BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Sistem Hukum Lawrence M. Friedman Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum (structure of law), substansi hukum (substance of the law) dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, substansi hukum meliputi perangkat perundang-undangan dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu masyarakat (Lawrence M. Friedman, 2009: 5). Struktur dari sistem hukum terdiri atas unsur berikut ini, jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksinya (termasuk jenis kasus yang berwenang mereka periksa), dan tata cara naik banding dari pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga berarti bagaimana badan legislatif ditata, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh presiden, prosedur ada yang diikuti oleh kepolisian dan sebagainya. Jadi struktur (legal structure) terdiri dari lembaga hukum yang ada dimaksudkan untuk menjalankan perangkat hukum yang ada (Lawrence M. Friedman, 2009: 6) Struktur adalah pola yang menunjukkan tentang bagaimana hukum dijalankan
menurut
ketentuan-ketentuan
formalnya.
Struktur
ini
menunjukkan bagaimana pengadilan, pembuat hukum dan badan serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan. Di Indonesia misalnya jika kita berbicara tentang struktur sistem hukum Indonesia, maka termasuk di dalamnya struktur institusi-institusi penegakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan (Achmad Ali, 2002 : 8).
14
15
Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Yang dimaksud dengan substansinya adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Jadi substansi hukum menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum (Munir Fuady, 2003 : 40). Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap manusia (termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya hukum oleh orangorang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat maka penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif.
2. Tinjauan tentang Asas Publisitas dalam Jaminan Kebendaan a. Pengertian Jaminan Istilah jaminan merupakan terjemahan dari istilah zekerheid atau cautie, yaitu kemampuan debitor untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditor, yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitor kepada kreditornya. Mariam Darus Badrulzaman merumuskan jaminan sebagai suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang debitor dan/atau pihak ketiga kepada kreditor untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan (Rachmadi Usman, 2001: 66). Thomas Suyatno, ahli Perbankan menyatakan bahwa jaminan adalah penyerahan kekayaan atau pernyataan kesanggupan seseorang untuk menanggung pembayaran kembali suatu hutang (Thomas Suyatno, 1989: 70).
16
Badan Pembinaan Hukum Nasional pernah mengadakan seminar yang diselenggarakan di Yogyakarta dari tanggal 20 sampai dengan 30 Juli 1977 dan di dalamnya disimpulkan pengertian jaminan. Jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum, oleh karena itu hukum jaminan erat sekali dengan hukum benda. Kontruksi jaminan dalam definisi ini ada kesamaan dengan yang dikemukakan oleh Mariam Darus Badrulzaman, Hartono Hadisoeprapto dan M. Bahsan. Hartono Hadisoeprapto berpendapat bahwa jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitor akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari sutu perikatan. M. Bahsan berpendapat bahwa jaminan adalah segala sesuatu yang diterima kreditor dan diserahkan debitor untuk menjamin suatu utang piutang dalam masyarakat (H. Salim HS, 2004: 22). Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/ 69/ KEP/ DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang jaminan pemberian kredit, bahwa jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitor untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan (Sentosa Sembiring, 2008: 70). Berdasakan pada pengertian jaminan diatas, maka dapat dikemukakan bahwa fungsi utama dari jaminan adalah untuk meyakinkan bank atau kreditor bahwa debitor mempunyai kemampuan untuk melunasi kredit yang diberikan kepadanya sesuai dengan perjanjian kredit yang telah disepakati bersama (Hermansyah, 2005: 73). Jaminan difokuskan pada pemenuhan kewajiban kepada kreditor (bank), timbulnya jaminan karena adanya perikatan antara kreditor dengan debitor dan jaminan itu suatu tanggungan yang dapat dinilai dengan uang yaitu berupa kebendaan tertentu yang diserahkan debitor
17
kepada kreditor sebagai akibat dari suatu hubungan perjanjian utang piutang. Kebendaan tertentu diserahkan debitor kepada kreditor dimaksudkan sebagai tanggungan atas pinjaman atau fasilitas kredit yang diberikan kreditor kepada debitor sampai debitor melunasi pinjamannya tersebut. Apabila debitor wanprestasi kebendaan tertentu tersebut akan dinilai dengan uang selanjutnya akan dipergunakan untuk pelunasan seluruh atau sebagian dari pinjaman atau utang debitor kepada kreditornya. Istilah jaminan telah lazim digunakan dalam bidang ilmu hukum dan telah digunakan dalam beberapa peraturan perundang-undangan tentang lembaga jaminan daripada istilah agunan. Oleh karena itu, istilah yang digunakan bukan hukum agunan, lembaga agunan, agunan kebendaan, agunan perseorangan atau hak agunan melainkan hukum jaminan, lembaga jaminan, jaminan kebendaan jaminan perseorangan dan hak jaminan. Hak jaminan melingkupi hak jaminan yang bersifat umum dan hak jaminan yang bersifat khusus. Hukum jaminan merupakan terjemahan dari istilah security of law, zekerheidsstelling atau zekerheidsrechten. Dalam keputusan seminar hukum jaminan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tanggal 9 sampai dengan 11 Oktober 1978 di Yogyakarta menyimpulkan bahwa istilah hukum jaminan itu meliputi pengertian baik jaminan kebendaan maupun perorangan. Berdasarkan kesimpulan tersebut, pengertian hukum jaminan yang diberikan didasarkan kepada pembagian jenis lembaga hak jaminan artinya tidak memberikan perumusan pengertian hukum jaminan, melainkan jaminan kebendaan dan jaminan perorangan (Rachmadi Usman, 2011: 1). Hukum jaminan diartikan sebagai peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang kreditor terhadap
18
seorang debitor (Rachmadi Usman, 2011: 2). Definisi ini difokuskan pada
pengaturan
hak-hak
kreditor
semata-mata,
tetapi
tidak
memperhatikan hak-hak debitor. Padahal subjek kajian hukum jaminan tidak hanya menyangkut kreditor semata-mata, tetapi juga erat kaitannya dengan debitor, sedangkan yang menjadi objek kajiannya adalah benda jaminan. Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, mengemukakan bahwa hukum jaminan adalah mengatur kontruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit, dengan menjaminkan benda-benda yang dibelinya sebagai jaminan (M. Bahsan, 2008: 3). Peraturan demikian harus cukup meyakinkan dan memberikan kepastian hukum bagi lembaga-lembaga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Adanya lembaga jaminan dan lembaga demikian kiranya harus dibarengi dengan adanya lembaga kredit dengan jumlah besar dengan jangka waktu yang lama dan bunga relatif rendah. Pengertian hukum jaminan menurut Sri Soedewi Masjhoen Sofwan merupakan konsep yuridis yang berkaitan dengan penyusunan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan jaminan. M. Bahsan, hukum jaminan merupakan himpunan ketentuan yang mengatur atau berkaitan dengan penjaminan dalam rangka utang piutang (pinjaman uang) yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini (M. Bahsan, 2008: 6). Pendapat terakhir dari pengertian hukum jaminan adalah menurut H. Salim HS, bahwa hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidahkaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit (H. Salim HS, 2004: 6). Berdasarkan pengertian di atas unsur-unsur yang terkandung di dalam perumusan hukum jaminan, yakni sebagai berikut:
19
1) Adanya kaidah hukum Kaidah hukum dalam bidang jaminan, dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu kaidah hukum jaminan tertulis dan kaidah hukum jaminan tidak tertulis. Kaidah hukum jaminan tertulis adalah kaidahkaidah hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, traktat dan yurisprudensi, sedangkan kaidah hukum jaminan tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum jaminan yang tumbuh, hidup dan berkembang dalam masyarakat, hal ini terlihat pada gadai tanah dalam masyarakat yang dilakukan secara lisan. 2) Adanya pemberi dan penerima jaminan Pemberi jaminan adalah orang-orang atau badan hukum yang menyerahkan barang jaminan kepada penerima jaminan, yang bertindak sebagai pemberi jaminan ini adalah orang atau badan hukum yang membutuhkan fasilitas kredit. Orang ini lazim disebut dengan debitor. Penerima jaminan adalah orang atau badan hukum yang menerima barang jaminan dari pemberi jaminan, yang bertindak sebagai penerima jaminan ini adalah orang atau badan hukum. Badan hukum adalah lembaga yang memberikan fasilitas kredit, dapat berupa lembaga perbankan dan atau lembaga keuangan nonbank. 3) Adanya jaminan Pada dasarnya, jaminan yang diserahkan kepada kreditor adalah jaminan materiil dan imateriil. Jaminan materiil merupakan jaminan yang berupa hak-hak kebendaan seperti jaminan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Jaminan imateriil merupakan jaminan nonkebendaan. 4) Adanya fasilitas kredit Pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan bertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau lembaga keuangan nonbank. Pemberian kredit merupakan pemberian uang
20
berdasarkan kepercayaan, dalam arti bank atau lembaga keuangan nonbank percaya bahwa debitor sanggup untuk mengembalikan pokok pinjaman dan bunganya, begitu pula debitor percaya bahwa bank atau lembaga keuangan nonbank dapat memberikan kredit kepadanya (H. Salim HS, 2004: 7). Berdasarkan hasil analisis terhadap berbagai peraturan perundangundangan yang mengatur tentang jaminan maupun kajian terhadap berbagai literatur tentang jaminan, maka ditemukan lima asas penting dalam hukum jaminan, yaitu : 1) Asas publicitet yaitu asas bahwa semua hak, baik hak tanggungan, hak fidusia dan hipotik harus didaftarkan. Pendaftaran ini dimaksudkan supaya pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut sedang dilakukan pembebanan jaminan. Pendaftaran hak
tanggungan
di
kantor
Badan
Pertanahan
Nasional
Kabupaten/Kota, pendaftaran fidusia dilakukan di kantor pendaftaran fidusia pada kantor Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia sedangkan pendaftaran hipotik kapal laut dilakukan di depan pejabat pendaftar dan pencatat balik nama yaitu syahbandar. 2) Asas specialitet, yaitu bahwa hak tanggungan, hak fidusia dan hipotik hanya dapat dibebankan atas percil atau atas barang-barang yang sudah terdaftar atas nama orang tertentu. 3) Asas tidak dapat dibagi-bagi, yaitu asas dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak tanggungan, hak fidusia, hipotik dan hak gadai walaupun telah dilakukan pembayaran sebagaian. 4) Asas inbezittstelling yaitu barang jaminan (gadai) harus berada pada penerima gadai. 5) Asas horizontal yaitu bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan, hal ini dapat dilihat dalam penggunaan hak pakai, baik
21
tanah negara maupun tanah hak milik. Bangunannya milik dari yang bersangkutan atau pemberi tanggungan, tetapi tanahnya milik orang lain, berdasarkan hak pakai (H. Salim HS, 2004: 9).
Hukum jaminan di Indonesia ditinjau dari sudut perkembangan perekonomian baik nasional maupun internasional mempunyai peran yang besar terkait dengan kegiatan pinjam meminjam uang. Berbagai lembaga keuangan sangat berperan dalam membantu pemenuhan kebutuhan dana bagi kegiatan perekonomian dengan memberi pinjaman uang baik dalam bentuk kredit maupun gadai, yang dimanfaatkan oleh masyarakat yang memerlukan dana.
b. Asas Publisitas Dalam Jaminan Kebendaan Salah satu ciri jaminan kebendaan yang modern adalah terpenuhinya asas publisitas. Maksudnya semakin terpublikasi jaminan hutang, akan semakin baik, sehingga kreditor dan khalayak ramai dapat mengetahuinya atau memiliki akses untuk mengetahui informasiinformasi penting seputar jaminan hutang tersebut. Asas publisitas ini menjadi semakin penting terhadap jaminan-jaminan hutang yang fisik dari objek jaminannya tidak diserahkan kepada kreditor, seperti jaminan fidusia (Munir Fuady, 2003: 30). Pencatatan dan publikasi pada hukum kebendaan pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya pada kehendak para pihak yang melangsungkan perbuatan hukumnya. Publikasi diwajibkan karena memang ditujukan untuk melindungi kepentingan pihak ketiga, dan sifatnya adalah terbuka untuk umum. Tidak dilakukannya pencatatan dan publikasi, berakibat tidak berlakunya perbuatan hukum yang dikehendaki oleh para pihak terhadap pihak ketiga, berarti bahwa apabila pencatatan dan publikasi tersebut diabaikan, para pihak tidak dapat mendalilkan hubungan hukum
22
yang ada di antara para pihak terhadap pihak ketiga. Kewajiban pencatatan dan publikasi atas suatu perjanjian penjaminan yang merupakan perjanjian assessoir dari suatu perjanjian pokok yang bersifat perorangan, timbullah atau terbitlah suatu hak kebendaan yang bersifat droit de suite dan droit de preference. Pemegang hak atas jaminan kebendaan yang dijaminkan secara kebendaan tersebut yaitu hak yang melekat atas kebendaan yang dijaminkan kemanapun kebendaan tersebut dialihkan (Herlien Budiono, 2008: 230). Sesuai ketentuan Pasal 28 UU Jaminan Fidusia, sifat mendahului droit de preference ini berlaku sejak tanggal pendaftarannya pada kantor pendaftaran fidusia. Jadi dalam hal ini berlaku adagium first registered first secured. Hak yang didahulukan adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Hak untuk mengambil pelunasan ini mendahului kreditor-kreditor lainnya (Henny Tanuwidjaja, 2012: 59). UU Jaminan Fidusia mengatur tentang kewajiban pendaftaran jaminan fidusia agar memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan dan pendaftaran jaminan fidusia ini memberikan hak yang didahulukan (preference) kepada penerima fidusia terhadap kreditor lain. Jaminan fidusia memberikan hak kepada pihak penerima fidusia untuk tetap menguasai benda yang menjadi objek jaminan fidusia berdasarkan kepercayaan, diharapkan sistem pendaftaran yang diatur dalam UU Jaminan Fidusia tersebut dapat memberikan jaminan kepada pihak penerima fidusia dan pihak yang mempunyai kepentingan terhadap benda tersebut. Pasal 11 UU Jaminan Fidusia menjelaskan bahwa, pendaftaran benda yang dibebani dengan jaminan fidusia dilaksanakan di tempat kedudukan pemberi fidusia dan pendaftarannya mencakup benda, baik yang berada di dalam maupun di luar wilayah negara Republik
23
Indonesia untuk memenuhi asas publisitas, sekaligus merupakan jaminan kepastian terhadap kreditor lainnya mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia. Pendaftaran dengan asas publisitas ini dimaksudkan agar mempunyai pengaruh atau efek terhadap pihak ketiga, agar pihak ketiga terikat dengan pendaftaran tersebut. Artinya pihak ketiga tidak dapat lagi mengemukakan alasan itikad baik, untuk mengelak dari kelalaiannya untuk mengontrol daftar yang bersangkutan sebelum melakukan transaksi yang menyangkut benda terdaftar.
3. Tinjauan tentang Pengaturan Jaminan Fidusia a. Pengertian Jaminan Fidusia Fidusia berasal dari kata fiduciair atau fides yang artinya kepercayaan penyerahan hak milik atas benda secara kepercayaan sebagai jaminan bagi pelunasan piutang kreditor. Penyerahan hak milik atas benda ini dimaksudkan hanya sebagai jaminan bagi pelunasan utang tertentu, dimana memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia (kreditor) terhadap kreditor lainnya. Dalam berbagai literatur fidusia lazim disebut dengan fiduciaire eigendom overdract (FEO) yaitu penyerahan hak milik berdasarkan atas kepercayaan (H. Salim HS, 2004: 55). Pasal 1 angka 1 UU Jaminan Fidusia menyatakan bahwa fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya yang diadakan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda itu. Pengalihan hak kepemilikan dalam pengertian tersebut adalah pemindahan hak kepemilikan dari pemberi fidusia kepada penerima fidusia atas dasar kepercayaan dengan syarat bahwa benda yang menjadi objeknya tetap berada di tangan pemberi fidusia.
24
A Hamzah dan Senjum Manulang memberikan pengertian fidusia, bahwa fidusia adalah: “Suatu cara pengoperan hak milik dari pemiliknya (debitor) berdasarkan adanya perjanjian pokok (perjanjian utang piutang) kepada kreditor, akan tetapi yang diserahkan hanya haknya saja secara yuridise-levering dan hanya dimiliki oleh kreditor secara kepercayaan saja (sebagai jaminanutang debitor) sedangkan barangnya tetap dikuasai oleh debitor, tetapi bukan lagi sebagai eigenaar maupun bezitter, melainkan hanya sebagai detentor atau houder dan atas nama kreditor-eigenaar (A Hamzah dan Senjum Manulang, 1987: 37).” Definisi fidusia menurut Oey Hoey Tiong bahwa, Fidusia atau lengkapnya Fiduciaire Eigendoms Overdracht sering disebut sebagai jaminan hak milik secara kepercayaan, merupakan suatu bentuk jaminan atas benda-benda bergerak di samping gadai yang dikembangkan oleh yurisprudensi (Oey Hoey Tiong, 1985: 21) . Dari pengertian fidusia diatas maka dapat diketahui unsur-unsur fidusia itu, yaitu: 1) Pengalihan hak kepemilikan suatu benda. 2) Dilakukan atas dasar kepercayaan. 3) Kebendaannya tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Istilah jaminan fidusia terdapat dalam Pasal 1 angka 2 UU Jaminan Fidusia, bahwa jaminan fidusia adalah Hak jaminan atas benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bagunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1966 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.
25
Berdasarkan perumusan ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 UU Jaminan Fidusia, unsur-unsur dari jaminan fidusia yaitu : 1) Sebagai lembaga hak jaminan kebendaan dan hak yang diutamakan. 2) Adanya objek yaitu benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani
hak tanggungan.
Hal
ini
berkaitan dengan
pembebanan jaminan rumah susun. 3) Benda yang menjadi objek jaminan tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia. 4) Untuk pelunasan suatu utang tertentu. 5) Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.
Pengertian jaminan fidusia yang diatur dalam UU Jaminan Fidusia membedakan pengertian fidusia dari jaminan fidusia, dimana fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan jaminan fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia. Ini berarti bahwa jaminan fidusia yang dimaksud adalah termasuk fiducia cum creditore contracta. Lembaga jaminan fidusia dalam bentuk fiduciaire eigendoms overdracht atau FEO berarti pengalihan hak milik secara kepercayaan. Pranata jaminan FEO ini timbul berkenaan dengan ketentuan dalam Pasal 1152 ayat (2) KUHPerdata yang mengatur tentang gadai. Sesuai dengan pasal ini kekuasaan atas benda yang digadaikan tidak boleh berada pada pemberi gadai. Larangan tersebut mengakibatkan bahwa pemberi gadai tidak dapat mempergunakan benda yang digadaikan untuk keperluan usahanya (Henny Tanuwidjaya, 2012: 58). Pengertian jaminan fidusia pada Pasal 1 angka 2 UU Jaminan Fidusia, secara tegas menyatakan bahwa jamian fidusia adalah jaminan
26
kebendaan yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia, yaitu hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya. Dengan demikian jaminan fidusia merupakan perjanjian assesoir dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi yang berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Sebagai suatu perjanjian assesoir, perjanjian jaminan fidusia memiliki sifat sebagai berikut: 1) Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok. 2) Keabsahannya semata-mata ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok. 3) Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidak dipenuhi (Henny Tanuwidjaya, 2012: 59).
Perjanjian pemberian jaminan fidusia sama seperti perjanjian penjaminan lain,yang merupakan perjanjian yang bersifat assessoir, sebagaimana ditegaskan pada Pasal 4 UU Jaminan Fidusia, berbunyi: Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Perjanjian assessoir mempunyai ciri-ciri yaitu tidak bisa berdiri sendiri, ada atau lahirnya, berpindahnya dan berakhirnya bergantung dari perjanjian pokoknya. Mengenai fidusia sebagai perjanjian assessoir, dijelaskan Munir Fuady lebih lanjut sebagai berikut: ”Sebagaimana perjanjian jaminan hutang lainnya, seperti perjanjian gadai, hipotik atau hak tanggungan, maka perjanjian fidusia juga merupakan suatu perjanjian yang assessoir (perjanjian buntutan). Maksudnya adalah perjanjian assessoir itu tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi mengikuti/membuntuti perjanjian
27
lainnya yang merupakan perjanjian pokok. Dalam hal ini yang merupakan perjanjian pokok adalah hutang piutang. Karena itu konsekuensi dari perjanjian assessoir ini adalah jika perjanjikan pokok tidak sah, atau karena sebab apapun hilang berlakunya atau dinyatakan tidak berlaku, maka secara hukum perjanjian fidusia sebagai perjanjian assessoir juga ikut menjadi batal (Munir Fuady, 2003: 19).” b. Ruang Lingkup, Subjek dan Objek Jaminan Fidusia Ruang lingkup kajian hukum jaminan meliputi jaminan umum dan jaminan khusus. Jaminan khusus dibagi menjadi dua macam yaitu jaminan kebendaan dan perorangan. Jaminan kebendaan dibagi menjadi jaminan benda bergerak dan tidak bergerak, yang termasuk dalam jaminan benda bergerak meliputi gadai dan fidusia sedangkan jaminan benda tidak bergerak meliputi hak tanggungan, fidusia, khususnya rumah susun, hipotik kapal laut dan pesawat udara, sedangkan jaminan perorangan meliputi borg, tanggung-menanggung (tanggung renteng) dan garansi bank (H. Salim HS, 2004: 8). Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang Jaminan Fidusia menurut Pasal 2 UU Jaminan Fidusia yang menyatakan bahwa undangundang ini berlaku terhadap setiap perjanjian fidusia yang bertujuan untuk membebani jaminan fidusia, sedangkan yang dapat menjadi subjek atau para pihak dari jaminan fidusia adalah orang perorangan atau korporasi (Djaja Meliala, 2007: 67). Pembebanan benda dengan jaminan fidusia didasarkan pada kesepakatan antara pemberi fidusia dan penerima fidusia, artinya harus terdapat kesepakatan di antara kedua belah pihak untuk terjadinya pemfidusiaan, dengan sendirinya pula pemberian jaminan fidusia tidak dapat dibatalkan secara sepihak oleh salah satu pihak pemberi fidusia atau penerima fidusia. Namun demikian pemberi fidusia dan penerima fidusia tidak dapat sekehendak hati menjanjikan pemberian jaminan
28
fidusia tersebut, artinya perjanjian yang bertujuan untuk membebani suatu benda dengan jaminan fidusia harus mengikuti ketentuan dalam pasal-pasal UU Jaminan Fidusia. Prosedur yang biasa dilakukan dalam pembebanan jaminan fidusia melalui fidusia, dilakukan dengan bentuk perjanjian penyerahan jaminan dan pemberian kuasa yang didasarkan atas perjanjian kredit yang telah dibuatnya. Secara jelasnya proses terjadinya fidusia menempuh beberapa fase, yaitu: 1) Fase pertama berupa perjanjian obligatoir Di antara pihak pemberi dan penerima fidusia ditentukan bahwa debitor meminjam sejumlah uang dengan janji akan menyerahkan hak miliknya secara fidusia sebagai jaminan kepada pemberi kredit. Perjanjian ini bersifat konsensual, obligatoir. 2) Fase kedua merupakan perjanjian kebendaan. Diantara kedua pihak dilakukan penyerahan secara constitutum possessorium. 3) Fase ketiga berupa perjanjian pinjam pakai (bruiklening). Diantara kedua pihak diadakan perjanjian, bahwa pemilik fidusia meminjam pakaikan hak miliknya yang telah berada di dalam kekuasaan pemberi fidusia, kepada penerima fidusia (M. Djumhana, 2006: 32). Sebelum UU Jaminan Fidusia, pada umumnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia itu benda bergerak yang terdiri atas benda dalam persediaan, benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kendaraan bermotor. Dengan kata lain objek jaminan fidusia terbatas pada kebendaan bergerak, guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang, menurut UU Jaminan Fidusia objek jaminan fidusia diberikan pengertian yang lebih luas antara lain: 1) benda bergerak yang berwujud.
29
2) benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. 3) benda bergerak yang tidak berwujud.
Pasal 1 angka 4 UU Jaminan Fidusia diberikan batasan yang menjadi objek jaminan fidusia antara lain: 1) benda tersebut harus dapat dialihkan dan dimiliki secara hukum. 2) benda berwujud dan benda tidak berwujud. 3) benda tidak bergerak yang tidak dijaminkan Hak Tanggungan. 4) benda yang sudah ada dan benda yang akan ada. 5) hasil benda yang menjadi objek fidusia. 6) klaim asuransi dari objek fidusia. 7) benda persediaan (Inventory Stock Perdagangan).
Dalam ketentuan Pasal 3 UU Jaminan Fidusia menegaskan mengenai Undang-Undang ini tidak berlaku terhadap: 1) Hak tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar. 2) Hipotik atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 meter kubik atau lebih. 3) Hipotik atas pesawat terbang. 4) Gadai. Dalam penjelasan Pasal 3 huruf a dalam UU Jaminan Fidusia menyatakan bahwa berdasarkan ketentuan ini maka bangunan diatas tanah milik orang lain yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dapat dijadikan objek jaminan fidusia.
30
Dari uraian tersebut maka dapat diketahui bahwa sejarah perkembangan fidusia, pada awalnya yaitu zaman Romawi, objek fidusia adalah meliputi barang bergerak maupun barang tidak bergerak, hal ini dapat dimaklumi karena pada waktu itu tidak dikenal hak-hak jaminan yang lain. Pemisahan mulai diadakan ketika kemudian orangorang Romawi mengenal gadai dan hipotik, ketentuan ini juga diikuti oleh negara Belanda dalam Burgerlijke Wetboek-nya. Pada saat fidusia muncul kembali di negara Belanda maka pemisahan antara barang bergerak yang berlaku untuk gadai dan barang tidak bergerak untuk hipotik juga diberlakukan. Objek fidusia disamakan dengan gadai yaitu barang bergerak karena pada waktu itu dianggap sebagai jalan keluar untuk menghindari larangan yang terdapat dalam gadai. Hal ini terus menjadi yurisprudensi tetap baik di Belanda dan Indonesia (Henny Tanuwidjaya, 2012: 63). Perkembangan selanjutnya adalah dengan lahirnya UndangUndang Pokok Agraria yang tidak membedakan atas barang bergerak dan barang tidak bergerak melainkan pembedaan atas tanah dan bukan tanah. Bangunan-bangunan yang terletak diatas tanah tidak dapat dijamin akan terlepas dari tanahnya, jadi orang yang memiliki bangunan di atas tanah dengan hak sewa misalnya tidak dapat membenaninya dengan hak tanggungan tersebut, oleh karenanya jalan satu-satunya adalah dengan fidusia. Lahirnya UU Jaminan Fidusia yaitu dengan mengacu pada Pasal 1 angka 2 dan angka 4 serta Pasal 3, dapat dikatakan bahwa yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda apapun yang dapat dimiliki dan dialihkan hak kepemilikannya. Benda itu dapat berupa berwujud maupun tidak berwujud, terdaftar maupun tidak terdaftar, bergerak maupun tidak bergerak, dengan syarat bahwa benda tersebut
tidak dapat
dibebani dengan hak tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996
31
tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314 KUHD jo.Pasal 1162 KUHPerdata dan seterusnya (Henny Tanuwidjaya, 2012: 64). Subjek jaminan fidusia adalah mereka yang mengikat diri dalam perjanjian jaminan fidusia yang terdiri atas pihak pemberi fidusia dan penerima fidusia. Menurut ketentuan dalam Pasal 1 angka 5 UU Jaminan Fidusia yang menjadi pemberi fidusia, bisa orang perorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Pengertian tersebut berarti pemberi fidusia tidak harus debitornya sendiri, bisa pihak lain dalam hal ini bertindak sebagai penjamin pihak ketiga, yaitu mereka yang merupakan pemilik objek jaminan fidusia yang menyerahkan benda miliknya untuk dijadikan sebagai jaminan fidusia. Hal yang terpenting adalah pemberi fidusia harus memiliki hak kepemilikan atas benda yang akan menjadi objek jaminan fidusia pada saat pemberian fidusia tersebut dilakukan (Rachmadi Usman, 2011: 185). Pasal 1 angka 6 UU Jaminan Fidusia menyatakan bahwa penerima fidusia bisa orang perorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia. Dalam UU Jaminan Fidusia tidak terdapat pengaturan khusus berkaitan dengan syarat penerima fidusia, berarti perorangan atau korporasi yang bertindak sebagai penerima fidusia ini bisa warga negara Indonesia atau pihak asing, baik yang berkedudukan di dalam maupun di luar negeri sepanjang dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah negara Indonesia (Rachmadi Usman, 2011: 186).
32
c. Pengaturan Jaminan Fidusia Dalam Burgelijk Wetboek (BW) Belanda, pranata jaminan yang diatur adalah gadai untuk barang bergerak dan hipotik untuk barang tidak bergerak. Pada mulanya kedua pranata jaminan dirasakan cukup memenuhi kebutuhan masyarakat pada saat itu dalam bidang perkreditan. Tetapi karena terjadi krisis pertanian yang melanda negara Eropa pada pertengahan sampai akhir abad ke- 19, terjadi penghambatan pada perusahaan-perusahaan pertanian untuk memperoleh kredit. Pada waktu itu tanah sebagai jaminan kredit menjadi agak kurang populer dan kreditor menghendaki jaminan gadai sebagai jaminan tambahan di samping jaminan tanah tadi. Kondisi seperti ini menyulitkan perusahaan-perusahaan
pertanian.
Dengan
menyerahkan
alat-alat
pertaniannya sebagai jaminan gadai dalam pengambilan kredit sama saja dengan bunuh diri, apalah artinya kredit yang diperoleh kalau alat-alat pertanian yang dibutuhkan untuk mengolah tanah sudah berada dalam penguasaan kreditor. Terjadilah perbedaan kepentingan antara kreditor dan debitor yang cukup menyulitkan kedua pihak. Untuk melakukan gadai tanpa penguasaan terbentur pada ketentuan Pasal 1152 ayat (2) BW yang melarangnya. Untuk mengatasi hal tersebut dicarilah terobosan-terobosan dengan mengingat konstruksi hukum yang ada, yaitu jual beli dengan hak membeli kembali dengan sedikit penyimpangan. Bentuk ini digunakan untuk menutupi suatu perjanjian peminjaman dengan jaminan, untuk sementara hal ini dapat mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi pada waktu itu. Tetapi hal itu bukan bentuk jaminan yang sebenarnya, tentu akan timbul keragu-raguan dalam prakteknya (Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2007: 122). Keadaan seperti itu berlangsung terus sampai dikeluarkannya keputusan oleh Hoge Road (HR) Belanda tanggal 29 Januari 1929 yang terkenal dengan nama Bierbrouwerij Arrest. Kasusnya adalah sebagai
33
berikut: NV Heineken Bierbrouwerij Maatschappij meminjamkan uang sejumlah f 6000 dari P. Bos pemilik warung kopi “Sneek”, dengan jaminan berupa hipotik keempat atas tanah dan bangunan yang digunakan Bos sebagai tempat usahanya. Untuk lebih menjamin pelunasan hutangnya, Bos menjual inventaris warungnya kepada Bierbrouwerij dengan hak membeli kembali dengan syarat bahwa inventaris itu untuk sementara dikuasai oleh Bos sebagai peminjam pakai. Pinjam pakai itu yang akan berakhir jika Bos tidak membayar utang pada waktunya atau bilamana Bos jatuh pailit. Ternyata Bos benar-benar jatuh pailit dan hartanya diurus oleh kurator kepailitan (Mr. AW de Haan), termasuk inventaris tadi. Bierbrouwerij kemudian menuntut kepada kurator kepailitan untuk menyerahkan inventaris tadi dengan sitaan revindikasi. Kurator menolak dengan alasan bahwa perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali tersebut adalah tidak sah, karena hanya berpura-pura saja. Dalam gugatan rekonversi kurator kepailitan menuntut pembatalan perjanjian jual beli dengan membeli kembali tersebut. Dalam sidang pengadilan tingkat pertama, pengadilan Rechbank dalam putusannya menolak gugatan Bierbrouwerij dan dalam rekonversi mengabulkan gugatan rekonversi dengan membatalkan perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali tersebut. Alasannya adalah para pihak hanya berpura-pura mengadakan perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali tersebut, yang sesungguhnya terjadi adalah perjanjian pemberian jaminan dalam bentuk gadai. Akan tetapi gadai tersebut adalah tidak sah karena barangnya tetap berada dalam kekuasaan pemberi gadai sehingga bertentangan dengan larangan Pasal 1152 ayat (2) KUHPerdata Pasal 1198 ayat (2). Atas putusan ini Bierbrouwerij
menyatakan
banding
yang
keputusannya
adalah
menyatakan jual beli dengan hak membeli kembali tersebut adalah sah. Dengan demikian Kurator Kepailitan diperintahkan untuk menyerahkan
34
inventaris warung kopi Bos kepada Bierbrouwerij. Atas keputusan ini Kurator Kepailitian menyatakan kasasi dan dalam putusannya Hoge Raad menyatakan bahwa yang dimaksud oleh para pihak adalah perjanjian penyerahan hak milik sebagai jaminan dan merupakan title yang sah. Kurator Kepailitan diperintahkan untuk menyerahkan inventaris Bos kepada Bierbrouwerij. Hal ini telah melahirkan pranata jaminan dengan jaminan penyerahan hak milik secara kepercayaan yang dikenal dengan nama Fidusia (Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2007: 123). Sebagai salah satu jajahan negara Belanda, Indonesia pada abad ke-19 juga merasakan imbasnya, untuk mengatasi masalah itu lahirlah peraturan tentang ikatan panen atau Oogstverband (Staatsblad 1886 Nomor 57). Peraturan ini mengatur mengenai peminjaman uang, yang diberikan dengan jaminan panen yang akan diperoleh dari suatu perkebunan. Dengan adanya peraturan ini maka dimungkinkan untuk mengadakan jaminan atas barang-barang bergerak atau setidak-tidaknya kemudian menjadi barang bergerak, sedangkan barang-barang itu tetap berada dalam kekuasaan debitornya (Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2007: 126). Ada tiga hal yang cukup penting harus diketahui dari pengertian oogstverband. Pertama oogstverband sebagai lembaga jaminan memiliki karakter kebendaan (zakelijke karakter), kedua objek oogstbverband adalah hasil-hasil pertanian yang belum dipetik atau sudah dipetik beserta perusahaan serta peralatan yang dipakai untuk mengolah hasil pertanian; ketiga hakikat oogstverband. Lembaga fidusia di Indonesia untuk pertama kalinya mendapatkan pengakuan dalam keputusan Arrest Hoggerechtshof tanggal 18 Agustus 1932, dalam perkara antara Bataafsche Petroleum Maatschappij melawan Clignet, dalam mana dikatakan bahwa title XX Buku II Kitab
35
Undang-Undang Hukum Perdata memang mengatur tentang gadai, akan tetapi tidak menghalang-halangi para pihak untuk mengadakan perjanjian yang lain daripada perjanjian gadai, bilamana perjanjian gadai tidak cocok untuk mengatur hubungan hukum antara mereka. Perjanjian fidusia dianggap bersifat memberikan jaminan dan tidak dimaksudkan sebagai jaminan gadai (J. Satrio, 2007: 178). Kasusnya adalah sebagai berikut: Pedro Clignett meminjam uang dari Bataatsche Petroeum Maatschappij (BPM) dengan jaminan hak milik atas sebuah mobil secara kepercayaan. Clignett tetap menguasai mobil itu atas dasar perjanjian pinjam pakai yang akan berakhir jika Clignett lalai membayar utangnya dan mobil tersebut akan diambil oleh BPM. Ketika Clignett benar-benar tidak melunasi utangnya pada waktu yang ditentukan, BPM menuntut penyerahan mobil dari Clignett namun ditolaknya dengan alasan bahwa perjanjian yang dibuat itu tidak sah. Menurut Clignett jaminan yang ada adalah gadai, tetapi karena barang gadai dibiarkan tetap berada dalam kekuasaan debitor maka gadai tersebut tidak sah sesuai dengan Pasal 1152 ayat (2) KUHPerdata. Dalam putusannya HGH menolak alasan Clignett karena menurut HGH jaminan yang dibuat antara BPM dan Clignett bukan gadai, melainkan penyerahan hak milik secara kepercayaan atau fidusia yang telah diakui oleh Hoge Raad dalam Bierbrouwerij Arrest. Clignett diwajibkan untuk menyerahkan jaminan itu kepada BPM (Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2007: 126). Perkembangan yurisprudensi dan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum berlakunya fidusia yaitu Arrest Hoge Raad tertanggal 25 Januari 1929 tentang Bierbrouwerij Arrest selanjutnya Arrest Hoggerechtshof tanggal 18 Agustus 1932 tentang BPM-Clynet Arrest dan barulah muncul Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
36
tentang Jaminan Fidusia. Dari yurisprudensi-yurisprudensi tersebut dapat diketahui yang melatarbelakangi dan menjadi penyebab timbulnya lembaga fidusia ini, yaitu (Rachmadi Usman, 2011: 281) : 1) Mengatasi masalah yuridis ketentuan gadai yang mensyaratkan adanya penguasaan kebendaan gadai oleh kreditor pemegang gadai. 2) Memenuhi kebutuhan masyarakat akan lembaga hak jaminan baru. 3) Menampung kebendaan bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak gadai atau kebendaan tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan atau hipotik. 4) Menciptakan
bentuk
lembaga
hak
jaminan
yang
proses
pembebanannya lebih sederhana, mudah dan cepat. 5) Memungkinkan pembebanan benda-benda dalam persediaan, benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kendaraan motor. 6) Sudah dikenal masyarakat secara meluas.
Dikeluarkannya UU Jaminan Fidusia merupakan pengakuan resmi dari pembuat undang-undang akan lembaga jaminan fidusia, yang selama itu baru memperoleh pengakuannya melalui yurisprudensi. UU Jaminan Fidusia bertujuan untuk memberikan suatu pengaturan yang lengkap dan memberikan perlindungan hukum yang lebih baik bagi para pihak yang berkepentingan. Dalam penjelasan UU Jaminan Fidusia pada bagian umum dikatakan, bahwa UU Jaminan Fidusia selain menampung kebutuhan praktek yang selama ini ada, juga memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Rachmadi Usman, 2011: 179). Sejalan dengan prinsip memberikan kepastian hukum, maka UU Jaminan Fidusia mengambil prinsip pendaftaran jaminan fidusia. Pendaftaran tersebut diharapkan memberikan kepastian hukum kepada pemberi dan penerima fidusia maupun kepada pihak ketiga. Pemberian
37
sifat hak kebendaan kepada hak kreditor penerima fidusia dapat dikeluarkan grosse sertifikat jaminan fidusia, diberikannya hak eksekusi dan diberikan status sebagai kreditor separatis menunjukkan maksud untuk memberikan kedudukan yang kuat kepada kreditor. Beberapa asas yang dianut dalam UU Jaminan Fidusia adalah (Rachmadi Usman, 2011: 179) : 1) Asas kepastian hukum. 2) Asas pendaftaran. 3) Asas perlindungan yang seimbang. 4) Asas menampung kebutuhan praktek. 5) Asas tertulis otentik. 6) Asas pemberian kedudukan yang kuat kepada kreditor.
d. Pembaruan Pendaftaran Jaminan Fidusia Pelaksanaan pendaftaran jaminan fidusia mulai meningkat ketika pada Oktober 2012 Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia. Peraturan Menteri tersebut intinya mewajibkan semua Lembaga Pembiayaan Non Bank dalam pembiayaan kendaraan bermotor untuk mendaftarkan jaminan Fidusia yang telah dipungut biayanya ke KPF paling lama 30 hari sejak perjanjian dengan konsekuensi larangan untuk melakukan eksekusi dalam hal kegagalan bayar dan pencabutan izin operasi lembaga keuangan tersebut. Kebijakan ini telah berbuntut kepada lonjakan jumlah pendaftaran Fidusia sampai tiga kali lipat pada kantor-kantor pendaftaran Fidusia. Terjadi tunggakan pendaftaran Fidusia luar biasa pada kantor-kantor pendaftaran Fidusia sepanjang kuartal akhir tahun 2012. Perusahaan
38
pembiayaan yang selama ini mengabaikan kewajiban pendaftaran dipaksa untuk melakukan pendaftaran. Situasi ini berlangsung sampai Februari 2013, ketika Kementerian Hukum dan HAM akhirnya meluncurkan pendaftaran fidusia secara online sebagai pengganti sistem manual. Melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 8 Tahun 2013 tentang Pendelegasian Penandatanganan Sertifikat Jaminan Fidusia Secara Elektronik, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik, pendaftaran Fidusia telah sepenuhnya dilakukan secara online, dan menutup lembaran pendaftaran Fidusia manual ke dalam khazanah sejarah. Pasca fidusia online, waktu yang diperlukan untuk melakukan pendaftaran Fidusia dipotong menjadi hanya tujuh menit. Kementerian Hukum dan HAM terus melakukan penyempurnaan. Kuartal pertama 2015 pemerintah telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia yang merubah PP 86 Tahun 2000. Pemerintah juga telah mengatur kembali Tarif PNBP Fidusia melalui Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2015 yang
antara
lain
menghapuskan
PNBP
bagi
pencabutan
pendaftaran, yang diharapkan mendorong kepatuhan pemberi Fidusia untuk
melakukan
pencabutan
(http://www.hukumonline.com
/pembaruan-pendaftaran-jaminan-fidusia-dan-implikasinya-bagi-aksesterhadap-pembiayaan-indonesia-broleh--aria-suyudi--sh--llm, diakses 28 November 2015 pukul 21.33 WIB).
39
B. Kerangka Pemikiran
Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Permenkumham No. 8 Tahun 2013 Permenkumham No. 9 Tahun 2013 Permenkumham No. 10 Tahun 2013 PP No. 21 Tahun 2015
Pendaftaran jaminan fidusia dilaksanakan secara elektronik (online)
Efektif dan hemat waktu
Tidak memenuhi asas Publisitas, informasi database tentang rincian obyek-obyek yang telah didaftarkan dalam jaminan fidusia tersebut tidak dapat diakses melalui sistem online ini
Rawan fidusia ulang dan rawan terjadi sengketa hukum
Keterangan : Kementerian Hukum dan HAM meluncurkan pendaftaran fidusia secara online sebagai pengganti sistem manual karena lonjakan jumlah pendaftaran fidusia sampai tiga kali lipat pada kantor-kantor pendaftaran fidusia dan terjadi tunggakan pendaftaran fidusia luar biasa pada kantor-
40
kantor pendaftaran fidusia. Pelaksanaan pendaftaran jaminan fidusia mulai meningkat
ketika
Menteri
Keuangan
mewajibkan
semua
Lembaga
Pembiayaan Non Bank dalam pembiayaan kendaraan bermotor untuk mendaftarkan jaminan Fidusia yang telah dipungut biayanya ke KPF paling lama 30 hari sejak perjanjian. Melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 8 Tahun 2013 tentang Pendelegasian Penandatanganan Sertifikat Jaminan Fidusia Secara Elektronik, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik, pendaftaran Fidusia telah sepenuhnya dilakukan secara online, dan menutup lembaran pendaftaran Fidusia manual ke dalam khazanah sejarah. Pasca Fidusia Online, waktu yang diperlukan untuk melakukan pendaftaran Fidusia dipotong menjadi hanya tujuh menit. Kementerian Hukum dan HAM terus melakukan penyempurnaan. Kuartal pertama 2015 pemerintah telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Pelaksanaan pendaftaran fidusia secara elektronik ini hanya menekankan pada efektifitas waktu semata tanpa memerhatikan aspek-aspek lain yang tidak kalah penting. Pendaftaran fidusia secara elektronik justru menimbulkan masalah hukum yang berkaitan dengan asas publisitas dan kepastian hukum di dalamnya. Informasi database tentang rincian obyek jaminan fidusia tersebut tidak dapat diakses melalui sistem online ini, keterangan yang ada hanya tertulis “sesuai akta notaris”, dan hanya notaris yang bersangkutan yang dapat mengetahui rincian objek jaminan fidusia tersebut. Hal ini dapat mengakibatkan fidusia ulang dan sengketa hukum sangat rawan terjadi.