BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Stigma Menurut Chaplin (2004) stigma adalah suatu cacat atau cela pada karakter seseorang. Sedangkan menurut Green (dalam Cholil; 1997) stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Stigma dalam penelitian ini adalah stigma yang diberikan oleh masyarakat terhadap caregiver yang sekaligus mempengaruhi subjective well being caregiver yang merawat penderita skizofrenia. Stigma adalah fenomena yang sangat kuat yang terjadi di masyarakat, dan terkait erat dengan nilai yang ditempatkan pada beragam identitas sosial, dan hingga sekarang stigma yang diberikan oleh masyarakat kepada caregiver yang merawat penderita skizofrenia merupakan masalah psikosial yang tidak dapat dihindari. (Heatherton, 2003). Kata stigma berasal dari bahasa Inggris yang artinya label dan tanda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008), stigma adalah pandangan negatif yang diperoleh anak karena pengaruh lingkungan. Stigma diberikan pada sesuatu hal yang memalukan dan tidak sesuai dengan nilai- nilai yang dianut (Mohammad, 2002). Dengan kata lain stigma diciptakan oleh sesuatu masyarakat ketika melihat sesuatu yang dianggap menyimpang atau aneh karena tidak seperti yang lainnya. Dalam kaitannya dengan skizofrenia ini, yang dimaksud dengan stigma adalah label dari masyarakat yang memandang negatif terhadap penyakit skizofrenia. Mereka menganggap apabila salah seorang anggota keluarganya menderita skizofrenia, hal ini merupakan aib bagi keluarga, sehingga ia harus dihindari atau dikucilkan. (Ramirez & Kleinman, 2003). Menurut hemat penulis stigma adalah suatu cap negatif yang diperoleh seseorang dari masyarakat atau lingkungannya. Dalam kaitannya dengan skizofrenia, seseorang yang menderita skizofrenia sering kali dianggap aneh, menyimpang, dan tidak diperlakukan dengan baik sehingga dijauhi, dikucilkan bahkan sampai dipasung. Oleh karena itu orang- orang yang berhubungan dengan penderita skizofrenia dalam hal ini keluarga (caregiver) mendapatkan stigma dan hubungan yang menimbulkan dampak terjadinya penurunan subjective well being mereka. 5
6 Stigma yang diberikan oleh masyarakat untuk caregiver yang merawat penderita skizofrenia sering kali terjadi karena adanya masyarakat yang masih awam tentang penyakit skizofrenia, banyak caregiver yang terkena stigma karena caregiver merasa rendah diri, dan sering kali mengucilkan diri dari masyarakat ( Irmansyah, 2002). 2.1.1 Dampak / Reaksi Orang Yang Terkena Stigma Bila ada salah satu anggota keluarga yang menderita skizofrenia maka keluarga akan menganggapnya sebagai suatu aib dan mencemarkan nama baik keluarga. Akibatnya keluarga merasa kehilangan harga diri sehingga mereka sering berusaha merahasiakan penyakit tersebut karena tidak ingin diketahui oleh orang lain, menyembunyikannya dan tidak membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan yang sesuai (Keliat, 1995). Keberadaan stigma terhadap penderita skizofrenia menjadi beban yang berat bagi keluarga sehingga sering mengalami isolasi yang berlebihan, kecemasan, depresi, kesepian, merasa dipermalukan dan disalahkan. Adanya miskonsepsi yang negatif juga menyebabkan terbatasnya dukungan keluarga lainnya. Teman- teman dan keluarga lain lebih bereaksi negatif daripada berempati atau menolongnya. Jika salah seorang anggota keluarga mengalami gangguan jiwa berat seperti skizofrenia, maka akan menyebabkan gangguan pada aktivitas keluarga tersebut dan menyebabkan beberapa fungsinya harus dialokasikan kepada anggota keluarga lainnya. Pengalihan fungsi tersebut membutuhkan adaptasi dalam keluarga tersebut (Perlick, et al, 2006). Stigma dapat mempengaruhi ekspresi emosi. Stigma menyebabkan keluarga menjadi malu sehingga timbul rasa tidak puas terhadap penderita. Hal ini dapat menyebabkan tingginya ekspresi emosi keluarga. Pandangan negatif tentang penderita skizofrenia yang dianggap berubah menjadi malas, manja, menarik diri, dan membatasi kontak dimana hal tersebut membuat keluarga menjadi tidak sabar, tidak puas, tidak dapat menerima keterbatasan dan kemampuan penderita tersebut. Harapan yang tidak realistik dari keluarga sering menimbulkan reaksi emosional pada keluarga tersebut berupa ekspresi emosi yang tinggi, tidak tenang dan memperlihatkan kecemasan yang berlebihan (Phillips, M., Pearson, V., Li, F., Xu,M.,& Yang, L., 2002).
7 2.1.2
Tipe- tipe dan Dimensi Stigma
Menurut Goffman (dalam Heatherton;2003) membedakan tiga jenis stigma diantaranya: 1. Kebencian terhadap tubuh (seperti cacat tubuh) 2. Mencela karakter individu (gangguan mental, pecandu, dan pengangguran) 3. Identitas kesukuan (seperti ras, jenis kelamin, agama, dan kewarganegaraan) Sedangkan Jones, dkk (dalam Heatherton; 2003) membagi enam dimensi kondisi stigmatisasi : 1. Penyembunyian yang mencakup keluasaan karakteristik stigmatisasi sedapat mungkin bisa dilihat (seperti cacat wajah vs homoseksualitas) 2. Rangkaian penandaan berhubungan dengan apakah tanda tersebut sangat mencolok mata atau makin melemah dari waktu ke waktu (seperti multiple sclerosis vs kebutaan) 3. Kekacauan yang mengacu pada tingkat stigmatisasi dalam menganggu interaksi interpersonal (seperti gagap dalam berbicara) 4. Estetika yang berhubungan dengan reaksi subjektif yang dapat memunculkan stigma karena suatu hal yang kurang menarik. 5. Asal usul tanda stigmatisasi (seperti cacat bawaan, kecelakaan, atau kesengajaan). 6. Resiko yang mencakup perasaan berbahaya dari stigmatisasi dari orang lain (seperti memiliki penyakit yang mematikan atau membahayakan vs kelebihan berat badan).
2.2 Subjective Well being Kualitas hidup disebut juga sebagai subjective well
being menurut
Veenhouven (dalam Diener, 1994) yang menjelaskan bahwa subjective well being merupakan tingkat dimana seseorang menilai kualitas kehidupannya sebagai sesuatu yang diharapkan dan merasakan emosi- emosi yang menyenangkan. Subjective well being merupakan bagian dari happiness, istilah happines dan subjective well being ini sering digunakan bergantian (Diener & Bisswass, 2008). Subjective
well
being
merupakan
evaluasi
subyektif
seseorang
mengenaikehidupan termasuk konsep-konsep seperti kepuasan hidup, emosi menyenangkan, fulfilment, kepuasan terhadap area- area seperti pernikahan dan
8 pekerjaan (Diener, 2003). Subjective well being (SWB) menggambarkan evaluasi yang menyeluruh mengenai kehidupan seseorang, namun secara lebih dalam dan tepat, SWB terdiri atas beberapa komponen, yaitu afek positif, afek negatif, kepuasan dan domain kepuasan yang cukup berkorelasi satu sama lain dan secara konseptual berhubungan (Diener, Scollon dan Lucas, 2003). Lebih jauh lagi penjelasan mengenai komponenkomponen tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Afek positif dan negatif Afek pleasant dan unpleasant merefleksikan pengalaman mendasar atas peristiwa yang sedang terjadi di dalam kehidupan seseorang. Maka banyak penelitian yang menyebutkan bahwa penilaian afektif ini merupakan bentuk utama dari penilaian Subjective Well Being. Penilaian afektif dapat berbentuk emosi dan mood. Emosi merupakan reaksi singkat yang berdasarkan pada peristiwa khusus atau stimulus eksternal, sedangkan mood merupakan perasaan yang lebih panjang atau menetap dan tidak didasarkan pada peristiwa khusus. Penilaian afektif penting karena dengan mengetahui jenis afeksi yang dialami oleh individu maka peneliti bisa memahami cara individu tersebut mengevaluasi kondisi dan peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya.
2.
Kepuasan hidup Kepuasan hidup adalah penilaian individu terhadap kualitas kehidupannya secara global. Individu dapat menilai kondisi kehidupannya, menentukan kepentingan dari kondisi itu dan mengevaluasi kehidupannya pada skala yang berkisar dari tidak puas hingga puas. Kepuasan hidup menrupakan komponen kognitif dari SWB karena memerlukan proses kognitif, sedangkan afek positif dan negatif merupakan komponen afektif.
3.
Domain kepuasan Domain kepuasan merefleksikan evaluasi seseorang mengenai aspek khusus dalam hidupnya. Domain kepuasan ini penting karena dengan mengukur kepentingan domain dari kehidupan seseorang, maka kita dapat mengkonstruk kembali penilaian kepuasan hidupnya secara global. Domain kepuasan ini dapat memberikan informasi mengenai bagaimana seseorang menyusun penilaian globalnya mengenai kebahagiaan dan juga memberikan informasi yang detil tentang aspek khusus kehidupan seseorang. Subjective well being merupakan pengalaman internal yang dipengaruhi
9 olehapa yang terjadi diluar dirinya, tetapi hal tersebut diwarnai oleh pengalaman subjektif yang pernah dialami sebelumnya seperti, kondisi mentalnya, kepribadian dan harapan-harapannya. Mempunyai anggota keluarga yang menderita skizophrenia memberikan dampak bagi keluarga itu sendiri. Stigma memberikan efek yang besar pada subjective well being pada penderita skizofrenia dan caregivernya (Lee,2002). Penelitian subjective well being di Cina pada caregiver penyakit kronis (hipertensi, skizofrenia, stroke, kanker) didapatkan bahwa skor subjective well being bagi caregiver penderita skizofrenia mempunyai nilai terendah pada domain psikologi, domain relasi sosial, domain lingkungan dan keseluruhan bagian- bagian dari subjective well being dibandingan caregiver lainnya (Young, 2004). 2.3 Caregiver Caregiver merupakan istilah yang biasa digunakan dalam bidang perawatan dan pelayanan. Oyebode (2003) mendefinisikan caregiver sebagai seseorang yang memberikan perawatan untuk orang lain. Perawatan tersebut diberikan kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan bahkan dapat dikatakan orang tersebut bergantung pada caregiver.Caregiver adalah seseorang yang memberikan bantuan pada orang yang mengalami ketidakmampuan dan memerlukan bantuan karena penyakit atau keterbatasannya. Caregiver dibagi menjadi informal dan formal. Caregiver informal adalah seorang individu (anggota keluarga, teman, atau tetangga) yang memberikan perawatan tanpa dibayar, paruh waktu atau sepanjang waktu, tinggal bersama atau terpisah dengan orang yang dirawat. Sedangkan caregiver formal merupakan bagian dari sistem pelayanan kesehatan, baik dibayar ataupun sukarela. Mengoptimalkan peran caregiver dalam merawat penderita skizofrenia seharusnya menjadi fokus perhatian penting dalam membantu meningkatkan subjective well being baik penderita skizofrenia maupun caregiver itu sendiri (Greenberg & Thompson, 2006). 2.4 Skizofrenia Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan jiwa berat yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizein” yang berarti “terpisah”, dan
10 “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau ketidakserasian antara afektif, kognitif dan konatif. Secara umum, gejala skizophrenia dapat dibagi menjadi tiga golongan: yaitu gejala positif, gejala negatif, dan gangguan dalam hubungan interpersonal. Skizofrenia merupakan suatu deskripsi dengan variasi penyebab dan perjalanan penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya (Kaplan & Saddock, 2003). 2.4.1 Diagnosis Skizofrenia Kriteria diagnostik skizophrenia berdasarkan DSM- 5 (Diagnostic Statistical of Manual) sebagai berikut: a. Terdapat 2 atau lebih gejala- gejala berikut, masing-masing ada dalam waktu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau sekurang-kurangnya bila berhasil diterapi). Setidaknya satu dari gejala-gejalanya adalah gejala 1, 2, atau 3. 1. Waham 2. Halusinasi 3. Bicara Kacau 4. Perilaku Katatonik 5. Gejala- gejala negatif b. Selama perjalanan penyakit sejak munculnya gangguan, tingkat fungsi dari 1 atau lebih pada area- area penting seperti akademis, pekerjaan, relasi interpersonal atau perawatan diri akan mengalami kemunduran. c. Gejala- gejala gangguan skizophrenia berlangsung dan menetap setidaknya 6 bulan. Periode 6 bulan ini mencakup sekurang-kurangnya 1 bulan gejala gejala yang memenuhi kriteria A. d. Gangguan skizoafektif dan gangguan depresi atau bipolar tidak termasuk dalam gangguan skizofrenia. e. Gangguan yang disebabkan oleh penyalahgunaan zat atau kondisi medis lainnya tidak termasuk gangguan skizofrenia. f. Bila terdapat riwayat gangguan autisme atau gangguan komunikasi yang dimulai pada masa kanak. Maka diagnosis skizofrenia hanya ditambahkan apabila ada waham atau halusinasi yang menonjol berlangsung setidaknya selama 1 bulan.
11 2.4.2 Subtipe- Subtipe Skizofrenia Gejala klinis skizophrenia secara umum dan menyeluruh telah diuraikan diatas, di dalam buku exploring abnormal psychology (Neale, Davison & Haaga, 1995). skizofrenia dibagi lagi dalam 5 tipe atau kelompok yang mempunyai spesifikasi masing-masing yang kriterianya di dominasi dengan hal-hal berikut:
1. Skizofrenia Paranoid Para penderita skizofrenia tipe paranoid secara mencolok tampak berbeda karena delusi dan halusinasinya, sementara keterampilan kognitif dan afek mereka relatif utuh. Mereka pada umumnya tidak mengalami disorganisasi dalam pembicaraan atau afek datar. Penderita Skizofrenia paranoid biasanya berumur lebih tua daripada penderita skizofrenia terdisorganisasi atau katatonik jika mereka mengalami episode pertama penyakitnya. Penderita yang sehat sampai akhir usia 20 atau 30 tahunan biasanya mencapai kehidupan sosial yang dapat membantu mereka melewati penyakitnya. Penderita skizofrenia paranoid tipikal adalah tegang, pencuriga, berhati-hati, dan tidak ramah. Mereka juga dapat bersifat bermusuhan (hostility) 2. Skizofrenia Hebefrenik (Disorganisasi) Kontras dengan skizofrenia tipe paranoid, para penderita skizofrenia tipe ini memperlihatkan disrupsi yang tampak nyata di dalam pembicaraan dan perilakunya. Mereka juga memperlihatkan afek datar atau tidak pas, seperti tertawa dungu pada saat yang tidak tepat. 3. Skizofrenia Katatonik Selain respons motorik yang tidak lazim dalam bentuk diam pada posisi tetap (flexibilitas cerea), terlibat suatu kegiatan yang eksesif, dan bersikap membangkang dengan bersikeras menolak usaha orang lain untuk menggerakkan atau mengubah posisinya. Individu- individu dengan tipe katatonik kadang- kadang memperlihatkan tingkah ganjil dengan tubuh dan wajahnya, termasuk menyeringai. Mereka sering mengulang atau meniru kata- kata orang lain atau gerakan orang lain. 4. Skizofrenia Undifferentiated Orang- orang yang tidak pas benar dengan subtipe- subtipe diatas diklasifikasikan mengalami skizofrenia tipe ini. Mereka meliputi orang- orang yang memiliki gejalagejala utama skizofrenia tetapi tidak memenuhi kriteria paranoid, terdisorganisasi,
12 atau katatonik. 5. Skizofrenia Residual Orang- orang yang hanya pernah mengalami setidaknya satu episode skizofrenia tetapi tidak lagi memanifestasikan gejala- gejala utamanya didiagnosis sebagai skizofrenia tipe residual (sisa). Meskipun mereka mungkin tidak menderita delusi atau halusinasi yang aneh, mereka mungkin memperlihatkan gejala- gejala sisa, seperti keyakinan- keyakinan negatif, atau mungkin masih memiliki ide- ide tidak wajar yang tidak sepenuhnya delusional. Gejala- gejala residual itu dapat meliputi menarik diri secara sosial, pikiran- pikiran ganjil, inaktivitas, dan afek datar. 2.5 Sanatorium Dharmawangsa Sanatorium Dharmawangsa adalah rumah sakit jiwa swasta pertama di Indonesia berkedudukan di Jakarta yang didirikan pada tahun 1959 oleh Prof. DR.Dr. Kusumanto Setyonegoro SpKJ (K). Sanatorium Dharmawangsa merupakan sebuah klinik dan menjadi tempat untuk praktek sekaligus merawat penderita yang terganggu jiwanya, sehingga yang menjadikan ketertarikan bagi penulis untuk melakukan penelitian di rumah sakit tersebut. 2.6 Kerangka Berpikir
STIGMA - Kondisi penderita - Implikasi genetik pada keluarga - Malu - Perasaan sedih dan bersalah
CAREGIVER Penderita Skizofrenia
Subjective Well Being - Bersifat personal - Pengalaman internal - Dipengaruhi faktor eksternal dan pengalaman subyektif sebelumnya, kondisi mental, kepribadian dan harapan - Keseimbangan dinamis dari semua unsur kehidupan
Penderita skizofrenia pada umumnya mengalami hendaya yang nyata pada kemampuan fungsional untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga memerlukan bantuan dan pertolongan orang lain khususnya anggota keluarga yang peduli terhadap dirinya (caregiver). Adanya stigma yang melekat pada penderita skizofrenia, menjadi beban berat
13 bagi keluarga (caregiver) sehingga sering merasa sedih, bersalah, takut, frustasi, malu, marah, dan bingung. Adanya pandangan negatif (stigma) juga menyebabkan terbatasnya dukungan keluarga lainnya. Biasanya teman- teman dan keluarga lain bereaksi negatif daripada berempati atau menolong. Stigma bisanya dipengaruhi oleh kondisi penderita antara lain marah-marah, curiga berlebihan, menarik diri, tidak memperhatikan kebersihan. Serta sering dikaitkan dengan implikasi genetik (pandangan yang menyatakan bahwa skizofrenia adalah penyakit yang diturunkan). Subjective well being merupakan pengalaman seseorang yang bersifat internal yang dipengaruhi oleh apa yang terjadi diluar dirinya (eksternal) tetapi diwarnai oleh pengalaman subjektif yang pernah dialami sebelumnya, kondisi psikologis, kepribadian, dan harapan- harapannya. Penilaian subjective well being merupakan kepentingan caregiver sebagai manusia yang sifatnya subjektif (hanya berlaku untuk dirinya sendiri).
14