BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Keadaan Umum Daerah Penelitian Pembentukan Kecamatan Kijang berdasarkan peraturan Daerah Kabupaten
Bintan Nomor 12 Tahun 2007 pada tanggal 23 Agustus 2007 (Lembaran Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2007 Nomor 12). Kecamatan Bintan Pesisir di bentuk dalam rangka pengembangan dan kemajuan pembangunan, karena adanya aspirasi masyarakat dan keinginan untuk lebih meningkatkan kemajuan diberbagai sektor dan pelayanan masyarakat. Kecamatan Kijang terdiri dari desa Kelong, Numbing dan Mapur yang dipisahkan oleh perairan laut. Masih kurangnya fasilitas di desa ini mengakibatkan penduduk sering melakukan aktivitas di Kecamatan Kijang. Kecamatan Kijang memiliki Topografi yang bervariatif dan bergelombang dengan kemiringan lereng berkisar 0-3% hingga di atas 40% pada wilayah pegunungan. Ketinggian wilayah pada pulau-pulau yang terdapat di Kecamatan Kijang antara 0-50 meter di atas permukaan laut hingga mencapai ketinggian 400 meter di atas permukaan laut (Satuan kerja Provinsi Kepulauan Riau). Kecamatan Kijang memiliki iklim tropis yang terbagi menjadi dua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Luas wilayah Kijang ±2174 km2 terdiri dari daratan ±234 km2 dan lautan ±1940 km2 (Tabel 1). Tabel 1. Luas Kecamatan Kijang Per-Desa No
Desa
Darat
Laut
Jumlah
1
Kelong
± 57 Km2
± 570 Km2
± 627 Km2
2
Numbing
± 53 Km2
± 530 Km2
± 583 Km2
3
Mapur
± 44 Km2
± 440 Km2
± 484 Km2
Jumlah
± 234 Km2
± 1940 Km2
± 2.174 Km2
Sumber : Bapeda Tanjungpinang 2012
5
6
Secara geografis pelabuhan Kijang berada pada 000 51' 04,7" LU dan 1040 36' 39,7" BT. Pelabuhan ini berfungsi untuk menghubungkan antara kecamatan Kijang dengan desa Kelong, Numbing dan Mapur. Setiap desa di Kecamatan Kijang memiliki pelabuhan kecil. Pelabuhan ini berfungsi untuk tempat bersandarnya kapal yang setiap hari berlayar menghubungkan desa dengan kecamatan Kijang. Pelabuhan Kelong berada pada koordinat 000 51' 57,9" LU dan 1040 39' 09,5" BT, koordinat pada pelabuhan Numbing 000 45' 36,7" LU dan 1040 43' 24,1" BT dan koordinat pada pelabuhan Mapur 010 00' 03,0" LU dan 1040 47' 44,87" BT.
2.2
Klasifikasi dan Morfologi Teritip Teritip adalah crustacea dari subkelas cirripedia, yang dalam bahasa
inggris disebut barnacle. Sifat-sifatnya sebagai hewan berbuku-buku yang tidak jelas kelihatannya karena tersembunyi dalam cangkangnya yang keras berkapur (Nontji 1993). Teritip ketika dewasa mempunyai bentuk cangkang seperti gunung api yang terdiri dari bagian tepi basal yang langsung menempel ke substrat, parapet yang merupakan dinding terdiri dari 6 plat-plat yang tidak bergerak dan operculum berupa 1 dan 2 pasang plat (scutum dan targum) yang dapat menutup sangat rapat sehingga benar-benar kedap air dan kedap udara (Gambar 1). Klasifikasi teritip menurut Ermaitis (1984) adalah sebagai berikut : Filum : Sub filum : Kelas : Sub kelas : Ordo : Sub ordo : Familia : Genus :
Arthoropoda Mandibulata Crustacea Cirripedia Thoracica Balanomorpha Balanoidea Amphibalanus
Pada cangkang dewasa berupa mantel yang terdiri dari bagian yang saling berhubungan mengelilingi tubuhnya yaitu : carina (c), carina lateral (cl), lateral (l) dan rostrum (r), sedangkan ada bagian atas terdapat sepasang terga (t)
7
dan sepasang scuta (s) yang membuka dan menutup sewaktu teritip menangkap makanannya (Gambar 1).
Gambar 1. Bagian Hewan Teritip Sumber : Ermaitis (1984)
Pada umumnya cangkang dari teritip ini adalah putih, kuning, merah, jingga, ungu dan bergaris dengan ukuran cangkang 1-6 cm atau lebih yang diukur dari dasar carina sampai rostrum (Ermaitis 1984). Balanus psittacus di pantai barat Amerika Selatan dapat mencapai diameter 8 cm dengan tinggi 2,3 cm (Buchbaun 1951 dalam Barnes 1953). Teritip memiliki organ tambahan (appendages) yang disebut juga dengan pasangan cirri yang berguna untuk menangkap makanan. Setiap ujung dari pasangan cirri tersebut terdapat setae yang berguna untuk menyaring makanan (Ermaitis 1984). Makanan teritip berupa plankton hewan kecil yang masuk bersama aliran air kedalam mulut. Aliran air terjadi oleh gerakan-gerakan kaki berbulu dan itulah fungsi kaki tersebut, bukan hanya untuk berjalan ataupun berenang (Darsono 1979).
2.3
Habitat dan Kebiasaan Makan Teritip Teritip termasuk dalam hewan laut bersifat sesil (menetap) dari crustacea.
Teritip masuk kedalam kelompok crustacea karena mempunyai karakteristik yang bercangkang. Teritip adalah invertebrata yang hidup di laut, kehidupannya melalui dua stadium, yaitu stadium larva yang bersifat planktonis yang terbagi dua
8
macam yakni larva nauplius dan larva cypris (Gambar 2) sedangkan stadium dewasa bersifat menempel (Ermaitis 1984).
Gambar 2. Stadium larva (A). Larva Nauplius (B) Larva Cypris Sumber : Ermaitis (1984)
Ermaitis (1984) berpendapat bahwa teritip tumbuh mengendapkan kapur (CaCO3) sepanjang pinggir dan dasar masing-masing plat. Selanjutnya teritip dewasa terbungkus dengan cangkang kapur yang menempel pada susbtrat dengan sekresi kelenjar penghasil cement yang berupa kalsium karbonat (CaCO3) (Barnes et al dalam Adriman 1990). Nontji (1993) mengatakan bahwa di dalam cangkang terdapat tubuh yang sederhana yang disertai dengan 6 umbai-umbai yang berbulu-bulu. Jika terendam air umbai-umbai tersebut secara beraturan dijulurkan mekar keluar dan ditarik kembali lewat pintu operculum. Berdasarkan cara ini teritip menyaring dan menangkap plankton yang terbawa arus kemudian disodorkan kearah mulutnya. Oleh karena itu hanya pada saat arus pasang teritip mempunyai kesempatan
9
mencari makanan. Apabila air telah surut dan teritip terpapar di udara maka operculumnya menutup rapat setelah cangkangnya diisi air sebanyak mungkin. Dalam kondisi demikian teritip berdiam diri dalam cangkangnya dan berpuasa untuk sementara. Dalam keadaan terpapar ke udara menyebabkan tekanan lingkungan yang dialaminya cukup berat, misalnya teritip tertimpa hujan atau tersengat panasnya matahari dan ancaman kekeringan. Tetapi daya tahannya luar biasa. Percobaan dengan menggunakan Balanus balanoides menunjukkan bahwa teritip yang dikeluarkan dari air masih dapat hidup sampai enam minggu. Teritip dapat hidup di daerah estuaria dan marga ini hidup komensal dengan hewan lain seperti ikan paus, kepiting dan ular laut. Teritip hidup menempel bersama biota-biota lain seperti alga, hidrozoa, tunikata, cacing serta moluska. Balanus tersebar luas di seluruh perairan yang disebabkan oleh cangkangnya yang keras sehingga tahan terhadap perubahan lingkungan yang besar. Penyebaran Balanus dipengaruhi oleh kuat arus dan gelombang (Darsono dan Hutomo 1983). Teritip merupakan salah satu biota penempel yang sering dijumpai pada berbagai benda atau bangunan di laut yang mendapat perhatian yang lebih besar. Teritip bersifat menempel permanen pada substrat, daya tahannya yang cukup kuat terhadap perubahan lingkungan yang besar, serta perkembangbiakannya yang hermaprodit dapat menyebabkan penyebaran yang sangat luas (Ermaitis 1984). Hampir semua benda-benda yang terendam dalam air laut misalnya batu, besi, dasar perahu, lunas-lunas kapal, pipa saluran sistem pendingin pembangkit tenaga listrik, saluran pendingin pabrik serta alat pengukur arus dan benda-benda lainnya yang ditempatkan di dalam air sepanjang perairan pantai, muara dan teluk yang beriklim sedang, subtropik dan tropik bisa merupakan substrat yang baik bagi teritip (Romimohtarto 1977).
2.4 Reproduksi dan Daur Hidup Teritip Teritip seperti kebanyakan binatang penempel lainnya berkembang biak secara hermaprodit, yaitu tidak membuahi telurnya sendiri tetapi menyemprotkan spermanya kepada teritip lain yang terdekat. Teritip melakukan fertilisasi (pembuahan) secara internal yang terjadi dalam rongga tubuh. Pembuahan dapat
10
berlangsung apabila sperma membuahi sel telur. Telur yang telah dibuahi dieramkan dalam rongga tubuh sampai menjadi larva naupli. Larva naupli dicurahkan ke laut sebulan setelah penetasan. Costow dan Bookhout (1957) dalam Ermaitis (1984) menyatakan stadium larva terdiri dari naupli, enam stadium yakni naupli I-VI (Gambar 3). Lama waktu untuk melewati stadium naupli berbeda-beda. Naupli I membutuhkan waktu 15 menit sampai 4 jam. Naupli II berkisar antara 1-2 hari, naupli III berkisar antara 1-4 hari, stadium IV berkisar antara 1-2 hari, stadium V membutuhkan waktu 2-4 hari dan untuk menyelesaikan stadium VI membutuhkan 2 sampai 3 minggu. Larva naupli berkembang menjadi larva cypris melalui pergantian kulit yang terjadi satu sampai tiga kali dalam seminggu. Pada pergantian kulit selanjutnya akan terbentuk larva cypris. Cypris kemudian melata dan menetap menjadi teritip muda dan akhirnya membentuk cangkang yang keras. (III). Larva nauplis
(IV). Larva nauplis
(II). Larva nauplis
(V). Larva nauplis
(I). Larva naupli (VI). Larva nauplis
LARVA NAUPLIS CYPRIS telur
A. Perkembangan dari telur, Larva naupli (I-VI) sampai menjadi Cypris
STADIUM DEWASA
Gambar 3. Daur Hidup Teritip Sumber : Ermaitis (1984)
11
2.5 Proses Penempelan Teritip Proses penempelan cypris dimulai dengan bergerak ke substrat. Jika akan menempel didahului dengan proses seleksi atau pemilihan substrat dengan menggunakan atenulanya. Penempelan ini tidak selalu dilakukan pada substrat yang pertama dijumpai. Pada substrat yang cocok larva akan menempel dan diikuti proses metamorfosis.
Larva teritip mempunyai kemampuan menunda
metamorfosis dalam periode waktu yang terbatas. Jika dalam jangka waktu tertentu belum menemukan substrat yang cocok, metamorfosis akan tetap berlangsung. Pada substrat yang cocok larva akan menempel dan kemudian diikuti metamorfosis menjadi bentuk dewasa yang ditandai pembentukan cangkang (Nybakken 1992).
Barnes (1953) menjelaskan bahwa cairan yang
dikeluarkan teritip dewasa digunakan oleh larva untuk menstimulasi proses penempelan. Cairan ini terdiri dari kalsium yang digunakan untuk mengikatkan dirinya pada susbtrat. Periode penempelan teritip menurut Ermaitis (1984) terjadi sepanjang tahun dimana intensitas penempelannya dibedakan oleh musim. Di Suralaya Banten, intensitas penempelan teritip tertinggi terjadi pada awal musim timur (Juni). Sedangkan pada bulan Juli, intensitas penempelan menurun dengan cepat sampai akhir bulan Agustus. Pada peralihan dari musim Timur ke Barat (JanuariFebruari), intensitas penempelan meningkat. Pada peralihan dari musim Barat ke Timur (Maret-April-Mei), intensitas penempelan menurun.
2.6 Faktor Lingkungan yang Berpengaruh Terhadap Kehidupan Teritip Teritip merupakan salah satu kelompok hewan yang paling luas penyebarannya, yang didapati di perairan pasang dan surut atau laut dangkal. Hal ini disebabkan oleh cangkang yang keras dan daya tahannya cukup kuat terhadap perubahan lingkungan yang besar sehingga pertumbuhannya lebih cepat (Rohmimohtarto 1977). Selanjutnya menurut Hutagalung (1982), Penempelan dan perkembangan teritip sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan antara lain pasang surut, kecerahan, cahaya, pH, salinitas, suhu, arus dan gelombang.
12
1.
Substrat Teritip sangat menyukai substrat keras atau substrat yang berbatu. Teritip
menempati substrat batuan pada garis pasang tertinggi sampai ke zona percikan ombak di atasnya. Dengan demikian, substrat keras seperti tiang-tiang penyangga. dermaga dan bangunan lainnya akan menjadi sasaran penempelan hewan tersebut. Warna dan kimia substrat berpengaruh pada keberadaan hewan penempel. Larva teritip lebih suka menempel pada substrat yang mempunyai permukaan yang kasar, bewarna gelap, bercelah-celah atau retak dan berada pada perairan yang tenang (Nontji 1987). Pada perairan Kota Dumai menurut Adriman (1990), pada ketiga jenis substrat yaitu beton, seng, dan kayu menunjukkan penempelan terendah terjadi pada substrat seng, disebabkan permukaan seng lebih licin bila dibandingkan dengan kedua substrat lainnya. Selain itu, Syafriadiman (1992) menyatakan bahwa pada perairan Kota Dumai, bivalva seperti teritip lebih suka menempel pada substrat kayu Kulim kemudian diikuti subtsrat kayu Meranti dan Jati. Erlambang (1989) melaporkan pada perairan selat Dompak, intensitas penempelan tertinggi adalah pada substrat papan dengan warna merah dibandingkan dengan substrat papan dengan warna putih. Hal ini disebabkan teritip tidak menyukai warna terang dan menyilaukan. Laju pertumbuhan teritip menurut hasil penelitian Rohmimohtarto (1977) di perairan Muara Karang, menunjukkan panel baja yang dipasang dalam waktu seminggu sudah ditempeli teritip (3900 individu/900 cm2). Selain itu, Smith dalam Rohmimohtarto (1977) menyatakan di perairan Miami dalam waktu 2 jam lempeng kaca sudah ditempeli teritip.
2.
Pasang Surut Pasang surut adalah naik turunnya permukaan laut secara periodik selama
satu interval waktu tertentu. Pasang surut merupakan faktor penting yang mempengaruhi kehidupan di zona intertidal yaitu, terkenanya udara terbuka secara periodik dengan kisaran parameter fisik yang cukup besar. Pendedahan pada udara terbuka terhadap suatu organisme merupakan fungsi suhu dan kekeringan.
13
Semakin lama terdedah di udara terbuka menyebabkan kenaikan suhu yang mempengaruhi metabolisme dalam tubuh (Nybakken 1992). Teritip adalah crustacea dari anak kelas Cirripedia, dimana sifat-sifatnya sebagai hewan berbuku tidak jelas kelihatan karena tersembunyi dalam cangkangnya yang keras berkapur. Biasanya hidupnya di bagian teratas zona pasang surut, mulai dari pasang tertinggi hingga pada kedudukan rata-rata pasang surut. Jadi setiap hari teritip dapat silih berganti terendam air dan terpapar ke udara masing-masing selama beberapa jam (Nontji 1987). Pada penelitian yang dilakukan selama 3 tahun di daerah intertidal Irlandia oleh Maley (1947) menyebutkan teritip masih dapat dijumpai pada panel/transek penelitian hingga kedalaman 12 meter dari rata-rata permukaan surut terendah. Teritip mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dengan udara terbuka selama 6-18 jam setiap hari (Nontji 1987). Adaptasi yang dilakukan teritip untuk menghadapi lingkungan yang ekstrim dengan menutup rapat operculumnya. Dalam kondisi demikian teritip dapat berdiam diri saja dalam cangkangnya, berpuasa untuk sementara dan kegiatan respirasinya turun hingga kebutuhan oksigennya sedikit. Dalam keadaan terpapar ke udara tekanan lingkungan yang dialami cukup berat, misalnya bisa tertimpa hujan atau tersengat panasnya matahari dan ancaman kekeringan.
3.
Kecerahan Perairan Cahaya merupakan faktor penting dalam menentukan menetap atau
tidaknya teritip pada substrat. Larva teritip sangat sensitif terhadap cahaya. kecerahan perairan berhubungan dengan penetrasi cahaya. Banyaknya material terlarut dan partikel-partikel yang berasal dari daratan, potongan rumput laut, kepadatan plankton yang tinggi dan melimpahnya nutrien yang menyebabkan terhambatnya penetrasi cahaya.
Darsono dan Hutomo (1983) membuktikan
bahwa masa padat tersuspensi yang tinggi, yaitu 30 mg/liter akan menyebabkan kecerahan kurang dari 20 cm dan dapat menyebabkan kematian teritip.
14
4.
Temperatur Perubahan temperatur di suatu perairan dapat menjadi pertanda bagi
organisme untuk memulai atau mengakhiri aktivitas hidupnya, misalnya reproduksi. Suhu tidak hanya mempengaruhi fungsi metabolisme, tetapi semua aspek pertumbuhan dan pemanfaatan makanan bahkan dinamika populasi (Nybakken 1992). Teritip menyukasi perairan dengan suhu 15-350C. Temperatur merupakan faktor pembatas bagi teritip dan berbeda untuk setiap spesies. Pada suhu sekitar 36-370 C selama enam jam dapat menyebabkan kematian teritip 50% pada pasang surut diurnal. Pada temperatur 100C masih menunjukkan aktivitas hidupnya teritip (Foster 1969).
5.
Derajat Keasaman Derajat keasaman adalah ukuran untuk menentukan sifat asam basa
perairan yang diketahui melalui konsentrasi atau aktivitas ion hidrogen. Nilai pH dipengaruhi oleh temperatur, kandungan karbondioksida dan oksigen terlarut. Air laut mempunyai sifat “buffer” yang cukup kuat untuk mencegah perubahan pH. Perubahan pH berpengaruh terhadap proses fisik kimia maupun biologis suatu organisme. Apabila teritip hidup pada kisaran pH yang lebih besar akan terjadi tekanan fisiologis pada tubuhnya dan menyebabkan kematian. Teritip dapat hidup optimal pada pH antar 6-9 (Romomohtarto 1991).
6.
Turbulensi dan Gerakan ombak Pada perairan dangkal interaksi ombak, arus dan upwelling menimbulkan
turbulensi. Adanya turbulensi ini mencegah perairan pantai terstratifikasi secara termal. Akibatnya jumlah nutrien daerah intertidal melimpah. Melimpahnya nutrien daerah intertidal berasal dari aliran permukaan dari daratan maupun dari pendaurulangan nutrien itu sendiri. Melimpahnya nutrien di daerah intertidal menyebabkan produktivitas periaran menjadi tinggi. Kondisi diatas sangat cocok menyangga populasi organisme plankton maupun benthos.
15
Kecepatan arus dan ombak sangat penting pengaruhnya terhadap komunitas perairan, baik langsung maupun tidak langsung. Kecepatan arus menentukan kondisi habitat alamiah dari perairan tersebut. Pada arus yang mempunyai kecepatan 0,6 knot (0,3 meter/detik), penempelan teritip akan terganggu dan sering mengalami kegagalan Smith (1948) dalam Rohmimohtarto (1977).
7.
Salinitas Dalam air laut terkandung berbagai jenis garam yaitu garam Klorida,
Magnesium, Kalsium dan Kalium. Salinitas adalah jumlah berat semua garam yang terlarut dalam 1 liter air laut dengan satuan per mil atau gram/liter. Pada perairan samudra, salinitas berkisar antara 340/00 – 370/00 perairan tawar berkisar antara 0-0,5
0
/00. Pada perairan payau antara 0,5-1,70/00. Barnes (1953)
membuktikan bahwa teritip mampu hidup pada perairan estuarin sampai laut terbuka dan mempunyai toleransi salinitas antara 15-410/00.
2.7
Faktor-Faktor Lain yang Mempengaruhi Keberadaan Teritip Pada
Kapal Jumlah teritip yang ada di lambung kapal disebabkan beberapa faktor yang meliputi pengaruh dari kontruksi lambung kapal, kecepatan kapal, periode docking kering dan jalur pelayaran. Hasil penelitian tentang perbandingan jumlah teritip pada kapal penumpang, kapal perang dan kapal AL menunjukkan bahwa jumlah teritip pada lambung kapal penumpang lebih sedikit daripada di lambung kapal perang dan kapal Angkatan Laut (AL). Hal ini disebabkan kapal penumpang memiliki jadwal yang tetap. Selain itu periode docking rata-rata untuk kapal penumpang 7 bulan, kapal perang 8 bulan dan kapal AL 9 bulan (Maley 1947 dalam Puspasari 1995).
2.7.1 Jenis dan Kecepatan Kapal Jumlah teritip tidak sama pada setiap jenis kapal, ini dikarenakan jalur dan operasi berlayar yang berbeda. Kecepatan kapal pada saat berlayar secara
16
langsung yang berhubungan dengan kontruksi lambung dan bentuk kontur kapal. Faktor kecepatan kapal berpengaruh terhadap jumlah teritip. Tekanan gesekan yang besar terhadap lambung kapal ketika kapal melaju pada kecepatan 30 knot menyebabkan matinya teritip yang berada di tempat terbuka (1 knot = 51,5 cm/dt). Dari hasil pengamatan yang dilakukan Maley, didapatkan hasil bahwa kapal penumpang menghabiskan waktu 60% untuk berlayar, kapal barang 40%, kapal AL 30%, kapal penjelajah sekitar 20% dan kapal perang 15%. Jumlah teritip meningkat dengan berkurangnya waktu pelayaran tanpa memperhatikan faktor-faktor lainnya. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4. Pada kapal yang berlayar cepat jarang ditemukan biota penempel yang bertubuh lunak seperti Hydroids dan Tunikata, tetapi jumlah biota yang bercangkang seperti Balanus dan Polychaeta (Maley 1947 dalam Puspasari 1995).
Gambar 4. Hubungan Antara Tipe Kapal dan Jumlah Teritip (Maley 1947 dalam Puspasari 1995)
17
2.7.2 Periode Docking Kering Pertumbuhan teritip bertambah cepat bila kapal berhenti lama di pelabuhan. Sebaliknya selama pelayaran dengan adanya gelombang dan arus akan menghambat proses penempelan teritip. Pada Gambar 5 dapat dilihat jumlah teritip dan hubungannya dengan waktu terakhir docking kering. Diagram tersebut menunjukkan bahwa laju pertambahan teritip konstan dari waktu terakhir docking kering sampai saat docking berikutnya. Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa lambung kapal terfouling ringan setelah tiga bulan docking kering. Antara empat sampai enam bulan setelah docking kering sebagian besar kapal ditemukan terfouling ringan dan menengah. Sedangkan 18 bulan setelah docking kering dilakukan, ditemukan lambung kapal terfouling berat(banyak sekali).
Gambar 5. Hubungan Penempelan Teritip Dengan Lama Waktu Di Pelabuhan Setelah Docking Kering 2.7.3 Jalur Pelayaran Kapal penumpang memiliki jalur pelayaran yang tetap, sebaliknya kapal barang dan kapal AL mempunyai jalur pelayaran berubah-ubah. Kapal yang kembali dari pelabuhan-pelabuhan di Amerika Selatan bersih atau hanya terfouling ringan. Sedangkan kapal yang melalui trans-Atlantik baik kapal penumpang maupun kapal barang terfouling ringan.
18
Jenis teritip berbeda pada setiap jalur pelayaran atau setiap perairan. Kapal laut yang berada di perairan teluk Guantanamo, Kuba terfouling banyak oleh spesies Balanus improvisus, B. amphitrite dan Membranifora lacroxii. Kapalkapal yang berlayar di perairan Atlantik Timur biota penempel yang khas berada pada lambung kapal adalah B. eburneus dan Tubularia sp. Sedangkan kapal-kapal yang
mengunjungi
pantai
dan
pelabuhan
Amerika
Selatan
ditemukan
pertumbuhan B. tintinnabulum dan B. amphitrite. Pada kapal-kapal yang mengunjungi pelabuhan diperairan tropis biasanya penuh dengan teritip daripada di perairan sub tropis. Bila kapal yang terfouling berat meninggalkan perairan tropis dan memasuki perairan sub tropis didapatkan organisme mati dan tinggal cangkangnya. Hal ini disebabkan kondisi ekologi perairan yang berbeda (Puspasri 1995).