BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Lele Sangkuriang Lele Sangkuriang merupakan jenis lele hasil perbaikan genetik melalui cara silang balik (back cross) antara induk betina generasi kedua (F2) dengan induk jantan generasi keenam (F6) yang menghasilkan jantan dan betina F2-6. Jantan F2-6 selanjutnya disilangkan dengan betina generasi kedua (F2) sehingga menghasilkan lele Sangkuriang. Induk betina F2 merupakan koleksi yang ada di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi yang berasal dari keturunan kedua lele Dumbo yang diintroduksi dari afrika ke Indonesia tahun 1985. sedangkan induk jantan F6 merupakan sediaan induk yang ada di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi (Mahyudin 2008).
x
Lele Dumbo betina F2
Lele Dumbo betina F2
x
Lele Dumbo jantan > F6
Lele Dumbo jantan > F2-6
Lele Sangkuriang Gambar 1. Bagan Perkawinan Silang Lele Dumbo Benih hasil induk ikan lele Sangkuriang hanya dapat digunakan untuk produksi ikan konsumsi dan tidak direkomendasikan untuk dijadikan induk kembali. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan kualitas lele yang dihasilkan (Amri dan Khairuman 2008).
2.2 Biologi Lele Sangkuriang Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sudah dibudidayakan secara komersial oleh masyarakat Indonesia terutama di Pulau Jawa. Ikan ini bersifat nokturnal (aktif di malam hari) dan bersifat kanibal.
6
Budidaya lele berkembang pesat dikarenakan 1) dapat dibudidayakan di lahan dan sumber air yang terbatas dengan padat tebar tinggi, 2) teknologi budidaya relatif mudah dikuasai oleh masyarakat, 3) pemasarannya relatif mudah dan 4) modal usaha yang dibutuhkan relatif rendah (Departemen Kelautan dan Perikanan 2007). Menurut Gunder (2010), menyatakan bahwa sistematika taksonomi ikan lele sangkuriang (Gambar 2) adalah sebagai berikut: Filum Kelas Sub kelas Ordo Sub ordo Famili Genus Spesies
: Chordata : Pisces : Teleostei : Ostariophysi : Siluroidae : Clariidae : Clarias : Clarias gariepinus
Gambar 2. Lele Sangkuriang (sumber: dokumen Pribadi) Ikan lele Sangkuriang memiliki tubuh yang lebih panjang dibandingkan lele Dumbo biasa. berwarna hitam, hitam keunguan, atau hitam kehijauan pada bagian punggung dan putih kekuningan pada bagian perut serta bagian samping totol-totol. Lele sangkuriang memiliki empat pasang sungut yang berfungsi penting sebagai alat penciuman dan alat peraba. Hal ini merupakan ciri khas golongan catfish. dan memiliki sirip dengan jumlah yang sama dengan sirip lele Dumbo pada umumnya, terdiri dari tiga sirip tunggal dan dua sirip berpasangan (Warisno dan Dahana 2009). Menurut Mahyudin (2008), ikan lele Sangkuriang termasuk dalam golongan pemakan segala, tetapi cenderung pemakan daging (karnivora). Ikan lele
7
Sangkuriang merupakan jenis ikan yang memiliki kebiasaan makan di dasar perairan atau kolam (bottom feeder). Ikan lele Sangkuriang seperti ikan lele lainnya bersifat nokturnal, yaitu mempunyai kecenderungan beraktivitas dan mencari makan pada malam hari tetapi dalam usaha budidaya akan beradaptasi (diurnal). Pada siang hari lele lebih suka berdiam atau berlindung di bagian perairan yang gelap. Pada kolam pemeliharaan, terutama pada budidaya intensif, lele dapat dibiasakan diberi pakan pelet pada pagi hari atau siang hari, walaupun nafsu makannya tetap lebih tinggi jika diberikan pada malam hari (Puslitbang Perikanan 1992). Ikan lele Sangkuriang tahan hidup di perairan yang mengandung sedikit oksigen dan relatif tahan terhadap pencemaran bahan-bahan organik (Mahyudin, 2008). Menurut Khairuman (2002), kualitas air yang layak untuk ikan lele Sangkuriang yaitu dengan suhu 20-27ºC, oksigen terlarut (DO) kurang dari 2 ppm, kandungan karbon dioksida (CO 2) lebih dari 15 ppm, kandungan NO2 0,25 ppm, kandungan NO3 250 ppm dan pH 6,5-8. Berikut adalah data perbandingan mengenai ikan lele Sangkuriang dan lele Dumbo (Tabel 1). Tabel 1. Data Perbedaan Kinerja Lele Sangkuriang dan Lele Dumbo No.
Parameter
Lele Sangkuriang
Lele Dumbo
1
Fekunditas (butirKg¯¹ induk)
40.000-60.000
20.000-30.000
2
Derajat Penetasan (%)
> 90
> 80
3
Pertumbuhan harian bobot larva umur 5-26 hari
29,26
20,38
4
Kelangsungan Hidup larva umur 5-26 hari
> 80
> 80
Sumber: Sunarma (2004)
2.3 Pakan Alami Pakan alami merupakan salah satu jenis pakan ikan hias dan ikan konsumsi air tawar, payau dan laut. Pakan alami adalah pakan yang disediakan secara alami dari alam dan ketersediaannya dapat di budidayakan oleh manusia, sedangkan pakan buatan adalah pakan yang hanya dibuat oleh manusia dengan
8
menggunakan beberapa bahan baku dan formulasi pakannya disesuaikan dengan kebutuhan ikan. Pakan alami sangat cocok untuk benih ikan/udang dan ikan hias karena pakan alami sangat mudah dicerna didalam tubuh benih ikan/udang dan ikan hias. Selain itu nilai gizi pakan alami sangat lengkap dan sesuai dengan tubuh ikan, tidak menyebabkan penurunan kualitas air pada wadah budidaya ikan, meningkatkan daya tahan tubuh benih ikan terhadap penyakit dan perubahan kualitas air, mudah ditangkap karena pergerakan pakan alami tidak begitu aktif dan berukuran kecil sesuai dengan bukaan mulut larva (Gusrina 2008). Keberadaan pakan alami sangat diperlukan dalam budidaya ikan dan pembenihan, karena akan menunjang kelangsungan hidup benih ikan. Pada saat telur ikan baru menetas maka setelah makanan cadangan habis, benih ikan membutuhkan pakan yang sesuai dengan ukuran tubuhnya Selama ini petani ikan melakukan pemberian pakan ke benih ikan yang baru menetas dengan kuning telur matang dan susu bubuk. Pemberian pakan seperti ini berakibat kualitas air media sangat rendah. Disamping air media cepat kotor dan berbau amis, berakibat pula kematian benih ikan sangat tinggi sampai sekitar 60 - 70% (Darmanto dkk, 2000). Beberapa jenis pakan alami yang sesuai untuk benih ikan air tawar, antara lain lnfusoria (Paramaecium sp.), Rotifera (Brachionus sp.), Kladosera (Moina sp.), dan Daphnia sp (Gambar 3). Pakan alami tersebut mempunyai kandungan gizi yang lengkap dan mudah dicerna dalam usus benih ikan (Sugito dkk. 2003).
Gambar 3. Daphnia (sumber: http://benihikangunungkidul.blogspot.com/) Daphnia mempunyai bentuk tubuh lonjong, pipih dan beruas-ruas yang tidak terlihat. Pada kepala bagian bawah terdapat moncong yang bulat dan tumbuh lima pasang alat tambahan. Alat tambahan pertama disebut Antennula, sedangkan yang ke dua disebut antenna yang mempunyai fungsi pokok sebagai alat gerak.
9
Tiga lainnya merupakan alat tambahan pada bagian mulut. Daphnia adalah jenis zooplankton yang hidup di air tawar, mendiami kolam atau danau. Daphnia dapat tumbuh optimum pada suhu perairan sekitar 21 °C dan pH antara 6,5 - 8,5. Jenis makanan yang baik untuk pertumbuhan Daphnia adalah bakteri, fitoplankton dan detritus (Darmanto dkk 2000). Daphnia sebagai pakan alami untuk benih dan ikan air tawar sangat potensial karena memiliki beberapa keunggulan yaitu: 1. Mudah dicerna oleh benih ikan sebab mengandung enzim pencernaan. 2. kandungan asam amino essensial dan asam lemak essensial daphnia hampir setara dengan Artemia sehingga nilai nutrisinya tinggi (Haryati 1995). Daphnia sebagai pakan alami juga memiliki kelemahan yaitu: 1. Penyediaannya kurang praktis dan tidak efisien bagi pembenih skala kecil karena produknya tidak dapat bertahan lama. 2. Memiliki kandungan gizi yang berfluktuasi. 3. Sering tidak termanfaatkan ketika panen berlimpah (Munandar 1999). Oleh karena itu dapat digunakan daphnia beku (Gambar 4) sebagai pakan substitusi pada saat produksi Daphnia hidup di kolam sedang menurun.
Gambar 4. Daphnia yang telah dibekukan (sumber: dokumen Pribadi) Daphnia beku dapat diperoleh dengan mudah, harganya murah, kapan saja dapat diperoleh dalam jumlah besar dan produknya dapat bertahan lama (Mardiana 2009). Sebelum diberikan kepada ikan, terlebih dahulu Daphnia beku didiamkan agar bisa dimakan oleh ikan.
10
2.4 Tingkat Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup atau survival rate adalah perbandingan jumlah organisme yang hidup pada akhir periode dengan jumlah organisme yang hidup pada awal periode. Kelangsungan hidup dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk mengetahui toleransi dan kemampuan ikan untuk hidup. Parameter untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup ikan adalah mortalitas ikan (Effendi 1997). Pakan harus tersedia dalam jumlah dan kualitas yang tepat. Kelebihan pakan akan mengakibatkan penumpukan feses hasil metabolisme yang akan menimbulkan senyawa yang bersifat racun bagi ikan seperti amoniak. Sementara kekurangan pakan akan menyebabkan ikan kekurangan nutrisi yang berakibat pada lambatnya pertumbuhan, berukuran kerdil, kurus dan berakhir dengan kematian. Kekurangan pakan juga dapat memicu sifat kanibalisme ikan jenis catfish sehingga dapat menurunkan kelangsungan hidupnya (Hadadi 2003). Menurut Nikolsky (1963) dalam Setyanova (2003) menyatakan bahwa selain kanibalisme, faktor-faktor yang mempengaruhi kematian atau mortalitas ikan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal diantaranya adalah umur, kemampuan ikan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya serta ketahanan ikan terhadap organisme parasit. Sedangkan faktor eksternal meliputi kondisi lingkungan, kompetisi antar spesies, penambahan jumlah populasi ikan dalam ruang gerak yang sama, meningkatnya predator dan parasit, ketersediaan pakan, sifat-sifat biologi terutama yang berhubungan dengan daur hidup, penanganan dan penangkapan.
2.5 Jumlah Pemberian Pakan dan Efisiensi Pemberian Pakan Mudjiman (2004) menyatakan bahwa pemberian pakan adalah salah satu faktor penentu keberhasilan dalam usaha budidaya ikan. Pemberian yang sesuai dengan kebutuhan dapat menjamin kehidupan ikan serta mempercepat pertumbuhannya. Pakan yang dikonsumsi oleh ikan hanya 10% yang digunakan untuk
pertumbuhan,
selebihnya
digunakan
11
untuk
pemeliharaan
tubuh,
menggantikan sel yang rusak, penyembuhan luka dan sebagai sumber energi untuk pergerakan ikan. Jumlah pakan adalah banyaknya pakan yang dibutuhkan dan harus diberikan pada ikan, biasanya dihitung dalam persen (%) per bobot biomassa ikan (Kordi, 2005). Jumlah pakan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan ikan agar tidak terjadi penurunan kualitas air dan jumlah yang akan diberikan tergantung kepada frekuensi pemberian pakan. Jika frekuensi pemberian pakan dilakukan empat kali, maka jumlah pakan yang diberikan pada setiap waktunya adalah ¼ dari dosis yang ditentukan setiap kali pemberian pakan (Afrianto dan Liviawaty 1990). Efisiensi pemberian pakan merupakan jumlah pakan atau presentase pakan yang diberikan setiap harinya yang akan mengalami perubahan pada periode tertentu sejalan dengan pertumbuhan atau pertambahan bobot ikan yang dipelihara (Mudjiman, 2004). Penghitungan efisiensi pemberian pakan sangat penting dalam proses budidaya ikan karena dapat menentukan apakah sejumlah pakan yang diberikan telah digunakan seefisien mungkin. Efisiensi pemberian pakan berbanding lurus dengan pertambahan bobot tubuh sehingga semakin tinggi nilai efisiensi pemberian pakan berarti semakin efisien ikan memanfaatkan pakan yang dikonsumsi untuk pertumbuhan (Djajasewaka 1985).
2.6 Pertumbuhan Pertumbuhan merupakan perubahan ukuran baik bobot maupun panjang dalam suatu periode atau waktu tertentu. Pertumbuhan dalam suatu individu disebabkan oleh pertambahan jaringan akibat pembelahan sel secara mitosis. Hal ini terjadi apabila ada kelebihan input energi dan asam amino (protein) yang berasal dari makanan. Makanan tersebut akan digunakan oleh tubuh untuk metabolisme dasar, pergerakan, produksi organ seksual, perawatan bagian-bagian tubuh atau mengganti sel-sel yang rusak (Effendi 1997). Pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya yaitu faktor luar dan faktor dalam. Faktor dalam diantaranya adalah keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan
12
adalah makanan dan suhu perairan. Namun diantara kedua faktor ini belum diketahui mana yang memegang peranan lebih besar (Effendi 1997). Menurut Zonneveld et al. (1991), kurva umum yang menggambarkan hubungan pertumbuhan dengan makanan yang berbeda dapat diketahui:
Ransum 0 (R0) menghasilkan pertumbuhan negatif karena adanya proses katabolisme substansi tubuh untuk menyediakan energi sebagai fungsi utama organisme hidup. Dalam prosesnya, energi yang dihasilkan lebih banyak hilang sebagai panas tubuh dan sedikit untuk pertumbuhan.
Ransum pemeliharaan (Rmaint) didefinisikan sebagai ransum pakan yang disediakan untuk pertumbuhan 0. Pada ransum ini, energi yang dapat dimetabolismekan (ME) dipakai secara total (dibakar seluruhnya) dan diubah menjadi panas tubuh.
Ransum
optimal
(Ropt)
didefinisikan
sebagai
ransum
pakan
yang
menghasilkan perbandingan tertinggi antara peningkatan pertumbuhan dan penerimaan pakan (menghasilkan nilai konversi pakan terendah).
Ransum pakan maksimum (Rmaks) didefinisikan sebagai ransum pakan yang menghasilkan pertumbuhan maksimum dimana penambahan pakan lebih lanjut tidak menghasilkan pertumbuhan ekstra.
2.6 Kualitas Air Air merupakan media budidaya sebagai tempat hidup bagi ikan untuk tumbuh dan berkembang. Air yang dapat digunakan sebagai media budidaya ikan harus mempunyai standar kuantitas dan kualitas yang sesuai dengan persyaratan hidup ikan (Gusrina 2008). Kualitas air yang baik bagi perikanan didefinisikan sebagai air yang sesuai untuk mendukung kehidupan dan pertumbuhan ikan dan biasanya ditentukan oleh beberapa parameter (Boyd 1982). Parameter kualitas air yang perlu dikelola dalam budidaya ikan adalah suhu, oksigen terlarut, derajat keasaman dan amoniak (Slembrouck dkk. 2005). Suhu merupakan faktor yang mempengaruhi laju metabolisme dan kelarutan gas dalam air (Zonneveld et al. 1991). Suhu yang semakin tinggi akan meningkatkan laju metabolisme ikan, namun respirasi yang terjadi semakin cepat
13
sehingga mengurangi konsentrasi oksigen di air yang dapat menyebabkan stress bahkan kematian pada ikan. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2005), kenaikan suhu yang masih ditolerir oleh ikan akan diikuti dengan peningkatan derajat metabolisme dan kebutuhan oksigen, kenaikan suhu akan meningkatkan kebutuhan energi pemeliharaan dan ikan lebih aktif makan. Suhu air yang ideal untuk pemeliharaan lele berkisar antara 20-30°C. Oksigen terlarut adalah oksigen dalam bentuk terlarut didalam air karena ikan tidak dapat mengambil oksigen dalam perairan dari difusi langsung dengan udara (Gusrina 2008). Kandungan oksigen terlarut mutlak diperlukan ikan untuk pernafasan. Kandungan oksigen yang rendah menyebabkan nafsu makan menurun yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ikan (Boyd 1982). Menurut pescod (1973) dalam Mardiana (2009), kandungan oksigen yang baik untuk pertumbuhan ikan adalah tidak kurang dari 5 mgL¯¹, kandungan oksigen dibawah 2 mgL¯¹ akan menghambat pertumbuhan. Derajat keasaman (pH) yang kurang dari 4 dan lebih dari 11 dapat membunuh benih ikan. Sedangkan nilai pH 9,5 akan menyebabkan perkembangan benih ikan terganggu (Soetomo, 2000). Kisaran pH yang cocok untuk kehidupan ikan adalah 6,5-9,0 Boyd (1979) dalam Mardiana (2009). Kandungan racun yang berbahaya dalam budidaya diantaranya adalah nitrogen. Nitrogen yang dibuang ke perairan, 60-90% dalam bentuk amoniak yang sangat toksik dan berbahaya bagi ikan bahkan dapat menyebabkan kematian ikan. Kadar amoniak sebaiknya kurang dari 0,1 mgL¯¹ (Boyd 1990). Daya racun amoniak akan meningkat jika kadar oksigen dalam air rendah atau menurun. Pada budidaya ikan, konsentrasi amoniak bergantung pada kepadatan populasi, metabolisme ikan, pergantian air dan suhu. Meningkatnya kandungan amoniak dalam air dapat menyebabkan ikan cepat mengalami stress dan ikan mudah terkena penyakit serta pertumbuhannya terganggu (Boyd 1990). Menurut Sucipto dan Prihartono (2007), menyatakan bahwa kadar amoniak sebesar 0,08 mgL¯¹ pada usaha budidaya dapat menurunkan nafsu makan dan pertumbuhan ikan. Kematian ikan biasanya mulai terjadi pada perairan dengan kadar amoniak 0,1 atau 0,2 mgL¯¹.
14