BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Latihan Fisik Pada dasarnya aktivitas fisik berbeda dengan latihan fisik. Aktivitas fisik merupakan segala kegiatan atau aktivitas yang menyebabkan peningkatan penggunaan energi/kalori oleh tubuh. Sementara latihan fisik merupakan serangkaian aktivitas fisik yang terstruktur dan berirama dengan intensitas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang bertujuan untuk meningkatkan kebugaran jasmani (Afriwardi, 2010). Latihan fisik berdasarkan sumber tenaganya atau pembentukan ATP melalui tiga sistem, Yaitu 1) Sistem aerobik. 2) Sistem glikolisis anaerobik (Lactic acid system dan 3) Sistem fosfat kreatin (Pate et al, 1964). Latihan aerobik dapat di defenisikan sebagai latihan di bawah titik di mana kadar asam laktat darah naik dengan cepat, di bawah ambang laktat. Metabolisme aerobik jauh lebih efisien dari pada nonaerobik yang menghasilkan 38 molekul ATP per molekul glukosa dan hanya 2 molekul melalui rute nonaerobik, karena menghasilkan sedikit asam laktat latihan aerobik relatif menyenangkan (Sharkey, 2011). Selama latihan dengan intensitas sedang dan rendah, metabolisme aerobik benar-benar menyediakan seluruh energi ATP yang dibutuhkan oleh otot. Ini dapat terjadi karena dalam keadaan seperti ini sistem pernafasan dan jantung dapat menggerakkan oksigen ke otot secara teratur.
9 Universitas Sumatera Utara
10
Peran oksigen dalam metabolisme aerobik sangat penting yang akan dipakai di dalam mitokondria. Selama latihan metabolisme aerobik selalu menyediakan energi sesuai dengan seluruh kebutuhan otot. Besarnya energi ini tergantung pada kecepatan penyaluran oksigen kepada otot yang bekerja. Dalam berbagai bentuk latihan khususnya dengan intensitas tinggi, metabolisme aerobik tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan energi karena adanya keterbatasan sistem penyaluran oksigen. Dalam hal ini proses anaerobik melengkapi metabolisme aerobik sehingga kebutuhan energi otot dapat dipenuhi (Pate et al, 1964). Latihan anaerobik merupakan latihan dengan intensitas tinggi yang membutuhkan energi yang cepat dalam waktu yang singkat namun tidak dapat dilakukan secara kontinu untuk durasi waktu yang lama. Latihan ini juga biasanya memerlukan interval istirahat agar ATP (Adenosine Tripospat) dapat di regenerasi sehingga kegiatannya dapat dilanjutkan kembali. Latihan fisik akan menyebabkan perubahan–perubahan pada faal tubuh manusia, baik bersifat sementara/sewaktu-sewaktu (respons) maupun yang bersifat menetap (adaptasi). Latihan fisik dengan aktifitas tinggi (antara sub makasimal hingga maksimal) akan menyebabkan otot berkontraksi secara anaerobik. Kontraksi otot secara anaerobik membutuhkan penyediaan energi (ATP) melalui proses glikolisis anaerobik atau system asam laktat (lactid acid system). Glikolisis anaerobik akan menghasilkan produk akhir berupa asam laktat. Jadi, aktifitas dengan intensitas
Universitas Sumatera Utara
11
submaksimal hingga intensitas maksimal akan menyebabkan akumulasi asam laktat dalam otot dan darah (Bompa dan Haff, 2009). Latihan fisik dapat meningkatkan VO2 max. VO2 max adalah jumlah maksimum oksigen dalam milliliter yang dapat digunakan dalam satu menit per kilogam berat badan atau jumlah maksimal oksigen yang dapat dikonsumsi selama latihan fisik yang intens sampai akhirnya terjadi kelelahan. VO2 max merupakan suatu indikator yang dapat digunakan untuk menilai kebugaran aerobik. Fungsi VO2 max dipengaruhi oleh beberapa fungsi fisiologis seperti jantung, paru, pembuluh darah dan mitokondria. Pada orang yang mempunyai fungsi fisiologis normal mempunyai kemampuan mengkonsumsi oksigen yang tidak terbatas (Ismaryati et al, 2009). 2.2 Radikal Bebas dan Reactive Oxygen Species (ROS) Sel secara rutin menghasilkan radikal bebas dan kelompok oksigen reaktif (reactive oxygen species/ROS) yang merupakan bagian dari proses metabolisme (Urso dan Clarkson, 2003). Radikal bebas dapat terbentuk melalui dua cara yaitu secara endogen atau sebagai respon normal proses biokimia intrasel maupun ekstrasel dan secara eksogen seperti dari polusi, makanan serta injeksi ataupun absorpsi melalui kulit (Winarsi, 2007). Radikal bebas adalah atom atau molekul yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya (Clarkson dan Thompson, 2000) dan memiliki reaktivitas yang sangat tinggi (Sugianto, 2011). Radikal bebas merupakan molekul aktif yang berpartisipasi dalam reaksi berantai dimana substrat radikal bebas
Universitas Sumatera Utara
12
menyebabkan produksi molekul radikal bebas lainnya yang dalam reaksi lain memberikan produk yang merupakan radikal bebas juga. Radikal bebas yang mendapatkan elektron dari molekul yang berada didekatnya dan memicu reaksi kaskade dapat menyebabkan perubahan struktur sel dan menghambat berbagai aktivitas enzim (Marciniak et al, 2009). Radikal bebas dapat berinteraksi dengan lipid, DNA dan protein. Interaksi ini merusak protein dan meningkatkan kerusakan pada untai DNA serta kerusakan struktur genomik lainnya (Clarkson dan Thomson, 2000). Produksi yang tinggi dari ROS di dalam tubuh dapat mengubah struktur DNA, mengakibatkan modifikasi protein dan lipid, aktivasi beberapa faktor transkripsi yang disebabkan oleh stres, dan produksi proinflamasi dan sitokin anti-inflamasi (Birben et al, 2012). Radikal bebas dibagi menjadi dua kelompok yang berbeda yaitu Reactive Oxygen Species (ROS) dan NOS (Marciniak et al., 2009). ROS (Reactive Oxygen Species) adalah senyawa pengoksidasi turunan oksigen yang bersifat sangat reaktif yang terdiri atas kelompok radikal bebas dan kelompok nonradikal (Birben et al, 2012). Semua radikal oksigen merupakan ROS, tetapi tidak semua ROS adalah radikal oksigen. Kelompok radikal bebas antara lain superoxide anion (O2·-), hydroxyl radicals (OH·), dan peroxyl radicals (RO2·). Yang nonradikal misalnya hydrogen peroxide (H2O2), dan organic peroxides (ROOH) (Halliwell, 2006).
Universitas Sumatera Utara
13
Superoxide anion (O2·-) memiliki reaktifitas selektif dibentuk oleh sejumlah sistem enzim melalui reaksi-reaksi autooksidasi dan oleh elektron transfer enzimatik. Hydroxyl radicals (OH·) terjadi karena radiolisis air dalam sistem biologis. Radikal hidroksil menyerang semua protein, DNA, PUFA dalam membran dan semua molekul yang disentuhnya. Radikal peroksida merupakan senyawa antara yang terbentuk dalam rangkaian reaksi oksidasi lipida, misalnya oksidasi lemah jenuh ganda. Hidrogen peroksida dapat melewati membran dan secara perlahan akan mengoksidasi sejumlah senyawa jika kadarnya cukup tinggi, tetapi kurang reaktif pada kadar yang rendah (Silalahi, 2006). 2.3 Produksi Radikal Bebas Akibat Latihan Fisik Latihan dapat menghasilkan ketidakseimbangan antara senyawa oksigen reaktif dan antioksidan, yang disebut sebagai stres oksidatif (Urso dan Clarkson, 2003). Banyak hasil studi melaporkan bahwa aktifitas fisik aerobik akut berkontribusi terhadap stress oksidatif khususnya ketika latihan dengan intensitas tinggi. Dua mekanisme yang menghubungkan latihan aerobik akut dan stres oksidatif adalah meningkatnya pro-oksidan melalui efek peningkatan konsumsi oksigen
yang
meningkat 10 sampai 15 kali dibandingkan pada saat istirahat dan antioksidan yang relatif tidak mencukupi dibandingkan pro-oksidan (Belviranli dan Gokbel, 2006). Selama aktifitas fisik maksimal konsumsi oksigen seluruh tubuh meningkat sampai 20 kali, sedangkan konsumsi oksigen pada serabut otot diperkirakan meningkat sampai 100 kali lipat (Ji, 1999). Penggunaan oksigen oleh otot selama
Universitas Sumatera Utara
14
latihan fisik maksimal dapat meningkat sekitar 100–200 kali dibandingkan saat istirahat (Chevion et al, 2003). Radikal bebas atau senyawa oksigen reaktif dapat diproduksi selama latihan dari beberapa sumber seluler yang potensial. Beberapa sumber mungkin lebih penting dari pada yang lain dalam suatu organ tertentu, pada waktu tertentu, atau dengan cara latihan khusus. Namun, sumber-sumber ini tidak berdiri sendiri dan dapat diaktifkan secara bersamaan (Ji, 1999). Sejumlah jalur potensial yang berhubungan dengan produksi senyawa oksigen reaktif adalah sebagai berikut (Belviranli dan Gokbel, 2006) : 1. Konsumsi oksigen meningkat beberapa kali lipat selama latihan fisik. Kebocoran elektron pada rantai transfer elektron di mitokondria akan menghasilkan anion superoksida. 2. Enzim xantin dehidrogenase akan mengoksidasi hipoksantin menjadi xantin dan selanjutnya xantin membentuk asam urat menggunakan NAD+ sebagai akseptor elektron membentuk NADH. Selama iskemia, pada otot aktif xantin akan diubah menjadi xantin oksidase melalui metabolisme anaerobik oleh ATP dan enzim dehidrogenase ATP. Selama reperfusi, dengan hasil peningkatan beban oksigen, xantin
oksidase
mengkonversi
hipoksantin
menjadi
asam
urat,
tetapi
menggunakan oksigen sebagai akseptor elektron membentuk superoksida. 3. Kerusakan jaringan akibat latihan dapat menyebabkan aktivasi sel inflamasi seperti neutrofil, yang akhirnya menghasilkan radikal bebas dengan menggunakan NADPH oksidase.
Universitas Sumatera Utara
15
4. Konsentrasi katekolamin yang meningkat selama latihan, dan ROS dapat dihasilkan dari hasil autooksidasi. 5. Mitokondria otot mengalami peningkatan uncoupling dan generasi superoksida dengan peningkatan suhu. Oleh karena itu, latihan yang dipicu hipertermia dapat menyebabkan stres oksidatif. 6. Autooksidasi oksihemoglobin menghasilkan methemoglobin dalam produksi superoksida dan laju pembentukan methemoglobin dapat meningkat dengan latihan fisik. Senyawa oksigen reaktif juga dapat diproduksi oleh sel dalam kondisi stres ataupun tidak stres. Pada kondisi tidak stres, terdapat keseimbangan antara proses pembentukan dan pemusnahan senyawa oksigen reaktif. Sementara pada kondisi stres, pembentukan senyawa oksigen reaktif lebih tinggi dibandingkan dengan pemusnahannya. Adapun tahapan pembentukan senyawa oksigen reaktif adalah sebagai berikut (Winarsi, 2007) : O2 + e -
O2-•
O2 + e - + H+
•OOH
O2 + 2e - + 2H+
H2O2
O2 + 3e - + 3H+
•OH + H2O
O2 + 4e - + 4H+
2H2O
Universitas Sumatera Utara
16
2.4 Ginjal Ginjal terletak di area retroperitoneal pada bagian belakang dinding abdomen di samping depan vertebra setinggi torakal 12 sampai lumbal ke 3. Ginjal memiliki panjang sekitar 11 cm dan lebarnya 5-7,5 cm dengan tebal 2,5 cm dan beratnya sekitar 150 g. Ginjal terdiri atas tiga area yaitu (Tarwoto et al, 2009): 1. Korteks, merupakan bagian paling luar ginjal dibawah kapsula fibrosa sampai dengan lapisan medulla. Semua glomerulus berada di korteks dan 90% aliran darah menuju pada korteks. Korteks tersusun atas nefron-nefron yang jumlahnya lebih dari 1 juta. Nefron merupakan unit fungsional ginjal, nefron terdiri atas komponen vaskuler dan tubuler. Komponen vaskuler atau pembuluh darah kapiler diantaranya arteriole aferen, glomerulus, arteriole eferen dan kapiler peritubuler. Sedangkan komponen tubuler merupakan penampung hasil filtrasi dari glomerulus yang terdiri atas kapsul bowman, tubulus proksimal, ansa henle, tubulus distal, tubulus koligens dan duktus pengumpul. 2. Medulla, terdiri dari saluran-saluran atau duktus collecting yang disebut pyramid ginjal yang tersusun antara 8-18 buah. 3. Pelvis, merupakan area yang terdiri dari kaliks minor yang kemudian bergabung menjadi kaliks mayor. Empat sampai lima kaliks minor bergabung menjadi kaliks mayor dan dua sampai tiga kaliks mayor bergabung menjadi pelvis ginjal yang berhubungan dengan ureter bagian proksimal.
Universitas Sumatera Utara
17
Ginjal menerima darah 20 – 25% dari cardiac output pada kondisi istirahat atau rata-rata lebih dari 1 liter permenit dari arteri renalis kanan dan kiri yang merupakan cabang dari aorta abdomen pada setingkat vertebra lumbal ke dua. Dari arteri renalis bercabang menjadi arteri segmental selanjutnya berturut-turut masuk ke arteri interlobaris, arteri arkuatus, arteri interlobular, arteriole aferen masuk ke glomerulus, arteriole eferen, kapiler peritubuler kemudaian masuk dalam venula, vena interlobular, vena arkuata, vena interlobaris dan vena renalis yang meninggalkan ginjal di samping arteri renalis dan ureter (Guyton dan Hall, 2006). 2.5 Tubulus Ginjal Sewaktu filtrat glomerulus memasuki tubulus ginjal, filtrat ini mengalir melalui bagian-bagian mulai dari tubulus proksimal, ansa henle, tubulus distal, tubulus koligens dan duktus pengumpul sebelum akhirnya diekskresikan sebagai urin. Tubulus proksimal manusia memiliki panjang kira-kira 15 mm dengan diameter 55 µm. Dindingnya terdiri dari selapis sel yang saling berinterdigitasi dan membentuk taut erat (tight junction) di daerah apikal. Di daerah basis sel, antara dua sel yang bersebelahan terdapat perluasan ruang ekstrasel yang disebut ruang intersel lateral. Tepi sel yang menghadap ke lumen memiliki garis-garis brush border karena terdapat sangat banyak mikrovilli yang berukuran 1 x 0,7 µm. Bagian tubulus proksimal yang bergelung mengalirkan cairan filtrat ke dalam bagian yang lurus yang membentuk awal dari ansa henle. Tubulus proksimal berakhir di segmen tipis pars desendens ansa henle yang epitelnya terdiri dari sel-sel yang tipis dan gepeng (Barrett et al, 2010). Tubulus proksimal memiliki lumen kecil tidak rata dan dibentuk oleh
Universitas Sumatera Utara
18
selapis sel kuboid besar dengan sitoplasma eosinofilik kuat dan berganul. Tubulus distal dimulai dari makula densa dan memiliki panjang kira-kira 5 mm. Jumlah tubulus distal lebih sedikit dan memiliki lumen lebih besar yang dilapisi sel-sel kuboid lebih kecil. Sitoplasmanya kurang terpulas tanpa brush border (Eroschenko, 2003). Gambar tubulus ginjal dapat dilihat pada gambar 2.1.
Gambar 2.1 Gambar juxtamedullary nefron (Sumber : http://www.lab.anhb.uwa.edu.au/mb140/corepages/urinary/urinary.htm dan Barrett et al, 2010).
Tubulus proksimal mereabsorpsi sekitar 65% natrium, klorida, bikarbonat dan kalium yang difiltrasi dan terutama sekali semua glukosa dan asam amino yang telah difiltrasi. Tubulus proksimal juga menyekresi asam-asam organik, basa-basa
Universitas Sumatera Utara
19
dan ion-ion hidrogen ke dalam lumen tubulus. Kapasitas reabsorpsi yang besar dari tubulus proksimal adalah hasil dari sifat-sifat selularnya yang khusus. Sel-sel epitel tubulus proksimal bersifat sangat metabolik dan mempunyai sejumlah besar mitokondria untuk mendukung proses transport aktif yang kuat. Tubulus distal banyak mereabsorbsi ion-ion termasuk natrium, kalium dan klorida, tetapi sesungguhnya tidak permeabel terhadap air dan ureum (Guyton dan Hall, 2006). 2.6 Stres Oksidatif pada Ginjal Akibat Latihan Fisik Latihan fisik dapat meningkatkan produksi Reactive Oxygen Species (ROS). Mitokondria merupakan penghasil radikal bebas utama di sel selama otot rangka berkontraksi. Stres oksidatif akibat latihan dapat menyebabkan kerusakan otot dan juga mempengaruhi beberapa jaringan termasuk jantung, ginjal, hati, otak dan eritrosit (Kocer et al, 2008). Aliran darah dan filtrasi glomerulus akan menurun pada ginjal selama melakukan latihan fisik. Penurunan aliran darah tersebut akan menyebabkan terjadinya iskemia-reperfusi, dengan adanya mekanisme iskemia-reperfusi maka sistem xantin oksidase akan diaktifkan. Latihan fisik juga menyebabkan aktivasi leukosit dan meningkatnya produksi ROS melalui mekanisme yang melibatkan sistem NADPH oksidase. Aktivasi leukosit (sistem enzim NADPH oksidase) dan proses iskemia-reperfusi (sistem enzim xantin oksidase) diduga sebagai sumber ROS yang dihasilkan oleh jaringan ekstramuskular selama latihan. Sumber stres oksidatif yang bekerja pada ginjal mungkin didasarkan pada dua sistem enzim ini (Kocer et al, 2008).
Universitas Sumatera Utara
20
Saat kebutuhan metabolisme meningkat seperti pada latihan fisik, sel mungkin mengalami keadaan hipoksia relatif walaupun aliran darah normal pada beberapa organ termasuk ginjal. Ginjal menerima aliran darah per unit masa, lebih tinggi dibandingkan organ tubuh yang lain. Fraksi oksigen yang diekstraksi oleh seluruh organ tubuh relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan ginjal, namun ginjal sangat sensitif dengan keadaan hipoksia. Hal ini berhubungan dengan tingginya kadar konsumsi oksigen lokal oleh sel epitel tubulus dan vaskuler ginjal (Maxwell, 2003). Perubahan hemodinamik pada glomerulus merupakan awal dari progesifitas penyakit ginjal. Laju filtrasi glomerulus dapat turun karena adanya kerusakan tubulointerstisial melalui berbagai cara sehingga aliran darah akan terganggu dan mengakibatkan jejas iskemi pada nefron (Nangaku, 2006). Beberapa keadaan dapat menyebabkan hipoksia pada ginjal. Fibrosis pada ginjal akan menyebabkan terjadinya gangguan asupan darah pada kapiler peritubuler dan oksigenasi pada daerah tersebut. Sel tubulus ginjal yang mengalami hipoksia berat yang berkepanjangan menyebabkan gangguan fungsi mitokondria sehingga terjadi defisit energi yang persisten dan memicu terjadinya apoptosis (Sastrawan dan Suwitra, 2008). Gangguan keseimbangan bahan-bahan vasoaktif yang berhubungan dengan vasokonstriksi intrarenal dapat mengakibatkan hipoksia kronik pada fase awal dari penyakit ginjal, sebelum terjadi perubahan histologis pada tubulointerstisial (Sastrawan dan Suwitra, 2008). Aktivasi sistem renin-angiotensin lokal mempunyai peran yang sangat penting karena dapat mengakibatkan konstriksi arteriol eferen,
Universitas Sumatera Utara
21
hipoperfusi kapiler peritubuler postglomerulus dan hipoksia tubulointerstisial pada kompartemen dibawahnya. Angiotensin II secara langsung merusak sel endotel. Angiotensin II menyebabkan hipoksia melalui respirasi sel yang tidak efektif dan stress oksidatif dengan jalan merangsang NAPDH oksidase (Nangaku, 2006). Eritrosit merupakan salah satu komponen antioksidan darah yang utama sehingga anemia yang terjadi pada ginjal dapat berperan dalam terjadinya stress oksidatif. Superoksida yang terbentuk dapat menekan nitric oxide (NO) dan dapat menstimulasi respirasi mitokondria dan memisahkan dari konsumsi energi kimia sehingga terjadi hipoksia jaringan. Pengurangan stress oksidatif akan memperbaiki oksigenasi ginjal (Palm et al, 2003). 2.7 Cedera sel (cell injury) pada ginjal Sel selalu menyesuaikan struktur dan fungsinya terhadap lingkungan sekitar. Sel
cenderung mempertahankan lingkungan intraselulernya
dalam
keadaan
homeostasis. Ketika sel mengalami tekanan fisiologis atau rangsangan patologis, mereka dapat menjalani adaptasi, mencapai steady state yang baru dan melestarikan kelangsungan hidup dan fungsi, tetapi ketika perubahan lingkungan melebihi kapasitas sel untuk mempertahankan homeostasis yang normal maka cedera sel akan terjadi. Cedera sel ada yang bersifat reversibel dan irreversibel. Cedera reversibel pada sel adalah cedera yang terjadi dimana sel dapat kembali menjadi normal sedangkan irreversibel sel tidak dapat kembali normal bahkan dapat terjadi kematian sel. Kematian sel juga merupakan proses normal dan penting dalam embriogenesis, perkembangan organ, dan pemeliharaan homeostasis (Kumar et al, 2007). Tahapan
Universitas Sumatera Utara
22
dalam respon seluler terhadap stres dan stimulus yang merugikan dapat dilihat pada gambar 2.2.
Normal cell (Homeostasis)
Stress, increased demand
Injurious stimulus
Adaptation
Cell injury In ability to adapt
Reversible cell injury
Subcellular alterations
Point of irreversibility Necrosis
Apoptosis
Gambar 2.2 Gambar tahapan dalam respon seluler terhadap stres dan stimulus yang merugikan (Kumar et al, 2007).
Ada banyak penyebab terjadinya cedera sel salah satunya adalah Reactive Oxygen Species (ROS) dan hipoksia. Sel pada ginjal dapat mengalami cedera selama melakukan latihan fisik yang disebabkan oleh ROS dan hipoksia. Mekanisme cedera
Universitas Sumatera Utara
23
sel oleh ROS dapat dilihat pada gambar 2.3. Cedera sel pada ginjal dapat bersifat reversibel dan irreversibel.
Gambar 2.3 Gambar mekanisme cedera sel oleh ROS (Williams dan Wilkins, 2009).
Cedera reversibel ditandai dengan adanya pembengkakan sel (cellular swelling) dan perubahan pada lemak. Pembengkakan seluler terjadi karena kegagalan pompa ion dalam membran plasma, yang menyebabkan ketidakmampuan untuk mempertahankan ion dan cairan dalam keadaan homeostasis. Perubahan lemak terjadi karena hipoksia yang ditandai dengan munculnya vakuola lipid yang kecil atau besar dalam sitoplasma (Kumar et al, 2007). Pembengkakan sel adalah manifestasi pertama pada semua bentuk cedera sel. Ketika hal ini terjadi pada organ akan menyebabkan organ menjadi pucat, adanya peningkatan turgor dan berat organ. Pada pemeriksaan mikroskopis akan terlihat
Universitas Sumatera Utara
24
vakuola yang jelas dalam sitoplasma. Cedera seperti ini sering disebut sebagai perubahan hidrofik atau degenerasi vakuola. Pembengkakan sel bersifat reversibel (Williams dan Wilkins, 2009). Perubahan lemak dimanifestasikan dengan munculnya vakuola lipid dalam sitoplasma. Hal ini terutama ditemukan dalam sel-sel yang berperan dalam metabolisme lemak dan ini juga bersifat reversibel. Perubahan struktur pada cedera sel yang bersifat reversibel terdiri dari: perubahan membran plasma seperti blebbing, blunting atau distorsi dari mikrovili, dan melonggarnya keterikatan interselular; perubahan mitokondria seperti pembengkakan dan munculnya kepadatan bentuk amorf yang kaya fosfolipid; pelebaran retikulum endoplasma dengan terlepasnya ribosom dan pemisahan polysome; perubahan pada inti, dengan penggumpalan kromatin (Kumar et al, 2007). Cedera yang bersifat irreversibel ditandai dengan adanya nekrosis. Nekrosis terjadi karena adanya degadasi enzim pada sel. Sel-sel nekrotik tidak mampu untuk mempertahankan kesatuan membran, sehingga isi dari sel sering keluar. Dengan mikroskop elektron sel-sel nekrotik ditandai dengan adanya: kerusakan membran plasma dan membran organel; pelebaran mitokondria dengan munculnya densitas besar yang berbentuk amorf; terganggunya lisosom dan perubahan inti sel yang berakhir dengan rusaknya (dissolution) inti sel. Cedera sel pada ginjal khususnya bagian tubulus dapat dilihat pada gambar 2.4.
Universitas Sumatera Utara
25
Gambar 2.4 Gambar perubahan bentuk cedera sel yang bersifat reversibel dan ireversibel (nekrosis) pada tubulus ginjal. (A) normal; (B) cedera reversibel; (C) cedera ireversibel (nekrosis) (Kumar et al, 2007).
2.8 Glutation Peroksidase Penggunaan oksigen untuk pernafasan oleh organisme hidup berhubungan dengan pembentukan radikal bebas. Untuk melindungi tubuh dari dampak merugikan radikal bebas maka diciptakanlah beberapa molekul berbeda yang dapat menetralkan radikal bebas yang dikenal dengan antioksidan (Marciniak et al, 2009). Antioksidan atau reduktor berfungsi untuk mencegah terjadinya oksidasi atau menetralkan senyawa yang telah teroksidasi dengan cara menyumbangkan hidrogen dan atau elektron (Silalahi, 2006). Di antara banyak zat kimia, sistem antioksidan enzimatik dan nonenzimatik yang paling penting untuk menghilangkan radikal bebas. Kedua sistem ini dikenal sebagai kapasitas oksidan plasma (Marciniak et al, 2009). Antioksidan nonenzimatik disebut juga antioksidan pemecah rantai yang terdiri dari vitamin C, vitamin E, dan beta karoten . Antioksidan enzimatik disebut
Universitas Sumatera Utara
26
juga antioksidan pencegah, terdiri dari superoksid dismutase, katalase dan glutation perokidase. (Chevion, 2003; Ji, 1999). Glutation peroksidase (GPx) adalah selenocysteine yang mengandung enzim antioksidan mamalia yang mengkatalisis reduksi peroksida berbahaya dengan adanya glutation (GSH) sebagai kofaktor thiol dan melindungi sel / biomolekul dari kerusakan oksidatif dan peradangan (Bhabak et al, 2013). Selenium (Se) adalah mineral kelumit yang penting untuk sintesis protein dan aktivitas enzim glutation peroksidase (Winarsi, 2007). Mekanisme reaksi enzim glutation peroksidase merupakan salah satu cara utama yang digunakan oleh tubuh untuk melindungi diri dari kerusakan oksidatif. Enzim glutation peroksidase mengandung selenium sebagai gugus prostetik yang akan mengatalisis penghancuran H2O2 serta senyawa hidroperoksida lipid dengan glutation tereduksi (GSH). Gugus sulfidril pada glutation tereduksi (GSH) berfungsi sebagai donor elektron dan akan dioksidasi menjadi bentuk disulfida (GSSG) selama reaksi tersebut. Apabila disulfida telah terbentuk, disulfida di reduksi kembali menjadi bentuk sulfidril oleh glutation reduktase yaitu enzim flavoprotein yang mengandung FAD. Glutation reduktase memerlukan elektron dari NADPH yang biasanya dihasilkan dari lintasan pentosa fosfat (Murray et al, 2003).
GSSG + NADPH
GR
2GSH + NADP +
Universitas Sumatera Utara
27
Aktivitas enzim glutation peroksidase mampu mereduksi 70% peroksida organik dan lebih dari 90% H2O2. Glutation peroksidase adalah enzim intraseluler yang terdispersi dalam sitoplasma namun aktivitasnya juga ditemukan dalam mitokondria. Glutation peroksidase ekstraseluler terdeteksi dalam berbagai jaringan (Winarsi, 2007). Sampai saat ini telah ditemukan beberapa isoform glutation peroksidase yaitu GPx1 ditemukan pada sitosol dan mereduksi hidrogen peroksida tetapi tidak esterifikasi lipid peroksil. GPx2 berada pada sel epitel gastrointestinal dan berfungsi untuk mengurangi peroksida makanan. GPx3 berada di kompartemen ekstraseluler dan diyakini menjadi salah satu enzim antioksidan ekstraseluler yang paling penting pada mamalia. GPx4 merupakan enzim yang mereduksi hidroperoksida lipid. GPx5 berada pada epididymal dan GPx6 berada pada kelenjar Bowman dan sistem olfactory (Arthur, 2000; Birben et al, 2012). Dalam hepar dan sel darah merah terdapat glutation peroksidase dengan konsentrasi tinggi. Pada jantung, ginjal, paru-paru, adrenal, lambung dan jaringan adipose mengandung kadar glutation peroksidase dalam kadar sedang. Glutation peroksidase kadar rendah sering ditemukan dalam otak, otot, testis dan lensa mata (Winarsi, 2007).
Universitas Sumatera Utara
28
2.9 Ubi Jalar Ubi jalar (Ipomoea batatas L) atau ketela atau “sweet potato” diduga berasal dari Benua Amerika. Para ahli botani dan pertanian memperkirakan daerah asal tanaman ubi jalar adalah Selendia Baru, Polinesia dan Amerika bagian tengah. Nikolai Ivanovich Vavilov, seorang ahli botani Soviet, memastikan daerah sentrum primer asal tanaman ubi jalar adalah Amerika bagian tengah (Gardjito et al, 2013). Ubi jalar mulai menyebar ke seluruh dunia, terutama negara-negara beriklim tropik diperkirakan pada abad ke-16. Pada tahun 1960-an penanaman ubi jalar sudah meluas hampir di semua provinsi di Indonesia. Pada tahun 1968 Indonesia merupakan negara penghasil ubi jalar nomor empat di dunia karena berbagai daerah di Indonesia menanam ubi jalar. Sentra produksi ubi jalar yang termasuk lima daerah terluas penanaman komoditas ini, dari tahun 2001-2009 adalah provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Papua dan Sumatera Utara (Gardjito et al, 2013). Tumbuhan ubi jalar dapat di klasifikasikan sebagai berikut (Richana, 2013) : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Klas
: Magnoliopsida
Ordo
: Solanales
Famili
: Convolvulaceae
Genus
: Ipomea
Spesies
: Ipomea batatas L
Universitas Sumatera Utara
29
Secara morfologi tumbuhan ubi jalar adalah tumbuhan merambat. Batang ubi jalar tidak berkayu, berbentuk bulat dengan teras di bagian tengah yang terdiri dari gabus. Warna batang bervariasi antara hijau dan ungu. Daun ubi jalar berdasarkan bentuknya dibagi menjadi 3 golongan yaitu bulat, lonjong dan runcing. Warna daun hijau tua dan hijau kuning. Warna tangkai daun dan tulang daun bervariasi antara hijau dan ungu, sesuai dengan warna batangnya, seperti yang terlihat pada gambar 2.5. Bunga ubi jalar menyerupai terompet, warna mahkota bunga ungu-putih pada bagian pangkal dan putih pada bagian ujung, seperti yang terlihat pada gambar 2.5. Buah ubi jalar berkotak tiga dengan kulit biji keras. Bentuk ubi jalar umumnya dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu bulat dan lonjong dengan permukaan rata dan tidak rata. Ubi yang ideal adalah yang lonjong agak panjang dan beratnya 200-250 g/ubi. Kulit ubi jalar dibedakan menjadi dua tipe yaitu tebal dan tipis dengan warna yang beragam yaitu putih, kuning, ungu dan ungu-merah. Sedangkan daging ubi warnanya putih, kuning, jingga dan ungu, seperti yang terlihat pada gambar 2.6.
Gambar 2.5 Gambar ubi jalar dan bunga ubi jalar. ( Sumber: http://hansdw08.student.ipb.ac.id/tag/ubi-jalar/ )
Universitas Sumatera Utara
30
Gambar 2.6 Gambar beberapa varietas ubi jalar. ( Sumber : http://ayobertani.wordpress.com/2009/04/16/budidaya-ubi-jalar/ )
Komposisi kimia ubi jalar sebagian besar terdiri atas air (72,8%), karbohidrat (24,3%), protein, lemak, vitamin A, vitamin C, kalsium dan zat besi, seperti yang terlihat pada Tabel 2.1. Komposisi kimia ubi jalar dipengaruhi oleh varietas, lokasi dan musim tanam. Tabel 2.1 Komposisi kimia ubi jalar
Parameter Energi Air Abu Protein Lemak Pati Gula Serat Ca P Mg Na K S Fe Zn Al
Komposisi 457,0 KJ 71,1 g 0,74 g 1,43 g 0,17 g 22,4 g 2,38 g 1,60 g 29 mg 51 mg 26 mg 52 mg 260 mg 13 mg 0,49 mg 0,59 mg 0,82 mg
Parameter Komposisi Vitamin A 0,01 mg Thiamin 0,09 mg Riboflavin 0,03 mg Asam nikotinat 0,60 mg Vitamin C 24 mg Oksalat 81 mg Malat 116 mg Sitrat 81 mg Asam amino (mg/100 g Protein) Threonin 82 Valin 108 Sulfur 54 Isoleusin 82 Leusin 121 Aromatik 167 Lisin 81 Triptofan 20
Sumber : (Bradbury dan Woofle dalam Richana, 2013).
Universitas Sumatera Utara
31
Dengan demikian ubi jalar merupakan sumber pangan berenergi yaitu dalam bentuk gula atau karbohidrat. Saat ini ubi jalar dikenal mengandung antioksidan yaitu antosianin, terutama pada ubi jalar ungu (Richana, 2013). 2.10 Ubi Jalar Ungu Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas var Ayamurasaki) biasa disebut Ipomoea batatas blackie karena memiliki kulit dan daging umbi yang berwarna ungu kehitaman atau ungu pekat (Ferichani et al, 2012). Ubi jalar ungu mengandung pigmen antosianin yang lebih tinggi daripada ubi jalar jenis lain. Pigmennya lebih stabil bila dibandingkan antosianin dari sumber lain seperti kubis merah, elderberries, blueberries dan jagung merah. Keberadaan senyawa antosianin pada ubi jalar ungu dapat berfungsi sebagai komponen pangan sehat dan paling lengkap. Antosianin adalah pigmen larut air yang secara alami terdapat pada berbagai jenis tumbuhan. Pigmen ini memberikan warna pada bunga, buah dan daun tumbuhan hijau. Antosianin merupakan sub-tipe senyawa organik dari keluarga flavonoid, dan merupakan anggota kelompok senyawa yang lebih besar yaitu polifenol. Beberapa senyawa antosianin yang paling banyak ditemukan adalah pelargonidin, peonidin, sianidin, malvidin, petunidin dan delfinidin, seperti yang terlihat pada gambar 2.7.
Universitas Sumatera Utara
32
Gambar 2.7 Gambar struktur kimia dan struktur beberapa senyawa klasifikasi dari antosianin (Pojer et al, 2013).
Kestabilan antosianin dipengaruhi oleh pH, oksigen, sulfur dioksida, protein dan enzim. Warna yang ditimbulkan oleh antosianin tergantung pada tingkat keasaman lingkungannya. Antosianin bermanfaat bagi kesehatan tubuh karena dapat berfungsi sebagai antioksidan, antihipertensi dan pencegah kanker. Antosianin juga
Universitas Sumatera Utara
33
mampu menghalangi laju perusakan sel radikal bebas. Total kandungan antosianin bervariasi pada setiap tanaman dan berkisar antara 20 mg/100 g sampai 600 mg/100g berat basah (Richana, 2013). Farmakokinetik antosianin : Studi pada hewan coba menunjukkan bahwa antosianin diserap dengan cepat, muncul dalam aliran darah dalam beberapa menit (6 sampai 20 menit) setelah konsumsi dan mencapai tingkat maksimum pada darah setelah 15 sampai 60 menit. Baik pada manusia dan hewan, antosianin diserap dengan utuh dan beredar dalam plasma dan masuk ke urin tanpa mengalami perubahan metabolik. Pada tikus T1/2 dari antosianin adalah 0,36 menit (Pojer et al, 2013). Ginjal juga merupakan target antosianin. Konsentrasi antosianin dalam ginjal tikus 2 sampai 4 kali lebih tinggi daripada di hati tikus hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka pendek ginjal lebih efisien daripada hati pada pengambilan antosianin. Antosianin mengalami metabolisme dalam sel tubular ginjal, dengan keterlibatan COMT (catechol-O-methyl transferase). Antosianin diekskresikan dengan cepat. Pada tikus antosianin diekskresikan ke dalam empedu dan urin sebagai bentuk utuh dan bentuk yang telah dimetabolisme yang dapat terdeteksi setelah 20 menit (Pojer et al, 2013).
Universitas Sumatera Utara
34
2.11 Kerangka Teori Latihan fisik akan menyebabkan metabolisme tubuh meningkat sehingga konsumsi oksigen tubuh meningkat. Konsumsi oksigen yang meningkat akan menyebabkan terbentuknya radikal bebas. Di sisi lain, pada beberapa organ akan terjadi penurunan aliran darah. Ginjal akan mengalami penurunan aliran darah dan filtrasi glomerulus selama latihan fisik. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya iskemia-reperfusi
pada
ginjal.
Mekanisme
iskemia-reperfusi
tersebut
akan
mengaktifkan sistem xantin oksidase yang akan membentuk superoksida/radikal bebas. Ginjal juga mengaktifkan leukosit (sel inflamasi) karena adanya kerusakan jaringan dengan menggunakan sistem NADPH oksidase dan pada akhirnya akan menghasilkan radikal bebas juga. Banyaknya radikal bebas yang terbentuk akan mengganggu keseimbangan antara antioksidan endogen tubuh dengan radikal bebas sehingga aktivitas antioksidan endogen termasuk glutation peroksidase menurun. Hal ini akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif. Saat kebutuhan metabolisme meningkat seperti pada latihan fisik, sel mungkin mengalami keadaan hipoksia relatif walaupun aliran darah normal pada beberapa organ termasuk ginjal. Hipoksia relatif juga akan menghasilkan stres oksidatif pada ginjal. Semua mekanisme ini menyebabkan kerusakan jaringan pada ginjal. Kerangka teori dapat dilihat pada gambar 2.8.
Universitas Sumatera Utara
35
Latihan Fisik
Aliran darah & filtrasi glomerulus ginjal ↓
Metabolisme ↑
Konsumsi O2 ↑
Iskemia-reperfusi ginjal
Sistem xantin oksidase
Aktivasi leukosit ginjal
Hipoksia relatif ginjal
Sistem NADPH oksidase
Radikal bebas ↑↑↑
Antioksidan endogen ↓↓↓ : SOD, Katalase, GPx, Vitamin C & E.
Stres oksidatif ↑↑↑
Kerusakan jaringan ginjal
Gambar 2.8 Kerangka Teori.
Universitas Sumatera Utara
36
2.12 Kerangka Konsep Latihan fisik maksimal dapat meningkatkan produksi radikal bebas. Tubuh memiliki sistem pertahanan terhadap radikal bebas yang dikenal dengan antioksidan endogen. Bila terjadi ketidakseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan endogen akan menyebabkan penurunan aktivitas antioksidan endogen salah satunya GPx. Hal ini menyebabkan stress oksidatif sehingga terjadi kerusakan pada jaringan ginjal. Kerusakan jaringan ginjal tersebut ditandai dengan perubahan pada bentuk makroskopik ginjal dan histopatologi tubulus ginjal. Proses kerusakan jaringan ginjal ini dapat dihambat dengan memberikan antioksidan eksogen yang dapat menangkap radikal bebas. Salah satunya adalah dengan pemberian ekstrak umbi ubi jalar ungu. Ubi jalar ungu mengandung antioksidan yang dikenal dengan antosianin. Kerangka konsep dapat dilihat pada gambar 2.9. Latihan fisik maksimal
Radikal bebas pada ginjal ↑↑ sementara itu GPx ↓ da
Pemberian ekstrak umbi ubi jalar ungu ( Ipomoiea batatas L )
Latihan fisik maksimal
Radikal bebas pada ginjal ↓↓ sementara itu GPx ↑ da
Antosianin
Stress oksidatif pada ginjal ↓↓
Stress oksidatif pada ginjal ↑↑
Perbaikan jaringan ginjal
Kerusakan jaringan ginjal
- Makroskopik (BB dan warna ginjal) - Histopatologi tubulus ginjal
- Makroskopik (BB dan warna ginjal) - Histopatologi tubulus ginjal
Gambar 2.9 Kerangka Konsep Penelitian.
Universitas Sumatera Utara