0,7
Kategori Sulit Sedang Mudah
Umumnya pada penyusunan instrumen tes disarankan untuk menggunakan aitem dengan taraf kesukaran sedang (p = 0,50) tidak disarankan untuk menggunakan aitem yang memiliki taraf kesukaran ekstrim, baik yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah. Aiken (2008) menambahkan bahwa nilai p juga dipengaruhi oleh jumlah pilihan jawaban. Tabel 2. Kategorisasi Batasan Nilai p Berdasarkan Jumlah Pilihan Jawaban No 1 2 3 4
Jumlah Pilihan Jawaban 2 3 4 5
P 0,85 0,77 0,74 0,60
Universitas Sumatera Utara
5
Jawaban terbuka
0,50
Nilai p dipengaruhi oleh jumlah pilihan jawaban, Sehingga akan berbeda indeks kesukaran aitem yang memiliki dua pilihan jawaban dengan aitem yang memiliki tiga atau lebih pilihan jawaban, karena jika hanya ada dua pilihan jawaban berarti hanya terdapat dua kemungkinan apakah subjek menjawab benar atau salah, sehingga seharusnya indeks kesukaran aitem bernilai tinggi. 2. Indeks Daya Beda Aitem a. Pengertian Indeks Daya Beda Aitem Daya beda aitem merupakan kemampuan aitem dalam membedakan antara individu yang memiliki atribut psikologis yang diukur dengan individu yang tidak memiliki atribut psikologis yang diukur sehingga dalam penelitian ini daya beda aitem pada IST subtes SE dapat diartikan sebagai kemampuan aitem dalam membedakan individu yang memiliki pengetahuan umum dengan individu yang tidak memiliki pengetahuan umum. Aitem yang memiliki indeks daya beda yang baik adalah aitem dapat dijawab benar oleh sebagian besar kelompok subjek kemampuan tinggi, dan dijawab salah oleh sebagian besar kelompok subjek kemampuan rendah jadi kesimpulannya indeks daya beda aitem merupakan suatu harga yang menunjukkan perbedaan proporsi penjawab aitem dengan benar antara kelompok yang memiliki kemampuan tinggi dengan kelompok yang memiliki kemampuan rendah.
Universitas Sumatera Utara
Daya beda aitem dilakukan untuk memenuhi tujuan pengukuran psikologis yaitu untuk mengukur perbedaan individu atau reaksi individu yang sama pada situasi yang berbeda (Anastasi & Urbina, 1997). Murphy dan Davidshofer (2003) mengatakan bahwa aitem yang baik seharusnya dapat membedakan kelompok individu yang mampu mengerjakan tes dengan individu yang tidak, atau dengan kata lain antara kelompok yang memiliki kemampuan tinggi dengan kelompok yang memiliki kemampuan rendah. Indeks daya beda aitem disimbolkan dengan d. d=
-
Keterangan:
(7)
nit = Jumlah peserta dari kelompok tinggi yang menjawab aitem dengan benar Nt = Jumlah peserta dari kelompok tinggi nir = Jumlah peserta dari kelompok rendah yang menjawab aitem dengan benar Nr = Jumlah peserta dari kelompok rendah
Karena
= p, maka d dapat juga diformulasikan dengan: d = pt-pr
(8)
Keterangan: pt = Indeks kesukaran aitem kelompok tinggi pr = Indeks kesukaran aitem kelompok rendah
Universitas Sumatera Utara
Menurut Murphy dan Davidshofer (2003) ada tiga cara statsistik yang dapat digunakan untuk mengestimasi daya beda aitem, yaitu: 1. Metode Kelompok Ekstrim Metode kelompok ekstrim dapat digunakan untuk mengukur daya beda aitem pada kelompok yang besar. Daya beda aitem dapat dihitung dengan cara membagi kelompok menjadi dua, kelompok tinggi yakni kelompok yang memiliki skor yang tinggi (25-35 % nilai tertinggi didalam kelompok) dan kelompok rendah yakni kelompok yang memiliki nilai yang rendah (25-35 % nilai terendah dalam kelompok). Aitem yang memiliki indeks daya beda aitem yang baik akan dijawab benar oleh kelompok tinggi dan dijawab salah oleh kelompok rendah. 2. Korelasi aitem-total Korelasi aitem-total memberikan informasi tentang apakah aitem mengukur hal yang sama dengan tes, korelasi aitem-total dapat dihitung menggunakan korelasi point biserial. Korelasi point biserial digunakan jika variabel kontinu dihubungkan dengan
variabel
dikotomi
yang
sesungguhnya.
Contoh variabel dikotomi
sesungguhnya adalah benar-salah, psikotik-normal, buta warna-normal (Kumar, 2009). Korelasi point biserial yang bernilai positif menunjukkan bahwa aitem dan tes mengukur hal yang sama, nilai mendekati nol menunjukkan bahwa bahwa aitem tidak memiliki indeks daya beda yang baik sehingga kelompok tinggi menjawab pertayaan dengan salah dan kelompok rendah menjawab pertanyaan dengan benar. Nilai negatif
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan bahwa aitem tidak mengukur hal yang sama dengan alat tes. Korelasi poin biserial diformulasikan sebagai berikut: (9)
Keterangan:
bis
= Korelasi poin biserial
µ+ = Rata-rata skor kriteria bagi individu yang menjawab jawaban dengan benar
µ
= Rata-rata skor kriteria kelompok Standar deviasi skor kriteria kelompok
P
= Indeks Kesulitan aitem
Q
= 1-P
3. Korelasi inter-aitem Korelasi inter-aitem digunakan untuk memahami pengukuran daya beda aitem. Korelasi inter-aitem tidak menjelaskan mengapa beberapa aitem menunjukkan nilai yang tinggi ataupun rendah karena sangat jelas bahwa aitem yang memiliki nilai korelasi aitem-total yang positif akan menunjukkan nilai yang positif juga pada kebanyakan aitemnya, namun korelasi aitem-total tidak dapat menjelaskan mengapa korelasi aitem total dapat bernilai negatif dan dalam hal ini dapat dijelaskan dengan menggunakan korelasi inter-aitem. Korelasi inter-aitem dapat membantu dalam memahami mengapa beberapa aitem gagal dalam membedakan subjek yang memiliki kemampuan dengan subjek
Universitas Sumatera Utara
yang tidak memiliki kemampuan, dalam artian kelompok tinggi dapat menjawab dengan salah dan subjek dari kelompok rendah dapat menjawab dengan benar. Korelasi inter-aitem yang bernilai rendah dapat memiliki dua arti, kemungkinan pertama adalah aitem tidak mengukur hal yang sama dengan tes, sehingga aitem harus dibuang atau dibuat ulang, kemungkinan kedua adalah aitem memang mengukur atribut yang berbeda dengan tes dikarenakan tes memang disusun untuk mengukur dua atribut yang berbeda. Daya beda aitem dalam penelitian dapat diestimasi dengan korelasi aitem total dengan menggunakan korelasi point biserial. b. Analisis Indeks Daya Beda Aitem Indeks daya beda aitem secara matematis akan berkisar mulai dari -1 sampai dengan +1, namun demikian hanya harga d yang bernilai positif saja yang memiliki arti dalam analisis aitem. Harga d yang berada disekitar 0 menunjukkan bahwa aitem yang bersangkutan mempunyai daya beda yang rendah sedangkan harga d yang negatif menunjukkan bahwa aitem yang bersangkutan tidak berguna sama sekali bahkan bisa menyesatkan. Indeks daya beda aitem yang ideal adalah yang mendekati angka 1, semakin besar indeks daya beda (semakin mendekati 1) berarti aitem tersebut mampu membedakan antara individu yang menguasai materi yang diujikan dan mereka yang tidak menguasainya, semakin kecil daya beda aitem (semakin mendekati 0) berarti semakin tidak jelaslah fungsi aitem yang bersangkutan dalam membedakan mana
Universitas Sumatera Utara
subjek yang menguasai materi yang diujikan dan subjek yang tidak tahu apa-apa (Azwar, 2007). Ebel (dalam dalam Azwar, 2007) terdapat suatu panduan dalam evaluasi indeks daya beda aitem, yaitu :
Tabel 3. Evaluasi Indeks Daya Beda Aitem Indeks Daya Beda 0,4 atau lebih 0,3 - 0,39 0,2 – 0,29 Kurang dari 0,20
Evaluasi Bagus sekali Lumayan bagus, tidak membutuhkan revisi Belum memuaskan, perlu revisi Jelek dan harus dibuang
Thorndike (dalam Azwar, 2007) bahwa dalam proses seleksi aitem, aitemaitem yang memiliki nilai daya beda aitem di atas 0,50 akan langsung dianggap baik sedangkan aitem-aitem dengan indeks daya beda di bawah 0,20 dapat langsung dibuang dan dianggap jelek. 3. Efektivitas Distraktor a. Pengertian Efektivitas Distraktor Aitem yang baik harus memiliki dua karakteristik yaitu: pertama individu yang mengetahui jawaban dari pertanyaan yang diajukan haruslah menjawab pertanyaan tersebut dengan benar, kedua individu yang tidak mengetahui jawaban dari pertanyaan yang diajukan haruslah memilih pilihan jawaban secara acak
Universitas Sumatera Utara
(Murphy & Davidshofer, 2003), jadi dapat disimpulkan karakteristik kedua adalah efektivitas distraktor. Efektivitas distraktor diperiksa untuk melihat apakah semua distraktor atau semua pilihan jawaban yang bukan kunci jawaban telah berfungsi sebagaimana mestinya, yaitu apakah distraktor-distraktor tersebut telah dipilih lebih banyak (atau semua) individu dari kelompok rendah sedangkan individu dari kelompok tinggi hanya sedikit (atau tidak ada) yang memilihnya. Pengaruh yang jelas ketika distraktor yang digunakan tidak popular adalah tingkat kesukaran aitem menjadi rendah. b. Analisis Efektivitas Distraktor Terdapat dua kemungkinan jika jumlah orang yang menjawab suatu distraktor melebihi jumlah yang diharapkan. Pertama, kemungkinannya bahwa pilihan subjek tersebut menunjukkan pengetahuan parsial. Artinya subjek mengetahui bahwa distraktor yang dipilihnya tersebut juga berkaitan dengan pengetahuan yang dipertanyakan. Kedua, kemungkinan yang ditakutkan adalah aitem tersebut merupakan aitem buruk yang menjebak. Artinya, jika salah satu distraktor lebih dikenal oleh subjek yang memiliki pengetahuan baik mengenai domain ukur dan jika identifikasi dari respon benar merupakan jawaban yang kurang dikenal atau tidak jelas maka aitem ini tidak valid mengukur kawasan ukurnya. Kehadiran aitem dengan distraktor yang sangat tidak asing bagi subjek memiliki reliabilitas dan validitas tes yang rendah (Murphy & Davidshofer, 2003). Jumlah subjek yang diharapkan menjawab pertanyaan adalah perbandingan anatara subjek yang menjawab salah dengan jumlah distraktor. Efektivitas distraktor dapat dilihat dari dua kriteria:
Universitas Sumatera Utara
1. Distraktor dipilih oleh individu dari kelompok rendah 2. Pemilih distraktor yang tersebar relatif proporsional pada masing-masing distraktor yang ada. Penelitian ini melihat efektivitas distraktor berdasarkan distraktor yang dipilih oleh individu dari kelompok rendah, dan distraktor yang menyebar secara proporsional pada masing-masing distraktor yang ada.
4. Reliabilitas Alat Ukur a. Pengertian Reliabilitas Reliabilitas merupakan penerjemahan dari kata reliability yang berasal dari kata rely dan ability. Ada banyak istilah yang digunakan untuk menyatakan reliabilitas, seperti keterpercayaan, keterandalan, keajegan, kestabilan, konsistensi dan sebagainya, namun pada intinya konsep reliabilitas memiliki makna sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2007), karena konsepsi mengenai reliabilitas berkaitan dengan indeks konsistensi antara dua perangkat skor tes, maka formula reliabilitas selalu dinyatakan dalam bentuk koefisien korelasi (Azwar, 2007). Menurut Suryabrata (2005) reliabilitas alat ukur menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran dengan alat tersebut dapat dipercaya, yang mana hal ini ditunjukkan oleh taraf konsistensi skor yang diperoleh para subjek yang diukur dengan alat yang sama atau minimal setara, dalam kondisi yang berbeda.
Universitas Sumatera Utara
Crocker dan Algina (2005) menjelaskan bahwa pada dasarnya reliabilitas menggambarkan indeks konsistensi, yaitu : ”a reliability term refers to the degree to which individuals deviation scores, or z-scores, remain relatively consistent over repeated administration of the same test or alternate test forms”. Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa reliabilitas menunjukkan pada indeks konsistensi penyimpangan skor individu. Menurut Kumar (2009) ada dua pengertian reliabilitas yang hampir mirip yaitu: 1. Reliabilitas adalah proporsi varians skor murni dengan varians skor tampak 2. Reliabilitas adalah proporsi varians eror skor murni dengan varians eror skor tampak. b. Bentuk Estimasi Reliabilitas Teori Tes Klasik mengasumsikan bahwa varians skor observasi kelompok orang sama dengan varians skor sesungguhnya ditambah dengan varians karena eror pengukuran sistematis, karena varians skor sesungguhnya tidak dapat langsung dihitung, reliabilitas di estimasi dengan menganalisa dampak variasi pada skor penyelenggara dan isi tes pada skor yang diobservasi. Beberapa metode untuk mengesitimasi reliabilitas: 1. Pendekatan tes ulang Pendekatan ini dilakukan dengan cara menyajikan tes dua kali pada suatu kelompok yang sama yang diantara penyajian kedua tes tersebut diberi rentang waktu, sehingga akan diperoleh dua distribusi skor dari kelompok tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Komputasi koefisien korelasi antara kedua distribusi skor kelompok tersebut akan menghasilkan koefisien reliabilitas. Mengingat bahwa dalam prakteknya pendekatan ini mengandung kelemahan yaitu kondisi subjek pada tes kedua tidak lagi sama dengan kondisi subjek pada tes pertama baik dari proses belajar, perubahan motivasi, pengalaman, sehingga pendekatan ini lebih baik digunakan bila objek ukur berupa keterampilan, terutama keterampilan fisik. 2. Pendekatan tes paralel Pendekatan reliabilitas bentuk paralel dilakukan dengan memberikan sekaligus dua bentuk tes yang paralel kepada sekelompok subjek, dalam pelaksanaannya kedua tes yang paralel tersebut dapat digabungkan sehingga seakanakan merupakan satu bentuk tes, setelah dijawab subjek barulah aitem-aitem masingmasing tes semula dipisahkan, sehingga diperoleh dua distribusi skor. Keuntungan cara ini adalah subjek tidak merasa berat untuk menjawab pertanyaan dalam tes sehingga dapat mengurangi efek carry-over namun kelemahan pendekatan ini adalah sulitnya menyusun perangkat tes yang paralel. 3. Pendekatan konsistensi internal Seperangkat tes diberikan kepada sekelompok subjek satu kali sehingga diperoleh satu distribusi skor tes dari kelompok subjek tersebut. Prosedur analisis reliabilitasnya diarahkan pada analisis terhadap aitem-aitem atau terhadap kelompokkelompok aitem dalam tes itu sehingga perlu dilakukan pembelahan tes menjadi beberapa kelompok aitem yang disebut belahan tes. Membelah tes prinsipnya adalah
Universitas Sumatera Utara
mengusahakan agar antar belahan memiliki jumlah aitem sama banyak, taraf kesukaran seimbang, isi sebanding, dan memenuhi ciri-ciri paralel . Berikut beberapa pilihan cara untuk membelah tes menjadi lebih dari dua bagian. 1. Pembelahan cara random Membelah tes menjadi dua bagian secara random dapat dilakukan dengan cara undian sederhana guna menentukan aitem-aitem nomor berapa sajakah yang dimasukkan menjadi belahan pertama dan yang mana menjadi belahan kedua. Pembelahan secara random hanya boleh dilakukan bila tes yang akan dibelah berisi aitem-aitem yang homogen baik dari segi konten maupun segi taraf kesukaran aitem, namun jika aitem tersebut heterogen dapat juga menggunakan cara pembelahan ini asalkan aitem tersebut jumlahnya sangat besar. 2. Pembelahan gasal-genap Pembelahan gasal-genap dilakukan dengan cara mengelompokkan seluruh aitem yang bernomor urut gasal menjadi belahan pertama dan seluruh aitem yang bernomor urut genap dijadikan satu kelompok belahan kedua. Cara pembelahan ini selain
mudah dilakukan
juga
dapat
menghindari kemungkinan terjadinya
pengelompokkan aitem-aitem tertentu ke dalam salah satu belahan saja. 3. Pembelahan matched-random Subtes Pembelahan dengan cara matched-random subtes ditemukan oleh Gulikksen (1950), sebelum melakukan pembelahan tes terlebih dahulu harus dihitung indeks taraf kesukaran aitem serta korelasi aitem dengan skor total tes, dengan cara ini setiap aitem dalam tes diletakkan pada satu posisi atau titik tertentu dalam grafik
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan harga indeks kesukaran aitem dan korelasi antara aitem yang bersangkutan dengan skor tes. Keuntungan menggunakan pendekatan konsistensi internal adalah, dapat menghindari masalah-masalah yang biasanya ditimbulkan oleh pendekatan tes ulang dan pendekatan tes paralel. c. Formula Estimasi Reliabilitas Konsistensi Internal Formula estimasi yang berbeda, walaupun dikenakan pada data yang sama, pada umumnya tidak akan menghasilkan koefisien yang serupa. Beberapa hal yang berpengaruh terhadap hasil komputasi koefisien reliabilitas adalah: 1. Perbedaan konsep dan dasar pikiran yang melandasi ide dasar terbentuknya suatu formula. 2. Sifat distribusi skor kelompok subjek. 3. Homogenitas aitem-aitem dalam tes. 4. Homogenitas isi dan varians antar belahan tes. 5. Indikasi yang ditunjukkan oleh hasil teknik perhitungan tertentu. Berikut beberapa formula estimasi yang dapat digunakan untuk menghitung koefisien reliabilitas: 1. Spearman-Brown Formula komputasi Spearman-Brown merupakan formula koreksi terhadap koefisien korelasi antara dua bagian tes dan dirumuskan sebagai berikut (Azwar, 2005):
Universitas Sumatera Utara
S-B = rxx’=
(10)
Keterangan: rxx’ = Koefisien reliabilitas Spearman-Brown
r12 = Koefisien korelasu antara dua belahan Formula ini dapat digunakan jika aitem dikotomi ataupun politomi, pembelahan tes dilakukan dengan cara gasal-genap dan matched-random subtes dan menghasilkan dua bagian yang paralel satu sama lain dan korelasi antara kedua belahan paralel tersebut cukup tinggi. 2. Rulon Rulon (1939) mempersoalkan reliabilitas tes yang dibelah menjadi dua belahan, jika sekiranya belahan tersebut setara maka secara teori skor subjek pada perangkat belahan pertama dan skor perangkat belahan kedua akan sama. Jika skorskor pada kedua perangkat itu tidak sama, maka itu terjadi karena kesalahan pengukuran. Berdasarkan atas pemikiran ini maka diusulkan rumus reliabilitas tes sebagai berikut (Suryabrata, 2005):
rxx’ = 1- sd2/sx2
2
Keterangan: sd
(11)
= Varians perbedaan skor kedua belahan
sx2 = Varians skor tes d
= Perbedaan skor kedua belahan
Universitas Sumatera Utara
Formula ini dapat digunakan jika aitem dikotomi ataupun politomi, belahan tes tidak harus paralel, namun harus memenuhi asumsi τ-equivalent. 3. Koefisien alpha belah dua Formula koefisien alpha untuk estimasi reliabilitas belah dua dirumuskan sebagai berikut:
rxx’ Keterangan:
=2
(12)
= Varians pada belahan 1 = Varians pada belahan 2 = Varians total skor tes
Formula ini dapat digunakan jika aitem dikotomi ataupun politomi, belahan tes tidak harus paralel, namun harus memenuhi asumsi τ-equivalent, aitem-aitem dalam tes haruslah homogen sehingga formula ini tidak bisa digunakan untuk mengestimasi koefisien reliabilitas alat tes yang mengukur beberapa trait. 4. Koefisien alpha belah lebih dari dua Pembelahan tes tidak hanya terbatas pada membagi tes ke dalam dua belahan saja. Cara-cara pembelahan dapat diperluas pemakainnya untuk membagi tes menjadi beberapa belahan. Bahkan suatu tes yang akan diestimasi reliabilitasnya dapat dibelah menjadi bagian-bagian sebanyak jumlah aitemnya sehingga setiap bagian hanya berisi satu aitem saja.
Universitas Sumatera Utara
Tes yang dibelah menjadi lebih dari dua belahan yang masing-masing berisi aitem yang berjumlah sama banyak kita dapat menggunakan formula alpha dengan rumus:
= Keterangan :
(13) = banyaknya belahan tes =
varians belahan j; j = 1, 2…k
=
varians skor tes
Formula ini dapat digunakan jika aitem dikotomi ataupun politomi, setiap belahan memiliki aitem yang relatif setara, paralel setidaknya memenuhi asumsi τequivalent, aitem-aitem dalam tes haruslah homogen sehingga formula ini tidak bisa digunakan untuk mengestimasi koefisien reliabilitas alat tes yang mengukur beberapa trait. 5. Kuder-Richardson 20 (KR-20) KR 20 merupakan rata-rata estimasi reliabilitas dari semua cara belah-dua yang mungkin dilakukan. Koefisien ini juga mencerminkan sejauhmana kesetaraan isi aitem-aitem dalam tes. Rumusan formula KR-20 adalah: (14) Keterangan :
= Banyaknya aitem dalam tes = Varians skor tes
Universitas Sumatera Utara
p
= Proporsi subjek yang mendapat angka 1 pada suatu aitem, yaitu banyaknya subjek yang mendapat angka 1 dibagi oleh banyaknya seluruh subjek yang menjawab aitem tersebut.
Formula ini dapat digunakan jika aitem dikotomi, jumlah aitem sedikit dan membelahan tes sebanyak jumlah aitem, aitem-aitem dalam tes haruslah homogen sehingga formula ini tidak bisa digunakan untuk mengestimasi koefisien reliabilitas alat tes yang mengukur beberapa trait, dan tingkat kesukaran aitem haruslah bervariasi. 6. Kuder-Richardson 21 (KR-21) Perhitungan KR-21 menggunakan rata-rata harga p dari keseluruhan aitem. hal inilah yang membedakan antara KR-20 dengan KR-21. Rumusan formula KR-21 adalah: (15)
Keterangan :
= Banyaknya aitem dalam tes = Rata-rata p yaitu, =
Varians skor tes
Untuk mempermudah komputasi, formula KR-21 dapat pula dinyatakan sebagai: (16)
Universitas Sumatera Utara
Keterangan : Mx = Harga rata-rata means skor tes Formula ini dapat digunakan jika aitem dikotomi, jumlah aitem sedikit dan membelahan tes sebanyak jumlah aitem Estimasi koefisien reliabilitas pada penelitian ini dilakukan dengan pendekatan konsistensi internal dengan formula estimasi koefisien reliabilitas yang digunakan adalah KR-20. d. Interpretasi Koefisien Reliabilitas Reliabilitas merupakan konsistensi performa relatif subjek pada tes-tes yang diadminstrasikan ulang atau paralel, namun ketidakkonsistenan skor dapat terjadi terutama disebabkan oleh eror yang mempengaruhi performa subjek yang mengikuti tes.Terdapat dua jenis eror yang mempengaruhi performa subjek, yaitu: 1. Eror yang sistematik yaitu kecendrungan subjek untuk memperoleh skor yang semuanya tinggi atau sebaliknya semuanya rendah. Eror ini akan secara konsisten mempengaruhi performa individu dalam mengerjakan tes. Sumber eror ini biasanya berkaitan dengan karakteristik subjek atau alat tes. 2. Eror tidak sistematik yaitu kecendrungan subjek memperoleh skor yang tidak tetap. Eror ini secara tidak sengaja muncul dan mempengaruhi skor individu. Eror ini bersifat acak. Sumber eror ini seperti kelelahan memori, situasi tes (misalnya suhu ruangan yang terlalu dingin atau terlalu panas), dan suasana hati subjek. Eror yang telah dijelaskan dapat mengakibatkan skor yang diperoleh individu (skor tampak) tidak selalu sama dengan skor murni seseorang dalam konteks suatu performansi tertentu, padahal skor murnilah yang mencerminkan kondisi sebenarnya
Universitas Sumatera Utara
dari performansi subjek terhadap kriteria tertentu, oleh karena skor murni tidak dapat diperoleh secara langsung, koefisien reliabilitas merupakan salah satu bentuk pendekatan yang dapat digunakan untuk mengestimasi nilai ini, melalui koefisien ini dapat diestimasi letak skor murni tersebut dalam suatu wilayah interval tertentu. Penafsiran terhadap koefisien reliabilitas harus dilakukan melalui penafsiran standard eror pengukuran, dengan rumusan sebagai berikut: SEm = Sx
(17)
Keterangan: SEm = Standar eror pengukuran Sx = Standar deviasi skor Semakin tinggi koefisien reliabilitas suatu tes, maka kemungkinan kesalahan yang terjadi akan semakin kecil, jadi tidak ada harga mati dalam koefisien reliabilitas. Tingi rendahnya koefisien reliabilitas sangat bergantung kepada tujuan penerapan tes (Suryabrata, 2005). Murphy dan Davidshofer (2003) menyatakan bahwa reliabilitas yang rendah dapat diterima jika tes digunakan untuk membuat keputusan awal, tidak untuk keputasan akhir dan tes yang digunakan untuk mengelompokkan individu kedalam krlompok yang kecil berdasarkan perbedaan yang mencolok. Reliabilitas yang tinggi diperlukan untuk tes yang digunakan untuk membuat keputusan akhir dan tes yang digunakan untuk mengelompokkan individu kedalam kategori yang beragam yang berdasarkan perbedaan yang kecil antara individu. Tabel 4.Tingkat Reliabilitas untuk Berbagai Tipe Tes
Universitas Sumatera Utara
Estimasi Reliabilitas 0.95 0.90 0.85 0.80 0.75 0.70 0.65 0.60 0.55 0.50
Bentuk Tes
Tes Intelegensi Tes Prestasi Tes Pilihan Ganda Skala
Interpretasi
Pengukuran eror sebenarnya memiliki efek yang rendah Reliabilitas tinggi-sedang
Reliabilitas sedang-rendah
Reliabilitas rendah Tes Proyektif Skor murni dan eror memiliki efek yang sama dalam pengukuran
Berdasarkan tabel diatas maka IST harus memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0.9. e. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Koefisien Reliabilitas Crocker & Algina (2005) menjelaskan bahwa ada 3 hal utama yang secara tidak langsung mempengaruhi tinggi rendahnya koefisien reliabilitas suatu instrumen, yaitu: 1. Homogenitas Kelompok Homogenitas kelompok harus diperhatikan ketika menyusun alat tes karena dalam suatu kondisi tes, semakin besar homogenitas kelompok berkaitan dengan trait-trait tertentu yang diukur maka indeks reliabilitas akan semakin rendah bila dibandingkan dengan kondisi ketika kelompok sampel lebih heterogen. 2. Batasan Waktu dalam Tes
Universitas Sumatera Utara
Tes yang memiliki waktu yang lebih panjang cenderung akan memiliki indeks reliabilitas yang lebih tinggi dibandingkan tes yang memiliki waktu yang lebih pendek. 3. Panjang Tes Panjang dari suatu tes sangat bergantung dengan seberapa banyaknya aitemaitem yang menyusun tes tersebut. Semakin banyak aitem yang memiliki kualitas baik dalam suatu tes, maka semakin tinggi pula indeks reliabilitas instrumen tersebut.
5. Validitas a. Pengertian Validitas Validitas mempunyai arti sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu alat ukur dapat dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur, yang sesuai dengan maksud dilakukannnya pengukuran tersebut, sehingga disini tampak bahwa bahwa pengertian validitas juga sangat erat kaitannya dengan tujuan pengukuran, oleh karena itu, tidak ada validitas yang berlaku umum untuk semua tujuan pengukuran. Suatu alat ukur biasanya hanya merupakan ukuran yang valid untuk satu tujuan yang spesifik, dengan demikian, pernyataan valid terhadap suatu pengukuran harus diikuti oleh keterangan yang menunjuk kepada tujuan awal pengukuran serta kelompok subjek yang mana (Azwar, 2007). Sisi lain dari pengertian validitas menurut Azwar (2007) adalah aspek kecermatan pengukuran. Suatu alat ukur yang valid tidak hanya mampu
Universitas Sumatera Utara
menghasilkan data yang tepat akan tetapi juga harus memberikan gambaran yang cermat mengenai data tersebut. Cermat berarti bahwa pengukuran itu dapat memberikan gambaran mengenai perbedaan yang sekecil-kecilnya di antara subjek yang satu dengan yang lain. b. Jenis-Jenis Validitas 1. Content related validation Validitas isi menunjukkan sejauhmana tes yang merupakan seperangkat aitem-aitem dilihat dari isinya memang mengukur apa yang dimaksudkan untuk diukur (sesuai dengan kawasan ukur). Ukuran sejauhmana ini ditentukan berdasar indeks representatifnya isi tes tersebut bagi isi hal yang akan diukur. Validitas berdasarkan estimasi isi merupakan bentuk validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat professional judgement. 2. Criterion related validation Validitas berdasar kriteria merupakan validitas yang diperlihatkan oleh adanya hubungan skor pada tes yang bersangkutan dengan skor suatu criteria, dalam validasi tes berdasar kriteria, umumnya tes yang akkan diuji validitasnya disebut sebagai prediktor. Prosedur validasi berdasar kriteria menghasilkan dua macam validitas, yaitu : a). Validitas prediktif Estimasi validitas prediktif sangat penting artinya bila tes yang dimaksud berfungsi sebagai prediktor bagi performansi diwaktu yang akan datang (Azwar, 2005).
Universitas Sumatera Utara
b). Validitas konkuren Estimasi validitas konkuren dilakukan apabila skor tes dan skor kriterianya dapat diperoleh dalam waktu yang sama. Azwar (2007) mengatakan bahwa sebagian besar faktor kriteria dalam estimasi validitas konkuren ialah skor tes lain yang biasanya sudah teruji dan terstandar dengan baku. 3. Construct related validation Ada baiknya diketahui pengertian konstrak terlebih dahulu, Sebelum membahas tentang validitas konstrak, konstrak psikologis adalah suatu konsep yang dengan kesadaran penuh sengaja diciptakan bagi tujuan ilmiah khusus, dan konsep adalah merupakan abstraksi yang terbentuk melalui generalisasi dari hal-hal khusus (Kerlinger, 1973). Konstrak terdiri dari dua proposisi, yaitu: 1.
Definisi dan spesifikasi mengenai suatu konsep secara sistematis dan terencana sehingga memungkinkan dilakukannya observasi an pengukuran terhadapnya. Dalam hal ini konstrak dapat berupa petunjuk kegiatan-kegiatan atau tindakan yang diperlukan dalam pengukuran suatu konstrak.
2.
Konstrak tersebut dimasukkan kedalam bagan teori yang dengan berbagai cara akan dikaitkan dengan konstrak-konstrak lain. Dengan kata lain merumuskan hipotesis yang mengaitkan konstrak baru tersebut dengan konstrak-konstrak lain kedalam jalinan teoritis yang kompak. Prinsipnya, pengujian kedua proposisi inilah yang menjadi fokus kajian dalam
validitas konstrak. Validitas konstrak adalah validitas yang menunjukkan sejauhmana
Universitas Sumatera Utara
suatu tes mengukur trait atau konstrak teoretik yang hendak diukurnya (Azwar, 2007). Fokus pengujian validitas konstrak tersebut adalah: 1. Apakah data yang dikumpulkan dari alat ukur yang disusun telah mendukung konstruksi teorinya. 2. Apakah bukti-bukti empiris yang dikumpulkan dari berbagai pengujian relasi telah mendukung hipotesis dalam bagan teorinya. Berdasarkan kedua fokus pengujian validitas konstrak tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa fokus pengujian pertama adalah analisis faktor dan fokus pengujian yang kedua adalah analisis multitrait multimethode. 1. Analisis faktor Analisis faktor merupakan kumpulan prosedur matematik yang kompleks guna menganalisis hubungan diantara variable-variabel dan menjelaskan hubungan tersebut dalam bentuk kelompok variable yang terbatas yang disebut faktor.
2. Analisis multitrait multimethode Campbell dan Fiske (dalam Murphy & Davidshofer, 2003) menguraikan tentang cara mengukur validitas konstrak dan menjelaskan bahwa jika ingin mengukur dua konstrak atau lebih menggunakan dua macam metode atau lebih dapat menggunakan pendekatan multitrait multimethode. Pendekatan multitrait multimethode menghasilkan dua macam validitas, yakni validitas konvergen dan validitas diskriminan. Dasar pemikirannya adalah suatu tes
Universitas Sumatera Utara
harus berkorelasi tinggi dengan variabel-variabel yang secara teori harus berkorelasi tinggi inilah yang disebut validitas konvergen dan tidak berkorelasi dengan variablevariabel yang secara teori tidak berkorelasi (validitas diskriminan). Teknis penerapan pendekatan multitrait multimethode adalah sebagai berikut. Pada suatu kesempatan dilakukan pengukuran terhadap lebih dari satu konstrak dengan menggunakan lebih dari satu metode, kemudian diari interkorelasi antara hasil pengukuran itu. Interkorelasi itu adalah antara hal-hal berikut: 1. Konstrak yang sama diukur dengan alat yang sama (monotrait-monomethode). 2. Konstrak yang sama diukur dengan alat yang berbeda (monotraitheteromethode). 3. Konstrak yang berbeda diukur dengan alat yang sama (heterotraitmonomethode). 4. Konstrak yang berbeda diukur dengan alat yang berbeda (heterotraitheteromethode). Teori koefisien korelasi untuk keempat hal yang telah dijelaskan adalah: 1. Konstrak yang sama diukur dengan alat yang sama (monotrait-monomethode) koefisien korelasinya akan tinggi karena menjelaskan tentang unsur konvergen 2. Konstrak yang berbeda diukur dengan alat yang berbeda (heterotraitheteromethode) koefisien korelasinya akan tinggi karena menjelaskan tentang unsur diskriminan ( Suryabrata,2005).
Universitas Sumatera Utara
Penelitian ini akan menggunakan validitas konstruk tes dengan metode multitrait-multimethode meliputi validitas diskriminan dan validitas konvergen. c. Interpretasi Koefisien Validitas Interpretasi koefisien validitas bersifat relatif, tidak ada batasan pasti mengenai koefisien terendah yang harus dipenuhi agar validitas dinyatakan memuaskan. Estimasi validitas pada umumnya tidak dapat dituntut koefisien yang tinggi sekali. Koefisien validitas yang dianggap memuaskan akan dikembalikan kepada para penguji validitas dan pemakai tes itu sendiri, terutama pemakai alat tes yang akan memanfaatkan keputusan yang didasari hasil pengukuran yang bersangkutan (Azwar, 2005). Koefisien validitas dapat dianggap memuaskan apabila melebihi 0,30. Angka ini ditetapkan sebagai konvensi yang didasarkan pada asumsi distribusi skor dari kelompok subjek yang berjumlah besar.
6. Analisis Karakteristik Psikometri Alat tes merupakan kumpulan aitem-aitem yang disusun sedemikian rupa
sehingga dapat digunakan untuk mengukur sesuatu yang menjadi tujuannya, jadi dapat dikatakan bahwa alat tes yang berkualitas akan disusun oleh aitem yang berkualitas juga. Kualitas suatu aitem dapat dilihat dari analisis aitemnya, Menurut (Murphy & Davidshofer, 2003) analisis aitem dapat memberikan tiga informasi penting yaitu, informasi tentang distraktor, informasi tentang tingkat kesukaran aitem
Universitas Sumatera Utara
dan informasi tentang daya beda aitem. Tiga informasi ini berbeda namun saling terkait satu dan yang lainnya. Hal ini dapat dilihat dalam keterkaitan antara distraktor dengan kesukaran aitem, kesukaran aitem dengan diskriminasi dan distraktor dengan diskriminasi. Tingkat kesukaran aitem sangat dipengaruhi oleh tingkat keterpercayaan distraktor, jika semua distraktor tidak masuk akal maka subjek akan dengan mudah untuk memilih jawaban yang benar tanpa harus memiliki pengetahuan tentang hal yang ditanyakan, tentu hal ini mempengaruhi tingkat kesukaran aitem, sehingga tingkat kesukaran aitem menjadi rendah. Tingkat kesukaran aitem secara langsung mempengaruhi diskriminasi aitem. Aitem yang sangat susah (p = 0) dan aitem yang sangat mudah (p = 1) tidak dapat membedakan antara subjek yang memiliki pengetahuan dan subjek yang tidak memiliki pengetahuan sehingga indeks daya beda bernilai rendah. Aitem yang memiliki distraktor yang buruk tentu memiliki indeks daya beda aitem yang buruk juga, karena sebagaimana yang telah dijelaskan tadi, distraktor yang buruk akan membuat subjek dengan mudah menjawab pertanyaan atau sebaliknya membuat subjek susah untuk menjawab pertanyaan sehingga juga berpengaruh terhadap diskriminasi aitem karena tidak dapat membedakan subjek yang memiliki pengetahuan dengan subjek yang tidak memiliki pengetahun. Perubahan banyaknya aitem akan menyebabkan perubahan reliabilitas. Bila aitem dalam tes bertambah banyak, maka sampai batas tertentu reliabilitasnya juga akan meningkat (Azwar, 2005), namun perlu diingat bahwa hanya penambah aitem
Universitas Sumatera Utara
yang berkualitaslah yang dapat meningkatkan reliabilitas. Tes yang meningkat reliabilitasnya akan meningkat pula validitasnya, karena semakin tinggi proporsi varians skor tampak yang merupakan varians skor murni maka semakin tinggi reliabilitasnya maka semakin besar pula varians yang sama-sama dimiliki oleh tes dan kriterinya sehingga validitasnya akan semakin tinggi juga. Alat tes yang baik haruslah reliabel dan valid. C. Intelligenz Strukture Test 1. Sejarah dan Perkembangan Amthauer mendefinisikan intelegensi sebagai sebuah bagian khusus dalam keseluruhan struktur kepribadian manusia. Intelegensi tidak hanya identik dengan proses intelektual, melainkan erat kaitannya dengan kehidupan dorongan, kemampuan, dan perasaan. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, intelegensi merupakan keseluruhan struktur dari kemampuan jiwa-rohani yang akan tampak jelas dalam hasil tes. Intelegensi hanya akan dapat dikenali melalui manifestasinya misalnya pada hasil atau prestasi suatu tes. Dari pemikirannya tersebut, Amthauer berasumsi bahwa hasil tes dan kemampuan yang disimpulkan dari hasil tes memiliki kaitan satu sama lain dan membentuk suatu struktur tidak hanya hasil tes nya, begitu pula dengan pemeriksaannya. Dari asumsi inilah, Amthauer menyusun sebuah tes yang dinamakan IST dengan hipotesis kerja sebagai berikut : “komponen dalam struktur tersebut tersusun secara hierarkis; maksudnya bidang yang dominan kurang lebih akan berpengaruh pada bidang-bidang yang lain; kemampuan yang dominan dalam struktur intelegensi akan menentukan dan mempengaruhi kemampuan yang lainnya.”
Universitas Sumatera Utara
Pandangan Amthauer pada dasarnya didasari oleh teori faktor, baik itu teori dua faktor, teori bifaktor, teori multifaktor, model struktur intelek Guilford dan teori hierarki faktor. Berdasarkan teori faktor yang menyatakan bahwa untuk mengukur inteligensi seseorang diperlukan suatu rangkaian baterai tes yang terdiri dari subtessubtes. Antara subtes satu dengan lainnya, ada yang saling berhubungan karena mengukur faktor yang sama (general factor atau group factor), tapi ada juga yang tidak berhubungan karena masing-masingnya mengukur faktor khusus (special factor). Sedangkan kemampuan seseorang itu merupakan penjumlahan dari seluruh skor subtes-subtes. Maka Amthauer menyusun IST sebagai baterai tes yang terdiri dari sembilan subtes. Karakteristik dari baterai tes Amthauer
menunjukan adanya
suatu
interkorelasi yang rendah antar subtesnya (r = 0.25) dan korelasi antara subtes dengan jumlah (keseluruhan subtes) yang rendah pula ( r = 0.60). Rendahnya interkorelasi antara subtes menunjukkan bahwa alat ukur tersebut lebih cenderung mengukur kemampuan-kemampuan spesifik inteligensi individu. Tes IST terus dikembangkan oleh Amthauer dengan bantuan dari para koleganya, berikut adalah perkembangan tes IST dari tahun 1953 hingga tahun 2000an: a. IST 1953 IST yang pertama ini pada awalnya hanya diperuntukan untuk usia 14 sampai dengan 60 tahun. Proses penyusunan norma diambil dari 4000 subjek pada tahun 1953.
Universitas Sumatera Utara
b. IST 1955 IST merupakan pengembangan dari IST 1953, pada IST 1955 range untuk subjek diperluas menjadi berawal dari umur 13 tahun. Subjek dalam penyusunan norma bertambah menjadi 8642 orang. Pada tes ini sudah ada pengelompokan jenis kelamin dan kelompok usia c. IST 70 Permintan dan tuntutan pengguna yang menyarankan pengkoreksian dengan mesin juga pengembangan tes setelah penggunaan lebih dari 10 tahun, maka disusunlah IST 70. Dalam IST 70 ini tidak terlalu banyak perubahan, tes ini memiliki 6 bentuk, setiap pemeriksaan dilakukan 2 tes sebagai bentuk parallel yaitu A1 dan B2, atau C3 dan D4. Dua bentuk lainnya untuk pemerintah dan hanya bagi penggunaan khusus. Pada IST 70, rentang kelompok usia diperluas menjadi berawal dari 12 tahun. Disamping itu telah ditambah tabel kelompok dan pekerjaan. Namun demikian, pada IST 70 terdapat kekurangan yaitu penyebaran bidang yang tidak merata dan menggunkan kalimat dalam subtes RA sehingga jika subjek gagal dalam subtes ini dapat dimungkinkan karena tidak mampu mengerjakan soal hitungannya atau tidak mengerti kalimatnya. d. IST 2000 Koreksi dari IST 70, pada IST 2000 tidak terdapat soal kalimat pada soal hitungan. e. IST 2000-Revised
Universitas Sumatera Utara
Terdapat beberapa perkembangan subtes pada IST 2000-R dan
juga
penambahan subtes. IST ini terdiri dari 3 modul, yaitu sebagai berikut : 1. Grundmodul-Kurzform (Modul Dasar-Singkatan); terdiri dari subtes : SE, AN, GE, RE, ZR, RZ, FA, WU, dan MA. 2. Modul ME; terdiri dari subtes ME Verbal dan ME Figural 3. Erweiterungmodul (Modul "menguji pengetahuan"); terdiri dari subtes Wissentest (tes pengetahuan)
2. Subtes IST IST adalah tes intelegensi yang dikembangkan oleh Rudolf Amthauer di Frankfurt, Jerman pada tahun 1953. Tes ini dipandang sebagai gestalt (menyeluruh), yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan secara makna (struktur). Struktur intelegensi tertentu meggambarkan pola kerja tertentu, sehingga akan cocok untuk profesi atau pekerjaan tertentu. Tes ini dikonstruksikan untuk subjek usia 14-60 tahun setelah melalui uji coba kurang lebih pada 4000 orang. Di Indonesia tes ini pertamakali digunakan oleh psikolog angkatan darat Bandung, Jawa Barat. Intellegenz struktur test (IST) terdiri dari 9 subtes yaitu: 1. SE: melengkapi kalimat
Universitas Sumatera Utara
Subtes ini mengukur pembentukan keputusan (dapatkah seseorang berprestasi, rasa realitas/ menilai yang mendekati realitas, common sense (memnfaatkan pengalaman masa lalu), dapatkah seseorang berpikir secara berdikari/ mandiri, dan berpikir praktis dalam kehidupan sehari-hari 2. WA: melengkapi kalimat Subtes ini mengukur kemampuan bahasa, perasaan empati, berpikir induktif menggunakan bahasa, memahami pengertian.
3. AN: persamaan kata Subtes ini mengukur kemampuan fleeksibilitas dalam berpikir, kemampuan berpikir logis/menggunakan pikiran sebagai dasar dalam berpikir (kedalaman berpikir). 4. GE: sifat yang dimiliki bersama Subtes ini mengukur kemampuan abstraksi, kemampuan untuk mneyatakan pengertian akan seseuatu dalam bentuk bahasa, membentuk suatu pengertian atau mencari inti persoalan. 5. RA: berhitung Subtes ini melihat aspek berpikir induktif praktis hitungan, kemampuan berhitung, menggunakan bilangan secara praktis dalam masalah hitungan. 6. ZR: deret angka
Universitas Sumatera Utara
Subtes ini akan melihat bagaimana cara berpikir teoritis dengan hitungan 7. FA: memilih bentuk Subtes ini akan mengukur kemampuan dalm membayangkan, kemampuan mengkonstruksi
(sintesa
dan analisa),
berpikir
konkrit
menyeluruh,
memasukkan bagian pada suatu keseluruhan. 8. WU: latihan balok Subtes ini akan mengukur daya bayang ruang, dan kemapuan tiga dimensi. 9. ME: latihan simbol Subtes ini mengukur daya ingat, konsentrasi yang menetap, dan daya tahan. IST berdasarkan karakteristiknya, tergolong kelompok Multiple Aptitude Batteries Test, yaitu sebuah tes yang tersusun atas serangkaian subtes dimana masingmasing subtes tersebut mengukur suatu kemampuan (Anastasia& Urbina, 1997). 3. Subtes Satzergaenzung (SE) Subtes SE mengukur common sense, pembentukan keputusan, kemadirian berpikir, penekanan pada konkrit praktis, dan pemakaian realitis. aitem-aitemnya akan menuntut subjek untuk melakukan penilaian berdasarkan pengalaman konkrit dan informasi faktual yang dimilikinya dari penilaian subjek dapat dilihat apakah subjek mampu membentuk penilaian secara mandiri atau tergantung pada orang banyak dan apakah subyek memiliki kemampuan reasoning yang baik. Subtes SE terdiri dari 20 soal yang terdiri atas kalimat-kalimat, dengan lima pilihan jawaban. Skoring subtes ini berupa dikotomi, yaitu skor 0 untuk jawaban salah dan skor 1 untuk jawaban benar.
Universitas Sumatera Utara
Subtes ini mengharuskan subyek untuk memilih salah satu kata yang tepat untuk mengisi satu kata yang hilang, sehingga susunan kalimat kalimat dalam soal menjadi sempurna. Tahap skoring yang digunakan adalah dengan memeriksa setiap jawaban dengan menggunakan kunci jawaban yang telah disediakan. Untuk semua subtes SE setiap jawaban benar diberi nilai 1, untuk jawaban salah atau kosong diberi nilai 0. Total nilai benar yang sesuai dengan kunci jawaban merupakan Raw Score (RW) nilai ini belum dapat diinterpretasi sesuai dengan norma yang digunakan. Nilai RW yang sudah dibandingkan dengan norma disebut dengan Standardized Score (SW). Nilai SW inilah yang dapat menjadi materi untuk tahap selanjutnya yaitu interpretasi. Adapun norma yang digunakan adalah sesuai dengan kelompok umur subjek. a. Interpretasi Tahap interpretasi dapat dilakukan setelah didapatkan Standardized Score. Kesembilan subtes saling berkaitan, sehingga harus dilakukan semuanya dan interpretasinya harus dilakukan secara keseluruhan. Interpretasi yang dapat dilakukan dari tes IST adalah sebagai berikut : 1. Taraf Kecerdasan Taraf kecerdasan didapat dari total SW. Nilai ini dapat diterjemahkan menjadi Intelligent Quotient (IQ). Nilai ini dapat menggambarkan perkembangan individu melalui pendidikan dan pekerjaan. Nilai ini perlu dihubungkan dengan latar belakang sosial serta dibandingkan dengan kelompok seusianya.
Universitas Sumatera Utara
2. Dimensi Festigung-Flexibilitas Dimensi Festigung-Flexibilitas menggambarkan corak berpikir yang dimiliki oleh subjek. Dimensi Festigung-Flexibilitat merupakan dua kutub yang ekstrim, keduanya menggambarkan corak berpikir yang ekstrim pula. Kutub Festigung memiliki arti corak berpikir yang eksak, sedangkan kutub Flexibilität memiliki arti corak berpikir yang non-eksak. Corak berpikir ini merupakan hasil perkembangan (pengalaman) individu yang akan semakin mantap ke salah satu kutub seiring bertambahnya usia. Menentukan seseorang subjek apakah memiliki kecenderungan Festigung atau Flexibilitat adalah dengan membandingkan nilai GE+RA dengan nilai AN+ZR. Jika nila GE+RA lebih besar maka subjek memiliki kecenderungan Festigung, sebaliknya jika nilai AN+ZR lebih besar maka subjek memiliki kecenderungan Flexibilitas. Tabel 5. Perbandingan Nilai Festingung & Flexibilitat GE+RA GE+RA
> <
AN+ZR AN+ZR
Festigung Flexibilitat
Keterangan: jika selisih ≤ 10 maka tidak dapat dilakukan interpretasi.
Subjek memiliki nilai GE = 117; RA = 105; AN =126; dan ZR = 117. Maka nilai AN+ZR lebih besar
dari GE+RA sebesar +21, dengan demikian subjek
memiliki corak berpikir yang flexibilitat (fleksibel). 3. Profil M-W Profil M-W menggambarkan cara berpikir, apakah verbal-teoritis atau praktiskonkrit. Untuk mendapatkan profil M atau W ini dapat dilihat dari 4 subtes pertama
Universitas Sumatera Utara
(SE, WA, AN, GE) yang tampak pada grafik, jika grafik menunjukan bentuk M pada empat subtes pertama maka profilnya adalah M (verbal-teoritis), jika yang tampak adalah bentuk huruf W maka profilnya adalah W (praktis-konkrit). Grafik diatas menunjukan 4 subtes pertama (SE, WA, AN, GE) sebagai bentuk M, sehingga profil yang dimiliki subjek adalah profil M. Profil M mengandung arti bahwa subjek memiliki cara berpikir yang verbal-teoritik. 4. Struktur Kecerdasan Struktur kecerdasan menggambarkan kecerdasan subjek berdasarkan masingmasing subtes.
5. Kesesuaian terhadap Jurusan atau Pekerjaan Interpretasi yang kelima adalah kesesuaian dengan jurusan atau pekerjaan (sesuai dengan kepentingan). IST biasanya digunakan dalam proses seleksi, baik seleksi jurusan di SMU, seleksi perguruan tinggi, maupun seleksi pekerjaan. Untuk melihat kesesuaian terhadap jurusan atau pekerjaan, perlu ditinjau norma untuk masing-masing jurusan atau pekerjaan yang berisi nilai SW sebagai batas yang dibutuhkan untuk jurusan atau pekerjaan tersebut. Disamping itu, untuk melihat kesesuaian terhadap jurusan dapat pula dilakukan dengan melihat grafik subjek dan membandingkannya dengan bentuk grafik jurusan atau pekerjaan tertentu; jika bentuknya kurang lebih sama, maka subjek memiliki kesempatan untuk menempuh jurusan/pekerjaan tersebut ( Polhaupessy dalam Diktat Kuliah IST UNPAD, 2009).
Universitas Sumatera Utara