BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Taksonomi dan Morfologi Markisa Markisa tergolong ke dalam tanaman genus Passiflora, berasal dari daerah tropis dan sub tropis di Amerika. Di Indonesia terdapat dua jenis markisa, yaitu markisa ungu (Passiflora edulis) yang tumbuh di dataran tinggi, dan markisa kuning (Passiflora flavicarva) yang tumbuh di dataran rendah. Beberapa daerah yang menjadi sentra produksi markisa ini antara lain Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Sementara itu, ada pula varian markisa yang tumbuh di daerah Sumatera Utara yang disebut sebagai markisa ungu (Passiflora edulis ). Menurut (Waitlem, 2001)
klasifikasi
botani
markisa
adalah
sebagai
berikut
:
Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Subkelas : Dialypetalae Ordo : Parietales Famili : Passifloraceae Genus : Passiflora Spesies : Passiflora edulis. Tanaman markisa yang berasal dari buah mulai berbuah setelah berumur 9-10 bulan, sedangkan yang berasal dari stek, mulai berubah lebih awal sekitar 7 bulan.Warna buah yang pada mulanya berwarna hijau muda akan berubah menjadi ungu tua atau kuning ketika masak. Perlakuan pasca panen buah markisa yang akan dijual sebagai buah segar atau sari buah berbeda. Untuk itu jika buah tersebut akan dijual sebagai buah segar, sebaiknya buah dipanen pada saat persentase warna ungu mencapai 50-70% dan disisakan tangkainya 3 cm (Pantastico, 1993). Produksi markisa ungu dari pertanaman rakyat bervariasi antara 5 – 10 ton ha per tahun, padahal produksi tersebut dapat ditingkatkan sampai 15 ton per ha per tahun. Dengan menggunakan sambung pucuk antara markisa kuning sebagai batang bawah dan markisa ungu sebagai batang atas, produksi markisa diharapkan akan meningkat
antara
20
–
30
ton
per
ha
per
tahun
(http://keindahanbungaku.blogspot.com/2013/08/teknik-bertanam-buah-markisa.html, diakses tanggal 21 Februari 2014) .
4 UNIVERSITAS MEDAN AREA
2.2. Situasi terkini pertanaman Markisa di Sumatera Utara Produksi markisa ungu maupun markisa kuning masih sangat rendah. Produksi markisa ungu dari pertanaman rakyat bervariasi antara 5-10 ton ha per tahun, padahal produksi tersebut dapat ditingkatkan sampai 15 ton per ha per tahun . Dengan menggunakan sambung pucuk antara markisa kuning sebagai batang bawah dan markisa ungu sebagai batang atas, produksi markisa diharapkan akan meningkat antara
20-30
ton
per
ha
per
tahun
(http:
//
keindahanbungaku.blogspot.com/2013/08/teknik-bertanam-buah-markisa.html, diakses tanggal 21 Februari 2014). Rendahnya produksi buah markisa ini disebabkan oleh terbatasnya daerah yang cocok untuk pengembangan tanaman markisa dan masih sedikitnya petani yang melakukan budidaya, rendahnya jumlah ketersediaan bibit bermutu, tingginya serangan hama terutama lalat buah, serangan layu Fusarium dan belum maksimalnya pengolahan pasca panen. Propagul infektif Fusarium oxysporum f.sp. passiflora umumnya dapat bertahan lama di dalam tanah dan jaringan tanaman terserang tanpa kehilangan virulensinya, sehingga perlu inovasi tehnologi dalam rangka mempercepat pengurangan propagul patogen. Akibat luar biasa dari erupsi Gunung Sinabung adalah matinya ratusan hektar pertanaman markisa rakyat (http://mdn.biz.id/n/78927/ akses tanggal 12 februari 2014).
Total
kerugiaan
petani
mencapai
1
trilyun
rupiah
(http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/01/15/mzfzdb-sinabungmeletus-petani-merugi-rp-1-triliun, akses tanggal 12 februari 2014). Lahan-lahan pertanaman tersebut memerlukan rehabilitasi pasca erupsi Gunung Sinabung. Untuk mempercepat pulihnya produksi markisa maka perlu pembukaan areal baru penanaman markisa terutama pemanfaatan dataran rendah sebagai daerah baru pengembangan markisa kuning yang cocok untuk daerah tersebut.
2.3. Inovasi tehnologi dalam budidaya tanaman markisa Tanaman markisa sangat rentan terhadap nematoda, khususnya yang jenis ungu (edulis), sedangkan yang kuning (flavicarpa) cukup resisten. Serangan 5 UNIVERSITAS MEDAN AREA
nematoda akan mempercepat kematian tanaman. Selain nematoda, beberapa jenis penyakit seperti Fusarium Wilt (Fusarium oxysporum f.sp. passiflora). Phytophthora blight (Phytopthora nicotianae) dan
bercak coklat (Alternaria passiflorae) serta
hama bekicot yang dapat berkembang baik di daerah dingin, juga menyerang tanaman ini. Dalam rangka penyuksesan penanaman markisa kuning yang cocok di tanam di dataran rendah maka perlu penyediaan bibit sehat/bermutu, pemanfaatan limbah pertanian seperti limbah kubis-kubisan sebagai pestisida nabati. Disamping itu perlunya aplikasi fungi mikoriza arbuskular (FMA) pada fase pembibitan, guna meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan nematoda dan Fusarium oxysporum f.sp. passiflora. Hal ini dilakukan dalam rangka mewujudkan budidaya markisa yang ramah lingkungan. Pembatasan penggunaan pupuk sintetis dan pestisida kimia perlu dilakukan guna mewujudkan budidaya markisa dataran rendah sesuai dengan Good Agricultural Practices (GAP) dan Standard Operasional Prosedure (SOP) dengan menerapkan sistem pengendalian terpadu (Integrated Pest Management) yang ramah lingkungan. Dalam penelitian ini akan dilaksanakan metoda peningkatan ketahanan bibit markisa sejak dini yang dianggap yang paling tepat saat ini, karena mudah diadopsi, murah dan efektif. Metoda tersebut menggabungkan penggunaan Aplikasi fungi mikoriza arbuskular (FMA), penggunaan limbah Brassicace dan pengendalian lalat buah secara ramah lingkungan.
2.4. Keberhasilan FMA Sebagai Agen Pengendali Hayati Hubungan simbiosis antara FMA dan akar tanaman memberikan kontribusi nyata terhadap peningkatan ketahanan tanaman terhadap patogen tular tanah dan filoplan (Harrier dan Watson, 2004) disamping mampu meningkatkan absorpsi hara, menstimulasi pertumbuhan (Smith dan Read, 2008), meningkatkan kuantitas dan kualitas buah (Ortas et al., 2001) dan meningkatkan ketahanan terhadap kekurangan air (Ishii dan Kadoya. 1996; Fortuna et al. 1996). Aplikasi Glomus fasciculatum, G. etunicatum dan Acaulospora sp yang diberikan secara tunggal maupun gabungan
6 UNIVERSITAS MEDAN AREA
(multispora) dapat meningkatkan ketahanan tanaman pisang Cavendish (Yefriwati et al. 2004) dan memperlambat masa inkubasi R.solanacearum ras 2 pada anakan pisang Kepok (Syafrianis et al. 2005), meningkatkan ketahanan bibit Barangan terhadap kerusakan nematoda R. similis hingga mencapai 37,15% (Desfitri et al. 2005). Menurut Suharti et al. (2010) Aplikasi FMA indigenus dari rizosfer tanaman jahe dapat meningkatkan ketahanan jahe terhadap Pseudomonas .solanacearum ras 4. Aplikasi Glomus intraradices pada saat semai cabe paprika (Capsicum annum. L) dapat menurunkan 61,39 % insidensi penyakit hawar
yang disebabkan
(Phytophthora capsici. L) (Cimen et al., 2009). Disamping itu aplikasi FMA juga dapat melindungi tanaman dari patogen filoplan. Kolonisasi G.mosseae pada tanaman tomat dapat menurunkan persentase serangan penyakit busuk lunak dengan menurunkan unit pembentuk koloni Erwinia carotovora dan Pseudomonas syringae (Garcia-Garrido and Ocampo (1989a). Aplikasi G.mosseae dapat mencegah infeksi P. syringae pada tanaman kedelai (Shalaby and Hanna (1998)). Li et al.( 1997) juga menemukan G. macrocarpum berhasil menurunkan intensitas serangan P.lacrymans pada tanaman terung dan mentimun. Sharma et al. (1995) melaporkan bahwa Aplikasi tanaman mulberry dengan G. fasciculatum atau G. mosseae yang dikombinasi dengan pupuk P (60–90 kg/ha) pertahun dapat mengurangi insidensi hawar bakteri yang disebabkan P. syringae pv. mori. Aplikasi G.fasciculatum dan pupuk P pada tanaman kedelai yang diaplikasikan pada saat tanam dapat meningkatkan ketahanan kedelai terhadap bakteri yang disebabkan oleh Xanthomonas campestris pv. glycines (Harmet et al. (1999), dan Aplikasi FMA pada tanaman tomat dapat meningkatkan ketahanan terhadap bakteri pustul X. axonopodis pv vesicatoria (Yusman et al. 2003). Aplikasi G.fasciculatum atau G.mosseae pada tanaman mulberry yang dikombinasi dengan pupuk P (60–90 kg/ha) pertahun dapat mengurangi insidensi hawar bakteri yang disebabkan P. syringae pv. mori (Sharma et al. 1995). G.etunicatum yang diAplikasi pada plantlet kentang var.Gold rush dapat menurunkan intensitas serangan Rhizoctonia solani pada bagian daun dan umbi masing-masing 60,2 % dan 71,2 % (Yao et al. 2002).
7 UNIVERSITAS MEDAN AREA
Efek perlindungan FMA pada tanaman terhadap patogen tergantung pada faktor genotip inang (Berta et al. 1990; Schellenbaum et al. 1991; Tisserant et al. 1992), spesies FMA, derajat kolonisasi, fase pertumbuhan tanaman, urutan Aplikasi dan jenis patogen (Singh et al. 2000; Whipps. 2004), ((Lackie et al. 1987; Hetrick et al. 1993; Vierheilig and Ocampo 1990,1991). Umumnya isolat-isolat FMA genus Glomus memiliki efek bioprotektor dan pemacu pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding genus Acaulospora dan Gigaspora. Menurut Pozo et al. (2002) ditemukan bahwa lebih dari 80,00 % efek perlindungan FMA oleh genus Glomus (G.mosseae (25,00 %), G.fasciculatum (23,00 %); 8,00 % masing-masing G.etunicatum dan G.intra adices) dan hanya 14% oleh genus Gigaspora.
2.5. Peningkatan pertumbuhan Tanaman Disamping dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap berbagai patogen, FMA juga dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman dan meningkatkan hasil (Graham. 1986; Bedker et al. 2002; Muas. 2002; Cimen et al., 2009). Akar yang bermikoriza dapat meningkatkan kapasitas pengambilan hara karena lama hidup akar (root longevity) lebih panjang dan derajat percabangan serta diameter akar lebih besar (Abbot & Robson. 1984; Sieverding. 1991). Jumlah akar dan lama hidup akar produktif tanaman pisang menjadi lebih tinggi karena Aplikasi mikoriza akan merubah keseimbangan phytohormon (Drüge and Schönbeck. 1992). Hal tersebut menyebabkan perlambatan proses penuaan akar sehingga fungsi akar sebagai penyerap hara dan air akan bertahan lebih lama (Imas et al. 1989). Akar tanaman yang terkolonisasi FMA akan bertambah luas permukaan absorpsi dengan meningkatnya volume daerah penyerapan karena adanya hifa eksternal sehingga hifa mempunyai kemampuan lebih tinggi menyerap hara dibanding bulu-bulu akar (Abbot et al. 1992). Hasil penelitian Swasono et al. (2006), Aplikasi FMA indigenus bawang merah dari daerah pantai mampu memperbaiki kondisi perakaran tanaman. Panjang akar dan berat akar meningkat 47,83 % dan 47,57 % dibanding kontrol (tanpa FMA). Peningkatan jumlah akar, terutama akar adventif juga ditemukan pada tanaman bawang daun (Allium porrum), Platanus
8 UNIVERSITAS MEDAN AREA
acerifolia dan Vitis vinifera yang dikolonisasi Glomus sp (Berta et al. 1990; Schellenbaum et al. 1991; Tisserant et al. 1992). Perakaran poplar yang dikolonisasi G.mosseae menunjukkan terjadinya perubahan morfologi dan arsitektur (Hocker et al. 1992) dan peningkatan frekuensi akar lateral (Citernesi et al. 1998). FMA akan lebih efektif menyerap unsur-unsur yang ketersediaan dan mobilitasnya rendah di dalam tanah. Selain meningkatkan penyerapan fosfat, FMA juga meningkatkan unsur-unsur nutrisi lain seperti N, K dan Mg yang bersifat mobil (Sieverding. 1991), bahkan terhadap unsur–unsur mikro seperti Cu, Zn, Mn, B dan Mo (Smith and Read. 1997). Aplikasi FMA pada 9 jenis bibit apel dapat meningkatkan konsentrasi fosfor baik pada bagian atas tanaman (shoot) maupun bagian akar (Matsubara et al. 1996). Aplikasi G.mosseae dapat meningkatkan penyerapan P, K, S dan Cu yang lebih tinggi pada varietas Galil 7 (Solis. 2003), Cu, Mn dan Zn pada kultivar “Williams” (Medina. 2003) pada percobaan rumah kaca. Aplikasi G. fasciculatum pada tanaman pisang dapat meningkatkan kandungan nutrisi N, P dan K berturut-turut sebesar 248 %, 226 % dan 332 % lebih tinggi dibandingkan kontrol (Jaizme-Vega dan Azcon. 1995). FMA dapat menggantikan hampir 50 % P, 40 % N dan 25% K pada anakan Leucaena leucephala (De La Cruz. 1988). Menurut Setiadi (2001) bahwa pemakaian FMA sangat cocok untuk merehabilitasi lahan-lahan yang bermasalah (kemasaman tinggi, Al-dd tinggi, Fosfor terjerap, kesuburan rendah), seperti tanah Ultisol, Inceptisol, Oxisol, dan daerah semi arid (curah hujan rendah). Aplikasi FMA pada bawang merah dapat menekan penyakit hawar daun pada bawang merah melalui peningkatan P jaringan tanaman dan meningkatkan bobot kering panen (Suswati et al. 2007). Pertumbuhan dan hasil pisang Abaca yang diberi FMA dan tithonia meningkat 200% di lahan kritis Danau Singkarak ( Eddiwal et al ,2003). Hasil penelitian lapang Aplikasi FMA pada tanaman pisang (plantain, AAB) di Caribia, Aplikasi FMA secara mandiri atau dikombinasikan dengan penambahan pupuk NPK (25 g/tanaman, aplikasi per 3 bulan) dapat meningkatkan hasil. Aplikasi Scutellospora heterogama + pupuk meningkatkan hasil 1196,00 % (17,12 kg/tanaman) dibanding kontrol (1,32 kg/tanaman), G.manihotis + pupuk meningkat
9 UNIVERSITAS MEDAN AREA
produksi 1015,00 % (14,73 kg/tanaman), sementara Aplikasi FMA dan pupuk secara mandiri justru memberikan hasil yang lebih rendah dibanding perlakuan kombinasi. Aplikasi G.manihotis hanya meningkatkan hasil 127,27 % (3,00 kg/tandan), S.heterogama 501,15 % (7,94 kg/tanaman) dan pupuk 599,00 % (9,23 kg/tanaman) (Sharrock and Frison. 1998; FAO. 2001).
2.6. Induksi Ketahanan Tanaman Induksi ketahanan tanaman (imunisasi) merupakan salah satu mekanisme pengendalian hayati yang potensial dikembangkan karena aplikasinya lebih praktis, efisien, ekonomis dan ramah lingkungan (Habazar. 2000). Induksi ketahanan dapat bersifat lokal atau sistemis, hal ini tergantung pada saat aplikasi agens hayati, bila diaplikasi pada benih/bibit umumnya bersifat sistemis, sedangkan bila diaplikasi pada tanaman muda/dewasa bersifat lokal. Oleh karena reaksi tanaman yang diaplikasi dengan agens hayati (induser) pada benih/bibit bersifat sistemis dan mekanisme ini dikenal juga dengan beberapa istilah “induced systemic resistance” (ISR, induksi ketahanan sistemis) (Tuzun and Kuc. 1991) atau “systemic acquired resistance” (SAR, kemampuan ketahanan sistemis) (Marshal and Walters. 1994). Aplikasi agens hayati yang dapat mengimunisasi tanaman untuk pengendalian penyakit melalui perlakuan benih/bibit lebih efektif dan efisien, karena disamping diperlukan dalam jumlah sedikit juga umumnya tanaman dapat tahan terhadap beberapa jenis penyakit seperti virus, bakteri jamur bahkan juga serangga (Tuzun and Kuc. 1991). Metoda imunisasi tanaman pada benih ataupun tanaman di lapangan tidak bersifat genetis atau tidak dapat diturunkan pada generasi berikutnya. (Habazar. 2001). Salah satu agen penginduksi yang dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap patogen adalah fungi mikoriza arbuskular (FMA) (García-Garrido dan Ocampo. 2002). FMA mempunyai pengaruh yang luas terhadap mikroba patogen dan non patogen dalam tanah. Mekanisme proteksi/induksi FMA terhadap patogen melalui berbagai cara: 1). Adanya selaput hifa (mantel) yang berfungsi sebagai penghalang masuknya patogen, 2). Mikoriza menggunakan hampir seluruh kelebihan karbohidrat dan
10 UNIVERSITAS MEDAN AREA
eksudat lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok untuk patogen, 3). Dihasilkannya antibiotik yang dapat mematikan patogen dan 4) akar tanaman yang sudah dikolonisasi FMA tidak dapat diinfeksi oleh patogen lain yang menunjukkan adanya kompetisi, 5) terinduksinya substansi kimia dalam sel kortek inang yang dapat mencegah masuk dan berkembangnya patogen (Linderman., 1988; Imas et al., 1993). Penetrasi
dan kolonisasi FMA menyebabkan permeabilitas membran menjadi
berkurang, pelepasan eksudat akar rendah sekali, kondisi ini menjadi tidak sesuai bagi perkembangan patogen (Smith., 1988).
2.7. Lalat Buah (Bractocera spp) Lalat buah merupakan hama penting yang merugikan dalam budidaya buah dan sayur-sayuran, baik di daerah tropis maupun subtropis (Alyokin et al. 2000; Valladares and Salvo, 2001).. Lalat buah betina meletakkan telur pada kulit buah yang sudah matang atau setengah matang (Endah, 2003). Seekor imago lalat buah betina meletakkan telur antara 1-10 butir di satu buah dan dalam sehari mampu meletakkan telur sampai 40 butir (Kardinan, 1998). Lebih dari seratus jenis tanaman hortikultura diduga menjadi sasaran serangan lalat buah (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2000). Serangan hama tersebut dapat menyebabkan buah menjadi rusak dan busuk karena lalat buah betina meletakkan telur pada buah, kemudian telur menetas menjadi larva dan memakan daging buah, selanjutnya buah akan gugur sebelum waktunya. Di Indonesia pada saat ini telah dilaporkan terdapat 66 spesies lalat buah. Diantaranya species tersebut yang dikenal sangat merusak yaitu Bactrocera spp. (Direktorat Perlindungan Hortikultura, 2002). Faktor iklim sangat berpengaruh terhadap sebaran dan perkembangan hama (Lakitan, 2002). Hingga kini informasi mengenai jenis lalat buah yang menyerang buah markisa masih sangat terbatas. Hasil penelitian Hasyim et al. (2005) melaporkan bahwa serangan lalat buah pada markisa di Alahan Panjang, Solok berasal dari jenis Bactrocera tau dengan kerusakan hasil markisa sekitar 30-40%.
11 UNIVERSITAS MEDAN AREA
Populasi lalat buah tertinggi yang tertangkap pada tanaman hortikultura pada pola penanaman monokultur maupun polikultur ditemukan pada ketinggian perangkap paling efektif 1.5 m dari permukaan tanah
menggunakan model
perangkap McPhail yaitu 52 ekor dan terendah pada model perangkap gipsy moth yaitu 6 ekor/perangkap/hari. (Hasyim et al, 2007).
2.8. Fusarium oxysporum f.sp. passiflora Produksi dan luas lahan penananaman markisa di Sumatera Utara cenderung mengalami penurunan. Luas areal penanaman pada tahun 2003 seluas 748 ha dalam tempo 1 tahun berikutnya menjadi 358 ha pada tahun 2004 (Saragih et al. 2006). Salah satu penghambat dalam meningkatkan produksi Markisa adalah penyakit yang disebabkan Fusarium oxysporum f.sp. passiflora. Gejala yang mencolok dari penyakit layu Fusarium adalah terjadinya penguningan tepi daun tua sampai daun muda. Secara berangsur-angsur tangkai daun layu dan pangkal daun menjadi patah. Ukuran daun yang baru muncul menjadi semakin lebih kecil, tampak berkerut dan rusak. Akhirnya tanaman mati (Hermanto & Setyawati, 2002 dalam Saragih et al. 2006). Pengendalian Fusarium telah banyak dilakukan dengan berbagai cara. Diantaranya dengan menggunakan varietas resisten (Djafaruddin, 2008), sanitasi lahan dari gulma (Dirjen Tanaman Pangan dan Hortikultura, 1994)
12 UNIVERSITAS MEDAN AREA