7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Desentralisasi 2.1.1. Perspektif Desentralisasi Selama beberapa dekade terakhir terdapat minat yang terus meningkat terhadap desentralisasi di berbagai pemerintahan dunia ketiga. Banyak negara bahkan telah melakukan perubahan struktur organisasi pemerintahan ke arah desentralisasi. Minat terhadap desentralisasi ini juga senada dengan kepentingan yang semakin besar dari berbagai badan pembangunan internasional (Conyers, 1983 : 97). Kini desentralisasi telah tampil universal dan diakomodasi dalam berbagai pandangan yang berbeda. Untuk memahami keberadaan dan arti penting local government sebagai konsekuensi desentralisasi ini maka sebaiknya perlu disimak perkembangan teoritis dari berbagai perspektif
yang ada dalam
memandang local government sebagaimana dipaparkan oleh Smith (1985, 18-45). Terdapat tiga perspektif dalam melihat desentralisasi, yakni liberal democracy, economic interpretation, dan marxist interpretation. Dalam pandangan demokrasi liberal, locall government membawa dua manfaat pokok. Pertama, ia memberikan kontribusi
positif bagi perkembangan demokrasi
nasional karena local government itu mampu menjadi sarana bagi pendidikan politik rakyat, dan memberikan pelatihan bagi kepemimpinan politik, serta mendukung penciptaan stabilitas politik. Lebih jelas lagi, Hoessein (2000) menambahkan bahwa dalam konsep otonomi terkandung kebebasan untuk berprakarsa untuk mengambil keputusan atas dasar aspirasi masyarakat yang memiliki status demikian tanpa kontrol langsung oleh Pemerintah Pusat. Oleh karena itu kaitannya dengan demokrasi sangat erat. Kedua, local government memiliki kemampuan untuk memenuhi permintaan akan barang-barang publik (the demand for public goods). 'Demand' dalam preferensi pasar swasta lebih mudah diketahui melalui kemauan untuk membayar, akan tetapi dalam politik, ia sulit diidentifikasi karena relasi yang rumit antara barang, harga, pajak, pemilihan dan preferensi politik, partisipasi, dan
8
kepemimpinan. Desentralisasi mampu mengurangi
persoalan ini
dengan
meningkatkan jumlah unit-unit pemerintahan dan derajat spesialisasi fungsinya sehingga meningkatkan kemampuan pemerintah dalam memenuhi permintaan publik. Ketiga,
desentralisasi mampu memberikan kepuasan yang lebih baik
dalam menyediakan
penawaran
barang-barang publik(the supply of public
goods). Terdapat banyak persoalan jika penyediaan pelayanan dan barang publik diselenggarakan tersentralisasi. Semakin besar organisasinya maka semakin besar pula kecenderungannya untuk memberikan pelayanan. Semakin monopolistik pemerintah maka semakin kecil insentif dan inovatifnya. Berdasar pada teori, yurisdiksi terfragmentasi akan lebih memberikan kepuasan kepada konsumen daripada kewenangan yang terkonsolidasi. Desentralisasi akan memberikan peluang antar yurisdiksi yang berbeda untuk bersaing dalam memberikan kepuasan kepada publik atas penyediaan barang dan layanannya. Interpretasi Marxist tampaknya masih cenderung melihat negara sebagai satu kesatuan dan tidak perlu dipisah-pisah antar wilayah geografis.
Terdapat
beberapa penjelasan yang melandasi ketidak berpihakan pandangan ini terhadap desentralisasi. Pertama, pandangan ini melihat bahwa pembagian wilayah dalam konteks
desentralisasi hanya akan menciptakan kondisi terjadinya akumulasi
modal sehingga memunculkan kembali kaum kapitalis. Kedua, desentralisasi juga akan mempengaruhi konsumsi kolektif sehingga akan dipolitisasi. Konsumsi kolektif dimaksudkan untuk memberikan pelayanan atas dasar kepentingan semua kelas. Desentralisasi hanya akan menghasilkan ketidak-adilan baru dalam konsumsi kolektif antar wilayah. Ketiga, meskipun demokrasi pada dasarnya akan menempatkan mayoritas dalam pemerintahan daerah (yang berarti seharusnya kelas pekerja yang mendominasi, tetapi ada banyak cara yang bisa dilakukan oleh kaum kapitalis untuk menghalang-halangi munculnya kelas pekerja dalam pemerintahan. Lembaga-lembaga perwakilan dalam pemerintahan daerah tetap merupakan simbol demokrasi liberal dan tetap akan dikuasai oleh kaum kapitalis. Keempat, dalam kaitannya dengan hubungan antar
pemerintahan, maka
9
pemerintah menjaga
daerah
hanya menjadi kepanjangan aparat pemerintah pusat untuk
kepentingan
monopoli
kapital.
Dalam
bidang
perencanaan,
desentralisasi juga tidak akan pernah menguntungkan daerah-daerah pinggiran dan membiarkannya dengan
melindungi daerah kapitalis. Desentralisasi juga
menghindarkan redistribusi keuangan dan pajak
dari daerah kaya ke daerah
miskin. Desentralisasi hanya akan menghilangkan tanggung jawab kaum borjuis terhadap daerah-daerah yang tertekan. Kelima, terdapat berbagai rintangan mengenai bagaimana demokrasi lokal akan berjalan
dalam suasana desentralisasi. Rintangan ini mencakup aspek
ekologis, politik, dan ekonomi yang menyebabkan demokrasi di tingkat lokal hanya akan mengalami kegagalan. Menurut pandangan Marxist semua ini hanya akan dapat ditanggulangi oleh sentralisasi yang bertujuan untuk redistnbusi dan keadilan. 2.1.2. Cakupan Desentralisasi Semula dalam kepustakaan Amerika Serikat, Harold F. Alderfer (1964 : 176) mengungkapkan bahwa terdapat dua prinsip umum dalam membedakan bagaimana pemerintah pusat mengalokasikan kekuasaannya ke bawah. Pertama, dalam bentuk deconcentration yang semata-mata menyusun unit administrasi atau field stations, baik itu tunggal ataupun ada dalam hirarki, baik itu terpisah maupun tergabung, dengan perintah mengenai apa yang seharusnya mereka kerjakan atau bagaimana mengerjakannya. Tidak ada kebijakan yang dibuat di tingkat lokal serta tidak ada keputusan fundamental memiliki
yang
diambil. Badan-badan
pusat
semua kekuasaan dalam dirinya, sementara pejabat lokal merupakan
bawahan sepenuhnya dan mereka hanya menjalankan perintah. Kedua, dalam bentuk decentralization dimana unit-unit lokal ditetapkan dengan kekuasaan tertentu atas bidang tugas tertentu. Mereka dapat menjalankan penilaian, inisiatif dan pemerintahannya sendiri. Selain itu dalam khazanah Inggris, desentralisasi dapat dimengerti dalam dua jenis yang berbeda menurut Conyers (1983 : 102) yang mendasarkan pada berbagai literatur berbahasa Inggns, yakni devolution yang menunjuk pada
10
kewenangan politik yang ditetapkan secara legal dan dipilih secara lokal; dan deconcentration yang menunjuk pada kewenangan administratif yang diberikan pada perwakilan badan-badan pemerintah pusat. Bagaimana Conyers (1986 : 89) membagi jenis desentralisasi ini dan untuk menentukan suatu negara berdasar pada jenis yang mana tampaknya didasarkan pada beberapa pertimbangan aktivitas fungsional dari kewenangan yang ditransfer, jenis kewenangan atau kekuasaan yang ditransfer pada setiap aktivitas fungsional, tingkatan atau area kewenangan yang ditransfer, kewenangan atas individu, organisasi, atau badan yang ditransfer pada setiap tingkatan, dan kewenangan ditransfer dengan cara legal ataukah administratif Tampaknya apa yang dimaksud decentralization
menurut Alderfer
menyerupai dengan apa yang disebut sebagai devolution menurut Conyers. Sementara istilah deconcentration yang mereka berdua pergunakan juga menunjuk pada kondisi yang sama. Selanjutnya Rondinelli dan kawankawan lebih luas lagi dalam mengungkapkan jenis
desentralisasi (dalam Meenakshisundaram, 1999: 55-56), yakni :
deconcentration (penyerahan sejumlah kewenangan atau tanggung
jawab
administrasi kepada tingkatan yang lebih rendah dalam kementerian atau badan pemerintah), delegation
(perpindahan tanggung jawab fungsi-fungsi tertentu
kepada organisasi di luar struktur birokrasi reguler dan hanya secara tidak langsung dikontrol oleh pemerintah pusat), devolution (pembentukan dan penguatan unit-unit pemerintahan sub-nasional dengan aktivitas yang secara substansial berada di luar kontrol pemerintah pusat), dan privatization (memberikan semua tanggung jawab atas ftmgsifungsi kepada organisasi non pemerintah atau perusahaan swasta yang independen dari pemerintah). Rondinelli, mengungkapkan
McCullough, bahwa
bentuk
&
Johnson
desentralisasi
(1989) ada
lima
sendiri macam,
bahkan yakni
privatization, deregulation of private service provision, devolution to local government, delegation to public enterprtses or publicly deconcentration ofbureaucracy. Pengertianmenyerupai
jenis
regulated private enterprises, dan
central government desentralisasi tersebut desentralisasi yang diungkapkan oleh
11
Cohen & Peterson (1999) yang terbagi dalam deconcentration, devolution, dan delegation (yang mencakup pula privatization). Jika semula privatisasi berdiri sendiri, kini Cohen dan Peterson justru memasukkannya sebagai bagian dari delegasi. Pembedaan ini didasarkan pada enam pendekatan, yakni : pembedaan berdasar asal mula sejarah, berdasarkan hirarki dan fungsi, berdasarkan masalah yang diatasi dan nilai dari para investigatornya, berdasar pola struktur dan fungsi administrasi, berdasar pada pengalaman negara tertentu, dan yang terakhir berdasar pada berbagai tujuan politik, spasial, pasar, dan administrasi. Hoessein (2001b) mengungkapkan bahwa devolution dalam khazanah Inggris tersebut merupakan padanan kata political decentralization dalam pustaka Amerika Serikat dan staatskundige decentralisatie dalam pustaka Belanda. Sementara deconcentration dalam khazanah Inggris merupakan padanan dari administrattve decentralization dalam pustaka Amerika Serikat dan ambtelyke atau administratieve decentralisatie dalam khazanah Belanda. Dari perspektif pemerintahan Indonesia, devolution merupakan
padanan dari desentralisasi,
deconcentration merupakan padanan dari dekonsentrasi, dan delegation adalah padanan dari desentralisasi fungsional. Selain itu, dalam perkembangan sejarah pemerintahan daerah di Indonesia, mulai dari masa Hindia Belanda sampai Indonesia modern telah dikenal pula beberapa jenis desentralisasi dalam arti luas. Selain desentralisasi dalam arti sempit (devolution, political decentralization) dan dekonsentrasi yang telah banyak diulas di atas, dikenal pula jenis mede bewind dan vrij bestUndangUndangr(Sinjal, 2001). Mede bewind biasanya diartikan sebagai tugas pembantuan yang berarti hak menjalankan peraturan-peraturan
dari pemerintah pusat atau daerah tingkat
atasan berdasarkan perintah pihak atasan itu (The Liang Gie, 1965 : 112). Rohdewohld (1995: 55) mengungkapkan makna yang hampir sama tentang mede bewind namun dengan bahasa yang berbeda sebagai fungsi tertentu yang berada di bawah yurisdiksi pemerintah pusat yang dijalankan oleh unit administrasi pemerintah daerah otonom atas perintah pemerintah pusat. Pemerintah pusat tetap mempertahankan yurisdiksinya dalam hal perencanaan dan pendanaannya.
12
Vrij bestUndang-Undangr dapat diartikan kalau ada keragu-raguan tentang siapa yang berwenang terhadap suatu masalah maka daerah terdekatlah yang mengambil wewenang
itu (Sinjal, 2001). Dasar pemikiran timbulnya vrij
bestUndang-Undangr ini adalah karena kewenangan dapat dirinci satu per satu, tetapi
tidak
ada
satu
pun
undangundang
yang
mampu
memprediksi
masalahmasalah kemasyarakatan yang berkembang sangat dinamis sehingga bila ada kevakuman kewenangan penanganan masalah tertentu maka dengan azas vrij bestUndang-Undangr ini diharapkan ada kepastian jalan keluamya segera. 2.1.3. Elemen Desentralisasi Desentralisasi dalam arti sempit (devolution) akan berkaitan dengan dua hal (Smith, 1985 : 18). Pertama, adanya subdivisi teritori dari suatu negara yang mempunyai ukuran otonomi. Subdivisi teritori ini memiliki self governing melalui lembaga politik yang memiliki akar dalam wilayah sesuai dengan batas yurisdiksinya. Wilayah ini tidak diadministrasikan oleh agen-agen pemerintah diatasnya tetapi diatur oleh lembaga yang dibentuk secara politik di wilayah tersebut. Kedua, lembaga-lembaga tersebut akan direkrut secara demokratis. Berbagai keputusan akan diambil berdasarkan prosedur demokratis. Smith (1985 : 8-12) juga mengungkapkan bahwa desentralisasi mencakup beberapa elemen, yakni: pertama, desentralisasi memerlukan pembatasan area, yang bisa didasarkan pada tiga hal, yaitu pola spasial kehidupan sosial dan ekonomi, rasa identitas politik, dan efisiensi pelayanan publik yang bisa dilaksanakan. Kedua, desentralisasi meliputi pula pendelegasian wewenang, baik itu kewenangan politik maupun kewenangan birokratik. Senada dengan hal tersebut, Hoessein (200lc) mengungkapkan bahwa desentralisasi mencakup dua elemen pokok. Pertama, pembentukan daerah otonom, dan kedua, penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah otonom tersebut. Dari kedua elemen pokok tersebut lalu lahirlah apa yang disebut sebagai local government, yang didefinisikan oleh United Nations (dalam Alderfer, 1965 : 178) sebagai: “political subdivision of a nation (or in federal system state) which is constituted by law and has substansial control of local affairs, including the
13
power to impose taxes or exproact labor for prescribed purposes The governing body of such an entity is elected or otherwise locally selected". Dari definisi di atas secara tersirat sebenamya ada perbedaan local government antara negara dengan sistem federal dan kesatuan. Seperti yang dicontohkan oleh Hoessein (1999) tentang Indonesia sebagai negara kesatuan (eenheidstaat) tidak akan mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat "staat" juga. Hal ini berarti daerah otonom yang dibentuk tidak akan memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan seperti negara bagian dalam sistem federalisme. Dengan mengutip pendapatnya Kranenburg, Hoessein mengungkapkan bahwa daerah otonom tidak akan memiliki "pouvoir constituant". Prinsipnya dalam negara kesatuan menurut Hans Antlov (dalam Hoessein, 1999) adalah "the powers held by local and regional organs have been received from above, and can be withdrawn through new legislation, without any need for consent from the communes or provinces concerned”. Selanjutnya, diungkapkan pula bahwa dalam negara federal, kewenangan pemerintah federal justru berasal dari negara bagiah yang dirumuskan di dalam konstitusi federal. Kewenangan daerah otonom juga berasal dari negara bagian bukan dari pemerintah federal dan dirumuskan dalam Undang-Undang negara bagian. Hubungan antara negara bagian dengan pemerintah federal bersifat koordinasi dan independen. Hubungan antara daerah otonom dengan pemerintah pusat untuk negara kesatuan sama dengan hubungan antara daerah otonom dengan negara bagian dalum sistem federal yakni bersifat subordinasi dan dependen (K. G. Wheare dalam Hoessein, 1999). Berikutnya Hoessein (2001b)mengungkapkan bahwa local government ini merupakan sebuah konsep yang dapatmengandung tiga arti. Pertama, ia berarti pemerintah lokal yang kerap kali dipertukarkan dengan local authority yang mengacu pada organ, yakni council dan moyor dimana
rekrutmen pejabatnya
didasarkan pada pemilihan. Berkaitan dengan organ ini, terdapat beberapa jenis sebagaimana diungkapkan oleh Ammons & Glass (1989 : 3-8), yakni : strong mayor council form, council-manager form, dan weak mayor-council form, serta commission form.
14
Kedua,
ia mengacu pada pemerintahan lokal yang dilakukan oleh pemerintah
lokal. Arti kedua ini, lebih mengacu pada fungsi. Dalam menentukan fungsi yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, terdapat dua prinsip yang lazim dipergunakan The ultra vires doctrine menunjukkan bahwa pemerintah daerah dapat bertindak pada hal-hal tertentu atau memberikan pelayanan tertentu saja. Fungsi atau urusan pemerintahan bagi pemerintah daerah
dirinci sedangkan
fungsi pemerintahan yang tersisa menjadi kompetensi pemerintah pusat Prinsip general competence atau open end arrangement merupakan kebalikan dari prinsip sebelumnya tersebut. Pemerintah daerah harus melakukan apa saja yang dipandang perlu dalam memenuhi kebutuhan daerahnya sebagaimana yang ditentukan oleh para pengambil keputusan di daerah itu. Pemerintah pusat telah mempunyai urusan atau fungsi yang terinci, sementara sisanya merupakan fungsi atau urusan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah (Hoessein, 2001b; Smith, 1985 : 87). Ketiga, ia bermakna daerah otonom: Hoessein (200lc) menjelaskan bahwa pembentukan daerah otonom yang secara simultan merupakan kelahiran status otonomi berdasarkan atas aspirasi dan kondisi obyektif dari masyarakat yang berada di wilayah tertentu sebagai bagian dari bangsa dan wilayah nasional. Masyarakat yang menuntut otonomi melalui desentralisasi menjelma menjadi daerah otonom sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Hal yang paling krusial berkenaan dengan daerah otonom ini adalah persoalan penentuan batas dan besaran daerah otonom. Norton (1994 : 46-47) mengungkapkan bahwa penataan batas ini berkaitan dengan efisiensi ekonomi dan efektivitas demokrasi. Kombinasi diantara keduanya mempunyai arti penting untuk menciptakan stabilitas dan fleksibility & responstveness. Pertimbangan efisiensi ekonomi yang menjadi dasar bagi penentuan batas daerah meliputi : biaya perjalanan dan komunikasi rendah; sejauh mana pemerintah daerah mampu memenuhi kebutuhan finansial, tanah, dan sumber daya lainnya dari dalam daerahnya sendiri sehingga
15
meminimalkan ketergantungan ekonomi, minimalisasi biaya yang berasal dari akibat aktivitas dalam suatu daerah yang ber-spill over dan menyebabkan biaya lainnya; fasilitasi kolaborasi dan koordinasi diantara pelayanan yang diberikan; menyesuaikan wilayah dengan badan swasta, sukarela, dan publik beserta kepentingan terkait untuk memfasilitasi kerja sama dan koordinasi guna kepentingan bersama dan interdependensi. Pertimbangan efektivitas demokrasi tumpang tindih dengan efisiensi ekonomi, namun penetapan batas diharapkan mampu menjamin : apa yang diinginkan oleh para pemilih; keterwakilan yang adil bagi kaum minoritas; mudahnya aksesibilitas penduduk dalam memilih anggota dan staf pemerintah; pemahaman publik terhadap sistem dan tujuannya; rentang kekuasaan dan tanggung jawab yang mendukung pemerintah daerah untuk merespons kebutuhan penduduk setempat baik pada masa kini dan mendatang, serta rncmberikan pilihan-pilihan dalam penyediaan komoditas publik. Selain didasarkan pada faktor di atas, penentuan local boundaries dapat pula didasarkan pada catchment
area sebagaimana disampaikan oleh Hoessein
(dalam Irfan, 2000), yakni luas wilayah yang optimal bagi pelayanan, pembangunan, penarikan sumber daya, partisipasi dan kontrol baik masyarakat maupun birokrasi. Arti periting catchment area
ini berkaitan dengan
dibutuhkannya penentuan batas yang akurat dengan berorientasi pada administrasi yang berkualitas untuk menghadapi perubahan masyarakat dan kompleksitas layanan yang dibutuhkannya. Harapannya adalah pemberian layanan
kepada
masyarakat dapat berjalan optimal. Kegagalan dalam discatchment area
Kondisi
mencapai catchment area ini akan diikuti adanya ini
dapat memiliki implikasi negatif berupa
kerusakan lingkungan, kriminalitas, ketidak-puasan publik birokrasi dan lambannya birokrasi.
terhadap pelayanan
16
2.2 Implementasi Kebijakan Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan
dapat
mencapai
tujuannya
(Nugroho,
2004:
158).
Untuk
mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivat aturan dari kebijakan publik tersebut. Secara umum dapat digambarkan sebagai berikut Gambar 1: Model Implementasi Kebijakan KEBIJAKAN PUBLIK
Kebijakan Publik Penjelas
Program Intervensi
Proyek Intervensi
Kegiatan Intervensi
Public / Masyarakat /Beneficiaries
Sumber : Rian Nugroho D. (2004 : 159) Donald Van Meter dan Carl Van Horn (1975) memperkenalkan suatu model
implementasi
kebijakan
publik.
Model
ini
mengatakan
bahwa
implementasi kebijakan berjalan secara linier dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan
publik. Beberapa variabel yang dimasukkan sebagai
variabel yang mempengaruhi kebijakan publik adalah variabel : 1. aktivitas implementasi dan komunikasi antarorganisasi 2. Karakteristik dari agen pelaksana/implementor 3. Kondisi ekonomi, sosial dan politik, dan 4. Kecenderungan (disposition) dari pelaksanaan/implementor.
17
Gambar 2: Model Implementasi Kebijakan Donald Van Meter dan Carl Van Horn Aktivitas Implementasi dan komunikasi antar
Standar dan Tujuan
KEBIJAKA N PUBLIK
Karakteristik dari agen pelaksana/ implementor
Sumber daya
Kecenderungan (disposition) dari pelaksana/impleme
KINERJA KEBIJAKAN PUBLIK
Kondisi ekonomi, social dan politik
Model kedua adalah model kerangka analisis Implementasi (A Feamework for Implementation analysis) yang diperkenalkan oleh Daniel Mazmania dan Paul A.Sabatier
(1983).
Duet
Mazmania
Sabatier
mengklasifikasikan
proses
implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel. Pertama,
variabel
independent,
yaitu
mudah
tidaknya
masalah
dikendalikan yang berkenaan dengan indicator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman obyek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki. Kedua, variabel intervening: yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indicator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal indicator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kasual, keteepatan alokasi pelaksana dari lembaga peleksana, dan perekrutan pejabat pelaksana dan keterbukaan kepada pihak luar; dan variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indicator kondisi sosio ekonomi dan teknologi, dukungan public, sikap dan ristoris dari konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, dan komitmen & kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.
18
Ketiga, variabel dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan lima tahapan, yaitu pemahaman dari lembaga / badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana, kepatuhan obyek, hasil nyata penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah kepada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar. Menurut Brian W. Hoogwood dan Lewis A.Gun (1978), untuk melakukan implementasi kebijakan diperlukan beberapa syarat. Syarat pertama berkenaan dengan jaminan bahwa kondisi eksternal yang dihadapi oleh lembaga/badan pelaksana tidak akan menimbulkan masalah yang besar. Syarat kedua adalah apakah untuk melaksanakannya tersedia sumberdaya yang memadai, termasuk sumberdaya waktu. Syarat ketiga apakah perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar ada. Kebijakan public adalah kebijakan yang kompleks dan menyangkut dampak yang luas. Karena itu, implementasi kebijakan public akan melibatkan berbagai-bagai sumber yang diperlukan, baik dalam konteks sumber daya atau sumber actor. Syarat keempat adalah apakah kebijakan yang akan diimplementasikan didasarkan hubungan kausal yang andal. Jadi, prinsipnya adalah apakah kebijakan tersebut memang dapat menyelesaikan masalah yang hendak ditanggunglangi. Syarat kelima adalah seberapa banyak hubungan kausalitas yang terjadi. Asumsinya, semakin sedikit hubungan “sebab akibat”, semakin tinggi pula hasil yang dikehendaki oleh kebijakan tersebut dapat dicapai. Sebuah kebijakan yang mempunyai hubungan kausalitas yang kompleks, otomatis menurunkan efektivitas implementasi kebijakan. Syarat keenam adalah apakah hubungan saling ketergantungan kecil. Asumsinya
adalah jika
hubungan
saling ketergantungan
tinggi,
justru
implementasi tidak akan dapat berjalan secara efektif – apalagi jika hubungannya adalah hubungan ketergantungan. Implementasi kebijakan pengurus utamaan gender banyak menemui kendala karena Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan tergantung dalam instensitas yang tinggi kepada seluruh departemen dan LPND serta kepada daerah-daerah.
19
Syarat ketujuh adalah pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. Tidaklah begitu sulit dipahami, bahwa mereka yang ada dalam perahu yang sama sepakat akan tujuan yang sama. Syarat kedelapan adalah bahwa tugas-tugas telah dirinci dan ditempatkan dalam urutan yang benar. Tugas yang jelas dan prioritas yang jelas adalah kunci efektivitas implementasi kebijakan. Syarat kesembilan adalah komunikasi dan koordinasi yang sempurna. Komunikasi adalah perekat organisasi, dan koordinasi adalah asal muasal dari kerja sama tim serta terbentuknya sinergi. Syarat kesepuluh adalah bahwa pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna. Kekuasaan atau power adalah syarat bagi keefektivan implementasi kebijakan. Tanpa otoritas yang berasal dari kekuasaan, maka kebijakan akan tetap berupa kebijakan tanpa ada dampak bagi target kebijakan Menurut Edward III (1980:17), menyebutkan kebutuhan utama bagi keefektifan pelaksanaan kebijakan adalah bahwa mereka yang menerapkan keputusan haruslah tahu apa yang seharusnya mereka lakukan. Jika kebijakan ingin dilaksanakan dengan tepat, arahan serta petunjuk pelaksanaan tidak hanya diterima tetapi juga harus jelas, dan jika hal ini tidak jelas para pelaksana akan kebingingan tentang apa yang seharusnya mereka lakukan, dan akhirnya akan mempunyai kebijakan tersendiri dalam memandang penerapan kebijakan tersebut. Yang mana pandangan ini seringkali berbeda dengan pandangan atasan mereka. Lebih lanjut dikatakan kegandaan / ambiguitas ini akan mengantarkan para pelaksana pada kebijakan mereka sendiri, meskipun mereka tidak perlu menggunakan ambiguitas itu untuk memperluas otoritas yang dimiliki. Tetapi sebaliknya, mereka menggunakannya untuk menghindari permasalahan yang sulit (Edward II, 1980:17). Motif efektifitas implementasi program yang ditawarkan oleh Edward III (1980:17), menyebutkan empat factor krusial dalam melaksanakan suatu kebijakan, yakni: komunikasi, sumber-sumber, kecenderungan – kecenderungan atau tingkah laku dan struktur birokrasi. Secara rinci Edward III menjelaskan sebagai berikut :
20
•
Komunikasi (Communication) Persyaratan pertama dalam pelaksanaan yang efektif adalah bahwa yang melaksanakan tugas tersebut mengetahui apa yang harus mereka lakukan, jika ada suatu kejelasan tentang apa yang harus dilakukan. Selanjutnya dalam komunikasi ini perlu adanya konsistensi dari aspek komunikasi adalah bagaimana penetralisian tugas fungsi tertentu yang akan dilakukan.
•
Sumber-sumber (Resources)
•
Sumber-sumber yang penting dalam suatu pelaksanaan staf-staf dengan keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas dan informasi, wewenang dan fasilitas-fasilitas
di
pelaksanaannya.
Staf
dalam
menerjemahkan
tersebut
haruslah
suatu
peraturan
dalam
memadai
jumlahnya
dalam
melaksanakan sesuatu program, namun tidak hanya jumlah tetapi juga harus didukung oleh keahlian yang baik dalam tugas tersebut. Informasi menyangkut bagaimana melaksanakan sesuatu hak dan ketaatan dari personilpersonil lain terhadap peraturan-peraturan pemerintah. •
Wewenang adalah otoritas yang dimiliki oleh pelaksana dalam melakukan tugasnya termasuk dalam penerapan sanksi jika ada pelanggaran, apakah sudah cukup memadai. Fasilitas-fasilitas di dalam menerjemahkan suatu peraturan dalam pelaksanaannya mutlak diperlukan dalam melakukan tugas tertentu,
seperti
bangunan
fisik.
Kecenderungan-kecenderungan
para
pelaksana sangat menentukan dalam pelaksanaan, tingkah laku mereka terhadap kebijakan dan peraturan yang telah ditentukan sebelumnya mempengaruhi hasil selanjutnya. Tingkah laku ini juga menyangkut cara pandang terhadap sesuatu hal atau kebijakan. •
Struktur birokrasi (bureaucratic strcture) Struktur birokrasi menyangkut prosedur-prosedur kerja dan pragmentasi. Prosedur-prosedur berkembang secara internal dari respon terhadap tugas untuk keseragaman demi pencapaian tugas dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya.
21
Selanjutnya Jones (1991:35), menyebutkan apakah program efektif atau tidak, maka standar penilaian yang dapat dipakai adalah organisasi, interprestasi, penerapan. Ketiga standar penilaian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) Organisasi Maksudnya
disini
bahwa
organisasi
Pelaksanaan
program.
Dan
selanjutnya organisasi tersebut harus memiliki struktur organisasi, adanya sumber daya manusia yang berkualitas sebagai tenaga pelaksana dan perlengkapan atau alat-alat kerja serta didukung dengan perangkat hukum yang jelas. Struktur organisasi yang kompleks, struktur ditetapkan sejak semula dengan Kelurahanin dari berbagai komponen atau subsistem yang ada tersebut. Sumber daya manusia yang berkualitas berkaitan dengan kemampuan aparat dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Aparatur dalam hal ini petugas yang terlibat dalam pelaksanaan program. Tugas aparat pelaksana program yang utama adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat yang dipercayakan kepadanya untuk dilaksanakan secara efektif maka setiap aparatur dituntut memiliki kemampuan yang memadai sesuai dengan bidang tugasnya. (2) Interprestasi Maksudnya disini agar program dapat dilaksanakan sesuai dengan peraturan atau ketentuan yang berlaku, harus dilihat apakah pelaksanaannya telah sesuai dengan petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. (a) Sesuai Dengan Peraturan Sesuai dengan peraturan berarti setiap pelaksanaan kebijakansanaan harus sesuai dengan peraturan yang berprilaku baik Peraturan Tingkat Pusat, Propinsi, Kabupaten (b) Sesuai Dengan Petunjuk Pelaksana Sesuai dengan petunjuk pelaksana berarti pelaksanaan kebijaksanaan dari peraturan sudah dijabarkan cara pelaksanaannya pada kebijaksanaan yang bersifat administrative, sehingga memudahkan pelaksana dalam melakukan aktivitas pelaksanaan program.
22
(c) Sesuai Petunjuk Teknis Sesuai dengan petunjuk teknis berarti kebijaksanaan yang sudah dirumuskan dalam bentuk petunjuk pelaksana dirancang lagi secara teknis agar memudahkan dalam operasionalisasi program. Petunjuk teknis ini bersifat strategis lapangan agar dapat berjalan efesien dan efektif, rasional dan relitstis. (3) Penerapan Maksudnya disini peraturan/kebijakan berupa petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis telah berjalan sesuai dengan ketentuan, untuk dapat melihat ini harus pula dilengkapi dengan adanya prosedur kerja yang jelas, program kerja serta jadwal disiplin. (a) Prosedur Kerja yang Jelas : Prosedur kerja yang sudah ada harus memiliki perosedur kerja agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi tumpang tindih, sehingga tidak bertentangan antara unit kegiatan yang terdapat di dalamnya. (b) Program Kerja :Program kerja harus sudah terprogram dan terencana dengan baik sehingga tujuan program dapat direalisasikan dengan efektif. (c) Jadwal kegiatan disiplin :Program yang sudah ada harus dijadwalkan kapan dimulai dan diakhiri suatu program agar mudah dalam mengadakan evaluasi. Dalam hal ini yang diperlukan adanya tanggal pelaksanaan dan rampungnya sebuah program sudah ditentukan sebelumnya. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa implementasi program adalah tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh individu-individu atau pejabat-pejabat terhadap sesuatu objek/sasaran yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, melalui adanya organisasi, interprestasi dan penerapan.
23
2.3.Program KB Nasional 2.3.1. Visi dan Misi Program KB Nasional Dalam kurun waktu tiga dasawarsa, pelaksanaan program KB Nasional telah mencapai beberapa keberhasilan yang ditandai dengan semakin diterimanya norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera oleh masyarakat. Hal ini tercermin dengan semakin mengecilnya rata – rata jumlah anak yang dimiliki keluarga, tingginya angka kesetaraan ber KB, menurunya angka kematian ibu, bayi dan anak serta menurunnya angka pertumbuhan penduduk melalui pendekatan kemasyarakatan dalam pengelolaan program telah berhasil pula diikutisertakan lembaga swadaya masyarakat (LSM), sektor swasta dan masyarakat untuk secara aktif berpartisipasi di dalam program KB. Salah satu indikator kesertaan masyarakat dan sektor swasta dalam program KB adalah berkembangnya kelembagaan masyarakat dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat dan membantu program KB di tingkat desa dan dusun serta tingginya kemandirian masyakat dalam ber KB. Pada sisi lain, keberhasilan Program KB Nasional di Indonesia telah pula diakui oleh dunia internasional dan ditetapkan menjadi salah satu ” center of Excellence ” di bidang kependudukan dan keluarga berencana. Program KB di Indonesia menjadi salah satu model keluarga Berencana dan banyak ditiru oleh negara – negara berkembang di dunia. Hal ini ditandai dengan banyaknya delegasi dari berbagai negara di dunia yang datang untuk mempelajari keberhasilan Indonesia dalam melaksanakan program KB, serta menjalin kerjasama di bidang ini. Hubungan ini dapat terwujud melalui kerjasama teknik (technical assisstance) dan pelatihan bagi para pengelola program KB di beberapa negara. Sejalan dengan era globalisasi reformasi dan demokrasi yang menjadi paradigma universal saat ini, dalam melaksanakan visi dan misi program, pengelolaan Program KB Nasional pada masa – masa mendatang akan semakin memperhatikan isu-isu yang berkembang di masyarakat baik ditingkat nasional maupun internasional. Dengan demikian isu-isu penting seperti hak-hak
24
reproduksi, kesehatan reproduksi pemberdayaan perempuan , kesetaraan dan keadilan gender (termasuk partisispasi pria), perlindungan terhadap masyarakat miskin, dan hak asasi manusia akan senantiasa menjadi acuan dalam pelaksanaan Program KB Nasional. Di samping itu arus utama (mainstream) desentralisasi yang menjadi acuan saat ini untuk mendelengasikan kewenangan di bidang KB kepada daerah telah selesai dilakukan pada akhir tahun 2003 . Dalam kaitan ini pada tahun 2003 berbagai upaya daerah, sebagaian besar perhatiannya terserap pada upaya melakukan advokasi kepada Pemerintah Daerah dan DPRD (key stakeholders) untuk menyiapkan kelembagan pengelola Program KB di kabupaten/kota. Ini merupakan tantangan besar bagi kelangsungan program di masa mendatang, karena tidak semua daerah melihat program KB dari sudut pandang yang sama. Selanjutnya sesuai dengan tuntutan perkembangan program, maka Visi Pembangunan Keluarga Berencana Nasional diarahkan kepada terwujudnya ”Keluarga Berkualitas 2015”, yang pada hakekatnya dimaksudkan untuk mewujudkan keluarga-keluarga Indonesia yang mempunyai anak ideal, sehat, berpendidikan, sejahtera, berketahanan, dan terpenuhi hak-hak reproduksinya. Melalui visi ini, BKKBN diharapkan dapat menjadi inspiator, fasilitator, dan motor penggerak Pembangunan KB Nasional dalam rangka mewujudkan keluarga-keluarga berkualitas 2015. Dengan demikian, peran BKKBN untuk lima tahun ke depan adalah bagaimana menggairahkan seluruh potensi nasional, baik mitra kerja pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, Swasta, Organisasi Profesi,Tokoh - tokoh informal, Politisi, serta segenap lapisan masyarakat agar secara bersatu padu melakukan gerakan nasional untuk mewujudkan keluarga berkualitas yang kita idam-idamkan. Berdasarkan visi seperti tersebut di atas, Misi Pembangunan KB Nasional dimaksudkan untuk: “membangun setiap keluarga Indonesia untuk memiliki anak ideal, sehat, berpendidikan, sejahtera, berketahanan dan terpenuhi hak-hak reproduksinya melalui pengembangan kebijakan, penyediaan layanan promosi, fasilitasi, perlindungan, informasi kependudukan dan keluarga, serta penguatan kelembagaan dan jejaring KB”. Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat,
25
merupakan wahana pertama dan utama yang diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan potensi seluruh anggota keluarga. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka misi yang diemban oleh BKKBN dalam kurun waktu lima tahun ke depan adalah sebagai berikut: 1. Menata Kembali Program dan Kelembagaan KB Sejalan dengan era desentralisasi saat ini, program KB nasional menghadapi tantangan yang berat oleh karena tidak semua kabupaten/kota mempunyai persepsi dan pemahaman yang sama tentang penting dan strategisnya program KB bagi pembangunan berkelanjutan. 2. Memberdayakan dan Menggerakkan Masyarakat untuk Membangun Keluarga Kecil Berkualitas Dalam rangka mewujudkan visi pembangunan KB, yaitu “Keluarga Berkualitas 2015”, salah satu upaya penting yang mesti dilakukan BKKBN adalah melakukan upaya pemberdayaan dan penggerakan masyarakat. Pemberdayaan dan penggerakan masyarakat ini menjadi prioritas utama BKKBN sehingga masyarakat tidak semata-mata menjadi obyek dari pembangunan KB, tetapi telah berperan langsung sebagai subyek pembangunan. Dari upaya-upaya ini diharapkan masyarakat dapat berperan aktif dan mengambil alih tanggung jawab keberhasilan program demi kepentingan masyarakat sendiri. 3. Menggalang Kemitraan dalam Peningkatan Kesejahteraan dan Ketahanan Keluarga serta akses dan kualitas pelayanan KB/KR Upaya untuk mewujudkan keluarga-keluarga berkualitas, baik dari sisi kesejahteraan dan ketahanan keluarga, maupun dalam upaya pewujudan keluarga dengan anak ideal harus dilakukan melalui penggalangan kemitraan yang tulus dan setara. BKKBN selama ini dikenal bermitra dengan hampir semua sektor dan komponen masyarakat mulai dari instansi pemerintah, LSM, Swasta, Organsisasi Profesi, Organisasi Keagamaan, Institusi Masyarakat, dan lain sebagainya. Upaya ini mesti dilanjutkan, baik dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan ketahanan keluarga, maupun dalam upaya peningkatan akses dan kualitas pelayanan KB/KR. 4. Meningkatkan Promosi, Perlindungan, dan Upaya Pewujudan Hak-Hak Reproduksi Sejalan dengan misi Pembangunan KB Nasional, upaya-upaya pemenuhan hak-hak reproduksi menjadi salah satu prioritas program. Untuk itu, BKKBN mempunyai misi untuk melakukan upaya promosi, perlindungan dan pewujudan hak-hak reproduksi masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan berbagai upaya KIE, fasilitasi, dan advokasi agar keluarga dan masyarakat
26
mempunyai akses terhadap informasi yang jelas, lengkap, dan jujur tentang hal-ikhwal kesehatan reproduksi sehingga mereka mampu memutuskan hal yang terbaik bagi kesehatan reproduksinya. 5. Memberikan fasilitasi dalam rangka Penyediaan Data dan Informasi Keluarga Berbasis Data Mikro bagi Pengelolaan Pembangunan dan Pemberdayaan Keluarga Miskin Salah satu keberhasilan yang telah dicapai oleh BKKBN selama ini adalah kemampuan untuk menggerakkan dan memberikan fasilitasi kepada institusi masyarakat dan masyarakat untuk secara bersama-sama mengumpulkan data dan informasi keluarga berbasis data mikro yang tidak saja bermanfaat bagi pelaksanaan program operasional di lapangan tetapi juga bagi program pembangunan lain. Untuk itu, upaya pemberian fasilitasi untuk melanjutkan upaya penyediaan data dan informasi ini tetap menjadi salah satu misi BKKBN untuk kurun waktu lima tahun ke depan.