BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana a. Pengertian Tindak Pidana Dalam hukum pidana dikenal beberapa istilah seperti delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana serta tindak pidana kata “delik” berasal dari bahasa Latin, yakni delictum. Dalam bahasa Jerman disebut delict, dalam bahasa Prancis disebut delit, dan dalam bahasa Belanda disebut delict kadang-kadang juga memakai istilah strafbaar feit. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Leden Marpaung, 2008: 7) Menurut Pompe, perkataan stafbaar feit itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai: Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum atau sebagai de normovertreding (verstoring der rechtsorde), waaran overtreder schuld heft en waarvan de bestraffing dienstig is voor de handhaving der rechts orde en de behartiging van het algemeen welzjin (Pompe dalam Lamintang, 2011: 182). Sedangkan Van Hamel menguraikan tindak
pidana
(straafbaar felt) itu sebagai: Perbuatan manusia yang diuraikan oleh undang-undang, melawan hukum, strafwaardig (patut atau bernilai untuk dipidana), dan dapat dicela karena kesalahan (en aan schuld te witjen) (Van Hamel dalam Zainal Abidin, 2007: 225). E. Utrecht memakai istilah “peristiwa pidana” karena yang ditinjau adalah peristiwa (feit) dari sudut hukum pidana (E. Utrecht dalam Leden Marpaung, 2008: 7). Namun Moeljatno menolak
16
17
istilah peristiwa pidana karena katanya peristiwa itu adalah pengertian yang konkret yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian yang tertentu saja, misalnya matinya orang. Hukum pidana tidak melarang matinya orang, tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan orang lain (Moeljatno dalam Andi Hamzah, 1994: 86). Moeljatno sendiri memakai istilah “perbuatan pidana” untuk kata “delik”. Menurut beliau, kata “tindak” lebih sempit cakupannya
daripada
“perbuatan”.
Kata
“tindak”
tidak
menunjukkan pada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan yang konkret (Moeljatno dalam Leden Marpaung, 2008: 7). Zainal Abidin mengusulkan pemakaian istilah “perbuatan kriminal”, karena “perbuatan pidana” yang dipakai oleh Moeljatno itu juga kurang tepat, karena dua kata benda bersambung yaitu “perbuatan” dan “pidana”, sedangkan tidak ada hubungan logis antara keduanya (Zainal Abidin dalam Andi Hamzah 1994 : 87). Jadi, meskipun ia tidak sama istilahnya dengan istilah Moeljatno, tetapi keduanya rupanya dipengaruhi oleh istilah yang dipakai di Jerman, yaitu “Tat” (perbuatan) atau “handlung” dan tidak dengan maksud untuk menerjemahkan kata “feit” dalam bahasa Belanda itu. Tetapi Zainal Abidin menambahkan bahwa lebih baik dipakai istilah padanannya saja, yang umum dipakai oleh para sarjana, yaitu delik. Memang jika kita perhatikan hampir semua penulis memakai juga istilah “delik” disamping istilahnya sendiri seperti Roeslan Saleh di samping memakai “perbuatan pidana” juga memakai istilah “delik”, begitu pula Oemar Seno Adji, di samping memakai istilah “delik” juga memakai istilah “delik”. Di Negeri Belanda dipakai istilah feit dengan alasan bahwa istilah itu tidak meliputi hanya perbuatan (handelen), tetapi juga
18
pengabaian (nelaten). Pemakaian istilah feit oleh Van Der Hoeven, karena menurutnya yang dapat dipidana ialah pembuat, bukan feit itu. Senada dengan itu, Van Hamel mengusulkan istilah strafwaardig feit (strafwaardig artinya patut dipidana), oleh karena itu
Hazenwinkel-Suringa mengatakan istilah
delict kurang
dipersengketakan, hanya karena istilah “strafbaar feit” itu telah bisa dipakai. Vos merumuskan delik itu sebagai “Suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundangundangan diberi pidana; jadi suatu kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan diancam dengan pidana.” (Vos dalam Andi Hamzah, 1994: 88). Simons memberikan defenisi lebih lanjut mengenai delik dalamn arti strafbaar feit sebagai berikut: Delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum (Simons dalam Leden Marpaung, 2008: 8). Van Hattum mengatakan: Oleh karena dengan perkataan “ stafbaar feit” itu seolaholah “ orang yang dapat dihukum” telah ditiadakan, maka biasanya pada waktu orang menjabarkan sesuatu delik ke dalam unsur- unsurnya , orang terpaku pada unsur- unsur delik seperti yang dirumuskan di dalam undang-undang dan melupakan tentang adanya lain-lain syarat yang dapat membuat seseorang dapat dihukum, ataupun juga disebut “bijikomende voorwaarden voor de strafbaarheid”, termasuk syarat-syarat yang berkenaan dengan pribadi dari pelakunya itu sendiri (Van Hattum dalam Lamintang, 2011: 185). Menurut Van Hattum, semua syarat yang harus terpenuhi sebagai syarat agar seseorang itu dapat diadili haruslah juga dianggap sebagai unsur-unsur delik.
19
Syarat-syarat pokok dari suatu delik itu adalah : 1) Dipenuhi semua unsur delik seperti yang terdapat di dalam rumusan delik; 2) Dapat
dipertanggungjawabkannya
si
pelaku
atas
perbuatannya; 3) Tindakan dari pelaku tersebut haruslah dilakukan dengan sengaja, dan 4) Pelaku tersebut dapat dihukum. b. Unsur-Unsur Tindak Pidana Perbuatan dikategorikan sebagai delik bila memenuhi unsur-unsur, sebagai berikut: 1) Harus ada perbuatan manusia; 2) Perbuatan manusia tersebut harus sesuai dengan perumusan pasal dari undang-undang yang bersangkutan; 3) Perbuatan itu melawan hukum (tidak ada alasan pemaaf); 4) Dapat dipertanggungjawabkan (Lamintang, 1984: 184) Sedangkan menurut Moeljatno menyatakan bahwa: 1) 2) 3) 4) 5)
Kelakuan dan akibat. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana. Unsur melawan hukum yang objektif Unsur melawan hukum yang subjektif. (Moeljatno dalam Djoko Prakoso, 1988: 104)
Selanjutnya menurut Satochid Kartanegara (Satochid Kartanegara dalam Leden Marpaung, 2008:10) mengemukakan bahwa: Unsur delik terdiri atas unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri manusia, yaitu berupa: 1) suatu tindakan; 2) suatu akibat dan; 3) keadaan (omstandigheid).
20
Kesemuanya itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Unsur subjektif adalah unsur-unsur dari perbutan yang dapat berupa: 1) Kemampuan (toerekeningsvatbaarheid); 2) Kesalahan (schuld). Sedangkan (Tongat, 2002: 3-5) menguraikan bahwa unsurunsur delik terdiri atas dua macam yaitu: 1) Unsur Objektif, yaitu unsur yang terdapat di luar pelaku (dader) yang dapat berupa: a) Perbuatan, baik dalam arti berbuat maupun dalam arti tidak berbuat. Contoh unsur objektif yang berupa "perbuatan" yaitu perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diancam oleh undang-undang. Perbuatan-perbuatan tersebut dapat disebut antara lain perbuatan-perbuatan yang dirumuskan di dalam Pasal 242, Pasal 263 dan Pasal 362 KUHPidana. Di dalam ketentuan Pasal 362 KUHPidana misalnya, unsur objektif yang berupa "perbuatan" dan sekaligus merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam oleh undang-undang adalah perbuatan mengambil. b) Akibat, yang menjadi syarat mutlak dalam delik materiil. Contoh unsur objektif yang berupa suatu "akibat" adalah akibat-akibat yang dilarang dan diancam oleh undang-undang dan merupakan syarat mutlak dalam delik antara lain akibat-akibat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 351 dan Pasal 338 KUHPidana. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHPidana misalnya, unsur objektif yang berupa "akibat" yang dilarang dan diancam dengan undangundang adalah akibat yang berupa matinya orang. c) Keadaan atau masalah-masalah tertentu yang dilarang dan diancam oleh undang-undang. Contoh unsur objektif yang berupa suatu "keadaan" yang dilarang dan diancam oleh undang-undang adalah keadaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 160, Pasal 281 dan Pasal 282 KUHPidana. Dalam ketentuan Pasal 282 KUHPidana misalnya, unsur objektif yang berupa "keadaan" adalah di tempat umum. 2) Unsur Subjektif, yaitu unsur yang terdapat dalam diri si pelaku (dader) yang berupa: a) Hal yang dapat dipertanggungjawabkannya seseorang terhadap perbuatan yang telah dilakukan (kemampuan bertanggungjawab).
21
b) Kesalahan (schuld) Seseorang dapat dikatakan mampu bertanggungjawab apabila dalam diri orang itu memenuhi tiga syarat, yaitu: (1) Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat mengerti akan nilai perbuatannya dan karena juga mengerti akan nilai perbuatannya itu. (2) Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan. (3) Orang itu harus sadar perbuatan mana yang dilarang dan perbuatan mana yang tidak dilarang oleh undang-undang.
Sebagaimana diketahui, bahwa kesalahan (schuld) dalam hukum pidana dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu: 1) Dolus atau opzet atau kesengajaan Rusli Effendy menuliskan dolus atau sengaja menurut Memorie van Toelicting (MvT) berarti menghendaki mengetahui (willens en wettens) yang berarti si pembuat harus menghendaki apa yang dilakukannya dan harus mengetahui apa yang dilakukannya. Tingkatan sengaja dibedakan atas tiga tingkatan yaitu: a) Sengaja sebagai niat: dalam arti ini akibat delik adalah motif utama untuk suatu perbuatan, yang seandainya tujuan itu tidak ada maka perbuatan tidak akan dilakukan. b) Sengaja kesadaran akan kepastian: dalam hal ini ada kesadaran bahwa dengan melakukan perbuatan itu pasti akan terjadi akibat tertentu dari perbuatan itu. c) Sengaja insyaf akan kemungkinan: dalam hal ini dengan melakukan perbuatan itu telah diinsyafi kemungkinan yang dapat terjadi dengan dilakukannya perbuatan itu (Rusli Effendy, 1989:80) 2) Culpa atau kealpaan atau ketidaksengajaan Menurut Memorie van Toelicting atas risalah penjelasan undang undang culpa itu terletak antara sengaja dan kebetulan. Culpa itu baru ada kalau orang dalam hal kurang hati-hati, alpa dan kurang teliti atau kurang mengambil tindakan pencegahan. Yurisprudensi menginterpretasikan culpa sebagai kurang mengambil tindakan pencegahan atau kurang hati-hati Lebih lanjut (Rusli Effendy,1989: 26) menerangkan bahwa kealpaan (culpa) dibedakan atas:
22
a) Kealpaan dengan kesadaran (bewuste schuld). Dalam hal ini, si pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah toh timbul juga akibat tersebut. b) Kealpaan tanpa kesadaran (onbewuste schuld). Dalam hal ini, si pelaku tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang, sedang ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu akibat. Mengenai MvT tersebut, Satochid Kartanegara (Satochid Kartanegara dalam Leden Marpaung, 2008:13) mengemukakan bahwa: Yang dimaksud dengan opzet willens en weten (dikehendaki dan diketahui) adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsafi atau mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu. Sedangkan menurut D. Simons mengemukakan bahwa kealpaan adalah : Umumnya kealpaan itu terdiri atas dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan suatu perbuatan, di samping dapat menduga akibat perbuatan itu. Namun, meskipun suatu perbuatan dilakukan dengan hati-hati, masih mungkin juga terjadi kealpaan jika yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-undang. Kealpaan terdapat apabila seseorang tetap melakukan perbuatan itu meskipun ia telah mengetahui atau menduga akibatnya. Dapat diduganya akibat itu lebih dahulu oleh si pelaku adalah suatu syarat mutlak. Suatu akibat yang tidak dapat diduga lebih dahulu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebagai kealpaan. Tentu dalam hal mempertimbangkan ada atau tidaknya "dapat diduga lebih dahulu" itu, harus diperhatikan pribadi si pelaku kealpaan tentang keadaankeadaan yang menjadikan perbuatan itu suatu perbuatan yang diancam dengan hukuman, terdapat kalau si pelaku dapat mengetahui bahwa keadaan-keadaan itu tidak ada. (Simons dalam Leden Marpaung, 2008: 25).
23
c. Pidana dan Pemidanaan Sanksi
pidana
merupakan
reaksi
dari
akibat
dan
konsekuensi pelanggaran dari suatu perbuatan melawan hukum. Sanksi pada umumnya adalah alat pemaksa agar seseorang mentaati norma-norma yang berlaku. Sanksi juga berfungsi sebagai alat penderitaan agar menimbulkan efek jera bagi si pelaku. Kalangan hukum lazimnya beranggapan bahwa hukuman merupakan penderitaan, sedangkan imbalan merupakan suatu kenikmatan sehingga akibat-akibatnya pada perilaku serta merta akan mengikutinya. Para pakar memberikan pandangan berbedabeda dalam - suatu definisi tentang sanksi. Pengertian sanksi oleh para antara lain sebagai berikut (Hambali, 2005:23): 1) Hoefnagels, sanksi dalam hukum pidana adalah semua reaksi terhadap pelanggaran hukum yang telah ditentukan undang-undang, dimulai dari penahanan tersangka dan penuntutan terdakwa sampai pada penjatuhan vonis oleh hakim. 2) Poernomo, sanksi mengandung inti berupa suatu ancaman pidana (strafbedreiging) dan mempunyai tugas agar norma yang telah ditetapkan dalam hukum dan undang-undang ditaati sebagai akibat hukum atas pelanggaran norma. 3) Utrecht, sanksi juga diartikan sebagai akibat sesuatu perbuatan atau suatu reaksi dari pihak lain yang dilakukan oleh manusia atau organisasi sosial. 4) Arrasyid, sanksi terhadap pelanggaran tatanan hukum yang dapat dipaksakan dan dilaksanakan serta bersifat memaksa yang datangnya dari pemerintah merupakan perbedaan yang menonjol dengan pelanggaran terhadap tatanan lainnya. 5) Sudikno, pada hakikatnya sanksi bertujuan untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang telah terganggu oleh pelanggaran-pelanggaran kaidah dalam keadaan semula. 6) Kanter dan Sianturi, sanksi pada umumnya adalah alat pemaksa agar seseorang mentaati norma-norma yang berlaku. 7) Hambali Thalib, sanksi hukum dalam arti sanksi negatif yang unsur-unsurnya dapat dirumuskan sebagai reaksi terhadap akibat atau konsekuensi terhadap pelanggaran atau penyimpangan kaidah sosial, baik kaidah hukum maupun
24
kaidah sosial nonhukum, dan merupakan kekuasaan untuk memaksakan ditaatinya kaidah sosial tertentu. Lebih lanjut (Kanter dan Sianturi, 1982: 30), tugas sanksi adalah merupakan alat pemaksa atau pendorong atau jaminan agar norma ditaati oleh setiap orang, dan juga merupakan akibat hukum bagi seseorang yang melanggar norma hukum. Dari definisi beberapa pakar hukum tersebut, dapat dipahami bahwa pidana mengandung unsur atau ciri-ciri sebagai berikut: 1) Pidana pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; 2) Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan atau oleh yang berwenang; 3) Pidana dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan delik menurut undang-undang. Pengertian
serta
unsur-unsur
sanksi
dan
pidana
sebagaimana telah sebelumnya dapat dirumuskan bahwa yang dimaksudkan sanksi dalam hukum pidana (sanksi pidana) adalah reaksi yang diberikan dengan sengaja oleh badan yang mempunyai kekuasaan (berwenang) berupa pengenaan penderitaan atau akibatakibat lain yang tidak menyenangkan kepada seseorang yang telah melakukan pelanggaran kaidah hukum atau delik menurut undangundang. d. Tujuan Pidana Dalam memberikan efek jera kepada seorang pelaku kejahatan sebagai konsekuensi dari perbuatannya maka hukum pidana dapat dikatakan sebagai jalan terakhir yaitu apabila upaya hukum lain selain hukum pidana dianggap tidak mampu dalam memberikan atau menyelenggarakan tata tertib dalam pergaulan masyarakat (Waluyadi, 2003:30) berpendapat:
25
"hukum pidana juga dapat dikatakan sebagai crimum meridium, yaitu ebagai upaya antisipatif preventif agar manusia mengetahui akibat yang ditimbulkan apabila ia memperkosa atau melanggar hak-hak orang lain (baik nyawa atau harta) dengan jalan memperkenalkan hukum pidana sedini mungkin”. Secara khusus tujuan hukum pidana adalah sebagai upaya pencegahan untuk tidak dilakukannya delik atau mencegah kejahatan, dengan jalan melindungi segenap kepentingan dari pada subyek hukum dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Perlindungan tersebut diwujudkan melalui pemberian sanksi dengan penderitaan, nestapa atau segala sesuatu yang tidak mengenakkan secara tegas kepada pihak-pihak yang telah terbukti melanggar hukum. Tujuan dasar dari adanya pidana bagi seseorang yang telah melanggar
norma-norma
hukum
pidana
adalah
dengan
pertimbangan untuk membalas si pelaku delik. Terdapat berbagai teori yang membahas alasan-alasan yang membenarkan adanya penjatuhan hukuman (sanksi). Di antaranya teori absolut dan teori relatif (Leden Marpaung, 2008: 4) 1) Teori absolut Menurut teori ini, hukuman itu dijatuhkan sebagai pembalasan terhadap para pelaku karena telah melakukan kejahatan yang mengakibatkan kesengsaraan terhadap orang lain atau anggota masyarakat. 2) Teori relatif. Teori ini dilandasi oleh tujuan sebagai berikut: a) Menjerakan Dengan penjatuhan hukuman, diharapkan si pelaku atau terpidana menjadi jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya (speciale preventie) serta masyarakat umum mengetahui bahwa jika melakukan perbuatan
26
sebagaimana
dilakukan
terpidana,
mereka
akan
mengalami hukuman yang serupa (generate preventive) b) Memperbaiki Pribadi Terpidana Berdasarkan perlakuan dan pendidikan yang diberikan selama menjalani hukuman, terpidana merasa menyesal sehingga ia tidak akan mengulangi perbuatannya dan kembali kepada masyarakat sebagai orang yang baik dan berguna. c) Membinasakan atau membuat terpidana tidak berdaya Membinasakan berarti menjatuhkan hukuman mati, sedangkan membuat terpidana tidak berdaya dilakukan dengan menjatuhkan hukuman seumur hidup. 3) Teori Gabungan (verenigings theorien) Menurut Van Bemelen teori gabungan adalah pidana bertujuan masyarakat
membalas
kesalahan
dan
mengamankan
tidaklah
bermaksud
mengamankan
dan
memelihara tujuan, jadi pidana dan tindakan, keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan masyarakat. Teori gabungan dibagi menjadi tiga yaitu: menitik beratkan unsur pembalasan; menitik beratkan pertahanan tata tertib masyarakat; menitik beratkan pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat (Van Bemelen dalam Andi Hamzah, 1993: 31-33). Jadi tujuan penjatuhan hukuman dalam hukum pidana adalah untuk melindungi dan juga memelihara ketertiban hukum guna mempertahankan keamanan dan ketertiban masyarakat sebagai satu kesatuan. Hukum pidana tidak hanya melihat penderitaan korban atau penderitaan terpidana, tetapi melihat ketenteraman masyarakat sebagai suatu kesatuan yang utuh (Leden Marpaung, 2008: 5)
27
e. Jenis-Jenis Pidana Di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) sesuai Pasal 10, sanksi pidana terdiri dari: a. Pidana pokok, antara lain: 1. Pidana mati; 2. Pidana penjara; 3. Pidana kurungan; 4. Denda; 5. Pidana Tutupan b. Pidana tambahan, antara lain : 1. pencabutan beberapa hak tertentu 2. perampasan beberapa barang tertentu 3. pengumuman putusan hakim. Berikut penjelasan dari jenis-jenis pidana yang dimuat dalam Pasal 10 KUHP 1) Pidana Pokok a) Pidana Mati Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pidana mati termasuk urutan pertama jenis dari pidana pokok yang dalam prakteknya undangundang
masih
memberikan
alternatif
dengan
hukuman seumur hidup atau penjara selamalamanya dua puluh tahun (Pasal 340 KUHP). Menurut (Waluyadi,2003:179), di dalam Pasal 2 sampai Pasal 16 Undang-Undang No.2 Pnps Tahun 1964, secara garis besar memuat tata cara tentang pelaksanaan hukuman mati. Di antara ketentuan yang terpenting adalah: (1) Dalam waktu tiga puluh hari, sebelum pelaksanaan hukuman mati, wajib diberitahukan kepada terdakwa tentang pelaksanaannya hukuman mati tersebut, oleh pihak yang diberi kewenangan untuk itu (Jaksa Tinggi atau Jaksa). (2) Bagi terdakwa yang kebetulan wanita, dalam keadaan hamil, maka pelaksanaan hukuman mati harus ditunda sampai lahirnya bayi yang dikandungnya.
28
(3) Tempat dilaksanakannya hukuman mati ditentukan oleh Menteri Kehakiman, yang biasanya akan ditentukan menurut wilayah hukum Pengadilan Negeri dimana terdakwa tersebut dijatuhi pidana mati oleh hakim. (4) Pelaksanaan hukuman mati, dilaksanakan oleh regu tembak yang dipimpin oleh Polisi yang perwira. (5) Kepala Polisi di wilayah hukum yang bersangkutan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan hukuman mati, setelah mendengar nasihat Jaksa Tinggi atau Jaksa. (6) Pelaksanaan hukuman mati tidak diperbolehkan di depan umum. (7) Setelah selesai pelaksanaan hukuman mati (ditembak) maka jenazah diserahkan kepada keluarganya. (8) Sebelum pelaksanaan hukuman mati (sebelum ditembak) dalam waktu tiga hari (tiga kali dua puluh empat jam) pihak yang berwenang (Jaksa Tinggi atau Jaksa) harus memberitahukan kepada terdakwa untuk menyampaikan kata-kata atau pesan terakhir kepada seseorang yang dianggap penting dan perlu oleh terdakwa. (9) Setelah pelaksanaan hukuman mati, maka Jaksa atau Jaksa Tinggi tersebut harus membuat berita acara tentang pelaksanaan hukuman mati tersebut yang kemudian diserahkan kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan yang kemudian harus dicantumkan dalam surat keputusan. (10) Kepala Polisi di daerah yang bersangkutan atau yang ditunjuk (perwira polisi) harus menghadiri pelaksanaan hukuman mati, sementara bagi penasihat hukumnya dapat menghadiri pelaksanaan hukuman mati tersebut apabila ia menghendaki atau atas permintaan terpidana. Berdasarkan Pasal 67, Pasal 244, dan Pasal 263 KUHAP, terhadap putusan (hukuman) mati dapat
dimintakan
banding,
kasasi
maupun
peninjauan kembali. Di samping upaya hukum tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 3
29
Tahun 1950 tentang grasi, terhadap pidana mati diperbolehkan mengajukan grasi kepada Presiden. b) Pidana Penjara Pada prinsipnya hukuman penjara ini, baik untuk
seumur
hidup
maupun
penjara
untuk
sementara waktu, merupakan alternatif dari pidana mati. (Lamintang, 1988: 69) mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan hukuman penjara adalah: "suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam Lembaga Pemasyarakatan yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut". Perihal mengenai hukuman penjara telah diatur dalam Pasal 12 KUHP, yang mengatur: (1) Pidana penjara seumur hidup atau sementara. (2) Lamanya pidana penjara sementara itu sekurang-kurangnya satu hah dan selamalamanya lima belas tahun berturut-turut (3) Pidana penjara sementara boleh dijatuhkan selama-lamanya dua puluh tahun berturutturut dalam hal kejahatan dengan pidana yang menurut pilihan hakim sendiri boleh dipidana dengan pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup dan penjara sementara dan dalam hal masa lima belas tahun itu dilampaui, sebab pidana ditambah, karena ada gabungan kejahatan atau karena berulang melakukan kejahatan atau karena ketentuan Pasal 52. (4) Lamanya pidana itu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun. Jika berpedoman pada Pasal 12 KUHP tersebut,
maka
seseorang
dapat
dipidana
30
sehubungan
dengan
kejahatan
yang
telah
dilakukannya berkisar antara satu hari sampai dengan dua puluh tahun. Satu hari menurut hukum adalah serentetan waktu selama 24 (dua puluh empat) jam dan satu bulan berarti 30 (tiga puluh) hari (Pasal 97 KUHP). c) Pidana Kurungan Perihal mengenai hukuman kurungan ini telah diatur dalam Pasal 18 KUHP, yang mengatur: (1) Lamanya pidana kurungan sekurangkurangnya satu hari dan selama-lamanya satu tahun. (2) Pidana itu boleh dijatuhkan selama-lamanya satu tahun empat bulan dalam hal hukuman melebihi satu tahun, sebab ditambah karena ada gabungan kejahatan, karena berulang melakukan kejahatan atau karena ketentuan Pasal 52. (3) Pidana kurungan tidak boleh lebih lama dari satu tahun empat bulan. Hukuman kurungan ialah hukuman yang dijatuhkan di dalam penjara, sama halnya dengan hukuman
penjara.
Namun
terdapat
beberapa
perbedaan yang membedakannya dengan hukuman penjara, antara lain: (1) Hukuman penjara dapat dijalankan di dalam penjara mana saja, sedangkan hukuman kurungan dijalankan di daerah di mana terhukum bertempat tinggal waktu hukuman itu dijatuhkan. (2) Orang yang dipidana hukuman kurungan, pekerjaannya lebih ringan daripada orang yang dipidana hukuman penjara.
31
(3) Orang
yang
kurungan
dipidana
dapat
dengan
memperbaiki
pidana nasibnya
dengan biaya sendiri menurut peraturan yang akan ditetapkan dalam perundangundangan (Pasal 23 KUHP). (4) Masa waktu terpendek secara umum bagi hukuman kurungan adalah satu hari dan selama-lamanya satu tahun, dan dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan dalam hal gabungan delik, berulang kali melakukan delik, dan bilamana waktu melakukan
delik
tersebut
menyertakan
bendera Republik Indonesia, maka ditambah sepertiganya (Pasal 52 KUHP). d) Pidana Denda Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bahwa hukuman denda yang merupakan urutan keempat dari pidana pokok, tidak selalu berdiri sendiri. Akan tetapi merupakan alternatif dari pidana penjara, pidana kurungan. (Waluyadi, 2003: 202) mengatakan, menurut KUHP maupun di dalam undang-undang yang lainnya, dapat disimpulkan bahwa hukuman denda mengalami posisi sebagai berikut: (1) Hukuman denda itu merupakan hukuman utama dengan tidak memberikan jenis pidana lain untuk mengganti pidana denda. (2) Hukuman denda merupakan hukuman alternatif, sementara pidana utamanya adalah pidana kurungan. (3) Pidana denda juga merupakan jenis pidana alternatif dari pidana penjara.
32
(4) Hukuman denda itu merupakan pidana utama, sementara oidana kurungan sebagai alternatif. (5) Denda itu dijatuhkan berbarengan dengan pidana penjara. (6) Pidana denda yang dijatuhkan bersama dengan pidana kurungan, sesuai daiam Pasal 406, Pasal 489, Pasal 529, dan Pasal 532 KUHP. (7) Mengenai penjatuhan hukuman denda yang terpisah dan atau disatukan dengan jenis hukuman yang lainnya. 2) Pidana Tambahan a) Pencabutan beberapa hak tertentu.
Hal-hal yang menyangkut pidana tambahan berupa cencabutan beberapa hak tertentu, di dalam KUHP telah diatur aalam Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 KUHP. Pencabutan tentang beberapa hak tertentu yang tertuang dalam Pasal 10 KUHP penjatuhannya oleh hakim tidak dapat dijatuhkan secara terpisah (tidak dapat dipisahkan) dengan penjatuhan pidana pokok. Artinya, apabiia hakim
hendak
menjatuhkan
pidana
berupa
pencabutan beberapa hak tertentu, seorang hakim harus
menyertakan
di
dalamnya
pencabutan
beberapa hak tertentu bersama dengan pidana pokok Dari uraian tersebut terlihat secara garis besar bahwa apapun jenis kejahatannya maupun pelanggarannya,
hakim
dapat
sekaligus
menyertakan pidana tambahan berupa pencabutan beberapa hak tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat dari (Waluyadi, 2003: 213), dengan mengatakan: "Undang-Undang ternyata tidak menjelaskan secara limitatif tentang kriteria yang dapat
33
dipedomani oleh hakim sehingga ia menyertakan pidana tambahan berupa pencabutan beberapa hak tertentu. Dalam arti, apakah seluruh kejahatan dan pelanggaran yang terdapat di dalam KUHP dapat dikenakan pidana tambahan tersebut, di samping pidana pokoknya." Lebih lanjut Waluyadi menjelaskan, undangundang hanya menjelaskan dalam Pasal 128 KUHP, bahwa: (1) Jika pidana karena kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 104 dapat dijatuhi pidana pencabutan hak-hak tersebut pada Pasal 35, ke-1 sampai dengan ke-5; (2) Pada waktu menjatuhkan pidana salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 106-108, Pasal 110-125, maka dapat dijatuhkan pula pidana pencabutan hak-hak tersebut dalam Pasal 35 ke-1 sampai dengan ke-5; (3) Pada waktu menjatuhkan pidana sebab kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 127 maka yang bersalah dapat dipecat dari jabatan yang dijalankan pada waktu melakukan kejahatan itu, dari hak yang tersebut dalam Pasal 35 ke-1 sampai dengan ke-4 dan dapat pula diperintahkan supaya putusan hakim diumumkan. Jika pembuat undang-undang tidak menjelaskan
dan
menegaskan
bahwa
hanya
kejahatan-kejahatan seperti tersebut dalam Pasal 104, Pasal 106-108, dan Pasal 110-125 KUHP sementara pasal di luar itu tidak ditegaskan untuk tidak dibebani pidana tambahan berupa pencabutan beberapa hak tertentu, akan memberikan pengertian bahwa jenis pidana tersebut dapat di mungkinkan untuk dijatuhkannya. Jika demikian yang terjadi, maka akan kembali kepada keyakinan hakim. Dalam arti, apakah sesuatu kejahatan itu perlu
34
dijatuhi
pidana
tambahan
berupa
pencabutan
beberapa hak tertentu atau tidak sangat tergantung kepada penilaian hakim. b) Perampasan Beberapa Barang Tertentu.
Secara sederhana dapat diketahui bahwa perampasan barang adaiah pengaiihan kekuasaan atas barang untuk kepentingan hukum. Istilah lain dari kata perampasan barang ini dapat kita temukan di dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) yang dikenal dengan penyitaan yaitu serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyelidikan, penuntutan, dan peradilan (Pasal 1 ke-16 KUHAP). Mengacu pada KUHP dan KUHAP akan memberikan
penafsiran
yang
berbeda
daiam
memberikan dua jenis fungsi dan maksud dari penyitaan itu. Menurut KUHAP, penyitaan akan dilaksanakan oleh penyidik (penyidik Polri dan atau penyidik
Pegawai
Negeri
Sipil
yang
diberi
kewenangan untuk itu) guna kepentingan proses peradilan (penyidikan, penuntutan, peradilan: sidang pengadilan), atau dengan kata lain bahwa maksud dari penyitaan dalam KUHAP adalah untuk kepentingan pembuktian. Berbeda
dengan
KUHAP,
penyitaan
menurut KUHP adalah demi untuk kepentingan Negara yang dinyatakan dengan keputusan hakim sebagai hukuman tambahan di samping hukuman
35
pokok. Ini sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal 39 KUHP, yang mengatur: (1) Barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dengan kejahatan atau yang dengan sengaja telah dipakainya untuk mengerjakan kejahatan, boleh dirampas. (2) Jika seseorang dipidana karena melakukan kejahatan tiada dengan sengaja atau karena melakukan pelanggaran, boleh juga dijatuhkan pidana rampasan itu dalam hal yang ditentukan dalam undang-undang. (3) Pidana rampasan itu boleh juga dijatuhkan atas orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanyalah tentang barang yang sudah disita. Pasal 39 KUHP tersebut merupakan asas umum dari penyitaan, yang menerangkan bahwa pada dasarnya barang-barang yang dapat disita dan penyitaannya harus berbarengan dengan dijatuhi hukuman pokok meliputi: (1) Benda yang diperoleh dari kejahatan; (2) Benda yang dipakai untuk melakukan kejahatan; (3) Benda yang dipakai untuk melakukan kejahatan karena tidak sengaja dan atau karena
melakukan
pelanggaran
melalui
undang-undang. c) Pengumuman Putusan Hakim
Pasal 195 KUHAP menyatakan bahwa semua putusan pengadilan sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan disidang terbuka untuk umum. Ketentuan ini, dalam hukum acara pidana sering disebut sebagai asas-asas umum pemeriksaan sidang pengadilan.
36
Di samping ketentuan Pasal 195 KUHAP yang menegaskan agar semua putusan diucapkan dalam situasi sidang yang terbuka jntuk umum, maka dalam permulaan sidang pun disyaratkan nendaknya dllaksanakan dengan terbuka untuk umum serta menggunakan bahasa Indonesia yang dapat
dimengerti
oleh
terdakwa
atau
saksi,
sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 153 KUHAP yang menentukan bahwa: (1) Pada hari yang ditentukan menurut Pasal 152 pengadilan bersidang. (2) Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan disidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi. (3) la wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban yang tidak bebas. (4) Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang dapat menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwa anak-anak. (5) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat 2 dan ayat 3 menyebabkan batalnya putusan demi hukum. (6) Hakim ketua sidang dapat menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur tujuh belas tahun tidak diperkenankan menghadiri sidang. 2. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Pemerasan a. Tindak Pidana Pemerasan Menurut KUHP Kata ‘pemerasan’ dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dasar ‘peras’ yang bisa bermakna leksikal ‘meminta uang dan jenis lain dengan ancaman (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002: 855). Dalam Black’s
Law
Dictionary (2014:
180),
lema blackmail diartikan sebagai a threatening demand made
37
without justification. Sinonim dengan extortion, yaitu suatu perbuatan untuk memperoleh sesuatu dengan cara melawan hukum seperti
tekanan
atau
paksaan.
Pemerasan
(Belanda: afpersing; Inggris: blackmail), adalah satu jenis tindak pidana umum yang dikenal dalam hukum pidana Indonesia. Spesifik tindak pidana ini diatur dalam Pasal 368 KUHP. Dalam struktur KUHP, tindak pidana pemerasan diatur dalam satu bab yaitu Bab XXIII bersama tindak pidana pengancaman. Karena itu kata afpersing sering digabung dengan kata afdreiging yang diatur Pasal 369 KUHP. Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara tidak sah, memaksa orang lain dengan kekerasan dan ancaman kekerasan supaya orang itu menyerahkan sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian saja adalah kepunyaan orang itu atau orang ketiga, atau supaya orang itu membuat utang atau menghapuskan suatu piutang, ia pun bersalah melakukan tindak pidana seperti yang ada pada Pasal 368 KUHP
yang
dikualifikasikan
sebagai
“afpersing”
atau
“pemerasan” (R.Subekti, 2005:7). Tindak pidana pemerasan merupakan kejahatan terhadap harta benda yang diatur dalam Buku II KUHP dalam Bab XXIII. Kejahatan pemerasan di dalam bentuknya yang pokok diatur di dalam Pasal 368-371 KUHP. Pasal 368 merumuskan pengertian tentang tindak pidana pemerasan sebagai berikut: “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun”. Pemerasan hampir mirip
dengan pencurian dengan
kekerasan (Pasal 365 KUHP). Hubungan kedua Pasal juga erat
38
karena ayat (2) Pasal 368 menyebutkan terhadap Pasal ini berlaku juga rumusan ayat 2 sampai 4 Pasal 365 KUHP. Pada kedua jenis tindak pidana ini, sama-sama ada unsur pemaksaan dan pengambilan barang milik orang lain. Menurut Andi Hamzah (2009: 84), perbedaannya terletak pada ada tidaknya interaksi pelaku dengan korban. Pada tindak pidana pemerasan, ada semacam ‘kerjasama’ antara pelaku dengan korban karena korban sendiri yang menyerahkan barang walau dengan paksaan. Sebaliknya, pada pencurian dengan kekerasan, pelaku mengambil sendiri barang tersebut tanpa diketahui pemiliknya. Pemerasan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang atau lembaga dengan melakukan perbuatan yang menakutnakuti dengan suatu harapan agar yang diperas menjadi takut dan menyerahkan sejumlah sesuatu yang diminta oleh yang melakukan pemerasan, jadi ada unsur takut dan terpaksa dari yang diperas (http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=nl&u=http://www. elfri.be/Strafrecht/afpersing.htm&ei=AjlfSunEGI2pkAWXobyoCg &sa=X&oi= Diakses Tanggal 4 Desember 2015) . Di dalam Pasal 368 KUHP mengandung unsur-unsur dari tindak pidana pemerasan, yaitu: 1) Perbuatan 2) memaksa orang lain 3) dengan kekerasan atau ancaman kekerasan 4) menyerahkan barang kepada si pemeras Dari keempat unsur pokok ini dapat kita simpulkan bahwa pemerasan adalah suatu perbuatan dimana si pelaku harus mengadakan suatu upaya pemaksaan agar si korban mau menyerahakan sendiri objek yang ingin dikuasai oleh si pemeras.
39
Korban yang di desak oleh perasaan takut dan terpaksa akan dengan spontan memberikan barang yang awalnya ada pada penguasaannya.
Terlebih
apabila
cara
yang
dilakukan
menggunaakaan kekerasan yang akan menimbulkan efek takut yang lebih besar kepada korban. Di sini perbedaan antara pemerasan dan pencurian terlihat jelas, dimana pada pencurian terkadang si korban tidak tahu atau tidak menyadari bahwa barangnya telah diambil oleh orang lain, namun dalam tindak pidana pemerasan terdapat ironi tersendiri dimana si korban harus menyerahkan sendiri dengan tangannya barang yang ia miliki kepada pemerasnya. Secara spesifik KUHP sendiri tidak memiliki Pasal yang mengatur tentang Tindak Pidana Pemerasan dengan menyebarkan foto yang bermuatan konten pornografi. KUHP hanya mengatur tentang pemerasan dalam Pasal 368 KUHP dan pengancaman dalam Pasal 369 KUHP yang berbunyi: “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang atau menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun” b. Tindak Pidana Pemerasan menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tindak pidana pemerasan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik BAB VII perbuatan yang dilarang sebenarnya terdiri dari dua macam tindak pidana, yaitu tindak pidana pemerasan (afpersing) dan tindak pidana menakut-nakuti atau pengancaman (afdreiging). Di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tindak pidana pemerasan
40
dikategorikan sebaagai cybercrime. Pada dasarnya cybercrime meliputi semuatindak pidana yang berkenaan dengan sistem informasi, sistem informasi (information system) itu sendiri, serta system komunikasi yang merupakan sarana untuk penyampaian atau
pertukaran
informasi
kepada
pihak
lainnya
(transmitter/originator to reciptient) (Didik M Arief Mansyur dan Elistaris Ghultom, 2005: 10) Berdasarkan
beberapa
literature
serta
prakteknya,
cybercrime memilliki karakteristik yaitu: 1) Perbuatan yang dilakukan secara illegal tanpa hak atau tidak etis tersebut terjadi dalam ruang/wilayah siber/cyber (cyberspace), sehingga tidak dapat dipastikan yurisdiksi Negara mana yang berlaku terhadapnya. 2) Perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan apapun yang terhubung dengan internet. 3) Perbutan tersebut mengakibatkan kerugian materiil maaupun immaterial (waktu, nilai, jasa, uang, barang, harga diri, martabat kerahasiaan informasi) yang cenderung lebih besar dibaandingkan dengan kejaahatan konvensional. 4) Pelakunya adalah orang yang menguasai penggunaan internet beserta aplikasinya. 5) Perbuatan tersebut sering dilakukan secara transnasional/melintasi batas Negara (Abdul Wahid dan M. Labib, 2005: 76). Sesungguhnya banyak perbedaan di antara para ahli dalam mengklasifikasikan
kejahatan
komputer
(computer
crime).
Ternyata dari klasifikasi tersebut terdapat kesamaan dalam beberapa hal. Untuk memudahkan klasifikasi kejahatan komputer (computer crime) tersebut, maka dari beberapa klasifikasi dapat disimpulkan (Andi Julia, 2006: 71): 1) Kejahatan-kejahatan yang menyangkut data atau informasi komputer. 2) Kejahatan-kejahatan yang menyangkut program atau software komputer. 3) Pemakaian fasilitas-fasilitas komputer tanpa wewenang untuk kepentingan-kepentingan yang tidak sesuai dengan tujuan pengelolaan atau oprasinya.
41
4) Tindakan-tindakan yang menggagu operasi komputer 5) Tindakan merusak peralatan komputer atau peralatan yang berhubungan dengan komputer atau sarana penunjang Menurut RM Roy Suryo Kasus-kasus cybercrime yang banyak terjadi di Indonesia setidaknya ada tiga jenis berdasarkan modusnya, yaitu (Majalah Warta Ekonomi No. 9, 5 Maret 2001: 12): 1) Pencurian nomor kartu kredit. Penyalahgunaan kartu kredit milik orang lain di internet merupakan kasus cybercrime terbesar yang berkaitan dengan dunia bisnis internet di Indonesia. Penyalahgunaan kartu kredit milik orang lain memang tidak rumit dan bisa dilakukan secara fisik atau on-line . Nama dan kartu kredit orang lain yang diperoleh di berbagai tempat (restaurant, hotel, atau segala tempat yang melakukan transaksi pembayaran dengan kartu kredit) dimasukkan di aplikasi pembelian barang di internet. 2) Memasuki, memodifikasi, atau merusak homepage (Hacking). Tindakan hacker Indonesia belum separah aksi di luar negeri. Perilaku hacker Indonesia baru sebatas masuk ke suatu situs komputer orang lain yang ternyata rentan penyusupan dan memberitahukan kepada pemiliknya untuk berhati-hati. Di luar negeri hacker sudah memasuki sistem perbankan dan merusak data base bank 3) Pencemaran nama baik, pemerasan, penyebar berita bohong melalui internet. 4) Penyerangan situs atau e-mail melalui virus atau spamming Modus yang paling sering terjadi adalah mengirim virus melalui e-mail. Menurut RM Roy M. Suryo, di luar negeri kejahatan seperti ini sudah diberi hukuman yang cukup berat. Berbeda dengan di Indonesia yang sulit diatasi karena peraturan yang ada belum menjangkaunya. Dasar hukum atau ketentuan hukum dari tindak pidana pemerasan menurut hukum positif telah diatur dalam Pasal 27 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikandan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau
42
dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman” . Setiap perbuatan pemerasan/pengancaman pada dasarnya dapat
dipidana
berdasarkan
hukum
di
Indonesia.
Pemerasan/pengancaman melalui internet pada prinsipnya sama dengan pemerasan/pengancaman secara konvensional. Yang membedakan hanya sarananya yakni melalui media internet. Ancaman mengunggah video pribadi termasuk foto pribadi ke media sosial ditengarai merupakan modus baru dalam pemerasan di era digital saat ini. Sebagaimana umumnya Undang-Undang di luar KUHP yang mengatur perbuatan dengan sanksi pidana, dalam UU ITE perumusan perbuatan dan sanksi pidana juga dicantumkan secara terpisah. Semua perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 sampai Pasal 35 di atas, diancam dengan sanksi pidana dalam Pasal 45-52 (Akbar Kurnia Putra, 2014:12) Pasal 27 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikandan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman” Ketentuan Pasal 27 UU ITE mensyaratkan perbuatan mendistribusikan, mentransformasikan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten yang dilarang tersebut dilakukan dengan sengaja dan tanpa hak (Pasal 303 KUHP), penghinaan atau pencemaran nama baik (Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP), dan pemerasan atau pengancaman (Pasal 368 dan Pasal 369 KUHP). Perumusan perbuatan dalam Pasal 27 UU ITE pada dasarnya
43
merupakan reformulasi tindak pidana yang terdapat dalam pasalpasal KUHP tersebut (Sylverio Chris Talinusa. 2015: 04). Perumusan
ketentuan
Pasal
27
ayat
(4)
yang
menggabungkan tindak pidana pemerasan dengan pengancaman dalam satu ketentuan tetap menimbulkan masalah karena kedua tindak pidana tersebut jenis deliknya berbeda. Ketentuan tindak pidana pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 368 KUHP adalah delik biasa sedangkan tindak pidana pengancaman dalam Pasal 369 KUHP adalah delik aduan (Sigit Suseno. 2012: 166). Ketentuan
Pasal
27
UU
ITE
mensyaratkan
perbuatan
mendistribusikan, mentransformasikan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten yang dilarang tersebut dilakukan dengan sengaja dan tanpa hak (Asri Sitompul. 2001:73). Untuk ketentuan pidana, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Trasaksi Elektronik juga telah mengaturnya, yaitu: Pasal 29 yang berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi”. Pasal 30 ayat (1) yang berbunyi: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apapun. Tindak pidana pemerasan ( Extortion ) dari analisa di atas diperberat pada BAB XI Ketentuan Pidana UU ITE: Pasal 45 ayat (1) yang berbunyi: “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan
pidana
penjara
paling
lama
6
44
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Pasal 45 ayat (3) yang berbunyi : “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 ( dua miliar rupiah )”. Pasal 46 ayat (3) yang berbunyi: “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama
8
(delapan)
tahun
dan/atau
denda
paling banyak
Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah )” c. Pornografi
dalam
Tindak
Pidana
Pemerasan
menurut
Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi Undang-Undang yang secara tegas mengatur mengenai pornografi adalah UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi). Pengertian pornografi menurut pasal 1 ayat (1) UU Pornografi adalah: Gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Pasal 4 ayat (1) UU 44 tahun 2008 mengatur larangan perbuatan
memproduksi,
menggandakan,
membuat,
menyebarluaskan,
memperbanyak,
menyiarkan,
mengimpor,
mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
45
e. f.
alat kelamin; atau pornografi anak Pasal 4 ayat (1) UU 44 tahun 2008 tentang Pornografi
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "membuat" adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Tindak pidana pemerasan dengan modus menyebarkan foto yang sering terjadi saat ini menggunakan foto sebagai alat untuk menguntungkan pribadinya sendiri atau orang lain. Foto yang digunakan adalah foto yang mengandung muatan pornografi. Antara tindak pidana pemerasan denga penyebaran foto yang bermuatan pornografi merupakan 2 (dua) tindak pidana yang berbeda yang bisa dikategorikan sebagai gabungan tindak pidana. Gabungan tindak pidana atau Samenloop van strafbare feiten dibedakan menjadi : 1) Eendaadse Samenloop atau Concursus Idealis Gabungan satu perbuatan (eendaadse samenloop atau concursus idealis). Disebutkan dalam peraturan Pasal 63 KUHP. Jenis concursus ini terjadi apabila seorang melakukan satu tindak pidana tetapi dengan melakukan satu tindak pidana itu ia memenuhi rumusan dari beberapa ketentuan pidana (perbarengan peraturan). Contohnya: A ingin membunuh B yang sedang duduk dibelakang kaca, pada saat ingin membunuh B, si A dengan tanpa sadar ikut memecahkan kaca tersebut. (Fuad Usfah, Moh. Najih, Tongat, 2004:119-120). Satu perbuatan A (membunuh) ini memenuhi 2 rumusan ketentuan pidana yaitu: Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan Pasal 406 KUHP tentang pengrusakan barang. Konstruksi pasal 63 KUHP mempersyaratkan bahwa beberapa perbuatan itu tidak dapat dipisahpisahkan tanpa melenyapkan yang lain. Simons 2011:673).
berpendapat: (Simons
dalam
Lamintang,
46
“Apabila tertuduh itu hanya melakukan satu perilaku terlarang dan dengan melakukan perilaku tersebut, perilakunya itu ternyata telah memenuhi rumusanrumusan dari beberapa ketentuan pidana, atau dengan perkataan lain apabila dengan melakukan satu perilaku itu, tertuduh ternyata telah melakukan beberapa tindak pidana, maka di situ terdapat apa yang disebut eendaadse samenloop atau concursus idealis ataupun apa yang oleh Profesor HAMEL juga telah disebut sebagai samenloop van strafbepalingen atau gabungan ketentuan-ketentuan pidana”. Menurut Simons, apabila seorang tertuduh itu telah melakukan satu perilaku yang terlarang, dan perilakunya itu ternyata telah menimbulkan beberapa akibat yang sejenis atau gelijksoortig, maka di situ terdapat apa yang disebut gelijsoortige
samenloop
atau
suatu
concursus
idealis
homogenius (Simons dalam Lamintang, 2011:67). Seperti yang disebut eendaadse samenloop atau concursus idealis atau samenloop van strafbepalingen di atas, oleh pembentuk undang-undang telah diatur di dalam Pasal 63 ayat 1 KUHP yang rumusannya: “Val teen feit in meer dan eene strafbepalingen, dan wordt slecht eene dier bepalingen toegepast, bij verschil die daarbij de zwaarste hoofdstraf is gesteld”. Apabila suatu perilaku itu termasuk kedalam lebih dari pada satu ketentuan pidana, maka hanyalah salah satu dari ketentuan-ketentuan pidana tersebut yang diberlakukan, dan apabila terdapat perbedaan, maka yang diberlakukan adalah ketentuan pidana yang mempunyai ancaman hukuman pokok yang terberat (Lamintang, 2011:77). Tim penerjemah Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman (Lamintang, 2011: 78) telah menerjemahkan rumusan Pasal 63 ayat (1) KUHP tersebut dengan rumusan sebagai berikut : “Jika suatu perbuatan masuk kedalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanyalah salah satu dari diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda, maka yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat” 2) Meerdaadse Samenloop atau Concursus Realis
47
Apa
yang
disebut
meerdaadse
samenloop
atau
concursus realis ataupun apa yang oleh van Hamel (van Hamel dalam Lamintang, 2011: 96) juga disebut sebagai samenloop van delikten itu, oleh pembentuk undang-undang telah diatur di dalam Pasal-Pasal 65 sampai dengan 71 KUHP. Rumusan Pasal 65 KUHP sebagai berikut : Bij samenloop van meerdere faiten die als op zich zelve staande handelingen moeten worden beschouwd en meerdere misdrijven opleveren waarop gelijksoortige hoofdstaffen zijn gesteld, wordt eene staft uitgesproken; Yang artinya : Pada gabungan dari beberapa perilaku yang dapat dipandang sebagai tindakan-tindakan yang berdiri sendiri-sendiri dan yang telah menyebabkan terjadinya beberapa kejahatan yang telah diancam dengan hukuman-hukuman pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu hukuman; Rumusan dari Pasal 66 KUHP sebagai berikut : Bij samenloop van meerdere feiten dia als op zich zelve staande handelingen moeten worden beschouwd en meerdere misdrijven opleveren waarop ongelijksoortige hoofdstraft zijn gesteld, wordt elke dier straffen uitgesproken, doch mogen te zamen in duur de langstdurende met niet meer dan een derde overtreffen; yang artinya : Pada gabungan dari beberapa perilaku yang dapat dipandang sebagai tindakan-tindakan yang berdiri sendiri-sendiri dan yang telah menyebabkan terjadinya beberapa kejahatan yang telah diancam dengan hukuman-hukuman pokok yang tidak sejenis, maka dijatuhkan bagi tiap-tiap tindakan itu satu hukuman, akan tetapi lamanya hukuman tersebut secara bersamasama tidaklah boleh melebihi lamanya hukuman yang terberat ditambah dengan sepertiganya; Tim penerjemah Wetboek van Straftrecht dari Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman telah
48
menerjemahkan rumusan Pasal 65 ayat 1 KUHP di atas dengan perkataan-perkataan: Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana; Sedangkan rumusan dari Pasal 66 ayat 1 KUHP itu telah diterjemahkan dengan rumusan : Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang masingmasing harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis maka dijatuhkan pidana atas tiap-tiap kejahatan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana terberat ditambah sepertiga; Apabila di dalam suatu jangka waktu tertentu, seseorang telah melakukan lebih dari pada satu perilaku yang terlarang, dan di dalam jangka waktu tersebut orang yang bersangkutan belum pernah dijatuhi hukuman oleh pengadilan, karena salah satu dari perilaku-perilaku yang telah dilakukan. Apabila di dalam jangka waktu seperti dimaksudkan diatas, orang terebut pernah dijatuhi hukuman oleh pengadilan karena salah satu dari perilaku-perilaku yang telah ia lakukan, maka orang tidak dapat lagi berbicara mengenai adanya suatu samenloop,
melainkan
mungkin
saja
mengenai
suatu
pengulangan atau suatu recidive seperti yang dimaksudkan di dalam Bab ke-XXXI dari Buku ke-2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Selanjutnya Simons juga berpendapat, apabila tertuduh telah melakukan lebih daripada satu perilaku yang terlarang, dan dengan melakukan perilaku-perilaku tersebut tertuduh telah melakukan lebih daripada satu tindak pidana, maka dari situ terdapat apa yang disebut meerdaadse samenloop atau concursus realis ataupun apa yang oleh van HAMEL juga telah
49
disebut sebagai samenloop van delikten (Simons dalam Lamintang, 2011: 74). Berkaitan dengan penerapan pidana dalam kasus perbarengan, dikenal ada tiga stelsel (Fuad Usfah, Moh. Najih, Tongat, 2004:121): a) Stelsel absorpsi Dalam hal ini apabila ada beberapa ketentuan pidana yang harus diterapkan, hanya yang ketentuan yang paling berat yang diterapkan (pidana dalam ketentuan yang lain dianggap telah absorp/diserap oleh ketentuan yang paling berat). Dalam KUHP, stelsel ini dipakai dalam hal terjadi eendaadse samenloop/concursus idealis dan voortgezette handeling. b) Stelsel komulasi Dalam hal ini untuk tiap perbuatan pidana dijatuhkan pidana secara tersendiri untuk kemudian dijumlahkan (dalam hal meerdaadse samenloop untuk dianut oleh KUHP). c) Stelsel komulasi terbatas Dalam hal ini pidana yang dijumlahkan tidak boleh melebihi batas maksimal ancaman pidana yang terberat dengan suatu prosedur tertentu. Dalam KUHP stelsel ini dipakai dalam hal terjadinya meerdaadse samenloop (concursus realis) Pasal 65 KUHP. Dengan catatan penjumlahan pidana tidak melebihi ancaman terberat ditambah sepertiganya. 3) Perbuatan berlanjut (Voorgezette Handeling) Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan dan beberapa perbuatan itu merupakan tindak pidana sendriri. Tetapi di antara perbuatan itu ada yang hubungan sedemikian eratnya satu sama lain sehingga beberapa perbuatan itu harus dianggap sebagai satu peruatan lanjutan. Hal ini diatur dalam pasal 64 KUHP dan pemidanaannya menggunakan sistem absorpsi. Apa yang dimaksud dengan perbuatan berlanjut? Terdapat beberapa pendapat mengenai perbuatan berlanjut tersebut. Ada sarjana yang memberikan pengertian bahwa perbuatan berlanjut adalah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan delik,
50
tetapi beberapa perbuatan yang masing-masing delik itu seolaholah digabungkan menjadi satu delik. Sedangkan Simons (Simons dalam Lamintang, 2011:79) mengatakan bahwa KUHP yang berlaku sekarang tidak mengenal vorgezette handeling sebagaimana diatur dalam pasal 64 KUHP yang merupakan bentuk gabungan dalam concursus realis. Hanya tentang pemidanaan pasal 64 KUHP menyimpang dari ketentuan pasal 65 KUHP dan 66 KUHP. Menurut pasal 65 KUHP dan 66 KUHP yang dijatuhkan adalah satu pidana yang terberat ditambah dengan sepetiganya. Sedangkan menurut pasal 64 KUHP yang dijatuhkan hanya satu pidana yang diperberat. Oleh karena itu, Simons menganggap pasal 64 KUHP sebagai pengecualian terhadap concursus realis/ meerdaadse samenloop. Adapun ciri-ciri dari perbuatan berlanjut adalah: a) Tindakan-tindakan yang terjadi adalah sebagai perwujudan dari satu kehendak jahat; b) Delik-delik yang terjadi itu sejenis; dan c) Tenggang waktu antara terjdinya tindakan-tindakan tersebut tidak terlampau lama (Lamintang, 2011: 80) Persoalan mengenai sejauh mana cakupan dari satu kehendak jahat tersebut erat hubungannya dengan delik dolus/ culpa dan delik materil/ formil. Untuk delik dolus dalam hubungannya dengan delik materiil/ formal tidak ada persoalan mengenai cakupan dari sau kehendak jahat tersebut. d. Asas Lex Specialist Derogat Lex Generalis Asas ini mengandung makna, bahwa aturan hukum yang khusus akan menggesampingkan aturan hukum yang umum. Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi generalis: 1) Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut. 2) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentua-ketentuan lex generalis (Undang-Undang dengan Undang-Undang). 3) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis (http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-
51
puu/421harmonisasi-peraturan-perundang-undangan.html, diakses 11 Januari 2016). Dalam ketentuan Pasal 63 ayat (2) dan Pasal 103 KUHP terkandung asas lex specialis derogat legi generali secara tersirat yang mengandung makna bahwa aturan yang bersifat khusus (specialis)
mengesampingkan
aturan
yang
bersifat
umum
(general). Di dalam Pasal 63 ayat (2) berbunyi: Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan. Di dalam Pasal 103 KUHP berbunyi: Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-udangan lainnya diancam dengan
pidana,
kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain. Sebagai asas yang mengatur penggunaan kewenangan, dilihat dari teori tentang criminal law policy dari Ancel, asas “lex specialis derogat legi generali” merupakan asas hukum yang menentukan dalam tahap aplikasi (application policy). Artinya, persoalannya bukan berkenaan dengan perumusan suatu kebijakan tentang hukum (formulation policy), tetapi berkenaan dengan atauran main (game rules) dalam penerapan hukum. Dalam hal ini, asas ini menjadi penting bagi aparat penegak hukum apakah suatu peristiwa akan diterapkan aturan yang “ini” atau yang “itu”. Sementara, yang “ini” atau “itu” tersebut ditentukan oleh manakah aturan diantara aturanaturan tersebut yang bersifat umum, sedangkan manakah aturan-aturan yang lain yang bersifat khusus (http://raspati.blogspot.com/2008/03/tinjauanyuridis-penerapanasas-lex.html>. Diakses 26 April 2016 pukul 15.00 WIB).
52
Selanjutnya penulis akan membahas mengenai salah satu kasus tindak pidana pemerasan dengan modus menyebarkan foto yang telah dijatuhi putusan oleh Pengadilan Negeri Magelang dengan nomor putusan 50/Pid.B/2015/PN Mgg. Terdakwa telah diputus bersalah melakukan tindak pidana pemerasan dengan modus menyebarkan foto. Dalam kasus ini terdakwa melakukan pemerasan teradap korbannya dengan menggunakan foto korban yang tidak mengenakan busana atau dapat dikatakan bermuatan pornografi. Karena korban merasa tertekan karena ancaman tersebut, akhirnya korban menyetujui untuk mengirim uang sebesar Rp 30.000.000,- (Tiga puluh juta rupiah) kepada tersangka. Namun tersangka ternyata tetap menyebarkan foto korban. Terdakwa karena perbuatannya didakwa dengan dakwaan alternatif yaitu Pasal 368 KUHP, Pasal 369 ayat (1) KUHP atau Pasal 27 ayat (1), (2) Jo. Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Selanjutnya penulis akan mencoba mengkaji perbuatan terdakwa tersebut berdasarkan Pasal-Pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Selanjutnya penulis akan mengkaji mengenai perbuatan terdakwa berdasarkan Pasal 27 ayat (4) Jo. Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
53
a. Kerangka Pemikiran Tindak Pidana Pemerasan
Dilakukan dengan modus menyebarkan foto
Pengaturan dan Penerapan Sanksi
Putusan Nomor 50/Pid.B/2015/PN Mgg
Apakah penjatuhan pidana terhadap tindak pidana pemerasan dengan menyebarkan foto sudah tepat? Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Keterangan Bagan Kerangka Pikiran : Tindak pidana pemerasan dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya dengan menggunakan modus menyebarkan foto yang tidak mengenakan busana atau bermuatan pornografi melalui media elektronik maupun media sosial. Modus ini biasanya digunakan sebagai alat untuk memudahkan memeras sejumlah uang kepada korbannya. Dimana pengaturan tindak pidana pemerasan diatur dalam Pasal 368 KUHP namun
54
tidak dijelaskan secara rinci juga dalam Pasal tersebut terkait alat yang digunakan atau sarana yang digunakan. Selain KUHP tindak pidana pemerasan dengan modus meyebarkan foto diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 27 ayat (4). Tindak Pidana Pemerasan dalam penelitian ini lebih mengacu pada permasalahan, penggunaan sarana atau media yang terdakwa pakai untuk memeras korbannya yakni facebook dan handphone. Dalam pengaturan tindak pidana ini dalam dunia maya kaitannya dengan sosial media facebook berhubungan erat dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu Pasal 27 ayat (4) Juncto Pasal 45 ayat (1) yang mengatur mengenai pegaturan dan sanksinya. Terkait dengan pengaturan sanksi pidana tersebut, maka kita dapat menganalisis apakah putusan Hakim di Pengadilan Negeri Magelang berdasarkan putusan yang dikeluarkan Nomor 50/Pid.B/2015/PN Mgg sudah sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia dan apakah terdapat gabungan tindak pidana atau samenloop van strafbare feiten dalam kasus tindak pidana pemerasan dengan modus menyebarkan foto. .