BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori 1. SIRS / SEPSIS 1.a. Definisi Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang masuk ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan kerusakan jaringan disebut penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi terjadi jejas sehingga timbul proses inflamasi. Meskipun dasar proses inflamasi sama, namun intensitas dan luasnya berbeda, tergantung luas jejas dan reaksi tubuh. Inflamasi akut dapat terbatas pada tempat jejas saja atau dapat meluas sampai menyebabkan tanda dan gejala sistemik (Harmse dan Hew, 2000) Inflamasi adalah reaksi jaringan vaskuler terhadap semua bentuk jejas. Pada dasarnya inflamasi adalah suatu reaksi pembuluh darah, syaraf, cairan dan sel tubuh di tempat jejas. Inflamasi akut merupakan respon langsung yang dini terhadap agen penyebab jejas dan kejadian yang berhubungan dengan inflamasi akut sebagian besar dimungkinkan oleh produksi dan pelepasan berbagai macam mediator kimia . meskipun jenis jaringan yang mengalami inflamasi berbeda, mediator yang dilepaskan adalah sama (Harmse dan Hew , 2000) Manifestasi
klinik
yang
berupa
inflamasi
sistemik
disebut
Systemic
Inflammatory Response Syndrom ( SIRS ). SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) adalah pasien yang memiliki dua atau lebih kriteria sebagai berikut: (Guntur A,H, 2006; Chamberlain dan Neeal, 2004; Hotchkiss, et al. 2003) a.
Suhu > 38 0C atau < 36 0C
b.
Denyut jantung > 90 kali / menit
c.
Respirasi > 20 kali / menit atau Pa CO2 < 32 mmHg
d.
Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau > 10 % sel immature
5
Tabel 2.1. Kriteria Diagnosis Untuk Sepsis, Sepsis Berat dan Syok Septik (Dellinger et al, 2013)
Infeksi (dugaan atau terdokumentasi), dengan diikuti ≥ 1 atau beberapa kondisi dari : VARIABEL UMUM Demam (> 38.3°C) Hipotermia (suhu inti < 36°C) Nadi > 90 kali / menit atau lebih dari 2SD diatas nilai normal sesuai umur Takipnea Perubahan status mental Edema signifikan / balans cairan positif (> 20 mL/kg dalam 24 jam) Hiperglikemia (glukosa plasma > 140 mg/dL atau 6.7 mmol/L) tanpa diabetes VARIABEL INFLAMASI Leukositosis ( > 12,000/μL) Leukopenia ( < 4000/μL) Angka leukosit normal dengan sel imatur lebih dari 10% Plasma C-reactive protein lebih dari 2 SD diatas nilai normal Plasma prokalsitonin lebih dari 2 SD diatas nilai normal VARIABEL HEMODINAMIK Hipotensi arterial (SBP < 90 mmHg, MAP < 70 mmHg, atau SBP menurun > 40 mmHg pada dewasa atau kurang dari 2 SD dibawah nilai normal sesuai umur VARIABEL DISFUNGSI ORGAN Hipoksemia arterial (Pao2/Fio2 < 300) Oliguria akut (produksi urin < 0.5 mL/kg/jam atau 45 ml / jam selama setidaknya 2 jam walaupun sudah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat) Kreatinin meningkat > 0.5 mg/dL atau 44 μmol/L Abnormalitas koagulasi (INR > 1.5 atau APTT > 60 detik)
6
Ileus (tidak adanya bunyi peristaltik usus) Trombositopenia (platelet < 100,000/μL) Hiperbilirubinemia (plasma bilirubin total > 4 mg/dL atau 68 μmol/L) VARIABEL PERFUSI JARINGAN Hiperlaktatemia (> 1 mmol/L) Menurunnya capillary refill atau adanya bercak-bercak (mottling) Sepsis berat adalah Sepsis disertai adanya disfungsi organ
Syok septik adalah Sepsis plus either hypotension ( hipotensi refrakter yang memerlukan vasopresor setelah diberikan cairan intravena ) atau hyperlactatemia
1.b. Etiologi Penyebab sepsis terbesar adalah bakteri gram negatif (60-70%) yang menghasilkan berbagai produk yang menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan terpacu mengeluarkan mediator inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan kompleks utama membran terluar dari bakteri gram negatif (Guntur A, H, 2011) Selain disebabkan oleh endotoksin dapat pula disebabkan oleh eksotoksin, jamur, virus, dan parasit yang berperan sebagai superantigen (Guntur A, H, 2011)
1.c. Patogenesis Patogenesis sepsis sangat kompleks akibat dari interaksi antara produk bakteri yang berupa toksin (Guntur A, H, 2011) Inflamasi sesungguhnya merupakan upaya tubuh menghilangkan dan eradikasi organisme penyebab, aktifasi respon inflamasi sistemik
pada sepsis dibutuhkan
tubuh sebagai pertahanan tubuh terhadap infeksi, berbagai jalur inflamasi diaktifkan dengan tujuan untuk invasi bakteri. Mekanisme ini termasuk pengeluaran sitokin,
7
aktifasi netrofil, monosit, makrofag dan perubahan sel endotel serta aktifasi sistem komplemen, koagulasi, fibrinolysis, dan sistem kontak. Pengeluaran tissue damaging proteinase, radikal eikosanoid, oksigen dan nitrogen juga merupakan mekanisme pertahanan tubuh (Cinel dan Dellinger, 2007). Untuk menghalangi masuknya mikroorganisme infeksius, sistem imun alamiah mengembangkan berbagai reseptor yang disebut Pathogen Associated Moleculear Pattern / PAMPs sehingga mampu membedakan struktur molekul sel dan non self (Cinel dan Dellinger, 2007). Toll Like Receptor dilibatkan dalam pertahanan pejamu terhadap infeksi patogen berfungsi sebagai sensor utama dari produk mikroba dan mengaktifkan jalur sinyal yang akan mengeluarkan ekspresi gen imun proinflamasi (Rudiger, 2008) Sitokin yang paling menonjol adalah tumor necrosis factor alpha (TNF-α), interleukin-1(IL-1), dan IL-6. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dalam menanggapi sepsis, sistem kekebalan tubuh memulai kaskade sitokin yang ditandai dengan produksi berurutanTNFα, IL-1, IL-6 ( Pinsky, 2004 ). Endotoksin gram negatif dapat secara langsung dengan LPS dan bersama sama dengan antibodi dalam serum darah membentuk LBP, kemudian akan bereaksi dengan makrofag melalui TLR-4 dengan perantaraan CD 14 selanjutnya melalui sinyal transmembran
makrofag akan mengekspresikan berbagai imunomodulator
(Guntur A, H, 2011). Eksotoksin gram positif akan bertindak sebagai superantigen bakteri yang akan menstimulasi limfosit T tanpa melalui makrofag ataupun monosit sebagai antigen presenting cell (APC) terlebih dahulu, superantigen akan mengaktifkan hingga 20% limfosit tubuh dan dapat menstimulasi berbagai jenis mediator pro inflamasi termasuk IL-2, IFN, coloni stimulating factor (CFS) yang akan menstimulasi makrofag yang akan mengeluarkan IL-1, IL-6, TNF-α dan juga beberapa enzim termasuk
kolagenase dan
elastase yang dapat merusak jaringan ikat, molekul
prokoagulan yang dapat menyebabkan koagulasi lokal melalui jalur ekstrinsik dan aktifator plasminogen dan GM-CSM akan mengaktifkan netrofil dan komponen C3,C3a dan C5a. Netrofil akan beradhesi dengan sel sasaran yaitu endotel pembuluh darah, disertai gumpalan darah akibat endapan fibrin maka fungsi pembuluh darah akan terganggu. (Guntur A, H, 2011).
8
1.d. Jalur sinyal transduksi TLR Meskipun protein TLR dapat mengenali baik gram positif dan negatif, LPS lebih sering digunakan untuk menstimuli ketika melakukan uji jalur sinyal trasduksi untuk TLR 2 dan TLR 4, ikatan antara TLR dengan produk mikroba mengawali aktifasi jalur sinyal transduksi intraselluler yang multiple. Diantara jalur yang telah terkarakterisasi adalah aktifasi NF-Kβ, TLRs seperti kebanyakan bentuk homodimer yang akan mengawali perubahan konformasi dalam modul Toll/IL-1R sitoplasma dengan perekrutan adapter yang lebih dikenal dengan MyDD88. MyDD88 berisi domain ujung C yang berikatan dengan dengan TLR melalui modul Toll/IL-IR sitoplasma dan bagian ujung N yang disebut modul death domain. modul death domain dari MyDD88 merekrut
receptor associated kinase IL-1 pada komplek
reseptor. Receptor
kinase IL-1 pada komplek reseptor, Receptor
associated
associated kinase IL-1 kemudian akan mengalami auto fosforilasi dan disosiasi dari komplek reseptor dan merekrut reseptor TNF-α yang dihubungkan dengan faktor 6 yang pada akhirnya akan mengaktifkan kearah muara kinase, NF-Kβ yang menginduksi kinase akhirnya mengaktifasi komplek kinase penghambat kb yang secara langsung mengawali fosforilasi Ikβ pada traslokasi nukleus dari NF-Kβ dan memulai transkripsi gen, aktifasi disregulasi dari NF-Kβ oleh bakteri atupun produk bakteri akan mengawali terjadinya produksi mediator pro inflamasi yang berlebihan yang akan mengakibatkan kerusakan jaringan, kegagalan organ dan kematian yang bisa terlihat pada sepsis akibat bakteri yang berlebihan (Guntur A, H, 2011).
1.e. Manifestasi Klinis Gejala klinis sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului oleh tanda- tanda nonspesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti lelah, malaise, gelisah, atau kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus untuk infeksi dan dapat dijumpai pada banyak kondisi inflamasi non-infeksius. Tempat infeksi yang paling sering: paru, traktus digestivus, traktus urinarius, kulit, jaringan lunak, dan saraf pusat. Gejala sepsis tersebut akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pasien dengan granulositopenia
9
yang sering diikuti gejala Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) sampai dengan terjadinya syok septik (Guntur A, H, 2006).
Tanda- tanda MODS dengan terjadinya komplikasi: (Guntur A, H, 2006) 1. Sindrom distres pernapasan pada dewasa 2. Koagulasi intravaskuler 3. Gagal ginjal akut 4. Perdarahan usus 5. Disfungsi sistem saraf pusat 6. Gagal jantung 7. Kematian
Tanda klinis syok septik: (Guntur A, H, 2006) 1.
Fase dini : terjadi deplesi volume,selaput lendir kering, kulit lembab dan kering.
2.
Post resusitasi cairan : gambaran klinis syok hiperdinamik: takikardi, nadi keras dengan tekanan nadi
melebar, precordium hiperdinamik pada palpasi dan
ekstremitas hangat. 3.
Disertai tanda-tanda sepsis dan tanda hipoperfusi : takipnea, oliguri, sianosis, mottling, iskemia jari, perubahan status mental.
10
2. PARACETAMOL
Pada tahun 1971, John Vane meneliti enzim siklooksigenase-1 (COX-1) sebagai target molekul kerja Obat Anti Inflamasi Non Steroid/ OAINS. Hambatan pada COX-1 dan penurunan prostaglandin dan tromboksan menjelaskan aktivitas farmakologi analgesi, antiinflamasi, dan antipiretik. Pada tahun 2002, enzim siklooksigenase-3 (COX-3) mulai diteliti, sebagai enzim yang mengatur regulasi nyeri dan suhu di otak. Hambatan COX-3 oleh paracetamol bersifat lemah dan tidak spesifik. COX-3 bukan merupakan target kerja utama dari paracetamol, namun demikian paracetamol menghambat “canine” COX-3, dimana diperlukan indeks konsentrasi obat yang tinggi, dan penggunaan dosis 0,5-1 g per oral sulit untuk mendapatkan efek ini (Katzung 2011). Paracetamol merupakan golongan “aniline” analgesik, merupakan satu-satunya golongan obat ini yang masih digunakan sampai sekarang. Paracetamol merupakan 1 dari 3 obat teratas yang paling banyak diresepkan di Amerika. Mekanisme kerja paracetamol masih belum diketahui dengan jelas, namun kerja utamanya melalui penghambatan enzim siklooksigenase. Penelitian terakhir menyebutkan paracetamol bekerja secara selektif terhadap enzim COX-2 (Wu and Chen, 2012). Paracetamol atau acetaminofen merupakan derivat para amino fenol. Paracetamol juga merupakan metabolit aktif fenasetin, sering disebut juga analgesik coal tar. Paracetamol merupakan obat lain pengganti aspirin yang efektif sebagai obat analgesikantipiretik. Namun, seperti yang telah dikemukakan, senyawa ini hanya mempunyai efek antiradang yang lemah. Ketidakmampuan paracetamol memberikan efek antiradang itu sendiri mungkin berkaitan dengan fakta bahwa paracetamol hanya merupakan inhibitor siklooksigenase yang lemah dengan adanya peroksida konsentrasi tinggi yang ditemukan pada lesi radang. Sebaliknya menurut Marshall et.al, 1987 serta Hanel and Lands, 1982 efek antipiretiknya dapat dijelaskan dengan kemampuan menghambat siklooksigenase di otak, yang tonus peroksidanya rendah (Haydar, 2015). Paracetamol memiliki efek yang hampir sama dengan OAINS. Beberapa ahli menyebutkan paracetamol memiliki efektifitas yang sama, namun lebih aman (Jordan dan White, 2001). Paracetamol dimetabolisme di hepar, sehingga efek samping yang muncul terutama hepatotoksik, yang dapat terjadi pada pemberian dosis besar 2-3 kali dosis
11
terapi. Gangguan lambung, perdarahan, rush, methemoglobinemia jarang terjadi (Jordan dan White, 2001) Overdosis paracetamol tidak bisa dianggap hal yang wajar karena dapat menyebabkan kerusakan hati yang fatal (Haydar, 2015).
Gambar 2.1 Rumus bangun Paracetamol
Paracetamol bekerja melalui 3 mekanisme: menghambat sintesis prostaglandin di sel, menghambat enzim siklooksigenase di pusat, dan bekerja di kemoreseptor nyeri di perifer. Paracetamol dengan cepat dan lengkap di absorbsi di usus halus. Memiliki efek terapi dalam 30-60 menit dan waktu paruh 2 jam. Diekskresi melalui urin dalam 24 jam 90-100% (Summers, 2007). OAINS menghambat pelepasan prostaglandin yang berperan dalam inflamasi, nyeri, dan demam. OAINS merupakan obat yang paling banyak digunakan untuk terapi cedera jaringan lunak (Paoloni dan Orchard, 2005). OAINS bekerja dengan mencegah produksi mediator-mediator inflamasi, daripada menghambat aksi mediator-mediator yang menjadi penyebab nyeri. Sehingga pemberiannya digunakan untuk mencegah nyeri, sebelum nyeri tersebut timbul/ sebagai preemptive analgesi. Ketorolak merupakan OAINS non selektif. Bekerja melalui penghambatan enzim COX 1 dan 2. COX-1 bersifat selalu aktif, mensintesis prostaglandin untuk menjaga organ (protektif). Sedangkan COX-2 bersifat aktif bila terdapat inflamasi. Terdapat 3 kerja utama OAINS: antipiretik, pada keadaan demam hambatan prostaglandin mengembalikan pusat termoregulasi di hipotalamus ke titik normal; analgesi, efektif mengurangi nyeri yang disertai inflamasi; dan antiinflamasi, menurunkan tanda-tanda klasik inflamasi seperti tumor, rubor, kalor, dolor, dan functiolaesa (Jordan dan White, 2001).
12
2.a. Farmakodinamik Clissold pada tahun 1986 telah meninjau sifat farmakologis paracetamol dan berpendapat bahwa paracetamol mempunyai efek analgesik dan antipiretik. Namun, seperti yang telah dikemukakan, senyawa ini hanya mempunyai efek antiradang yang lemah. Ketidakmampuan paracetamol memberikan efek antiradang itu sendiri mungkin berkaitan dengan fakta bahwa paracetamol hanya merupakan inhibitor siklooksigenase yang lemah dengan adanya peroksida konsentrasi tinggi yang ditemukan pada lesi radang. Sebaliknya menurut Marshall et.al, 1987 serta Hanel and Lands, 1982 efek antipiretiknya dapat dijelaskan dengan kemampuan menghambat siklooksigenase di otak, yang tonus peroksidanya rendah (Haydar, 2015). Paracetamol merupakan penghambat biosintesis enzim prostaglandin yang lemah, sehingga efek iritasi, erosi, dan perdarahan lambung tidak terlihat, demikan juga halnya dengan gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa (Katzung, 2011) Paracetamol bekerja melalui 3 mekanisme: menghambat sintesis prostaglandin di sel, menghambat enzim siklooksigenase di pusat, dan bekerja di kemoreseptor nyeri di perifer. (Summers, 2007). OAINS menghambat pelepasan prostaglandin yang berperan dalam inflamasi, nyeri, dan demam. OAINS bekerja dengan mencegah produksi mediator-mediator inflamasi, serta menghambat mediator-mediator yang menjadi penyebab nyeri. Sehingga pemberiannya digunakan untuk mencegah nyeri, sebelum nyeri tersebut timbul / sebagai preemptive analgesi. Ketorolak merupakan OAINS non selektif. Bekerja melalui penghambatan enzim COX 1 dan 2. COX-1 bersifat selalu aktif, mensintesis prostaglandin untuk menjaga organ (protektif). Sedangkan COX-2 bersifat aktif bila terdapat inflamasi. Terdapat 3 kerja utama OAINS: antipiretik, pada keadaan demam hambatan prostaglandin mengembalikan pusat termoregulasi di hipotalamus ke titik normal; analgesi, efektif mengurangi nyeri yang disertai inflamasi; dan antiinflamasi, menurunkan tanda-tanda klasik inflamasi seperti tumor, rubor, kalor, dolor, dan functiolaesa (Jordan dan White, 2001).
13
2.b. Farmakokinetik Paracetamol diabsorpsi dengan cepat dan hampir sempurna melalui saluran cerna. Absorpsi tergantung pada kecepatan pengosongan lambung, dan kadar puncak di dalam darah biasanya tercapai dalam waktu 30-60 menit. Waktu paruh dalam plasma antara 1-3 jam setelah dosis terapeutik. Pada jumlah toksik atau adanya penyakit hati, waktu paruhnya dapat meningkat dua kali lipat atau bahkan lebih (Gunawan dan Gan Sulistia, 2009) Paracetamol terdistribusi relatif seragam hampir diseluruh cairan tubuh. Obat ini terikat pada protein plasma , namun hanya sekitar 20%-50% yang mungkin terikat pada konsentrasi plasma yang ditemukan selama intoksikasi akut. Setelah dosis terapeutik, 90%-100% obat ini ditemukan dalam urin selama hari pertama, terutama setelah konjugasi hepatik dengan asam glukoronat (sekitar 60%), asam sulfat (sekitar 35%), atau sistein (sekitar 3%), sejumlah kecil metabolit hasil hidroksilasi dan deaseilasi juga telah terdeteksi. Sebagian kecil paracetamol mengalami proses N-hidroksilasi yang diperantarai sitokrom P450 yang membentuk N-asetil-benzokuinoneimin, yang merupakan suatu senyawa antara yang sangat reaktif. Metabolit ini bereaksi dengan gugus sulfhidril pada glutation. Namun, setelah kita mengkonsumsi paracetamol dosis besar, maka metabolit ini terbentuk dalam jumlah yang cukup untuk menghilangkan glutation hepatic (Katzung, 2011) Tabel 2.2 Rekomendasi Medicine and Healthcare Products Regulatory Agency (MHRA) untuk dosis pemberian parasetamol IV
Dosis pemberian Dosis maksimum
Bayi baru lahir, bayi, balita dan anak-anak (<10 kg) Sekali infus 7,5 mg/kg (0,75 ml/kg) 30 mg/kg
Anak-anak AnakRemaja (>10 kg dan < anak,remaja dewasa 33 kg) dewasa (>33 kg kg) dan <50 kg) Sekali infus 15 mg/kg (1,5 ml/kg) 60 mg/kg (6 ml/kg) tidak melebihi 2 g (200 ml)
Sekali infus 15 mg/kg (1,5 ml/kg) 60 mg/kg (6 ml/kg) dan tidak melebihi 3 g (300 ml)
dan (>50
Sekali infus 1 g (100 ml) Tidak lebih dari 4 g (400 ml)
14
2.c. Indikasi Paracetamol memiliki efek analgesik dan antipiretik setara dengan aspirin, sehingga obat ini merupakan pengganti yang cocok untuk aspirin, walaupun perlu diingat bahwa paracetamol tidak memiliki efek anti radang. Obat ini sangat bermanfaat bagi pasien yang kedapatan dikontraindikasikan menggunakan aspirin, misalkan pada pasien ulser lambung atau jika perpanjangan waktu perdarahan akibat aspirin akan merugikan. Paracetamol sendiri tidak adekuat untuk terapi peradangan seperti artritis rematoid, walaupun dapat difungsikan sebagai analgesik tambahan untuk terapi antiradang. Untuk analgesia ringan, paracetamol merupakan obat yang lebih disukai pada penderita yang alergi dengan aspirin. (Gunawan dan Gan Sulistia, 2009) Dosis oral paracetamol sebesar 325-1000 mg (secara rectal 650 mg), dosis total harian tidak boleh melebihi 4000 mg. Untuk anak-anak, dosis tunggal sebesar 40-480 mg, begantung pada usia dan berat badan. Tidak boleh melebihi dari lima dosis yang diberikan dalam 24 jam (Haydar, 2015).
2.d. Efek Samping Pada dosis yang dianjurkan, paracetamol dapat ditolerir dengan baik. Kadang terjadi ruam kulit dan reaksi alergi berupa eritema atau urtikaria, terkadang akan lebih parah mungkin disertai demam obat dan lesi mukosa. Pada beberapa kasus tertentu, penggunaan paracetamol menyebabkan neutropenia, trombositopenia, dan pansitopenia (Katzung, 2011). Menurut Thomas, 1993 efek merugikan yang paling serius akibat overdosis asetaminofen akut berupa nekrosis hati yang fatal. Nekrosis tubulus ginjal dan koma hipoglikemik mungkin juga terjadi. Apabila toksisitas terjadi dapat diberikan antimuntah dan antidotum N-asetilsistein (Haydar, 2015).
15
3. TROMBOSIT
3.a. Produksi trombosit Trombosit dihasilkan dalam sumsum tulang melalui fragmentasi sitoplasma megakariosit.
Prekursor
megakariosit-megakarioblast
muncul
melalui
proses
diferensiasi dari sel induk hemopoietik. Megakariosit mengalami pematangan dengan replikasi inti endomitotik yang sinkron, memperbesar volume sitoplasma sejalan dengan penambahan lobus inti menjadi kelipatan duanya. Pada berbagai stadium dalam perkembangannya (paling banyak pada stadium inti delapan), sitoplasma menjadi granular dan trombosit dilepaskan. Produksi trombosit mengikuti pembentukan mikrovesikel dalam sitoplasma sel yang menyatu membentuk membran pembatas trombosit. Tiap megakariosit bertanggung jawab untuk menghasilkan sekitar 4000 trombosit. Interval waktu semenjak diferensiasi sel induk manusia sampai produksi trombosit berkisar sekitar 10 hari (Pettit dan Hoffbrand, 2002). Trombopoietin adalah pengatur utama produksi trombosit dan dihasilkan oleh hati dan ginjal. Trombosit mempunyai reseptor untuk trombopoietin dan mengeluarkannya dari sirkulasi, karena itu kadar trombopoietin tinggi pada trombositopenia akibat aplasia sumsum tulang dan sebaliknya. Trombopoietin meningkatkan jumlah dan kecepatan maturasi megakariosit. Penelitian trombopoietin sedang dijalankan. Jumlah trombosit mulai meningkat 6 hari setelah dimulainya terapi dan tetap tinggi selama 7-10 hari. Jumlah trombosit normal adalah sekitar 250 x 109/1 (rentang 150-400 x 109/1) dan lama hidup trombosit yang normal adalah 7-10 hari. Hingga sepertiga dari trombosit keluaran sumsum tulang dapat terperangkap dalam limpa yang normal, tetapi jumlah ini meningkat menjadi 90% pada kasus splenomegali berat (Pettit dan Hoffbrand, 2002).
3.b. Struktur trombosit Glikoprotein permukaan sangat penting dalam reaksi adhesi dan agregasi trombosit yang merupakan kejadian awal yang mengarah pada pembentukan sumbatan trombosit selama hemostasis. Adhesi pada kolagen dibantu oleh glikoprotein Ia (GPIa). Glikoprotein lb (terganggu pada sindrom Bernard Soulier) dan IIb/IIIa (terganggu pada trombostenia) penting dalam perlekatan trombosit pada faktor von Willebrand (VWF)
16
dan karenanya juga perlekatan pada subendotel vaskular. Tempat pengikatan untuk IIb/IIIa juga merupakan reseptor untuk fibrinogen yang penting dalam agregasi trombosit. Membran plasma berinvaginasi ke bagian dalam trombosit untuk membentuk suatu sistem membran (kanalikular) terbuka yang menyediakan permukaan reaktif yang luas tempat protein koagulasi plasma diabsorpsi secara selektif. Fosfolipid membran (yang dulu dikenal sebagai faktor trombosit 3) sangat penting dalam konversi faktor koagulasi X menjadi Xa dan protrombin (faktor 11) menjadi trombin (faktor IIa). Di bagian dalam trombosit terdapat kalsium, nukleotida (terutama adenosin difosfat (ADP) dan adenosin trifosfat (ATP), dan serotonin yang terkandung dalam granula padat elektron. Granula α spesifik (lebih sering dijumpai) mengandung antagonis heparin, faktor pertumbuhan yang berasal dari trombosit (Platelet Derived Growth Factor, PDGF), β-tromboglobulin, fibrinogen, VWF, dan faktor pembekuan lain. Granula padat lebih sedikit jumlahnya dan mengandung ADP, ATP, 5-hidroksitriptamin (5-HT), dan kalsium. Organel spesifik lain meliputi lisoson yang mengandung enzim hidrolitik dan peroksisom yang mengandung katalase. Selama reaksi pelepasan yang dijabarkan di bawah ini, isi granula dikeluarkan ke dalam sistem kanalikular (Pettit dan Hoffbrand, 2002).
3.c. Fisiologi Trombosit Pada kondisi fisiologis, trombosit berada pada keadaan istirahat dan tidak berinteraksi dengan komponen darah lainnya atau dengan endotelium. Produk produk yang aktif secara biologik yang dilepaskan oleh pembuluh darah yang terluka, seperti Adenosin diphosphat (ADP), trombin, tromboksan A2, epinefrin, dan enzim proteolitik serta stress trauma maupun kontak dengan permukaan sintetis dapat mengaktifkan trombosit. Agonis trombosit terlarut berinteraksi dengan reseptor-reseptor spesifiknya pada permukaan sel. Interaksi tersebut memacu Phospholipase C melalui protein-G. Phospholipase C yang diaktifkan membelah phosphatidilinositol 4,5-biphosphat (PIP2) menjadi Inositol 1,4,5-triphosphat (IP3) dan diasilgliserol. IP3 merupakan second messenger aktif yang memicu peningkatan kalsium intraseluler yang kemudian akan menjadi second messenger kunci pada transduksi sinyal intraseluler. Peningkatan kalsium bebas menggambarkan sebuah langkah penting pada aktivasi trombosit, termasuk juga adhesi, perubahan bentuk, sekresi, agregasi, dan aktivitas prokoagulan.
17
Bergantung pada agonis trombosit yang digunakan, kalsium dilepaskan dari tempat penyimpanan utama yaitu pada sistem tubuler densa, dan masuk ke sitosol melalui cairan ekstraseluler menyeberangi membran trombosit melewati Ca channel spesifik. Kalsium mengaktifkan phospholipase A2 yang akan membangkitkan asam arakidonat dari membran fosfolipid. Asam arakidonat kemudian akan dirubah oleh siklooksigenase menjadi endoperoksidase siklik dan akhirnya menjadi trombosan A2 yang merupakan agonis trombosit poten. Diasilgliserol mengaktivasi protein kinase C yang akan memfosforilasi berbagai jenis protein, dan akhirnya mengarah pada sekresi granul simpanan trombosit (Hawinger, 1994). Paparan terhadap matriks subendotel mengaktivasi trombosit dan koagulasi plasmatik. Pada proses lanjut, faktor von Willebrand (VWF) melekat pada kolagen subendotel dan glikosaminoglikan heparin-like. Trombosit berinteraksi dengan cara mengikat VWF melalui komplek glikoprotein (GP) Ib-IX. Interaksi ini mengakibatkan bergulungnya trombosit pada permukaan subendotel, bersamaan dengan hal tersebut, aktivasi trombosit mengarah pada paparan dan perubahan konformasional bagian ekstraseluler dari reseptor GP IIb-IIIa yang menjadi kompeten untuk fibrinogen terlarut. GP IIb-IIIa merupakan suatu reseptor integrin transmembran heterodimerik dari subunit αdan β (αIIbβ3). Proses pengikatan VWF untuk mengaktivasi GP IIb-IIIa yang irreversibel tersebut melengkapi proses adhesi trombosit pada subendotelium di bawah tingkat pemotongan yang tinggi. Dalam pemotongan yang rendah inisiasi adhesi dimediasi melalui pengikatan kolagen pada GP Ia-IIa (α2β1), fibrinogen permukaan pada GP IIa-IIIa, atau pengikatan GP IIa-IIIa yang teraktivasi secara konformasional terhadap VWf atau terhadap fibrinogen. Fibrinogen terlarut bertindak sebagai ligan di antara GP IIa-IIIa teraktivasi pada trombosit di sekitarnya dan menyebabkan terjadinya agregasi. Agregasi trombosit membantu ekspresi lebih lanjut molekul adhesi, seperti misalnya trombospondin. Pengikatan fibrinogen memicu terjadinya perubahan konformasional lebih lanjut dari reseptor yang mengakibatkan timbulnya LigandInduced Binding Sites (LIBS). Sekresi terjadi ketika konsentrasi kalsium sitolitik melebihi tingkat tertentu yang lebih tinggi dibanding kadar yang dibutuhkan untuk menginduksi perubahan bentuk dan aktivasi GP IIa-IIIa. Substansi yang dilepaskan pada saat sekresi trombosit akan membantu koagulasi (fibrinogen yang mengandung αgranul, VWf, trombosit faktor 4, β-tromboglobulin, trombospondin, Trombosit Derived
18
Growth Factor (TDGF), corpus densa yang mengandung ADP, ATP, ion kalsium, serotonin). P-selectin (CD62P) merupakan suatu reseptor adhesi yang terletak pada membran sebelah dalam α-granul pada trombosit istirahat. P-selectin dilepaskan pada permukaan trombosit yang teraktivasi pada saat membran α-granul internal berintegrasi ke dalam membran sitoplasma dan berperan sebagai marker sekresi trombosit. Pselectin berfungsi sebagai reseptor pengikatan trombosit teraktivasi pada leukosit (Hawinger, 1994). Selama proses aktivasi polimerasi filamen aktin dan kerabatnya dengan miosin memacu terjadi perubahan dari bentuk diskoid menjadi bentuk spherik dengan pseudopodia yang memanjang. Aktivasi trombosit dimulai bersama dengan mobilisasi kalsium dan fosforilasi rantai ringan miosin melalui jalur calmodulin-dependen sebagai suatu langkah awal sinyal transduksi. Myosine light chain kinaseberperan penting dalam reorganisasi sitoskeleton pada saat aktivasi. Trombosit teraktivasi memaparkan fosfolipid
bermuatan
negatif
pada
permukaannya
yang
mengikat
penyusun
protrombinase dan kompleks tenase. Kemudian mengaktivasi trombosit membantu langkah-langkah sistem koagulasi plasmatik yang berperan dalam pembentukan plak hemostatik fibrinous. AMP siklik merupakan sesuatu second messenger inhibitor yang berperan mengurangi reaktivitas trombosit dengan cara menurunkan ikatan agonis terhadap reseptor membran trombosit, dengan cara menghambat pembentukan molekul sinyal teraktivasi pada jalur fosfolinositide, dengan cara mengurangi konsentrasi kalsium intraseluler lewat stimulasi pemecahan kalsium menjadi sistem tubuler densa dan pelepasan kalsium, serta dengan cara menghambat aktivitas myosine light chain kinase (Pettit dan Hoffbrand, 2002). Aktivasi trombosit agonis berinteraksi dengan reseptor spesifiknya pada permukaan sel. Interaksi reseptor agonis menstimulasi Phospholipase C (PLC). PLC yang teraktivasi memecah phosphatidilinositol 4,5 biphosphat (PIP2) menjadi inositol 1,4 triphosphat (IP3) dan diasilgliserol (DAG). IP3merupakan second messenger aktif yang memicu meningkatnya kalsium intraseluler. Kalsium dilepaskan dari sistem tubuler densa (dt) dan masuk ke sitosol dari cairan ekstrasel melalui membran trombosit via Ca-channel spesifik. Meningkatnya kalsium bebas sitosol mempunyai langkah penting selamaaktivasi trombosit. DAG berkontribusi terhadap aktivasi trombosit dengan mengaktivasi proteinkinase. Kalsium mengaktivasi Phospholipase A2(PA2)
19
yang menghasilkan asam arakidonat dari membran fosfolipid. Asam arakidonat selanjutnya oleh cyclooksigenase (COX) diubah menjadi tromboxan A2 suatu trombosit agonis yang poten. Stimulasi autokrin dibawa oleh Tromboksan A2 dan Trombosit Activating Factor (Pettit dan Hoffbrand, 2002). Fungsi utama trombosit adalah pembentukan sumbat mekanik selama respons hemostasis normal terhadap cedera vaskular. Tanpa trombosit, dapat terjadi kebocoran darah spontan melalui pembuluh darah kecil. Reaksi trombosit berupa adhesi, sekresi, agregasi, dan fusi serta aktivitas prokoagulannya sangat penting untuk fungsinya. Adhesi trombosit dalah perlekatan antara trombosit dengan permukaan bukan trombosit seperti jaringan subendotel.
Agregasi trombosit adalah perlekatan antara sesama
trombosit. Proses ini dirangsang oleh beberapa substansi misalnya adenosin diphosphat (ADP), kolagen, epinefrin, trombin dan asam arakidonat. Masing-masing aktivator mempunyai reseptor pada permukaan trombosit. Reseptor untuk trombin disebut protease-activated receptor 1(PAR-1), sedang untuk ADP dikenal 3 reseptor yaitu P2X1, P2Y1dan P2TAC. Apabila trombosit dirangsang oleh ADP, maka akan terjadi perubahan pada membran trombosit sehingga reseptor fibrinogen melekat pada trombosit. Pada agregasi trombosit fibrinogen menjadi jembatan antar trombosit (Ashby dan Colman, 2001). Faktor von Willebrand (VWF) juga terlibat dalam adhesi trombosit pada dinding pembuluh darah dan pada trombosit lain (agregasi). VWF juga membawa faktor VIII (lihat di bawah) dan dulu dikenal sebagai antigen yang terkait dengan faktor VIII (VIIIRag). Faktor ini adalah molekul multimerik besar yang kompleks (berat molekul (BM) 0,8-20 x 106) yang tersusun atas beberapa rantai subunit yang bervariasi dari dimer (BM 5 x 105) sampai multimer (BM 20 x 106) yang terikat dengan ikatan disulfida. VWF dikode oleh suatu gen pada kromosom 12 dan disintesis oleh sel endotel dan megakariosit. VWF disimpan dalam badan Weibel-Palade pada sel endotel dan dalam granula αyang spesifik untuk trombosit. Pelepasan VWF dari sel endotelterjadi di bawah pengaruh beberapa hormon. Stress dan olahraga atau pemberian infus adrenalin atau
desmopresin
(1-deamino8-D-arginin
vasopresin,
DDAVP)
menyebabkan
peningkatan yang cukup besar dalam kadar VWF dalam darah (Hawinger, 1994). Pemajanan kolagen atau kerja trombin menyebabkan sekresi isi granula trombosit, yang meliputi ADP, serotonin, fibrinogen, enzim lisosom, β-tromboglobulin, dan faktor
20
penetral heparin (faktor trombosit, faktor trombosit 4). Kolagen dan trombin mengaktifkan sintesis prostaglandin trombosit, terjadi pelepasan diasilgliserol (yang mengaktifkan fosforilasi protein melalui protein kinase C) dan inositol trifosfat (yang menyebabkan pelepasan ion kalsium intrasel) dari membran, yang menyebabkan pembentukan suatu senyawa yang labil yaitu tromboksan A2, yang menurunkan kadar adenosin monofosfat siklik (cAMP) dalam trombosit serta mencetuskan reaksi pelepasan. Tromboksan A2 tidak hanya memperkuat agregasi trombosit, tetapi juga mempunyai aktivitas vasokonstriksi yang kuat. Reaksi pelepasan dihambat oleh zat-zat yang meningkatkan kadar cAMP trombosit. Salah satu zat yang berfungsi demikian adalah prostasiklin (prostaglandin I2, PGI2) yang disintesis oleh sel endotel vaskular. Prostasiklin merupakan inhibitor agregasi trombosit yang kuat dan mencegah deposisi trombosit pada endotel vaskular normal (Hawinger, 1994). ADP yang terikat pada reseptor (integrin, aggregin) di permukaan trombosit mengaktifkan enzim fosfolipase A untuk memecah fosfolipin membran trombosit sehingga asam arakidonat dilepaskan. Enzim siklooksigenase-1 (COX-1, prostaglandin sintase) mengkatalisis transformasi asam arakidonat menjadi prostaglandin G2(PGG2), lalu enzim peroksidase mengubah PGG2 menjadi PGH2 (prostaglandin H2). Selanjutnya PGH2 akan diubah oleh enzim tromboksan sintetase menjadi tromboksan A2 (TxA2). Efek biologik tromboksan A2 menyebabkan pelepasan granula sekunder dari trombosit, merangsang sekresi ADP oleh granula padat trombosit sendiri sehingga menjadi agregasi trombosit irreversible. ADP dan tromboksan A2 yang dilepaskan menyebabkan makin banyak trombosit beragregasi pada tempat cedera vaskular. ADP menyebabkan trombosit membengkak dan mendorong membran trombosit pada trombosit yang berdekatan untuk melekat satu sama lain. Bersamaan dengan itu terjadi reaksi pelepasan lebih lanjut yang melepaskan lebih banyak ADP dan tromboksan A2 yang menyebabkan agregasi trombosit sekunder yang cukup besar untuk menyumbat daerah kerusakan endotel (Pettit dan Hoffbrand, 2002).
21
Gambar 2.2 Pola kurva agregasi trombosit (Lisyani B, 2006)
Keterangan gambar ; 1. Garis kurva C1adalah garis kurva TAT dengan induktor NaCl dengan MAX % sebesar 1,8. 2. Garis kurva C2 adalah garis kurva TAT dengan induktor ADP 2,0 µM dengan MAX % sebesar 45.5. 3. Garis kurva C3adalah garis kurva TAT dengan induktor ADP 5,0 µM dengan MAX % sebesar 68.2. 4. Garis kurva C4adalah garis kurva TAT dengan induktor ADP 10,0 µM dengan MAX % sebesar 80,9.
Berdasarkan nilai rujukan test agregasi trombosit, Nilai max % pada Subjek Sehat Usia 19-39 tahun dengan rangsangan ADP 10,0 µM : 66,3-97,7 max % adalah pola kurva agregasi primer-sekunder irreversible (monofasik) atau normo agregasi. Perlu diketahui terdapat beberapa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi agregasi trombosit antara lain : 1.
Beberapa obat-obat anestesi inhalasi maupun intravena dikatakan mempunyai
tendensi menghambat agregasi trombosit dengan potensinya masing-masing.
22
2.
Obat-obat anti oksidan yang sering dikemukan adalah peran vitamin E dalam
menghambat agregasi trombosit dengan menurunkan stimulasi protein kinase dalam proses agregasi (Freedman dan Keaney 2001). 3. Makanan, sudah banyak penelitian yang mengemukakan bahwa coklat dan bawang mempunyai efek menurunkan prosentase total agregasi trombosit, sementara diet ikan berlebih dapat menyebabkan penurunan agregasi trombosit karena kandungan rantai Carbon-19 atau Carbon-21 asam lemak atau eicopentonic acid (asam lemak omega-3) akan mempengaruhi asam arakidonat dan produksi prostaglandin yang inaktif (Rahman dan Billington, 2000). 4. Pemakaian koloid berlebihan dan tranfusi darah akan mempengaruhi proses agregasi. 5. Diabetes mellitus, akan terjadi peningkatan gambaran permukaan trombosit dari glycoprotein Ib (GP Ib) pada pasien-pasien dengan diabetes mellitus mengalami peningkatan, yang akan memediasi pengikatan dengan factor von Willebrand dan GP IIb/IIIa, yang selanjutnya akan membuat terjadinya interaksi platelet dan fibrin yang menggambarkan jalur akhir (common pathway) dari aktivasi platelet. Hal ini akan memicu terjadinya agregasi trombosit (Beckman dan Creager, 2002). 6. Nonaspirin Nonstroidal anti-inflammatory Drugs (NSAIDs) menghambat platelet cyclooxygenase, sehingga menghambat pembentukan thromboxan A2. Obat-obat ini menghasilkan kecendrungan perdarahan sistemik karena mempengaruhi thromboxan A2. Dan konsekuensinya akan memperpanjang waktu perdarahan (Schafer, 1999). 7. Pasien dengan hipertensi terjadi agregasi trombosit berukuran besar, adhesi dari endotel dan peningkatan risiko-risiko aterogenik. Nitrous Oxide (NO) dihasilkan dari platelet NO synthase, berarti sama saja dengan terjadinya sintesis NO dari endotel, yang menghambat agregasi platelet dengan meningkatkan kadar cyclic GMP sitoplasma dan memberikan kontribusi dari jalur (major pathway) dari struktur antitrombogenik pada endotel (Carmilleti et al, 2001). 8. Pada pasien dengan hiperkolesterol memiliki kadar GPII b/IIIa yang lebih besar dari pada pasien dengan kadar lipid yang normal (Labios et al, 2005).
23
B. Penelitian Yang Relevan. Musterhjelm E, dkk pada tahun 2006 meneliti tentang karakteristik paracetamol intravena dan interaksinya dengan diklofenak dan parexocib terhadap penghambatan aktifitas agregasi trombosit pada orang sehat. Secara signifikan pemberian Paracetamol intravena menghambat aktifitas agregasi trombosit melalui penghambatan asam arachidonat dan Tromboxan A2. (Munsterhjelm et al. 2006) Sementara Musterhjelm E, dkk tahun 2005 sebelumnya
meneliti efektifitas
pemberian parasetamol berdasarkan dosis terhadap agregasi trombosit pada orang sehat, hasilnya secara signifikan parasetamol menghambat agregasi trombosit dalam kurun waktu 90 menit setelah pemberian intravena. Paracetamol memiliki sifat dose dependent terhadap penghambatan agregasi trombosit. (Munsterhjelm et al. 2005)
24
C. Kerangka Pikir.
Bakteri endotoxin
eksotoxin
LPS
Super antigen makrofag T helper 1
IL-6 ↑
IL-1 ↑
INF-α ↑
TNF-α ↑
disfungsi endotel adhesi trombosit ↑↑
ADP VWF
asam arachidonat ↑↑ ↑ Paracetamol
Keterangan : : proses
COX
Keterangan Prostaglandin n Hipotalamus
Demam
: menghambat
Tromboxan A2 ↑ Agregasi trombosit ↑
↑
: meningkat
↓
: menurun : yang diteliti
Trombus ↑
: tidak diteliti Gambar 2.3 Kerangka Pikir
ILs ↑ ↑ 25
D. Hipotesis. Ada perbedaan pengaruh pemberian paracetamol intravena antara 10 dan 20 mg/kgBB terhadap aktifitas agregasi trombosit pada pasien SIRS atau sepsis.
26