Bab II Tinjauan Pustaka
II.1 Deskripsi Fluida dan Sifat-sifatnya
Fluida dapat didefinisikan sebagai sebuah bahan yang mengalami deformasi secara terus-menerus ketika diberi sebuah tegangan geser (shearing stress) berapapun besarnya. Tegangan geser ini berupa sebuah gaya tangensial yang dikenakan pada sebuah permukaan. Ketika benda-benda padat yang umum seperti baja atau logam-logam lain dikenai sebuah tegangan geser, bahan-bahan tersebut pada awalnya akan mengalami deformasi (biasanya sangat kecil), tapi bahanbahan tersebut tidak akan mengalami deformasi secara terus-menerus (mengalir). Definisi fluida tersebut dipenuhi oleh bahan-bahan seperti air, minyak, dan udara karena bahan-bahan ini akan mengalir ketika dikenai sebuah tegangan geser. Secara umum fluida dapat dikelompokan ke dalam dua kelompok besar yaitu fluida gas dan fluida cair.
Fluida memiliki sifat-sifat tertentu yang berkaitan erat dengan perilakunya. Jelas terlihat bahwa fluida yang berbeda memiliki karakteristik yang berbeda. Karakteristik-karakteristik ini dapat dijelaskan oleh sifat-sifat fluida tertentu.
II.1.1 Rapat Massa
Rapat massa fluida yang diwakili oleh simbol ρ (rho) didefinisikan sebagai massa suatu fluida per unit volume. Satuan rapat massa dalam sistem internasional (SI) ialah kg/m3 dan g/cm3 dalam sistem cgs.
Nilai rapat massa antara fluida-fluida yang berbeda sangatlah bervariasi. Pada cairan perubahan tekanan dan temperatur hanya sedikit mempengaruhi nilai rapat massa. Sementara rapat massa fluida gas sangat dipengaruhi oleh tekanan dan temperatur sehingga termasuk dalam kelompok termampatkan.
5
6
II.1.2 Viskositas
Viskositas merupakan salah satu sifat fluida yang paling penting. Viskositas ini timbul sebagai akibat dari interaksi antar molekul di dalam fluida tersebut atau dengan kata lain molekul-molekul penyusun fluida tersebut. Interaksi yang dimiliki cairan ialah gaya-gaya kohesif antar molekul, sementara interaksi yang dimiliki gas ialah tumbukan-tumbukan antar molekul.
Viskositas menunjukkan resistansi fluida untuk mengalir ketika diberi tegangan geser (shear stress). Viskositas ini didefinisikan sebagai rasio antara tegangan geser terhadap gradien kecepatan atau terhadap laju perubahan regangan geser (shear strain).
Gambar II.1. Perilaku fluida yang diletakan di antara dua pelat sejajar (Feynman, et.al., 1964). Viskositas dapat ditentukan melalui sebuah eksperimen sederhana dengan menggunakan dua pelat sejajar yang mengapit suatu fluida (contohnya air) seperti yang dapat dilihat dalam Gambar II.1. Sebuah pelat dijaga agar tetap diam sementara pelat yang lain digerakan dengan kecepatan vo. Jika gaya yang dibutuhkan untuk menggerakkan pelat tersebut diukur, akan ditemukan bahwa gaya tersebut berbanding lurus dengan luas pelat dan dengan vo/d (d adalah jarak antar pelat). Sehingga diperoleh hubungan bahwa tegangan geser F/A berbanding lurus dengan vo/d (Feynman, et.al., 1964):
v F =µ o A d
II.1
7
Persamaan di atas dapat juga dituliskan dalam bentuk sebagai berikut (Feynman, et.al., 1964): ∂v ∆F =µ x ∆A ∂y
II.2
Besaran ∂vx/∂y ialah gradien kecepatan atau laju perubahan regangan geser (shear strain). Konstanta proporsionalitas µ (mu) inilah yang disebut koefisien
viskositas. Satuan viskositas dalam sistem SI ialah Pa.s atau N.s/m2 sementara satuan
viskositas
dalam
sistem
cgs
ialah
poise
(P)
(http://en.wikipedia.org/wiki/Viscosity, 2007).
Jika gerakan fluida di antara kedua pelat di atas diamati dengan lebih seksama dapat dilihat bahwa fluida yang bersentuhan dengan pelat yang bergerak akan bergerak dengan kecepatan yang sama dengan kecepatan pelat, sementara fluida yang bersentuhan dengan pelat yang diam memiliki kecepatan sama dengan nol. Pengamatan ini merupakan bagian dari fakta ekperimental yang menyatakan bahwa dalam semua fluida biasa, molekul-molekul yang berada di sebelah permukaan benda padat memiliki kecepatan sama dengan nol (relatif terhadap permukaan benda padat) (Feynman, et.al., 1964).
Nilai viskositas sebuah fluida bergantung pada jenis fluida tersebut. Fluida dapat memiliki viskositas yang berbeda-beda yang sangat bergantung pada temperatur dan sedikit bergantung pada tekanan. Fluida yang memiliki hubungan antara tegangan geser dengan laju perubahan regangan geser (shear strain) yang linier disebut sebagai fluida Newtonian. Contoh fluida Newtonian ini ialah air.
Selain fluida Newtonian terdapat kelompok fluida lain yang disebut fluida nonNewtonian. Dalam fluida non-Newtonian hubungan antara tegangan geser dengan laju perubahan regangan geser (shear strain) tidaklah linier. Dengan kata lain viskositas fluida non-Newtonian berubah bergantung pada laju perubahan
8
regangan geser (shear strain) yang dialaminya sehingga fluida non-Newtonian tidak
memiliki
viskositas
yang
pasti
(http://en.wikipedia.org/wiki/Non-
Newtonian_fluid, 2007). Contoh fluida yang termasuk fluida non-Newtonian antara lain cat, campuran air-pasir (pasir hisap), dan pasta gigi. Hubungan antara tegangan geser (shear stress) dengan laju perubahan regangan geser (shear strain) untuk beberapa jenis fluida dapat dilihat pada Gambar II.2.
Gambar II.2. Hubungan antara tegangan geser dengan laju perubahan regangan geser untuk beberapa jenis fluida. Seperti telah disinggung sebelumnya viskositas fluida sangat bergantung pada temperatur. Viskositas cairan menurun seiring dengan meningkatnya temperatur sementara pada gas peningkatan temperatur menyebabkan peningkatan viskositas. Efek temperatur pada viskositas cairan tersebut dapat didekati dengan baik menggunakan persamaan empiris yang disebut persamaan Andrade:
B
µ = De T
II.3
dengan D dan B adalah konstanta dan T adalah temperatur absolut. Konstanta D dan B dapat ditentukan jika viskositas cairan pada dua temperatur diketahui.
9
Dalam banyak situasi diperlukan rasio antara gaya viskos yang diwakili oleh viskositas fluida (µ) terhadap gaya inersial yang diwakili oleh rapat massa fluida (ρ). Rasio ini diwakili oleh viskositas kinematik yang didefinisikan sebagai berikut:
ν=
µ ρ
II.4
II.2 Aliran Fluida
Pemahaman tentang aliran fluida dapat diterapkan dalam banyak bidang seperti menghitung gaya-gaya dan momen-momen pada pesawat terbang, menentukan laju aliran massa minyak bumi di dalam pipa, menentukan perilaku aliran darah di dalam pembuluh, meramalkan pola-pola cuaca. Bahkan beberapa prinsip aliran fluida ini diterapkan dalam rekayasa lalu lintas dengan menganggap lalu lintas sebagai fluida yang kontinyu (http://en.wikipedia.org/wiki/Fluid_dynamics, 2006).
II.2.1 Persamaan Dasar Aliran Fluida
Gerakan fluida dapat digambarkan menggunakan sekelompok persamaan yang disebut persamaan-persamaan Navier-Stokes. Fluida yang dibahas diasumsikan memiliki sifat-sifat tertentu. Pertama, fluida tersebut bersifat kontinyu (tidak mengandung ruang kosong seperti gelembung). Asumsi berikutnya ialah seluruh besaran fisika yang digunakan seperti tekanan, kecepatan, rapat massa, temperatur, dan lain-lain dapat didiferensiasikan (tidak memiliki transisi fase) (http://en.wikipedia.org/wiki/Navier-Stokes_equations, 2006).
Persamaan-persamaan Navier-Stokes diturunkan dari prinsip-prinsip dasar kekekalan
massa,
kekekalan
momentum,
dan
kekekalan
energi
(http://en.wikipedia.org/wiki/Navier-Stokes_equations, 2006). Persamaan dasar aliran fluida yang menyatakan kekekalan massa dapat diturunkan
dengan
10
pertama-tama mengambil sebuah elemen volume dengan bentuk sembarang seperti diperlihatkan pada Gambar II.3.
Gambar II.3. Sebuah elemen volume V
Massa dari elemen volume itu ialah: ∫ ρdV
II.5
dengan ρ adalah rapat massa elemen volume. Fluida dapat mengalir masuk atau keluar elemen volume V. Pada permukaan elemen volume dipilih sebuah elemen permukaan d S sembarang, dengan d S adalah vektor normal permukaan. Massa fluida yang mengalir keluar melalui permukaan d S dinyatakan sebagai ρ u • d S , dengan u adalah kecepatan aliran fluida. Laju massa yang keluar dari volume V dapat dinyatakan sebagai (Landau dan Lifshitz, 1959):
∫ ρu • d S
II.6
S
Berkurangnya massa fluida per satuan waktu dari dalam volume V dapat dituliskan sebagai (Landau dan Lifshitz, 1959):
−
∂ ρdV ∂t ∫
II.7
11
Dari persamaan II.6 dan II.7 diperoleh:
∂ ρdV = − ∫ ρ u • d S ∂t ∫ S
II.8
Tanda minus (-) pada ruas kanan persamaan menunjukkan bahwa laju aliran yang keluar dari permukaan volume merupakan pengurangan massa fluida dari dalam elemen volume. Integral permukaan pada persamaan II.6 dapat ditransformasikan menjadi integral volume menggunakan formula Green (Landau dan Lifshitz, 1959):
∫ ρ u • d S = ∫ ∇ • (ρ u )dV S
II.9
V
Persamaan yang diperoleh ialah (Landau dan Lifshitz, 1959): ∂ρ
∫ ∂t atau
( )
+ ∇ • ρ u dV = 0
∫ ∂t dV = −∫ ∇ • (ρ u )dV ∂ρ
II.10
Selanjutnya semua suku pada persamaan II.10 dikumpulkan dalam satu ruas sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut (Landau dan Lifshitz, 1959):
( )
∂ρ + ∇ • ρu = 0 ∂t
II.11
Persamaan II.11 dikenal sebagai persamaan kontinuitas yang menyatakan kekekalan massa fluida secara umum. Dalam kasus fluida tak termampatkan
12
(incompressible), persamaan II.11 dapat dituliskan sebagai berikut:
∇•u = 0
II.12
Selain pada hukum kekekalan massa, aliran fluida juga berdasar pada hukum kekekalan momentum. Penurunan persamaan untuk hukum kekekalan momentum diperoleh dari Hukum II Newton:
ρ
du =F dt
II.13
dengan F adalah gaya per satuan volume yang bekerja pada elemen fluida. Bentuk
du adalah percepatan elemen fluida. Terdapat dua hal yang berkontribusi dt
pada bentuk
du ini. Pertama, kecepatan itu sendiri berubah terhadap waktu dt
seperti ditunjukkan oleh
∂u . Kedua, kecepatan dapat berubah dari satu titik ke ∂t
titik lain ketika fluida mengalir (dimensi spasial). Kedua kontribusi ini dapat dinyatakan sebagai (Landau dan Lifshitz, 1959):
du =
∂u ∂u ∂u ∂u dz dy + dx + dt + ∂z ∂y ∂x ∂t
II.14
Dengan membagi kedua ruas dengan dt persamaan II.14 akan berubah menjadi:
(
)
d u ∂u + u •∇ u = ∂t dt
II.15
13
Fluida yang dijadikan acuan ialah fluida ideal, yaitu fluida yang tidak viskos (inviscid). Karena itu gaya yang diperhitungkan ialah gaya yang timbul sebagai akibat dari perbedaan tekanan yaitu (Landau dan Lifshitz, 1959): − ∫ Pd S
II.16
Dengan mengubah persamaan tersebut ke dalam bentuk integral volume akan diperoleh bentuk (Landau dan Lifshitz, 1959): − ∫ Pd S = − ∫ ∇PdV
II.17
Dari persamaan di atas dapat dilihat bahwa gaya yang bekerja pada elemen fluida ialah − ∇P . Dengan mensubstitusi persamaan II.17 ke dalam persamaan II.13, dan kemudian mensubstitusikan hasilnya ke dalam persamaan II.15 akan diperoleh persamaan (Landau dan Lifshitz, 1959):
(
)
∂u 1 + u • ∇ u = − ∇P ∂t ρ
II.18
Persamaan terakhir ini merupakan persamaan Euler. Persamaan Euler menyatakan hukum kekekalan momentum di dalam fluida ideal yang tidak viskos (inviscid) dan tidak termampatkan (incompressible).
II.2.2 Tensor Rapat Fluks Momentum
Penurunan persamaan gerak untuk aliran fluida secara makroskopik dilakukan dengan menggunakan tensor. Penurunan persamaan ini dimulai dengan menyatakan laju perubahan momentum dalam volume tetap melalui persamaan (Landau dan Lifshitz, 1959): ∂u ∂ (ρuα ) = ρ α + uα ∂ρ ∂t ∂t ∂t
II.19
14
Notasi uα menyatakan komponen kecepatan fluida dalam arah α. Kemudian persamaan kontinuitas II.12 dan persamaan Euler II.18 disubstitusikan ke dalam persamaan II.19 sehingga diperoleh persamaan (Landau dan Lifshitz, 1959):
∂ (ρu β ) ∂ (ρuα ) = − ρu β ∂uα − ∂p − uα ∂x β ∂t ∂x β ∂xα
II.20
Kemudian persamaan II.20 diubah menjadi (Landau dan Lifshitz, 1959):
∂ (ρuα ) = − ∂P − ∂ (ρuα u β ) ∂t ∂xα ∂x β
II.21
Suku kedua pada ruas kanan memenuhi konvensi somasi Einstein. Pada akhirnya diperoleh ungkapan sederhana yang menyatakan kesetimbangan momentum yang berupa persamaan (Landau dan Lifshitz, 1959):
∂∏ ∂ (ρuα ) = − αβ ∂t ∂x β
II.22
Dalam persamaan tersebut tensor rapat fluks momentum didefinisikan sebagai (Landau dan Lifshitz, 1959):
∏αβ
(0)
= Pδ αβ + ρuα u β
II.23
dengan δαβ ialah delta Kronecker.
II.2.3 Persamaan Navier-Stokes untuk Aliran Viskos Tak Termampatkan
Untuk menurunkan persamaan Navier-Stokes, persamaan II.19 harus dimodifikasi supaya dapat mengakomodasi gaya gesek. Bentuk tensor rapat fluks momentum
15
untuk aliran viskos dapat didekati menggunakan persamaan II.22 sehingga diperoleh (Rothman dan Zaleski, 1997):
∏αβ
= ∏αβ + ∏αβ
visc
(0)
II.24
Ungkapan untuk tensor aliran viskos diberikan oleh persamaan (Rothman dan Zaleski, 1997):
∏αβ
visc
∂u ∂u β = −µ α + ∂x β ∂xα
− ξ ∂ (u γ δ αβ ) ∂xγ
II.25
dengan konstanta ξ merupakan koefisien positif yang berkaitan dengan viskositas. Persamaan kesetimbangan momentum yang dihasilkan berbentuk (Rothman dan Zaleski, 1997):
∂∏ ∂ (ρuα ) = − αβ ∂t ∂x β
II.26
Substitusi persamaan II.23, II.24, dan II.25 akan menghasilkan persamaan (Rothman dan Zaleski, 1997):
∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ( ρu α ) + ρu α u β = − P+ uα + u β + ξ uγ µ ∂x ∂xα ∂x β ∂x β ∂xα ∂x β ∂t α ∂xγ II.27
Persamaan II.27 menggambarkan hukum kekekalan momentum di dalam fluida viskos termampatkan. Persamaan ini dapat disederhanakan untuk fluida tak termampatkan dengan terlebih dahulu mendefinisikan viskositas kinematik seperti
16
pada persamaan II.4. Sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut:
∂u 1 + u • ∇u = − ∇ P + ν ∇ 2 u ρ ∂t
II.28
Persamaan tersebut merupakan persamaan Navier-Stokes untuk aliran viskos tak termampatkan. Persamaan ini menunjukkan bahwa perubahan momentum (percepatan) partikel-partikel fluida hanya dipengaruhi oleh perubahan tekanan dan
gaya
viskos
disipatif
yang
bekerja
di
dalam
fluida
(http://en.wikipedia.org/wiki/Navier-Stokes_equations, 2006).
II.3 Batuan Sebagai Medium Porous
Dalam kehidupan sehari-hari dan di alam, medium porous dapat ditemukan dimana-mana. Material atau struktur porous memiliki salah satu dari dua syarat di bawah ini (Dullien, 1979): 1. Material atau struktur tersebut harus mengandung ruang-ruang yang disebut pori, yang tidak berisi bahan padat. Ruang-ruang tersebut dikelilingi oleh matriks yang padat atau semipadat. Pori-pori umumnya berisi fluida, seperti udara, air, minyak, dan sebagainya. 2. Material atau struktur tersebut harus permeabel terhadap berbagai jenis fluida, artinya fluida harus dapat masuk dari satu sisi material dan keluar dari sisi yang lain. Dalam kasus ini bahan tersebut disebut bahan porous permeabel.
Dalam kehidupan sehari-hari dan di alam terdapat banyak contoh materialmaterial porous contohnya kain, kertas, beton, batu bata, kayu, tanah, dan sebagainya. Dalam tubuh manusia juga terdapat banyak material dan struktur
porous seperti pembuluh darah serta filter dan membran biologis (Dullien, 1979).
Medium porous dan sifat-sifatnya diterapkan secara paling intensif dalam bidang
17
ilmu (Dullien, 1979): 1. Hidrologi, yaitu ilmu yang mempelajari gerakan air di dalam bumi dan struktur-struktur buatan manusia, aliran dari formasi batuan yang mengandung air ke sumur, intrusi air laut di pesisir dan masih banyak lagi. 2. Rekayasa perminyakan, yang terutama mempelajari produksi minyak dan gas bumi, ekplorasi, pemboran sumur, dan sebagainya.
Medium porous yang memainkan peranan penting dan merupakan fokus perhatian dalam kedua bidang ilmu di atas ialah batuan. Batuan ialah kumpulan mineralmineral alami yang mengalami kritalisasi melalui proses-proses pembentukan batuan (Schön, 1996). Batuan dapat memperlihatkan sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh masing-masing mineral yang menyusun batuan tersebut. Sifat-sifat fisis, kimiawi, dan geometris dari batuan-batuan bergantung pada sifat-sifat fisis, kimiawi, dan geometris dari masing-masing mineral, fraksi-fraksi volumenya, dan distribusinya (Guéguen dan Palciauskas, 1994).
Batuan dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara. Salah satu metode klasifikasi batuan yang paling populer ialah berdasarkan cara pembentukannya. Menurut metode klasifikasi ini, batuan dapat dibedakan menjadi batuan beku (igneous), batuan sedimen, dan batuan metamorf (Schön, 1996).
Batuan beku merupakan hasil dari pembekuan bahan lelehan yang berasal dari dalam bumi. Magma yang mengalir keluar permukaan bumi dan mendingin dengan cepat membentuk batuan vulkanik (ekstrusif). Sementara magma yang tidak mencapai permukaan bumi dan memadat dengan lambat di bawah permukaan bumi membentuk batuan plutonik (intrusif). Secara umum batuan ekstrusif dan intrusif memiliki kandungan mineral yang sama yaitu silikat. Contoh batuan beku ini antara lain basalt, andesit, granit (Guéguen dan Palciauskas, 1994).
Batuan sedimen merupakan hasil dari proses pelapukan dan sedimentasi yaitu batuan-batuan beku, metamorf, dan sedimen yang mengalami penguraian secara
18
fisis dan kimiawi. Kemudian bahan-bahan terurai tersebut berpindah sebagai serpihan dan dalam larutan dan terakumulasi pada suatu tempat sehingga membentuk batuan sedimen. Berdasarkan cara pembentukannya batuan sedimen dapat dikelompokkan menjadi dua jenis utama yaitu sedimen klastik (misalnya batu pasir (sandstone) dan shale) dan sedimen kimiawi dan biokimiawi (misalnya karbonat dan evaporit) (Schön, 1996).
Batuan
metamorf
merupakan
hasil
dari
proses
metamorfisme.
Proses
metamorfisme ini disebabkan oleh perubahan temperatur dan tekanan. Susunan mineral yang telah ada diubah menjadi susunan mineral baru yang sesuai dengan kondisi termodinamik yang dialami susunan mineral tersebut. Contoh batuan metamorf ini antara lain gneiss, schist, marmer (Schön, 1996).
II.4 Parameter Struktur Pori Makroskopik
Sedikit banyak seluruh sifat makroskopik medium porous dipengaruhi oleh struktur pori. Pada umunya parameter-parameter struktur pori makroskopik secara keseluruhan ditentukan oleh struktur pori medium dan tidak bergantung pada sifat-sifat lain. Parameter-parameter struktur pori makroskopik yang akan dibahas dalam tulisan ini ialah porositas dan permeabilitas.
II.4.1 Porositas Batuan
Porositas merupakan ukuran volume pori yang tersedia di dalam batuan. Porositas
φ didefinisikan sebagai fraksi volume batuan V yang tidak berisi bahan padat. Porositas juga dapat didefinisikan dengan persamaan:
ϕ=
V − Vm V p = V V
II.29
dengan Vm ialah volume bahan padat dan Vp ialah volume pori seperti dapat dilihat pada Gambar II.4 (Guéguen dan Palciauskas, 1994). Porositas ialah sebuah
19
besaran yang tidak berdimensi dan diberikan sebagai sebuah fraksi desimal atau sebagai sebuah persentase.
Gambar II.4. Definisi porositas (Schön, 1996).
Porositas ini tidak memberikan informasi apapun mengenai ukuran pori, distribusi pori, dan derajat konektivitas. Jadi batuan-batuan yang memiliki porositas yang identik dapat memiliki sifat-sifat fisis seperti permeabilitas yang jauh berbeda (Guéguen dan Palciauskas, 1994).
Porositas terbentuk sebagai akibat dari berbagai proses geologis, fisis, dan kimiawi, dan terbentuk saat pembentukan batuan sebagai “porositas primer” (sedimentasi klastik, organogenesis) dan selama riwayat geologis batuan sebagai “porositas sekunder” (proses tektonik, proses kimiawi, pelarutan, dan lain-lain) (Schön, 1996).
Selain itu penting juga untuk membedakan antara dua jenis pori yaitu pori-pori yang membentuk sebuah fase kontinyu di dalam medium porous, yang disebut ruang pori “saling berhubungan (interconnected)” atau “efektif”, dan pori-pori yang membentuk pori-pori “terisolasi” atau “tidak saling berhubungan (noninterconnected)”. Ruang pori yang saling berhubungan berkontribusi secara dominan terhadap proses transpor fluida di dalam medium porous. Pori-pori “buntu” atau “blind” hanya saling berhubungan dari satu sisi. Walaupun pori-pori
20
ini seringkali dapat dimasuki fluida, kontribusi pori-pori ini terhadap proses transpor fluida biasanya dapat diabaikan (Dullien, 1979).
Pada saat pembentukannya batuan intrusif (plutonik) memiliki porositas yang sangat kecil. Contohnya ialah granit yang memiliki porositas φ ≈ 10-3, yang sebagian besar berupa rongga-rongga kecil tidak teratur yang merupakan sisa dari proses kristalisasi. Batuan vulkanik (ekstrusif) memiliki sifat yang berbeda. Porositas batuan vulkanik lebih besar dan lebih bervariasi daripada porositas batuan intrusif. Transpor fluida melalui batuan beku terutama terjadi melalui
crack dan fracture yang terbentuk kemudian sebagai respons terhadap stress termal atau tektonik (Guéguen dan Palciauskas, 1994).
Porositas batuan sedimen memiliki rentang yang sangat luas dari mendekati nol hingga lebih dari 0,50. Variasi porositas ini bergantung pada cara pembentukan batuan sedimen tersebut (akumulasi serpihan atau pengendapan kimiawi). Porositas awal dari sebuah batuan sedimen klastik tidak begitu bergantung pada ukuran partikel tapi lebih bergantung pada distribusi ukuran partikel. Sedimen kimiawi yang terbentuk sebagai akibat dari penguapan air laut (evaporit) umumnya memiliki porositas yang sangat rendah (10-3) (Guéguen dan Palciauskas, 1994). Secara umum sulit untuk mendapatkan nilai rata-rata atau rentang nilai rata-rata porositas untuk kelompok atau jenis batuan. Porositas batuan ini sebaiknya ditentukan untuk jenis batuan tertentu sesuai dengan daerah, formasi geologis, dan kedalamannya (Schön, 1996).
II.4.2 Permeabilitas Batuan
Permeabilitas ialah besaran fisika yang menggambarkan kemampuan batuan untuk melewatkan fluida. Nilai permeabilitas ini hanya bergantung pada struktur pori batuan (Dullien, 1979). Koefisien permeabilitas menghubungkan sebuah fluks (fluks fluida) dengan sebuah gaya (gradien tekanan fluida). Dalam kondisikondisi normal fluks fluida tersebut berbanding lurus terhadap gradien tekanan (Guéguen dan Palciauskas, 1994).
21
Pada tahun 1856 seorang insinyur berkebangsaan Perancis yang bernama Henry Darcy menemukan hubungan mendasar untuk mendefinisikan aliran laminer sebuah fluida viskos melalui sebuah batuan porous yang kemudian disebut hukum Darcy (Schön, 1996). Dalam sebuah medium porous permeabel yang dilalui sebuah fluida dalam arah +x hukum Darcy menyatakan bahwa (Guéguen dan Palciauskas, 1994):
q=−
k dP µ dx
II.30
dengan k ialah koefisien permeabilitas, µ ialah viskositas fluida, q ialah kecepatan Darcy, dan
dP ialah gradien tekanan. Tanda negatif dalam hukum Darcy dx
menunjukkan bahwa aliran bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah). Kecepatan Darcy ialah sebuah fluks volume dan bukanlah kecepatan fluida sebenarnya. Kecepatan Darcy (q) dari sebuah fluida didefinisikan sebagai volume fluida yang melewati sebuah penampang lintang dengan luas A yang tegak lurus terhadap sumbu x per satuan luas dan per satuan waktu. Karena itu hukum Darcy juga dapat dituliskan sebagai berikut:
kA dP Q = − µ dx
II.31
dengan Q ialah debit aliran dan A ialah luas penampang lintang sampel. Ilustrasi dari besaran-besaran yang disebut di atas dapat dilihat pada Gambar II.5. Hukum Darcy ini mirip dengan hukum viskositas Newton, hukum kelistrikan Ohm, hukum konduksi panas Fourier, dan hukum difusi Fick (Dullien, 1979).
22
q sumbu + x A Gambar II.5. Fluks volume dalam medium porous permeabel.
Kecepatan Darcy (q) dapat dikaitkan dengan kecepatan rata-rata fluida di dalam pori (vp) melalui hukum Dupuit-Forchheimer sebagai berikut (Guéguen dan Palciauskas, 1994): q = v pϕ
II.32
Permeabilitas memiliki dimensi luas, karena itu sistem SI satuan permeabilitas ialah m2. Dalam prakteknya lebih umum digunakan satuan darcy (D). Satu darcy dapat didefinisikan sebagai permeabilitas sebuah material yang memungkinkan fluks volume (q) sebesar 1 cm/s dari sebuah fluida yang memiliki viskositas 1cP (sentipoise) dengan gradien tekanan sebesar 1 atm/cm. Jadi 1 Darcy sama dengan 0,9869 x 10-12 m2 (Schön, 1996).
Hukum Darcy secara akurat menjelaskan gerakan fluida dalam jangka panjang ketika kecepatan fluida sebenarnya tidak terlalu besar. Ketika kecepatan tersebut melewati sebuah nilai kritis, pendekatan yang diberikan pada persamaan II.30 tidak lagi akurat. Batas ini dapat ditentukan dengan menurunkan persamaanpersamaan dasar mekanika fluida. Untuk sebuah fluida viskos, hubungan stress dengan kecepatan diberikan sebagai (Guéguen dan Palciauskas, 1994):
∂v
∂v
σ ij = − pδ ij + µ i + k ∂x k ∂xi
II.33
23
Persamaan II.33 merupakan persamaan konstitutif untuk sebuah fluida viskos. Jika diasumsikan bahwa fluida tersebut tak termampatkan (incompressible) artinya rapat massanya konstan, maka kecepatan v =
∂u (dengan u adalah ∂t
pergeseran posisi) memenuhi persamaan (Guéguen dan Palciauskas, 1994):
∂v k =0 ∂x k
karena tidak terjadi perubahan volume,
II.34
∂u k ∂v k = 0 , menyiratkan bahwa = 0. ∂x k ∂x k
Persamaan II.33 dan II.34 dapat digabungkan dengan persamaan kesetimbangan fundamental (Guéguen dan Palciauskas, 1994):
∂σ ij ∂x j
+ Fi = 0
II.35
sehingga diperoleh persamaan Navier-Stokes (Guéguen dan Palciauskas, 1994):
−
Komponen inersial ρ
dv ∂p + µ∇ 2 vi = ρ i dt ∂xi
II.36
dvi pada persamaan II.36 dapat diabaikan ketika (Guéguen dt
dan Palciauskas, 1994):
ρ
dv << µ∇ 2 v dt
II.37
24
Jika l adalah panjang karakteristik, maka l/v ialah waktu karakteristik dan kedua
v nilai tersebut berturut-turut memiliki besar sebanding dengan ρ dan l/v v µ 2 . Jadi syarat berikut (Guéguen dan Palciauskas, 1994): l
ρvl << 1 µ
menyiratkan bahwa komponen ρ
dv dt
dapat diabaikan. Besaran
II.38
ρvl ialah µ
bilangan Reynolds (Re). Nilai ρ dan µ ialah sifat-sifat fluida yang telah diketahui, dan panjang karakteristik (l) ditentukan oleh dimensi pori yang berperan sebagai saluran untuk gerakan fluida. Ketika Re << 1, komponen inersial pada persamaan II.34 dapat diabaikan dan persamaan Navier-Stokes disederhanakan menjadi (Guéguen dan Palciauskas, 1994):
µ∇ 2 vi =
∂p ∂xi
II.39
Persamaan II.39 dapat dilihat sebagai sebuah hubungan antara kecepatan (atau fluks) dan gradien tekanan (gaya). Hukum Darcy sesuai dengan sebuah solusi linier yang mendekati solusi persamaan Navier-Stokes ketika Re << 1. Kondisi ini biasanya dipenuhi dalam medium porous (Guéguen dan Palciauskas, 1994).
Pada Re >> 1 hukum Darcy tidak lagi dapat diterapkan. Tidak seperti yang diinterpretasikan oleh banyak pihak, hukum Darcy tidak dapat diterapkan pada nilai Re >> 1 bukan karena aliran fluida berubah menjadi turbulen. Hukum Darcy tidak berlaku ketika distorsi yang terjadi pada streamlines yang disebabkan oleh perubahan-perubahan arah gerakan menjadi cukup besar sehingga gaya-gaya inersial menjadi signifikan bila dibandingkan dengan gaya-gaya viskos.
25
Sementara turbulensi baru terjadi pada nilai bilangan Reynolds yang jauh lebih besar (Dullien, 1979).
Dalam prinsipnya, pengukuran pada sebuah laju aliran tunak tunggal memungkinkan penghitungan permeabilitas menggunakan hukum Darcy. Namun biasanya terdapat kesalahan ekperimental yang cukup besar dalam pengukuranpengukuran ini. Karena itu dianjurkan melakukan perngukuran-pengukuran pada laju aliran yang berbeda-beda, menggambarkan kurva laju aliran terhadap tekanan, dan membandingkannya dengan sebuah garis lurus pada titik-titik data. Menurut hukum Darcy, garis ini harus melalui titik nol. Namun kadang-kadang sebaran titik-titik data mungkin menyebabkan garis lurus yang paling tepat tidak melalui titik nol. Jika titik-titik data tersebut tidak dapat didekati dengan sebuah garis lurus maka hukum Darcy tidak dipatuhi dan sistem tersebut harus diselidiki untuk menemukan penyebab penyimpangan tersebut (Dullien, 1979).
Permeabilitas sebesar 1 darcy (1 D) dapat dianggap sebagai permeabilitas tinggi. Permeabilitas yang lebih tinggi daripada 1 D hanya ditemukan dalam gravels (103 D atau lebih) dan sandy gravels (10 D atau lebih besar). Pada umumnya nilai permeabilitas batuan sangat bervariasi dan bergantung pada sifat batuan. Secara umum batuan plutonik memiliki porositas dan permeabilitas yang sangat rendah (k < 10 µD). Di sisi lain batuan vulkanik biasanya memiliki porositas dan permeabilitas yang jauh lebih tinggi (k > 1 mD). Batuan sedimen memiliki rentang permeabilitas yang sangat luas, dari nilai yang sangat rendah (sedimen
argillaceous, k < 1 µD) hingga nilai yang jauh lebih tinggi (pasir, k ≈ 1 D). Permeabilitas batu pasir (sandstone) dan karbonat menarik lebih banyak perhatian karena kedua jenis batuan tersebut membentuk sebagian besar reservoar minyak bumi. Gambar II.6 memperlihatkan hasil pengukuran laboratorium pada berbagai material (Brace, 1980).
26
Gambar II.6. Pengukuran permeabilitas yang dilakukan di laboratorium. Tekanan hidrostatik < 10 Mpa, T = 25° C (Brace, 1980).
II.5 Aliran Fluida di Dalam Pipa
Selanjutnya akan ditinjau fluida viskos tak termampatkan yang mengalir secara laminer di dalam pipa kapiler berbentuk silinder. Dalam kasus ini diambil sumbu z sebagai sumbu simetri. Syarat batas yang diterapkan ialah u = 0 pada r = R sehingga nilai ur = uφ = 0. Persamaan kontinuitas untuk koordinat silinder diberikan oleh:
∇•u =
1 ∂ (ru r ) + ∂ uϕ + ∂ u z = 0 r ∂r r∂ϕ ∂z
Dengan menerapkan syarat batas di atas, dengan
II.40
∂u z = 0 dan uz = uz(r,φ) dan ∂z
dengan asumsi bahwa aliran fluida seluruhnya simetris terhadap sumbu z, maka
27
diperoleh:
u z = u z (r )
II.41
Persamaan Navier-Stokes untuk aliran tunak diberikan sebagai berikut:
0=
∂p ∂r
0=
1 ∂p r ∂z
0=−
II.42
∂p µ ∂ ∂u z + r ∂z r ∂r ∂r
Persamaan Navier-Stokes di atas dapat dituliskan sebagai: 1 ∆p 1 ∂ ∂u z = r µ ∆z r ∂r ∂r
II.43
Dengan mengintegrasi persamaan II.43 sebanyak dua kali diperoleh solusi umum sebagai:
u z (r ) =
1 ∆p 4 µ ∆z
2 r + C1 + C 2 ln r
II.44
Karena nilai uz(r) harus berhingga pada r = 0 maka diperoleh C2 = 0, dan dari syarat batas yang diberikan oleh persamaan II.41, dengan:
u z (R ) = 0
II.45
28
selanjutnya akan diperoleh:
C1 = −
1 ∆p 2 r 4µ ∆z
II.46
Dengan memasukkan nilai-nilai di atas, persamaan II.44 menjadi:
∆p R u z (r ) = − ∆z 4 µ 2
r 2 1 − R
II.47
Tanda minus pada persamaan di atas menunjukkan fluida mengalir sebagai akibat perbedaan tekanan. Pada r = 0 kecepatan aliran fluida maksimum:
u z (r = 0) = −
∆p R 2 ∆z 4 µ
II.48
u z (r = 0) = u 0
Dengan menggabungkan persamaan II.47 dan II.48 dihasilkan:
r 2 u (r ) = u 0 1 − R
II.49
Laju aliran volumetrik diberikan oleh:
r 2 Q = ∫ u (r )2πrdr = ∫ u 0 1 − 2πrdr R 0 0 R
R
II.50
29
Selanjutnya integrasi persamaan II.50 menghasilkan:
1 Q = πR 2 u 0 2
II.51
Pada akhirnya substitusi persamaan II.48 ke dalam persamaan II.51 menghasilkan:
πR 4 ∆p Q=− 8µ ∆z
II.52
dengan ∆p adalah beda tekanan antara kedua ujung pipa kapiler dan ∆z adalah panjang pipa kapiler serta R adalah jari-jari pipa kapiler yang dilewati fluida. Dengan mengganti ∆z dengan Le (panjang efektif saluran), maka persamaan II.52 dapat ditulis sebagai (Dullien, 1992):
Q=−
πR 4 ∆p 8µ Le
II.53
Persamaan di atas disebut persamaan Hagen-Poiseuille. Persamaan ini memberikan gambaran yang baik tentang perilaku aliran fluida di dalam sebuah pipa kapiler.
II.6 Model Permeabilitas Kozeny-Carman
Banyak sekali pendekatan model yang telah dicoba untuk mewakili aliran fluida fase tunggal. Pendekatan model tersebut dapat dibagi ke dalam dua kelompok yang memiliki perbedaan-perbedaan yang mendasar. Pada kelompok pertama digunakan pendekatan aliran di dalam saluran, sementara pada kelompok kedua digunakan pendekatan aliran di sekeliling obyek-obyek padat yang berada di dalam fluida. Untuk porositas rendah dan menengah lebih tepat digunakan pendekatan aliran di dalam saluran, sementara untuk porositas yang sangat tinggi
30
pendekatan kedua lebih sesuai. Namun pada daerah di antara kedua nilai porositas tersebut tampaknya tidak ada pendekatan yang lebih tepat digunakan. Dalam kelompok pendekatan aliran di dalam saluran terdapat pendekatan sederhana yang dinamakan model permeabilitas geometris. Model permeabilitas geometris yang paling populer dinamakan model Kozeny-Carman (Dullien, 1979).
Pendekatan Kozeny-Carman seringkali disebut teori radius hidrolik. Dalam teori Kozeny-Carman medium porous dianggap ekuivalen dengan sebuah saluran dengan penampang lintang berbentuk sangat kompleks tapi memiliki luas yang konstan.
Gambar II.7. Rekahan sederhana.
Gambar II.7 memperlihatkan skema aliran fluida di dalam rekahan sederhana. Jika
Le adalah panjang saluran efektif, q adalah kecepatan Darcy, vp adalah kecepatan fluida di dalam pori, Q adalah debit fluida, serta a adalah luas saluran dan A adalah luas medium maka persamaan aliran fluida dapat dituliskan sebagai (Dullien, 1992): Q = qA = v p a
II.54
31
Sedangkan porositas rekahan pada gambar II.6 diperoleh dari persamaan (Dullien, 1992):
ϕ=
aLe AL
II.55
Substitusi persamaan II.54 ke dalam persamaan II.53 menghasilkan (Dullien, 1992):
vpa = −
πR 4 ∆p 8µ Le
II.56
Sehingga diperoleh persamaan Hagen-Poiseuille untuk kecepatan aliran fluida di dalam pori (Dullien, 1992):
2 ∆p DH v p = − Le k o 16µ
II.57
dengan ko ialah faktor bentuk (shape factor) yang nilainya berkisar dari 2 hingga 3 bergantung pada bentuk penampang lintang pori seperti yang dapat dilihat dalam tabel II.1.
Tabel II.1. Faktor bentuk penampang lintang (Schön, 1996).
Bentuk penampang lintang Lingkaran Elips, sumbu a dan b
a/b = 2 a/b = 10 a/b = 50
Bujur sangkar Persegi empat, sisi a dan b a/b = 2 a/b = 10 a/b = ∞ Segitiga, sama sisi
ko 2,0 2,13 2,45 2,96 1,78 1,94 2,65 3,0 1,67
32
Nilai DH yang merupakan diameter saluran didefinisikan sebagai (Dullien, 1992):
DH =
DH =
4 × Af
K 4 × V pori
S
atau
II.58
dengan Af ialah luas penampang lintang aliran, K ialah batas tepi pori yang terbasahi, Vpori ialah volume pori, dan S ialah luas permukaan pori yang terbasahi. Persamaan II.57 dan persamaan II.30 diasumsikan memiliki memiliki hubungan sebagai berikut (Dullien, 1979):
q L L v p = e = v DF e L ϕ L
II.59
Faktor pembagian q dengan φ diperoleh melalui asumsi Dupuit-Forchheimer yang digunakan untuk mendefinisikan kecepatan rata-rata di dalam pori. Faktor vDF disebut kecepatan Dupuit-Forchheimer yang merupakan hasil pembagian antara q dengan φ. Faktor Le/L diajukan oleh Carman untuk mengoreksi persamaan awal Dupuit-Forchheimer supaya sesuai dengan fakta bahwa sebuah partikel fluida hipotetik yang digunakan dalam persamaan aliran makroskopis dan mengalir dengan kecepatan q, menempuh jalur dengan panjang L dalam waktu yang sama dengan sebuah partikel fluida nyata yang mengalir dengan kecepatan vp melalui jalur dengan panjang efektif rata-rata Le (Dullien, 1979).
33
Kombinasi persamaan II.30, II.57, dan II.59 memberikan hasil (Dullien, 1979):
k CK =
ϕDH 2 L 16k o e L
2
II.60
Persamaan ini merupakan bentuk persamaan permeabilitas dasar untuk seluruh model geometris. Perbedaannya untuk model geometris yang berbeda-beda ialah hanya dalam metode untuk menghitung diameter pori rata-rata dan dalam nilai L yang digunakan untuk ko e L
2
yang merupakan fungsi dari geometri pori
(Dullien, 1979).
Diameter hidrolik dapat dituliskan dalam bentuk sebagai berikut (Dullien, 1979):
DH =
4ϕ S o (1 − ϕ )
II.61
dengan So ialah luas permukaan spesifik (specific surface area) yang dinyatakan sebagai rasio antara luas permukaan pori terhadap volume matriks batuan. Dengan menggabungkan persamaan II.60 dan II.61 diperoleh bentuk umum dari persamaan permeabilitas Kozeny-Carman (Dullien, 1979):
k CK =
2
ϕ3 2
L 2 2 k o e (1 − ϕ ) S o L
L dengan e biasanya disebut totuositas (τ). L
II.62
34
II.7 Perkembangan Metode Automata Gas Kisi (Lattice Gas Automata)
II.7.1 Seluler Automata
Seluler automata merupakan istilah dalam bidang biologi yang merujuk pada sebuah pemodelan yang menggambarkan suatu sistem yang terdiri atas sekumpulan sel yang dapat mengalami perubahan sesuai dengan keterbatasan yang dimilikinya. Sistem seluler automata adalah sekumpulan sel yang masingmasing dapat mengalami perubahan keadaan seiring dengan perubahan waktu. Transisi dari suatu keadaan ke keadaan lainnya terjadi sesuai dengan aturan-aturan tertentu yang disebut aturan transisi. Selama masa transisi tiap sel memiliki kemungkinan untuk berubah. Keadaan baru masing-masing sel bergantung pada keadaan sel-sel tetangganya.
Ide awal seluler automata ini pertama kali disampaikan oleh John von Neumann dan Stanislaw Ulam pada tahun 1940-an. Pada awalnya von Neumann melakukan sebuah penelitian dalam bidang biologi untuk mensimulasikan bagaimana sebuah mikroorganisme dapat berkembang biak dan mempertahankan populasinya sampai pada jumlah yang memungkinkan populasi mikroorganisme ini bertahan hidup. Namun sekarang seluler automata tidak hanya diterapkan dalam bidang biologi tapi juga dalam bidang fisika dan komputasi.
Dahulu sistem seluler automata memanfaatkan sel-sel yang berbentuk bujur sangkar sebagai representasi dari sel-sel tersebut ketika berkembang dan bergerak. Setiap bujur sangkar diberi nilai-nilai tertentu sebagai status keadaan yang berpengaruh pada status keadaan sel-sel tersebut ketika selanjutnya mengalami evolusi menurut aturan yang telah diterapkan pada sel-sel tersebut.
II.7.2 Automata Gas Kisi (LGA)
Automata Gas Kisi ialah sebuah sistem yang terdiri dari sekumpulan partikel gas yang dibebaskan bergerak dengan kecepatan diskrit dari satu kedudukan ke
35
kedudukan lain di dalam ruang yang memiliki geometri teratur tertentu. Automata Gas Kisi merupakan variasi dari sistem seluler automata yang menggunakan kisi sebagai mediumnya. Partikel-partikel gas tersebut berevolusi dengan sendirinya sesuai dengan aturan-aturan yang dikenakan padanya. Setiap satu satuan evolusi, partikel-partikel tersebut mengalami dua proses. Dalam proses pertama partikelpartikel bergerak dengan arah sesuai dengan kecepatan yang dimilikinya. Dalam proses kedua terjadi tumbukan antar partikel dengan kecepatan-kecepatan tertentu.
Dalam setiap kedudukan tidak diperbolehkan adanya penumpukan kecepatan yang sama. Hukum kekekalan massa dan momentum harus berlaku dalam LGA. Perubahan momentum dapat terjadi pada setiap partikel ketika terjadi tumbukan antar partikel. Meskipun dalam setiap tumbukan terjadi perubahan momentum, kekekalan massa total dan momentum total harus tetap dipertahankan. Dengan kata lain massa total dan momentum total sebelum dan sesudah tumbukan harus sama.
II.7.3 Model Frisch-Hasslacher-Pomeau (FHP)
Model FHP diperkenalkan oleh Uriel Frisch, Brosl Hasslacher, dan Yves Pomeau pada tahun 1986. Model ini merupakan pengembangan dari model HPP yang diperkenalkan oleh Jean Hardy, Olivier de Pazzis, dan Yves Pomeau pada tahun 1973. Model HPP menggunakan kisi bujur sangkar sementara model FHP menggunakan kisi segitiga sama sisi.
Model FPP terdiri dari partikel-partikel yang bergerak dari satu sel ke sel lain dalam kisi segitiga. Dalam kisi segitiga setiap partikel memiliki enam kemungkinan arah kecepatan. Hal ini dikenal sebagai simetri heksagonal. Penggunaan segitiga sama sisi dalam model ini ternyata tidak hanya dapat memodelkan sistem yang bersifat anisotropik tetapi juga sangat memadai jika diterapkan dalam sistem yang bersifat isotropik. Bentuk segitiga sama sisi jika disusun dalam jumlah banyak akan memiliki susunan heksagonal seperti diperlihatkan pada Gambar II.8. Setiap titik perpotongan garis akan menghasilkan
36
kecepatan yang diperbolehkan dimiliki setiap partikel yaitu sebanyak enam kecepatan.
Gambar II.8. Kisi segitiga sama sisi.
Beberapa contoh tumbukan partikel sederhana yang terjadi dalam sistem Automata Gas Kisi diberikan pada Gambar II.9. Gambar tersebut memperlihatkan peristiwa sebelum dan sesudah tumbukan antar partikel di dalam kisi segitiga sama sisi yang disertai dengan perubahan arah kecepatan.
Gambar II.9. Contoh tumbukan sederhana (Rothman dan Zaleski, 1997).
Persamaan hidrodinamika aliran fluida dari sistem banyak partikel dengan menggunakan metode Automata Gas Kisi dituliskan secara matematis sebagai berikut (Rothman dan Zaleski, 1997): ni ( x + ci , t + 1) = ni ( x, t ) + ∆[ni ( x, t )]
II.63
37
Dalam persamaan di atas t merupakan integer. Nilai n = (n1, n2, …, n6) ialah besaran Boolean yang menunjukkan keberadaan (ni = 1) atau ketidakadaan (ni = 0) partikel yang bergerak dari sebuah lokasi kisi yang terletak pada posisi x ke lokasi bertetangga yang terletak pada posisi x + ci. Operator delta (∆) ialah operator tumbukan yang menggambarkan perubahan nilai ni(x,t) akibat tumbukan. Operator tumbukan ini dapat memiliki nilai 0, 1, atau -1. Nilai ini merupakan hasil penjumlahan besaran-besaran dalam ekspresi boolean untuk setiap tumbukan tertentu yang mungkin terjadi. Jika tidak terdapat perubahan jumlah partikel dalam arah i akibat peristiwa tumbukan, yaitu jumlah partikel sebelum dan sesudah tumbukan sama maka nilai ∆i = 1. Partikel bergerak dari posisi x ke posisi x+ci, dengan kecepatan satu satuan kecepatan dan arah yang diberikan oleh (Rothman dan Zaleski, 1997): 2πi 2πi ci = cos , sin 6 6
II.64
dengan i = 1, 2, 3, 4, 5, 6. Selain memiliki enam keadaan arah kecepatan, partikel tersebut juga memiliki kemungkinan berperilaku sebagai partikel diam (rest mass).
Pada saat bergerak atau terjadi tumbukan dalam medium, partikel-partikel harus memenuhi hukum kekekalan massa yang diberikan oleh (Rothman dan Zaleski, 1997):
∑ ∆(n) = 0
II.65
i
serta harus memenuhi hukum kekekalan momentum yang diberikan oleh (Rothman dan Zaleski, 1997):
∑ c ∆ (n) = 0 i
i
i
II.66
38
Dengan menggunakan persamaan II.63, persamaan mikrodinamik untuk seluruh arah i yang menyatakan hukum kekekalan massa diberikan oleh (Rothman dan Zaleski, 1997):
∑ n (x + c , t + 1) = ∑ n (x, t ) i
i
II.67
i
i
i
Dengan mengalikan persamaan II.67 dengan persamaan II.64 maka hukum kekekalan momentum akan diperoleh melalui persamaan (Rothman dan Zaleski, 1997):
∑ c n (x + c , t + 1) = ∑ c n (x, t ) i
i
i
i
i
II.68
i
i
Persamaan II.67 dan II.68 merupakan persamaan kesetimbangan massa dan momentum mikroskopik dalam sistem gas kisi yang menggambarkan evolusi massa dan momentum di dalam medan Boolean. Setiap tumbukan selalu menghasilkan
konfigurasi-konfigurasi
tumbukan
yang
beragam.
Sebuah
momentum total yang sama dapat mengandung lebih dari satu konfigurasi dengan probabilitas kemunculan yang sama.
II.7.4 Aturan Model FHP
Dalam Automata Gas Kisi setiap partikel saling berinteraksi dalam kisi heksagonal dengan mengikuti aturan-aturan kisi yang telah ditetapkan sebelumnya. Partikel-partikel tersebut ditempatkan dalam kisi heksagonal dan bergerak dengan laju yang sama namun dengan arah yang berbeda-beda. Kecepatan partikel ini telah dibuat sedemikian rupa sehingga setiap partikel hanya memiliki kecepatan tertentu saja. Gambar II.10 memperlihatkan contoh pergerakan partikel-partikel ketika berevolusi dalam sebuah sistem gas kisi. Masing-masing anak panah mewakili satu satuan massa partikel yang bergerak dengan satu satuan kecepatan (satu momentum) dalam enam kemungkinan arah yang diberikan oleh kisi.
39
a
b
c
Gambar II.10. Contoh pergerakan partikel dalam LGA (Rothman dan Zaleski, 1997). Gambar II.10a menggambarkan kondisi awal sebuah sistem gas kisi. Terdapat enam arah yang dapat ditempuh oleh sebuah partikel bergerak. Dalam setiap titik kedudukan kisi paling banyak hanya boleh terdapat tujuh partikel yaitu enam partikel yang bergerak ke enam arah dan satu partikel diam. Aturan gerak yang diterapkan pada setiap partikel cukup sederhana. Pertama partikel-partikel tersebut disiapkan untuk bergerak sesuai dengan kecepatan yang dimilikinya. Pada setiap arah tidak diperbolehkan adanya penumpukan kecepatan (pada setiap arah hanya boleh terdapat satu kecepatan). Selanjutnya partikel tersebut berpindah ke kedudukan terdekat dan mengalami tumbukan dengan partikel lain yang pada saat yang sama bergerak ke tempat yang sama (Gambar II.10b). Tumbukan yang terjadi dibuat sedemikian rupa sehingga hukum kekekalan massa dan hukum kekekalan momentum tetap dipenuhi. Pada saat tumbukan partikel tersebut dibiarkan berevolusi sesuai dengan aturan yang diterapkan sehingga dapat terjadi perubahan arah kecepatan (Gambar II.10c).
Dalam kisi segitiga kecepatan setiap partikel diskrit, artinya setiap partikel hanya memiliki dua tingkat kecepatan yaitu sebesar satu satuan kecepatan (unit speed) dan kecepatan nol (partikel diam / rest mass). Walaupun tidak sempurna dua tingkat kecepatan ini cukup untuk mensimulasikan aliran fluida.
40
Pada saat partikel betemu dengan rintangan diam partikel tersebut akan dipantulkan kembali dengan arah kecepatan yang berlawanan dengan kecepatan awal. Proses tumbukan ini diperlihatkan pada Gambar II.11. Asumsi yang digunakan dalam proses tumbukan pada rintangan ialah dengan menganggap rintangan merupakan kumpulan partikel yang berbentuk dan bermassa sama dengan partikel penumbuk. Dengan kata lain tumbukan yang terjadi ialah tumbukan antara partikel dengan salah satu partikel dinding rintangan.
sebelum tumbukan
setelah tumbukan
Gambar II.11. Tumbukan partikel dengan dinding perintang.
Kemungkinan tumbukan terakhir ialah tumbukan antara partikel penumbuk dengan partikel diam. Proses tumbukannya diperlihatkan pada Gambar II.12. Tumbukan yang terjadi harus tetap memenuhi hukum kekekalan massa dan momentum. Dengan cara ini aliran fluida dapat dimodelkan tanpa harus menyelesaikan persamaan hidrodinamika untuk memperoleh solusi analitik.
sebelum tumbukan
setelah tumbukan
Gambar II.12. Tumbukan partikel penumbuk dengan partikel diam (Rothman dan Zaleski, 1997).