Bab II Tinjauan Pustaka 2.1 Stres Kerja 2.1.1
Definisi Stres Kerja Gibson dkk (dalam Septianto, 2010), menyatakan bahwa stres kerja adalah suatu tanggapan penyesuaian diperantarai oleh perbedaan- perbedaan individu dan atau proses psikologis yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan dari luar (lingkungan), situasi, atau peristiwa yang menetapkan permintaan psikologis dan atau fisik berlebihan kepada seseorang. Menurut Mangkunegara (2008) stres kerja adalah perasaan tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Stres kerja menurut Kahn, dkk (dalam Cooper, 2003) merupakan suatu proses yang kompleks, bervariasi, dan dinamis dimana stressor, pandangan tentang stres itu sendiri, respon singkat, dampak kesehatan, dan variabel-variabelnya saling berkaitan. Aplan, dkk (dalam Rice, 1992) mengatakan bahwa stres kerja diakibatkan oleh jenis kerja yang mengancam pegawai. Beberapa aspek penting yang perlu disoroti dalam stres kerja, yaitu : 1. Urusan stres yang dialami melibatkan juga pihak organisasi atau perusahaan tempat individu bekerja. Namun penyebabnya tidak hanya di dalam perusahaan, karena masalah rumah tangga yang terbawa ke pekerjaandan masalah pekerjaanyang terbawa ke rumah dapat juga menjadi penyebab stres kerja. 2. Mengakibatkan dampak negatif bagi perusahaan dan juga individu. 3. Memerlukan kerjasama antara kedua belah pihak untuk menyelesaikan persoalan stres tersebut. Adapun pengungkapan berbeda dilontarkan oleh Smith (dalam Fachri, 2010) yang mengungkapkan bahwa konsep stres kerja dapat ditinjau dari beberapa sudut, yaitu: Pertama, stres kerja merupakan hasil dari keadaan tempat kerja. contoh: keadaan tempat yang bising dan ventilasi udara yang kurang baik. Kedua, stres kerja merupakan hasil dari dua faktor organisasi yaitu keterlibatan dalam tugas dan dukungan organisasi. Ketiga, stres terjadi karena faktor “workload” juga faktor kemampuan melakukan tugas.
9
Keempat, akibat dari waktu kerja yang berlebihan. Kelima, faktor tanggung jawab kerja. Dan yang Keenam, tantangan yang muncul dari tugas. Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa stres kerja merupakan kondisi dimana seseorang dihadapkan pada tuntutan pekerjaan yang melebihi kemampuan indvidu tersebut sehingga menimbulkan tekanan fisik maupun psikologis.
2.1.2
Sumber Stres Kerja Dalam stres kerja, Osipow dan Spokane (dalam Mavis, 2011) mengidentifikasi sumber-sumber stres sebagai ambiguitas peran, peran berlebihan, insufisiensi peran, batasan peran, lingkungan fisik dan tanggung jawab. a) Ambiguitas Peran (Role Ambiguity) Menurut Osipow dan Spokane (1984) ambiguitas peran terjadi ketika prioritas, harapan, dan kriteria evaluasi tidak jelas kepada karyawan. Hal ini juga mencakup situasi di mana tidak ada panduan yang jelas, tidak ada standar kinerja dan tidak ada konsekuensi yang jelas. Osipow dan Spokane menunjukkan bahwa ambiguitas peran terjadi karena individu tidak yakin tentang tindakan apa yang harus dilakukan dan keputusan apa yang harus diambil. Ambiguitas peran dapat digambarkan secara umum sebagai hasil dari individu mengenai informasi yang cukup tentang / peran tugasnya. Ambiguitas peran telah ditemukan berhubungan dengan kepuasan yang lebih rendah terhadap pekerjaan, ketegangan pekerjaan yang berhubungan dengan tinggi dan rendah diri (Kahn et al, 1964;. Osipow & Davis, 1988,dalam Mavis, 2011). Cooper dan Marshall (dalam Mavis, 2011) juga menemukan bahwa ambiguitas peran dikaitkan dengan stres fisiologis seperti peningkatan tekanan darah dan denyut nadi. Indikator lain dari peran ganda yang ditemukan oleh para peneliti ini adalah perasaan depresi, rendah diri, kehidupan ketidakpuasan, ketidakpuasan kerja, motivasi rendah untuk bekerja dan niat untuk meninggalkan pekerjaan. Beberapa peneliti juga menemukan bahwa "ketidakjelasan"sebagai potensi penyebab stres kerja, meskipun hubungan belum kuat namun signifikan (Burke, 1988; Cooper, et al, 1998;. Cooper dan Marshall, 1978; Osipow, 1998; Osipow dan Davis, 1988, dalam Mavis, 2011).
10
b) Peran berlebihan (Role Overload) Dalam model stres kerja mereka, dan sebagai salah satu sumber stres kerja Osipow dan Spokane (dalam Mavis, 2011) mendefinisikan role overload sebagai tingkat yang tuntutan pekerjaannya melebihi sumber daya pribadi dan tempat kerja, dan sejauh mana seorang karyawan tidak dapat menyelesaikan pekerjaan yang diharapkan. Untuk Osipow dan Davis, (dalam Mavis, 2011), role overload adalah sejauh mana tuntutan peran yang dirasakan oleh responden sebagai sumber informasi pribadi dan melebihi tempat kerja dan ketidakmampuan mereka dianggap untuk mencapai beban kerja yang diharapkan. Peran yang berlebihan dapat dilihat sebagai berkaitan dengan kinerja suatu jumlah tertentu bekerja dalam jangka waktu tertentu dan itu adalah pengalaman ketika seorang individu memutuskan untuk menyesuaikan diri dengan beberapa tugas dan menolak beberapa dalam jangka waktu tertentu.
c) Kekurangan beban peran (Role Insuffiency) Osipow dan Spokane (dalam Mavis, 2011) mendefinisikan role insuffiency sebagai tingkat tuntutan pekerjaan yang berada di bawah kemampuan sumber daya pribadi, dan sejauh mana individu terlalu mudah menyelesaikan tugasnya sehingga tidak memiliki tantangan akan tugasnya. Hal ini dapat dilihat dari sejauh mana pelatihanm pendidikan, keahlian, pengalaman individu melampaui jauh diatas tuntutan pekerjaannya. Lingkungan pekerjaan yang memiliki karakteristik kekurangan beban peran akan membuat frustasi individu didalamnya yang mempersepsikan dirinya memiliki kapabilitas dalam bekerja dengan baik.
d) Batasan peran (Role Boundary) Stres yang diakibatkan oleh batasan peran timbul ketika individu merasakan konflik tuntutan peran dan loyalitas dalam lingkungan pekerjaan (Osipow & Spokane, dalam Mavis, 2011). Selain itu, individu dengan batasan peran yang tinggi juga merupakan individu yang tidak mendapatkan perasaan bangga atas apa
11
yang telah mereka lakukan, merasakan ketidakjelasan dalam hal perintah dan memiliki lebih dari satu orang yang dapat memberikan perintah kepada mereka.
e) Peran tanggung jawab (Work responsibility) Osipow dan Spokane (dalam Mavis 2011) mendefinisikan work responsibility sebagai tanggung jawab individu untuk kinerja dan kesejahteraan orang lain di tempat kerja. Teori stres kerja mengidentifikasi dua jenis tanggung jawab peran yaitu 1) tanggung jawab terhadap orang-orang dan 2) tanggung jawab terhadap hal-hal. Namun, sementara tidak banyak penelitian telah dilakukan pada jenis tanggung jawab untuk hal-hal, ini menunjukkan bahwa tanggung jawab terhadap hal-hal mungkin tidak menjadi sumber yang baik dari stressor kerja. Cooper dan Marshall (dalam Mavis, 2011), menemukan bahwa tanggung jawab terhadap orang-orang secara signifikan lebih mungkin untuk menyebabkan penyakit jantung koroner dibandingkan tanggung jawab terhadap hal-hal. Mereka menjelaskan bahwa stres dari tanggung jawab terhadap orang-orang hasil dari kebutuhan untuk menghabiskan lebih banyak waktu berinteraksi dengan karyawan dan orang lain, menghadiri pertemuan, dan karenanya lebih banyak waktu dihabiskan berusaha untuk memenuhi tenggat waktu. Sebagai contoh, tingkat tanggung jawab telah ditemukan untuk berinteraksi dengan usia dalam menentukan stres fisik; yang lebih tua dan lebih bertanggung jawab eksekutif, semakin besar kemungkinan gejala penyakit jantung koroner dan faktor risiko.
f) Lingkungan Fisik (Physical Environment) Kondisi kerja pekerjaan telah dikaitkan dengan kesehatan fisik dan mental. Lingkungan fisik dapat menjadi sumber stres mencakup paparan suhu kamar panas, sering menyendiri cahaya dan zat beracun berbahaya. Ditemukan bahwa kesehatan mental yang buruk terkait langsung dengan kondisi kerja tidak menyenangkan, upaya fisik dan kecepatan dalam kinerja dan berlebihan, jam nyaman (misalnya shift). Selain itu, para peneliti telah menemukan bukti yang meningkat bahwa lingkungan berulang dan tidak manusiawi mempengaruhi kesehatan fisik (Osipow, dalam Mavis, 2011). 12
2.1.3
Gejala Stres di Tempat Kerja Hardjana (dalam Afrilia, 2009) mengungkapkan bahwa manusia merupakan kesatuan antara jiwa dan badan, roh dan tubuh, spiritual dan material. Oleh karena itu, bila terkena stres segala segi dari manusia bisa terkena. Stres tidak hanya menyangkut segi lahir, tetapi juga batin. Tidak mengherankan bila gejala stres ditemukan dalam segala segi diri manusia yang penting seperti fisik, emosi, intelektual, interpersonal. Gejala itu tentu saja berbeda pada setiap orang karena pengalaman stres amat pribadi sifatnya. Berikut adalah gejala-gejala stres yang terbagi dalam empat bagian : 1. Gejala Fisik Gejala yang timbul misalnya sakit kepala dan pusing, insomnia, sakit punggung, gangguan pada perut (sembelit dan diare), gangguan kulit (gatalgatal), urat dan syaraf tegang (bahu dan leher), tekanan darah tinggi dan terkena serangan jantung, keringat berlebih, berubah selera makan dan kelelahan. 2. Gejala Emosional Gelisah atau cemas, sedih, mudah menangis dan depresi, mood berubahberubah dengan cepat, mudah marah, gugup, harga diri menurun dan merasa tidak aman, terlalu peka, gampang berkonfrontasi dengan orang lain. 3. Gejala Intelektual Susah berkonsentrasi, sulit membuat keputusan, mudah lupa dan data ingat menurun, sering melamun, kehilangan rasa humor, produktivitas atau prestasi kerja menurun, frekuensi melakukan kesalahan dalam bekerja bertambah banyak. 4. Gejala Interpersonal Kehilangan kepercayaan kepada orang lain, mudah mengalahkan orang lain dan suka mencari-cari kesalahan orang lain, sering membatalkan janji atau tidak memenuhinya, mengambil sikap membentengi diri serta mendiamkan orang lain.
13
2.2 Kepemimpinan 2.2.1
Definisi Kepemimpinan Rivai (2003) menyatakan bahwa definisi kepemimpinan secara luas adalah meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi interprestasi mengenai peristiwaperistiwa para pengikutnya, pengorganisasian dan aktivitas-aktivitas untuk mencapai sasaran, memelihara hubungan kerja sama dan kerja kelompok, perolehan dukungan dan kerja sama dari orang-orang di luar kelompok atau organisasi. Istianto (2009) menyatakan ada beberapa definisi kepemimpinan yang dapat mewakili tentang kepemimpinan, yaitu sebagai berikut : 1. Kepemimpinan adalah suatu kegiatan dalam memimpin sedangkan pemimpin adalah orang yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain sehingga orang lain tersebut mengikuti apa yang diinginkannya. Oleh karena itu pemimpin harus mampu mengatur dan mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan bersama. 2. Kepemimpinan adalah dimana seorang pemimpin harus mampu mengatur dan mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan bersama. 3. Kepemimpinan merupakan subjek yang penting di dalam manajemen dan ilmu administrasi karena kepemimpinan terkait dengan hubungan antara atasan dan bawahan di dalam organisasi. 4. Kepemimpinan merupakan proses berorientasi kepada manusia dan dapat diukur dari pengaruhnya terhadap perilaku organisasi. 5. Kepemimpinan pemerintahan adalah sikap, perilaku dan kegiatan pemimpin pemerintahan di pusat dan daerah dalam upaya mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara. Locke (1997) melukiskan kepemimpinan sebagai suatu proses membujuk orangorang lain menuju sasaran bersama. Definisi tersebut mencakup tiga elemen berikut: 1. Kepemimpinan
merupakan
suatu
konsep
relasi
(relational
concept).
Kepemimpinan hanya ada dalam proses relasi dengan orang lain (para pengikut). Apabila tidak ada pengikut, maka tidak ada pemimpin. Tersirat dalam definisi ini
14
adalah premis bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan berelasi dengan para pengikut mereka. 2. Kepemimpinan merupakan suatu proses. Agar bisa memimpin, pemimpin harus melakukan sesuatu. Seperti telah diobservasi oleh John Gardner (1986-1988) kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu otoritas. Kendati posisi otoritas yang diformalkan mungkin sangat mendorong proses kepemimpinan, namun sekedar menduduki posisi itu tidak menandai seseorang untuk menjadi pemimpin. 3. Kepemimpinan harus membujuk orang-orang lain untuk mengambil tindakan. Pemimpin membujuk pengikutnya melalui berbagai cara, seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model (menjadi teladan), penetapan sasaran,
memberi
imbalan
dan
hukum,
restrukturisasi
organisasi
dan
mengkomunikasikan visi.
Yukl (1981) dalam Wahjosumidjo (1999) menuliskan beberapa definisi kepemimpinan yang didapat dari beberapa ahli, yaitu: 1.
Kepemimpinan adalah langkah pertama yang hasilnya berupa pola interaksi kelompok yang konsisten dan bertujuan menyelesaikan masalah-masalah yang saling berkaitan. (Humphill, 1954)
2.
Kepemimpinan merupakan pengaruh antar persona, dilakukan dalam suatu situasi, dan diarahkan melalui proses komunikasi untuk pencapaian suatu tujuan atau lebih. (Tannenbaum, Weshler & Massarik, 1961)
3.
Kepemimpinan merupakan bentuk inisatif serta kelangsungan dari struktur pengharapan serta interaksi. (Stogdill, 1974)
4.
Kepemimpinan merupakan suatu interaksi diantara sejumlah persona, dimana salah seorang persona memberikan informasi sedemikian rupa sehingga orang lain merasa yakin bahwa apa yang dilakukan akan bertambah baik, jika berbuat menurut apa yang disarankan atau diinginkan. (Jacob, 1970)
5.
Kepemimpinan
merupakan
peningkatan
pengaruh
terhadap
atau
diatas
pelaksanaan mekanis melalui arahan rutin dari organisasi. (Katz & Kahn, 1978)
15
Dari beberapa definisi kepemimpinan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa kepemimpinan merupakan suatu proses dimana seseorang (pemimpin) memengaruhi orang lain atau suatu kelompok dalam organisasi untuk mencapai tujuan tertentu.
2.2.2
Gaya Kepemimpinan Menurut Tjiptono (2006) gaya kepemimpinan adalah suatu cara yang digunakan pemimpin dalam berinteraksi dengan bawahannya. Sementara itu, pendapat lain menyebutkan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku (kata-kata dan tindakan-tindakan) dari seorang pemimpin yang dirasakan oleh orang lain (Hersey, 2004). Gaya kepemimpinan adalah merupakan cara-cara orang memimpin. Sifat, kebiasaan, tempramen, watak dan kepribadian sendiri yang unik khas sebagai gaya yang diterapkan oleh seorang pemimpin pada situasi tertentu, demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan (Mangkuprawira, 2004). House (dalam Agustina, 2004) mengidentifikasikan empat gaya kepemimpinan, yaitu: 1. Pemimpin direktif Pemimpin direktif adalah pemimpin yang membiarkan pengikut mereka mengetahui apa yang diharapkan dari diri mereka, menjadwal pekerjaan yang harus dilakukan, dan memberi bimbingan spesifik mengenai bagaimana caranya menyelesaikan tugas. 2. Pemimpin suportif Pemimpin suportif adalah pemimpin yang bersahabat dan memberikan perhatian kepada bawahan. 3. Pemimpin partisipatif Pemimpin partisipatif adalah pemimpin yang selalu berunding dengan bawahannya,
mendengarkan
saran-saran
mereka
sebelum
mengambil
keputusan. 4. Pemimpin yang berorientasi prestasi Pemimpin pada gaya ini selalu mematok tujuan yang menantang dan mengaharpkan bawahan untuk bekerja pada tingkat yang paling tinggi.
16
Bass (1985) mengungkapkan berbagai konsep dan teori yang diungkapkan diatas merupakan pandangan tradisional dari kepemimpinan. Pandangan tersebut adalah gaya kepemimpinan transaksional. 2.2.2.1 Gaya Kepemimpinan Transaksional Kepemimpinan transaksional berkaitan dengan hubungan antara pemimpin dengan pengikut atau bawahan yang didasarkan atas seperangkat pertukaran atau tawar menawar antara pemimpin dengan pengikut atau bawahan. Howell dan Avolio (1993) menyatakan bahwa pemimpin dengan pengikut atau bawahan sampai pada kesepakatan yang berkaitan dengan imbalan yang akan diterima pengikut atau bawahan apabila mereka mencapai tingkat kinerja yang disepakati. Burns (dalam Bass, 1985) mendefinisikan kepemimpinan transaksional sebagai pemimpin yang memotivasi bawahannya dengan memberikan imbalan bagi pelayanan yang dilakukan bawahannya. Dalam kepemimpinan transaksional, hubungan antara pemimpin dan bawahannya didasarkan pada serangkaian pertukaran/penawaran, sehingga kepemimpinan ini merupakan proses memotivasi bawahan dengan cara menukarkan imbalan (reward) dengan prestasi kerja bawahan. Hal ini mengindikasikan bahwa pemimpin
transaksional
menekankan
pertukaran
yang
bersifat
ekonomis
dan
menguntungkan bagi kedua pihak. Usaha membimbing dan memotivasi bawahan untuk mencapai prestasi kerja yang diharapkan akan terpenuhi apabila pemimpin menyediakan reward, artinya upah atau status bawahan akan dinaikkan jika ada peningkatan kerja dari bawahan. Jadi, konsep transaksional menekankan sebuah transaksi yang bernilai ekonomis untuk memenuhi kebutuhan materi dan kebutuhan psikis bawahan sesuai dengan kontrak yang disepakati. Hasibuan (dalam Agustina, 2009) dalam disertasinya menyatakan bahwa sistem balas-jasa merupakan dimensi utama dari kepemimpinan transaksional dan berkaitan degan bentuk imbalan yag diberikan oleh pemimpin dengan bawahan yang tergantung pada seberapa jauh bawahan melaksanakan atau menyelesaikan pekerjaan sesuai yang disepakati dengan pemimpinnya. Sistem balas-jasa tidak hanya bersifat material yaitu bonus atau kenaikan gaji, tetapi dapat berbentuk non-material seperti pengakuan pemimpin atas tugas yang sudah diselesaikan dengan baik oleh bawahan. 17
Pemimpin mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan dari bawahan dan menukarnya dengan imbalan untuk usaha dan kinerja bawahan yang sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan, selain itu pemimpin juga mengawasi tugas bawahan, dan mengambil tindakan korektif bila terjadi penyimpangan dalam kerja bawahan. 2.2.2.1.1
Aspek-Aspek Kepemimpinan Transaksional Bass (dalam Aritonang, 2002) merangkum tiga atribut personal yang merupakan
ciri perilaku kepemimpinan transaksional, yaitu: 1. Imbalan Kontingen (Contingent Reward): Jika bawahan dapat menguntungkan perusahaan, maka mereka dapat mengharapkan imbalan-imbalan yang setimpal sesuai dengan kesepakatan. Misalnya, jika bawahan menujukkan prestasi kerja yang memuaskan, mereka berhak mendapat imbalan yang memuaskan juga. 2. Manajemen Ekspresi Aktif (Mangement by Exception Active): Pimpinan memberlakukan aturan dan secara ketat mengawasi dan memantau bawahan agar terhindar dari kesalahan dan kegagalan dalam pelaksanaan dan penyelesaian pekerjaannya. Bila terjadi kesalahan dan kegagalan, maka diusahakan secepatnya diketahui dan diperbaiki. 3. Manajemen Ekspresi Pasif (Mangement by Exception Passive): Pimpinan akan bertindak setelah terjadi kegagalan atau setelah diketahui bahwa ada masalah yang serius. Sebaliknya, pimpinan tidak perlu mengintervensi, bila belum ada masalah atau belum terjadi kegagalan. Jadi, dasarnya kepercayaan pimpinan akan kemampuan kerja bawahannya dan memberi kesempatan kepada bawahannya untuk bekerja secara mandiri.
2.2.2.2 Gaya Kepemimpinan Transformasional Istilah transformasional berasal dari “to transform” yang artinya mengubah. Konsep kepemimpinan transformasional secara historis muncul pada tahun 1978 ketika James Mc Gregor Burns menerbitkan bukunya “Leadership”. Buku tersebut secara ringkas menjelaskan pola dasar interaksi yang dibangun oleh atasan dan bawahan, yakni transactional dan transformational.Teori kepemimpinan transformasional dikembangkan
18
oleh James Mc Gregor Burns (1978) dalam penelitian deskriptif tentang pemimpinpemimpin politik. (Conger dan Kanurogo, 1994, dalam Aritonang, 2006). Burns (1978) mengatakan pemimpin transformasional berusaha meningkatkan dan memperluas kebutuhan pengikut atau bawahan dan meningkatkan perubahan yang dramatis
dari
individu-individu,
kelompok-kelompok,
dan
organisasi-organisasi.
Kepemimpinan transformasional adalah suatu proses dimana pemimpin dengan pengikut atau bawahan secara bersama-sama sampai kepada moralitas dan motivasi pada tingkat yang lebih tinggi. Bass (1985) menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional berlangsung melebihi dari sekedar pertukaran atau penawaran imbalan bagi kinerja yang ditampilkan oleh pengikut atau bawahan seperti yang dikemukakan pada teori-teori kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transformasional mengembangkan kebutuhan-kebutuhan pengikut, memberikan inspirasi kepada pengikut melebihi minatnya sendiri bagi satu tujuan bersama yang lebih tinggi. 2.2.2.2.1
Aspek-Aspek Kepemimpinan Transformasional Avolio, Bass, and Jung (1999) dan Antonakis (2001) mengidentifikasi perilaku
kepemimpinan transformasional atas empat komponen: 1. Pengaruh Ideal (Idealized influence): Menekankan tipe pemimpin yang memperlihatkan kepercayaan, keyakinan dan dikagumi / dipuji pengikut. 2. Motivasi
Inspirasi
(Inspirational
motivation):
Menekankan
pada
cara
memotivasi dan memberikan inspirasi kepada bawahan terhadap tantangan tugas. Pengaruhnya diharapkan dapat meningkatkan semangat kelompok. 3. Stimulus Intelektual (Intelectual stimulation): Menekankan tipe pemimpin yang berupaya mendorong bawahan untuk memikirkan inovasi , kreatifitas , metode atau cara-cara baru. 4. Konsiderasi
Individu
(Individualized
consideration):
Menekankan
tipe
pemimpin yang memberikan perhatian terhadap pengembangan dan kebutuhan berprestasi bawahan.
19
2.3 Kerangka Berpikir Pegawai merupakan aset yang paling berharga dalam perusahaan, apabila pegawai mengalami stres maka dikhawatirkan kinerja pegawai akan menurun dan tujuan organisasi akan terhambat pencapaiannya. Stres kerja merupakan kondisi dimana individu mengalami tekanan dalam menghadapi pekerjaan. Stres kerja menurut Osipow dan Spokane (dalam Mavis, 2011) memiliki 6 aspek didalamnya yaitu dimana stres terjadi ketika individu tidak mampu menyelesaikan pekerjaannya (role overload), stres yang terjadi akibat ambiguitas peran yang tidak dipahami individu (role ambiguity), stres yang terjadi akibat stres terjadi ketika individu memiliki banyak kemampuan namun hanya sedikit kemampuan yang diperlukan untuk melakukan tugasnya (role insuffiency), stres terjadi ketika individu merasakan konflik tuntuan peran dan loyalitas dalam linkgungan pekerjaan (role boundary), stres yang terjadi akibat tanggung jawab yang dirasakan pegawai (work responsibility), dan stres yang terjadi akibat lingkungan fisik tempat bekerja (physical environment). Stres kerja seringkali dikaitkan dengan masalah kepemimpinan di dalam organisasi tersebut. Menurut Robbins (dalam Vitasari, 2010) kepemimpinan merupakan salah satu pemicu arah dalam perkembangan perusahaan atau organisasi dimana gaya kepemimpinan seseorang dalam mengelola organisasi mempunyai pengaruh terhadap stres kerja. Pemimpin merupakan komponen terpenting dalam suatu organisasi, Dalam rangka meningkatkan citra, kerja dan kinerja instansi pemerintah menuju kearah profesionalisme dan menunjang terciptanya pemerintahan yang baik, perlu adanya penyatuan arah dan pandangan bagi segenap jajaran pegawai. Untuk dapat melakukan hal tersebut sangat diperlukan adanya sosok pemimpin yang efektif dalam membina dan mengarahkan pegawai demi tercapainya tujuan organisasi. Seorang pemimpin memiliki ciri khas tertentu yang cenderung akan selalu digunakannya selama mengatur dan mencapai tujuan organisasi, ciri khas tersebut merupakan gaya kepemimpinan. Kesuksesan atau kegagalan suatu organisasi ditentukan oleh banyak hal, salah satunya adalah pola atau gaya kepemimpinan yang berjalan dalam organisasi tersebut. Kepemimpinan transaksional merupakan proses pertukaran antara pemimpin dan pengikut dimana pemimpin memberikan imbalan kepada pengikut sebagai timbal balik dari upaya yang dilakukan oleh pengikut untuk mencapai tingkat kinerja yang diharapkan atau disepakati dengan pengikutnya. Begitu pula sebaliknya, pengikut akan berupaya sebatas imbalan yang diterimanya dari pemimpin. Gaya kepemimpinan 20
transaksional memiliki tiga aspek yaitu aspek pemberian imbalan yang sesuai dengan kesepakatan prestasi (contingent reward), aspek pemipin memberlakukan aturan dan secara ketat mengawasi dan memantau bawahan agar terhindar dari kesalahan dan kegagalan (management by exception active) dan aspek pemimpin akan bertindak setelah terjadi kegagalan atau setelah diketahui bahwa ada masalah yang serius (management by exception passive). Sementara kepemimpinan transformasional merupakan proses meningkatkan kebutuhan-kebutuhan bawahan ke tingkat yang lebih tinggi dan mendorong mereka untuk melebihi
minatnya
sendiri
bagi
kepentingan
organisasi.
Gaya
kepemimpinan
transformasional memiliki empat aspek didalamnya yaitu pemimpin memperlihatkan kepercayaan, rasa hormat, dan kebanggaan pada bawahan (idealized by influence), aspek pemimpin berusaha menngkatkan motivasi bawahan (inspirational motivation), aspek pemimpin berusaha mendorong bawahan untuk meningkatkan inovasi, kreatifitas dan cara baru dalam menyelesaikan masalah (intellectual stimulation) dan aspek pemimpin menaruh perhatian
lebih
atas
pengembangan
kebutuhan
dan
prestasi
bawahan
consideration).
Kepemimpinan Transaksional (X1): 1. Contingent Reward 2. Management by Exception (active) 3. Management by Exception (passive)
Kepemimpinan (X2): 1. 2. 3. 4.
Stres Kerja (Y): 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Transformasional
Idealized Influence Inspirational Motivation Intelectual Stimulation Individualized Consideration
21
Role Overload Role Insuffiency Role Ambiguity Role Boundary Work Responsibility Physical Environment
(idealized