan untuk melakukan 22
analisis kompetensi berdasarkan pengamatan dan penilaian terhadap sejumlah orang yang melakukan peran tertentu.Melalui kegiatan ini di harapkan di peroleh sejumlah peran tertentu yang ada di dalam masyarakat, sebagai bahan untuk mengidentifikasi kompetensi yang perlu di kembangkan dan dimiliki oleh siswa. Moedjiono dan Dimyati (1991) menyatakan bahwa : bermain peran (Role Play), yakni memainkan peranan dari peran-peran yang sudah pasti berdasarkan kejadian terdahulu, yang
dimaksudkan
untuk
menciptakan
kemungkinan-kemungkinan
kejadian masa yang akan datang, menciptakan peristiwa mutakhir yang dapat di percaya, atau mengkhayalkan situasi pada suatu tempat dan atau waktu tertentu. Role Play juga perlu di terapkan dalam pembelajaran, Slameto (1991) juga berpendapat sebagai berikut: Gunakan Role play : jika peserta perlu mengatahui lebih banyak tentang pandangan yang berlawanan, jika peserta mempunyai kemampuan untuk memakainya, pada waktu membantu peserta “memahami” sesuatu masalah, jika ingin mencoba mengubah sikap, jika pengaruh emosi dapat membantu dalam penyajian masalah. Role play tidak di rancang dengan niat menjadi suatu pertunjukkan publik. Meskipun demikian, siswa sulit untuk menghilangkan kecemasan tersebut.Di samping itu, guru perlu mengemukakan tujuan pembelajaran dari role play supaya dapat mengugah motivasi siswa untuk kreatif dalam mengambangkan perannya. Pola organisasi role play di sesuaikan dengan 23
tujuan-tujuan yang menuntut bentuk partisipasi tertentu. Seperti yang di ungkapkan oleh hamalik (1990) menyatakan “ ada 3 pola organisasi Role Play yaitu tunggal, jamak dan ulangan”. Penjelasannya dapat diuraikan sebagai berikut : 1. bermain peran tunggal (single role play). Dalam hal ini mengantar siswa bertindak sebagai pengamat terhadap permainan yang sedang dipertunjukkan. 2. Bermain peran jamak (multiple role play). Para siswa dibagi menjadi beberapa kelompok dengan banyak anggota
yang sama dan
penentuanya di sesuaikan dengan banyaknya peran yang dibutuhkan.. 3. Peranan ulangan (role play repetition).Peranan utama suatu drama atau simulasi dapat dilakukan oleh setiap siswa secara bergiliran. 2.2.2. Kelebihan dan Kelemahan Metode Role Play Sebagaimana dengan metode-metode pembelajaran yang lain, metode role play memiliki kelebihan dan kelemahan. Penggunaannya di dalam proses pembelajaran dapat dikolaborasikan, bergantung dari karakteristik materi pokok pelajaran yang diajarkan kepada siswa. Kelebihan metode role play sebagaimana dijelaskan Sudjana (2009) dan kelemahan dijelaskan Wahab (2007) adalah sebagai berikut : 2.2.2.1 Kelebihan Metode Role Play Menurut Sudjana (2009) kelebihan metode role play antara lain :
24
1) Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa dan merupakan pengalaman yang menyenangkan yang sayang untuk dilupakan. 2) Sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis dan penuh antusias. 3) Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi. 4) Dapat menghayati peristiwa yang berlangsung dengan mudah, dan dapat memetik butir-butir hikmah yang terkandung di dalam cerita yang dimainkan dengan penghayatan siswa sendiri. 5) Dimungkinkan dapat meningkatkan kemampuan profesional siswa, dan dapat menumbuhkan/membuka kesempatan bagi lapangan pekerjaan. 2.2.2.2. Kelemahan Metode Role Play Menurut Wahab (2007) kelemahan metode role play antara lain : 1) Apabila siswa tidak dipersiapkan secara baik ada kemungkinan siswa tidak melakukan role play secara sungguh-sungguh. 2) Role play mungkin tidak akan berjalan dengan baik jika suasana kelas tidak mendukung.
25
3) Role play tidak selamanya menuju arah yang diharapkan seseorang yang memainkannya. Bahkan juga mungkin akan berlawanan dengan apa yang diharapkan. 4) Siswa sering mengalami kesulitan untuk memerankan peran secara baik, khususnya jika mereka tidak diarahkan atau tidak ditugasi dengan baiksiswa perlu mengenal dengan baik apa yang di perankannya. 2.2.3. HasilPenelitian Yang terkait dengan Teknik Bermain Peran (role play) Hasil penelitian Sulistiana yang berjudul “Meningkatkan Keterampilan Sosial Siswa Melalui Layanan Bimbingan Kelompok Pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 3 Juwana Tahun Pelajaran 2009/2010 menunjukkan bahwa tingkat keterampilan sosial siswa sebelum mendapatkan layanan bimbingan kelompok tergolong dalam kategori rendah dengan persentase 61,2%, setelah mendapatkan layanan bimbingan kelompok meningkat menjadi 75,9% dalam kategori tinggi. Dengan demikian mengalami peningkatan sebesar 24%. Hasil uji t, menunjukan t hitung = 5,485 & t tabel = 2,262 jadi nilai t hitung > t tabel dengan demikian, keterampilan sosial siswa dapat ditingkatkan melalui layanan bimbingan kelompok. Hasil penelitian Eni Kurniati yang berjudul “Efektifitas Layanan Bimbingan Kelompok Dalam Meningkatkan Ketrampilan Sosial Siswa Kelas VII G SMP Negeri 9 Salatiga Tahun Ajaran 2011/2012” menunjukkan bahwa ada peningkatan keterampilan sosial yang signifikan dari 15 orang siswa yang
26
menjadi kelompok eksperimen atau yang menjadi subjek penelitian siswa kelas VII G SMP Negeri 9 Salatiga. hasil menunjukkan sebesar 0,049 < 0,050 yang artinya ada perbedaan yang signifikan antara skor kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Hasil penelitian menunjukkan ada peningkatan yang signifikan dalam keterampilan sosial siswa kelas VII G SMP Negeri 9 Salatiga setelah mengikuti layanan bimbingan kelompok. 2.3. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : “ Teknik bermain peran (role play) dapat digunakan untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa kelas X C SMA Negeri 1 Suruh tahun ajaran 2013/2014 “
27