BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Murniati dan Sunarman (2000)
menyatakan bahwa penggunaan suhu rendah sangat dapat menghambat proses pembusukan sebab dengan suhu rendah pertumbuhan mikroba dapat dihambat atau bahkan dapat membunuh mikroba atau bakteri tersebut dan untuk mempertahankan kesegaran produk perikanan selain bentuk serta susunan kimianya tidak banyak berubah jika dibandingkan dengan penggunaan suhu tinggi. Penggunaan suhu rendah dilakukan dengan pemakaian es atau pembekuan. Menurut Lailossa (2009), untuk mendesain sebuah sistem rantai dingin ikan beku ada beberapa titik kritis yang perlu dicermati untuk pengembanan penelitan selanjutnya yaitu: − Selalu meng up date standar internasional dan regional tentang safety, quality dan traceability yang harus di penuhi − Teknik modeling dan strategi penerapan Risk Analysis dan HACCP pada ikan beku − Penerapan sistem penanganan ikan dan model teknologi refrigerasi yang tepat sejak dari penangkapan sampai ke konsumen. − Model cold chain management/cold chain system perlu di evaluasi setiap saat, agar safety, quality dan traceability dari produk ikan beku tetap terjamin. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dirjen P2HP-DKP penanganan ikan dengan suhu dingin sekitar 0 oC secara terus menerus tidak terputus sejak ikan ditangkap atau dipanen, sebelum didaratkan dan didistribusikan serta
Universitas Sumatera Utara
dipasarkan hingga ke tangan konsumen, maka ikan hasil tangkapan atau ikan hasil panen dapat dipastikan memiliki mutu tinggi, aman dikonsumsi serta memenuhi kriteria produk perikanan prima. Oleh karena itu, penerapan sistem rantai dingin secara benar diterapkan dengan baik serta memperhatikan sanitasi dan hygiene.
2.2.
Landasan Teori Pembinaan mutu dan pengolahan hasil merupakan salah satu kegiatan
penanganan pasca panen yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan pembangunan perikanan karena dengan pembinaan mutu dapat menyelamatkan hasil produksi para nelayan dan petani ikan dari kemerosotan mutu dan nilainya yang sekaligus juga dapat meningkatkan pendapatan dan melindungi konsumen dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti penggunaan zat-zat additive yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Dengan mutu hasil perikanan yang baik akan meningkatkan kesehatan dan taraf hidup manusia serta membuat produk memiliki daya saing yang tinggi. Penanganan hasil perikanan baik budidaya atau tangkap yang sering di kenal dengan kegiatan (aktivitas) pasca panen adalah suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan produksi perikanan. Peningkatan produksi perikanan yang tidak diikuti dengan penanganan pasca panen dapat menjadi masalah dalam pembangunan dan pengembangan perikanan. Disamping mutu produk yang rendah yang mengakibatkan nilai jual yang rendah, juga sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Disamping itu produk yang bermutu rendah akan mengakibatkan posisi produk yang tidak memiliki daya saing. Sedikitnya ada tiga hal kegiatan pasca panen dalam perikanan yaitu teknologi pengolahan, pembinaan mutu (quality control) dan pemasaran
Universitas Sumatera Utara
(distribusi). Ketiga kegiatan tersebut akan sangat menentukan dalam kelancaran pemasaran baik dalam negeri maupun ekspor, penyediaan jenis komoditi yang sesuai dengan biaya pengolahan yang efisien dan memberikan jaminan mutu produk yang dipasarkan. Terlebih dalam memasuki era globalisasi tantangan yang dihadapi adalah untuk menyesuaikan terhadap Sistem Pembinaan dan Pengawasan Manajemen Mutu Hasil Perikanan yang dapat diterima secara International. Jika tidak maka produk suatu negara akan mendapat penolakan dari negara-negara importir.
Gambar 1. Jaminan Mutu untuk Ekspor
Negara Uni Eropa yang merupakan persekutuan dari 27 negara maju akan sangat menentukan dalam percaturan ekspor hasil perikanan. Penolakan dari negara tujuan ini tidak dapat dianggap hal yang sepele, karena akan diikuti juga oleh negara-negara importir lainnya seperti Amerika dan Asia seperti Korea, Jepang dan Taiwan. Untuk itu pembinaan mutu merupakan hal yang mutlak
Universitas Sumatera Utara
dilakukan dalam rangka meningkatkan daya saing komoditas perikanan dipasar global dan sekaligus meningkatkan ekspor.
2.2.1. Susut Hasil Perikanan Susut hasil perikanan adalah keseluruhan nilai kerugian pasca panen hasil perikanan akibt terjadinya kerusakan fisik dan kemunduran mutu yang dapat mengakibatkan pengaruh terhadap susut Gizi dan susut fungsional yang terjadi mulai dari saat ikan ditangkap sampai ketangan konsumen dan tipe susut dapat kita bedakan dari beberapa tipe. a. Susut nutrisi/gizi (nutritional losses) -
Sulit diukur.
-
Perubahan biokimiawi spesifik sebagai akibat dari pembusukan atau pengolahan.
b. Susut fungsi/fungsional (functional losses) -
Setiap saat, mulai dari ditangkap sampai ke konsumen.
-
Jarang dianggap, jarang di perhitungkan dalam pengertian sehari-hari.
-
Kesalahan dalam pengolahan dan penanganan yang dapat menyebabkan menurunnya fungsi ikan.
-
Ikan untuk sosis yang kenyal menjadi kurang kenyal. Ciri kualitas ikan yang bagus dapat kita lihat dari warna ikan masih
mengkilat, mata berwarna cerah dan menonjol, insang berwarna merah cemerlang, bau ikan masih sangat segar khas jenis masing-masing, padat elastis bila ditekan dengan jari, bila daging disayat akan berwarna sangat cemerlang, dinding perutnya masih utuh.
Universitas Sumatera Utara
Dalam konteks pembinaan terhadap usaha Perikanan dan Kelautan, implementasi
Program
peningkatan
Ekspor
Hasil
Perikanan
perlu
dioptimalisasikan khususnya usaha pengolahan skala kecil (KUB) dan peningkatan mutu melalui penerapan PMMT/HACCP. Produk perikanan di pasar dalam negeri merupakan penyedia protein hewani masyarakat selain sebagai bahan baku industri pengolahan, kosmetik dan obat-oatan. Dengan jumlah penduduk yang cukup besar, peluang pasar dalam negeri mempunyai prospek yang menjanjikan. Meski demikian, ikan atau produk perikanan lainnya belum menjadi salah satu kebutuhan pokok dalam pola konsumsi masyarakat Indonesia. Hal itu tecermin dalam tingkat konsumsi ikan dalam negeri yang masih rendah. Pada 2004, tingkat konsumsi ikan perkapita penduduk Indonesia hanya sekitar 23,18 kg/kapita/tahun (DKP, 2005). Pada hal sesuai dengan standar gizi masyarakat yang ditetapkan oleh organisasi makanan se dunia (FAO) stadar gizi ikan adalah sebesar 26,5 kg/kapita/tahun. Dalam hubungannya dengan tingkat konsumsi di atas mengingat ikan mempunyai manfaat yang sangat besar sedangkan pasar dalam negeri belum berkembang baik, pengembangan dan penguatan pemasaran dalam negeri perlu dilakukan dengan dua tujuan, yaitu untuk meningkatkan kecerdasan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan melalui bisnis perikanan. Untuk mencapai dua tujuan itu, misi penguatan dan pengembangan pasar dalam negeri ditujukkan untuk meningkatkan konsumsi ikan perkapita, mendorong harmonisasi supply dan demand, serta mendorong distribusi marjin secara proposional. Program pengembangan pemasaran dalam negeri berangkat dari konsep pemasaran sebagai muara dari upaya pengembangan bisnis perikanan.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2. Sumber Bahan Baku Ekspor
Oleh karena itu, pemasaran mempunyai posisi terdepan dalam menghela peningkatan produksi dan investasi di bidang perikanan. Peningkatanan produksi dan investasi nantinya akan menghela pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan lapangan kerja dengan tumbuhnya usaha penangkapan, budidaya, pengolahan, dan industri Perikanan lainnya yang pada akhirnya mendorong peningkatan kesejahteraan nelayan/pembudidaya/pelaku usaha perikanan lainnya. Pada konsideran peraturan bersama menteri Pertanian dan kesehatan (31/Kpts/Um/1/1975) disebutkan bahwa lingkup pembinaan mutu hasil perikanan adalah: a) memanfaatkan potensi perikanan secara maksimal; b) melindungi konsumen dari pemalsuan dan penipuan oleh produsen yang beritikad tidak baik; c) membina produsen hasil perikanan, dan d) meningkatkan mutu ekspor hasil perikanan. Berdasarkan tujuan ini maka sasaran Pembinaan dan Pengolahan hasil perikanan adalah nelayan dan petani ikan sebagai penghasil ”bahan baku” dari
Universitas Sumatera Utara
kapal/tambak pedagang pengumpul di tempat-tempat pengmpul atau TPI, para pedagang pengangkut maupun pengecer, para produsen di unit-unit pengolahan dan para petugas penguji (analis) dan pengambil contoh yang bertugas melakukan pengujian terhadap produk akhir sebelum ekspor. Dengan demikian cakupan pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan meliputi sejak ikan ditangkap/dipanen, diangkut, dilelang, diolah di unit-unit pengolahan dan didistribusikan sampai ketangan konsumen. Ikan adalah salah satu komoditas perikanan yang memiliki sifat mudah rusak. Sesuai karakteristik tersebut ditambah dengan kondisi iklim tropis di Indonesia, hasil produksi perikanan sebagai bahan baku perlu dilakukan tindakantindakan pencegahan terjadinya susut (losses) dan kemunduran mutu selama penanganan baik di tambak untuk budidaya, di atas kapal untuk penangkapan, ketika didaratkan di TPI, di Unit pengolahan ikan, dan saat didistribusi. Usahausaha yang dapat dilakukan antara lain adalah: -
Pembinaan terhadap nelayan dan petani ikan melalui pelatihan-pelatihan dan penyuluhan,
-
Penyediaan sarana air bersih dan es untuk kebutuhan nelayan dalam rangka mengembangkan sistem rantai dingin (Cold Chain System),
-
Introduksi wadah ikan (Fish Container), kotak pendingin (Cool Box) untuk memperbaiki penanganan selama pengangkutan,
-
Pembinaan terhadap pedagang pengumpul dalam penanganan hasil perikanan meliputi pelatihan-pelatihan, sosialisasi dan magang kerja,
-
Pembangunan sarana dan prasarana yang memenuhi persyaratan dari aspek sanitasi dan hygiene.
Universitas Sumatera Utara
Dari uraian tersebut di atas nyata sekali bahwa peningkatan taraf hidup masyarakat khususnya wilayah pesisir sangat ditentukan oleh produk dan jaminan mutu. Demikian juga dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia diperlukan protein yang tinggi khususnya dari ikan. Produksi ikan baik dari budidaya dan tangkap juga akan meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir khususnya nelayan yang merupakan kelompok paling miskin di wilayah pesisir. Dalam kaitan dengan hal tersebut aspek pembinaan mutu merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri. Mutu produksi yang memenuhi standar kesehatan atau standar yang ditetapkan oleh negara importir akan menjamin kelangsungan usaha di bidang perikanan. Dengan demikian suatu produksi yang ada jaminan mutu akan meningkatkan taraf hidup masayarakat serta pemenuhan akan berbagai protein hewani. Produk hasil perikanan baik dalam bentuk segar, hidup maupun olahan dari sumber budidaya maupun tangkap akan memiliki nilai jika dapat dipasarkan dan memberi manfaat (keuntungan) bagi pembudidaya, nelayan muapun pengolah. Dilihat dari segi peluang pasar maka potensi pemasaran hasil perikanan di Indonesia memiliki prospek yang cerah mengingat beberapa hal diantaranya adalah sebagai berikut: -
Jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak merupakan peluang domestic demand. Pada 2004, jumlah penduduk mencapai 217 juta, sedangkan pada 2005 diproyeksikan menjadi 219 juta (BPS, 2005). Selain itu, tingkat konsumsi ikan perkapita masyarakat masih rendah, sementara kesadaran masyarakat terhadap manfaat konsumsi ikan bagi kesehatan sudah mulai meluas.
Universitas Sumatera Utara
-
Potensi suplai perikanan dari jumlah atau ragam jenisnya yang cukup banyak dapat dimanfaatkan melalui pengembangan industri penangkapan atau budidaya. Dari seluruh potensi sumberdaya ikan, pemanfaatan melalui penangkapan pada tahun 2004 mencapai 4,7 juta ton atau 91,8 % dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB = 5,12 ton/tahun).
-
Beberapa komuditas perikanan yang merupakan edible products memiliki prospek pasar yang cukup baik dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap manfaat mengkonsumsi ikan karena kandungan protein dan lemak tak jenuhnya yang baik bagi kesehatan. Sama halnya pada nonedible products (seperti ikan hias, mutiara, produk biota laut untuk industri perhiasan, kosmetika, farmasi dan sebagainya) yang sudah memperoleh tempat di masyarakat.
-
Fungsi ikan sebagai sumber protein alternatif menjadi meningkat dengan munculnya kasus terkait penyakit, seperti sapi gila dan penyakit mulut dan kuku (PMK) pada sapi, anthrax pada kambing dan burung onta, flu burung pada unggas (ayam dan bebek). Hal ini mendorong konsumen mencari alternatif pengganti sumber protein hewani sehingga peluang pasar hasil perikanan di dalam negeri semakin meningkat.
-
Semakin berkembangnya usaha pasar ritel (hypermarke, supermarket, convenience stores) serta usaha perhotelan, restoran dan catering yang menyediakan penjualan produk perikanan dan/atau menu khusus perikanan sehingga membantu promosi produk perikanan dan mendorong peningkatan konsumsi ikan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam rangka pemanfaatan potensi dan kendala menjadi peluang sebagai penguatan dan pengembangan pemasaran dalam negeri, diperlukan penyusunan program yang dilakukan secara strategi, terintegrasi, dan operasional.
2.2.2. Mendorong Iklim Usaha yang Kondusif Pengondisian iklim yang kondusif bagi usaha perikanan diperlukan untuk mendorong keberlangsungan usaha dan kontinyuitas pasokan dengan harga yang terjangkau konsumen. Upaya untuk mendorong iklim usaha yang kondusif dapat dilakukan, antara lain melalui penyederhanaan prosedur dalam perizinan usaha di bidang pemasaran perikanan, peningkatan efisiensi dan efektivitas pelayanan, penyediaan fasilitas bagi pelaku usaha dalam akses permodalan, dan pelibatan pelaku usaha dalam pembahasan kebijakan terkait pengembangan pemasaran dalam negeri.
2.2.3. Konsep Cold Chain System (CCS) Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya bahwa ikan dikenal sebagai bahan pangan yang sangat mudah rusak jika dibandingkan dengan produk hewani lainnya. Ketika ikan mati, metabolismenya menjadi tidak terkendali. Enzim di dalam perut yang semula berfungsi mencerna makanan mulai menyerang bagian tubuh ikan, terutama berawal dari dinding perut. Proses itu disebut otolisis dan akan
mengakibatkan
daging
mulai
menurun
kesegarannya
dan
dapat
menghasilkan senyawa-senyawa sederhana yang dimanfaatkan mikroorganisme, terutama bakteri pembusuk.
Universitas Sumatera Utara
Demikian juga pada ikan yang sehat sekali pun banyak terkandung mikroorganisme, terutama di kulit permukaan (lendir), insang, dan sebagian di perut. Pada saat ikan mati, sistem pertahanan tubuh menjadi tidak bekerja sehingga mikroorganisme yang semula tidak berbahaya mulai menyerang tubuh ikan. Terlebih lagi ketika otolisis telah mencapai tahap lanjut, pertumbuhan mikroorganisme akan semakin cepat dan menghasilkan senyawa yang membuat ikan menjadi busuk (menjadi lembek atau berair, berbau amis, dan berbau busuk). Jika ada bakteri penyebab penyalit, daging ikan dapat menjadi penyebab penyakit bagi manusia yang mengonsumsinya akibat bakterinya (infeksi) atau racun yang dihasilkannya (intoksikasi). Jika tidak ditangani dengan benar dan cepat Ikan akan terus menurun kesegarannya sejak mati dan akan mengarahkan pada kebusukan. Oleh karena itu, sebenarnya penurunan kesegaran atau kebusukan tidak dapat dihentikan total, kecuali memperlambat penurunan kesegaran sehingga kebusukan dapat ditunda. Reaksi ensimatis atau aktivitas mikroorganisme itu sangat dipengaruhi suhu. Sampai pada batas tertentu, semakin tinggi suhu, semakin cepat laju reaksi enzimatis dan aktivitas mikroorganisme. Berdasrkan hasil penelitian para ahli diketahui pula, setiap kenaikan suhu sebesar 5ºC, laju pembusukan akan meningkat sebesar dua kali. Sebaliknya apabila terjadi penurunan suhu 5ºC maka laju penurunan mutu menurun juga dua kali lipat. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk memprtahankan kesegaran ikan adalah dengan menekan laju reaksi enzimatis dan aktivitas mikroorganisme, yaitu dengan menurunkan suhu serendah mungkin, biasanya mendekati suhu cair es, yaitu sekitar 0ºC.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3. Proses Pembekuan Udang
Untuk menghentikan aktivitas mikroorganisme sama sekali, ikan dapat pula dibekukan dan disimpan pada suhu sampai dengan -45ºC. Pada suhu itu, reaksi enzimatis dan aktivitas mikroorganisme praktis berhenti, bahkan hampir semua mikroorganisme mati. Dengan demikian, daya simpannya akan lebih panjang lagi, tetapi beberapa sifat dagingnya akan terpengaruhi. Kegiatan proses penangan ini lazim disebut dengan pembekuan. Di dalam proses pengolahan ikan, kesegaran ikan adalah mutlak. Jika ikan sebagai bahan baku sudah tidak segar lagi, sebaik apa pun proses pengolahannya tidak akan menghasilkan produk yang baik sehingga nilai tambah yang diperoleh pun tidak optimal. Di samping itu, kesegaran ika pun sangat berpengaruh terhadap keamanan konsumsinya. Salah satu contoh yang sering digunakan untuk menggambarkan hubungan antara kesegaran ikan dan keamanan konsumsi adalah keracunan karena mengkonsumsi ikan jenis scombroid (tuna, tongkol, kembung, lemuru/sarden, dan sejenisnya).
Universitas Sumatera Utara
Teknologi yang sudah banyak diterapkan untuk mendinginkan ikan adalah pembekuan dengan es (icing), yaitu mencampur ikan dan es dengan proporsi 1: 2. Untuk perikanan tangkap, cara itu harus dilakukan sejak ditangkap dan dimasukkan ke kapal. Artinya, es mutlak harus dibawa saat nelayan berangkat melaut. Kapal besar dan modern biasanya punya unit pendinginan (bahkan unit pembekuan) sehingga tidak harus membawa es dari darat. Agar sistem rantai dingin dapat berjalan dengan baik, sarana untuk mempertahankan suhu ikan agar tetap di bawah 4ºC mutlak adanya. Sarana itu meliputi palka berinsulasi, kotak pendingin (cool box), pemecah es, sarana distribusi berpendingin, sarana pengeceran, dan sebagianya. Kebutuhan itu sulit dihitung secara detil, tetapi pasti memerlukan investasi yang tidak sedikit. Susut hasil dalam penanganan ikan tidak selalu akibat tidak tersedianya es, tetapi akibat lain yang kadang tidak bersifak teknis. Berdasarkan defenisi sistem rantai dingin sebelumnya, penyediaan sarana dan prasarana pendinginan tidak serta merta menjamin berjalannya sistem. Ada prasyarat lain yang harus dipenuhi, yaitu adanya prosedur baku yang harus ditaati berupa Praktek Penanganan Ikan yang Baik (GHP, Good Handling Practices). Beberapa prinsip utama GHP, antara lain cepat, cermat dan bersih. Hal ini sesuai dengan konsep CCS yang disarankan oleh pemerintah dimana jenis sarana dan prasarana CCS yang sebaiknya tersedia di setiap tahap penanganan ikan antara lain: 1.
Di atas kapal: cool box (kapal 5-10 GT), palkanisasi (kapal 10-20 GT), refrigrasi (kapal 20-30 GT) dan sarana sanitasi dan higiene.
Universitas Sumatera Utara
2.
Di Tambak/Kolam Ikan: tempat/ruang penanganan ikan (handling space), trays/ keranjang, cool box, air bersih, ice storage, ice crusher dan sarana sanitasi dan higiene.
3.
Di TPI/PPI: trays/keranjang, kereta dorong, pabrik es skala kecil (mini ice plant), ice crusher, ice storage, kereta dorong, air bersih, sarana sanitasi dan hygiene, cool box dan cold storage.
4.
Di UPI SKM: freezer, cold storage, cool room, ice crusher, ice storage, trays/keranjang dan sarana sanitasi dan higiene
5.
Distribusi dan Transportasi CCS: truk berrefrigerasi (refrigerated truck), Truk berinsulasi (insulated truck), mobil angkut pick up, sepeda motor dilengkapi box berinsulasi, becak dilengkapi box berinsulasi, cool box, trays/keranjang dan sarana sanitasi dan higiene.
6.
Di Pasar Hygienis dan Tradisional: showcase, cool box, trays/keranjang, ice tube/ice flake, air bersih serta sarana sanitasi dan hygiene. Selain itu, faktor ketidakpastian mengakibatkan tidak semua nelayan
membawa es dalam jumlah besar karena, selain memakan tempat di palka, hal itu perlu biaya tinggi. Praktek yang sering dilakukan adalah mengawetkan ikan hasil tangkapan awal dengan garam dan hanya menggunakan es untuk tangkapan akhir menjelang pendaratan. Penanganan seperti itu membuat ikan tangkapan awal keadaan fisiknya sudah tidak bagus karena tergencet tangkapan berikutnya dan pada akhirnya harus dilelang sebagai bahan baku ikan asin dengan harga yang tidak tinggi. Penggunaan es untuk mengawetkan tangkapan akhir menunjukkan, sebenarnya nelayan sadar bahwa es dapat mempertahankan kesegaran ikan dan
Universitas Sumatera Utara
pada saat lelang akan mendapatkan harga tinggi. Beberapa nelayan demersal dengan hasil tangkapan ikan kakap ternyata melakukan pembekuan dengan es terhadap hasil tangkapannya dengan benar karena mereka mengetahui ikan kakap tangkapan mereka akan dihargai sangat tinggi dalam keadaan segar. Di pelelangan, GHP belum diterapkan dengan benar meskipun sarana dan prasaranannya telah dilengkapi. Itu kembali menunjukkan betapa sikap atau attitude pelaku perikanan kita, termasuk pengelola pelelangan, belum tepat dalam menangani ikan hasil tangkapannya. Kedua contoh itu memperlihatkan berapa ketersediaan es saja tidak cukup untuk mempertahankan kesegaran ikan yang didaratkan. Ada faktor lain yang harus dicermati, yaitu kedisiplinan para pelaku dalam menerapkan GHP yang ternyata masih sangat kurang walaupun sejumlah Petunjuk Teknis atau Praturan Menteri terkait dengan itu sudah banyak diterbitkan dan disosialisasikan. Selain itu, pngakan aturan masih merupakan salah satu titik lemah. Itu menjadi tantangan bagi pemerintah atau para pemangku kepentingan untuk mengatasinya. Hasil investigasi tim Uni Eropa berdasarkan pada dua kali peninjauan lapangan (April 2004 dan September 2005) untuk mendukung kenyataan itu. Salah satu temuan mereka adalah tidak bagusnya praktem penanganan ikan selama di atas kapal, saat pelelangan, atau di unit pengolahan, serta kurangnya kendali aparat. Tidak heran jika kemudian Uni Eropa melalui CD (Council Directive) No. 236 tahun 2006 baru-baru ini memberlakukan Systematic Border Control terhadap produk perikanan Indonesia. Salah satunya terhadap kandungan histamin sebagai indikator kesegaran ikan scombroid.
Universitas Sumatera Utara
Melihat kenyataan di lapangan dan pemberlakuan Systematic Border Control, harus segera diambil langkah untuk memperbaiki penerapan sistem rantai dingin di lapangan. Langkah yang harus diambil merupakan komitmen bersama dan serentak (cencerted efforts) antara pemerintah dan pelaku usaha, termasuk kelompok nelayan dan asosiasi. Oleh karena tingginya investasi yang dibutuhkan untuk penerapan sistem rantai dingin, pemerintah dan dunia usaha harus bahumembahu mengadakannya. Aturan yang telah dibuat harus segera dikuatkan penerapannya di lapangan. Selain itu, fasilitas dari pemerintah seperti pelatihan, sosialisasi petunjuk teknis, dan sejenisnya harus sesering mungkin dilaksanakan. Penyediaan es murah merupakan salah satu alternatif yang dapat diambil pemerintah untuk merangsang penggunaan es lebih baik lagi.
2.2.4. Proses Cold Chain Sistem (CCS) Proses perlakuan CCS yang baik diatas kapal nelayan adalah: -
Setelah semua bahan-bahan dan peralatan yang dibutuhkan telah dipersiapkan dan dibawa sesuai dengan kebutuhan seperti: Cool Box, Keranjang, Ember, Air Tawar, Es Curah serta alat-alat pendukung lainnya.
-
Setelah ikan tertangkap maka ikan dibersihkan dengan air tawar lalu disortir sesuai dengan jenis dan ukurannya.
-
Selanjutnya ikan dimasukkan kedalam Cool Box dengan susunan lapisan bawah es curah lalu lapisan ikan lalu lapisan es demikian seterusnya. Dalam proses ini diusahakan jumlah es jangan sampai kurang, sebaiknya 2: 1 sehingga suhu dalam Coll Box bisa dipertahankan dan tidak berubah sampai didaratkan/dibongkar di TPI untuk dijual kepada penampung ikan.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya perlakuan CCS diteruskan oleh pedagang/pengumpul untuk dikirim ke pabrik/konsumen.
2.2.5. Fungsi Produksi dan Pendapatan Menurut Mubyarto (1989), fungsi produksi yaitu suatu fungsi yang menunjukkan hubungan antara hasil produksi fisik (output) dan faktor-faktor produksi (input). Dalam bentuk matematika sederhana fungsi produksi dituliskan sebagai berikut: Y = f (X1,X2,.....,Xn) dimana: Y
= Hasil produksi fisik
X1,X2,...,Xn = Faktor produksi Penerimaan adalah total produksi yang dihasilkan dikalikan harga. Pendapatan bersih adalah penerimaan dikurangi dengan biaya produksi dalam satu kali periode produksi. Secara grafik pendapatan maksimum oleh suatu usaha dapat ditunjukkan dengan grafik yang menggambarkan biaya total dan hasil penjualan (penerimaan) (Samuelson, 2001). Dalam usaha prikanan, nelayan
akan memperoleh penerimaan dan
pendapatan, penerimaan nelayan adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut: TRi = Yi . Pyi dimana: Tri
= Total Penerimaan nelayan
Yi
= Produksi
Pyi
= Harga produk
Universitas Sumatera Utara
Pendapatan nelayan adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya Pd = TR – TC dimana: Pd
= Pendapatan
TR
= Total Penerimaan
TC
= Total Biaya Biaya usaha perikanan biasanya diklasifikasikan menjadi 2 yaitu biaya
tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap biasanya didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit, contoh: pajak. Disisi lain biaya tidak tetap atau biaya variabel biasanya didefinisikan sebagai biaya yang besar kecilnya dipengaruhui oleh produksi yang diperoleh, contoh: biaya untuk sarana produksi. Menurut Suratiyah (2006), cara menghitung biaya tetap adalah:
dimana: FC
FC = ∑𝒏𝒏𝒊𝒊=𝟏𝟏 𝑿𝑿𝑿𝑿 . 𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷
= Biaya Tetap
∑ Xi = Jumlah Fisik dari input yang membentuk biaya tetap Pxi
= Harga input
Xi
= Macam input
Total biaya (TC) adalah jumlah dari biaya tetap (FC) dan biaya tidak tetap (VC) TC = FC+ VC Menurut Sudrajat (2008) Untuk analisis kelayakan usaha, perhitungan biaya yang sering dilakukan yaitu cost ratio (R/C). Revenue cost ratio lebih besar dari 1 (satu) berarti manfaat (benefit) lebih besar dari biaya (cost) yang digunakan
Universitas Sumatera Utara
untuk memeperoleh benefit itu. Bukan hanya sekedar benefit lebih besar dari biaya, tetapi B/C ratio lebih besar dari satu sedemikian rupa sehingga benefit dapat menutupi selain dari biaya, juga dapat mengembalikan (repayment) investasi. Bukan hanya sekedar dapat menutupi biaya dan pengembalian investasi, tetapi benefit juga harus dapat memberikan keuntungan (profit) bagi perusahaan (Radiks, 1997). Benefit merupakan manfaat atau faedah yang diperoleh atau dihasilkan dari suatu kegiatan yang produktif. Misalnya pembangunan atau rehabilitasi atau perluasan sehingga diperoleh hasil yang lebih besar. Benefit yang diperoleh mungkin sama tiap-tiap periode dan mungkin berbeda. Maka dalam disiplin penelitian dan penilaian proyek. Benefit diberlakukan sebagai benefit tetap (fixed benefit) maupun benefit variabel (variabel benefit) (Radiks, 1997).
2.3.
Kerangka Pemikiran Penggunaan CCS dalam usaha di bidang perikanan merupakan usaha
untuk menjamin mutu produk perikanan, agar tetap bermutu dan memiliki nilai jual yang tinggi. Hal ini penting mengingat permintaan produk perikanan yang memiliki mutu dari tahun ke tahun terus meningkat. Namun demikian tidak semua nelayan melakukan penjagaan mutu produk dengan menggunakan CCS. Hal ini disebabkan implementasi CCS memerlukan tambahan biaya untuk melengkapkan sarana dan prasarana CCS sesuai dengan kaedahnya. Sehingga diperlukan perbandingan antara Return-Cost (R/C). Perbandingan antara penerimaan dan pengeluaran atau biaya (R/C) penggunaan CCS dengan nelayan tradisional dianggap dapat memberikan informasi tentang proporsi keuntungan yang diperoleh oleh pengusaha. Jika R/C
Universitas Sumatera Utara
ratio > 1 maka usaha yang dijalankan mengalami keuntungan dan layak untuk diusahakan atau dikembangkan. Namun jika R/C ratio < 1 maka usaha tersebut mengalami kerugian atau tidak layak untuk diusahakan atau dikembangkan. Dengan diketahuinya biaya( pengeluaran) yang terdiri dari biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variabel cost) pada proses produksi dan penerimaan yang diperoleh maka dapat diketahui keuntungan yang diperoleh dengan menghitung selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Jika penerimaan lebih besar daripada total biaya yang dikeluarkan maka usaha tersebut memperoleh keuntungan. Sedangkan jika penerimaan lebih kecil daripada total biaya yang dikeluarkan maka usaha tersebut mengalami kerugian. Bagi nelayan yang tidak menggunakan CCS tentu input produksinya lebih rendah dibandingkan dengan nelayan yang menggunakan CCS. Namun demikian bukan berarti biaya yang rendah akan berdampak pada keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan nelayan yang menggunakan CCS. Hal ini disebabkan keuntungan juga ditentukan oleh harga jual produk, dimana mutu produk perikanan yang tinggi memiliki harga jual yang lebih tinggi.
Universitas Sumatera Utara
Nelayan di Kab. Serdang Bedagai
Nelayan yang Menggunakan CCS
Nelayan yang Tidak Menggunakan CCS
Biaya Input
Produksi
Penerimaan
Pendapatan
Alternatif Kebijakan CCS Gambar 4. Skema Kerangka Pemikiran
2.4.
Hipotesis Penelitian Ada perbedaan signifikan antara pendapatan nelayan yang menggunakan
CCS dengan nelayan tradisional yang tidak menggunakan CCS.
Universitas Sumatera Utara