BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian Manfaat Kamus besar bahasa indonesia mendefinisikan ”manfaat” sebagai ”guna,
faedah”. Oleh karena itu berkaitan dengan penelitian ini, manfaat merupakan bentuk kegunaan variabel satu terhadap terwujudnya variabel lain. Dalam hal ini, penelitian akan diarahkan pada bagaimana manfaat struktur pengendalian intern atas pelaporan pelaksanaan pemungutan PPN dari PKP terhadap pencapaian target penerimaan. 2.2
Struktur Pengendalian Intern Setiap organisasi tak terkecuali pemerintah memerlukan suatu alat
pengendalian yang berfungsi sebagai alat untuk mengelola organisasi secara efektif dalam mencapai tujuannya. Pimpinan organisasi selalu berupaya untuk mengembangkan cara-cara pengendalian yang lebih baik bagi organisasi yang dikelolanya, itu sebabnya pengendalian intern dalam pemerintah memiliki kedudukan yang sangat penting. Kebijakan dan prosedur seringkali disebut pengendalian, dan secara bersama-sama membentuk struktur pengendalian intern. Didalam lingkungan pemerintahan struktur pengendalian intern sering disebut Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) yang merupakan adaptasi dari COSO (Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission). Maka dengan demikian terlebih dahulu harus mengetahui apa pengertian, elemen, tujuan, dan pentingnya pengendalian serta keterbatasannya. pengendalian intern diterapkan untuk mencapai tujuan dan meminimalkan hal-hal yang terjadi diluar rencana, pengendalian intern juga meningkatkan
efisiensi, mencegah timbulnya kerugian atas aktiva, mempertinggi tingkat keandalan data dalam laporan keuangan dan mendorong dipatuhinya hukum dan aturan yang telah ditetapkan. Jadi pada dasarnya struktur pengendalian intern merupakan serangkaian tindakan yang bersifat aktif, karena mencari tindakan perbaikan apabila terjadi hal-hal yang menyimpang dari apa yang ditetapkan. 2.2.1 Pengertian Pengendalian Intern Sebelum menjelaskan pengertian struktur pengendalian intern, ada baiknya penulis membahas pengertian pengendalian intern terlebih dahulu. Pengertian pengendalian intern dapat dilihat dalam arti sempit dan luas. Dalam Arti sempit pengendalian intern pada awalnya dikenal sebagai internal check, yaitu pengecekan penjumlahan, baik itu penjumlahan datar maupun penjumlahan menurun yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang bekerja secara indepanden satu dengan yang lainnya, dengan tujuan untuk memperoleh kebenaran angka. Hal tersebut sesuai dengan apa yang telah dikutip dari Zaki Baridwan (1999;7) dalam bukunya Intermediate Accounting mengatakan: “Pengendalian intern adalah merupakan pengecekan penjumlahan, baik penjumlahn mendatar (cross footing) maupun penjumlahan menurun (footing).” Pada tahun 1972, konsep pengendalian melalui internal check telah berubah menjadi sistem pengendalian (internal control system) sebagaimana diumumkan oleh American Institute of Certified Public Accountants (AICPA) dalam SAS No. 1 Codification of Standard and Procedures. Tahun 1989, konsep pengendalian intern melalui sistem pengendalian intern telah berubah menjadi Struktur Pengendalian Intern (Internal Control Structure) yang ditetapkan melalui SAS No. 555 yang diumumkan oleh AICPA dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1990.
Pengendalian intern Menurut Ikatan Akuntansi Indonesia (2001;319.2) dalam Standar Profesi Akuntansi Publik (SPAP) adalah sebagai berikut: ”Pengendalian intern adalah suatu proses yang dijalankan oleh dewan komisaris, manajemen, dan personil lainnya yang memberikan keyakinan yang memadai tentang pencapaian tiga golongan berikut ini: keandalan pelaporan keuangan; efektivitas dan efisiensi operasi; dan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.” Sedangkan Menurut pendapat Warren, Reeve, dan Fess (2006;235) dalam bukunya Pengantar Akuntansi mengatakan: “Pengendalian
intern
adalah
kebijakan
dan
prosedur
yang
melindungi aktiva perusahaan dari kesalahan pengguna, memastikan bahwa informasi usaha yang disajikan akurat dan meyakinkan bahwa hukum serta peraturan telah diikuti.” Dalam definisi tersebut diatas terdapat tiga kata penting yaitu kebijakan, prosedur dan tujuan organisasi. Kebijakan adalah pedoman yang dibuat manajemen untuk mencapai tujuan organisasi. Prosedur adalah langkah-langkah tertentu yang harus diamati dalam pelaksanaan suatu kebijakan dan tujuan organisasi merupakan akhir suatu kegiatan atau hasil yang diharapkan dapat tercapai. Bagi perusahaan secara keseluruhan tujuan memberikan jawaban atas pertanyaan “kemana organisasi akan berjalan dimasa depan dan bagaimana organisasi mencapai tujuan” Jadi Secara umum, Pengendalian Intern merupakan bagian dari masingmasing sistem yang dipergunakan sebagai prosedur dan pedoman pelaksanaan operasional perusahaan atau organisasi tertentu. Sedangkan pengendalian intern dalam arti luas timbul karena pengujian intern saja tidak cukup untuk menjamin ketelitian. Dalam data pembukuan masih diperlukan aspek-aspek lainnya untuk melindungi harta perusahaan.
Sedangkan Sistem atau Struktur
Pengendalian Intern merupakan
kumpulan dari pengendalian intern yang terintegrasi, berhubungan dan saling mendukung satu dengan yang lainnya. Di lingkungan perusahaan, pengendalian intern didifinisikan sebagai suatu proses yang diberlakukan oleh pimpinan (dewan direksi) dan management secara keseluruhan, dirancang untuk memberi suatu keyakinan akan tercapainya tujuan perusahaan yang secara umum dibagi kedalam tiga kategori, yaitu : a) Keefektifan dan efisiensi operasional perusahaan b) Pelaporan Keuangan yang handal c) Kepatuhan terhadap prosedur dan peraturan yang diberlakukan Di dalam buku Mulyadi (1992;68) yang berjudul Pemeriksaan Akuntansi, berpendapat bahwa : “Struktur pengendalian intern suatu organisasi terdiri dari kebijakan dan prosedur yang diciptakan untuk memberikan jaminan yang memadai agar tujuan organisasi dapat dicapai.” AICPA dalam bukunya Sistem Akuntansi, Mulyadi (2001;163) mengatakan : “Sistem pengendalian intern meliputi struktur organisasi, metode dan ukuran-ukuran yang dikoordinasikan untuk menjaga kekayaan organisasi, mengecek ketelitian dan keandalan data akuntansi, mendorong
efisiensi
dan
mendorong
dipatuhinya
kebijakan
manajemen yang telah ditetapkan.” Sedangkan di dalam lembaga pemerintah atau sering dikenal dengan sektor publik, struktur pengendalian intern sektor publik disebut dengan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). SPIP
mencakup atau mengadopsi
pengertian diatas akan tetapi yang membedakan adalah penyelanggaraannya secara menyeluruh dilingkungan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah.
2.2.2 Tujuan Pengendalian Intern Menurut Alvin A. Arens dan James K. Loebbeche, (2000;289) tujuan pengendalian intern adalah: ” 1. Reliability of Financial Reporting 2. Efficiency and Effectiveness of Operations 3. Complish with Applicable and Regulations” Sedangkan menurut Warren, Reeve,dan Fess (2006;236) mengemukakan tujuan pengendalian intern dalam bukunya Pengantar Akuntansi, yaitu sebagai berikut: “Pengendalian intern memberikan jaminan yang wajar bahwa: 1. Aktivitas dilindungi dan digunakan untuk pencapaian tujuan usaha. 2. Informasi bisnis akurat. 3. Karyawan memenuhi peraturan dan ketentuan.”
Tujuan pengendalian intern adalah untuk memberikan keyakinan yang memadai dalam mencapai tujuan: 1) Keefektifan dan keefisienan operasi perusahaan Pengendalian adalah alat pencegah kegiatan dan pemborosan yang tidak perlu, dan mengurangi sumber daya yang tidak efisien dan tidak efektif sehingga tujuan organisasi tidak tercapai. 2) Keandalan laporan keuangan Pengendalian intern dalam suatu organisasi dimaksudkan untuk menjamin keandalan laporan keuangan yang disajikan. 3) Ketaatan terhadap peraturan dan undang-undang yang berlaku
Ada banyak hukum dan peraturan yang harus ditaati oleh organisasi, karena hukum dan peraturan merupakan landasan dan pedoman bagi organisasi dalam melakukan aktivitasnya. 2.2.3 Elemen-Elemen Pengendalian Intern Untuk mencapai tujuan dari struktur pengendalian intern yang diharapkan maka
perlu
diperhatikan
unsur-unsur
yang
terkandung dalam
struktur
pengendalian intern tersebut. Adapun unsur sistem pengendalian intern yang memadai pada awalnya terdiri dari lingkungan, struktur akuntasi dan prosedur. Sesuai dengan yang
dikutip dalam Standar Professional Akuntan Publik
(SPAP) (1994;319)bahwa: “Pembagian struktur pengendalian intern, ada tiga komponen yaitu: 1. Lingkungan pengendalian, 2. Sistem akuntansi, 3. Prosedur pengendalian.” Sedangkan Unsur-unsur Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) adalah Lingkungan Pengendalian, Penilaian Risiko, Kegiatan Pengendalian, Informasi dan Komunikasi, serta Pemantauan Pengendalian Intern. Sesuai dengan pendapat yang dikutip dari Wareen, Reeve, dan Fess (2006;237) dalam buku Pengantar Akuntansi sebagai berikut: “Unsur-unsur pengendalian intern adalah sebagai berikut: 1. Lingkungan pengendalian, 2. Penilaian risiko, 3. Aktivitas pengendalian, 4. Informasi dan Komunikasi, 5. Pemantauan.”
2.2.3.1 Lingkungan Pengendalian (Control Environment) Merupakan alat untuk menciptakan suasana pengendalian dalam suatu organisasi dan mempengaruhi kesadaran personil organisasi tentang pengendalian. Ada beberapa komponen dalam pengendalian lingkungan antara lain : 1. Filosofi dan Gaya Operasi manajemen Filosofi manajemen adalah seperangkat keyakinan dasar yang menjadi pedoman organisasi dan karyawannya. Gaya operasi mencerminkan sikap dan tindakan manajemen tentang bagaimana operasi suatu organisasi harus dilaksanakan. 2. Integritas dan Nilai-Nilai Etis atau Etika Integritas dan nilai-nilai adalah sebuah produk dan standar etika dan perilaku entitas. Dan bagaimana standar tersebut dikomunikasikan dan dijalankan dalam praktik. 3. Komitmen Terhadap Kompetensi Kompetensi adalah pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas. Komitmen terhadap kompetensi dari pekerjaan tertentu dan bagaimana tindakan tersebut berubah menjadi keterampilan dan pengetahuan yang diisyaratkan. 4. Partisipasi Dewan komisaris atau Panitia Audit Dewan komisaris yang efektif adalah independent dari manajemen. Komite atau panitia audit biasanya dibebani tanggung jawab mengawasi proses pelaporan keuangan, mencakup pengendalian intern dan ketaatan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. Agar lebih efektif, komite audit harus memelihara komunikasi yang terus menerus baik dengan auditor internal maupun auditor eksternal.
5. Struktur Organisasi Struktur organisasi mencerminkan garis wewenang dan tanggung jawab yang ada untuk mencapai tujuan perusahaan. 6. Pemberian Wewenang dan Tanggung Jawab Metode ini mempengaruhi pemahaman terhadap hubungan pelaporan dan tanggung jawab yang ditetapkan dalam perusahaan. 7. Kebijakan dan Praktek Sumber Daya Manusia Aspek paling penting dalam pengendalian intern adalah karyawan. Jika karyawan kompeten dan dapat dipercaya, maka tujuan perusahaan dapat tercapai. Karyawan yang tidak kompeten dan tidak jujur, meskipun terdapat pengendalian yang secara teoritis baik, dapat menghasilkan laporan-laporan yang tidak ada nilai gunanya. 8. Kesadaran Pengendalian Kesadaran pengendalian dapat tercermin dari reaksi yang ditunjukkan oleh manajemen dari berbagai jenjang organisasi atas kelemahan pengendalian yang ditunjukkan oleh auditor internal atau auditor independen. Jika manajemen segera melakukan tindakan koreksi atas temuan kelemahan pengendalian yang dikemukakan oleh auditor internal atau auditor independen. Hal ini merupakan petunjuk adanya komitmen manajemen terhadap penciptaan lingkungan pengendalian yang baik. Diantara komponen tersebut salah satu faktor yang berpengaruh terhadap lingkungan pengendalian adalah filosofi manajemen (manajemen tunggal dalam persekutuan atau manajemen bersama dalam perseroan) dan gaya operasi manajemen (manajemen yang progresif atau yang konservatif), struktur organisasi (sentralisasi atau desentralisasi) serta praktek kepersonaliaan. Lingkungan pengendalian ini amat penting karena menjadi dasar keefektifan unsur-unsur pengendalian intern yang lain. Manajemen dan pegawai atau karyawan seharusnya mempunyai komitmen dan sikap yang positif dan konstruktif terhadap
pengendalian
intern
serta
kesungguhan
manajemen.
Kunci
lingkungan
pengendalian adalah: Integritas dan Etika Komitmen terhadap Kompetensi Struktur Organisasi Pendelegasian Wewenang dan Tanggung Jawab Praktik dan Kebijakan Sumber Daya Manusia yang Baik
2.2.3.2 Penilaian Risiko (Risk Assesment) Semua organisasi memiliki risiko, dalam kondisi apapun risiko pasti ada dalam suatu aktivitas, baik aktivitas yang berkaitan dengan bisnis (baik profit ataupun non profit) maupun non bisnis. Suatu risiko yang telah diidentifikasi dapat dianalisis dan dievaluasi sehingga dapat diperkirakan intensitas dan tindakan yang dapat meminimalkan risiko tersebut. Sebuah pengendalian intern yang baik memungkinkan penaksiran risiko yang dihadapi oleh organisasi baik yang berasal dari dalam maupun dari luar organisasi. Tujuan dari penilaian risiko adalah untuk mengidentifikasi, menganalisi, dan mengelola risiko yang berdampak terhadap tujuan organisasi. Langkah-langkah dalam penaksiran risiko adalah sebagai berikut :
Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi risiko
Menaksir risiko yang berpengaruh cukup signifikan
Menentukan tindakan yang dilakukan untuk memanage risiko.
Risiko yang dapat timbul atau berubah karena keadaan berikut ini: a. Perubahan dalam lingkungan operasi Perubahan peraturan dan lingkungan operasi dapat mengakibatkan perubahan dalam tekanan persaingan dan risiko yang berbeda secara signifikan.
b. Personel baru Personel baru mungkin memiliki pandangan atau pengertian yang lain atas pengendalian intern yang sedang diterapkan didalam perusahaan. c. Sistem informasi yang baru atau sedang diperbaiki Perubahan pesat dalam sistem informasi dapat merubah risiko yang berhubungan dengan pengendalian intern. d. Teknologi baru Teknologi baru yang ditetapkan pada proses produksi dan sistem informasi dapat merubah risiko yang sebelumnya yang telah diperkirakan pada pengendalian intern. e. Lini produk, produk atau aktivitas baru Bidang usaha atau transaksi yang dikenal secara samar oleh perusahaan akan menimbulkan risiko baru yang sebelumnya telah diperkirakan oleh pengendalian intern. f. Pertumbuhan yang pesat Pertumbuhan pesat operasi dapat meningkatkan risiko akibat dari pengendalian yang sudah tidak berfungsi secara memadai. g. Operasi luar negeri Perluasan daerah usaha dapat menimbulkan risiko yang unik yang dapat menimbulkan dampak tehadap pengendalian intern. h. Standar akuntansi baru Perubahan pesat dalam standar akuntansi dapat merubah risiko yang berhubungan dengan pengendalian intern.
2.2.3.3 Aktivitas Pengendalian (Control Activities) Aktivitas pengendalian dapat digolongkan dalam dua (2) kategori, yaitu : 1. Aktivitas Pengendalian yang berhubungan dengan Laporan Keuangan digolongkan menurut penggunaaannya dalam sebuah sistem, antara lain : a. Preventive Control, merupakan pengendalian pencegahan terhadap peristiwa yang kurang baik seperti kerugian atau kesalahan yang terjadi. b. Detective
Control,
merupakan
aktivitas
untuk
menemukan
kejadian/peristiwa yang kurang baik seperti pemborosan operasional. c. Corrective Control, merupakan aktivitas
yang dirancang untuk
memperbaiki masalah – masalah yang ditemukan melalui Detective Control d. Security Measures, merupakan ukuran keamanan yang dimaksudkan untuk menyediakan perlindungan yang memadai terhadap akses dan penggunaan aset dan data arsip 2. Aktivitas Pengendalian yang berkenaan dengan pengolahan informasi yang digolongkan menurut aplikasi atau penerapannya dalam sebuah sistem, antara lain: a. General
Controls
(pengendalian
umum),
merupakan
aktivitas
pengendalian terhadap semua aktivitas yang berhubungan dengan Sistem Informasi Akuntansi dan Asset b. Application Controls (pengendalian aplikasi), merupakan aktivitas pengendalian yang berhubungan dengan transaksi atau tugas akuntansi secara spesifik. Aktivitas pengendalian merupakan kebijakan, prosedur, teknik, dan mekanisme
yang digunakan untuk menjamin arahan manajemen telah
dilaksanakan. Aktivitas pengendalian seharusnya efisien dan efektif untuk mencapai tujuan pengendalian itu sendiri. Aktivitas pengendalian meliputi:
Pemisahan fungsi/tugas/wewenang yang cukup
Otorisasi transaksi dan aktivitas lainnya yang sesuai
Pendokumentasian dan pencatatan yang cukup
Pengendalian secara fisik terhadap aset dan catatan
Evaluasi secara independen atas kinerja
Pengendalian terhadap pemrosesan informasi
Pembatasan akses terhadap sumber daya dan catatan
2.2.3.4 Informasi dan Komunikasi (Information and Communication) Informasi dan komunikasi merupakan elemen yang penting dari pengendalian intern perusahaan atau organisasi lainya termasuk organisasi pemerintah. Informasi tentang lingkungan pengendalian, penilaian risiko, prosedur pengendalian dan monitoring diperlukan oleh manajemen. pedoman operasional dan jaminan ketaatan dengan pelaporan hukum dan peraturanperaturan yang berlaku pada organisasi tersebut. Informasi juga diperlukan dari pihak luar organisasi. Manajemen dapat menggunakan informasi jenis ini untuk menilai standar eksternal. Hukum, peristiwa dan kondisi yang berpengaruh pada pengambilan keputusan dan pelaporan eksternal. Komunikasi mencakup penyediaan pemahaman tentang peran dan tanggung jawab individu berkaitan dengan pengendalian intern terhadap laporan keuangan.
2.2.3.5 Pemantauan (Monitoring) Pemantauan terhadap sistem pengendalian intern akan menemukan kekurangan serta dapat meningkatkan efektivitas pengendalian. Pengendalian intern dapat di monitor dengan baik dengan cara penilaian khusus atau sejalan dengan usaha manajemen. Usaha pemantauan yang terakhir dapat dilakukan dengan cara mengamati perilaku karyawan atau tanda-tanda peringatan yang diberikan oleh sistem akuntansi.
Pemantauan seharusnya menilai kualitas kinerja sepanjang waktu dan menyakinkan bahwa temuan-temuan audit dan review lainnya diselesaikan dengan tepat. Hal ini meliputi:
Mengevaluasi temuan-temuan, review, rekomendasi audit secara tepat.
Menentukan tindakan yang tepat untuk menanggapi temuan dan rekomendasi dari audit dan review.
Menyelesaikan dalam waktu yang telah ditentukan tindakan yang digunakan untuk menindaklanjuti rekomendasi yang menjadi perhatian manajemen Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa Kelima
komponen ini terkait satu dengan yang lainnya, sehingga dapat memberikan kinerja sistem yang terintegrasi yang dapat merespon perubahan kondisi secara dinamis. struktur Pengendalian Intern terjalin dengan aktivitas oprasional perusahaan, dana akan lebih efektif apabila pengendalian dibangun ke dalam infrastruktur perusahaan, untuk kemudian menjadi bagian yang paling essensial dari perusahaan (organisasi). Pada dasarnya unsur-unsur pengendalian intern tersebut harus saling melengkapi, sebab apabila salah satu unsur lemah maka akan menjadi suatu hambatan untuk terciptanya suatu sistem pengendalian intern yang memuaskan.
2.2.4 Pentingnya Pengendalian Intern Pertumbuhan yang terus menerus dari organisasi mengakibatkan semakin kompleksnya kegiatan dari organisasi tersebut yang harus ditangani oleh pimpinan organisasi. hal ini akan mempermudah timbulnya kesulitan-kesulitan bagi pimpinan untuk melakukan pengawasan yang efektif. Dilain pihak, pimpinan dituntut untuk bekerja lebih ekonomi dan efektif dalam rangka pencapaian tujuan organisasi.
Pada perkembangannya, pimpinan dari organisasi tidak lagi dapat menjalani semua fungsi-fungsi manajemen yang ada. Fungsi pengawasan adalah salah
satu
fungsi
untuk
meminimalisir
adanya
kesempatan
dalam
menyembunyikan hal-hal yang negatif. Pengawasan juga membantu manajemen untuk menyakinkan bahwa operasi organisasi berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Pengawasan dilakukan untuk memperkecil risiko adanya penyelewengan yang mungkin terjadi. Ada dua macam pengendalian intern yang dapat dilaksanakan seorang pemimpin yaitu: 1. Pengendalian intern langsung, adalah pengendalian secara langsung dilaksanakan oleh seorang pimpinan. 2. Pengendalian intern tidak langsung, adalah pengendalian yang dilakukan oleh pimpinan dengan menggunakan suatu alat Bantu yang dikenal sebagai pengendalian intern. Kemampuan yang terbatas dari seorang pimpinan organisasi untuk mengawasi langsung sebagai akibat semakin berkembangnya organisasi, menjadikan peranan pengendalian intern sangat penting. Penyusunan struktur pengendalian intern sebagai alat bantu adalah tanggung jawab dari manajemen atau pimpinan organisasi. Hai ini dicantumkan dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), sebagai berikut: “Penyusunan dan penyelenggaraan struktur pengendalian intern merupakan tanggung jawab penting manajemen. Untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa tujuan satuan usaha akan tercapai, struktur pengendalian intern secara terus menerus memerlukan supervisi dari manajemen untuk menentukan apakah pelaksanaannya sesuai dengan yang dikehendaki dan diubah sebagaimana mestinya sesuai dengan perubahan kondisi yang melingkupinya”. Dari definisi tersebut tersirat bahwa struktur pengendalian intern harus diawasi terus menerus untuk mengetahui dan menilai apakah kebijakan pimpinan ditafsirkan dan dilaksanakan secara tepat, dalam arti pengendalian intern berjalan
sebagaimana mestinya. Selain itu juga pengawasaan dari pengendalian intern yang secara terus menerus ditujukan untuk menilai apakah tindakan perbaikan yang efektif segera akan dilakukan bila terjadi kesulitan-kesulitan dalam sistem yang ada, dalam arti struktur pengendalian intern harus dimodifikasi seperlunya sesuai dengan perubahan organisasi. Adapun tanggung jawab pimpinan untuk menyusun struktur pengendalian intern yang memadai dimaksudkan untuk: 1. Mengamankan harta kekayaan. 2. Menjamin keandalan data. 3. Mendorong ditaatinya kebijakkan. 4. Mendorong efisiensi Dari uraian diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa struktur pengendalian intern mempunyai kedudukan penting dalam suatu organisasi dan manajemen di dalam organisasi tersebut sangat berkepentingan untuk menyusun struktur pengendalian intern yang efektif bagi organisasi.
2.2.5 Keterbatasan Pengendalian Intern Untuk mencapai tujuan pengendalian intern tidaklah mudah, karena pengendalian itu sendiri mempunyai keterbatasan. Keterbatasan-keterbatasan yang melekat pada pengendalian intern dikemukakan oleh Mulyadi (1998;173) dalam bukunya Sistem Akuntansi menyatakan sebagai berikut: ” 1. Kesalahan dalam pertimbangan 3. Gangguan 4. Kolusi 5. Pengabaian oleh manajemen 6. Biaya lawan manfaat.”
2.2.5.1 Kesalahan dalam pertimbangan Manajemen dan personil lain dapat salah dalam mempertimbangkan keputusan bisnis yang diambil atau dapat melaksanakan tugas rutin karena tidak memadainya informasi, ketebatasan waktu, atau tekanan lainnya. 2.2.5.2 Gangguan Gangguan dalam pengendalian yang telah ditetapkan dapat terjadi karena personel secara keliru memahami perintah atau membuat kesalahan karena kelalaian, tidak adanya perhatian, atau kelalaian. Perubahan yang bersifat sementara atau permanen dalam personel atau dalam sistem dan prosedur dapat pula mengakibatkan gangguan. 2.2.5.3 Kolusi Tindakan bersama beberapa individu untuk tujuan kejahatan disebut dengan kolusi (colussiori). Kolusi dapat mengakibatkan bobolnya pengendalian intern yang dibangun untuk melindungi kekayaan dan tidak terungkapnya ketidakberesan atau terdeteksinya kecurangan oleh struktur pengendalian intern yang dirancang. 2.2.5.4 Pengabaian oleh manajemen Manajemen dapat mengabaikan kebijakan atau prosedur yang telah ditetapkan untuk tujuan yang tidak sah seperti keuntungan pribadi manajer, penyajian kondisi keuangan yang berlebihan, atau kepatuhan semu. 2.2.5.5 Biaya lawan manfaat Biaya yang diperlukan untuk mengoperasikan struktur pengendalian intern tidak boleh melebihi manfaat yang diharapkan dari pengendalian intern tersebut. Karena pengukuran secara tepat baik biaya maupun manfaat biasanya tidak mungkin dilakukan, manajemen harus memperkirakan dan mempertimbangkan secara kuantitatif dan kualitatif dalam mengevakuasi biaya dan manfaat suatu struktur pengendalian intern.
2.3 Efektivitas 2.3.1 Pengertian Efektivitas Banyak pengertian yang diberikan para ahli mengenai efektivitas. Untuk memperjelas pengertian tersebut, penulis mencoba untuk memberikan beberapa pengertian mengenai efektivitas. Supriyono (1990;44) mengemukan definisi istilah efektivitas sebagai berikut: ”Suatu organisasi atau unit organisasi dikatakan efektif jika keluarannya
memberikan
sumbangan
yang
besar
terhadap
pencapaian organisasi.” Dalam melihat dan menilai efektivitas suatu organisasi atau unit organisasi, dapat dilihat dari seberapa jauhkah suatu organisasi telah mencapai tujuannya. Menurut
Komarudin
(1994;269)
dalam
bukunya
”Ensiklopedia
Manajemen” menyatakan bahwa: ”Efektivitas merupakan suatu keadaan yang menunjukan tingkat keberhasilan (atau kegagalan) kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu.” Sedangkan Pengertian Efektivitas Menurut Syahrul (2000;326) yaitu: “Efektivitas adalah tingkat dimana kinerja yang sesungguhnya (actual) sebanding dengan kinerja yang ditargetkan.” Jadi efektivitas berhubungan dengan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas dapat dicapai dengan pelaksanaan suatu proses yang sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Apabila tujuan perusahaan tersebut dapat dicapai maka operasi organisasi tersebut dapat disebut efektif.
2.3.2 Efektivitas pengendalian intern Untuk mengetahui efektif atau tidaknya suatu pengendalian intern dapat dilihat dari tercapai atau tidaknya tujuan dari pengendalian intern tersebut. Pengendalian intern yang efektif memiliki kaitan yang erat dengan keandalan laporan keuangan, keefektifan dan keefisienan operasi organisasi dan ketaatan terhadap peraturan dan undang-undang yang berlaku. Tercapainya tujuan pengendalian intern dipengaruhi oleh keberadaan unsur-unsur pengendalian intern. Hal ini dikarenakan antara satu unsur dengan unsur yang lainnya saling berkaitan dan mendorong tercapainya tujuan pengendalian intern. 2.4 Pajak Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang. sehingga dapat dipaksakan, akan tetapi rakyat tidak mendapatkan balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa/lembaga pemerintah berdasarkan normanorma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu Direktorat Jenderal yang ada di bawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia. 2.4.1 Pengertian Pajak Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang "pajak" yang dikemukakan oleh para ahli yang satu dengan yang lain pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu merumuskan pengertian pajak sehingga mudah dipahami. perbedaannya hanya terletak pada sudut pandang yang digunakan oleh masingmasing pihak pada saat merumuskan pengertiaan pajak. dalam buku Pajak Pertambahan Nilai oleh Untung Sukardji (2005;1-2) memuat beberapa definisi para ahli diantaranya adalah :
“Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undangundang), dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksi olehnya, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment”. Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. 1. Berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. 2. Bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat. Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa
dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdasarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak. 2.4.2 Ciri-Ciri Pajak Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis atau hukum (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut: 1. Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berdasarkan atas undang-undang serta aturan pelaksanaannya. 2. Pemungutan pajak mengisyaratkan adanya peralihan dana (sumber daya) dari sektor swasta (wajib pajak membayar pajak) ke sektor negara (pemungut pajak atau administrator pajak). 3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan. 4. Tidak dapat ditunjukkan adanya imbalan (kontraprestasi) individual oleh pemerintah terhadap pembayaran pajak yang dilakukan oleh para wajib pajak. 5. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara atau Anggaran
Negara
yang
diperlukan
untuk
menutup
pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur atau regulatif).
2.4.3 Fungsi Pajak Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu: Fungsi Anggaran (Budgetair) Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. pembiayaan rutin negara seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Fungsi Mengatur (Regulerend) Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Fungsi Stabilitas Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien. Fungsi Redistribusi Pendapatan Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
2.4.4 Syarat Pemungutan Pajak Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai masalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan yaitu:
Pemungutan Pajak Harus Adil
Pengaturan Pajak Harus Berdasarkan UU
Pungutan Pajak Tidak Mengganggu Perekonomian
Pemungutan Pajak Harus Efisien
Sistem pemungutan pajak harus sederhana
2.5 Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah salah satu jenis pajak yang berlaku di Indonesia. Untuk dapat memahami pajak pertambahan nilai maka terlebih dahulu akan dibahas mengenai pengertian pajak pertambahan nilai, objek dan subjeknya, tarif serta cara penetapan pajak pertambahan nilai. 2.5.1 Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Di Indonesia penetapan Pajak Pertambahan Nilai atau Value Added Tax (VAT) pada awal april 1985 bersamaan
dengan negara lainya, yaitu turki.
Akhirnya Negara asia yang lain menyusul yaitu India tahun 1986 dan philipina tahun 1988. Secara krolologis, sejarah perkembangan pemungutan pajak pertambahan nilai di Indonesia meliputi:
1. Pajak Pembangunan I Pajak pembangunan I atau PPb I dipungut secara resmi per 1 juni 1947 atas usaha rumah makan, penginapan, dan penyerahan jasa di rumah makan. PPb I berstatus sebagai pajak pusat yang menjadi pajak daerah sejak tahun 1957. 2. Pajak Peredaran tahun 1950 Pajak peredaran ini agak berbeda yaitu pengenaannya atas penyerahan barang dan jasa yang dilakukan di Indonesia. Dikenakannya secara berjenjang pada setiap mata rantai jalur produksi dan jalur distribusi. Menggunakan satu tarif 2,5% dan bersifat kumulatif. Pemungutan pajak peredaran ini tidak berlangsung lama. 3. Pajak Penjualan Undang–Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951 yang berlaku per 1 Oktober 1951 selanjutnya menjadi Undang-undang Nomor 35 Tahun 1953 sebagai dasar hukum pemungutan pajak penjualan yang dikenal dengan pajak penjualan 1951 (PPN 1951). Pemungutan PPN 1951 ini menggunakan Single Stage Tax pada tingkat pabrikan (manufacturer’s sales tax). Pada tingkat perkembangannya, pajak penjualan memperluas objek pajaknya yaitu dengan Undang-undang Nomor 20 Prp dan Nomor 21 Prp Tahun 1959 bahwa pajak panjualan dikenakan atas penyerahan 18 (delapan belas) jenis jasa. Perluasan berikutnya dengan Undang-undang Nomor 2 tahun 1968 yang mengenakan juga atas pemasukan barang dari luar ke Daerah Pabean. 4. Pajak Pertambahan Nilai Sifat kumulatif pada pajak penjualan 1951 direformasi dengan dikelurkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
yaitu pada saat reformasi sistem
perpajakan nasional. Karena pertimbangan kesiapan pelaksanaannya, maka secara efektif PPN dan PPnBM berlaku per 1 April 1985. Ditinjau dari pengelompokkannya PPN ini termasuk Noncommulative Multistage Tax.
Noncommulative
dimaksudkan
bahwa
mekanisme
pemungutan
PPN
dikenakannya pada nilai tambah dari Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak. Karena pada dasarnya pajak pertambahan nilai memiliki beberapa karakteristik positif. Sesuai dengan pendapat yang dikutip dalam buku “PAJAK PERTAMBAHAN NILAI” oleh Untung Sukardji (2005;18) yakni: “Legal character pajak pertambahan nilai secara umum antara lain adalah: 1. General Tax on Consumption; 2. Indirect Tax; 3. Neutral; 4. Non Cumulative.” Pada tahun 1994, diundangkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Undang-undang ini mulai berlaku sejak 1 Januari 1995. Perubahan mendasar dalam undang-undang ini adalah tentang definisi barang, konsep BKP (Barang Kena Pajak) dan JKP (Jasa Kena Pajak), serta ditetapkannya
pasal-pasal baru yang mengatur mekanisme pemungutan,
penyetoran dan pelaporan PPN dan PPnBM oleh Pemungut PPN yang diatur dalam pasal 16A (meskipun sampai dengan perubahan kedua dari UU PPN dan PPnBM petunjuk pelaksanaan dari pasal ini tidak ada), Pasal-pasal tentang Fasilitas PPN dan PPnBM yang diatur dalam pasal 16B, Objek PPN baru yakni kegiatan membangun sendiri oleh orang pribadi atau badan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya yang diatur dalam pasal 16C. Disamping itu dinyatakan dengan tegas bahwa ekspor BKP merupakan objek PPN, walaupun dikenakan tarif 0%, serta ditambahkan objek PPN baru yakni pemanfaatan BKP tidak berwujud dan pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
Kembali pada tahun 2000, diundangkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah. Undang-undang ini mulai berlaku sejak 1 Januari 2001.
Perubahan mendasar dari undang-undang ini antara lain adalah dilakukannya penertiban yuridis formal atas beberapa ketentuan PPN dan PPnBM, terutama yang menyangkut tentang pemberian fasilitas-fasilitas PPN dan PPnBM. Dicabutnya beberapa Keputusan Presiden yang tidak ada dasarnya dalam Undangundang PPN dan PPnBM, dan diganti dengan Peraturan Pemerintah atau Keputusan Menteri Keuangan sesuai dengan amanat Undang-undang PPN dan PPnBM. Diperluasnya kelompok barang dan kelompok jasa yang dikenakan PPN, diubahnya definisi harga jual yang mengakibatkan adanya pungutan pajak berganda dalam mekanisme pemungutan PPN atas barang mewah yang pada gilirannya mempengaruhi netralitas dari pengenaan PPN dan PPnBM tersebut. Waluyo (2006;2) mendefinisikan PPN dan PPnBM dalam buku “Perpajakan Indonesia” sebagai berikut: “Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atau disingkat PPN dan PPnBM merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi di dalam negeri (di dalam daerah pabean), baik konsumsi barang maupun konsumsi jasa.” Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara diatasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamnya berlaku Undangundang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik dan jiwa PPN adalah:
Merupakan pajak tidak langsung yang dipungut pada setiap mata rantai jalur perusahaan;
Bersifat netral dan diharapkan tidak menimbulkan efek pajak berganda;
Merupakan pajak konsumsi di dalam negeri;
Merupakan pajak objektif;
Mekanisme yang diharapkan sederhana dengan menggunakan tarif tunggal.
2.5.2 Mekanisme PPN dan PPn BM di Indonesia Pada awalnya mekanisme pemungutan PPN di Indonesia hanya mengenal dua mekanisme yaitu 1. Metode Pengurangan Tidak Langsung (Indirect Substraction Method) dengan Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan BKP atau JKP sebagai Subjek Pajaknya dan 2. Metode Memungut, Menyetor dan Melaporkan Sendiri (Self Imposition Method) PPN dan PPnBM yang terutang atas Impor BKP. karena diindikasikan banyaknya kecurangan dan penyelewengan yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang tidak bertanggungjawab yang tidak menyetorkan PPN dan PPnBM yang dipungut dari konsumennya. Berdasarkan kepada Keputusan Presiden Nomor 56 tahun 1988 ditunjuk badan-badan tertentu dan bendaharawan sebagai pemungut PPN dan PPnBM. Maka mekanisme PPN dan PPnBM di Indonesia menjadi tiga, yaitu: 1. direct Substraction Method dengan PKP yang menyerahkan BKP atau JKP sebagai Subjek Pajaknya, dan 2. Indirect Substraction Method dengan Pemungut PPN dan PPnBM yang membayar atas penyerahan BKP atau JKP oleh PKP Rekanan sebagai Subjek Pajaknya, serta 3. Self Imposition Method. UU Nomor 11 tahun 1994 yang menambah objek PPN yakni kegiatan membangun sendiri yang dilakukan orang pribadi atau badan tidak dalam
lingkungan organisasi atau pekerjaannya, pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean ke di dalam daerah pabean juga menggunakan mekanisme Self Imposition Method. Baru pada tahun 2000 dengan Keputusan Presiden Nomor 180 Tahun 2000 mencabut Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1988. Dan dikeluarkan Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor:
KMK-547/KMK.04/2000
tentang
Penunjukan Bendaharawan Pemerintah, Badan-badan tertentu dan Instansi Pemerintah tertentu untuk memungut, menyetorkan dan melaporkan PPN dan PPnBM sebagai amanat Pasal 1 angka 27 UU Nomor 18 tahun 2000. Jadi saat ini ada 3 mekanisme PPN di Indonesia sebagai berikut:
Tabel 2.1 Mekanisme PPN No
1
Objek Pajak
Mekanisme
a) Penyerahan BKP
Kepada
b) Penyerahan JKP
konsumen
c) Penyerahan Aktiva Bekas
Subjek Pajak
direct PKP
Substraction Method
Biasa d) Ekspor BKP
2
a) Penyerahan BKP
Kepada
b) Penyerahan JKP
pemungut
c) Penyerahan Aktiva Bekas PPN
Pemungut PPN
Indirect
Substraction (Sebagai subjek pajak Method pengganti)
a) Impor BKP
Importir, Pihak yang
b) Pemanfaatan BKP Tidak
memanfaatkan BKP
Berwujud dan/atau JKP dari
3
Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean c) Kegiatan Membangun sendiri
Self
Tidak Berwujud/JKP,
Imposition
Pihak yang
Method
membangun baik PKP atau Non PKP
2.5.3 Objek dan Subjek PPN 2.5.3.1 Objek Pajak Pertambahan Nilai Objek PPN diatur dengan jelas dalam pasal 4 dan 16C UU PPN dan PPnBM yang mana dinyatakan bahwa PPN dikenakan atas : Pasal 4 a. Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP);
b. Impor BKP; c. Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh PKP; d. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; e. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; f. Ekspor BKP oleh PKP; Pasal 16C UU PPN 2000 Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. Yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. Keputusan Menteri Keuangan yang mengatur objek PPN ini adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor:: 554/KMK.04/2000 jo Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 320/KMK.03/2002. 2.5.3.2 Subjek Pajak Pertambahan Nilai Subjek Pajak maksudnya adalah Subjek Hukum Pajak. Untuk dapat dilaksanakan, suatu objek pajak harus ada pihak yang diberi tanggung jawab untuk melaksanakan objek pajak tersebut. Oleh karena itu Subjek Pajak adalah pihak yang diberikan hak dan kewajiban di bidang perpajakan atas suatu objek pajak. Pemahaman yang baik tentang Subjek Pajak, akan memberikan kepastian hukum kepada para pengusaha tentang siapa yang harus bertanggung jawab atas suatu objek pajak. Untuk mencari siapa subjek pajak dari masing-masing objek PPN tersebut, harus meneliti siapa pihak-pihak yang paling dekat dengan masing-masing objek PPN tersebut. dengan melihat tabel di bawah ini:
Tabel 2.2 Subjek Pajak Pertambahan Nilai Pihak-Pihak Yang No.
Objek PPN
Paling Dekat Dengan
Subjek Pajak
Keterangan
Objek PPN
1.
2.
3.
4.
5.
Penyerahan BKP Penyerahan JKP Penyerahan Aktiva Bekas
Ekspor BKP
Impor BKP
Pemanfaatan BKP Tidak 6.
Berwujud dari Luar Daerah Pabean
Penjual dan Pembeli
Penjual (PKP)
Penjual dan Pembeli
Penjual (PKP)
Penjual dan Pembeli
Penjual (PKP)
Eksportir dan Pembeli di
Eksportir
LN
(PKP)
Importir dan Penjual di LN
Pihak yang memanfaatkan di DN dan Penjual BKP Tidak Berwujud di LN
Pilihan UU PPN Pasal 1 angka 15
Importir (PKP/Non
Penjual ada
PKP)
di LN,
Pihak yang
diluar
memanfaatkan
yurisdiksi
di DN
perpajakan
(PKP/Non
Indonesia
PKP)
Pihak yang
7.
Pemanfaatan
Pihak yang
memanfaatkan
JKP dari Luar
memanfaatkan di DN
di DN
Daerah Pabean
dan Penjual JKP di LN
(PKP/Non PKP)
Kegiatan
8.
membangun
Pihak yang
sendiri oleh
membangun
orang
Pihak yang membangun
sendiri baik
pribadi/badan
sendiri baik orang
orang pribadi
tidak dalam
pribadi atau badan
atau badan
kegiatan
(PKP/Non
usaha/pekerjaan
PKP)
Satusatunya pihak yang paling dekat dengan objek
nya
Dari tabel di atas, nampak jelas bahwa Subjek Pajak atas objek PPN atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak (BKP/JKP), penyerahan aktiva bekas, dan ekspor BKP adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP). Hal ini diuraikan dengan jelas pada Pasal 1 angka 14, 15, serta Pasal 3A ayat 1 dan ayat 2 UU PPN dan PPnBM. Sehingga tidak beralasan apabila ada pembeli yang membeli BKP/JKP dari penjual yang tidak memungut PPN, kemudian pembeli tersebut ditagih PPN-nya. Karena pembeli bukan subjek pajak PPN sehingga tidak terutang PPN. Subjek Pajaknya adalah penjual BKP/JKP tersebut, sehingga PKP penjual yang harus bertanggung jawab atas mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN yang terutang.
2.5.3.3 Pengusaha Kena Pajak (PKP) Seperti yang telah dijelaskan di atas pemungut, penyetor dan pelaporan PPN adalah PKP dari transaksi terutangnya PPN seperti Penyerahan BKP/JKP, Impor atau ekspor BKP/JKP dll. Dalam pemungutanya PKP dapat dibedakan menjadi dua yaitu: a) PKP Penjual PKP Penjual sebagai pemungut dari Transaksi yang menyebabkan terutang PPN kepada PKP atau Bukan PKP, sehingga memiliki kewajiban untuk menyetorkan dan melaporkan terutangnya PPN kepada kas negara. b) PKP Pembeli PKP Pembeli yaitu pengusaha yang di pungut atas transaksi terutangnya PPN dan juga melakukan pemungutan pada konsumen akhir. Untuk mendalami subjek pajak PPN ini, perlulah kiranya penulis menilik pengertian Pengusaha dan Pengusaha Kena Pajak menurut pasal 1 angka 14 dan angka 15 UU No.18 Tahun 2000 (2007;332) yang termuat dalam buku “UU RI No.28 Tahun 2007 tentang Perpajakan” sebagai berikut: “Pengusaha yaitu orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor
barang,
mengekspor
barang,
melakukan
usaha
perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean”. “Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN dan PPnBM, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP.”
Pada dasarnya setiap pengusaha yang melakukan penyerahan BKP atau JKP di dalam Daerah Pabean wajib dikukuhkan sebagai PKP, kecuali Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.: 552/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000 tentang Batasan Pengusaha Kecil atas PPN, yang dimaksud dengan Pengusaha Kecil adalah: “ 1. Pengusaha
yang
selama
satu
tahun
buku
melakukan
penyerahan BKP dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp 360.000.000,00 (UU PPN 1994 membatasi sebesar Rp 240.000.000,00) 2. Dalam hal pengusaha disamping melakukan penyerahan BKP juga melakukan penyerahan JKP, dan penyerahan BKP-nya lebih besar dari penyerahan JKP, maka batasan Pengusaha Kecil PPN adalah apabila jumlah peredaran bruto (penyerahan BKP dan JKP) selama satu tahun buku tidak lebih dari Rp 360.000.000,00
(UU
PPN
1994
membatasi
sebesar
Rp
240.000.000,00). 3. Pengusaha
yang
selama
satu
tahun
buku
melakukan
penyerahan JKP dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp 180.000.000,00 (UU PPN 1994 membatasi sebesar Rp 120.000.000,00). 4. Dalam hal pengusaha disamping melakukan penyerahan JKP juga melakukan penyerahan BKP, dan penyerahan JKP-nya lebih besar dari penyerahan BKP, maka batasan Pengusaha Kecil PPN adalah apabila jumlah peredaran bruto (penyerahan JKP dan BKP) selama satu tahun buku tidak lebih dari Rp 180.000.000,00
(UU
120.000.000,00 )”.
PPN
1994
membatasi
sebesar
Rp
Pengertian PKP ternyata kemudian diperluas dalam Pasal 2 PP No. 143 Tahun 2000 tanggal 22 Desember 2000 termasuk pengusaha yang sejak semula bermaksud melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP dan/atau ekspor BKP serta bentuk usaha kerja sama operasi (Joint Operation). Tetapi atas kegiatan impor BKP, pemanfaatan BKP Tidak Berwujud / JKP di dalam Daerah Pabean oleh siapapun (baik PKP atau bukan PKP sekalipun ) tetaplah merupakan Objek PPN. Dan Subjek Pajaknya adalah importir atau pihak yang memanfaatkan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari Luar Daerah Pabean. A. Kewajiban Pengusaha Kena Pajak Berdasarkan Pasal 3A UU No. 18 Tahun 2000, pengusaha yang melakukan penyerahan BKP/JKP memiliki empat (4) kewajiban di bidang PPN yaitu : a. Kewajiban melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. b. Memungut PPN dan PPnBM terutang c. Menyetor PPN dan PPnBM terutang d. Melaporkan PPN dan PPnBM terutang B. Pemungut PPN Sebagai Subjek Pajak Pengganti Di atas penulis telah membahas Subjek Pajak PPN yang salah satunya adalah PKP. Undang-undang PPN dan PPnBM juga menunjuk Pemungut PPN sebagai Subjek Pajak Pengganti PKP. Jadi Pemungut PPN sebagai pembeli oleh UU PPN dan PPnBM ditunjuk sebagai Subjek Pajak. Hal ini diatur di Pasal 1 angka 27 UU Nomor 18 tahun 2000. Sebelumnya hal ini juga diatur di Pasal 1 huruf X UU Nomor 11 tahun 1994 (2007;333-334).
“Pemungut
Pajak
Pertambahan
Nilai
adalah
bendaharawan
Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan (KMK-547/KMK.04/2000) untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah tersebut”. Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dari delapan (8) objek PPN tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar berkaitan dengan Subjek Pajak serta mekanisme pemungutan, penyetoran dan pelaporan sebagaimana diilustrasikan dalam tabel berikut: Tabel 2.3 Pengelompokkan Objek PPN, Subjek PPN, Dan Mekanismenya N O
OBJEK
SUBJEK
MEKANIS ME
DPP
FAKTUR PAJAK
- PENYERA HAN BKP,
HARGA
- PENYERA
DIRECT
HAN JKP, I
- EKSPOR BKP, - PENYERA HAN AKTIVA BEKAS.
JUAL
SUBTRACT PKP
ION
PENGGAN
METHOD
TIAN
(PK – PM)
NILAI LAIN
STANDAR, SEDERHANA, ATAU DOKUMEN TERTENTU
INDIRECT - PENYERA
II
HARGA
HAN
PEMUN
BKP/JKP
GUT
SUBTRACT JUAL ION PENGGAN METHOD
PPN
(PK–PM)
KEPADA PEMUNGU T PPN
TIAN PEMUNGU
NILAI
T PPN
LAIN
STANDAR
NILAI IMPOR
- IMPOR BKP, - PEMANFA ATAN BKP
III
SELF
JUMLAH
IMPOSITIO
YANG
DOKUMEN TERTENTU
TIDAK
PKP
N METHOD DIBAYAR (MEMUNG ATAU
BERWUJU
MAUPU
UT,
SEHARUS
KEGIATAN
D ATAU
N NON
MENYETO
NYA
MEMBANGU
JKP DARI
PKP
R, DAN
DIBAYAR
N SENDIRI
LUAR DP, - KEGIATAN MEMBANG
(KHUSUS
MELAPOR
TIDAK ADA
KAN
FAKTUR
SENDIRI)
40%
UN
JUMLAH
SENDIRI.
PENGELU
PAJAK)
ARAN
2.5.4 Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai 2.5.4.1 Tarif Pajak Pertambahan Nilai Tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen). Tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku atas penyerahan barang kena pajak dan atau penyerahan jasa kena pajak adalah tarif tunggal, sehingga mudah
dalam pelaksanaannya dan tidak memerlukan daftar penggolongan barang atau penggolongan jasa dengan tarif yang berbeda sebagaimana berlaku pada Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Tarif PPN atas ekspor Barang Kena Pajak adalah 0% (nol persen). Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu, Barang Kena Pajak yang diekspor atau dikonsumsi di luar Daerah Pabean, dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen). Pengenaan tarif 0% (nol persen) bukan berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar dari barang yang diekspor tetap dapat dikreditkan. PPN terutang dihitung dengan mengalikan tarif PPN dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP).
PPN Terutang = Tarif x DPP
2.5.4.2 Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Jenis-jenis Dasar Pengenaan Pajak dapat kita bedakan menjadi dua yaitu : Dasar Pengenaan Pajak Umum a) Harga Jual b) Penggantian c) Nilai Ekspor d) Nilai Impor Dasar Pengenaan Pajak Khusus a) Nilai lain b) Real Estate c) Jasa Persewaan Ruangan d) Membangun sendiri tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan
A. DASAR PENGENAAN PAJAK UMUM a) Harga Jual Harga Jual menurut UU Nomor 18 Tahun 2000 adalah sebagai berikut: “Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak”.
Sedangkan definisi Harga Jual menurut UU nomor 11 Tahun 1994: “Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk Pajak yang dipungut menurut UU ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak”.
Dengan diubahnya kata “tidak termasuk pajak (PPN dan PPnBM)” menjadi ‘tidak termasuk PPN’, maka berarti PPnBM akan masuk kedalam DPP PPN dalam mata rantai berikutnya setelah objek PPnBM. Dan ini berarti atas PPnBM tersebut akan dikenakan PPN, yang menyebabkan efek pungutan pajak berganda alias pajak yang dipajaki. b) Penggantian Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan JKP, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut UU ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. Mengingat sampai saat ini tidak ada JKP yang tergolong mewah yang dikenakan Pajak Penjualan atas Jasa Mewah (misalkan ada atau akan diadakan), maka tidak termasuk pajak disini adalah tidak termasuk PPN.
c) Nilai Impor Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU ini. Nilai Impor = CIF + BM + BMT
Nilai impor yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah harga patokan impor atau Cost Insurance and Freight (CIF) sebagai dasar perhitungan bea masuk ditambah dengan semua biaya dan pungutan lain menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. d) Nilai Ekspor Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir. Nilai Ekspor dapat diketahui dari dokumen ekspor, misalnya harga yang tercantum dalam Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB).
B. DASAR PENGENAAN PAJAK KHUSUS a) Nilai Lain Ketentuan mengenai Nilai Lain dapat kita jumpai dalam Keputusan Menteri Keuangan KMK No. 567/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 jo KMK 251/KMK.03/2002 tanggal 31 Mei 2002. Dimana Nilai Lain adalah suatu jumlah yang ditetapkan sebagai DPP untuk menghitung PPN. Adapun Nilai Lain yang dimaksud dalam KMK tersebut adalah sebagai berikut : a. Pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor ( identik dengan harga pokok BKP/JKP )
b. Pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor ( identik dengan harga pokok BKP/JKP ) c. Penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata d. Penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film e. Persediaan BKP yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan sepanjang PPN atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan adalah harga pasar wajar f. Aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar g. Kendaraan bermotor bekas adalah 10% dari harga jual ( ketentuan baru dalam KMK 567/KMK.04/2000 ) h. Penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih i. Jasa pengiriman paket adalah 10% dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih j. Jasa anjak piutang adalah 5% dari jumlah seluruh imbalan yang diterima berupa service charge, provisi, dan diskon. k. Penyerahan BKP dan atau JKP dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP dan atau JKP antar cabang adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor ( identik dengan harga pokok BKP/JKP ) l. Penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang adalah harga lelang. Pajak Masukan sehubungan dengan :
Penyerahan kendaraan bermotor bekas
Penyerahan jasa yang dilakukan oleh pengusaha biro perjalanan dan Pariwisata
Penyerahan jasa pengiriman paket
Penyerahan jasa anjak piutang
Tidak dapat dikreditkan karena dalam PPN yang dibayar telah diperhitungkan dengan Pajak Masukan atas perolehan BKP/JKP tersebut.
b) DPP Real Estate Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-55/PJ.3/1985 tanggal 21 Mei 2002 dan Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-1376/PJ.3/1986 tanggal 16 Mei 1986 yang ditujukan kepada DPP Persatuan Pengusaha Real Estate Indonesia ditegaskan bahwa untuk penyerahan BKP berupa bangunan dan/atau tanah matang yang dilakukan oleh para Pengusaha Real Estate, DPP-nya ditentukan sebagai berikut : 1. untuk penyerahan tanah matang saja, DPP dihitung dari Harga Jual tanah matang dikurangi 20%. 2. untuk penyerahan bangunan beserta tanahnya, DPP dihitung dari Harga Jual bangunan beserta tanahnya, dikurangi dengan 20% dari Harga Jual tanah matang. Sehingga: 1. DPP penyerahan tanah matang = 80% x Harga Jual tanah matang 2. DPP penyerahan bangunan beserta tanah = Harga Jual rumah + 80% x Harga Jual tanah matang
Ketentuan di atas berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-22/PJ.51/2002 tanggal 21 Mei 2002 dinyatakan tidak berlaku lagi terhitung mulai 1 Juni 2002, karena tidak sesuai dengan Pasal 1 angka 17 dan angka 18 UU PPN dan PPnBM. Oleh karena itu DPP atas tanah matang atau bangunan berikut tanah matangnya yang diserahkan oleh perusahaan real estate adalah sama dengan harga jual.
c) DPP Penyerahan Jasa Persewaan Ruangan Pengenaan PPN atas jasa persewaan ruangan diatur dalam SE13/PJ.32/1989 tanggal 25 Agustus 1989 yang mengenal konsep pemisahan pengenaan PPN-nya, yaitu atas sewa ruangannya tetap berlaku DPP umum yaitu Penggantian sedangkan DPP Nilai Lainnya dikenakan hanya atas Service Charge saja yaitu sebesar 40% dari biaya service charge. Oleh karena itu sebagai DPP keseluruhannya terdiri dari : 1. 100% dari seluruh harga sewa ruangan; 2. 40% dari service charge dan/atau additional charge dan/atau Overtime charge; 100% dari mark up atau tambahan biaya administrasi Sesungguhnya DPP penyerahan jasa persewaan ruangan ini juga tidak sesuai dengan pasal 1 angka 17 dan angka 19 UU PPN dan PPnBM, namun sampai saat ini SE-13/PJ.32/1989 tanggal 25 Agustus 1989 belum dicabut, sehingga dalam praktik masih berlaku meskipun tidak sesuai dengan UU PPN dan PPnBM. d) DPP Membangun Sendiri di luar kegiatan usaha/pekerjaan Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan ini adalah sebesar 40% dari seluruh pengeluaran pada bulan yang bersangkutan ( termasuk PPN ). Sehingga PPN yang dibayar sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri dihitung dengan mengalikan 10% x 40% x jumlah seluruh pengeluaran dalam satu bulan berdasarkan KMK-554/KMK.04/2000 jo KMK-320/KMK.03/2002. e) Hubungan Istimewa Berdasarkan Pasal 2 UU PPN dan PPnBM, dalam hal Harga Jual dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka Harga Jual dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan BKP dilakukan. Pengaruh hubungan istimewa ini adalah adanya kemungkinan harga yang ditekan lebih rendah dari harga pasar. Dalam hal ini, Direktur Jenderal Pajak mempunyai kewenangan melakukan penyesuaian Harga Jual yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak dengan harga pasar wajar. Hubungan istimewa antara PKP dengan pihak yang menerima penyerahan
BKP dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan karena: a) Faktor kepemilikan atau penyertaan; b) Adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi; c) Adanya hubungan darah atau perkawinan.
2.5.5 Mekanisme Pemungutan PPN Dalam menjalankan mekanisme PPN dan PPnBM, dokumen-dokumen berikut ini yang diperlukan dan wajib dikuasai cara pengisiannya dengan benar, yaitu: -
Faktur Pajak;
-
Nota Retur;
-
Surat Setoran Pajak (SSP);
-
Surat Pemberitahuan Masa PPN dan PPnBM (Formulir 1107);
-
Surat Pemberitahuan Masa Bagi Pemungut PPN (Formulir 1107 PUT).
2.5.5.1 Faktur Pajak Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP karena penyerahan BKP/JKP, atau bukti pungutan pajak karena impor BKP yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. PKP yang melakukan penyerahan BKP wajib memungut PPN dari konsumennya seperti yang diatur dalam Pasal 3A UU No. 18 Tahun 2000, untuk itu PKP tersebut wajib membuat Faktur Pajak seperti yang diatur dalam Pasal 13 UU No. 18 Tahun 2000.
Fungsi Faktur Pajak :
Bukti pungutan PPN dan PPnBM bagi PKP penjual BKP/JKP dan atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas impor BKP
Bukti pembayaran PPN dan PPnBM bagi PKP pembeli BKP/JKP
Sarana pengkreditan Pajak Masukan
Dasar pembuatan Nota Retur
Faktur Pajak terdiri dari tiga (3) macam : 1) Faktur Pajak Standar adalah Faktur Pajak yang bentuk dan isinya telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan (Pasal 13 ayat 4, 5 dan 6 UU No. 18 Tahun 2000). dokumen-dokumen berikut diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar: a) Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang dilampiri Surat Setoran Pajak (SSP) dan/atau bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk impor BKP; b) Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah diflat muat oleh pejabat yang berwenang dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dilampiri dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB tersebut; c) Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/dikeluarkan oleh BULOG/DOLOG untuk penyaluran tepung terigu; d) Faktur Nota Bon Penyerahan (FNBP) yang dibuat/dikeluarkan oleh PERTAMINA untuk penyerahan BBM dan atau bukan BBM; e) Tanda
pembayaran
atau
kuitansi
untuk
penyerahan
jasa
telekomunikasi; f) Ticket, Tagihan Surat Muatan Udara (Airway Bill), atau Delivery Bill, yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri; g) SSP untuk pembayaran PPN atas pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean; h) Nota Penjualan Jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa kepelabuhan; i) Tanda pembayaran atau kuitansi listrik. Dokumen-dokumen tersebut diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar sepanjang memenuhi persyaratan paling sedikit harus memuat:
1) Identitas yang berwenang menerbitkan dokumen; 2) Nama dan alamat penerima dokumen; 3) NPWP dalam hal penerima dokumen adalah sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri; 4) Jumlah satuan barang apabila ada; 5) Dasar Pengenaan Pajak; 6) Jumlah pajak yang terutang kecuali dalam hal ekspor. 2) Faktur Pajak Gabungan adalah sama dengan Faktur Pajak Standar yang memuat lebih dari satu transaksi dalam satu bulan takwim untuk pelanggan yang sama (Pasal 13 ayat 2 UU No. 18 Tahun 2000). 3) Faktur Pajak Sederhana, PKP dapat membuat Faktur Pajak Sederhana yang persyaratannya ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak (Pasal 13 ayat 7 UU No. 18 Tahun 2000). 2.5.5.2 Nota Retur Berdasarkan UU PPN, diatur bahwa PPN dan PPn BM atas penyerahan BKP yang dikembalikan dapat dikurangkan dari PPN dan PPn BM terutang dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian BKP tersebut yang tata caranya ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Ketentuan yang mengatur Nota Retur masih mengacu pada KMK lama yaitu Keputusan Menteri Keuangan No.: 596/KMK.04/1994 dan sebagai petunjuk pelaksanaannya adalah Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No.: SE-12/PJ.54/1994 yang mengatur bahwa: Nota retur dibuat jika terjadi pengembalian BKP; Jika atas BKP yang dikembalikan tersebut diganti dengan BKP yang jenis, tipe, jumlah, dan harganya sama, Nota Retur tidak perlu dibuat. Nota Retur minimal harus memuat: a. No. urut; b. No. seri dan tanggal Faktur Pajak atas BKP yang dikembalikan; c. Nama, alamat, dan NPWP pembeli;
d. Nama, alamat, NPWP, No. dan tanggal pengukuhan PKP yang menerbitkan Faktur Pajak; e. Macam, jenis, kuantum, dan harga jual BKP yang diretur; f. PPN dan PPn BM yang dikembalikan; g. Tanggal pembuatan Nota Retur; h. Tanda tangan pembeli. Nota Retur dibuat oleh pembeli yang mengembalikan BKP. Fungsi Nota Retur:
Bagi Penjual: Mengurangi Pajak Keluaran dan/atau PPn BM pada Masa Pajak diterimanya Nota Retur.
Bagi Pembeli: - Mengurangi Pajak Masukan pada Masa Pajak dibuatnya Nota Retur, apabila PPN atas BKP yang dikembalikan tersebut telah dikreditkan oleh PKP; atau, - Mengurangi beban atau harta, apabila PPN atas BKP yang dikembalikan tersebut tidak dapat dikreditkan dan telah dibebankan sebagai beban usaha atau telah dikapitalisasi, atau jika pembelinya bukan PKP; atau, - Mengurangi beban atau harta, untuk PPn BM atas BKP Yang Tergolong Mewah yang dikembalikan. Karena PPn BM tidak dapat dikreditkan, jadi pasti oleh pembeli dibebankan atau dikapitalisasi.
Atas penyerahan JKP tidak ada istilah retur. Karena pada dasarnya memang tidak pernah ada retur jasa. Karena karakter jasa adalah proses produksi dan proses konsumsi dilakukan secara simultan atau bersama-sama. Apabila karena satu dan lain hal harus ada perubahan besarnya PPN yang terutang atas penyerahan JKP, maka mekanisme yang harus digunakan adalah dengan cara pembetulan Faktur Pajak.
2.5.5.3 Surat Setoran Pajak (SSP) Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang tunjuk oleh menteri keuangan. (Pasal 1 angka 14 UU KUP No.16 Tahun 2000) 2.5.5.4 Surat Pemberitahuan atau SPT Masa PPN (Formulir 1107) Formulir ini digunakan oleh PKP untuk melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang, terdiri dari:
Formulir 1107
-
SPT Masa PPN (Induk)
Formulir 1107 A
-
Daftar Pajak Keluaran dan PPnBM
Formulir 1107 B95 A2
-
Daftar Pajak Masukan dan PPnBM
Tanggal jatuh tempo penyampaian SPT Masa PPN/PPnBM adalah tanggal 20 Masa Pajak berikutnya., apabila tanggal tersebut jatuh hari libur maka formulir harus disampaikan sebelum tanggal tersebut. Formulir ini dapat diperoleh dengan cuma-cuma di KPP. 2.5.5.5 Surat Pemberitahuan Masa Bagi Pemungut PPN (Formulir 1107 PUT) Formulir ini digunakan oleh Pemungut PPN yang ditunjuk berdasarkan Pasal 1 angka 27 UU PPN dan PPnBM untuk melaporkan PPN dan PPnBM yang dipungut atas nama rekanan, terdiri dari:
Formulir 1107 PUT
Formulir 1101 PUT 1 - Daftar PPN dan PPnBM yang dipungut oleh
- SPT Masa Bagi Pemungut PPN (Induk)
Bendaharawan Pemerintah
Formulir 1107 PUT 2
- Daftar PPN dan PPnBM yang Dipungut oleh
selain Bendaharawan Pemerintah Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk
memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah tersebut. 2.5.5.6 Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai Mekanisme pajak pertambahan nilai antara lain adalah sebagai berikut:
Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP) wajib memungut PPN dari pembeli/penerima BKP/JKP yang bersangkutan sebesar 10% dari Harga Jual atau penggantian, dan membuat Faktur Pajak sebagai bukti pemungutannya.
PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak tersebut merupakan Pajak Keluaran bagi PKP Penjual BKP/JKP, yang sifatnya sebagai pajak yang harus dibayar (hutang pajak).
Pada waktu PKP melakukan pembelian/perolehan BKP/JKP yang dikenakan PPN, PPN tersebut merupakan Pajak Masukan yang sifatnya sebagai pajak yang dibayar di muka, sepanjang BKP/JKP yang dibeli tersebut berhubungan langsung dengan kegiatan usahanya.
Untuk setiap masa pajak (setiap bulan), apabila jumlah Pajak Keluaran lebih besar dari pada Pajak Masukan, maka selisihnya harus disetor ke Kas Negara dengan dilampirkan Surat Setoran Pajak (SSP) selambatlambatnya tanggal 15 bulan berikutnya. Dan sebaliknya, apabila jumlah Pajak Masukan lebih besar dari pada Pajak Keluaran, maka selisih tersebut dapat diminta kembali (restitusi) atau di kompensasi ke masa pajak berikutnya.
Pengusaha Kena Pajak di atas wajib menyampaikan Laporan Perhitungan PPN setiap bulan (SPT Masa PPN) ke Kantor Pelayanan Pajak terkait selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya.
2.6 Target Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai Target penerimaan pajak pertambahan nilai dapat diartikan sebagai prediksi penerimaan dari sektor pajak khususnya pajak pertambahan nilai yang dapat dicapai dalam jangka waktu tertentu. Sumber-sumber penerimaan pajak pertambahan nilai menurut undangundang nomor 18 tahun 2000 pasal 4 dan pasal 16C terdiri dari: 1. Penerimaan pajak pertambahan nilai dalam negeri: a. Penyerahan BKP dan JKP di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh PKP b. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dan JKP dari luar daerah pabean didalam daerah pabean 2. Impor BKP 3. Ekspor BKP oleh PKP 4. Pajak pertambahan nilai lainya Sebagai unsur
dari penerimaan pajak,
target penerimaan pajak
pertambahan nilai ditetapkan dalam anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN). Sebagaimana dijelaskan oleh komite standar akuntansi pemerintah pusat dan daerah dalam Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) paragraf 13 yaitu: “…anggaran mengkoordinasikan aktivitas belanja pemerintah dan member landasan bagi upaya perolehan pendapatan dan biaya oleh pemerintah untuk satu periode tertentu yang biasanya mencakup periode tahunan.” Dapat ditarik kesimpulan bahwa target penerimaan pajak pertambahan nilai ditentukan oleh pejabat yang berwenang dan ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sedangkan dalam upaya pencapaiannya diserahkan kepada pejabat yang terkait dalam hal ini adalah kepala kantor KPP.
2.7 Manfaat Pengendalian Intern Dalam Pencapaian Target Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai Target penerimaan pajak pertambahan nilai yang merupakan unsur dari penerimaan pajak dapat di identifikasi sebagai salah satu tujuan dan sasaran yang diingin dicapai kantor pelayanan pajak (KPP) khususnya KPP bandung cicadas. Sedangkan pengendalian intern itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu proses yang dapat membantu manajemen sebagai alat kendali dalam proses pencapaian tujuan. Misalnya salah satu tujuan pengendalian intern adalah memberikan keyakinan yang memadai atas penyajian laporan keuangan dan dalam pajak memerlukan pembukuan pajak yang memadai seperti yang dikutip dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 Pasal 1 Butir 29 (2007;6), yang menjelaskan pengertian pembukuan pajak sebagai berikut: “Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode tahun pajak tertentu.” Dengan begitu penyusunan pembukuan pajak yang baik yang merupakan salah satu tujuan pengendalian intern mutlak diperlukan dalam pencapaian target penerimaan pajak pertambahan nilai. Dapat disimpulkan bahwa dengan adanya pengendalian intern yang memadai dapat memberikan manfaat bagi KPP bandung cicadas dalam rangka pencapaian target penerimaan pajak pertambahan nilai.