BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. Kerangka Teori a. Tinjauan Tentang Norma dan Asas Hukum Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun lingkungannya (Maria Farida, 2007: 18). Istilah norma berasal dari bahasa latin yaitu nomos yang berarti nilai, yang dalam bahasa arab disebut kaidah atau qo’idah yang berarti nilai pengukur (Jimly Asshidiqqie, 2010: 1). Dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai pedoman (Maria Farida, 2007: 18). Jimly (2010:
1)
berpendapat
norma
atau
kaidah
merupakan
pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk tata aturan yang berisi kebolehan, anjuran, atau perintah. Baik anjuran maupun perintah dapat berisi kaidah yang bersifat positif dan negatif sehingga mencakup norma anjuran untuk mengerjakan atau anjuran untuk tidak mengerjakan sesuatu, dan norma perintah untuk melakukan atau perintah untuk tidak melakukan sesuatu. Lebih lanjut Sudikno Mertokusumo (2003: 15) berpendapat, kaidah hukum merupakan ketentuan atau pedoman tentang apa yang seharusnya dilakukan. Jika pengertian norma atau kaidah sebagai pelembagaan nilai itu dirinci, kaidah atau norma yang dimaksud dapat berisi (Jimly Asshidiqqie, 2010: 1-2): (1) Kebolehan atau yang dalam bahasa Arab disebut ibahah, \\mubah; (2) Anjuran positif untuk mengerjakan sesuatu atau dalam bahasa Arab disebut sunnah; (3) Anjuran negatif untuk tidak mengerjakan sesuatu atau dalam bahasa Arab disebut makruh; (4) Perintah positif untuk melakukan sesuatu atau kewajiban; (5) Perintah negatif untuk tidak melakukan sesuatu atau yang dalam bahasa Arab disebut haram. Dalam sistem ajaran Islam, kelima kaidah tersebut sama-sama disebut sebagai kaidah agama. Akan tetapi, jika diklarifikasikan, ketiga sistem norma,
13
14
yaitu sistem norma agama (dalam arti sempit), sistem norma hukum, dan sistem norma etika (kesusilaan) dapat dibedakan satu sama lain. Norma etika atau norma kesusilaan dapat dikatakan hanya menyangkut kaidah mubah, sunah, dan makruh saja, sedangkan norma hukum berkaitan dengan kaidah mubah, kewajiban atau suruhan, dan larangan (Jimly Asshidiqqie, 2010: 2). Kaidah kesusilaan yang dipahami sebagai etika dalam arti sempit hanya dapat dimengerti sebagai kaidah yang timbul dalam kehidupan pribadi. Disamping itu, ada pula kaidah kesusilaan yang dimaksudkan untuk menghasilkan kebahagian dalam kehidupan bersama yang biasanya disebut sebagai kaidah sopan santun atau adat istiadat (Jimly Asshidiqqie, 2010: 2-3). Jika ketiga macam kaidah tersebut dibandingkan satu sama lain, dapat dikatakan bahwa kaidah agama dalam arti vertikal dan sempit bertujuan untuk kesucian hidup pribadi, kaidah kesusilaan (pribadi) bertujuan agar terbentuk kebaikan akhlak pribadi, dan kaidah kesusilaan antarpribadi atau kaidah kesopanan bertujuan untuk mencapai kesedapan hidup bersama antarpribadi. Ketiga kaidah tersebut mempunyai daya ikat yang berasal dari kesadaran pribadi dari dalam diri setiap pendukung kaidah itu sendiri. Berlainan dengan itu, daya laku kaidah hukum justru dipaksakan dari luar diri manusia (Jimly Asshidiqqie, 2010: 3). Fungsi kaidah hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia atau kelompok manusia. Sedangkan tujuan kaidah hukum adalah untuk ketertiban masyarakat. kaidah hukum bertugas mengusahakan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat dan kepastian hukum agar tujuannya tercapai. Dalam arti sempit kaidah hukum adalah nilai yang terdapat dalam peraturan konkrit. Kaidah hukum dalam arti sempit ini pada umumnya berubah mengikuti perkembangan peraturaan yang konkrit (Sudikno Mertokusumo, 2007: 11-12). Lebih lanjut Jimly (2010: 3) berpendapat kaidah atau norma hukum bertujuan kepada cita kedamaian hidup antarpribadi. Keadaan damai yang
15
menjadi tujuan akhir norma hukum terletak pada keseimbangan antara dimensi lahiriah dan batiniah yang menghasilkan keseimbangan antara ketertiban dan ketentraman, antara keamanan dan ketenangan. Suatu norma hukum itu bersifat heteronom, dalam arti bahwa norma hukum itu datangnya dari luar diri kita sendiri (Tim Pengajar Ilmu PerundangUndangan UI, 2000: 19). Tetapi berlakunya norma hukum bersifat menyeluruh bagi semua orang (Waluyadi, 2001: 71-72). Keistimewaan norma hukum terletak pada sifatnya yang memaksa, dengan sanksinya yang berupa ancaman hukuman. Alat kekuasaan negara berdaya upaya agar peraturan-peraturan hukum itu ditaati dan dilaksanakan. Paksaan tidak berarti sewenang-wenang melainkan harus bersifat sebagai alat yang dapat memberi suatu tekanan agar norma hukum dihormati dan ditaati (Kansil, 2002: 58). Kelsen dalam Muhtadi (2012: 295) menyebutkan meskipun norma tidak lahir secara alamiah, tetapi ia merupakan kemauan dan akal manusia yang melahirkan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar. Norma hukum dapat dibentuk secara tertulis maupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang membentuknya, sedangkan norma-norma moral, adat, agama dan lainnya, terjadi secara tidak tertulis tetapi tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Kebiasaankebiasaan yang terjadi, mengenai sesuatu yang baik dan buruk, yang berulangkali terjadi, akan selalu sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat tersebut, berbeda dengan norma-norma hukum negara yang kadang-kadang tidak selalu sesuai dengan rasa keadilan atau pendapat masyarakat (Maria Farida, 2007: 19). Paul Scholten dalam Bruggink (1996: 119-120) mendefinisikan asas hukum sebagai pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan dibelakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam peraturan perundangundangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan-
16
ketentuan dan keputusan-keputusan individu dapat dipandang sebagai penjabarannya. Lebih
lanjut
Paul
Scholten
dalam
Attamimi
(1990:
302)
mengemukakan, sebuah asas hukum bukanlah sebuah aturan hukum. Untuk dapat dikatakan sebagai aturan hukum sebuah asas hukum adalah terlalu umum. Penerapan asas hukum secara langsung melalui pengelompokkan sebagai aturan tidaklah mungkin, karena untuk itu terlebih dulu perlu dibentuk isi yang lebih konkret. Dengan kata lain, asas hukum bukanlah hukum, namun hukum tidak akan dapat dimengerti tanpa asas-asas tersebut. Asas dalam hukum mendasarkan eksistensinya pada rumusan oleh pembentukan undang-undang serta mempunyai pengaruh yang normatif dan mengikat para pihak (Sudikno Mertokusumo, 2003: 36). Satjipto Rahardjo (1991: 45) menyatakan bahwa asas hukum merupakan jantungnya peraturan hukum, karena. Pertama, asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Kedua, asas hukum merupakan alasan bagi lahirnya peraturan hukum. Asas hukum tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan peraturan hukum. Melainkan akan tetap saja ada dan melahirkan peraturan-peraturan selanjutnya. Asas hukum sebagai suatu sarana yang membuat hukum hidup, tumbuh dan berkembang, dengan adanya asas hukum, menyebabkan hukum tidak sekadar kumpulan peraturan, karena asas itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan etis. Nieuwenhuis dalam Sudikno Mertokusumo (2007: 6) menjelaskan bahwa asas hukum memiliki dua landasan. Pertama, asas hukum itu berakar dalam kenyataan masyarakat, dan kedua, pada nilai-nilai yang dipilih sebagai pedoman oleh kehidupan bersama. Asas hukum bukan merupakan aturan yang bersifat konkret sebagaimana norma hukum, yang menjadi isi dari setiap undang-undang. Akan tetapi, asas hukum yang memberikan pedoman dalam merumuskan norma hukum yang konkret dalam pembuatan undang-undang (Yuliandri, 2010: 22). Pada umumnya asas hukum itu berubah mengikuti
17
kaidah
hukum,
sedangkan
kaidah
hukum
akan
berubah
mengikuti
perkembangan masyarakat, jadi terpengaruh waktu dan tempat (Sudikno Mertokusumo, 2003: 35). Fungsi asas hukum menurut Kladerman dalam Sudikno Mertokusumo (2007: 6) bersifat mengesahkan dan mempunyai pengaruh yang normatif dan mengikat para pihak. Bersifat mengesahkan karena mendasarkan eksistensinya pada rumusan oleh pembentuk undang-undang dan hakim. Akan tetapi disamping itu fungsi asas hukum adalah melengkapi sistem hukum. b. Tinjauan Tentang Hierarki Norma Hukum Salah satu teori Hans Kelsen yang mendapat perhatian adalah hierarki norma dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (Stufentheorie) (Jimly Asshidiqqie, 2012: 154). Bagi Kelsen, norma hukum merupakan suatu susunan berjenjang yang mana setiap norma hukum yang lebih rendah memperoleh kekuatan hukum dari norma hukum yang lebih tinggi tingkatannya (Janpatar Simamora, 2013: 222). Menurut Hans Kelsen, hierarki norma hukum terdiri atas: (1) Norma dasar, (2) Norma umum, dan norma konkret. Norma dasar terdapat dalam konstitusi, norma umum terdapat dalam undang-undang, sedangkan norma konkret terdapat dalam putusan pengadilan dan keputusan-keputusan pejabat administrasi negara (Jimly Asshidiqqie, 2010: 26). Kelsen menyatakan kesatuan norma disusun oleh fakta bahwa pembuatan norma, yang lebih rendah, ditentukan oleh norma lain, yang lebih tinggi. Lebih lanjut ia menjelaskan pembuatan yang ditentukan oleh norma lebih tinggi menjadi alasan utama validitas keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan (Jimly Asshidiqqie, 2012: 100). Hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain dengan norma yang lain dapat digambarkan sebagai hubungan antara “superordinasi” dan “subordinasi” yang merupakan kiasan keruangan, ini yang kemudian menyebabkan suatu hierarki norma terbentuk (Hans Kelsen, 1971: 179).
18
Teori hierarki norma hukum dari Hans Kelsen diilhami dari pendapat Adof Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum selalu mempunyai dua wajah, yang artinya suatu norma hukum itu ke atas bersumber dan berdasar pada norma yang diatasnya. Tetapi ke bawah ia juga menjadi sumber dan dasar bagi norma hukum dibawahnya, sehingga suatu norma hukum mempunyai masa berlaku (Rechtskracht) yang relatif, oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum tergantung pada norma hukum yang berada diatasnya (Maria Farida, 2007: 41-42). Keberlakuan suatu norma hukum akan berakhir atau norma hukum menjadi tidak berlaku apabila norma hukum yang menjadi sumber atau dasar keberlakuan norma hukum tersebut dihapus ataupun diganti dengan norma hukum baru (Muhtadi, 2012: 294). Lebih lanjut Kelsen berpendapat suatu norma yang validitasnya tidak dapat diturunkan dari suatu norma yang lebih tinggi disebut sebagai norma dasar (basic norm). Norma dasar ini membentuk, sebagai sumber bersama, suatu ikatan antara semua norma-norma yang berbeda yang menjadi isi dari aturan (Jimly Asshidiqqie, 2012: 86).
Gambar 1. Hierarki norma menurut Hans Kelsen G
Grundnorm
Norm Norm Norm Norm Sumber: Maria Farida, 2007: 68
Teori Stufenbau menunjukkan kaedah hukum memiliki keterikatan yang sangat erat dengan seluruh peraturan tingkat bawahnya. Jenjang hierarkis
19
yang dijelaskan dalam teori Hans Kelsen menjadi pengikat dan mengharuskan seluruh norma hukum mulai dari tingkatan yang lebih tinggi sampai ketingkatan yang lebih rendah berada dalam satu susunan yang berjenjang hierarkis (Janpatar Simamora, 2013: 222). Teori ini juga memberikan amanat bahwa dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada aturan yang lebih tinggi, yang mana puncak dari piramida teori ini berakhir pada norma dasar (Groundnorm). Norma dasar berperan sebagai sumber utama dalam pembentukan norma hukum serta peraturan-peraturan lain sampai ketingkat bawahnya. Jadi jenjang hierarkis dimaksud bukan hanya sebatas pada susunan belaka, namun juga terkait dengan seluruh subtansi yang hendak diatur dalam setiap jenjang peraturan harus mengacu pada ketentuan yang lebih tinggi. (Janpatar Simamora, 2013: 222). Gagasan Hans Kelsen melalui teori Stufenbau ternyata sedikit banyak sudah memberikan makna yang cukup dalam terkait dengan tertib hukum diberbagai negara. Sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen bahwa tatanan hukum itu merupakan sistem norma yang hierarkis atau bertingkat. Hans Kelsen lebih lanjut menjelaskan bahwa diatas konstitusi sebagai hukum dasar, terdapat dasar kaedah hipotesis yang lebih tinggi yang bukan merupakan kaedah positif yang dikenal dengan istilah Groundnorm dari hierarkis tata hukum, maka kaedah-kaedah hukum dari tingkatan yang lebih rendah memperoleh kekuatan dari kaedah hukum yang lebih tinggi tingkatannya. Dari uraian ini, cukup jelas bagaimana urgensinya hierarki peraturan perundangundangan dalam suatu negara (Janpatar Simamora, 2013: 222). Gagasan Kelsen ini pada hakikatnya merupakan usaha untuk membuat kerangka suatu bangunan hukum yang dapat dipakai dimanapun (Khudzaifah Dimyati, 2010: 69). Teori hierarki norma kemudian disempurnakan oleh Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen menjadi empat kelompok besar, yaitu
20
(Sirajuddin, 2008: 30) : (1) Staat-fundamentalnorm (Norma Fundamental Negara). (2) Staat-grundgesetz (Aturan dasar/pokok negara). (3) Formell gesetz (Undang-undang formal). (4) Verordnung & autonome satzung (Aturan pelaksana dan aturan otonom). Hans Nawiasky berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dimana kelompok norma hukum tersebut hampir selalu ada dalam tata susunan norma hukum setiap negara walaupun mempunyai istilah yang berbeda-beda ataupun adanya jumlah norma hukum yang berbeda dalam setiap kelompoknya (Maria Farida, 2007: 44-45). Gambar 2. Hierarki norma menurut Hans Nawiasky G
Staatfundamentalnorm
Staatgrundgesetz
Formell gesetz
Verordnung & autonome satzung Sumber: Maria Farida, 2007: 68
Alasan Nawiasky memberikan nama Staats-fundamentalnorm bagi norma tertinggi dalam kesatuan tata hukum dalam negara dengan alasan, grundnorm sebagaimana dikemukakan Kelsen, yang merupakan norma tertinggi pada setiap sistem norma dalam masyarakat yang teratur, termasuk didalamnya negara, pada dasarnya tidak berubah-ubah. Tetapi Nawiasky melihat, bahwa norma tertinggi dalam negara mempunyai kemungkinan berubah (Attamimi, 1991: 74-75). Bagi Nawiasky, Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi konstitusi atau undang-undang dasar
21
(Staatsverfassung) dari suatu negara. Lebih jelasnya posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Dengan tegas Nawiasky berpendapat Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara (Sirajuddin, 2008: 30). Lapisan tertinggi yang menjadi sumber dan dasar dalam sistem hierarki norma hukum baik pandangan Kelsen atau Nawiasky berakhir pada norma yang tidak dibentuk oleh norma hukum yang lebih tinggi lagi, tetapi bersumber pada cita hukum yang bersifat pre-supposed, yang telah ditetapkan sebelumnya oleh masyarakat dalam suatu negara, untuk kemudian menjadikannya sebagai tempat bergantungnya setiap norma hukum yang akan dibentuk. Perbedaan keduanya terletak pada pola pemilahan dan pengelompokan norma hukum yang secara tegas dilakukan oleh Nawiasky, tetapi Kelsen sebaliknya, lebih mengkaji dalam karakter norma secara umum (general) yang berlaku pada semua jenjang (Muhtadi, 2012: 294-295). c. Tinjauan Tentang Pancasila sebagai Norma Fundamental Negara Sejak lahirnya negara Republik Indonesia dengan Proklamasi kemerdekaannya, serta ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi, terbentuklah pula sistem norma hukum Indonesia. Dengan menggunakan teori dari Hans Kelsen dan Hans Nawiasky, dalam sistem norma hukum Indonesia, maka norma-norma hukum yang berlaku berada dalam suatu sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, sekaligus berkelompokkelompok, dimana suatu norma itu selalu berlaku, bersumber dan berdasarkan pada norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tingggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar negara (Staatsfundamentalnorm) Indonesia yaitu Pancasila (Maria Farida, 2007: 57). Penempatan Pancasila sebagai staatsfundamental-norm pertama kali disampaikan oleh Notonagoro. Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee)
merupakan
bintang
pemandu,
posisi
ini
mengharuskan
22
pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila (Jimly Asshiddiqie, 2008: 15). Notonagoro menegaskan, norma hukum yang pokok dan disebut norma fundamental negara, dalam hukum mempunyai hakekat dan kedudukan yang tetap, kuat dan tidak berubah bagi negara yang dibentuk dengan kata lain, dengan jalan hukum tidak dapat diubah (Notonagoro, 1967: 25). Attamimi berpendapat, pernyataan Notonagoro mengenai kedudukan Pancasila sebagai norma fundamental negara adalah sesuai dengan pendapat Hans Nawiasky, namun menurut Attamimi, Notonagoro tidak pernah menyebutkan sumber kutipan dari Hans Nawiasky (Satya Arinanto, 1997: 47). Attamimi menunjukan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut struktur tata hukum Indonesia adalah: (1) Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945). (2) Staatsgrundgesetz: Batang tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan Konvensi
Ketatanegaraan.
(3)
Formell
gesetz:
Undang-Undang.
(4)
Verordnung en Autonome satzung: secara hierarkis mulai dari peraturan pemerintah hingga keputusan bupati atau walikota. Tata urutan yang digunakan Attamimi
berdasarkan
ketetapan MPRS
No. XX/MPRS/1966
(Jimly
Asshidiqqie, 2012: 155). Pembahasan mengenai kedudukan Pancasila ini menurut Satya Arinanto (1997: 47-48), berkaitan dengan: (1) Hakekat Pancasila terhadap seluruh
sistem
pembentukan
norma-norma
hukum
dalam
kehidupan
kenegaraan Negara Republik Indonesia. (2) Fungsi Pancasila dalam kehidupan rakyat Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di dalam lingkup Negara Republik Indonesia. (3) Permasalahan apakah Pancasila merupakan cita ataukah juga merupakan norma. Pancasila sebagai norma fundamental negara menurut pengertian ilmiah mengandung beberapa unsur mutlak, yaitu pertama dalam hal terjadinya, ditentukan oleh pembentuk negara dan terjelma dalam suatu bentuk pernyataan
23
lahir sebagai penjelmaan kehendak pembentukan negara untuk menjadikan halhal tertentu sebagai dasar-dasar negara yang dibentuk. Kedua dalam hal isinya, memuat dasar-dasar negara yang dibentuk, atas dasar cita-cita kerohanian apa (asas kerohanian negara), atas dasar cita-cita negara apa (asas politik negara), dan untuk cita-cita negara apa (tujuan negara) negaranya dibentuk dan diselenggarakan serta pula memuat ketentuan diadakannya undang-undang dasar negara (Notonagoro: 1967: 25).
Gambar 3. Hierarki norma Indonesia menurut Attamimi Nawiasky G
Pancasila, Pembukaan UUD
Batang Tubuh UUD, TAP MPR, Konvensi Undang-Undang Dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Walikota atau Bupati Sumber: Maria Farida, 2007: 68
Menurut Rudolf Stammler (1856-1939), cita hukum ialah konstruksi pikir yang merupakan keharusan bagi pengarahan hukum kepada cita-cita yang diinginkan masyarakat, dengan cita hukum kita dapat menguji hukum positif yang berlaku dan dengan cita hukum kita dapat mengarahkan hukum positif kepada cita hukum. Lebih lanjut Gustav Radbruch (1878-1949) berpendapat, cita hukum tidak hanya berfungsi sebagai tolak ukur yang bersifat regulatif melainkan juga sekaligus berfungsi sebagai dasar yang bersifat konstitutif,
24
yaitu yang menentukan bahwa tanpa cita hukum, hukum akan kehilangan maknanya sebagai hukum (Attamimi, 1991: 68). Dengan pemahaman dari Rudolf dan Gustav, kemudian Attamimi (1991: 69-70) menarik sebuah kesimpulan karena Pancasila adalah cita hukum, maka nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila mempunyai fungsi konstitutif yang menentukan apakah tata hukum Indonesia merupakan tata hukum yang benar, dan disamping itu mempunyai fungsi regulatif yang menentukan apakah hukum positif yang berlaku di Indonesia meupakan hukum yang adil atau tidak. Dengan demikian Pancasila merupakan norma dasar (Grundnorm) yang menurut Nawiasky, bagi sesuatu negara sebaiknya disebut norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm), yang menciptakan semua norma-norma yang lebih rendah dalam sistem norma hukum tersebut, serta menentukan berlaku atau tidaknya norma-norma yang dimaksud. Pancasila dalam arti sebagai cita hukum sekaligus merupakan sumber dari segala sumber hukum, sumber tertib hukum, atau sumber dari sistem hukum Indonesia. Adapun Pancasila yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 merupakan norma dasar negara (Staatsfundamnetalnorm). Pancasila sebagai cita hukum berada diluar sistem norma hukum, tetapi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan sistem hukum Indonesia. Pancasila yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 berada dalam sistem norma hukum dan dengan sendirinya juga merupakan bagian dari sistem hukum Indonesia (Darji Darmodiharjo, 2010 82) Dalam kaitannya dengan pembangunan hukum, Pancasila dapat disebut sebagai bingkai dari sistem hukum Pancasila, sebuah sistem yang khas Indonesia dan berbeda dari sistem hukum yang lain (Moh Mahfud, 2010: 7). Kaelan (1996: 69) menuturkan segala pelaksanaan dan perwujudan tertib hukum Indonesia, termasuk hukum dasar Indonesia baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis harus bersumber pada pokok kaidah negara yang fundamental yang berintikan Pancasila. Senada dengan Kaelan, Mahfud (2010:
25
54-55) berpendapat sebagai Staatsfundamentalnorm, Pancasila menciptakan konstitusi menentukan isi dan bentuk berbagai peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang seluruhnya tersusun secara hierarkis. Lebih lanjut Dani Pinasang (2012: 8) berpendapat bahwa terkandung beberapa bobot materi dalam Pancasila, yaitu: Pertama, muatan Pancasila merupakan bobot filosofis masyarakat Indonesia yang dipostulasikan oleh founding father. Kedua, identitas tata hukum Indonesia. Ketiga, Pancasila tidak menentukan perintah atau larangan serta sanksi melainkan hanya menentukan asas-asas fundamental bagi pembentukan hukum. Mohammad Hatta (1980: 8) berpendapat bahwa Pancasila terdiri dari dua lapis fundamen, yaitu, lapis fundamen politik dan lapis fundamen moral. Dengan meletakkan dasar moral diatas, negara dan pemerintahannya memperoleh dasar yang kokoh, yang memerintahkan berbuat benar, melaksanakan keadilan kebaikan dan kejujuran serta persaudaraan keluar dan kedalam. Dengan politik pemerintahan yang berpegang kepada moral yang tinggi diciptakan tercapainya suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Roeslan Saleh, 1979: 41). Anis Ibrahim (2008) menuturkan, Pancasila sebagai norma fundamental negara sekaligus sebagai cita hukum merupakan sumber dan dasar serta pedoman bagi peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya, ini yang menyebabkan dalam tatanan hukum Indonesia, Pancasila memiliki dua dimensi, yaitu: (1) Sebagai norma kritik, yakni menjadi batu uji bagi normanorma dibawahnya. (2) Sebagai bintang pemandu yang menjadi pedoman dalam pembentukan hukum dibawahnya. Hakikat, esensi atau subtansi dari Pancasila merupakan prinsip-prinsip yang sangat mendasar, yang mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Prinsip-prinsip tersebut juga dapat mencukupi nilai-nilai tentang ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyartan dan keadilan. Nilainilai dasar itu perlu dibantu untuk menjabarkan kedalam norma-norma yang
26
mengandung nilai-nilai dasar Pancasila, antara lain yang ikut berperan adalah norma kesusilaan, sopan santun, dan norma hukum. Norma hukum dapat dikatakan sebagai wujud norma yang paling konkret karena penerapannya dapat dipaksakan melalui kekuasaan publik. Kendati demikian keberadaan norma hukum tidak boleh mengesampingkan norma agama, kesusilaan dan sopan santun. Bahkan norma-norma itu wajib menjadi sumber bagi pembentukan norma hukum (Darji Darmodiharjo, 2010: 23-24) Maka oleh sebab itu setiap hukum yang lahir di Indonesia harus berdasarkan Pancasila dengan memuat konsistensi isi mulai dari yang paling atas sampai yang paling rendah hierarkinya (Moh Mafhud, 2010: 52). Hal ini menyebabkan di Indonesia tidak boleh ada hukum yang tidak mendasarkan diri pada prinsip kekuasaan Tuhan yang menguasai alam semesta, tidak boleh ada hukum yang menyimpang dari hak-hak asasi manusia, tidak boleh ada hukum yang merobek persatuan dan kesatuan bangsa dengan segala sentimen primodialnya, tidak boleh ada hukum yang elitis karena diproduksi oleh sistem politik yang tidak demokratis, serta tidak boleh ada hukum yang bertentangan dengan keadilan sosial (Moh Mahfud, 2010: 55-56). d. Tinjauan Tentang Peraturan Perundang-Undangan Indonesia Jimly (2011: 264) berpendapat dalam arti khusus, pengertian peraturan perundang-undangan
adalah
keseluruhan
susunan
hierarki
peraturan
perundang-undangan yang berbentuk undang-undang ke bawah, yaitu semua produk hukum yang melibatkan peran lembaga perwakilan rakyat besamasama dengan pemerintah ataupun melibatkan peran pemerintah karena kedudukan politiknya dalam rangka melaksanakan produk legislatif yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat bersama-sama dengan pemerintah menurut tingkatannya masing-masing. Peraturan perundang-undangan adalah bagian utama dari hukum tertulis dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Peraturan perundang-undangan juga merupakan salah satu instrumen kebijakan yang
27
sangat penting untuk menyelesaikan dan/atau mengantisipasi masalah yang timbul atau diprediksi akan timbul di dalam kehidupan masyarakat (Pudja Pramana Kusuma Adi, 2011:89) Secara
etimologi
perundang-undangan,
merupakan
terjemahan
Wetgeving, Gesetzbung, yang mengandung dua arti. Pertama, berarti proses pembentukan peraturan-peraturan negara yang sejenis, yang tertinggi sampai yang terendah yang dihasilkan secara atribusi atau delegasi kekuasaan perundang-undangan. Kedua, berarti keseluruhan produk peraturan-peraturan negara tersebut (Siti Masitah, 2013: 110). Peraturan perundang-undangan adalah keputusan tertulis negara atau pemerintah yang berisi petunjuk atau pola tingkah laku yang bersifat dan mengikat secara umum (Bagir Manan, 1994: 24). Menurut Attamimi (1990: 314) peraturan perundang-undangan mengandung tiga unsur yaitu: (1) Norma hukum; (2) Berlaku keluar; (3) Bersifat umum dalam arti luas. Oleh karena itu, pembentukan peraturan perundang-undangan pada hakikatnya ialah pembentukan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan yang bersifat umum dalam arti yang luas. Sedangkan Undang-undang (UU) dapat dipahami sebagai naskah hukum dalam arti yang luas, yang menyangkut materi dan bentuk tertentu (Jimly Asshiddiqie, 2010: 21-22). Lebih lanjut Sirajuddin (2009: 42-43) berpendapat dalam arti formal, pengertian undang-undang menunjukkan pada suatu bentuk peraturan tertentu, yaitu bentuk peraturan yang dibentuk oleh badan pembentuk UU yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menurut tata cara yang telah ditentukan, dituangkan dalam bentuk yang telah ditentukan pula serta diundangkan sebagaimana mestinya. Sedangkan dalam arti material pengertian UU meliputi semua bentuk peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang berwenang dan mempunyai kekuatan mengikat dalam kehidupan masyarakat. Sehingga
28
undang-undang dalam arti formal adalah bagian dari undang-undang dalam arti material, yaitu bagian dari peraturan perundang-undangan (Saifudin, 2009: 24). Bagir Manan (2003: 219) berpendapat bahwa undang-undang adalah aturan tingkah laku yang dibentuk oleh DPR dan disahkan oleh Presiden. Lebih lanjut Abdulkadir (1959: 20) menjelaskan fungsi umum dari undang-undang yaitu, untuk melayani masyarakat dan memenuhi kebutuhan masyarakat, tiap undang-undang itu ada normanya, fungsi yang akan dijalankannya itu yang akan menjadi sebab untuk melahirkan undang-undang dan yang mendorong untuk mengundangkannya. Kemudian Ni’matul (2005: 53) berpendapat, peraturan perundang-undangan berisi norma-norma yang bersifat abstrak dan umum dapat menjadi objek judicial review, selanjutnya peraturan umum tidak boleh melanggar prinsip hierarki norma sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan yang telah ditentukan. Norma hukum yang mengatur susunan dan tertib peraturan perundangundangan Indonesia ditemukan dalam empat produk hukum, dua diatur dengan Ketetapan Majelis Permusyawarahan Rakyat (Sementara) (MPR/S) dan sisanya dengan undang-undang. Bermula dari ditetapkannya memorandum DPRGR mengenai sumber tertib hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Perundangan Republik Indonesia dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1996. Menurut TAP MPR No. V/MPR/1973, yang kemudian disebut ulang dengan TAP MPR No. IX/MPR/1978, bahwa TAP MPRS No. XX/MPRS/1996 masih perlu disempurnakan, hingga akhirnya digantikan dengan TAP MPR No. III/MPR/2000 yang digagas dari gerakan reformasi. (Muhtadi, 2012: 297). Lalu berdasarkan TAP MPR No. I/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap materi dan status hukum ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan 2002. Dimana TAP MPR No.III/MPR/2000 masuk kedalam kategori yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang, dari logika ini lahirlah Undang-undang (UU) No. 10 Tahun 2004. Tetapi dikemudian hari UU No. 10 Tahun 2004 dianggap belum dapat mengikuti
29
perkembangan bahkan
mendapat
sejumlah
kekurangan
yang bersifat
fundamental, karenanya pada 12 Agustus 2011 disahkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. (Muhtadi, 2012: 298-299). Dalam pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011, disebutkan materi muatan undang-undang harus mengandung beberapa asas sebagai berikut, (1) Asas pengayoman. (2) Asas kemanusian. (3) Asas kebangsaan. (4) Asas kekeluargaan. (5) Asas kenusantaraan. (6) Asas bhineka tunggal ika. (7) Asas keadilan. (8) Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. (9) Asas ketertiban dan kepastian hukum. (10) Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
30
2. Kerangka Pemikiran Pembentukan Peraturan PerundangUndangan
Norma Hukum Asas Hukum Hierarki Norma
Pancasila sebagai Norma Fundamental Negara
Implementasi Pancasila sebagai Dasar dalam Pembentukan Peraturan PerundangUndangan dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2011 Keterangan: Norma atau kaidah hukum merupakan pedoman tentang apa yang seharusnya dilakukan, sedangkan asas hukum merupakan pedoman dalam merumuskan norma hukum yang konkret dalam pembuatan undang-undang. Teori hierarki norma menyatakan bahwa suatu norma dengan norma yang lainya membentuk suatu susunan hierarki norma dimana norma yang satu bersifat lebih
31
tinggi dari norma dibawahnya karena ia yang menjadi alasan dibentuknya norma dibawahnya. Hans Kelsen menuturkan bahwa norma yang mendasari suatu norma lainnya dinamakan Groundnorm atau norma dasar. Hans Nawiasky menggunakan bahasa yang berbeda untuk menyebutkan norma dasar dari suatu negara yaitu Staatfundamentalnorm atau norma fundamental negara dikarenakan bagi Hans Nawiasky norma dasar tidak dapat diubah sedangkan norma dasar dalam suatu negara dapat diubah dengan cara revolusi yang menyebabkan suatu negara itu berubah. Pancasila diposisikan sebagai norma fundamental negara dikarenakan fungsinya dalam pembentukan sistem hukum Indonesia, Pancasila menjadi dasar dari segala peraturan yang ada di Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dibuat untuk melengkapi dan menyempurnakan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia, berisi tentang susunan hierarki peraturan perundang-undangan hingga asas-asas yang membentuk suatu peraturan perundang-undangan. Asas materi muatan peraturan perundangundangan dibuat dengan maksud agar segala peraturan perundang-undangan yang dibuat dapat berjalan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam laku hidup bangsa Indonesia.