BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Putusan Hakim a. Pengertian Putusan Hakim Putusan Hakim merupakan aspek penting yang diperlukan dalam menyelesaikan perkara pidana. Putusan hakim di satu pihak berguna bagi terdakwa dalam memperoleh kepastian hukum tentang “statusnya” dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam arti berupa menerima putusan ataupun melakukan upaya hukum verset, banding. Kasasi, dan sebagainya. Kata “putusan” merupakan terjemahan dari vonis yang berarti hasil akhir dari pemeriksaan perkara di persidangan. Putusan hakim merupakan hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan yang diberikan oleh hakim. (Leden Marpaung, 1992:406) Dalam pasal 1 butir 11 KUHAP disebutkan bahwa putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Isi Putusan pengadilan diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 4 tentang Kekusaan Kehakiman yang menyatakan bahwa: 1. Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturanperaturan yang bersangkutan atau sumber hukum tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili 2. Tiap putusan pengadilan ditandatangani oleh ketua serta hakim-hakim yang memutuskan dan panitera yang ikut bersidang
8
3. Penetapan-penetapan, ikhtiar-ikhtiar rapat permusyawaratan dan berita-berita acara tentang pemeriksaan sidang ditandatangani oleh ketua dan panitera. Dalam Pasal 182 ayat (6) KUHAP diatur bahwa putusan sedapat mungkin merupakan hasil musyawarah majelis dengan pemufakatan yang bulat kecuali hal itu telah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak tercapai maka ditempuh dengan 2 cara: 1. Putusan diambil dengan suara terbanyak 2. Jika yang tersebut dengan huruf a juga tidak diperoleh putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa. Menurut Yahya Harahap bahwa putusan akan dijatuhkan pengadilan tergantung dari hasil mufakat musyawarah hakim berdasar penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam sidang pengadilan. B. Jenis Putusan Hakim Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, putusan pengadilan yang berkenaan dengan terdakwa ada 3 macam: 1. Putusan Bebas (Vrijspaark) Putusan bebas terdapat dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP menyebutkan: “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang dilakukan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.” Yang dimaksud dengan “Perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti yang sah menurut ketentuan pada hukum acara pidana ini. 2. Putusan dilepas (Oslag van alle Rechtvervolging) Terdapat dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan: “jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
9
terbukti, tetapi itu merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus dari segala tuntutan hukum” Terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum dapat disebabkan karena: a) Hukum pidana yang didakwakan tidak cocok dengan tindak pidananya b) Terdapat keadaan-keadaan istimewa yang menyebutkan yang menyebabkan terdakwa tidak dapat dihukum di antaranya yaitu: 1. Pasal 44 KUHAP, yaitu tentang orang yang sakit jiwa atau cacat jiwanya dan cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling). 2. Pasal 48 KUHP, yaitu tentang keadaan yang memaksa (overmacht) 3. Pasal 49 KUHP, yaitu tentang pembelaan terpaksa (noodeweer) 4. Pasal 50 KUHP, yaitu melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan Undang-Undang 5. Pasal 51 KUHP, yaitu melakukan perintah yang diberikan oleh atasan yang sah. Menurut Soedirjo pada Pasal-Pasal tersebut dikatakan sebagai pasal yang bersifat umum. Di samping itu dikatakan pula terdapat yang menghapus pidana secara khusus dalam Pasal tertentu dalam Undang-Undang, antara lain yaitu Pasal 166 dan 310 ayat (3) KUHP. (Rusli Muhamma, 2006:137) 3) Putusan Pemidanaan (Veroordeling) Terdapat dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan bahwa: “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.” Dengan demikian hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa yaitu apabila dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya adalah terbukti secara sah dan meyakinkan, yang telah ditentukan oleh Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu: a. Sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah.
10
b. Dengan adanya minimum pembuktian tersebut hakim memperoleh keyakinan suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang hendak melakukannya. Dalam
prakteknya,
hakim
menjatuhkan
putusan
dengan
mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan terdakwa. Hal yang memberatkan antara lain, yaitu terdakwa tidak mengakui bersalah, memberikan keterangan yang berbelit-belit, sehingga menyulitkan jalannya pemeriksaan. Sedangkan yang meringankan terdakwa antara lain terdakwa masih muda, mengakui terus terang atas perbuatannya, dan terdakwa mempunya tanggungan keluarga atau belum menikmati hasil kejahatan yang dilakukan. Sesudah putusan pemidanaan diucapkan hakim ketua wajib memberitahu kepada terdakwa tentang apa yang menjadi haknya: 1. Hak segera memberitahu atau menolak putusan. 2. Hak mempelajari putusan sebelum
menyatakan menerima atau menolak
putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan yaitu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir (Pasal 196 ayat (3) jo. Pasal 233 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 3. Hak meminta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan (Pasal 196 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jo. Undang-Undang Grasi). 4. Hak minta banding dalam waktu tujuh hari setelah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang telah hadir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 196 ayat (3) jo Pasal 233 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 5. Hak segera mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud pada butir a (menolak putusan) dalam waktu seperti ditentukan dalam Pasal 235 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa selama
11
perkara banding belum diputus oleh pengadilan tinggi , permintaan banding dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut permintaan banding dalam perkara itu tidak boleh diajukan lagi (Pasal 196 ayat (3) Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (Andi Hamzah,2002:279). Syarat sahnya suatu putusan hakim mempunyai peranan sangat penting artinya karena akan mempengaruhi apakah suatu keputusan itu memiliki kekuatan hukum atau tidak. Dalam Pasal 195 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dirumuskan bahwa “semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang yang terbuka untuk umum.” Dari hal tersebut dapat dilihat syarat sahnya putusan hakim adalah: 1. Memuat hal-hal yang diwajibkan. 2. Diucapkan di sidang yang terbuka untuk umum. Dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 menyebutkan bahwa pengadilan memeriksa dan memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa , kecuali apabila Undang-Undang menentukan lain. Sejalan dengan ketentuan tersebut Pasal 196 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa: 1. Pengadilan memutuskan perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam Undang-Undang ini menentukan lain 2. Dalam hal ini lebih dari seorang terdakwa dalam suatu perkara putusan dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada. C. Formalitas yang Harus Dipenuhi dalam Putusan Hakim dan Akibat Putusan Hakim Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
menyebutkan
bahwa
peradilan
dilakukan
“Demi
Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” Ketentuan tersebut menunjukan dalam menjalankan tugasnya, Hakim tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, kepada dirinya sendiri dan kepada rakyat, akan tetapi bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.
12
Secara umum formalitas yang harus ada dalam putusan hakim baik terhadap putusan Tindak Pidana Korupsi maupun Tindak Pidana lainnya bertitik tolak pada ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Dari ketentuan tersebut setidaknya 10 (sepuluh) buah elemen harus terpenuhi. Menurut ayat (2) pasal tersebut, apabila ketentuan tersebut tidak terpenuhi kecuali yang tersebut dalam huruf g dan I maka keputusan tersebut batal demi hukum.(van rechtswegenietig). Adapun formalitas yang diwajibkan untuk dipenuhi dalam Pasal 197 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah: 1. Surat Putusan Pemidanaan memuat: a. Kepala Putusan yang berbunyi : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” b. Nama lengkap, tempat lahir, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa. c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam Surat Dakwaan. d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. e. Tuntutan Pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan. f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan Pasal peraturan perUndang-Undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa. g. Hari dan tanggal diadakan musyawarah majelis hakim, kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal. h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti. j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letak kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu
13
k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan. l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan panitera. (Lilik Mulyadi, 2000: 147-148). 2. Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k, l dan 1 pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum. Dalam pelaksanaan putusan pengadilan selesai proses, persidangan maka hakim mengambil putusan yang diucapkan di muka sidang yang terbuka untuk umum, maka selesai pulalah tugas hakim dalam proses penyelesaian perkara pidana. Putusan itu sekarang harus dilaksanakan dan hal itu tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh hakim. Putusan tersebut baru bisa dilaksanakan apabila telah mempunyai keputusan hukum tetap (van rechtswegenietig). Tugas pelaksanaan putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap ini dibebankan kepada penuntut umum(jaksa) sebagaimana diatur dalam pasal-pasal berikut: Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan “Pelaksanaan Putusan Pengadilan tersebut dilaksanakan oleh jaksa.” Penjabaran pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman ini dilaksanakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang diatur dalam pasal 270 sampai dengan 276. Pasal 270: “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh Jaksa yang untuk itu panitera mengirim surat putusan kepadanya”. Syarat untuk menjalankan putusan hakim ialah bahwa putusan itu telah menjadi tetap dan tidak dapat diubah lagi, dengan pengertian segera setelah keputusan itu tidak terbuka sesuatu jalan hukum pada hakim yang lain atau hakim itu juga untuk merubah putusan itu, seperti perlawanan verstek, naik banding atau kasasi. Dengan demikian selama putusan itu dapat dilawan dimintakan banding maupun dimintakan kasasi, maka selama itu putusan itu belum menjadi tetap dan tidak dapat dilaksanakan. Suatu putusan hakim menjadi tetap, jika semua jalan hukum biasa untuk merubah putusan itu seperti perlawanan verstek, banding, dan kasasi telah digunakan, tetapi ditolak oleh instansi yang bersangkutan atau putusan telah
14
diterima oleh terpidana dan penuntut umum atau waktu yang disediakan telah lewat tanpa digunakan oleh pemohon untuk banding, kasasinya dicabut oleh yang bersangkutan. Setelah jaksa menerima kutipan surat putusan yang telah menjadi tetap dan panitera pengadilan, maka kemudian Jaksa melaksanakan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut. Adapun putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap itu adalah: 1) Melaksanakan Pidana Pokok a) Pelaksanaan Pidana Mati Pelaksanaanya dilakukan tidak di muka umum dan menurut ketentuan UndangUndang (Pasal 271 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) b) Pelaksanaan Hukuman Penjara Pelaksanaan pidananya itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan terlebih dahulu. Jadi dilaksanakan berkesinambungan antara pidana yang satu dengan yang lain (Pasal 272 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) c) Pelaksanaan Hukuman Kurungan d) Pelaksanaan Hukuman Denda Kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat harus seketika dilunasi (Pasal 273 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Jika ada alasan kuat, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang paling lama satu bulan (Pasal 273 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) 2) Pelaksanaan Pidana Tambahan Pelaksanaannya dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan Undang-undang (Pasal 276 UndangUndang Hukum Acara Pidana) a) Pencabutan hak-hak tertentu b) Perampasan barang-barang tertentu c) Pengumuman putusan hakim
15
Dalam pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 jo UndangUndang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 36 ayat (2), memberikan tugas baru dalam hakim, yang dalam perundang-undangan sebelumnya tidak diatur. Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa. Dalam hal putusan pengadilan tersebut berupa perampasan kemerdekaan, maka peranan hakim sebagai pejabat yang diharapkan juga bertanggung jawab atas putusan yang dijatuhkannya, tidak terhenti pada saat menjatuhkan putusan tersebut. Hakim harus mengetahui apakah putusan perampasan kemerdekaan yang dijatuhkan itu dilaksanakan dengan baik yang didasarkan atas asas-asas kemanusiaan serta peri keadilan, terutama dari petugas-petugas yang baru melaksanakan putusan tersebut, sehingga tercapai pada sasaran yaitu mengembalikan terpidana menjadi anggota yang baik dan mematuhi hukum. Dengan adanya pengawasan tersebut, akan lebih mendekatkan lembaga pengadilan dengan lembaga kejaksaan dan juga lembaga masyarakat. Penempatan tersebut menempatkan lembaga permasyarakatan dalam rangkaian proses pidana dan member tugas pada hakim untuk tidak berakhir pada saat putusan pengadilan dijatuhkan olehnya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 277 ayat (1) berbunyi: “Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan.” Hakim yang bertugas khusus tersebut melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap narapidana yang selama menjalani pidana penjara/kurungan dalam lembaga permasyarakatan yang bersangkutan sebagai pelaksanaan dari putusan hakim pengadillan negeri tersebut, tentang kelakuan mereka masingmasing maupun tentang perlakuan dari para petugas pengasuh dari lembaga permasyarakatan tersebut dari para narapidana yang dimaksud.
16
Dengan turut campurnya hakim dalam pengawasan yang dimaksud, maka selain hakim akan dapat mengetahui sampai di mana putusan pengadilan itu tampak hasil buruknya pada diri masing-masing narapidana yang bersangkutan, juga penting bagi penelitian demi ketepatan yang bermanfaat bagi pemidanaan pada umumnya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, pokok pengamatan dan pengawasan adalah sebagai berikut: a. Jaksa mengirimkan tembusan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang ditandatangani olehnya, kepala lembaga pemasyarakatan, dan terpidana, kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dan panitera mencatatnya dalam register pengawasan dan pengamatan (Pasal 278 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) b. Panitera mencatat dalam register pengawasan dan pengamatan. Register ini wajib dikerjakan, ditutup dan ditandatangani oleh panitera setiap hari kerja dan untuk diketahui ditandatangani juga oleh hakim pengawas dan pengamat (Pasal 279 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) c. Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pengamatan tersebut digunakan sebagai bahan penelitian demi ketepatan yang bermanafaat bagi pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku para narapidana atau pembinaan lembaga pemasyarakatan serta pengaruh timbal balik terhadap narapidana selama menjalani pidananya. Pengamatan tetap dilaksanakan setelah terpidana selesai menajalani pidana (Pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). d. Atas
permintaan
hakim
pengawas
dan
penganut
kepala
lembaga
pemasyarakatan menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktu-waktu tentang perilaku narapidana tertentu yang ada dalam pengamatan hakim tersebut (Pasal 281 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). 2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana a. Pengertian Tindak Pidana
17
Kata “tindak pidana” merupakan terjemahan dari “strafbafeit”. Perkataan feit berarti sebagian dari kenyataan atau “eengedeelte van wekwlijkheid”, sedangkan “starfbaar” berarti dapat dihukum. Sehingga secara harfiah strafbaar feit dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum (Lamintang 1997:181) Menurut Pompe perkataan srafbaar feit dapat diartikan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja dilakukan oleh pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum. Menurut Hermen Hadiati Koeswadji sebagaimana dikutip oleh A.Fuad Usfa dan Tongat. “Dalam kepustakaan hukum pidana, istilah “tindak pidana” merupakan istilah yang sering dipakai dalam istilah terjemahan Belanda strafbaarfeit. (Herman Hadiati Koeswadi dalam A.Fuad Usfa dan Tongat, 2004:31). Kata “strafbaarfeit” diartikan lebih khusus oleh Evi Hartanti yaitu dalam bahasa Belanda, strafbaarfeit terdapat dua unsur pembentuk kata,yaitu strafbaar dan feit. Kata feit dalam bahasa Belanda diartikan sebagian dan kenyataan, sedangkan strafbaar artinya dapat dihukum, sehingga secara harafiah, kata strafbaarfeit berarti sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum. Sedangkan menurut Moeljatno sebagaimana dikutip dalam Evi Hartanti “Tindak Pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar aturan tersebut.” (Moeljatno dalam Evi Hartanti:2007:7), b. Unsur-Unsur Tindak Pidana Menurut pengetahuan hukum pidana terdapat dua pandangan mengenai unsur-unsur tindak pidana (syarat pemidanaan): 1. Pandangan monistis,yaitu untuk adanya tindak pidana atau perbuatan pidana maka harus ada perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Para ahli yang berpendapat demikian tidak memisahkan adanya unsur adanya perbuatan
18
unsur, unsur pemenuhan rumusan Undang-Undang dan unsur sifat melawan hukum sebagai perbuatan pidana dengan unsur kemampuan bertanggung jawab, unsur adanya kesalahan, dan unsur alasan penghapusan pidana sebagai pertanggungjawaban pidana. 2. Pandangan dualistis, yaitu bahwa adanya pemisahan antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban di mana jika hanya ada unsur perbuatan yang memenuhi rumusan Undang-Undang serta melawan hukum saja maka sudah cukup untuk mengatakan bahwa itu adalah tindak pidana dan dapat dipidana. Berikut ini adalah penjelasan secara singkat mengenai unsur-unsur tindak pidana yaitu: 1. adanya perbuatan 2. perbuatan tersebut memenuhi rumusan Undang-Undang, yaitu bahwa perbuatan tersebut harus masuk dalam ruangan Pasal atau perbuatan tersebut harus mempunyai sifat dan ciri-ciri sebagaimana secara abstrak disebutkan dalam Undang-Undang. 3. adanya sifat melawan hukum, dalam arti formil atau dalam arti materiil. Sifat melawan hukum dalam arti formil yaitu bertentangan
dengan Undang-
Undang. Sedangkan dalam arti materiil yaitu bahwa perbuatan tersebut tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai keadilan di masyarakat. 4. kemampuan bertanggung jawab seseorang bisa dipertanggungjawabkan jika ia normal, artinya bahwa ia memiliki perasaan dan pemikiran seperti orangorang lain yang secara normal dapat menentukan kemauannya terhadap keadaan-keadaan atau secara bebas dapat menentukan kehendaknya sendiri. 5. adanya kesalahan yaitu ada/tidaknya kesengajaan dari seseorang melakukan tindak pidana atau ada/tidaknya kealpaan (sembrono,kurang hati-hati, kurang waspada) dari seseorang untuk melakukan tindak pidana, dan 6. alasan penghapusan pidana atau dasar-dasar untuk membenarkan suatu tindakan. Ada suatu keadaan di mana perbuatan yang sebetulnya bertentangan dengan hukum tidak dapat dikenakan hukuman: yaitu perbuatan dalam keadaan berat lawan atau keadaan memaksa (overmacht), keadaan darurat
19
(noodtoestand), bela diri
(noodwear), melaksanakan
Undang-Undang
(teruitvoering van een wettelijk voorschrift, dan melaksanakan perintahperintah yang diberikan dengan sah (ambtelijk bevel). c. Jenis-Jenis Tindak Pidana Tindak Pidana dapat digolongkan antara lain sebagai berikut: 1. Tindak Pidana Kejahatan Kejahatan (Rech delict) dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan dan dipidana lebih berat dari pelanggaran. Sedangkan pelangaran (wets delict) adalah perbuatan yang merupakan tindak pidana karena Undang-Undang menyebutnya sebagai delik, dengan pidana yang relatif ringan. 2. Tindak Pidana Formil dan Materiil Tindak pidana formil merupakan tindak pidana yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang, bukan pada akibat dari perbuatan itu, contohnya penghasutan (Pasal 160 KUHP) dan penghinaan (Pasal 315 KUHP). Tindak Pidana materiil yaitu tindak pidana yang perumusannya menitikberatkan pada akibat dari perbuatan ini, contohnya pembunuhan (338 KUHP) 3. Tindak Pidana dengan Kesengajaan dan Tindak Pidana dengan Kealpaan Tindak Pidana dengan unsur kesengajaan (delict dolus) merupakan tindak pidana yang terjadi karena pelaku memang mengkehendaki untuk melakukan tindak pidana tersebut termasuk mengetahui timbulnya akibat dari pembunuhan tersebut, misalnya pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP). Sedangkan tindak pidana dengan unsur kealpaan (delict culpa) merupakan tindak pidana yang terjadi sementara sebenarnya pelaku tidak berkeinginan untuk melakukan perbuatan itu, demikian pula dengan akibat ditimbulkannya atau tidak adanya penduga-dugaan yang diharuskan oleh hukum dan penghati-hatian oleh hukum, misalnya: karena kealpaannya menyebabkan matinya orang (Pasal 359 KUHP). 4. Tindak Pidana Aduan dan Tindak Pidana Biasa
20
Tindak pidana aduan yaitu tindak pidana yang hanya dapat dituntut, diproses dan diadili berdasarkan pengaduan dari korban anggota keluarga atau orang yang dirugikan. Tindak pidana biasa yaitu tindak pidana yang dapat dituntut, diproses dan diadili walapun tidak ada ada pengaduan. 5. Tindak Pidana Berlangsung Terus dan Tindak Pidana Tidak Berlangsung Terus Tindak pidana berlangsung terus merupakan tindak pidana yang terjadinya berlangsung terus-menerus, misalnya: merampas kemerdekaan seseorang (Pasal 333) KUHP. Tindak pidana berlangsung terus atau tindak pidana yang berjalan habis, yaitu tindak pidana yang selesai pada suatu saat,misalnya: Pembunuhan (Pasal 338 KUHP). 6. Tindak Pidana Commissionis, Tindak Pidana Ommissionis, dan Tindak Pidana Commissionis per Ommissionis Commissa. Tindak Pidana commissionis merupakant tindak pidana yang berupa pelanggaran terhadap larangan yang diadakan Undang-Undang, misalnya: penipuan (Pasal 378 KUHP). TIndak Pidana ommissionis merupakan pelanggaran terhadap keharusan yang diadakan oleh Undang-Undang, misalnya: tidak menolong orang dalam keadaan bahaya(Pasal 531 KUHAP). Kemudian yang dimaksud dengan tindak pidana commissionis per ommissionis commissa yaitu pelanggaran terhadap larangan yang diadakan Undang-Undang tetapi dilakukan dengan jalan tidak berbuat atau tidak melakukan sesuatu yang merupakan kewajibannya, misalnya: seorang ibu yang membunuh bayinya dengan tidak memberi susu (Pasal 338 dan Pasal 340 KUHP). 7. Tindak Pidana Sederhana dan Tindak Pidana dengan Pemberatan Tindak Pidana sederhana adalah tindak pidana dalam bentuk pokok tetapi tidak ada keadaan yang memberatkan, misalnya penganiayaan (Pasal 351 KUHP). Tindak Pidana dengan pemberatan merupakan tindak pidana dalam bentuk pokok tetapi ada keadaan yang memberatkan, misalnya pencurian pada waktu malam (Pasal 363 KUHP). 8. Tindak Pidana Tunggal dan Tindak Pidana Berganda Tindak pidana tunggal yaitu tindak pidana yang terjadi cukup dengan satu kali perbuatan, misalnya: pembunuhan (Pasal 338 KUHP). Tindak pidana berganda:
21
yaitu tindak pidana yang baru dianggap terjadi bila dilakukan berkali-kali, misalnya: penadahan (Pasal 481 KUHP) 9. Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus Tindak pidana Umum merupakan tindak pidana yang perumusannya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tindak pidana khusus merupakan tindak pidana yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang lain, misalnya: tindak pidana korupsi. 3. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi a. Pengertian Korupsi “Dalam enisklopedia Indonesia disebut ‘korupsi’ (dari bahasa latin: corruption=penyuapan; corruptore=merusak, gejala di mana para pejabat, badanbadan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya” (Evi Hartanti, 2007:8). Secara harafiah, korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi, memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian,faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya. Dengan demikian secara harafiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang luas. (Evi Hartanti 2007:9) Secara yuridis-formal pengertian Tindak Pidana Korupsi menurut UndangUndang nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 terdapat dalam Bab II tentang Tindak Pindak Pidana Korupsi yaitu Pasal 2 sampai dengan Pasal 20, Bab III tentang Tindak Pidana Lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi yaitu Pasal 21 sampai dengan Pasal 24. Untuk itu terdapat beberapa pengertian dan tipe Tindak Pidana Korupsi antara lain: 1) Pengertian Korupsi Tipe Pertama
22
Pengertian korupsi tipe ini terdapat dalam ketentuan pasal 2 yang secara redaksional berbunyi: (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Dari pengertian tersebut, dapat ditarik unsur-unsur sebagai berikut: a. Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi b. Perbuatan tersebut sifatnya melawan hukum c. Dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara d. Dalam hal tertentu, pelaku tindak pidana korupsi dapat dijatuhi hukuman mati . 2) Pengertian Korupsi Tipe Kedua Pengertian korupsi ini terdapat dalam Pasal 3 yang secara redaksional berbunyi: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Dari pengertian tersebut, dapat ditarik unsur-unsur sebagai berikut: 1. Menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. 2. Tujuan dari perbuatan tersebut menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
23
3. Perbuatan tersebut dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. 3) Pengertian Korupsi Tipe Ketiga Pengertian Korupsi tipe ini terdapat dalam ketentuan Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12A, 12B, 12C, dan 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diperbaharui dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001. 4) Pengertian Korupsi Tipe Keempat Pengertian Korupsi tipe ini adalah tipe korupsi percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat serta pemberian kesempatan, sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang di luar wilayah Indonesia (Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diperbaharui dalam UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001). 5) Pengertian Korupsi Tipe Kelima Sebenarnya, pengertian tipe ini bukan bersifat murni Tindak Pidana Korupsi, melainkan Tindak Pidana Lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korpusi sebagaimana diatur dalam Bab III Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001. (Lilik Mulyadi, 2000:17) b. Subjek Tindak Pidana Korupsi Dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diperbaharui dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001, disebutkan mengenai subjek tindak pidana korupsi, di antaranya adalah sebagai berikut: 1) Korporasi
24
“Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 angka 1). Yang dimaksud dalam “korporasi” dalam pasal tersebut meliputi baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum. Namun, menurut Muladi dan Dwija Priyanto sebagaiman dikutip oleh R. Wiyono, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan korporasi, cukup yang dibatasi yang berbentuk badan hukum saja, karena jika yang termasuk tidak berbentuk badan hukum, maka penuntutan dan pemidanaannya terbatas pada orang saja, sedangkan terhadap korporasi tidak dapat dituntut dan dipidana (Muladi dan Dwija Priyatno dalam R. Wiyono, 2006:22). 2) Pegawai Negeri “Pegawai Negeri adalah meliputi: a. Pegawai
Negeri
sebagaimana
dimaksudkan
dalam
Undang-Undang
Kepegawaian; b. Pegawai Negeri sebagaimana dimaksudkan dalam KUHP; c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah; d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan keuangan dari Negara atau daerah; atau e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat.” (Pasal 1 angka 2) Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 terdiri dari: 1. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara; atau 2. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan daerah. Pembayaran gaji atau upah berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf d terdiri dari: 1. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan Negara; atau
25
2. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan daerah. Mengenai “keuangan Negara atau daerah” ditafsirkan sama seperti pada Pasal 1 angka 2 huruf c, yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pegawai Negeri sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 angka 2 huruf e, meliput: 1. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara; 2. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas dari masyarakat. Yang dimaksud dalam “modal” dalam ketentuan tersebut, tidak hanya berbentuk uang, baik untuk korporasi yang berbadan hukum maupun yang belum berbadan hukum. Sedangkan yang dimaksud “fasilitas” adalah perlakuan istimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak wajar, harga yang tidak wajar, pemberian izin yang eksklusif termasuk keringanan bea masuk atau pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3) Setiap Orang Yang dimaksud “setiap orang” adalah orang perorangan (individuindividu), atau termasuk korporasi. Bagi Moelyanto, ungkapan tersebut di atas berarti orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana), kalau dia tidak melakukan delik, tidak selalu dipidana (Moeljatno 1993:155). Terdapat asas pertanggungjawaban dalam pidana yang secara tegas menyatakan “Tidak dipidana tanpa ada kesalahan”, atau yang dalam bahasa Belanda berbunyi “geen straf zonder schuld”. Berdasarkan asas tersebut, masalah pertanggungjawaban pidana sangat erat berkaitan dengan kesalahan. Bahwa untuk adanya kesalahan, harus dipikirkan adanya dua hal di samping melakukan perbuatan atau tindak pidana yaitu: a. Adanya keadaan psikis (batin) yang tertentu.
26
Bahwa keadaan batin pelaku harus sedemikian rupa, hingga pelaku mengerti makna perbuatannya. Misalnya pelaku telah dewasa. b. Adanya hubungan yang tertentu antara keadaan dengan perbuatan yang dilakukan, hingga menimbulkan celaan dalam masyarakat. Bahwa antara keadaan batin dengan perbuatan yang dilakukan haruslah sedemikian rupa, hingga atas perbuatannya itu ia patut dicela. Misalnya jiwanya itu normal atau sehat. Dengan keadaan batin seperti itulah mestinya insyaf atau sadar atas perbuatannya. Syarat kedua inilah yang secara teoritis sering disebut dengan istilah “kemampuan bertanggung jawab”. Hanya terhadap orang-orang yang jiwanya normal inilah dapat diharapkan tingkah lakunya sesuai dengan pola yang dianggap baik dalam masyarakat, sehingga terhadap pelanggarannya dapat dicelakan padanya.( Fuad Usfa dan Tongat, 2004: 74). c. Pembagian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi dapat dibedakan dan dikelompokan sebagai berikut: 1) Atas dasar substansi objek tindak pidana korupsi, antara lain: a) Tindak Pidana Korupsi Murni Tindak pidana korupsi murni yang substansi objeknya mengenai hal yang berhubungan dengan perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum yang menyangkut keuangan Negara, perekonomian Negara
dan kelancaran
pelaksanaan tugas/ pekerjaan pegawai negeri atau pelaksanaan yang bersifat publik. Hal ini dirumuskan dalam pasal 1, 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12B, 13, 15, 16, dan 23 (menarik Pasal 220, 231, 421, 429, 430 KUHP). Di antara PasalPasal tersebut terdapat 20 Pasal yang memuat 38 tindak pidana korupsi murni. b) Tindak pidana korupsi tidak murni Tindak pidana korupsi murni adalah tindak pidana yang substansi objeknya mengenai perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum bagi kelancaran pelaksanaan tugas-tugas penegak hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 21, 22, dan 24.
27
2) Atas dasar subjek hukum tindak pidana korupsi antara lain: a) Tindak pidana korupsi murni Tindak pidana korupsi umum ialah bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang ditujukan tidak terbatas kepada orang-orang yang berkualitas sebagai pegawai negeri, akan tetapi ditujukan pada setiap orang termasuk korporasi. Tindak pidana ini dirumuskan dalam Pasal 2, 3, 5, 6, 7, 13, 15, 16, 21, 22, 24, dan Pasal 220 dan 231 KUHP jo Pasal 23. b) Tindak pidana korupsi pegawai negeri dan atau penyelenggaraan Negara Tindak pidana korupsi pegawai negeri atau tindak pidana korupsi pejabat adalah tindak pidana korupsi yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas sebagai pegawai negeri atau penyelenggara Negara. Rumusan tindak pidana pegawai negeri ini terdapat dalam Pasal 8, 9, 10, 11, 12, 12B, dan 23( mengadopsi Pasal 420, 421, 422, 429 KUHP) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tindak pidana korupsi ini merupakan bagian dari kejahatan jabatan khusus. Sedangkan kejahatan jabatan umum ditempatkan dalam Pasal-Pasal Bab XXVII buku II KUHP yang tidak ditarik atau dirumuskan ke dalam tindak pidana korupsi. 3) Atas dasar sumbernya antara lain; a) Tindak pidana korupsi yang bersumber KUHP, yaitu sebagai berikut: 1. Tindak pidana yang dirumuskan tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, rumusan tersebut berasal atau bersumber pada rumusan tindak pidana dalam KUHP, yang termasuk dalam kelompok ini antara lain tindak pidana korupsi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12. 2. Tindak pidana korupsi merujuk pada Pasal-Pasal tertentu dalam KUHP dan ditarik menjadi tindak pidana korupsi dengan mengubah ancaman dan system pemidanaannya. Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain tindak pidana korupsi yang disebutkan dalam Pasal 23 yang merupakan saduran dalam Pasal 220, 231, 421, 422, 429, dan 430 menjadi tindak pidana korupsi.
28
b) Tindak pidana korupsi yang oleh Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 dirumuskan sebagai tindak pidana korupsi. Tindak pidana ini merupakan tindak pidana asli yang dibentuk oleh Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, yang termasuk dalam kelompok ini adalah tindak pidana korupsi sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 2, 3, 12B, 13, 15, 16, 21, 22, 23, dan 24. 4) Atas dasar tingkah laku atau perbuatan dalam rumusan tindak pidana, antara lain: a) Tindak pidana korupsi aktif Tindak pidana korupsi aktif adalah tindak pidana korupsi yang dalam rumusannya mencantumkan unsur perbuatan aktif. Tindak pidana korupsi aktif terdapat dalam beberapa Pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, antara lain: (1) Pasal 2 yang perbuatannya memperkaya (diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi). (2)
Pasal
3
yang
perbuatannya
menyalahgunakan
kewenangan,
menyalahgunakan kesempatan dan menyalahgunakan sarana. (3) Pasal 5: (a) Ayat (1) sub a perbuatannya memberikan sesuatu dan menjanjikan sesuatu (b) Ayat (1) sub b memberikan sesuatu (c) Ayat (2) perbuatannya menerima pemberian (4) Pasal 7 ayat (1) sub a dan b melakukan perbuatan curang. (5) Pasal 8 perbuatannya menggelapkan (6) Pasal 9 perbuatannya memalsu (7) Pasal 11 perbuatannya menerima hadiah atau menerima janji (8) Pasal 12B perbuatannya menerima gratifikasi (9) Pasal 13 perbuatannya memberi hadiah atau menerima janji b) Tindak pidana korupsi pasif
29
Tindak pidana korupsi pasif adalah tindak pidana yang unsur tingkah lakunya dirumuskan secara pasif. Sebagaimana diketahui tindak pidana pasif itu adalah tindak pidana yang melarang untuk berbuat aktif. Tindak pidana korupsi pasif terdapat dalam Pasal-Pasal berikut: (1) Pasal 7 ayat (1) sub b, d, dan ayat (2) yang membiarkan perbuatan curang. (2) Pasal 10 sub b perbuatannya membiarkan orang lain menghilangkan, membiarkan
orang lain menghancurkan, membiarkan orang lain
merusakkan atau membuat orang lain membuat hingga tidak dapat dipakai. (3) Pasal 23 jo 231 KUHP perbuatan pasifnya membiarkan dilakukan salah satu kejahatan ini. (4) Pasal 24 perbuatannya tidak memenuhi ketentuan d. Sifat Korupsi Barhanudin Lopa membagi korupsi menurut sifatnya ke dalam 2 (dua) bentuk, yaitu sebagai berikut: 1) Korupsi yang bermotif terselubung Korupsi yang bermotif terselubung yaitu korupsi secara sepintas kelihatannya bermotif politik, tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata. Contoh: seorang pejabat menerima uang suap dengan janji akan menerima si pemberi suap menjadi pegawai negeri atau diangkat dalam suatu jabatan. Namun dalam kenyataannya setelah menerima suap pejabat itu tidak mempedulikan janjinya lagi kepada orang yang memberi suap tersebut. Yang pokok adalah mendapat uang tersebut. 2) Korupsi yang bermotif ganda Korupsi yang bermotif ganda yaitu seseorang melakukan korupsi secara lahiriah kelihatannya hanya bermotifkan mendapatkan uang, tetapi bermotif lain, yakni kepentingan politik. Misalnya seseorang membujuk dan menyogok seorang pejabat agar dengan menyalahgunakan kekuasaannya pejabat itu dalam mengambil keputusannya memberikan suatu fasilitas kepada si pembujuk itu, meskipun sesungguhnya si pembujuk (penyogok) tidak memikirkan apakah fasilitas itu memberikan hasil kepadanya.
30
e. Ciri-Ciri Korupsi Ciri-ciri korupsi dijelaskan oleh Syed Husein Alatas dalam bukunya Sosiologi Korupsi sebagai berikut: 1. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama dengan kasus pencurian dan penipuan. Seseorang operator yang korup sesungguhnya tidak ada dan kasus itu biasanya termasuk dalam pengertian penggelapan(fraud). Contohnya adalah pernyataan tentang belanja perjalanan atau rekening hotel. Namun, di sini seringkali ada pegertian diam-diam di antara pejabat yang mempraktekan berbagai penipuan agar situasi ini terjadi. Salah satu cara penipuan adalah permintaan uang saku yang berlebihan. Hal ini biasanya meningkatakan frekuensi perjalanan dalam pelaksanaan tugas. Kasus seperti inilah yang dilakukan para elit politik sekarang yang kemudian mengalami polemic dalam masyarakat. 2. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korporasi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berkuasa dan mereka yang berada di lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya 3. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan timbal balik. Kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang. 4. Mereka yang mempraktekan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum. 5. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu. 6. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum(masyarakat). 7. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhiantan kepercayaan. f. Faktor Penyebab Korupsi Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut: 1. Lemahnya pendidikan agama dan etika;
31
2. Kolonialisme. Suatu pemerintahan asing tidak menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi; 3. Kurangnya pendidikan. Namun kenyataannya sekarang kasus-kasus korupsi di Indonesia dilakukan oleh para koruptor yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, terpelajar, dan terpandang sehingga alasan ini dapat dikatakan kurang tepat; 4. Kemiskinan. Pada kasus korupsi yang merebak di Indonesia, para pelakunya bukan didasari oleh kemiskinan melainkan keserakahan, sebab mereka bukanlah dari kalangan yang tidak mampu melainkan konglomerat; 5. Tidak adanya sanksi masyarakat; 6. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku antikorupsi; 7. Struktur pemerintahan; 8. Perubahan radikal. Pada saat system nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional; 9. Keadaan masyarakat. Korupsi dalam suatu birokrasi bisa mencerminkan keadaan masyarakat secara keseluruhan. (Evi Hartanti, 2007:11) 4. Tinjauan Hukum tentang Upaya Hukum Banding Undang-Undang menyiapkan upaya hukum bagi terdakwa atau penuntut umum, yaitu apabila pihak-pihak tersebut merasa tidak puas terhadap kualitas putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan atau putusan tersebut dirasakan tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan. Upaya hukum secara yuridis normatif diatur dalam Bab 1 Pasal 1 Angka 12 KUHAP, yang berbunyi “ Upaya hukum adalah hukum terdakwa atau penuntut umum tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Upaya hukum banding adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk “menolak putusan” pengadilan dengan tujuan untuk meminta pemeriksaan ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi, serta untuk menguji ketetapan penerapan hukum dari putusan pengadilan tingkat pertama. Memori banding bukan
32
merupakan kewajiban/keharusan bagi pemohon banding untuk membuatnya, karena hanya berupa hak semata, jika tidak disertakan dalam permohonan tidak akan berakibat ditolaknya permohonan banding. Upaya hukum banding digunakan terhadap: 1. Putusan hakim Pengadilan Negeri terhadap Praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan oleh Penyidik atau tidak sahnya penghentian penuntutan oleh penuntut umum. Yang dapat menggunakan upaya hukum banding terhadap putusan itu adalah “ Penyidik bila putusannya berupa tidak sahnya penghentian penyidikan” dan “ Penuntut umum jika putusannya berupa tidak sahnya penghentian penuntutan.” Upaya hukum banding terhadap putusan tersebut diajukan kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri yang bersangkutan. 2. Putusan Hakim Pengadilan Negeri dalam perkara yang diperiksa menurut Acara Pemeriksaan Biasa dan Acara Pemeriksaan Singkat yang berupa pemidanaan
atau
hukuman
perampasan
kemerdekaan
yang
dapat
menggunakan upaya hukum banding terhadap putusan tersebut adalah Terdakwa atau Penasihat Hukumnya atau Penuntut Umum yang ditujukan kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri yang bersangkutan. 3. Putusan Hakim Pengadilan Negeri dalam perkara yang diperiksa menurut Acara Pemeriksaan Cepat/ Tindak Pidana Ringan yang berupa pemidanaaan atas hukuman perampasan kemerdekaan yang dapat menggunakan upaya hukum banding terhadap putusan itu adalah Terdakwa yang ditujukan kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri yang bersangkutan. 4. Putusan Hakim Pengadilan Negeri dalam perkara yang diperiksa menurut Acara Pemeriksaan Cepat/Pelanggaran terhadap Undang-Undang Lalu Lintas Jalan yang tedakwanya hadir dalam persidangan tetapi oleh hakim dijatuhi hukuman perampasan kemerdekaan. Yang dapat menggunakan upaya hukum banding terhadapa putusan itu adalah Terdakwa yang ditujukan kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Pemeriksaan banding sebenarnya merupakan suatu penilaian baru, jadi dapat diajukan saksi baru, ahli-ahli dan surat baru. Menurut pasal 240 ayat (1)
33
KUHAP: “Jika Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa dalam pemeriksaan tingkat pertama ada kelalaian dalam penerapan hukum acara atau kekeliruan yang kurang lengkap, maka Pengadilan Tinggi dengan suatu keputusan dapat memerintahkan Pengadilan Negeri untuk memperbaiki hal itu. Pengadilan Negeri melakukannya sendiri walaupun demikian dapat dikatakan bahwa acara pemeriksaan tetap menjadi dasar pemeriksaan banding kecuali kalau ada penyimpanganpenyimpangan dan kekecualian.” Permohonan banding diajukan dalam waktu 7 hari sesudah putusan dijatuhkan, atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir dalam pengucapan keputusan. Permohonan banding yang diajukan melalui tenggang waktu tersebut harus ditolak dengan membuat surat keterangan. Permohonan banding yang telah memenuhi prosedur dan waktu yang ditetapkan, harus dibuatkan akta pernyataan banding yang ditandatangani oleh panitera dan pemohon banding, serta tembusannya diberikan kepada pemohon banding. Dalam hal pemohon tidak dapat menghadap, hal ini harus dicatat oleh panitera dengan disertai alasannya dan catatan tersebut harus dilampirkan dalam berkas perkara serta juga ditulis dalam daftar perkara pidana. Permohonan banding yang diajukan harus dicatat dalam buku register insuk perkara pidana dan register banding. Panitera wajib memberitahukan permohonan banding dari pihak yang satu kepada pihak yang lain tanggal penerimaan memori dan kontra memori banding, harus dicatat dan salinannya disampaikan kepada pihak yang lain, dengan membuat relaas pemberitahuan/penyerahannya. Sebelum berkas perkara dikirimkan ke pengadilan tinggi, selama 7 hari pemohon banding wajib diberikan kesempatan untuk mempelajari berkas pidana. Dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak permohonan banding diajukan, berkas perkara banding berupa berkas A dan B harus sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi, permohonan banding dapat dicabut sewaktu-waktu, dan dalam hal sudah dicabut tidak boleh diajukan permhonan banding kembali.
34
B. Kerangka Pemikiran
Perkara Korupsi
Pemeriksaan Pengadilan Negeri Negeri
Undang-Undang TIPIKOR
Putusan Pengadilan Negeri
Banding
Analisis Pengajuan Banding disesuaikan dengan KUHAP
Pertimbangan Hakim PT
Putusan Hakim PT
Analisis Putusan Hakim Pengadilan Tinggi lebih berat dibandingkan Putusan Hakim Pengadilan Negeri
Keterangan: Kerangka berpikir penulis berawal dari semakin banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh aparatur pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah. Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi merupakan suatu badan yang mengatur urusan pelaksana otonom daerah di bidang social tenaga kerja dan transmigrasi. Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Bupati melalui Sekertaris Daerah. Dalam kasus yang diteliti oleh penulis Drs. H. Adam Wahid Iskandar menyalahgunakan kewenangannya sebagai Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai Penggunaan Anggaran/ Pengguna Barang. Perkara korupsi 35
tersebut kemudian diperiksa oleh Pengadilan Tipikor dengan menggunakan Undang-Undang Tipikor, yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001. Terdakwa tersebut terbukti bersalah dan dijatuhkan pidana oleh Pengadilan Tipikor. KUHAP memberikan hak kepada Jaksa Penuntut Umum dan terdakwa untuk mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri. Dalam Pengajuan Banding ke Pengadilan Tinggi putusan Hakim Pengadilan Tinggi ternyata lebih berat dibandingkan Putusan Hakim Pengadilan Negeri, kemudian penulis meneliti apakah Hakim Pengadilan Tinggi dalam memutus perkara telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
36