BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Perbandingan Hukum Pidana Menurut Rene David, perbandingan hukum merupakan ilmu yang setua ilmu hukum itu sendiri, namun perkembangannya sebagai ilmu peengetahuan baru pada abad-abad terakhir ini. Demikian pula Adolf F. Schnitzer mengemukakan, bahwa baru pada abad ke-19 perbandingan hukum itu berkembang sesuai cabang khusus dari ilmu hukum. Perkembangan pada abad ke-19 terutama terjadi di Eropa (khususnya Jerman, Prancis, Inggris) dan Amerika. Pada mulanya minat studi perbandingan hukum bersifat perseorangan yang kemudian berkembang dalam bentuk kelembagaan (Barda Nawawi Arief, 1998 : 1). Historically speaking, one can occasionally read that comparative law as a serious academic discipline began as comparative criminal law, either in Germany or in France, or both. And yet, no introduction to comparative criminal law fails to point out that comparative law means, and has meant for quite some time, comparative civil law first and foremost. Textbooks on comparative law feel no need to address, or even acknowledge the existence of, comparative studies in criminal law. The massive International Encyclopedia of Comparative Law does not cover criminal law, devoting itself instead to virtually every aspect and variety of civil, commercial and economic law (Markus Dubber, 2006 : 1288). Dari penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa perbandingan hukum adalah hal yang sangat penting dalam pendidikan yang mana dimulai sebagai perbandingan hukum pidana, baik itu di negara Jerman atau Prancis atau keduanya—seperti yang dipaparkan dalam buku Barda Nawawi. Akan tetapi masih belum ada pengenalan mengenai apa yang dimaksud dengan perbandingan hukum pidana. Buku-buku tentang perbandingan hukum tidak merasa perlu menambahkan mengenai keberadaan pembelajaran komparatif dalam hukum pidana. Internasional Ensiklopedia tentang Perbandingan Hukum juga tidak meliputi hukum
13
14
pidana, melainkan tertuang hampir setiap aspek dan berbagai hukum perdata, hukum dagang dan ekonomi. Rudolf D. Schlessinger dalam bukunya (Comparative Law, 1959) mengemukakan : a. Comparative Law merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu b. Comparative Law bukanlah suatu perangkat peraturan dan asas-asas hukum, bukan suatu cabang hukum (is not a body of rules and principles) c. Comparative Law adalah teknik atau cara menggarap unsur hukum asing yang aktual dalam suatu masalah hukum (is the technique of dealing with actual foreign law elements of a legal problem). Bertolak dari pengertian demikian, maka tepatlah digunakan istilah “perbandingan hukum” dan bukan “hukum perbandingan” seperti yang dikemukakan oleh Dr. G. Guitens-Bourgois sebagai berikut : Perbandingan hukum adalah metode perbandingan yang diterapkan pada ilmu hukum, melainkan hanya suatu metode studi, suatu metode untuk meneliti sesuatu, suatu cara kerja, yakni perbandingan. Apabila hukum itu terdiri atas seperangkat peraturan, maka jelaslah bahwa hukum perbandingan itu tidak ada. Metode untuk membandingbandingkan aturan hukum dari berbagai sistem hukum tidak mengakibatkan perumusan-perumusan aturan-aturan yang berdiri sendiri : tidak ada aturan hukum perbandingan. Perbandingan hukum sebagai suatu metode mengandung arti bahwa ia merupakan suatu cara pendekatan untuk lebih memahami suatu obyek atau masalah yang diteliti. Oleh karena itu sering digunakan istilah metode perbandingan hukum (Barda Nawawi Arief, 1998 : 3-4). Mengenai perbandingan hukum sebagai metode penelitian, Prof. Dr. Soerjono Soekanto mengeaskan bahwa, dalam penelitian hukum normatif perbandingan hukum merupakan suatu metode, dimana di dalam ilmu hukum dan praktek hukum metode perbandingan sering diterapkan. Namun, dalam penelitian yang dilakukan oleh ahli-ahli
15
hukum yang tidak mempelajari ilmu-ilmu sosial lainya, metode perbandingan dilakukan tanpa sistematik atau pola tertentu. Oleh karena itu
penelitian-penelitian
perbandingan
biasanya
hukum merupakan
yang
mempergunakan
penelitian
sosiologi
metode hukum,
antropologi hukum, psikologi hukum, dan sebagainya yang merupakan penelitian hukum empiris. Walaupun belum ada kesepakatan, namun ada beberapa model atau paradigma tertentu mengenai penerapan metode perbandingan hukum, antara lain : a. Contantinnesco, mempelajari proses perbandingan hukum dalam tiga fase : 1) Pada
fase
pertama
mempelajari
konsep-konsep
(yang
diperbandingkan) dan menerangkannya menurut sumber aslinya (studying the concepts and examining them at their original source). Mempelajari konsep-konsep itu di dalam kompleksitas dan totalitas dari sumber-sumber hukum dengan pertimbangan yang sungguh-sungguh, yaitu dengan melihat hirarki sumber hukum itu dan menafsirkannya dengan menggunakan metode yang tepat atau sesuai dengan tata hukum yang bersangkutan. 2) Fase kedua memahami konsep-konsep yang diperbandingkan, yang berarti mengintegrasikan konsep-konsep itu kedalam tata hukum mereka sendiri, dengan memahami pengaruh-pengaruh yang dilakukan terhadap konsep-konsep itu dengan menentukan unsur-unsur dari sistem dan faktor di luar hukum, serta mempelajari sumber-sumber sosial dari hukum positif. 3) Fase ketiga melakukan penjajaran (menempatkan secara berdampingan) konsep-konsep itu untuk diperbandingkan. Pada fase ketiga ini merupakan fase yang agak rumit dimana metodemetode perbandingan hukum yang sesungguhnya digunakan, metode-metode ini ialah melakukan diskripsi, analisis, dan eksplanasi yang harus memenuhi kriteria yang bersifat kritis, sistematis, dan membuat generalisasi dan harus cukup luas dan
16
meliputi pengidentifikasian hubungan-hubungan dan sebabsebab dari hubungan-hubungan itu. b. Kamba, menekankan bahwa penjelasan mengenai perbedaanperbedaan dan persamaan-persamaan merupakan sesuatu yang seharusnya ada pada perbandingan hukum, ia juga membicarakan tiga fase yang terdiri dari deskripsi, analisa, dan eksplanasi. Juga menekankan pendekatan fungsional dan pendekatan pemecahan masalah sebagai suatu yang sangat diperlukan bagi perbandingan lintas-budaya. c. Schmidlin, mengemukakan tiga pendekatan yaitu : analisis menurut hukum (legal analysis), analisis menurut morfologi-struktural, dan analisis yang bersifat evolusi-historis dan fungsional. d. Soerjono Soekanto, perbandingan hukum mungkin diterapkan dengan memakai unsur-unsur sistem hukum sebagai titik-tolak perbandingan. Sistem hukum mencakup tiga unsur pokok, yaitu : 1) Struktur hukum yang mencakup lembaga-lembaga hukum 2) Substansi hukum yang mencakup perangkat kaidah atau perilaku teratur 3) Budaya hukum yang mencakup perangkat nilai-nilai yang dianut. Perbandingan hukum dapat dilakukan terhadap masing-masing unsur atau secara kumulatif terhadap semuanya. Dengan metode perbandingan hukum dapat dilakukan penelitian terhadap berbagai subsistem hukum yang berlaku di suatu masyarakat tertentu atau secara lintas sektoral terhadap sistem-sistem hukum berbagai masyarakat yang berbeda-beda (Barda Nawawi Arief, 1998 : 9-11). Traditionally, comparative law is thought to require comparing one country’s law with that of another. One might compare the common law approach to criminal law with the civil law approach, the influence of English criminal law throughout the common law world (composed of countries once under English rule) and the influence of German criminal law among civil law countries (including much of Latin America, Europe
17
(except France), Japan, Korea, and Taiwan) (Markus D Dubber, 2006 : 3). Dasarnya hukum perbandingan adalah membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain. Dapat berupa pendekatan perbandingan hukum pidana dalam sistem common law dengan sistem civil law, pengaruh dari hukum pidana Inggris terhadap negara-negara common law (yang terdiri dari negara-negara bekas jajahan Inggris, dimana dalam penelitian ini adalah negara Singapura) dan pengaruh dari hukum pidana Jerman dan juga Perancis diantara negara-negara civil law, dimana sistem civil law di Indonesia mendapat pengaruh dari Perancis (karena Belanda menyadur sistem hukum dari Perancis, maka Indonesia selaku negara bekas jajahan Belanda juga mendapat pengaruh dari Perancis). Comparative analysis of specific offenses is trickier than that of general principles of criminal liability. It’s easy enough to line up different definitions of, say, larceny in various jurisdictions. But little would be gained by cataloging differences and similarities, a task complicated by the need to consider differences in statutory context, categorization of offenses, general definitions, and style of codification. Comparison at the level of specific offenses makes for a good exercise in the careful reading of statutes, but yields limited insights into substantive criminal law (Markus D Dubber, 2006 : 10). Analisis perbandingan dari spesifikasi tindak pidana lebih sulit dibanding membandingkan dengan ketentuan umum pertanggung jawaban pidana. Cukup mudah untuk mendata perbedaan pengertianpengertian, tapi sedikit yang di dapatkan dengan mendaftar perbedaan dan persamaan tersebut, suatu hal yang sulit dilakukan karena dibutuhkan suatu
pertimbangan
perbedaan
dalam
konteks
undang-undang,
kategorisasi tindak pidana, pengertian umum, dan tipe kodifikasi. Membandingkan spesifikasi tindak pidana memberikan pelatihan yang baik dalam hal pembacaan undang-undang, tetapi menghasilkan wawasan yang terbatas berkaitan dengan substansi hukum pidana. Soerjono Soekanto menjelaskan kegunaan dari perbandingan hukum adalah sebagai berikut (Barda Nawawi Arief, 1998 : 18-19) :
18
a. Memberikan pengetahuan tentang persamaan dan perbedaan antara berbagai bidang tata hukum dan pengertian-pengertian dasarnya. b. Pengetahuan
tentang
persamaan
akan
mempermudah
mengadakan keseragaman hukum, kepastian hukum, dan kesederhanaan hukum. c. Pengetahuan tentang perbedaan yang ada memberikan pegangan atau pedoman yang lebih mantap bahwa dalam hal-hal tertentu keanekaragaman hukum merupakan kenyataan dan hal yang harus diterapkan. d. Perbandingan hukum akan dapat memberi bahan-bahan tentang faktor-faktor hukum apakah yang perlu dikembangkan atau dihapuskan secara berangsur-angsur demi integritas masyarakat. e. Perbandingan hukum dapat memberikan bahan-bahan untuk pengembangan hukum antara tata hukum pada bidang-bidang dimana kodifikasi dan unifikasi terlalu sulit untuk diwujudkan. f. Penting untuk melaksanakan pembaharuan hukum. g. Di bidang penelitian penting untuk lebih mempertajam dan mengarahkan proses penelitian hukum. h. Di bidang pendidikan hukum, memperluas kemampuan untuk memahami sistem hukum yang ada serta penegakannya yang tepat dan adil. Having a look around will reveal not only differences, but also a great many similarities, especially on the level of criminal law doctrine, rather than in matters of broad penal policy. Comparative criminal law is not a one-way street; at its best, it involves the exchange of ideas in a spirit of mutual curiosity. A rule or an approach is neither better nor worse simply because it is foreign (Markus D Dubber, 2006 : 10). Melihat sekeliling akan membuka tidak hanya perbedaan, tetapi juga banyak persamaan, terutama mengenai doktrin tindak pidana. Perbandingan hukum pidana bukanlah satu arah pembelajaran, bagian terbaiknya justru hal tersebut melibatan suatu pertukaran ide dalam hal
19
persamaan keingintahuan. Suatu aturan atau pendekatan tidak lebih baik atau lebih buruk hanya karena merupakan milik negara lain.
2. Tinjauan tentang Sistem Hukum a. Sejarah Civil Law dan Common Law Sejak awal abad pertengahan sampai pertengahan XII, hukum Inggris dan Hukum Eropa Kontinental masuk ke dalam bilangan sistem hukum yang sama yaitu hukum Jerman. Hukum tersebut bersifat feodal baik substansinya maupun prosedurnya. Satu abad kemudian terjadi perubahan situasi, Hukum Romawi
yang
merupakan hukum materiil dan hukum Kanonik yang merupakan hukum acara telah mengubah kehidupan di Eropa Kontinental, sedangkan di Inggris terluput dari pengaruh tersebut, dimana masih berlaku hukum asli rakyat Inggris (Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 261). Pembentukan suatu hukum yang baru di Eropa Kontinental dan di Inggris memang melalui proses yang panjang dan kompleks. Sejarah perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari sejarah ekonomi, politik, dan intelektual Eropa Barat. Hukum yang baru terbangun dari jalinan berbagai unsur, yaitu kebiasaan-kebiasaan dan praktik-praktik yang ada, kebiasaan-kebiasaan para saudagar, hukum kanonik, hukum Romawi, dan pada tahap yang paling akhir filsafat hukum alam. Banyak pihak yang mempunyai saham dalam pembentukan hukum baru tersebut, yaitu para praktisi, hakim, administrator, akademisi, pengguna hukum, kaum gerejani, dan filosof (Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 266). Sistem
hukum
yang
dianut
oleh
negara-negara
Eropa
Kontinental tersebut, yang didasarkan atas hukum Romawi disebut sebagai sistem civil law, disebut demikian karena hukum Romawi pada mulanya bersumber kepada karya agung Kaisar Iustinianus Corpus Iuris Civilis. Sedangkan sistem yang dikembangkan di
20
Inggris, karena didasarkan atas hukum asli rakyat Inggris, maka disebut sistem common law, dikarenakan sistem common law dianut oleh suku-suku Anglika dan Saksa yang mendiami sebagian Inggris, sehingga disebut juga sebagai sistem Anglo-Saxon (Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 262). Negara-negara jajahan biasanya menganut sistem hukum yang dibawa oleh negara penjajahnya, seperti halnya negara Indonesia yang dijajah oleh Belanda, dimana sistem hukum yang dianut Belanda adalah civil law, maka dengan demikian secara garis besar Indonesia juga menganut sistem civil law. Berbeda dengan negara Singapura yang merupakan negara jajahan Inggris menganut sistem hukum yang berbeda dengan Indonesia, yaitu sistem hukum common law.
b. Sistem Hukum Civil Law Civil law (Ade Maman Suherman, 2004 : 57) dapat di definisikan sebagai suatu tradisi hukum yang berasal dari Hukum Roma yang terkodifikasi dalam Corpus Juris Civilis Justinian dan tersebar ke seluruh benua Eropa dan seluruh dunia. Kode Sipil terbagi kedalam dua cabang, yaitu : 1) Hukum Romawi yang terkodifikasi (Kode Sipil Prancis 1804) dan daerah lainnya di benua Eropa yang mengadopsinya (Quebec dan Lousiana); dan 2) Hukum Romawi yang tidak dikodifikasi (Skotlandia dan Afrika Selatan). Hukum kode sipil sangat sistematistis, terstruktur yang berdasarkan deklarasi para dewan, prinsip-prinsip umum, dan sering menghindari hal-hal yang detail. Hugo Grotius mengungkapkan pendapatnya tentang Hukum Romawi sebagai berikut : When no general written laws, preveleges, by laws or customs were found touching the matter in hand, the judges were from times of old admonished by oath to follow the path of reason according to
21
their knowledge and disrection. But since the roman laws particulary as codified under Justinian, were consider by men of understanding to be full of wisdom and equity, these were first receive of patterns of wisdom and equity and in course of time by custom as law. Secara singkat, apabila tidak ada hukum umum yang tertulis, dan tidak ditemukan hukum kebiasaan dalam menangani perkara, hakim dari zaman old admonish (peradilan sistem lama dalam mengadili perkara) berdasarkan sumpah mengikuti alur logika menurut ilmu pengetahuan dan diskersi. Namun sejak hukum Romawi, khususnya sebagai hukum terkodifikasi oleh Justinian dapat dipertimbangkan oleh semua orang untuk memperoleh kebijaksanaan dan keadilan dalam periode kebiasaan sebagai hukum. Sedangkan sistematika yang dipakai pada sistem kodifikasi Belanda merupakan adopsi dari hukum Napoleon. Tidak banyak perbedaan antara sistem Indonesia dengan Belanda, tapi dalam struktur (legal structure) sistem penegakan hukum (pidana) ada perbedaan yang fundamental (Ade Maman Suherman, 2004 : 60-61). Sistem Civil Law diturunkan dari hukum Romawi Kuno, dan pertama kali diterapkan di Eropa berdasarkan jus civile Romawi, yaitu hukum privat yang diaplikasikan kepada warga negara dan di antara warga negara. Sistem hukum ini juga disebut sebagai jus guiritium sebagai lawan sistem jus gentium untuk diaplikasikan secara internasional, yakni antar negara. Dalam perjalanan waktu, hukum Romawi tersebut kemudian di kompilasikan bahkan kemudian dikodifikasikan. Sistem hukum civil law istilah “code” (undang-undang) yaitu sekumpulan klasula dan prinsip hukum umum yang otoritatif, komprehensif, dan sistematis yang dimuat dalam Kitab atau Bagian yang disusun secara logis sesuai dengan hukum terkait. Oleh sebab itu, peraturan civil law dianggap sebagai sumber hukum utama, dimana semua sumber hukum lainnya menjadi subordinatnya, dan
22
sering kali dalam masalah hukum tertentu satu-satunya menjadi sumber hukumnya. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Indonesia yang merupakan bekas jajahan Belanda juga menganut sistem Civil Law yang waktu itu juga menjadi sistem hukum yang berlaku di Belanda. Berikut beberapa karakter sistem hukum civil law : 1) Adanya kodifikasi hukum sehingga pengambilan keputusan oleh hakim dan oleh penegak hukum lainnya harus mengacu pada Kitab Undang-Undang atau Perundang-undangan, sehingga undang-undang menjadi sumber hukum yang utama atau sebaliknya hakim tidak terikat pada preseden atau yurisprudensi. 2) Adanya perbedaan yang tajam antara hukum privat dengan hukum publik. Meskipun secara konseptual sistem common law maupun civil law mengakui bahwa hukum privat mengatur hubungan antara warga negara dan antar perusahaan, sedangkan hukum publik mengatur hubungan antara warga negara dengan negara. Tapi perbedaannya dalam civil law membawa implikasi praktis yang lebih mendalam. Karena perbedaan pada civil law membawa implikasi praktis yang lebih mendalam. Karena perbedaan pada civil law kemudian muncul dua macam hierarki pengadilan, yaitu peradilan perdata dan peradilan pidana. Bahkan pada karakter civil law seperti di Indonesia perbedaan peradilan itu tidak saja hanya terbatas pada peradilan pidana dan perdata, tetapi muncul pula Peradilan Tata Usaha Negara, Perdilan untuk penyelesaian persoalan Kepailitan, Peradilan Pajak, Mahkamah Konstitusi, Peradilan Militer, dan Peradilan khusus untuk tindak pidana korupsi (TIPIKOR). Dalam sistem common law tidak ada pengadilan tersendiri berkenaan dengan perselisihan hukum publik. Di dalam sistem civil law kumpulan substansi hukum privat secara prinsipal terdiri dari civil law dalam pengertian hukum perdata yang selanjutnya dipecah ke
23
dalam beberapa subbab atau devisi hukum seperti hukum orang dan keluarga, hukum benda, rezim hukum kepemilikan, hukum perjanjian atau kontrak. 3) Dalam sistem civil law dikenal perbedaan hukum perdata (civil law) dengan hukum dagang (commercial law). Hukum dagang menjadi bagian hukum perdata, tetapi diatur dalam kumpulan hukum yang berbeda yang dimuat dalam Kitab Undang-Undang tersendiri. Dalam sistem hukum common law tidak ada perbedaan antara hukum perdata dengan hukum dagang dengan alasan yang sederhana bahwa hukum dagang adalah bagian dari hukum perdata, sebagai lawan dari hukum pidana (Zainal Asikin, 2012 : 126-128). 4) Selain ketiga karakteristik yang telah disebutkan sebelumnya, sistem
civil law jug memiliki karakteristik dimana sistem
peradilan bersifat inkuisitorial (Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 286). Lawrence Friedman menyatakan, di dalam sistem tersebut hakim mempunyai peranan yang besar dalam mengarahkan dan memutus perkara; hakim aktif dalam menemukan fakta dan cermat dalam menilai alat bukti. Menurut pengamatan Friedman, hakim di dalam sistem civil law berusaha untuk mendapatkan
gambaran
dihadapinya
sejak
lengkap
awal,
sistem
dari ini
peristiwa
yang
mengandalkan
profesionalisme dan kejujuran hakim (Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 294).
c. Sistem Hukum Common Law Sistem common law memiliki tiga karakter, yaitu yurisprudensi dianut sebagai sumber hukum yang utama, kedua dianutnya prinsip stare decisis, dan ketiga dianutnya adversary system dalam peradilan. Sistem ini berasal dari Inggris (dalam sistem ini tidak ada sumber hukum, sumber hukum hanya kebiasaan masyarakat yang
24
dikembangkan di pengadilan/keputusan pengadilan) (Zainal Asikin, 2012 : 128). Dianutnya yurisprudensi, stare decisis, dan adversary system pada sistem hukum common law dilandasi oleh beberapa alasan. Pertama dianutnya yurisprudensi sebagai sumber hukum yang utama merupakan prosuk dari perkembangan hukum Inggris yang tidak terpengaruh hukum Romawi. Adapun alasan dipergunakannya hukum Romawi ada dua hal, yaitu : 1) Alasan psikologis dimana setiap penegak hukum yang ditugasi menyelesaikan masalah hukum sedapat mungkin mencari alasan pembenar atas putusannya dengan merujuk pada putusan yang telah ada sebelumnya daripada memberikan putusan lain yang mungkin akan menimbulkan polemik dan penolakan. 2) Alasan praktis adalah diharapkan adanya putusan yang seragam demi tercapainya suatu kepastian hukum daripada adanya putusan yang berbeda-beda atas suatu kasus yang sama atau mirip. Kedua, dianutnya prinsip stare decisis yaitu hakim terikat mengikuti putusan terdahulu yang telah ia putuskan atau telah diputuskan oleh pengadilan lain yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde). Konsekuensi dari prinsip ini terdapat hierarki pengadilan yang bersifat kaku dimana hakim yang lebih rendah harus mengakui keputusan hakim yang lebih tinggi untuk kasus yang sama. Ketiga, prinsip adversary system mengharuskan kedua belah pihak (Penggugat maupun Tergugat dalam Perkara Perdata) atau Jaksa dan Pengacara dalam perkara pidana benar-benar harus mampu menampilkan kemampuannya meyakinkan juri dengan alatalat bukti yang dimilikinya untuk memenangkan perkara. Para pembela dan jaksa seolah-olah bersandiwara bagaikan pemain sinetron untuk meyakinkan juri di depan hakim. Hakim dalam
25
persidangan layaknya sebagai seorang wasit dalam pertandingan olahraga yang hanya mengatur jalannya pertandingan, dan hakim tidak menyatakan siapa yang salah dan siapa yang menang. Putusan benar dan salah, menang dan kalah diserahkan sepenuhnya pada juri, dan selanjutnya tinggal memutuskan hukuman atas orang yang kalah sesuai dengan yurisprudensi sebelumnya. Secara lebih terinci Peter de Cruz (Zainal Asikin, 2012 : 129130) menjelaskan karakter sistem hukum common law sebagai berikut : 1) Hukum dalam sistem common law dilandasi oleh perkara atau berbasis perkara yang diselesaikan melalului penalaran logis; 2) Hukum dilandasi oleh doktrin preseden yang hierarkis; 3) Sumber hukum pada umumnya adalah undang-undang dan kasus (perkara); 4) Gaya hukumnya lebih khusus dan banyak mengandalkan improvisasi serta pragmatis; 5) Tidak ada perbedaan antara hukum publik dan privat. Penermimaan Hukum Inggris di Singapura sendiri terjadi dengan dikeluarkannya Charter of Justice (Piagam Keadilan) yang ketiga pada 1855, piagam tersebut tidak dipandang sebagai pengenalan kembali hukum Inggris seperti keadannya waktu itu. Tidak seperti piagam yang kedua yang dikeluarkan pada 1826, yang membentuk sebuah pengadilan baru bagi Singapura, piagam III dikeluarkan untuk mengatur kembali struktur pengadilan yang sudah ada. Sehingga Piagam Keadilan II tahun 1826 Singapura menerima : 1) Sebuah sistem peradilan yang didasarkan pada struktur Inggris yang berlaku saat itu 2) Sebagai akibat dari interpretasi yudisial terhadap bahasa dari Piagam Keadilan II 1826, ia menerima hukum Inggris seperti yang berlaku di Inggris sejak tanggal dikeluarkannya Piagam tersebut, yakni 27 November 1826
26
Sehingga, semua undang-undang Inggris yang dikeluarkan sejak tanggal tersebut tidak bisa diaplikasikan di Singapura. Mungkin saja, disana tidak ada poin „yang dihilangkan‟, tetapi masalahnya tetap belum bisa diselesaikan secara definitif. Penerimaan ganda ini dikenal sebagai „penerimaan hukum Inggris secara umum‟. Oleh sebab itu pondasi-pondasi dari sistem hukum Singapura yang baru lahir tersebut telah diletakkan, yang menempatkannya secara jelas di dalam kerabat atau tradisi common law Inggris. Application of English Law Act 1993 (AELA) (Undang-undang penerapan Hukum Inggris) menyatakan (pada daftar yang terdapat di dalam skedul tambahannya) undang-undang Inggris yang terus diaplikasikan di Singapura, dan common law
Inggris (termasuk
prinsip-prinsip dan peraturan pertimbangan keadilan), yang berlaku sebelum ditetapkannya undang-undang tahun 1993 akan terus diberlakukan dan merupakan bagian dari hukum Singapura (Peter De Cruz, 2012 : 175-176).
3. Tinjauan tentang Percobaan Tindak Pidana a. Percobaan Tindak Pidana di Indonesia Menurut Pasal 53 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa “Mencoba melakukan kejahatan dipidana jika niat itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”. Dari penjelasan pasal tersebut jelas bahwa pembentuk undangundang tidak memberi penjelasan tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan “percobaan” atau “poging” itu, akan tetapi telah menyebutkan sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pelaku, agar pelaku tersebut menjadi dapat dihukum karena dapat dipersalahkan telah melakukan suatu percobaan untuk melakukan suatu kejahatan sebagaimana yang dimaksud dalam rumusan ketentuan pidana dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.
27
Satu-satunya penjelasan yang dapat diperoleh dari Memorie van Toelichting mengenai pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP tersebut adalah sebuah kalimat yang berbunyi : “Poging tot misdrijf is dan de begonnen maar niet voltooide uitvoering van het misdrijf, of wel door een begin van uitvoering geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen.” Artinya : “Dengan demikian, maka percobaan untuk melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang telah dimulai akan tetapi ternyata tidak selesai, ataupun suatu kehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah diwujudkan di dalam suatu permulaan pelaksanaan.” (P.A.F Laminatang, 2013 : 535-536) Ada dua sifat delik percobaan (Winarno Budyatmojo, 2009 : 23) : 1) Pandangan pertama, yaitu antara lain dikemukakan oleh Moeljatno mengatakan bahwa percobaan adalah sebagai Tadbestanqusdeh nungsgrond, artinya bahwa percobaan adalah merupakan memperluas
delik
tersendiri
jumlah
delik.
delictum
sui
generis,
Menurut
Moeljatno,
jadi alasan
memasukkan percobaan sebagai delik tersendiri adalah : a) Pada dasarnya seseorang itu dipidana karena melakukan suatu delik. b) Di dalam hukum adat tidak dikenal adanya delik percobaan, yang ada hanya delik selesai. Dalam hal ini Moeljatno mengemukakan sebuah contoh yang diambil dari buku KARNI “rangkaian hukum pidana”, mengenai putusan pengadilan di Palembang dimana seorang laki-laki telah mengaku menangkap/mendekap badan seorang gadis dengan maksud akan melakukan persetubuhan dan dengan demikian mau kawin dengannya, tidak dihukum karena melakukan
percobaan
persetubuhan
dengan
paksa,
28
melainkan dihukum karena menangkap/mendekap badan gadis. c) Dalam KUHP ada beberapa delik percobaan yang dipandang berdiri sendiri, jadi merupakan delik selesai yaitu Pasal 104, 106, 107 yang dinamakan sebagai delik makar (aanslagdelicten). 2) Pendirian lain mengatakan bahwa percobaan adalah sebagai Strafausdehnungs grond artinya memperluas dipidananya seseorang (Strafbaarheind). Bahwa seseorang yang melakukan percobaan untuk suatu tindak pidana meskipun ia tidak memenuhi semua unsur perbuatan pidana ia dihukum karena telah memenuhi rumusan Pasal 53 KUHP. Jadi pendirian ini menyatakan
bahwa
sifat
dipidananya
seseorang,
percobaan sehingga
meluaskan
menurut
dapat
Hazewinkel
percobaan merupakan bentuk delik yang tidak sempurna (onvolkomen delicsvorm). Selain itu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pelaku agar pelaku tersebut menjadi dapat dihukum karena telah melakukan suatu “percobaan untuk melakukan kejahatan seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP adalah (P.A.F Lamintang, 2013 : 536) : 1) Adanya suatu maksud atau voornemen dalam arti bahwa orang itu haruslah mempunyai suatu maksud atau suatu voornemen untuk melakukan suatu kejahatan tertentu. 2) Telah adanya suatu permulaan pelaksanaan atau suatu begin van uitvoering dalam arti bahwa maksud orang tersebut telah ia wujudkan dalam suatu permulaan untuk melakukan kejahatan yang ia kehendaki. 3) Pelaksanaan untuk melakukan kejahatan yang ia kehendaki itu kemudian tidak selesai disebabkan oleh masalah-masalah yang tidak bergantung pada kemauannya, atau dengan perkataan lain
29
tidak selesainya pelaksanaan untuk melakukan kejahatan yang telah ia mulai itu haruslah disebabkan oleh masalah-masalah yang berada di luar kemauannya sendiri. Syarat yang pertama adalah voornemen atau maksud/niat, berbagai pendapat diuraikan mengenai apa yang dimaksud dengan voornemen. Profesor Van Bemmelen mengatakan, bahwa voornemen atau maksud untuk melakukan kejahatan pada suatu percobaan itu sama dengan opzet pada voltooide opzettelijke delict atau pada delik yang harus dilakukan dengan sengaja yang telah sesuai dilakukan, oleh karena itu tidak ada alasan untuk membuat perbedaan antara voornemen dengan opzet. Menjelaskan pendapat tersebut, Profesor Van Bemmelen membuat perbedaan antara voleindigde poging atau “percobaan yang selesai” dan niet voleindigde poging atau “percobaan yang tidak selesai”. Sebagai contoh dari percobaan yang selesai adalah suatu percobaan dimana pelakunya telah melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk adanya suatu voltooid delict, akan tetapi kemudian ternyata tidak selesai. Misalnya pada percobaan
untuk
melakukan
pembunuhan,
pelakunya
telah
melepaskan tembakan pada korban, akan tetapi ternyata pelurunya tidak mengenai korban. Kemudian untuk contoh percobaan yang tidak selesai adalah misalnya seseorang yang mencoba melakukan pencurian sebuah sepeda, dan pada waktu ia sedang mencoba untuk membuka kunci sepeda tersebut perbuatannya diketahui oleh seseorang yang memang bertugas menjaga sepeda. Dari penjelasan yang diuraikan tersebut, Profesor Van Bemmelen menyatakan bahwa pada “percobaan yang selesai” itu voornemen dan opzet terjadi pada saat yang sama, sedang pada “percobaan yang tidak selesai” itu tidak ada perbedaan yang besar antara voornemen dan opzet. Pendapat lain diungkapkan oleh Hazewinkel Suringa yang mengemukakan bahwa ia juga menyamakan voornemen dengan
30
opzet. Menguatkan pendapatnya, Hazewinkel Suringa antara lain telah menunjuk pada arrest Hoge Raad tanggal 6 Februari 1951, N.J 1951 No. 475 yang oleh Profesor Van Bemmelah telah disebut sebagai automobilist-arrest yang dalam tingkat kasasi telah menyatakan seorang pengendara mobil terbukti bersalah telah melakukan suatu percobaan pembunuhan terhadap seorang anggota polisi,
yang
untuk
keperluan
pemeriksaan
memerintahkan
pengendara tersebut berhenti, akan tetapi pengendara mobil tidak mentaati perintah dan dengan kecepatan tinggi mengarahkan mobil yang dikendarainya ke arah anggota polisi yang bersangkutan, akan tetapi anggota polisi tersebut sempat menghindar. Dari putusan Kasasi tersebut dapat diketahui bahwa pernyataan voornemen dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP diartikan sebagai voorwaardelijk opzet. Berbeda dengan pendapat Hazewinkel Suringa dan Bemmelen, VOS justru berpendapat bahwa voornemen dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP tidak boleh diartikan sebagai voorwaardelijk opzet dan menyatakan bahwa voornemen hanyalah diartikan semata-mata sebagai opzet als oogmerk, akan tetapi pendapat VOS tersebut tidak dapat diterima oleh penulis yang lain (P.A.F Lamintang, 2013 : 544-546). Syarat yang kedua adalah, bahwa voornemen atau maksud seseorang tersebut haruslah telah diwujudkan dalam suatu permulaan pelaksanaan atau begin van uitvoering. Para penulis pada umumnya berpendapat bahwa permulaan pelaksanaan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP harus diartikan sebagai “permulaan pelaksanaan dari kejahatan” saja, akan tetapi ada juga penulis-penulis yang berpendapat bahwa pernyataan tersebut bukan hanya harus diartikan sebagai “permulaan pelaksanaan dari maksud si pelaku” saja melainkan juga sebagai “permulaan pelaksaanaan dari kejahatan” yang oleh si pelaku telah dimaksud untuk ia lakukan.
31
Memori penjelasan mengenai pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP telah diberikan beberapa penjelasan, yaitu antara lain (P.A.F Lamintang, 2013 : 553) : 1) Batas antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan percobaan yang telah dapat dihukum itu terdapat di antara apa yang disebut voorbereidingshandelingen atau tindakan-tindakan persiapan dengan apa yang disebut uitvoeringshandelingen atau tindakan-tindakan pelaksanaan. 2) Apa yang dimaksud dengan uitvoeringshandelingen
adalah
tindakan-tindakan yang mempunyai hubungan yang demikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan dan telah dimulai dengan pelaksanaannya. 3) Pembentuk undang-undang tidak bermaksud menjelaskan lebih lanjut tentang batas-batas antara voorbereidingshandelingen dan uitvoeringshandelingen seperti dimaksud diatas. Terdapat persoalan tentang batas antara perbuatan persiapan dan perbuatan pelaksanaan, kapankah suatu perbuatan merupakan perbuatan persiapan dan kapankah sudah merupakan pelaksanaan yang merupakan unsur delik percobaan. Memori penjelasan menyatakan bahwa persoalan tersebut tidak dapat dipecahkan atau ditetapkan lewat undang-undang, namun diserahkan kepada hakim dan ilmu pengetahuan untuk melaksanakan asas yang ditetapkan dalam undang-undang. Di dalam Ilmu Pengetahuan selalu dicoba untuk memecahkan persoalan tersebut yang biasanya dihubungkan dengan pendapat tentang dasar pemidanaan dari Strafbare poging. Teori-teori tentang dasar pemidanaan ialah terutama mencari dasar patut dipidananya percobaan. Sesudah itu apabila sudah dikatakan atas dasar apa percobaan itu strafbare, maka dapat ditentukan kapan ada perbuatan pelaksanaan yang merupakan delik percobaan dan kapan ada perbuatan persiapan yang bukan
32
merupakan delik. Adapun teori-teori tersebut adalah (Winarno Budyatmojo, 2009 : 4-6) : 1) Teori Subyektif : menurut teori ini dasar patut dipidananya percobaan (strafbare poging) terletak pada watak yang berbahaya dari si pembuat. Jadi unsur sikap batin itulah yang merupakan pegangan bagi teori tersebut. Suatu percobaan adalah berbahaya sehingga patut dipidana, karena perbuatan tersebut didukung oleh batin yang berbahaya. 2) Teori Obyektif : menurut pandangan ini dasar dari strafbare poging itu terletak pada sifat berbahayanya perbuatan yang dilakukan oleh si pembuat. 3) Disamping kedua teori tersebut, Lange Meyer mempunyai pandangan gabungan, ia menyatakan bahwa patut dipidananya perbuatan ialah apabila memenuhi syarat dari kedua unsur itu karena sikap batin yang berbahaya dan sikap perbuatan yang berbahaya. Namun karena pelaksanaan dari pandangan tersebut menemui kesuakaran pada kenyataannya, maka pandangan Lange tersebut cenderung pada teori obyektif semata-mata. Syarat ketiga dari percobaan melakukan kejahatan menurut Pasal 53 ayat (1) menyatakan bahwa “pelaksanaan itu sendiri telah tidak selesai yang semata-mata disebabkan oleh keadaan-keadaan yang tidak bergantung pada kemauannya”. Terdakwa dikatakan tidak dapat meneruskan, jika : 1) Fisiknya terhalang untuk menyelesaikan kejahatan itu, misalnya pelaku dipegang oleh orang lain hingga ia tidak dapat bergerak lagi, atau karena campur tangan orang lain, senjata menjadi terlepas dari tangannya. Juga apabila semua yang dilakukan selesai tapi tak dapat timbul akibat karena ada kerusakan alat yang dipakai. 2) Meskipun tidak ada penghalang fisik tapi penyadaran diri nyata disebabkan karena ada penghalang fisik, misal takut akan
33
diketahui, dalam hal ini juga dapat dikatakan bahwa tidak dapat terus lagi. Selain yang telah dijelaskan sebelumnya juga terdapat istilahistilah percobaan tertunda, percobaan yang terhenti atau percobaan yang tidak lengkap dan percobaan yang selesai. Dikatakan ada percobaan tidak lengkap, jika perbuatan yang diperlukan untuk kejahatan belum semua dilaksanakan karena penghalang dari luar atau karena tidak memungkinkan tindakan itu dilengkapkan atau karena pengurungan yang sukarela. Sedangkan suatu percobaan yang lengkap yaitu jika perbuatan yang diperlukan untuk kejahatan sudah semua dilaksanakan akan tetapi akibat dari kejahatan tersebut tidak timbul karena penghalang dari luar atau pengunduran diri secara sukarela. Moeljatno dan Pompe menyatakan bahwa ketika ada pengurungan sukarela, perbuatan tersebut tetap dilarang, masalah tidak dipidananya seseorang tersebut merupakan permasalahan pertanggungjawaban pidana (Winarno Budyatmojo, 2009 : 14-15). Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa syarat ketiga percobaan adalah “pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena keinginannya sendiri”, sehingga apabila tidak selesainya suatu kejahatan itu disebabkan oleh keadaan-keadaan yang bergantung pada pelaku, maka pelakunya tidak dapat dihukum. Tindakan seorang pelaku yang dengan sengaja telah membuat pelaksanaan kejahatan yang ingin ia lakukan menjadi tidak selesai, yang
semata-mata
disebabkan
oleh
keadaan-keadaan
yang
bergantung pada kemauannya itu, di dalam doktrin juga sering disebut sebagai suatu vrijwillige terugtred, yang secara harafiah berarti “membatalkan niatnya secara sukarela”. Dari memori penjelasan (Memorie van Toelichting) mengenai pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP dapat diketahui bahwa ada jaminan pelaku tidak dapat dihukum ketika pelaksanaan tersebut selesai karena kemauannya, yaitu :
34
1) Apabila si pelaku dapat membuktikan bahwa pada waktunya yang tepat ia masih mempunyai keinginan untuk membatalkan niatnya yang jahat, 2) Karena jaminan semacam itu merupakan suatu sarana yang paling pasti untuk dapat menghentikan pelaksanaan suatu kejahatan yang sedang berlangsung. Syarat tentang tidak dapat dihukumnya seorang pelaku seperti dimaksud, menurut undang-undang yang berlaku di Indonesia bukan merupakan
suatu
dasar
yang
meniadakan
hukuman
(strafuitslutingsgrond), melainkan oleh pembentuk undang-undang telah dibuat sebagai salah satu unsur dari percobaan yang dapat dihukum seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP (P.A.F Lamintang, 2013 : 571). Selanjutnya mengenai Percobaan Tidak Mampu, merupakan percobaan yang tidak mungkin untuk menimbulkan delik selesai, ada dua kriteria percobaan tidak mampu, yaitu tidak mampu karena obyeknya (misal, seseorang mencoba membunuh tapi ternyata orang tersebut telah mati) dan tidak mampu karena alatnya (contoh, seseorang mencoba membunuh menggunakan racun, tapi ternyata racun tersebut adalah gula). Memorie van Toelichting (M.V.T) menyatakan bahwa : syarat-syarat umum delik percobaan menurut Pasal 53 KUHP yaitu syarat-syarat percobaan untuk melakukan kejahatan tertentu dalam buku II KUHP. Jika untuk terwujudnya kejahatan tertentu tersebut diperlukan adanya obyek maka percobaan melakukan itupun harus ada obyeknya. Kalau tidak ada obyeknya, maka juga tidak ada percobaan. Percobaan tidak mampu mengenai alatnya dibedakan antara tidak mampu mutlak dan tidak mampu relatif. Menurut M.V.T tidak mampu mutlak itu ada bila dengan alat itu tidak pernah mungkin menimbulkan delik selesai, dan dalam hal alat tersebut tidak mampu mutlak maka tidak ada delik percobaan. Sedangkan percobaan tidak
35
mampu relatif bila dengan alat itu tidak ditimbulkan delik selesai, karena justru hal ikhwal yang tertentu, dalam mana si pembuat melakukan perbuatan atau justru karena keadaan tertentu dalam mana orang yang dituju itu berada. Ukuran yang ditentukan oleh M.V.T untuk menentukan tidak mampu mutlak dan tidak mampu relatif mengandung kesukaran-kesukaran. Vos, Jonkers, NoyonLangemeyer Van Hattum berpendapat bahwa perbedaan antara absolut dan relatif itu sedikit banyak willekeurig (tergantung dari kehendak orang yang menggunakan) (Winarno Budyatmojo, 2009 :15-17). Selain Pasal 53 ayat (1) KUHP, percobaan tindak pidana juga diatur dalam Pasal 53 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) KUHP yang pada intinya menjelaskan mengenai penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana percobaan. Pada ayat (2) menjelaskan bahwa “maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan
dikurangi
sepertiga”,
kemudian
pada
ayat
(3)
menyatakan bahwa “jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun”, serta ayat (4) yang berbunyi “pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai”. Sebagai tambahan Pasal 54 KUHP juga menjelaskan bahwa mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana.
b. Percobaan Tindak Pidana di Singapura Percobaan tindak pidana (Attempt to commit Offences) diatur dalam Pasal 511 ayat (1) dan ayat (2) Chapter XXIII Singapore Penal Code yang isinya berbunyi : (1) Subject to subsection (2), whoever attempts to commit an offence punishable by this Code or by any other written law with imprisonment or fine or with a combination of such punishments, or attempts to cause such an offence to be committed, and in such attempt does any act towards the commission of the offence, shall, where no express provision is
36
made by this Code or by such other written law, as the case may be, for the punishment of such attempt, be punished with such punishment as is provided for the offence. (2) The longest term of imprisonment that may be imposed under subsection (1) shall not exceed — (a) 15 years where such attempt is in relation to an offence punishable with imprisonment for life; or (b) one-half of the longest term provided for the offence in any other case. Artinya : (1) Subjek pada ayat (2), siapa saja yang mencoba melakukan tindak pidana yang dapat dihukum melalui undang-undang ini atau melalui hukum tertulis lainnya dengan penjara atau denda atau dengan keduanya, atau percobaan yang menyebabkan tindak pidana tersebut dilakukan, dan dalam tindakan percobaan tersebut telah mengarah terhadap tindak pidana, akan, dimana tidak ada ketentuan yang jelas dibuat melalui undang-undang ini atau melalui hukum tertulis lainnya, dilihat dari masalahnya untuk hukuman dari percobaan tersebut, dihukum dengan hukuman seperti dalam tindak pidana. (2) Masa hukuman penjara terpanjang yang dapat dikenakan pada ayat (1) tidak boleh melewati— (a) 15 tahun dimana percobaan tersebut berhubungan dengan tindak pidana yang dihukum dengan penjara seumur hidup (b) Setengah dari masa terlama yang diberikan untuk tindak pidana dalam kasus lain. The maximum penalty of an attempt is equivalent to the punishment for the complete offence. There are those attempts where the person has done all the acts he believes are requisite to achieve the intended crime, but for some unimagined reason the attempt fails. These are termed ‘complete attempts’. An ‘incomplete attempt’ occurs when surpasses the preparatory stages is yet to perform the step which would amount to the commission of the substantive offence. ‘Impossible attempts’ are fairly self-explanatory as the name evidently states that these attempts ensue when an individual embarks on a crime. Even though it may be physically or legally impossible, it is still conducive to punishment.
37
(http://www.peterjepson.com/law/LA2-7%20Omega.pdf, pada 29/11/2015 pukul 15.11 WIB).
diakses
Maksimum hukuman percobaan tindak pidana disamakan dengan tindak pidana selesai. Ada percobaan dimana seseorang telah selesai melakukan semua tindakan yang dirasa olehnya diperlukan agar kejahatan yang diharapkannya tercapai, akan tetapi untuk beberapa alasan percobaan tersebut gagal. Hal inilah yang dimaksud dengan „percobaan selesai‟. Suatu „percobaan yang tidak selesai‟ terjadi ketika melampaui persiapan pelaksanaan tapi langkahlangkah tersebut belum dilaksanakan yang mana menimbulkan tindak pidana. Percobaan yang mustahil adalah dimana percobaan ini terjadi ketika seseorang meninggalkan kejahatannya. Walaupun hal tersebut secara nyata tidak mungkin, tetap saja mengakibatkan sanksi pidana. Many complete offences do not require intention—an intention to bring about the elements of the offence. Some offences are so defined that they can be committed either intentionally or recklessly. When the law defines the general inchoate offence of ‘attempt’, however, recklessness does not typically suffice: one who is to be guilty of an attempted crime must have intended to commit the relevant complete offence. This is puzzling. We see good reason to convict of a complete offence both a person who causes damage or injury intentionally, and one who causes such harm recklessly. We also see good reason to convict of an inchoate offence one who acts with the intention of causing such harm but does not actually cause it—such generally good reason that we define a general inchoate offence of ‘attempt’ to convict such people (R.A Duff, 2012 : 6). Banyak tindak pidana yang tidak memerlukan niat awal dalam pelaksanaannya. Beberapa tindak pidana dapat dilakukan baik secara sengaja atau nekad. Ketika hukum mendefinisikan suatu permulaan tindak pidana dalam suatu percobaan, bagaimanapun modal nekad tidak mencukupi : seseorang yang bersalah melakukan percobaan tindak pidana pasti merencanakan untuk melakukan tindak pidana tersebut sampai selesai. Hal ini membingungkan. Dapat dilihat bahwa ada alasan baik untuk menghukum suatu tindak pidana selesai
38
yang mana orang tersebut mengakibatkan kerusakan atau luka secara sengaja dan yang mengakibatkan kerugian tersebut dengan sembrono. Dapat juga dilihat bahwa ada alasan baik untuk menghukum suatu permulaan tindak pidana yang mana dilakukan dengan
keinginan
untuk
melukai
tetapi
tidak
benar-benar
mengakibatkannya. Cukup menjadi alasan yang bagus untuk menegaskan bahwa perlu menghukum seseorang yang melakukan percobaan tindak pidana. The renunciation defense exists for situations precisely like this one. Where an actor voluntarily and completely renounces before committing the offense, any initial presumption about the actor’s willingness to commit the offense has been undercut, and the grounds for blaming the actor, or considering him dangerous enough to merit incapacitation, have been undermined. (The common law’s stricter conduct test for attempt reflected, in part, a similar concern that the actor must have a locus poenitentiae, or opportunity to repent of his criminal intention, before liability would be appropriate) (Michael T. Cahill, 2012 : 752). Ketika seorang pelaku secara sukarela dan menyerah sebelum melakukan tindak pidana, asumsi awal terhadap keinginan pelaku untuk melakukan tindak pidana telah dihapus, dan dasar untuk menyalahkan pelaku atau menganggap bahwa dia adalah orang yang cukup berbahaya untuk dinyatakan tidak mampu telah dipatahkan. Tes tingkah laku untuk percobaan pada sistem hukum common law lebih keras, permasalahan yang sama ketika pelaku harus memiliki keinginan untuk mundur atau kesempatan untuk menyesali maksud kejahatannya, sebelum pertanggung jawaban menjadi acuan.
39
B. Kerangka Pemikiran
Sistem Hukum
Civil Law
Common Law
Indonesia
Singapura
Penal Code Chapter 224
KUHP Percobaan Tindak Pidana
Perbandingan
Perbedaan dan Persamaan
Kelemahan dan kelebihan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Keterangan : Kerangka pemikiran diatas menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah, dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum. Sistem hukum di dunia adalah beragam, dimana yang paling sering digunakan adalah sistem hukum civil law dan common law, sistem hukum civil law yang banyak dianut oleh negara-negara Eropa juga dianut oleh negara Indonesia yang mengikuti sistem hukum dari negara penjajahnya yaitu Belanda, sedangkan sistem hukum common law dianut oleh negara Inggris serta persemakmurannya, Singapura termasuk negara persemakmuran Inggris, oleh karena itu Singapura juga menganut sistem hukum common law.
40
Berlandas pada sistem hukum yang berbeda tersebut maka akan berbeda pula pengaturan tentang hukumnya, terutama di bidang hukum pidana dan khususnya mengenai Percobaan Tindak Pidana. Percobaan tindak pidana merupakan tindak pidana yang berada di area abu-abu (grey area) karena merupakan tindak pidana
yang tidak selesai,
yang mana prinsip
pengaturannya antara KUHP Indonesia dan Singapore Penal Code adalah berbeda. Dari perbedaan pengaturan mengenai percobaan tindak pidana ini maka akan dapat diidentifikasi pula persamaan serta kelebihan dan kekurangannya.