12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori 1. Tuberkulosis Primer a.
Definisi Tuberkulosis Tuberkulosis adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis yang biasa menyerang paru tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lain seperti pada kelenjar getah bening, ginjal, jantung, dan lain sebagainya (Danusantoso, 2000). Tuberkulosis primer pada anak balita disebabkan karena penyakit atau infeksi yang menyerang paru. Infeksi ini disebabkan oleh kuman tuberkulosis yang bernama Mycobacterium Tuberkulosis. Kuman ini berbentuk batang berwarna merah yang mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada saat pewarnaan sehingga disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Basil ini tidak dapat bertahan hidup lama, cepat mati jika terkena sinar matahari secara langsung tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab (healthblogtbcanak.blogspot.com). Mycobacterium Tuberkulosis ini ditularkan dari orang perorang melalui jalan pernapasan. Pada umumnya, penularan tuberkulosis berasal dari orang dewasa yang positif tuberkulosis dimana batuk atau percikan ludahnya
bertebaran di udara.
12
Percikan ludah ini
13
mengandung basil tuberculosis dan bila seorang anak menghirup udara yang mengandung basil tersebut akan berkembangbiak perlahan- lahan dan menyebabkan kelainan pada paru- paru (Somantri, 2008). Daya penularan tuberkulosis dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari paru. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seorang terinfeksi tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2001). b.
Perbedaan TB Anak dan Dewasa 1) TB anak lokasinya pada setiap bagian paru, sedangkan pada dewasa di daerah apeks dan infra klavikuler 2) Terjadi pembesaran kelenjar limfe regional sedangkan pada dewasa tanpa pembesaran kenlenjar limfe regional 3) Penyembuhan dengan perkapuran sedangkan pada dewasa dengan fibrosis 4) Lebih banyak terjadi penyebaran hematogen, pada dewasa jarang.
c.
Klasifikasi TB Anak 1. TB Primer -
Komplek Primer
14
-
Komplikasi paru dan alat lain (sistemik)
2. TB Post Primer -
Re infeksi endogen (karena daya tahan tubuh turun, kuman yang indolen aktif kembali)
-
Re infeksi eksogen
Komplek Primer : Di paru basil yang berkembang biak menimbulkan suatu daerah radang yang disebut afek/fokus primer dari Gohn. Basil akan menjalar melalui saluran limfe dan terjadi limfangitis dan akan terjadi limfadenitis regional. Pada lobus atas paru akan terjadi pada kelenjar limfe pada trakheal, sedangkan pada lobus bawah akan terjadi pada kelenjar limfe hiler. Komplikasi Paru dan alat lain Dapat terjadi penyebaran secara limfogen hematogen akan terjadi TB milier, meningitis TB, bronkogenik, pleuritis, peritonitis, perikarditis, TB tulang dan sendi. d.
Gejala Tuberkulosis Primer Gejala tuberkulosis primer dimulai anak batuk selama lebih dari 30 hari dengan dahak kental, terkadang dapat berwarna kuning hingga hijau, demam atau suhu tubuh meningkat hingga 400 C, berkeringat malam tanpa alasan tertentu, penurunan aktivitas, susah bernapas, nyeri dada, nafsu makan kurang sehingga berat badan anak menurun. Penurunan berat badan anak disebabkan karena metabolisme dalam
15
tubuh meningkat sehingga tubuh membutuhkan energi lebih, akan tetapi karena nafsu makan anak menurun maka asupan energi dalam tubuh berkurang sehingga berat badan anak menurun (Laban, 2002). e.
Etiologi Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya tuberkulosis primer: 1 ). Faktor Infeksi Penularan tuberkulosis primer dapat melalui 4 cara, yaitu: a). Batuk orang dewasa Saat orang dewasa batuk atau bersin, sejumlah tetesan cairan (ludah) tersembur ke udara. Bila orang tersebut menderita tuberkulosis paru, maka tetesan tersebut mengandung kuman. Jika disekitar orang tersebut terdapat orang dewasa atau anak-anak yang pada saat itu kekebalan tubuhnya menurun maka dengan mudah akan terinfeksi atau tertular b). Makanan atau susu Anak- anak bisa terinfeksi tuberkulosis dari susu atau makanan, dan infeksi bisa terjadi mulai pada mulut atau usus. Susu dapat mengandung tuberkulosis dari sapi (bovine TB), bila sapi di daerah tersebut menderita tuberkulosis dan susu tidak direbus sebelum diminum. Bila hal ini terjadi, infeksi primer terjadi pada usus, atau terkadang pada amandel.
16
c). Melalui kulit Kulit yang utuh ternyata tahan terhadap tuberkulosis yang jatuh diatas permukaannya. Namun, bila terdapat luka atau goresan baru, tuberkulosis dapat masuk dan menyebabkan infeksi yang serupa dengan yang ditemukan pada paru. d). Keturunan dari ibu Apabila seorang ibu yang sedang hamil menderita tuberkulosis maka
sudah pasti anaknya positif
menderita
tuberkulosis
(medlinux.blogspot.com). 2). Faktor Lingkungan Lingkungan yang tidak sehat, gelap dan lembab akan mendukung perkembangbiakan basil Mycobacterium Tuberkulosis. Seperti diketahui basil tuberkulosis merupakan BTA (Basil Tahan Asam) yang dapat berkembangbiak apabila ada di ruangan yang gelap dan lembab, akan mati jika terkena sinar matahari secara langsung. Jadi kebersihan lingkungan perlu diperhatikan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Anwar Musadad dkk (2001) yang melakukan penelitian hubungan faktor lingkungan rumah dengan kejadian penularan TB Paru di rumah tangga, dari penelitian tersebut kondisi didapatkan bahwa kondisi rumah yang tidak memenuhi syarat seperti rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai resiko 3,7 kali dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar matahari. Dari beberapa penelitian yang dilakukan terdapat
17
beberapa parameter fisik rumah yang ada kaitannya dengan kejadian penularan penyakit TB Paru, dan parameter fisik yang peneliti teliti disesuaikan dengan kerangka konsep antara lain: a) Kepadatan hunian Kepadatan hunian (in house overcrowding) diketahui akan meningkatkan resiko dan tingkat keparahan penyakit berbasis lingkungan. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dengan m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana minimum 10 m2/orang, sehingga untuk satu keluarga yang mempunyai 5 orang anggota keluarga dibutuhkan luas rumah minimum 50m2, sementara untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3m2/orang. Dalam hubungan dengan penularan TB Paru, maka kepadatan hunian dapat menyebabkan infeksi silang ( Cross infektion ). Adanya penderita TB paru dalam rumah dengan kepadatan cukup tinggi, maka penularan penyakit melalui udara ataupun “droplet” akan lebih cepat terjadi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Djasio Sanropie dkk (1991) bahwa kondisi rumah yang tidak memenuhi syarat seperti tidak sebandingnya luas lantai kamar, jenis lantai, penghuni rumah yang menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, di mana bila salah
18
satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi seperti TB Paru, maka akan mudah menular kepada anggota keluarga lain 18. b) Ventilasi atau Penghawaan Ventilasi adalah suatu usaha untuk memelihara kondisi atmosphere yang menyenangkan dan menyehatkan bagi manusia. Untuk mendapatkan ventilasi atau penghawaan yang baik bagi suatu rumah atau ruangan, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu : 1) Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan. Sedangkan luas lubang ventilasi insidental (dapat dibuka dan di tutup) minimum 5% dari luas lantai. Hingga jumlah keduanya 10% dari luas lantai ruangan. 2) Udara yang masuk harus udara yang bersih, tidak di cemari oleh asap dari sampah atau dari pabrik, knalpot kendaraan, debu dan lain – lain. Aliran udara tidak menyebabkan penghuninya masuk angin. Untuk itu tidak menempatkan tempat tidur persis pada aliran udara, misalnya di depan jendela atau pintu. c) Jenis lantai Jenis lantai yang baik adalah kedap air dan muah dibersihkan, jenis lantai rumah yang ada di Indonesia bermacam – macam tergantung kondisi daerah dan tingkat ekonomi masyarakat, mulai dari jenis lantai tanah, papan, plesetan semen sampai kepada pasangan lantai
19
keramik. Dari beberapa jenis lantai diatas, maka jenis lantai tanah jelas tidak baik dari segi kesehatan, mengingat lantai tanah ini lembab dan menjadi tempat yang baik untuk berkembang biaknya kuman TB Paru. d) Kelembaban Udara Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22° – 30°C. Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. e) Pencahayaan Pencahayaan dalam rumah sangat berkaitan erat dengan tingkat kelembaban didalam rumah. Pencahyaan yang kurang akan menyebaban kelembaban yang tinggi di dalam rumah dan sangat berpotensi sebagai tempat berkembang biaknya kuman TBC. Pencahayaan langsung dan tidak langsung atau buatan harus menerangi seluruh ruangan dan mmpunyai itensitas minimal 60 lux dan tidak menyilaukan. 3). Faktor Ekonomi Faktor ekonomi berkaitan dengan ketersediaan pangan yang kaya zat gizi. Ekonomi juga menjadi faktor pendukung yang mempengaruhi penyebab penularan tuberkulosis primer. Seorang ibu dengan perekonomian rendah maka untuk mencukupi makanan bergizi untuk
20
tumbuh kembang anak susah, sehingga mereka hanya memberi makanan apa saja tanpa mengetahui nilai gizinya. Padahal kita tahu bahwa dengan mengkonsumsi makanan sehat dan bergizi akan bermanfaat bagi tumbuh kembang anak dan meningkatkan kekebalan tubuh anak terhadap penyakit (Harun, 2002). Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yoeningsih (2007) di Rumah Sakit M. Djamil Padang di mana terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat ekonomi dengan kejadian TB paru pada anak. Di mana anak dengan tingkat ekonomi rendah mempunyai peluang 1, 773 kali terkena TB Paru dibanding dengan anak yang tingkat ekonominya tinggi. 4) . Pelayanan Kesehatan Adanya penyakit tuberkulosis primer yang semakin tinggi prevalensi di Indonesia maka pelayanan kesehatan yang harus ditingkatkan oleh pemerintah, melihat penderita penyakit tersebut adalah anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan membutuhkan perawatan intensive. Apabila tingkat pelayanan kesehatan tidak optimal maka akan mempengaruhi penyembuhan tuberkulosis primer dan bila tingkat pelayanan kesehatan bekerja secara optimal maka laju peningkatan penyakit tuberkulosis primer dapat ditekan seminimal mungkin. Hal ini tidak lepas pula dari peran pemerintah dan masyarakat dalam menanggapi segala macam penyakit agar tidak terjadi angka kematian anak yang tinggi (Depkes RI, 2001).
21
f. Patofisiologi Penularan tuberkulosis primer terjadi karena batuk atau percikan ludah yang mengandung basil Mycobacterium Tuberkulosis bertebaran di udara, kemudian terhirup oleh anak yang pada saat itu sistem imunitas dalam tubuhnya menurun sehingga mudah terinfeksi. Basil tersebut
berkembangbiak perlahan-lahan dalam paru
sehingga
menyebabkan kelainan paru. Basil ini bila menetap di jaringan paru, ia akan tumbuh dan berkembangbiak dalam sitoplasma makrofag. Basil juga dapat terbawa masuk ke organ tubuh lain yang nantinya bisa menyebabkan tuberkulosis hati, ginjal, jantung, kulit dan lain-lain (UKK PP IDAI, 2005). Bersamaan dengan itu, sebagian kuman akan dibawa melalui cairan getah bening ke kelenjar getah bening yang terdekat disamping bronkus. Dari kedua tempat tersebut, kuman akan menimbulkan reaksi tubuh, dan sel-sel kekebalan tubuh akan berkumpul. Dalam waktu 4 hingga 8 minggu akan muncul daerah kecil di tengah-tengah proses tersebut dimana terdapat jaringan tubuh yang mati (perkijuan) yang dikelilingi sel-sel kekebalan tubuh yang makin membesar. Perubahanperubahan yang terjadi pada paru dan kelenjar getah bening ini dikenal sebagai tuberkulosis primer (Harun, 2002). Basil Mycobacterium Tuberculosis ini dapat bertahan selama 1-2 jam pada suasana lembab dan gelap, sebaliknya akan mati jika terkena sinar matahari. Dalam
22
jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes RI, 2001). g. Pengobatan 1. Terapi obat dan perawatan Tujuan pengobatan TB anak adalah : a) Menurunkan / membunuh kuman dengan cepat b) Sterilisasi kuman untuk mencegah relaps dengan jalan pengobatan 1) Fase intensif (2 bulan) : mengeradikasi kuman dengan 3 macam obat : INH, Rifampisim dan PZA 2) Fase pemeliharaan (4 – 7 bulan) : akan memberikan efek sterilisasi
untuk
mencegah
terjadinya
relap
:
menggunakan 2 macam obat : INH & RIF c) Mencegah terjadinya resistensi kuman TB 2. Prinsip Pengobatan TB Anak a)
Kombinasi lebih dari satu macam obat. Hal ini untuk mencegah terjadinya resistensi terhadap obat
b)
Jangka panjang, teratur, dan tidak terputus. Hal ini merupakan masalah kadar kepatuhan pasien.
c)
Obat diberikan secara teratur tiap hari
23
Obat yang Sering Digunakan Pada TB Anak OBAT
SEDIAAN
INH
DOSIS (mg/kg BB) 5 – 15 mg
Tablet 100 mg Tablet 300 mg Sirup 10 mg/ml Kapsul/ kaplet 10 - 15 150,300,450,600 Sirup 20 mg/ml
Rifampicim
DOSIS MAKS 300 mg
600 mg
Pirazinamid
Tablet 500 mg
25 – 35
2g
Etambuzol
Tablet 500 mg
15 – 20
2,5 g
15 - 40
1 gram
Streptomisin Injeksi
ESO Hepatitis, neuritis perifer hipersensitif Urine/sekret merah hepatitis, mual flulike reaktion Hepatitis hipersensitif Neurilis optika ggn visus /warna ggn saluran cerna Ototoksis nefrotokis
Regimen Pengobatan TB Anak
2 bln
6 bln
9 bln
12 bln
INH RIF PZA EMB SM PRED
Selain
terapi
obat
yang
digunakan
dalam
proses
penyembuhan tuberkulosis anak, yang tidak kalah penting berperan dalam proses penyembuhan adalah terapi diit. Selama perawatan untuk mencapai kesembuhan terapi diit yang diberikan adalah
24
tinggi protein untuk membantu penyembuhan dan tinggi energi untuk mengembalikan berat badan menjadi normal (Misnadiarly, 2006). Masalah klinis yang sering dihadapi adalah sulitnya diagnosis karena gambaran rontgen paru dan gambaran klinis yang tidak terlalu khas, sedangkan penemuan basil TB sulit. Anak biasanya tertular sumber infeksi yang umumnya penderita TB dewasa. Anak yang tertular TB disebut mendapat infeksi primer TB. Penyakit TB biasanya menimbulkan gejala, tetapi karena gejala tersebut seringkali tidak jelas maka pasien atau orang tuanya tidak menyadari atau memperhatikannya. Faktor – factor yang dapat mempengaruhi lama pengobatan pada pasien tuberculosis primer antara lain, lingkungan, factor pola perawatan ibu, factor nutrisi dan factor kepatuhan minum obat. Pola perawatan orang tua terhadap anak tuberkulosis primer dapat mendukung pengobatan pasien, yang meliputi : lingkungan perumahan, pemantauan pengobatan, pemenuhan kebutuhan nutrisi, pemenuhan istirahat, dan perawatan masalah khusus pada gangguan pernafasan dan pemenuhan rasa nyaman. Lama waktu pengobatan yang lebih panjang dari yang seharusnya membuat orang tua tidak sabar dan merasa kasihan pada anaknya karena harus terus minum obat, maka orang tua tidak datang membawa berobat kembali anaknya sehingga obat akan
25
berhenti sebelum waktunya yang justru dapat menimbulkan komplikasi yang sebagian besar terjadi dalam 2 bulan setelah terjadinya penyakit dan merupakan fokus reaktivasi nantinya (Ngastiyah, 2003). Pola perawatan yang dilakukan ibu dalam penanganan anak TB paru primer yaitu ibu melakukan perawatan penderita sama dengan penderita panyakit lain, tetapi ibu terkadang lupa mengawasi penderita untuk menelan obat secara teratur sesuai anjuran.
Selanjutnya
pola
pemenuhan
nutrisi,
ibu
tidak
memberikan menu yang bergizi setiap hari kepada penderita. Pola istirahat, ibu tidak mengatur pola istirahat yang baik serta efektif bagi penderita. Olah raga, ibu kurang menganjurkan si penderita untuk berolah raga di tempat terbuka, olah raga hanya di lakukan satu kali dalam seminggu. Pola perawatan lingkungan, ibu selalu membersihkan lingkungan rumah dan kamar si penderita setiap hari, akan tetapi jendela rumah & kamar tidak di buka setiap hari dikarenakan banyaknya polusi(Asri, 2007). 3. Terapi Diit Macam diit : Diit Tinggi Energi Tinggi Protein (TETP) Bentuk : Makanan disesuaikan dengan keadaan pasien. Tujuan diit : (i) Memberikan makanan yang tinggi energi dan tinggi protein secara bertahap sesuai dengan keadaan pasien untuk mencapai gizi optimal, (ii) Mencegah dan mengurangi kerusakan
26
jaringan tubuh terutama paru-paru, (iii) Menambah berat badan hingga mencapai berat badan normal. Syarat diit : (i) Tinggi energi atau 100-120 kkal/kg BB untuk mencapai berat badan ideal, (ii) Tinggi protein 2-3 gr/kg BB untuk menggantikan sel-sel yang rusak, (iii) Cukup mineral dan vitamin, (iv) Makanan mudah cerna, (v) Diberikan secara bertahap bila penyakit dalam keadaan berat, (vi) Makanan yang dapat mengurangi nafsu makan, seperti kue-kue manis dan gurih tidak diberikan dekat sebelum waktu makan (PERSAGI dalam Penuntun Diit Anak, 2003)
2. Lama Pengobatan Pasien Tuberculosis a.
Lama Pengobatan Menurut Ngastiyah (2003), dalam penyembuhan penyakit TB dapat dicapai dengan pengobatan spesifik yang adekuat sehingga pasien dengan TB paru primer seharusnya dapat sembuh dalam waktu satu tahun. Pengobatan tuberculosis primer dikategorikan menjadi sesuai dan tidak sesuai. Dikatakann sesuai apabila lama pengobatan kurang dari 9 bulan dan disebut tidak sesuai dengan kriteria lebih dari 9 bulan. Pengobatan pasien tuberkulosis dalam jangka waktu yang panjang dan telah melebihi masa penyembuhan yang semestinya (6 sampai 9 bulan) akan memerlukan biaya yang lebih banyak.
27
Menurut Ngastiyah (2003), dalam penyembuhan penyakit TB dapat dicapai dengan pengobatan spesifik yang adekuat dan didukung perawatan yang benar yaitu meliputi kepatuhan minum obat, kepatuhan datang
berobat,
kebutuhan makanan yang
cukup
mengandung gizi, kebutuhan istirahat tidur, kebersihan lingkungan dan ventilasi udara sekitar tempat tinggal. Sehingga pasien dengan TB paru primer seharusnya dapat sembuh dalam waktu satu tahun. b.
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Lama Pengobatan 1) Lingkungan Lingkungan rumah yang berpengaruh mendukung waktu pengobatan, serta mencegah penularan antara lain sanitasi perumahan, kepadatan hunian, ventilasi serta pencahayaan. Pemukiman yang sehat dirumuskan sebagai tempat tinggal secara permanent, berfungsi sebagai tempat bermukim, beristirahat, bersantai dan berlindung dari pengaruh lingkungan, yang memenuhi persyaratan fisiologis, psikologis, bebas dari penularan penyakit dan kecacatan. Upaya dalam mendukung pengobatan penderita TB paru seperti lantai rumah dibuat dari tegel atau semen dan tidak lembab (Riswah,
2007).
Apabila
lantai
masih
tanah,
diusahakan
permukaannya dibuat rata, dan jika akan menyapu lantai hendaknya disiram dulu sehingga akan mengurangi debu berterbangan (Depkes RI, 2001). Ventilasi dan pencahayaan
28
berpengaruh pada kesegaran dan kelembaban lingkungan rumah. Hal tersebut dapat mempengaruhi kondisi penderita (Notoatmodjo, 2003). Anak supaya menghindari udara dingin, udara malam, terhembus angin kencang, aktivitas yang berkutat dengan debu, menghirup gas / minyak wangi yang kesemuanya dapat menimbulkan batuk. Setiap batuk akan membuat luka di paru-paru menjadi terkoyak / menganga. Perlu disediakan obat batuk dirumah apabila terjadi batuk darah atau bahkan muntah darah, segera bawa anak ke rumah sakit karena kondisi tersebut berbahaya dan memerlukan pengobatan dan perawatan dirumah sakit secara intensif (Alsagaf dan Mukty, 1999). 2) Nutrisi Kaitan penyakit infeksi dengan keadaan gizi kurang merupakan hubungan timbal balik, yaitu hubungan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan gizi dan keadaan gizi yang buruk dapat mempermudah terkena penyakit infeksi (Supariasa, 2001). Hal ini dapat menyebabkan meningkatnya kasus penyakit tuberkulosis karena daya tahan tubuh yang rendah (Girsang, 2000). Penelitian Firdaus (2005) dengan desain prospektif observasional analitik di RS Persahabatan tahun 2005 melaporkan bahwa status gizi buruk 9,59 kali lebih sulit untuk sembuh dari pada status gizi baik pada penderita TB Paru.
29
Selain obat yang diminum teratur, penderita TB perlu makanan yang bergizi. Status gizi yang buruk dapat mempengaruhi tanggapan tubuh berupa pembentukan antibodi dan limfosit terhadap adanya kuman penyakit. Pembentukan ini diperlukan bahan baku protein dan karbohidrat, sehingga pada anak dengan gizi jelek produksi antibody dan limfosit terhambat. Selain itu gizi yang buruk dapat menyebabkan gangguan imunologis dan mempengaruhi lama pengobatan (Alsagaf dan Mukty, 1999). Diet penderita TB harus cukup mengandung protein. Makanan tidak cukup hanya nasi dan sayur saja tetapi perlu lauk-pauk seperti ikan,daging, telur dan susu. Akibat dari kuman TB, paru-paru menjadi keropos dan terjadi proses pengkapuran (kalsifikasi). Penderita perlu asupan zat kapur lebih banyak. Zat kapur banyak terkandung pada susu, ikan teri atau tablet kalsium. Jadi makanan bergizi dan zat kapur ibarat semen untuk menebalkan bagian tubuh / paru yang berlubang dan keropos akibat digerogoti kuman TB. 3) Perawatan terhadap anak TB Paru primer Pola perawatan terhadap anak TB Paru primer dapat mendukung masa penyembuhan pasien, yang meliputi: lingkungan perumahan, pemantauan pengobatan, pemenuhan kebutuhan nutrisi, pemenuhan istirahat, perawatan masalah khusus pada gangguan pernafasan olahraga dan pemenuhan rasa nyaman, (Ngatsiyah, 2003).
30
Pasien dengan TB tidak dirawat dirumah sakit oleh karena jumlahnya cukup banyak dan dapat dirawat dirumah kecuali bila terjadi komplikasi seperti TB milier, meningitis TB, pleuritis dan sebagainya. Keluarga merupakan unit dasar dari masyarakat manusia dan dalam unit ini lahirlah anak yang lebih muda yang sebagian besar dari kebutuhan perkembangan harus dipenuhi oleh ayah dan ibu si anak. Jika salah satu dari kebutuhan dasar tidak dipenuhi secara adekuat, perkembangan akan terhambat atau terganggu. Keluarga merupakan unit utama dimana pencegahan dan pengobatan dilakukan serta diperlukannya keterlibatan dan dukungan dalam keluarga, sehingga tanpa hal itu maka rehabilitasi akan lebih sukar (Sachrin. R.M, 1999). Untuk itu sangat diperlukan dukungan keluarga untuk memantau dan memotivasi penderita supaya tidak lalai dalam minum obat dan mengambil obat bila obat akan habis. Pengawasan yang ketat dalam pengobatan sangat penting untuk mencegah resistensi kuman TB terhadap obat dan kekambuhan (Kusnarto, 1995). Perawatan penderita TB paru primer diutamakan kepada keluarga (orang tua) dan lingkungan sekitar. Diharapkan keluarga mampu merawat anggota keluarganya (Depkes RI, 2000) yaitu dengan : mengawasi anggota keluarga yang sakit untuk menelan obat secara teratur sesuai anjuran, mengetahui adanya gejala
31
samping obat dan secara teratur sesuai anjuran, memberikan makanan bergizi, memberikan waktu istirahat kepada anggota keluarga yang sakit minimal 8 jam perhari. Olah raga secara teratur di tempat yang berudara segar, memodifikasi lingkungan yang dapat mendukung kecepatan pengobatan penderita TB paru primer, antara lain mengupayakan rumah yang memenuhi persyaratan kesehatan seperti : mempunyai jendela atau ventilasi yang cukup, bebas debu rumah dan lantai tidak lembab. 4) Kepatuhan Minum Obat Kepatuhan terhadap anjuran minum obat tuberkulosis paru merupakan faktor penting yang berperan dalam proses pengobatan tuberkulosis. Kepatuhan minum obat anti tuberkulosis akan mempengaruhi status gizi dengan memperbaiki keadaan infeksi sehingga penyerapan dan penggunaan zat gizi oleh tubuh akan lebih optimal. Selain kepatuhan terhadap pengobatan, asupan energi dan protein dalam jumlah cukup juga diperlukan untuk mendukung proses penyembuhan dan peningkatan status gizi anak dengan infeksi tuberculosis paru. Kepatuhan minum obat anti tuberkulosis (OAT) akan berpengaruh
terhadap
proses
penyembuhan
dari
infeksi
tuberkulosis. Kepatuhan pasien dilihat dari keteraturan, waktu dan cara minum obat. Petunjuk dalam mengkonsumsi OAT perlu diperhatikan untuk mencegah resistensi terhadap obat. Resistensi
32
terhadap obat dapat memperpanjang proses pengobatan dan dapat menimbulkan komplikasi. Obat anti tuberkulosis seperti Isoniazid dan Rifampin lebih baik diminum pada saat perut kosong, minimal setengah jam sebelum makan, tujuannya selain untuk mencegah mual juga untuk meningkatkan penyerapan obat di dalam tubuh dan menghindari interaksi dengan makanan. Ketidakpatuhan
terhadap
pengobatan
diduga
dapat
menyebabkan kekebalan bakteri terhadap obat-obatan yang dikonsumsi (Multiple Drugs Resistance/MDR). Hal tersebut akan mengakibatkan pengobatan menjadi lebih lama. Secara teori, kepatuhan pasien anak terhadap pengobatan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pengetahuan orang tua, faktor sosial dan ekonomi orang tua pasien. Bentuk-bentuk ketidakpatuhan terhadap farmakoterapi bagi penderita tuberkulosis antara lain tidak mengambil obat, minum obat dengan dosis dan waktu yang salah, lupa minum obat, serta berhenti minum obat sebelum waktunya. Kepatuhan minum obat pada pasien anak dipengaruhi oleh pengetahuan
ibu,
keluarga
ataupun
pengasuhnya
terhadap
pengobatan tuberkulosis. Anak belum dapat mengkonsumsi obat sendiri, sehingga pemberiannya tergantung pada orang yang mengasuhnya. Pengetahuan ibu mengenai manfaat pengobatan terhadap
proses
penyembuhan
ikut
berpengaruh
terhadap
kepatuhan ibu dalam memberikan Obat Anti tuberkulosis (OAT).
33
Salah satu faktor yang berperan dalam peningkatan pengetahuan ibu mengenai pengobatan tuberkulosis paru dipengaruhi oleh peran pelayanan kesehatan dalam memberikan konseling mengenai aturan dalam minum obat. Semua kegagalan pengobatan TB adanya obat yang tidak adekuat karena ketidakteraturan minum obat yaitu penggunaan obat yang tidak sesuai, penghentian jadwal yang terlalu cepat, lalai atau putus berobat dan adanya kuman resistensi. Alasan lain adalah rasa
bosan
berobat
dikarenakan
terlalu
lama,
kurangnya
pengetahuan penderita tentang TB paru, jauhnya jarak rumah penderita dengan pelayanan kesehatan umum, petugas kesehatan yang tidak mengingatkan penderita bila lalai pengobatan dan adanya anggapan bahwa pengobatan di Puskesmas kurang baik 5) Pekerjaan dan Pendidikan Pada umumnya yang terserang TB adalah golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Kemiskinan dan jauhnya jangkauan pelayanan kesehatan dapat menyebabkan penderita tidak mampu membiayai pengangkutan ke Puskesmas. Pada umumnya kebutuhan
primer
sehari-hari
masih
lebih
penting
dari
pemeliharaan kesehatan. Status pendidikan pasien berpengaruh terhadap
pemahaman
tentang
penyakit
sehingga
akan
mempengaruhi kepatuhan berobat, angka kesembuhan dan keberhasilan pasien. Semakin rendahnya tingkat pendidikan
34
penderita menyebabkan kurangnya pengertian penderita terhadap penyakit dan bahayanya. Kim dkk melaporkan rendahnya kepatuhan berobat pasien TB berhubungan dengan tingkat pendidikan. Pasien TB paru dengan pendidikan menengah – tinggi mengetahui pengetahuan tentang TB paru lebih baik daripada pasien berpendidikan rendah, namun Wilkinson dkk membuktikan pendidikan rendah tidak selalu berhubungan dengan rendahnya kepatuhan. Hubungan tingkat pendidikan dengan pengetahuan TB dan dampaknya terhadap kepatuhan berobat bervariasi diberbagai negara. 6) Resistensi OAT Salah satu ketidakberhasilan pengobatan adalah resistensi kuman terhadap OAT. Penderita yang pernah minum selama satu bulan atau lebih dan tidak teratur akan semakin meningkatkan kemungkinan
resistensi
OAT
terhadap
Mycobacterium
tuberculosis Secara klinis resistensi TB dibagi atas 2 jenis yaitu resistensi primer dan resistensi sekunder. Resistensi primer adalah dijumpai kuman M. Tuberculosis yang resisten pada pasien yang belum pernah mendapat OAT ataupun sudah pernah mendapat pengobatan OAT tapi kurang dari satu bulan. Resistensi sekunder adalah resistensi yang terjadi pada penderita yang pernah mendapat pengobatan OAT selama satu bulan atau lebih.
35
Bersamaan dengan meningkatnya kasus TB, terjadi pula peningkatan kasus TB yang resisten terhadap beberapa obat antituberkulosis (OAT) termasuk resistensi terhadap obat isoniazid (INH) dan rifampisin dengan atau tanpa resistensi obat lain. Di India resistensi terhadap INH dan streptomisin adalah 13,9 % dan 7,4 %, sementara terhadap dua obat atau lebih adalah 41%. Di Indonesia pola MDR-TB di Rumah Sakit Persahabatan tahun 1996 dan 1997 sebesar 5,8% menjadi 4,85% (resistensi primer) serta 24,45% menjadi 41,60% (resistensi sekunder). Laporan dari berbagai rumah sakit dan penjara, bermula dari daerah New York dan kemudian dari berbagai negara, dari Hongkong menyebutkan bahwa setidaknya sekitar 20 % infeksi tuberkulosis terjadi dari kuman yang telah resisten. Laporan dari Turki menyebutkan bahwa dari 785 kasus tuberkulosis paru yang diteliti ditemukan 35 % adalah resistensi terhadap setidaknya satu jenis obat, yang resistensi terhadap sedikitnya dua macam obat adalah 11,6 %, tiga macam obat 3,9 % dan empat macam obat adalah 2,8 %. Di Pakistan resistensi terhadap rifampisin, INH dan etambutol dilaporkan masing-masing adalah 17,7 %, 14,7 % dan 8,7 %.
36
B. Kerangka Teori Penelitian Faktor Penyebab TB Paru
TB Paru Primer
Anak : 1. Infeksi 2. Lingkungan
Pengobatan TB Paru Primer a. Sesuai < 9 bulan
3. Ekonomi
b. Tidak Sesuai > 9 bulan
4. Pelayanan Kesehatan
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi lama Pengobatan 1. Lingkungan Tempat Tinggal 2. Pola Perawatan 3. Nutrisi 4. Kepatuhan Minum Obat 5. Pendidikan dan Pekerjaan 6. Resistensi OAT
Gambar 2.1. Kerangka Teori Penelitian Sumber : Asri, (2007), Ngastiyah, (2003), PERSAGI dalam Penuntun Diit Anak, (2003).
37
C. Kerangka Konsep Penelitian Variabel Independent
Variabel Dependent
Faktor faktor yang mempengaruhi lama waktu pengobatan pasien tuberculosis primer :
Lama waktu Pengobatan
Faktor lingkungan tempat tinggal
Faktor nutrisi;
Faktor perawatan yang dilakukan ibu
Variabel Pengganggu 1. Kepatuhan Minum Obat 2. Pendidikan dan Pekerjaan 3. Resistensi OAT 4.
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Keterangan : : Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
38
D. Hipotesis Ha1
: Ada pengaruh faktor lingkungan tempat tinggal terhadap
lama
waktu pengobatan pasien tuberculosis primer pada anak di poli anak unit rawat jalan RSUD Banjarnegara. Ha2
: Ada pengaruh faktor nutrisi terhadap lama waktu pengobatan pasien tuberculosis primer pada anak di poli anak unit rawat jalan RSUD Banjarnegara.
Ha3
: Ada pengaruh faktor perawatan yang dilakukan ibu terhadap lama waktu pengobatan pasien tuberculosis primer pada anak di poli anak unit rawat jalan RSUD Banjarnegara.