8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jeruk Sebagai Tanaman Budidaya Jeruk adalah tanaman buah tahunan yang berasal dari Asia, diintroduksi dan sudah ditumbuhkan dengan baik di Indonesia secara alami dan budidaya. Tanaman jeruk yang ada di Indonesia adalah peninggalan orang Belanda yang mendatangkan jeruk manis dan keprok dari Amerika dan Italia (Menristek, 2002). Klasifikasi botani tanaman jeruk adalah sebagai berikut: Divisi: Spermatophyta, Sub divisi: Angiospermae, Kelas: Dicotyledonae, Ordo: Rutales, Familia: Rutaceae, Genus: Citrus, Spesies: Citrus sp. Menurut Roy dan Goldschmidt (2008) genus Citrus dikelompokkan menjadi
2
subgenus yaitu genus Citrus terdiri dari 10 spesies yaitu C. medica L., C. aurantium L., C. sinensis Osbeck, C. grandis Osbeck, C. limon (L.) Burm.f, C. reticulate Blanco, C.aurantifolia Christm., C. paradise Macf., C. tachibana Tan., C. indica Tan.dan Papeda meliputi 6 spesies antara lain C. hystrix D.C., C. macroptera Mont., C. celebica Koord., C. ichangensis Swing., C. micrantha Webster, C. latipes. Jenis jeruk lokal yang dibudidayakan di Indonesia adalah jeruk Keprok (Citrus reticulata/nobilis L.), jeruk Siem (C. microcarpa L. dan C.sinensis. L) yang terdiri dari Siem Pontianak, Siem Garut, Siem Lumajang, jeruk manis (C. auranticum L. Dan C.sinensis L.), jeruk sitrun/lemon (C. medica), jeruk besar (C.maxima Herr.) yang terdiri dari jeruk Nambangan-Madiun dan jeruk Bali. Jeruk untuk bumbu masakan yang terdiri dari jeruk nipis (C. aurantifolia), jeruk purut (C. hystrix) dan jeruk sambal (C. hystix ABC). Jeruk varietas introduksi yang banyak ditanam adalah Lemon dan Grapefruit. Sementara itu, jeruk varietas lokal Sumatera Utara menurut data Balitjestro (2010) dan KPRI Citrus (2015) adalah jeruk siem madu, jeruk baby, jeruk keprok (Brastepu, Maga, Sipirok, Siompu, Batu 55, Garut-1, SoE, Laukawar, Borneo Prima,
Universitas Sumatera Utara
9 Gayo, Madura, Crifta-01, Pulo Tengah, RGL, Selayar, Terigas, Wangkang, Grabag, JRM 2012, Kacang Solok, Pulung dan Cholkun), jeruk Bali, jeruk nipis, dan jeruk purut. Khusus jeruk Brastepu yang menjadi objek dalam penelitian ini, jeruk tersebut dinamakan demikian karena tumbuh, berkembang dan berproduksi tinggi di Desa Brastepu Kabupaten Karo. Pada umumnya, jeruk keprok dinamai dengan daerah sebagai tempat hidup dan pengembangannya. Berbagai jenis jeruk khas Sumatera Utara yang pernah menjadi primadona dan tumbuh di Brastagi adalah varietas Brastepu. Masih banyak lagi varietas jeruk lokal khas Sumatera Utara yang harus didata oleh peneliti melalui identifikasi tanaman. Jeruk Brastepu memiliki cita rasa aroma harum khas jeruk keprok. Di samping itu, bentuk dan warna oranye pada kulitnya menarik konsumen, karakter tersebut disebabkan oleh faktor genetik. Berdasarkan hasil survei di lapangan, jeruk Brastepu dikenal oleh masyarakat karena berfungsi ganda, yaitu sebagai penghasil buah, dan kulit buah serta daunnya dapat digunakan sebagai bahan baku obat tradisional untuk berbagai jenis penyakit terutama penyakit kulit. Sampai saat ini, penyediaan bibit untuk pemuliaan jeruk Brastepu dilakukan secara sambung atau okulasi untuk mendapatkan bibit tanaman yang memiliki kualitas sama dengan induknya. Akan tetapi, penyediaan bibit dengan cara tersebut sangat terbatas jumlahnya, sehingga pemuliaan tanaman Jeruk Brastepu mengalami kendala dan tidak memungkinkan untuk meningkatkan kuantitas produksi. Bahkan diperkirakan dalam beberapa tahun ke depan akan terjadi kelangkaan tanaman Jeruk Brastepu. Penyebab kelangkaan jeruk Brastepu antara lain disebabkan karena banyaknya penyakit yang menyerang dan yang paling serius adalah CVPD dan lambatnya penyediaan bibit yang bebas penyakit tersebut. Penyediaan bibit yang baik, bersih serta berkesinambungan adalah penting terutama untuk jeruk langka seperti Jeruk Brastepu ini. Bibit jeruk yang baik adalah
Universitas Sumatera Utara
10 yang bebas penyakit, mirip dengan induknya (true to type), subur, berdiameter batang 23 cm, permukaan batang halus, akar serabut banyak, akar tunggang berukuran sedang dan memiliki sertifikasi penangkaran bibit (Menristek, 2002). Bibit yang berkualitas dapat terus dikembangkan dengan pemantauan dan perawatan yang higienes dan ketersediaannya berkesinambungan. Perbanyakan jeruk dapat dilakukan melalui cara vegetatif dan generatif. Cara perbanyakan yang efisien dan efektif secara kontinyu diteliti baik secara konvensional maupun bioteknologi. Hampir semua jeruk buah komersil diperbanyak dengan cara vegetatif yaitu dengan cara penyambungan dan yang paling umum dengan okulasi. Sedangkan perbanyakan dengan biji dilakukan hanya pada jeruk batang bawah. Perbanyakan lainnya dalam usaha untuk mengatasi kesulitan dalam penyediaan bibit jeruk Brastepu ini dilakukan secara in vitro, melalui kultur jaringan tanaman. Teknik kultur jaringan tanaman dalam penelitian ini juga bertujuan menghasilkan bibit jeruk Brastepu menjadi tanaman bebas terhadap penyakit. Bibit jeruk Brastepu yang dihasilkan berkualitas baik, seragam dan jumlah banyak, sehingga dapat memenuhi kebutuhan bibit jeruk bagi petani, agroindustri dan perkebunan. Beberapa jenis jeruk yang banyak tumbuh dan berproduksi diantaranya adalah: (1) Jeruk manis (C. sinensis {L.} Osb.). Jeruk manis ini termasuk spesies jeruk yang paling banyak ditanam di seluruh dunia. Beberapa jenis jeruk komersiil dalam kelompok ini diantaranya adalah: jeruk sunkis (navel oranges), jeruk bulat (regular round oranges), dan jeruk merah (Blood Oranges). Beberapa jenis kultivar jeruk manis ini yang dikenal adalah jeruk ‘Washington’ Navel, Hamlin, Valencia, Pineapple, Pera, Jaffa, dll. (2) Jeruk Mandarin dan Tangerine (C. reticulata Blanco), tergolong pada jeruk manis yang memiliki kulit buah lembut dan mudah dikupas. Beberapa jenis kultivar jeruk mandarin dan tangerin yang dikenal adalah Owari, Clementine, Dancy,
Universitas Sumatera Utara
11 Willowleaf, Temple, Murcott, dan the Nagpur Santra, dll. (3) Jeruk manis Tangeloes (C. reticulata x C. paradisi) merupakan hasil persilangan antara jeruk mandarin dan grapefruit. Jenis jeruk ini juga memiliki kulit buah yang halus dan mudah dikupas. Beberapa jenis kultivar jeruk tangeloes yang dikenal adalah Orlando dan Minneola. (4) Jeruk Pummelo atau Shaddock (C. grandis {L.} Osb.), jeruk yang lebih populer di Asia Tenggara. Jeruk ini memiliki daging buah putih dan merah muda. (5) Jeruk Grapefruit (C. paradisi Macf.) adalah hasil hibrida dari pummelo dan jeruk manis yang sangat baik tumbuh di daerah tropis, dan termasuk jenis jeruk yang paling banyak ditanam di berbagai negara. Grapefruit ada yang berbiji, warna buah putih, merah dan merah muda, dan pada umumnya yang berwarna merah dan merah muda tidak berbiji. Beberapa jenis varietas jeruk ini adalah Rio Red, Star Ruby, and Flame, dikenal sebagai jeruk Florida, Texas, California, dan Israel. (6) Jeruk Limau (C.aurantifolia L.) adalah tergolong sebagai jeruk asam dengan kultivar limau Meksiko dan tahiti. (7) Jeruk Lemons (C. limon Burmf.) adalah jeruk yang sangat banyak tumbuh di daerah subtropik dengan kultivar Lisbon dan Eureka. Jeruk C. nobilis Lour. yang digunakan dalam penelitian ini termasuk kelompok jeruk mandarin, lebih tepat king mandarin. Pengelompokan jeruk bervariasi tergantung pada Author(s). Sebagai contoh, Jeruk mandarin, menurut Hodgson dikelompokkan menjadi lima kelompok, yaitu (1) Satsuma, C. Unshiu, (2) Mandarin Mediterranea, C. Deliciosa, (3) King mandarins, C. nobilis Loureiro, (4) Common mandarins, C. Reticulata, dan (5) Mandarin berbuah kecil. 2.1.1. Morfologi Buah Jeruk Buah jeruk dihasilkan dari ovarium tunggal. Berbagai jenis jeruk yang dikenal seperti: Poncirus (Trifoliate orange), Fortunella (kumquat artinya dapat dimakan bersama kulitnya), Microcitrus, Eremocitrus, dan Clymenia pada subfamily
Universitas Sumatera Utara
12 Aurentioidae dari family Rutacae. Biasanya bentuk daun kelopak bunga (calyx) berlobi 5, yang masih dapat dilihat pada pangkal buah jeruk. Pada umumnya tangkai buah kecil dan bagian berwarna hijau kelopak disisakan pada waktu buah dipetik karena buah seperti itu lebih dikehendaki oleh konsumen. Ukuran buah jeruk bervariasi tergantung jenis dan kesuburan pohon.
Buah jeruk kumquats (Forlunella spp.) umumnya
berdiameter sekitar 2,25 cm dan Buah jeruk pummelo (C. grandis) berdiameter mencapai 20 cm. Bentuk buah juga bervariasi, misalnya: oblate pada grapefruit, mandarin, dan tangerine; globose sampai oval (spherical atau mendekati) pada jeruk manis; oblong pada lemon (C. limon), (C. medica); dan spherical pada in limau (C. aurantifolia). Kulit buah adalah bagian buah yang kehilangan airnya (mengering), dan mudah rusak (fragile) bila dilipat atau diremas. Daging buah umumnya terdiri atas 8–16 segmen, dan beberapa jenis seperti Grapefruits dan pummelos memiliki 17 atau 18 segmen. Biji bervariasi dalam jumlah, mulai dari tidak berbiji pada beberapa kultivar sampai banyak ≥ 30, dan beberapa mempunyai jumlah biji sedang, 10-30. Sebagai contoh, jeruk Tahiti (C. latifolia) dan jeruk navel dapat dinyatakan tidak berbiji, sementara jeruk grapefruit dan pummelo memiliki sebanyak 40–50 biji. Ukuran dan bentuk biji juga bervariasi, tergantung pada jenis varietas jeruk. Khusus untuk buah jeruk mandarin/keprok mempunyai karakteristik kulit mudah dikupas, dan memiliki daging buah oranye tua sampai oranye kemerahan apabila sudah matang. Ukuran buah juga bervariasi, kecil sampai besar (diameter 5–9 cm), bentuk buah glubose sampai oblate, bagian basal mempunyai tonjolan (collar) rendah sampai tinggi, pada bagian apeks dengan kulit menjorok ke dalam buah, bagian dalam bagian ini kosong sehingga mudah dikupas, permukaan kulit halus kadang terdapat bintikbintik hijau transparan yang merupakan kelenjar minyak di dalam kulit buah, jumlah
Universitas Sumatera Utara
13 segmen 10 - 17, aksis besar dan berongga, flavedo berwarna oranye sampai kemerahan, lembut, dan berair (juicy), bau sedang sampai menyengat, tanpa biji atau berbiji sedikit 3 - 7 biji per buah, biji kecil dan memanjang. keriput dan gemuk padat; matang di awal atau akhir musim. Pada umumnya, jeruk keprok mudah rusak dan menurun kualitasnya bila tidak dipetik saat bagian dalam buah sudah matang. Buah yang bentuknya bulat (oblong) dan pyriform harus dibuang karena bentuk buah seperti itu bukan true to type dan dapat merusak kesan kurang baik terhadap buah hasil panen secara keseluruhan. Buah yang berukuran sedang atau medium lebih diutamakan, buah yang terlalu besar biasanya lembek dan banyak kosong bagian dalamnya (puffiness). Buah puffiness dan terlalu matang menjadi kurang berkualitas. Pasar jeruk di negara-negara Timur lebih menyukai buah keprok besar. Buah dengan tonjolan kecil lebih disukai untuk keperluan ekspor karena dapat mengurangi kerusakan saat pengiriman. Pada umumnya, konsumen menyukai warna kuning oranye sampai oranye tua, walaupun buah agak kehijauan masih dapat diterima. Buah harus banyak airnya. Aroma keprok menentukan lamanya penyimpanan dan cara penanganan saat transportasi. Banyak konsumer terutama suku Indian yang tidak menghendaki jeruk keprok yang terlalu asam. Sementara itu jika rasa asam pada jeruk ini dihilangkan, maka tidak ada lagi rasa khas jeruk keprok. Jeruk tanpa biji dan agak asam lebih disukai pasar di Eropa. Jeruk Clementine dan Satsuma awalnya adalah tanpa biji tetapi Satsuma yang dibudidayakan di Amerika sudah banyak yang menghasilkan biji. Klon tanpa biji keprok Nagpur sekarang sedang dikembangkan khususnya di India. 2.1.2. Jeruk Lokal Sumatera Utara Beberapa penelitian untuk propagasi jeruk varietas lokal Sumatera Utara telah berhasil dilakukan oleh peneliti, yaitu perbanyakan jeruk Brastepu. Penelitian terhadap
Universitas Sumatera Utara
14 varietas jeruk Brastepu meliputi pembentukan kalus embriogenik dari eksplan pucuk (Nurwahyuni, 2000), perbanyakan tanaman jeruk Brastepu secara kultur jaringan (Nurwahyuni, 2001), teknik kultur jaringan daun jeruk Brastepu untuk mikropropagasi (Nurwahyuni, 2002), dan uji ketahanan kultur jeruk Brastepu terhadap salinitas menuju bibit unggul (Nurwahyuni, 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan zat pengatur tumbuh dalam meregenerasi kalus mempengaruhi kualitas kalus (Nurwahyuni, 2000). Media yang diperkaya dengan 2,4-D memacu pertumbuhan kalus, sedangkan yang diperkaya dengan NAA, ZI dan KI atau kombinasi IAA, BA dan KI hanya mampu menumbuhkan kalus akan tetapi kalus tidak dapat berkembang. Media yang diperkaya dengan 2,4-D dan KI sangat baik untuk pertumbuhan dan perkembangan kalus jeruk. Perkembangan kultur untuk beberapa kondisi perlakuan menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik (Nurwahyuni, 2001). Dua tipe pertumbuhan untuk eksplan, yaitu perbesaran eksplan, yang disebabkan oleh peningkatan jumlah sel dan pembesaran sel yang menyebabkan eksplan bertambah luas permukaannya. Pembentukan planlet terjadi melalui regenerasi tidak langsung, yaitu melalui pembentukan kalus terlebih dahulu. Regenerasi menjadi planlet dapat terjadi pada media kultur tanpa harus terlebih dahulu dipindahkan ke media MS0. Kalus yang beregenerasi menunjukkan terjadinya diferensiasi sel cukup baik, yaitu sangat jelas terlihat terbentuknya daun, batang dan akar (Nurwahyuni, 2002). Penelitian lanjutan berupa uji ketahanan kultur jeruk Brastepu terhadap salinitas menuju bibit unggul juga telah dilakukan (Nurwahyuni, 2003). Penelitian bertujuan untuk mempelajari tingkat toleransi terhadap kadar salinitas tanah menuju bibit unggul. Jeruk yang diaklimatisasi dalam media tanah menunjukkan hasil yang berbeda pada setiap perlakuan. Hasil uji salinitas terbaik adalah pada perlakuan NaCl 25 ppm dengan jumlah daun (5,00), tinggi batang (4,70 cm) dan panjang akar 3,90 cm. Dari beberapa
Universitas Sumatera Utara
15 hasil penelitian pendahuluan yang sudah berhasil dilakukan sebagaimana diringkas di atas, dapat disimpulkan bahwa teknik in vitro dapat digunakan untuk perbanyakan tanaman jeruk Brastepu dan sekaligus untuk memperbaiki kualitas tanaman menuju bibit unggul. Penelitian ini merupakan lanjutan yang dilakukan untuk melengkapi hasil penelitian pendahuluan sampai dihasilkan tanaman jeruk Brastepu berkualitas baik dalam jumlah besar dan seragam melalui kultur jaringan tanaman untuk memenuhi kebutuhan bibit jeruk bagi petani, agroindustri dan perkebunan nasional. Penelitian untuk propagasi jeruk lokal Sumatera Utara telah berhasil dilakukan dengan melalui tahapan yang terdiri dari persiapan bahan tanaman, penyediaan media kultur, sterilisasi eksplan dan penanaman eksplan, regenerasi, aklimatisasi tanaman, isolasi fungi dan uji ketahanan tanaman terhadap fungi (Nurwahyuni, et al., 2005). Dari hasil penelitian diperoleh semua kelompok perlakuan mengalami pertumbuhan kalus dengan intensitas sedang dan tinggi. Kalus bertumbuh bervariasi: (1) kalus berwarna coklat, berair, dan tidak embriogenik, dan (2) kalus embriogenik yang berwarna hijau. Dua jenis kalus embriogenik yang dihasilkan, yaitu: (1) berkembang dari biji menjadi kalus dan beregenerasi menjadi plantlet, dan (2) terbentuk dari sel-sel dari permukaan biji jeruk langsung beregenerasi menjadi planlet. Pemberian zat pengatur tumbuh (ZPT) di dalam media sangat nyata terhadap induksi kalus tetapi tidak berpengaruh terhadap persentase kultur membentuk kalus. Bobot kalus tertinggi diperoleh pada perlakuan Z3 menggunakan kombinasi ZPT 1 mg/L 2,4 D dan 1 mg/L BAP. ZPT berpengaruh terhadap pertumbuhan kalus jeruk Brastepu (Fhitung 2,72 > Ftabel 2,12), taraf signifikansi 0,05. Persentase keberhasilan pertumbuhan eksplan untuk bertumbuh cukup tinggi dan bervariasi. Perkembangan kultur menjadi planlet pada jeruk Brastepu tertinggi pada kelompok Z5 menggunakan 2 mg/L KIN, rataan jumlah planlet 4 buah. ZPT yang ditambahkan ke dalam media tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan planlet jeruk
Universitas Sumatera Utara
16 Brastepu (Fhitung 0,35 > Ftabel 2,12), taraf signifikansi 0,05. Planlet dapat berkembang menjadi tanaman di dalam media kultur dengan tinggi bervariasi, tertinggi pada kelompok Z3 kombinasi 1 mg/L 2,4 D dan BAP, rataan tinggi tanaman 2,30 cm. Zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tunas jeruk Brastepu (Fhitung 0,40 > Ftabel 2,12), taraf signifikansi 0,05. Regenerasi jeruk Brastepu berhasil dilakukan dengan memindahkan kalus embriogenik dari media inisiasi ke media MS0 untuk membentuk planlet. Diferensiasi sel terjadi dengan pembentukan daun, batang dan akar. Aklimatisasi jeruk berhasil dilakukan. Bibit jeruk beradaptasi dengan baik di dalam tanah di rumah kaca, pertumbuhan bibit normal, pertambahan daun dan tinggi tanaman setelah aklimatisasi 2 bulan. Uji resistensi tanaman jeruk Brastepu terhadap fungi (Trichothesium sp.) hasil isolasi dan biakan murni dari tanaman sakit di lapang pada kultur tingkat penumbuhan kalus telah dilakukan tetapi data tentang pengaruh isolat dalam uji ketahanan terhadap fungi masih belum dapat disajikan. Pengaruh pemberian ekstrak miselium fungi terhadap pertumbuhan tanaman jeruk Brastepu pada saat diaklimatisasi diketahui bahwa tanaman yang diberi 25 ppm ekstrak miselium fungi dapat bertumbuh dengan baik tanpa ada gejala penyakit daun, penambahan konsentrasi fungi pada 50 ppm ekstrak miselium terlihat 50% tanaman mengalami nekrosis dan yang lain dapat bertahan hidup, akan tetapi pada penambahan 75 ppm ekstrak miselium fungi terlihat tanaman hampir semua mengalami nekrosis dan daun menjadi mati. Penelitian
berikutnya
melanjutkan
tahapan
penelitian
dalam
rangka
mendapatkan tanaman yang baik, yaitu jeruk Brastepu diharapkan produksi tinggi, bersih terhadap hama penyakit, dapat beradaptasi dan berkembang baik pada berbagai iklim di Sumatera Utara telah dilakukan (Nurwahyuni, et al., 2006). Penelitian bersifat eksperimental, dengan kombinasi perlakuan. Penelitian dilakukan mengikuti langkah
Universitas Sumatera Utara
17 terdiri atas persiapan bahan tanaman, penyediaan media kultur, sterilisasi eksplan dan penanaman eksplan, regenerasi, aklimatisasi tanaman, isolasi fungi dan uji ketahanan tanaman terhadap fungi. Penelitian meliputi beberapa aspek seperti: (1) menggunakan teknik in vitro untuk memperbaiki kualitas tanaman jeruk Brastepu sampai terbentuk bibit unggul, yaitu tanaman dengan tingkat produksi buah tinggi, tahan terhadap berbagai hama penyakit, dan dapat beradaptasi dan berkembang dengan baik pada berbagai iklim di Indonesia, (2) mendapatkan teknik regenerasi yang efektif untuk perbanyakan jeruk Brastepu; (3) mempelajari respon karakteristik pertumbuhan dan perkembangan kalus embriogenik dalam berbagai perlakuan pemberian zat tumbuh dan rekayasa terhadap jeruk Brastepu; (4) mendapatkan kondisi optimum untuk pertumbuhan dan perkembangan jeruk Brastagi berkualitas baik dalam upaya pembudidayaan tanaman di rumah kaca dan di lapangan; (5) meningkatkan dan menguji ketahanan jeruk Brastepu terhadap hama panyakit, perubahan iklim, dan curah hujan; dan (6) Memproduksi bibit jeruk Brastepu berkualitas baik secara masal melalui kultur jaringan tanaman untuk keperluan kebutuhan bibit jeruk di Sumatera Utara khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Dari hasil penelitian diperoleh semua kelompok perlakuan mengalami pertumbuhan kalus dengan intensitas sedang dan tinggi. Kalus bertumbuh bervariasi: (1) kalus berwarna coklat, berair, dan tidak embriogenik, dan (2) kalus embriogenik yang berwarna hijau. Dua jenis kalus embriogenik: (1) berkembang dari biji menjadi kalus dan beregenerasi menjadi planlet, dan (2) terbentuk dari sel-sel dari permukaan biji jeruk langsung beregenerasi menjadi planlet. Pemberian zat pengatur tumbuh (ZPT) di dalam media sangat nyata terhadap induksi kalus tetapi tidak berpengaruh terhadap persentase kultur membentuk kalus. Bobot kalus tertinggi diperoleh pada perlakuan Z3 menggunakan kombinasi ZPT 1 mg/L 2,4-D dan 1 mg/L BAP. ZPT berpengaruh
Universitas Sumatera Utara
18 terhadap pertumbuhan kalus jeruk Brastepu (Fhitung 2,72 > Ftabel 2,12), taraf signifikansi 0,05. Persentase keberhasilan pertumbuhan eksplan untuk tumbuh cukup tinggi dan bervariasi. Perkembangan kultur menjadi planlet pada jeruk Brastepu tertinggi pada kelompok Z5 menggunakan 2 mg/L KI, rataan jumlah planlet 4 buah. ZPT yang ditambahkan ke dalam media tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan planlet jeruk Brastepu (Fhitung 0,35 > Ftabel 2,12), taraf signifikansi 0,05. Planlet dapat berkembang menjadi tanaman di dalam media kultur dengan tinggi bervariasi, tertinggi pada kelompok Z3 kombinasi 1 mg/L 2,4 D dan BAP, rataan tinggi tanaman 2,30 cm. ZPT yang ditambahkan ke dalam media tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tunas jeruk Brastepu (Fhitung 0,40 > Ftabel 2,12), taraf signifikansi 0,05. Regenerasi jeruk Brastepu berhasil dilakukan. Diferensiasi sel terjadi dengan pembentukan daun, batang dan akar. Aklimatisasi jeruk Brastepu di lapangan berhasil dilakukan. Bibit jeruk beradaptasi dengan baik di dalam tanah di rumah kaca dan lapangan, pertumbuhan bibit normal, pertambahan jumlah daun, tinggi tanaman dan diameter batang meningkat sesuai dengan lama aklimatisasi. Aklimatisasi tanaman di lapangan terbuka dengan variasi wilayah (Pancur Batu dan Kabanjahe) menunjukkan penyesuaian yang cukup baik. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman di lapangan disertai adaptasi tanaman terhadap pemberian variasi jenis pupuk nyata menambah jumlah daun, tinggi batang, diameter batang, dan luas permukaan daun. Strategi biokonservasi jeruk keprok Brastepu telah dilakukan untuk mengatasi kepunahan jeruk lokal andalan Sumatera Utara yang memiliki keunggulan genetika seperti cita rasa manis, bentuk buah dan warna yang menarik, ukuran buah besar, dan mengandung senyawa bioaktif yang digunakan sebagai bahan obat tradisionil (Nurwahyuni, et al., 2012). Penyelamatan keprok Brastepu dilakukan melalui perbanyakan secara tempel dari sumber tanaman yang masih hidup. Hasil penelitian
Universitas Sumatera Utara
19 diperoleh jeruk asam berumur 7 bulan sangat baik sebagai batang bawah. Keberhasilan tanaman induk batang bawah menyatu dengan mata tempel sangat dipengaruhi oleh umur pohon jeruk sumber mata tempel dan lama penyimpanan mata tempel. Kondisi optimum pertumbuhan dan perkembangan jeruk Brastepu hasil okulasi diperoleh menggunakan pohon jeruk sumber mata tempel dari tanaman sehat yang relatif muda, dan okulasi efektif bila dilakukan langsung pada hari pada saat pengambilan mata tempel karena menghasilkan bibit dengan tunas terpanjang, jumlah daun terbanyak, jumlah cabang terbanyak dan persentase tanaman yang hidup paling tinggi. Dari hasil penelitian diketahui bahwa teknik okulasi untuk penyediaan bibit jeruk Brastepu sebagai langkah awal biokonservasi dari pohon yang masih hidup telah berhasil dilakukan untuk digunakan sebagai sumber bibit mengatasi kelangkaan jeruk lokal di Sumatera Utara (Nurwahyuni dan Sinaga, 2014). Teknik in vitro jeruk Brastepu sebagai strategi biokonservasi mengatasi kepunahan jeruk lokal sumatera utara juga sudah dilakukan (Nurwahyuni dan Rahayu, 2013). Penelitian bertujuan untuk menggunakan teknik in vitro perbanyakan bibit jeruk Brastepu bebas penyakit CVPD sebagai sumber bibit. Bibit digunakan untuk mengatasi kelangkaan dan biokonservasi jeruk keprok lokal Sumatera Utara agar kekayaan plasma nuftah tanaman jeruk Indonesia tidak berkurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan kultur in vitro dipengaruhi oleh pemberian zat pengatur tumbuh (ZPT) auksin NAA, sitokinin, dengan suplemen ekstrak malt, glutamin, dan air kelapa. Teknik regenerasi yang efektif untuk perbanyakan tanaman jeruk Brastepu bebas penyakit CVPD dalam skala laboratorium juga dipelajari sebagai dasar untuk pertumbuhan dan perkembangan bibit jeruk yang dihasilkan melalui teknik in vitro. Kalus yang dikultur selama 4 bulan menunjukkan hasil RAPD dengan tingkat kesamaan 100% (Nurwahyuni dan Sinaga, 2015).
Universitas Sumatera Utara
20 Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa teknik kultur jaringan tanaman dapat dilakukan untuk perbaikan kualitas tanaman dan perbanyakan bibit tanaman jeruk Brastepu menuju bibit unggul (Nurwahyuni, 2000; 2001; 2002; Nurwahyuni, 2003). Dengan menggunakan pendekatan-pendekatan ilmiah yang sudah ditelusuri melalui studi pustaka, maka penelitian berhasil sesuai dengan target yang direncanakan. Pengalaman dalam perbanyakan bibit tanaman melalui kultur jaringan tanaman untuk berbagai jenis tanaman seperti Dioscorea (Nurwahyuni dan Tjondronegoro, 1994), anggrek (Nurwahyuni, et al., 1996), kedelai (Ratnadewi, et al., 1996), kopi (Nurwahyuni, 1999; Nurwahyuni, 2001), dan kemenyan (Nurwahyuni, 2002) dapat dijadikan acuan untuk lebih mengarahkan penelitian pada jeruk yang diteliti ini. 2.2. Penyakit Pada Jeruk Jeruk termasuk tanaman yang sangat potensil di berbagai negara tropis dan sub tropis karena memiliki nilai ekonomi tinggi dan sebagai sumber utama vitamin C. Akan tetapi berbagai jenis penyakit berupa virus, jamur dan bakteri dapat mengurangi produksi jeruk, bahkan di beberapa daerah dapat mengalami kerusakan total karena serangan penyakit. Pengetahuan terhadap berbagai jenis penyakit jeruk dapat menolong petani jeruk untuk mengatasi penyakit. Untuk beberapa jenis penyakit, gejala penyakit dapat terlihat secara jelas karena simptom jelas dapat diamati secara visual atau dengan lup. Akan tetapi, pada beberapa jenis penyakit yang lain sulit untuk melihatnya, bahkan diketahui bahwa gejala penyakit itu diketahui setelah tanaman sudah dalam keadaan kronis (severe). Beberapa penyakit jeruk yang ditemukan lainnya adalah penyakit yang disebabkan oleh jamur telah dijelaskan oleh Chand-Goyal, et al., (1998), disebabkan oleh bakteri (Kingsley, et al., 1993; Kozianowski, et al., 1997; Lacava, et al., 2004),
Universitas Sumatera Utara
21 dan virus (Albiach-Marti, et al., 2000; Mawassi, et al., 2000; Satyanarayana, et al., 2001; Marroquin, et al., 2004). Penyakit bakteri CVPD menjadi perhatian dalam penelitian ini. Studi terhadap ketahanan tanaman terhadap penyakit lainnya telah dimulai dari tingkat kalus sampai planlet menuju tanaman berkualitas baik (Grosser and Chandler, 2000). Berbagai jenis penyakit yang sering menyerang jeruk manis diringkas berikut ini seperti: (1) Penyakit Tristeza (Tristeza disease). Penyakit tristeza disebabkan oleh virus, yaitu Citrus Tristeza Virus (CTV). Penyakit CTV ini tergolong sangat serius dan paling mematikan tanaman jeruk, dan telah menyerang segala jenis jeruk di berbagai belahan dunia. Serangan penyakit ini tergantung pada sumber vektor, strain virus, dan temperatur untuk inkubasi. Penyakit CTV pertama ditemukan di Cina, dan setelah itu menyebar ke Jepang, Filipina, India, Australia, dan Afrika Selatan. Vektor untuk CTV adalah Toxoptera citricida, dan T. gossypii. T. citricida yang ditularkan melalui kulit buah dan batang pohon. Alat untuk mendeteksi tristeza adalah DTBIA (Direct Tissue Blot Immunoassay). Spesies yang diserang adalah jeruk manis, jeruk nipis, jeruk besar dan jeruk batang bawah misalnya jeruk Japanese citroen, dengan gejala lekuk batang, daun kaku, pemucatan vena daun, pertumbuhan terhambat, (2) Penyakit Citrus Chlorotic Dwarf (CCD). Penyakit CCD pertama kali ditemukan di Adana Turki pada tahun 1986 dan menjadi penyakit endemik setelah beberapa tahun kemudian yang menyerang berbagai jenis jeruk. Ciri jeruk yang terinfeksi CCD adalah daun muda menggulung, berkantung dan bernoda yang disebabkan oleh virus. Selanjutnya tanaman mengalami klorosis, pengurangan jumlah daun dan akhirnya mengurangi produksi, bahkan mengalami kematian.
Universitas Sumatera Utara
22 (3) Penyakit Citrus impietratura. Penyakit jeruk impietratura pertama ditemukan di Palestina oleh Reichert and Hellinger (1930). Gejala penyakit ini adalah buah jeruk mengecil dan menunjukkan kantung getah kecil pada ujung buah dan buah tetap berwarna hijau walaupun sudah tua (matang). (4) Penyakit Citrus satsuma dwarf. Penyakit satsuma dwarf disebabkan oleh virus pertama kali ditemukan di Jepang. Penyakit ini disebabkan oleh beberapa jenis virus seperti satsuma dwarf virus (SDV), navel infectious mottle virus (NIMV), citrus mosaic virus (CiMV) dan natsudaidai dwarf virus (NDV). Daun tanaman yang terinfeksi berbentuk sendok atau sampan dan buah meruncing, kemungkinan disebabkan oleh virus SDV. (5) Penyakit Citrus Vein Enation/woody gall (CVEV). Jenis penyakit ini ditemukan pertama sekali oleh Wallace and Drake (1953) di California dan meluas ke Afrika selatan, Australia, Turki, Peru, Spanyol, Brazil, Jepang dan Cina (Chen, et al., 1992). Penyakit CVEV disebabkan oleh virus Citrus Vein Enation dan ditransmisikan beberapa vector seperti Toxoptera citricida, Myzus persicae, Aphis gossypii, Cuscuta sublinclusa. Tanda-tanda penyakit ini ditunjukkan dengan pembengkakan batang bawah yang biasa disebut sebagai penyakit kaki gajah. Jenis jeruk yang diserang adalah jeruk nipis, manis, siem, jeruk purut (Rough lemon) dan jeruk asam (Sour Orange), dengan gejala tonjolan tidak teratur yang tersebar pada tulang daun di permukaan daun. (6) Penyakit Citrus Leprosis Disease, Jenis penyakit yang sangat mematikan tanaman jeruk yang disebabkan oleh virus, yaitu citrus leprosis virus (CiLV) melalui vector Brevipalpus mite. Penyakit ini pertama sekali ditemukan di Brazil oleh Bitancourt (1937) dan disebut penyakit lepra jeruk. Penyakit ini mulanya endemik di Argentina dan meluas ke Venezuela, Uruguay, Paraguay, Peru, dan Florida. Gejala
Universitas Sumatera Utara
23 penyakit CiLV terlihat dengan pengelupasan pada kulit batang dan mengakibatkan buah jatuh karena prematur. (7) Penyakit Citrus tatter leaf disease, Penyakit daun jeruk yang disebabkan oleh virus jenis citrus tatter leaf virus (CTLV), yaitu mengakibatkan kematian bibit jeruk dimulai dari pucuk dan mempengaruhi batang bawah sehingga tidak dapat menghasilkan tunas. Penyakit ini mulanya endemic di Cina, kemudian menyebar ke berbagai negara seperti Filippina, Thailand, Korea dan Australia (Su and Tsai, 1990). (8) Penyakit Citrus infectious variegation (Crinkly leaf, Citrus variegation). Penyakit jeruk yang disebabkan oleh virus, yaitu Citrus Infectious Variegation Virus (CIVV), sering juga disebut sebagai Citrus Variegation Virus (CVV), yaitu ditandai dengan pucuk menggulung dan selanjutnya keseluruhan daun dan ditularkan dari satu pohon jeruk ke pohon yang lain. (9) Penyakit Citrus exocortis disease, penyakit ini disebut exocortis (exo = diluar and cortis = bark) adalah disebabkan oleh viroid bernama citrus exocortis viroid (CEV) yang mengakibatkan batang bawah mengecil dan pertumbuhan batang induk lambat serta pematangan buah terhambat. Jenis penyakit ini diketahui menyerang hampir semua jenis jeruk di seluruh dunia (Nauer, et al., 1988). (10) Penyakit Citrus cachexia disease, penyakit ini disebabkan oleh viroid, citrus cachexia viroid (CCaV) ditandai dengan terbentuknya getah yang menggumpal pada batang induk, dan bahkan dapat menyerang cabang-cabang dan ranting. Pengaruh penyakit ini adalah mengakibatkan penurunan pertumbuhan dan bahkan dapat mengakibatkan kematian.
Universitas Sumatera Utara
24 (11) Penyakit Phytophthora diseases of Citrus, penyakit ini disebabkan oleh jamur Phytophthora, artinya “ perusak tanaman”. Phytophthora berada pada tanah yang lembap, Spesies Phytophthora umumnya parasit dan sebagian saprofit di dalam tanah. Jamur ini dapat mengakibatkan kematian pada jeruk. (12) Powdery Mildew, Penyakit ini disebabkan oleh Acrosporium tingitaninum (Carter) Subram yang mengakibatkan pencoklatan dan jaringan daun muda dan ranting berair, dan akhirnya bagian terinfeksi berubah menguning dan mati. Penyakit powdery mildew pertama kali ditemukan di India mengakibatkan kerusakan pada jeruk mandarin dan jeruk manis, dan penyakit yang sama ditemukan di Srilangka, Indonesia, dan Filipina (Roy and Das, 1995). Penyakit ini sangat cepat berkembang pada daerah dengan tingkat kelembapan tinggi. (13) Pink disease, penyakit ini disebabkan oleh jenis jamur Pellicularia salmonicolor dan Syn Corticium salmonicolor (Berk.& Br.) ditandai dengan warna putih menyelimuti daun yang berasal dari miselium, dan pada akhirnya berubah warna menjadi pink pada cabang dan ranting tanaman (Whiteside, et al., 1988). Penyakit ini menyerang hampir semua jenis jeruk. Penyakit sangat merusak tanaman terutama pada daerah tropis dan yang memiliki curah hujan tinggi, dan gejala terlihat pada saat dan setelah musim hujan. (14) Blendok, yang disebabkan oleh jamur Diplodia natalensis. Bagian yang diserang adalah batang atau cabang dengan gejala: kulit ketiak cabang menghasilkan gum yang menarik perhatian kumbang, warna kayu menjadi abu-abu, kulit kering dan mengelupas. (15) Embun tepung, yang disebabkan oleh jamur Odidium tingitanium. Bagian yang diserang adalah daun dan tangkai muda, dengan gejala: tepung berwarna putih di daun dan tangkai muda.
Universitas Sumatera Utara
25 (16) Kudis yang disebabkan oleh jamur Sphaceloma fawcetti. Bagian yang diserang adalah daun, tangkai atau buah dengan gejala: bercak kecil jernih yang berubah menjadi gabus berwarna kuning atau oranye. (17) Busuk buah yang disebabkan oleh Penicillium sp. Phytophtora citriphora, Botryodiplodia theobromae. Bagian yang diserang adalah buah dengan gejala terdapat tepung-tepung padat berwarna hijau kebiruan pada permukaan kulit. (18) Busuk akar dan pangkal batang yang disebabkan oleh jamur Phyrophthora nicotianae. Bagian yang diserang adalah akar dan pangkal batang serta daun di bagian ujung dahan berwarna kuning dengan gejala: tunas tidak segar, tanaman kering, (19) Buah gugur prematur, yang disebabkan oleh jamur Fusarium sp. Colletotrichum sp. Alternaria sp. Bagian yang diserang: buah dan bunga dengan gejala buah gugur dua sampai empat minggu sebelum panen . (20) Jamur upas, yang disebabkan oleh Upasia salmonicolor. Bagian yang diserang adalah batang dengan gejala retakan melintang pada batang dan keluarnya gum, batang kering dan sulit dikelupas, dan (21) Kanker, yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas campestris Cv. Citri. Bagian yang diserang adalah daun, tangkai, buah dengan gejala bercak kecil berwarna hijau gelap atau kuning di sepanjang tepi, luka membesar dan tampak seperti gabus pecah dengan diameter bervariasi antara 3-5 mm. (22) Penyakit Citrus Vein Phloem Degeneration (CVPD) atau Huanglongbing (HLB) disebut sebagai penyakit tunas kuning, pertama kali ditemukan di Cina, yang disebabkan oleh bakteri Candidatus Liberibacter africanus, Ca. L. americanus dan Ca. L. asiaticus. Diskusi tentang penyakit CVPD atau
Universitas Sumatera Utara
26 Huanglongbing (HLB) pada jeruk secara terpertinci dibahas pada bagian tersendiri (Sub Bab 2.3.1). 2.2.1. Penyakit Citrus Vein Phloem Degeneration (CVPD) Pada Jeruk Penyakit CVPD atau HLB atau penyakit tunas kuning disebabkan oleh bakteri atau tepatnya Bacterium like organism (BLO) Candidatus Liberibacter. Penyakit ini ditemukan di berbagai daerah seperti Taiwan disebut sebagai likubin (penyakit gugur daun), di Filippina disebut Mottle Leaf Disease dan di India disebut Citrus Die-back. Penyakit ini juga dialami oleh hampir semua jeruk di berbagai negara seperti Afrika selatan disebut penyakit cabang kuning atau buah hijau, dan di Indonesia dikenal dengan penyakit degenerasi floem jeruk. Penyakit ini sebenarnya sudah diketahui di Inggris pada tahun 1919, tetapi penyakit CVPD ini paling banyak dikenal di Cina. Cina merupakan negara yang paling banyak memberikan deskripsi yang lengkap tentang penyakit ini maka nama penyakit ini diberikan kepada orang yang banyak berjasa dalam penemuan penyakit ini yaitu K.H. Lin (Lin Kungxiang). Nama penyakit selanjutnya diadopsi menjadi “huanglongbing” (HLB), “huanglong” berarti penguningan pada pucuk, dan “bing” artinya penyakit. Berdasarkan umur tanaman dan lamanya tanaman terinfeksi ditandai dengan terbentuknya pucuk kuning. Gejala selanjutnya terjadinya penguningan pada seluruh daun. Perkembangan berikut mengarah ke ranting, cabang dan mengakibatkan daun gugur dan produksi rendah atau kualitas buah rendah. Bila gejala berlanjut dan tanpa manajemen penyakit yang tepat dapat mengakibatkan kematian tanaman. Cara mengenali tanaman yang diserang CVPD dapat juga dengan melihat bagian vegetatif terutama daun blotchy mottle dan buah berwarna hijau, kecil karena tidak berkembang dengan biji melengkung, rasa pahit dan daging buah berasa asin. Penyakit yang paling mematikan pada budidaya Jeruk adalah CVPD yang disebabkan oleh BLO
Universitas Sumatera Utara
27 dengan vektor kutu loncat Diaphorina citri. Bagian yang diserang adalah silinder pusat terutama floem batang, dengan gejala daun sempit, kecil, lancip, buah kecil, asam, biji rusak dan pangkal buah oranye. Penyakit CVPD merupakan penyakit yang mempunyai penyebaran patogen terbatas di dalam pembuluh floem, tetapi akibat dan simptomnya dapat menyebar pada semua bagian tanaman (sistemik). Penyakit ini dikatakan sebagai daun kuning akibat klorosis. Jika dilihat dari keadaan buah yang dihasilkan oleh tanaman sakit, yang berupa buah asimetris dan tetap berwarna hijau meskipun buah sudah matang maka penyakit CVPD disebut juga greening diseases. Bakteri CVPD ditransmisikan oleh Asian Psyllid Diaphorina citri (Helmiptera: Psyllidae). Penyakit CVPD termasuk jenis penyakit perusak jeruk dan dialami petani di seluruh dunia, bahkan dinyatakan telah mengakibatkan kerugian sangat besar terhadap para petani karena telah membunuh ribuan pohon dalam waktu yang relatif singkat di berbagai negara seperti Indonesia, Filipina, India dan Arabian Penisula (Halbert dan Manjunath, 2004). Dahsyatnya penyakit CVPD menyerang jeruk karena penyakit ini sangat sulit ditangani bila dibandingkan dengan cepatnya perkembangan inokulum bakteri yang menyerang tanaman (Gottwald, et al., 2007). Meningkatnya penyebaran penyakit mengurangi kuantitas dan kualitas buah disebabkan buah jatuh sebelum matang (Bassanezy, et al., 2006), dan bila buah tidak terjatuh maka daging buah kering, kecil, ringan, dan disertai rasa asam atau pahit. Penyakit CVPD mengakibatkan batang pohon lemah dan akhirnya mati. Kematian ini dapat diakibatkan oleh CVPD itu sendiri atau disebabkan oleh penyakit lain karena ketahanan tanaman terhadap penyakit semakin melemah (Zhang and Swingle, 2005). Pada saat penyakit berinkubasi maka terlihat pucuk daun berlekuk (mottle) dan menguning, dan perkembangan pertumbuhan melambat. Tanaman yang
Universitas Sumatera Utara
28 terinfeksi tidak berbuah atau berbuah sangat sedikit membengkok (lopsided), mengeras, pahit, dan tidak bisa dikonsumsi (Bassanezi, et al., 2009). Penyakit yang sangat berbahaya terhadap tanaman jeruk ini telah dilaporkan di Asia, Afrika dan Amerika adalah Citrus Greening, yellow shoot, HLB dan di Indonesia lebih terkenal dengan sebutan CVPD. Nama ilmiah internasional untuk penyakit ini adalah Huanglongbing (HLB). Penyakit CVPD telah mewabah sampai ke Araraquara daerah Sao Paulo State, Brazil sehingga penyakit ini sudah menyebar di tiga benua kecuali Australia dan Eropa. Penyakit CVPD disebabkan oleh L. africanus penyebab CVPD di Africa, L. asiaticus di Asia, dan L. Americanus di Amerika. Pada umumnya penyakit ini merusak bagian vegetatif jeruk sampai tanaman gagal berproduksi (do Carmo, et al., 2005; Kim and Wang, 2009). Penyakit CVPD termasuk penyakit yang menghancurkan jeruk terutama jeruk manis di Asia. Di Indonesia, penyakit CVPD diketahui pada tahun 1940an (Tirtawidjaja, et al., 1965). Penyebab penyakit CVPD di Asia adalah L. asiaticus yang sudah mengakibatkan kematian masal dan penurunan produksi jeruk tersebut (Bove, 2006; Da Gracia, 1991). Berbagai jenis penyakit jeruk yang tergolong sangat serius dalam mengurangi produksi buah jeruk yang sudah diidentifikasi, diantaranya adalah CVPD, Citrus sudden Death (CSD), Citrus Variegated Chlorosis (CVC), dan Citrus Bacterial Canker (CBC). Penyakit-penyakit tersebut dapat saling terkait satu dengan lainnya. Namun penyakit CVPD yang berhubungan dengan spesies Liberibacter yang paling mengkhawatirkan produksi jeruk di seluruh dunia (Doddapaneni, et al., 2008). Patogen CVPD yang menyerang floem, berkembangbiak dan lambat laun floem tersumbat. Akibatnya bagian tanaman yang jauh dari sumber fotosintesis (source) tidak mendapatkan fotosintat dan secara perlahan akan mati. Strategi yang dibuat untuk mengatasi penyakit ini tergantung
Universitas Sumatera Utara
29 pada umur tanaman. Kelompok 1 untuk tanaman berumur 0 - 3 tahun yang positif harus dieradikasi, tanaman 4 – 10 tahun diobati dan dikontrol dengan insektisida dan bakteriosida sistemik, dan untuk tanaman berumur ≥10 tahun yang harus dilakukan adalah dengan menghilangkan bagian yang terinfeksi untuk mengurangi populasi patogen dan menggunakan insektisida mengatasi penyebarannya lewat pemberantasan vektor pembawanya. Penyakit CVPD yang disebabkan oleh patogen 3 spesies Liberibacter secara umum dapat dideteksi cepat dengan uji Iodium. Uji ini mempunyai sifat yang tidak spesifik dan tidak dapat digunakan untuk menentukan spesies patogen penyebab penyakit tersebut. Cara diagnostik lain adalah cara yang akurat dan spesifik yaitu menggunakan alat yang sensitif, marker spesifik dan dapat dipercaya untuk deteksi dini. Studi untuk mempelajari 16S rDNA dan 16S rRNA dari patogen CVPD dengan menggunakan polymerase chain reaction (PCR) telah dilakukan untuk tujuan tersebut (Kim and Wang, 2009). Metode PCR seperti sudah disebutkan diatas dapat digunakan untuk membedakan dua Liberibacter (L. asiaticus dan L. africanus) penyebab CVPD. Marker bakteri tersebut menghasilkan fragmen dengan panjang sama yaitu sekitar 1.160 pasang basa (base pair, bp). Namun menurut Jagoueix, et al., (1996) dan Teixeira, et al., (2005) terdapat karakteristik pada setiap patogen penyebab CVPD, dalam jumlah fragmen spesifik. Hasil pemotongan dengan enzim restriksi Xba 1, menghasilkan amplicon sebanyak satu sisi pemotongan sehingga menghasilkan 2 fragmen pada L. asiaticus, yang terdiri dari 640 dan 520 bp. Pemotongan dengan enzim yang sama, dihasilkan 2 amplicon dengan tiga fragmen (520, 506 dan 130 bp) pada L. africanus. Primer yang digunakan sangat spesifik GB1 dan GB2 berturut-turut primer forward dan reverse
Universitas Sumatera Utara
30 untuk mendeteksi L. americanus, OI1 dan OI2 untuk L. asiaticus serta OA1 dan OA2 untuk L. africanus. Penyakit lain seperti penyakit jeruk mati tiba-tiba atau CSD adalah penyakit yang telah membunuh tanaman jeruk sangat banyak di Brazilia. Penyakit ini diketahui adalah disebabkan oleh virus Marafivirus. Identifikasi virus ini dilakukan dengan mengisolasi RNA dari tanaman yang terserang dan bebas CSD untuk membuat cDNA, dan disimpulkan bahwa penyakit ini disebabkan oleh virus baru genus Marafivirus (Maccheroni, et al., 2005). Virus lain yang dikenal sebagai penyebab penyakit jeruk adalah Citrus Variegated Chlorosis (CVC). hadirnya virus CVC di dalam tanaman dibawa vector Xylella fastidiosa sejenis bakteri patogen, diketahui mengakibatkan penyakit pada jeruk di Brazilia (Almeida, et al., 2008). Penyakit kanker juga ditemukan pada jeruk yang disebabkan oleh bakteri kanker jeruk (Citrus Bacterial Canker, CBC). Partial sequence analysis terhadap ribosom dari Xanthomonas axonopodis meyakinkan adanya perbedaan berbagai strain yang menyebabkan tipe kanker CBC jeruk (Cubero and Graham, 2002). Dari berbagai penyakit serius yang menyerang jeruk penelitian ini hanya ditekankan pada satu penyakit yaitu CVPD. Penyakit CVPD ditularkan melalui inang kutu loncat Diaphorina citri. Vektor ini selain membawa bakteri penyebab CVPD, dapat juga menyebabkan kerusakan mekanik langsung pada tanaman jeruk. Vektor ini menularkan CVPD dipersemaian dan kebun serta terutama ditemukan pada tunas muda (Titrawidjaja, 1984). Diaphorina citri menyerang tangkai, kuncup bunga, tunas serta daun- daun muda Daun muda biasanya banyak tumbuh pada saat musim semi di daerah empat musim sering disebut flushing. Daun-daun pada tanaman dengan serangan akut gugur dan diikuti pucuk mati (dieback). Bagian tanaman yang terserang parah biasanya mengering secara perlahan kemudian mati. Serangan ringan mengakibatkan tunas-tunas muda mengeriting dan
Universitas Sumatera Utara
31 pertumbuhannya terhambat. Kutu juga menghasilkan sekresi berwarna putih transparan berbentuk spiral, biasanya diletakkan berserak diatas daun atau tunas. Managemen perkebunan jeruk yang baik dapat meminimalkan dan bahkan meniadakan populasi Diaphorina citri. Agar jumlah serangga tersebut tidak bertambah dapat dikendalikan menggunakan pestisida seperti Perfekthion, Roxion 40 EC, Rogor 40 EC, Cygon yang diaplikasikan pada daun atau disuntikan pada batang, dan Edosulfan (Dekasulfan 350 EC) pada saat tanaman menjelang dan ketika bertunas (BPPT, 2002). Cara lain dapat dilakukan dengan menggunakan tanaman sela misalnya lamtoro, jambu biji (Psidium guajava) dan periwinkle atau Murraya peniculata dan M. Exotica (Subandiyah, komunikasi personal). Usaha untuk mendapatkan bibit tanaman jeruk yang bebas penyakit CVPD perlu dilakukan, karena penyakit tersebut menjadi salah satu penyakit yang dapat mengakibatkan kematian masal terhadap jeruk. Sampai tahun 1996, penyakit tersebut telah dilaporkan terdapat di Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Yogyakarta dan Sulawesi Utara. Penyebaran CVPD secara geografis dari satu daerah ke daerah lain, serta masuknya penyakit ke dalam kebun disebabkan oleh bahan tanaman yang terinfeksi, terutama berasal dari penggunaan tunas mata tempel yang terinfeksi. Sedangkan penyebaran ke tanaman lain dalam satu kebun biasanya melalui vektor Diaphorina citri atau penggunaan tunas mata tempel yang terinfeksi. Penularan melalui kuncup biasanya relatif rendah (5-10%), karena bakteri penyebab penyakit ini tidak tersebar merata dalam jaringan tanaman. Penularan CVPD selalu melalui (a) vektor (b) mata tempel (c) bibit tanaman sakit, juga dapat melalui alat yang digunakan memotong dahan ranting tanaman jeruk yang sakit karena CVPD (BPPT, 2002).
Universitas Sumatera Utara
32 Penyakit CVPD yang disebabkan oleh bakteri L. asiaticum juga merupakan penyakit yang paling merusak pada tanaman jeruk di banyak negara penghasil jeruk di Asia lainnya Malaysia, Thailand, Cambodia, Butan, India, Vietnam, China, Pakistan, Laos dan sebagainya. Di negara-negara tersebut, teknik PCR juga digunakan untuk mendeteksi fragmen 16S rDNA patogen CVPD pada daun-daun jeruk yang terinfeksi. Pengujian terhadap bibit yang bebas penyakit CVPD dapat dilakukan dengan cara tersebut sehingga dapat dilakukan tindakan selanjutnya bila ternyata terdapat pohon terinfeksi dan pohon induk bebas CVPD dijadikan dari galur murni untuk perbanyakan lebih lanjut. Cara yang sudah berhasil dilakukan untuk menghasilkan true to type bebas CVPD adalah melalui teknik shoot tip grafting atau sambung tunas pucuk. Jaringan meristem di ujung tunas paling pucuk berdiameter 0,15 - 0,2 mm dipakai sebagai batang atas agar patogen sistemik yang ada pada jaringan tanaman asal belum sampai pada ujung tunas untuk memperoleh tanaman bebas patogen. Sambungan in vitro ditumbuhkan dalam media cair dengan bantuan kertas saring pada tingkat cahaya 1.000 lux selama 16 jam setiap hari dan dijadikan sebagai mata tempel yang disambung sisip pada batang bawah di dalam polibag, dan ditumbuhkan dalam rumah kasa guna memacu pertumbuhan. Selanjutnya hasil perbanyakan dapat dianalisis dengan mengambil sampel tulang daun sebanyak 0,3 - 0,5 g dihancurkan, ditambah buffer, diinkubasi pada suhu 65 oC, dan DNA diekstraksi dan diuji menggunakan PCR untuk konfirmasi bibit yang bebas penyakit. 2.2.2. Polymerase Chain Reaction (PCR) Untuk Deteksi CVPD Gejala penyakit CVPD dapat diamati secara morfologi dan anatomi. Deskripsi secara morfologi umumnya ditunjukkan dengan bercak-bercak kuning dibagian tunas khususnya daun. Keadaan seperti ini tidak spesifik karena kadang simptom ini juga
Universitas Sumatera Utara
33 didapatkan pada tanaman yang mengalami defisiensi Zn ataupun infeksi Phytophthora gummosis (Bove, 2006). Sementara itu mikroskop elektron dapat digunakan sebagai konfirmasi penyakit ini tetapi bakteri kadang tidak ditemukan karena pengambilan sampel yang tidak benar dan tidak tepat. Preparasi sampel untuk mikroskop elektron adalah dengan menggunakan bagian tulang daun dan bila jumlah bakteri sangat sedikit maka irisan buluh tapis sebaiknya dibuat membujur. Diagnosis Liberobacter dilakukan dengan ekstraksi DNA jeruk yang sudah distandarisasi menurut Nakahara, et al. (1998). Pasangan primer yang sangat spesifik penyakit CVPD yang digunakan untuk deteksi diperoleh dari hasil pengembangan dengan cara kloning dan sekuensing DNA-CVPD. Hibridisasi titik (dot hybridization) menggunakan DNA probe terseleksi memberikan hasil reaksi yang sangat spesifik, sensitif dan stabil dengan ekstrak DNA dari bakteri tanaman jeruk yang terinfeksi. Teknik ini sudah digunakan secara luas dan sudah dikembangkan untuk deteksi bakteri CVPD untuk studi ekologi (Su, et al., 1991; 1998), untuk tanaman inang dan vektor (Hung, et al., 1999; 2003; 2004) dan secara rutin digunakan untuk indeksing jeruk bebas patogen. Prosedur deteksi PCR meliputi ekstraksi DNA dari daun jeruk dilanjutkan dengan elektroforesis hasil PCR yang secara lengkap dijelaskan dalam Su (2008). Teknik PCR sangat spesifik, akurat dan simpel sehingga cara ini digunakan secara luas dan metodenya semakin baik karena dengan terus diperbaharui dan dikembangkan. Sistem PCR yang digunakan ada 2 macam. Pertama berdasarkan pada amplifikasi fragmen 1160 pasang basa Liberobacter 16S rDNA (Jagoueix, et al., 1996). Seperti sudah disebut diatas, primer OI1/OI2c dapat mengamplifikasi rDNA baik dari L. asiaticus dan L. africanus sementara itu OA1/OI2c lebih sesuai untuk mendeteksi rDNA L. africanus . Untuk tanaman jeruk yang mengandung 2 jenis bakteri maka
Universitas Sumatera Utara
34 disarankan untuk menggunakan 2 primer yaitu forward, OI1+OA1 dan reverse OI2c pada
campuran PCR yang sama. Hasil analisis menunjukkan bahwa rDNA yang
diamplifikasi dari L. asiaticus mempunyai satu sisi restriksi Xba1 dan menghasilkan dua potongan 520 dan 640 pasang basa. Kedua sistem PCR berdasarkan pada sekuen operon rplKAJL-rpoBC yang dapat membedakan dengan jelas antara spesies Liberibacter satu dengan lainnya. Khususnya daerah antara gen rplA dan rplJ yang berbeda 34 bp lebih besar pada L. asiaticus dari pada L. africanus. Dengan primer forward f-rplJ5 menyeleksi gen rplA dan primer reverse r-rplJ5 dari gen rplJ diperoleh amplifikasi DNA 703 bp dari dan DNA 669 bp dari L. africanus. Bila dua spesies Liberibacter ada di dalam sampel maka amplifikasi DNA yang dihasilkan dua dan bila dielektroforesis menunjukkan 2 pita masing-masing 669 bp di bawah dari L. africanus dan 703 bp diatas dari L. asiaticus (Hocquellet, et al., 1999). 2.2.3. Seleksi Tanaman Untuk PCR Seleksi untuk mendapatkan hasil sesuai dengan yang diinginkan umumnya menggunakan teknik fingerprint untuk menjaga kestabilan bibit yang dilepas ke pasar. Teknik fingerprint yang banyak dilakukan adalah dengan RAPD, RFLP, dan ISSR. Bibit dari kultur dijaga kualitasnya supaya tidak mengalami perubahan dalam sifat-sifat yang dianggap baik (potensial). Dengan demikian, variasi somaklonal sering terjadi pada kultur setelah beberapa kali siklus dan untuk menjaga stabilitas kultur perlu dipelihara jenis sumber eksplan yang digunakan. Percobaan yang menggunakan pucuk tunas cenderung menghasilkan kualitas kultur yang stabil (Bareiss, et al., 2008) seperti yang diamati pada kultur tomat Lycopersicon esculentum Mill (Rastogi and Sawhney, 1990). Dalam percobaan yang direncanakan ini, stabilitas kultur akan dijaga agar diperoleh kualitas bibit yang baik sama dengan induknya. Hal inilah yang mendasari
Universitas Sumatera Utara
35 peneliti menggunakan sumber eksplan meristem untuk instabilitas kultur dan bebas patogen. Apabila hasil skrining didapatkan tanaman jeruk Brastepu yang tahan terhadap CVPD maka stek mikro dapat dilakukan untuk menghasilkan tanaman yang sama dengan tanaman induk. Bahan tanaman berupa potongan batang muda yang terdiri dari satu buku batang, berukuran berkisar 1,0 - 1,5 cm ditanam dengan posisi tegak di dalam medium. Sitokinin dan auksin dibutuhkan masing-masing untuk merangsang pertumbuhan tunas aksiler dan pembentukan akar. 2.3. Perbanyakan Vegetatif Tanaman Berkayu Perbanyakan vegetatif termasuk sebagai perbanyakan tanaman yang ideal dan cepat, terutama pada tanaman yang akan menghasilkan bibit yang sama dengan induknya (Tchoundjeu, et al., 2004). Tetapi, kemampuan tanaman dalam pembentukan akar sangat ditentukan oleh beberapa faktor seperti posisi pemotongan bakal tunas (Agbo and Obi, 2007), dan umur tanaman (Bhardwaj and Mishra, 2005; Husen and Pal, 2006). Posisi pemotongan bakal tunas sangat efektif di dalam menginduksi akar bagi tanaman stek dan menyatunya bakal tunas dengan tanaman induk (Husen and Pal, 2007), sedangkan umur tanaman sangat nyata bagi beberapa tanaman yang disebabkan oleh pengurangan auksin endogenos atau disebabkan oleh semakin rendahnya sensitifitas tanaman di alam membentuk akar dan bakal tunas (Husen and Pal, 2006). Faktor lain seperti penambahan zat pengatur tumbuh indole-3-butyric acid (IBA) dalam menginduksi tanaman juga dijelaskan oleh Amri, et al, (2010) pada tanaman berkayu Dalbergia melanoxylon. Perbanyakan tanaman secara vegetatif telah berhasil dilakukan untuk perbanyakan tanaman liar penghasil obat seperti Stereospermum suaveolens DC yang mengandung bioaktif dengan cara memicu perakaran pada batang tanaman dengan menggunakan zat
Universitas Sumatera Utara
36 penginduksi akar Indole-3-butyric acid (IBA) (Baul, et al., 2008). Perbanyakan vegetatif terhadap tanaman berkayu tanaman penghasil buah juga telah dilakukan untuk tanaman apel sekaligus digunakan untuk untuk menganalisis genetik apel (Sano, et al., 2008). Keberhasilan ini dapat dimanfaatkan untuk perbanyakan secara vegetatif terhadap tanaman berkayu penghasil buah seperti jeruk. 2.3.1. Perbanyakan Vegetatif Jeruk Perbanyakan jeruk manis yang paling banyak digunakan untuk menghasilkan bibit adalah menggunakan teknik vegetatif. Jeruk dapat diperbanyak dengan beberapa cara perbanyakan vegeratif antara lain stek, sambung dan okulasi. Disamping itu menurut Williamson and Jackson (1994); Prastowo, et al., ( 2006) jeruk juga dapat diperbanyak dengan cara perbanyakan lainnya seperti penyusuan dan cangkok. Namun beberapa cara tersebut ada kelemahannya misalnya cara stek mempunyai kelemahan antara lain perakaran kurang kuat dan cara sambung kelemahannya batang atas sering patah bila sistem sambungan kurang kuat serta cangkok tidak disarankan karena dibutuhkan materi banyak tetapi resiko laten penyakit sistemik. Perbanyakan dengan okulasi adalah cara yang paling umum diterapkan pada jeruk. Perbanyakan dengan okulasi adalah cara yang paling umum diterapkan pada jeruk. Okulasi memerlukan batang bawah dengan perakaran baik dan mata tempel dari tanaman unggul. Persyaratan lainnya adalah pertumbuhan batang atas dan bawah seimbang (Sumaatmadja, 2001). Batang bawah yang sudah teruji baik adalah raflemon dan sitrun jepang (Japanese Citroen). Batang bawah diperbanyak dengan biji dan dapat dengan cepat menyesuaikan dengan pertumbuhan mata tempel dari berbagai jeruk unggul. Keberhasilan okulasi sangat besar dan hal ini dipengaruhi oleh masa simpan mata tempel, media pembungkus dan masalah teknis misalnya masuk air dan debu pada daerah tempelan. Perbanyakan vegetatif jeruk manis dapat dilakukan dengan cara
Universitas Sumatera Utara
37 okulasi (budding) dan sambung (Grafting). Teknik okulasi adalah dengan menempelkan mata tunas pada tanaman batang bawah. Metode berdasarkan bentuk sayatan pada batang bawah dan cara meletakkan mata tempel pada batang bawah. Metode-metode perbanyakan vegetatif tersebut diantaranya adalah T-budding, Chip Budding, Patch budding dan V budding, dan sudah terbukti dapat digunakan untuk perbanyakan secara okulasi. Teknik okulasi telah lama dilakukan untuk perbanyakan bibit jeruk, baik oleh petani jeruk maupun dalam penyediaan bibit jeruk secara komersil. Teknik okulasi memiliki beberapa keuntungan dalam jaminan kualitas dan kuantitas produksi karena tanaman yang diperoleh akan sama atau hampir sama dengan tanaman induknya, sehingga dipandang sangat menguntungkan karena sudah dapat menduga hasil akhir yang akan diperoleh pasca budidaya. Perbanyakan secara okulasi membutuhkan perawatan bibit dalam jangka waktu cukup lama, akan tetapi tanaman lebih cepat berproduksi dibanding tanaman yang diperbanyak secara generatif. Penggunaan teknik okulasi untuk perbanyakan bibit jeruk lokal Sumatera Utara berkualitas baik dan bebas penyakit CVPD sangat tepat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan bibit unggul agar produksi jeruk manis meningkat, sekaligus melestarikan kekayaan plasma nuftah tanaman jeruk manis Indonesia dari kepunahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengoptimalkan teknik okulasi perbanyakan jeruk jeruk lokal Sumatera Utara untuk menghasilkan bibit jeruk berkualitas baik dan bebas penyakit CVPD, sehingga dapat digunakan sebagai sumber bibit mengatasi kelangkaan jeruk lokal di Sumatera Utara dan meningkatkan produksi jeruk manis varietas lokal. Perbanyakan tanaman jeruk keprok brastepu secara okulasi menggunakan jeruk asam sebagai batang bawah juga telah dilakukan oleh Nurwahyuni, et al. (2012), Okulasi yang diaplikasikan adalah metode Forkert dalam Prastowo, et al., (2006).
Universitas Sumatera Utara
38 Batang bawah yang dipersiapkan berupa tanaman jeruk asam berumur enam bulan dan mata tempel berasal dari jeruk Brastepu yang tahan CVPD. Pengamatan dilakukan selama lima bulan. Peubah pengamatan meliputi saat pecah tunas, jumlah daun, panjang tunas, dan persentase okulasi tumbuh. Prosedur selengkapnya adalah sebagai berikut: Penyediaan batang bawah adalah biji jeruk asam disemai di tanah bedengan dan ditumbuhkan selama enam bulan. Penyediaan batang sumber entres atau mata tempel adalah berasal dari jeruk Brastepu dipilih dari pohon yang masih produktif, sehat, dan umur yang berbeda (±15 dan 30 tahun). Dari hasil penelitian optimalisasi teknik okulasi untuk menghasilkan bibit jeruk Brastepu bebas penyakit CVPD disimpulkan bahwa Jeruk asam berumur tujuh bulan sangat baik sebagai batang bawah okulasi jeruk keprok Brastepu. Keberhasilan tanaman induk batang bawah menyatu dengan mata tempel sangat dipengaruhi oleh umur bud stick dan lama penyimpanan mata tempel. Kondisi optimum pertumbuhan dan perkembangan jeruk Brastepu okulasi diperoleh menggunakan bud stick dari tanaman sehat yang relatif muda, dan okulasi dilakukan langsung pada hari pada saat pengambilan mata tempel menghasilkan bibit dengan tunas lebih panjang, jumlah daun lebih banyak, dan jumlah cabang lebih banyak. Analisis DNA dengan teknik PCR dibandingkan dengan marker DNA CVPD yang terdapat di dalam jeruk menunjukkan bahwa semua tanaman hasil okulasi dari sumber bud stick yang sehat menghasilkan tanaman bebas penyakit CVPD. 2.3.2. Teknik Okulasi Perbanyakan Vegetatif Jeruk Perbanyakan vegetatif jeruk manis dapat dilakukan dengan cara okulasi (budding) dan sambung (Grafting). Teknik okulasi adalah dengan menempelkan mata tunas pada tanaman batang bawah. Lewis and Alexander (2008) membagi cara ini menjadi empat metode berdasarkan bentuk sayatan pada batang bawah dan cara meletakkan mata tempel. Metode-metode tersebut adalah T-budding, Chip Budding, Patch budding dan V
Universitas Sumatera Utara
39 budding. Sementara itu, beberapa literatur mengklasifikasi dengan cara yang agak berbeda, teknik okulasi dibagi menjadi lima cara yaitu tempel huruf T (T-budding), tempel cara Forkert, Tempel H, tempel segi empat dan tempel jendela. Dua teknik okulasi yang berhasil dilakukan untuk perbanyakan jeruk manis adalah T-budding, dan Chip budding. T-budding termasuk prosedur yang paling sederhana sehingga teknik T-budding banyak digunakan untuk perbanyakan jeruk manis (Williamson and Jackson, 1994). T-budding dilakukan dengan cara membuat irisan T pada tanaman induk, kemudian menempelkan tanaman asal pada tanaman induk dan mengikatnya dengan kuat agar tanaman batang bawah dengan tanaman asal dapat tersambung dengan baik. T-budding dapat dilakukan apabila tanaman asal dan tanaman induk memiliki ukuran yang memadai dan dilakukan paling sedikit 6 inci atau sekitar 20 cm dari bawah tanah. Sedangkan metode Chip Budding membutuhkan keahlian dan dilakukan apabila kulit tanaman tidak mudah dipisahkan karena sudah terlalu tua. Teknik chip budding dilakukan dengan mengiris batang tanaman yang mengandung kulit dan kayu serta mengiris tanaman batang bawah sama besarnya dengan mata tempel, dan diikat sedemikian rupa sehingga proses penyembuhan antara tanaman induk dengan tanaman yang ditempelkan dapat terjadi dengan secepatnya. Ada empat syarat yang diperlukan dalam perbanyakan Jeruk secara okulasi diantaranya adalah: (1) tanaman jeruk asal yang akan di tempel harus sehat karena tanaman yang kurang sehat tidak akan mendukung dalam proses penempelan tanaman asal ke tanaman induk, (2) kulit tanaman harus mudah dipisahkan dari batang kayu, sehingga sebelum dilakukan penempelan maka harus terlebih dahulu diuji kemudahan kulit terpisah dari bagian kayu, (3) pisau yang digunakan harus tajam sehingga tidak merusah jaringan tanaman dan setelah ditempelkan tanaman dengan mudah menyesuaikan antara sambungan mata tempel dengan batang bawah, (4)
harus
Universitas Sumatera Utara
40 memiliki alat untuk mengikat antara bagian tanaman asal yang ditempel dengan tanaman induk yang dipilih, yaitu terbuat dari bahan karet atau bahan plastik yang bersifat elastis dan dapat menjaga tanaman dari pengaruh luar misalnya masuknya debu, air dan organisma yang dapat merusak tempelan. Teknik okulasi dan sambung dapat digunakan untuk membuat tanaman ”cocktail”. Namun bibit /tanaman ini umumnya diperuntukkan sebagai tanaman hias. Misalnya jeruk batang bawah ditempel atau disambung dengan beberapa mata tempel atau pucuk dari spesies berbeda dari satu genus yang kompatibel. Setiap mata tempel atau pucuk menghasilkan batang, daun, bunga dan buah persis sama dengan induknya. 2.3.3. Pemilihan Batang Bawah Jeruk Untuk Okulasi Keberhasilan bibit jeruk pada umumnya didasarkan pada kesesuaian batang bawah yang digunakan dalam teknik okulasi. Keberhasilan ini juga sangat banyak dipengaruhi oleh toleransi batang bawah terhadap berbagai jenis organisme seperti nematoda dan fungi Phytophthora yang terdapat di dalam tanah. Berbagai jenis jeruk yang digunakan sebagai batang bawah seperti Jeruk asam, Carrizo citrange, Troyer citrange, Swingle citrumelo, masing-masing dengan berbagai kelebihannya. Batang bawah jeruk asam sangat toleran terhadap penyakit exocortis dan virus daun sementara jenis jeruk yang lain tidak tahan, sehingga tanaman akan menunjukkan gejala penyakit setelah ditanam di dalam tanah. Berbagai jenis jeruk yang digunakan sebagai batang bawah dan responnya terhadap jamur, nematoda dan virus dirangkum pada Tabel 2.1.
Universitas Sumatera Utara
41 Tabel 2.1. Reaksi berbagai jenis jeruk yang digunakan sebagai batang bawah terhadap berbagai patogen Batang Bawah Phytophora
Nematoda
CTV
CEV
CTLV
Jeruk asam
Toleran
Diragukan
Diragukan
Toleran
Toleran
Carrizo citrange
Toleran
Toleran
Toleran
Diragukan
Diragukan
Troyer citrange
Toleran
Toleran
Toleran
Diragukan
Diragukan
Swingle
Resisten
Resisten
Toleran
Toleran
Diragukan
citrumelo
Dari berbagai jenis tanaman yang digunakan sebagai batang bawah diketahui bahwa jeruk asam, carrizo citrange, troyer citrange, swingle citrumelo memikiki toleransi yang baik untuk berbagai jenis sumber penyakit berupa phytophora, nematoda, dan virus. Berdasarkan laporan petani di Kabupaten Karo diketahui bahwa jeruk asam mendominasi digunakan seabagai batang bawah karena tanaman yang diperbanyak dengan menggunakan batang bawah jeruk asam memiliki ketahanan terhadap berbagai jenis penyakit, sangat mudah beradaptasi dengan tanaman target (berbagai jenis jeruk manis), produksi buah tinggi, dan batang bawah tanaman pada umur jeruk sampai beberapa puluh tahun tidak mengalami kerusakan. Dengan menggunakan alasan petani ini maka dalam penelitian dalam ini digunakan jeruk asam sebagai batang bawah untuk perbanyakan Brastepu. 2.3.4. Teknik Grafting Perbanyakan Vegetatif Jeruk Perbanyakan vegetatif jeruk manis dapat dilakukan dengan cara Grafting. Perbanyakan vegetatif secara Grafting adalah dengan menyambungkan tunas pucuk pada tanaman batang bawah. Ada beberapa teknik grafting yang dikenal, yaitu whip,
Universitas Sumatera Utara
42 cleft, bridge, in arch, stump, side, in lay bark, dan lain-lain. Teknik grafting banyak dilakukan untuk memperbaiki tanaman dengan menggunakan varietas yang sama atau varietas berbeda untuk menghasilkan tanaman baru. Teknik grafting tidak dilakukan untuk perbanyakan jeruk manis karena teknik ini lebih sulit dibandingkan terhadap perbanyakan secara teknik budding (Williamson and Jackson, 1994). Teknik grafting dengan menggantikan tanaman bagian atas dengan menggantikan tanaman target dapat dilakukan untuk tanaman jeruk manis, atau menjadikan tanaman memiliki dua jenis atau lebih kultivar. Pada saat melakukan grafting harus diusahakan meninggalkan sedikit daun pada batang bawah dan menyambungkan pucuk tanaman target pada bagian ujung batang utama atau ranting batang bawah dan mengikatkannya secara kuat agar pucuk dan tanaman batang bawah tersambung dengan baik. 2.4. Kultur In Vitro Tanaman Kultur jaringan tanaman merupakan cara yang sangat baik untuk perbanyakan dan perbaikan kualitas tanaman. Kultur jaringan atau kultur in vitro kini sering digunakan untuk perbanyakan bibit tanaman dikotil dan sudah lama dilakukan, terutama terhadap tanaman yang memiliki nilai ekonomi (Chaturvedi, et al., 1982). Bahan tanaman (eksplan) yang umum digunakan adalah bagian biji, benih, helai daun, tangkai daun, ruas batang, tunas aksilar, meristem apikal, dan kultur protoplas (Ling and Iwamasa, 1997; Balch and Alejo, 1997; Santos, et al., 2005; Davey, et al., 2005). Eksplan untuk kultur jaringan harus diambil dari bahan yang masih muda karena jaringan tersebut mengandung sel-sel yang aktif membelah atau sel meristematik (Guiderdoni, 1988). Kultur jaringan tanaman dari buku batang dapat menghasilkan tanaman dengan cepat dan dalam jumlah besar (Edriss and Burger, 1984). Pemilihan eksplan banyak ditentukan oleh tujuan penelitian dan terutama tergantung pada
Universitas Sumatera Utara
43 ketersediaan bahan sepanjang waktu. Pada umumnya eksplan ditanam pada media Murashige dan Skoog (MS). Media untuk kultur jaringan mengandung garam-garam mineral, asam-asam amino, vitamin, sumber karbon dan energi (gula) dan zat pengatur tumbuh, dengan komposisi tertentu (Murashige and Skoog, 1962; Murashige and Tucker, 1969). Zat pengatur tumbuh yang digunakan dalam kultur jaringan bermacam-macam antara lain auksin (NAA, 2,4-D, IBA, dll.) dan sitokinin (BA, kinetin, dan zeatin). Respon eksplan terhadap zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media berbeda, tergantung pada jenis tanaman. Potongan tunas, batang atau petiolum berukuran besar (1-2 cm) biasanya membentuk tunas dan akar bila ditumbuhkan pada media basal tanpa suplemen (Ammiranto, 1984). Namun ujung tunas atau meristem apikal membutuhkan kombinasi auksin dan sitokinin untuk pertumbuhan. Efisiensi dan efektifitas dari hormon tumbuhan auksin dan sitokinin dapat berbeda. Kinetin sangat efektif untuk kultur buku batang, sedangkan BA efektif untuk kultur tunas apikal (Carimi, et al., 1995). Sitokinin konsentrasi rendah akan memacu perkembangan tunas sedangkan pada konsentrasi tinggi dapat merangsang pembentukan penggandaan tunas. Auksin konsentrasi rendah akan memacu pertumbuhan akar dan pada konsentrasi tinggi dapat merangsang pertumbuhan kalus (Magoon and Singh, 1995; Goh, et al., 1995). Dengan demikian, dalam usaha perbanyakan tanaman dibutuhkan pemilihan perbandingan konsentrasi auksin, sitokinin dan suplemen yang tepat, karena hal ini akan menentukan dalam derajat keberhasilan pembentukan tanaman baru (Nurwahyuni dan Tjondronegoro, 1994). 2.4.1. Kultur In Vitro Jeruk Tanaman Jeruk yang diperbanyak dengan menggunaan kultur in vitro telah dimulai oleh Bove and Morel (1957), dan sejak itu kultur in vitro jeruk banyak
Universitas Sumatera Utara
44 mendapat perhatian. Beberapa penelitian dalam kultur in vitro tanaman untuk beberapa jenis spesies jeruk telah dilaporkan dalam beberapa publikasi ilmiah. Regenerasi tanaman jeruk secara kultur in vitro telah dilakukan dari bagian akar (Grosser, 2000; Bhat, et al., 1992; Sauton, et al., 1982), bagian daun (Grosser, et al., 1996; Hu and Kong, 1987), dari bagian buku batang (Moore, et al., 1986; Costa, et al., 2004), bakal buah (Carimi, et al., 1998) dan protoplas (Da Gloria, 2000; Das, et al., 2000). Penggunaan eksplan untuk beberapa jenis spesies jeruk telah dilakukan, misalnya yang berasal dari buku batang dan ruas epikotil (Edriss and Burger, 1984; Grinblat, 1972). Peneliti lain seperti Hunt, et al., (2001); Moore, et al., (1992); dan Pena, et al., (1995) juga telah berhasil membentuk tanaman jeruk transgenik dengan menggunakan mediasi transformasi menggunakan Agrobacterium (Casanova, et al., 2005; Li, et al., 2003; Molinari, et al., 2004; Pena, et al., 2004). Usaha untuk mendapatkan tanaman jeruk transgenik melalui perubahan genetis juga telah dilakukan oleh Shimada, et al., (2004), Hao, et al., (2005), Guo and Grosser, (2005), Miki, et al., (2005), dan McHugh, et al., (2005). Perbanyakan tanaman jeruk secara in vitro melalui kultur jaringan memiliki beberapa keuntungan diantaranya adalah dapat menghasilkan bibit klonal secara masal dalam waktu singkat, dapat meningkatkan kualitas tanaman karena menghasilkan tanaman jeruk yang seragam dan tingkat kesehatan lebih baik (Ghorbel, et al., 1998). Perbanyakan in vitro untuk pembentukan planlet kultur jaringan jeruk adalah melalui embriogenesis somatik, yaitu dapat menghasilkan propagula dalam jumlah besar dalam waktu singkat. Proses pembentukannya terjadi secara langsung atau tidak langsung melalui pembentukan kalus (Germana, et al., 1994; Raman, et al., 1992; Beloualy, 1991; Chaturvedi and Mitra, 1974). Keberhasilan perbanyakan tanaman secara embriogenesis dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh (ZPT), sumber nitrogen,
Universitas Sumatera Utara
45 konsentrasi hara dalam media tumbuh, jenis tanaman, eksplan dan lingkungan tumbuh, iklim (Hidaka, 1984; Ling and Iwamasa, 1997; Carimi, et al., 1994; Katz, et al., 2005). Media MS yang diperkaya kinetin dapat berpengaruh memacu pertumbuhan kalus embriogenik tanaman jeruk (Moder, et al., 1999; Carimi, et al., 1995). Perbanyakan tanaman jeruk manis Citrus sinensis L. Osbeck telah dimulai oleh Duran-Vila, et al., (1989) untuk pembentukan kalus, dan studi terhadap pengaruh pemberian zat pengatur tumbuh dalam kultur jaringan jeruk juga telah dilaporkan oleh Maggon and Singh (1995) dan Hidaka and Kajiura (1988). Telah diketahui bahwa faktor genetik varietas jeruk menyebabkan perbedaan dalam jalur metabolisme pembentukan gula yang akan mempengaruhi rasa manis jeruk, yaitu dipengaruhi oleh aktivitas enzim dalam metabolisme pembentukan gula penentu rasa manis (Vu, et al., 1995). 2.4.2. Faktor Penentu Dalam Kultur In Vitro Jeruk Beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan dalam pemilihan eksplan diantaranya organ sumber eksplan, umur organ, musim, ukuran eksplan, dan kualitas tanaman induk (Barlass and Skene, 1982). Untuk tanaman jeruk, sebagai sumber bahan eksplan adalah bagian vegetatif tanaman karena mudah diperoleh. Eksplan yang potensil untuk regenerasi jeruk adalah tunas. Faktor lain yang juga tidak kalah penting adalah faktor lingkungan seperti kelembaban, pH, suhu, dan cahaya (Moreira-Dias, et al., 2001; Goh, et al., 1995; Piqueras, et al., 1994; Hidaka, 1984). Faktor-faktor yang disebutkan di atas seluruhnya akan menjadi perhatian dalam kultur meristem untuk usaha perbaikan kualitas bibit jeruk yang tahan dilaksanakan sesuai rencana penelitian sebagai bagian dari tugas akhir Program Doktor Bidang Ilmu-ilmu Pertanian-USU. Kultur in vitro yang sesuai dengan topik penelitian ini adalah kultur meristem. Sesungguhnya cara ini hanya merupakan salah satu dari beberapa cara untuk
Universitas Sumatera Utara
46 menghasilkan tanaman bebas patogen (Pierik, 1987). Meristem dinyatakan bebas patogen karena bagian ini sangat terlindung. Bagian tanaman dengan ukuran berkisar 0,1 – 0,5 mm bahkan 1,0 mm merupakan jaringan yang tidak mempunyai berkas pengangkut sehingga bagian ini steril, dan tidak pernah ditempati oleh mikroba internal baik yang bersifat patogen maupun tidak. Kriteria meristem yang lain adalah aktivitas metabolismenya tinggi sehingga multiplikasi virus dan mikroba lain tidak terjadi, aktivitas pembelahan tinggi dapat menonaktifkan sistem pembelahan virus dan mikroba dan kandungan auksinnya tinggi sampai pada taraf menghambat pembelahan mikroorganisme seluruhnya. Respon morfogenetik meristem di dalam kultur menurut George dan Sherrington (1989) tergantung kepada (1) ukuran eksplan, (2) tipe media, (3) jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh, (4) faktor lingkungan, (5) keadaan tanaman sumber eksplan, dan (6) wadah kultur. Bila semua faktor dalam keadaan optimum maka hasil yang diperoleh merupakan tanaman klonal bebas patogen. Selama ini tingkat keberhasilan kultur meristem
ini mencapai 80 - 100%. Meristem tembakau dengan ukuran ≤0,8 mm
menghasilkan 100% tanaman bebas virus mosaik dan tanaman regeneran dari kultur dengan eksplan > 0,8.mm menunjukkan simptom mosaik. Sementara itu kultur meristem ubi jalar, membutuhkan eksplan yang lebih kecil lagi untuk menghasilkan tanaman bebas patogen yaitu 0,4 mm. Penggandaan tunas mikro hasil induksi meristem apikal dapat digunakan sebagai sumber eksplan. Penggandaan tunas, mampu memperbaiki mutu bibit yang dihasilkan, dan mampu mempertahankan sifat-sifat morfologi yang positif (Rice, et al., 1992). Usaha untuk perbanyakan melalui teknik kultur meristem telah berhasil dilakukan untuk tanaman seperti tandan pisang abaca (Musa textilis Nee), yaitu diperoleh bahwa kombinasi konsentrasi BAP dan NAA berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas,
Universitas Sumatera Utara
47 panjang tunas dan jumlah daun pada subkultur (Suyadi, et al., 2003). Keberhasilan penggandaan tunas abaca melalui kultur meristem tergantung pada keseimbangan zat pengatur tumbuh golongan auksin dan sitokinin, terutama keseimbangan antara 6Benzil Amino Purin (BAP) dan Asam Naftalen Asetat (NAA). Teknik kultur meristem juga telah dilakukan untuk tanaman tembakau (Nicotiana tabacum), yaitu dengan menggunakan inhibitor synthesis hydroxyproline 3,4-dehydro-L-proline (3,4-DHP), pada kultur calon biji (ovul) dan kultur embrio (Zhang, et al., 2008). Pengujian terhadap perkembangan kultur meristem juga telah dilaporkan oleh (Grandjean, et al., 2004) untuk
berbagai
jenis
tanaman
Arabidopsis.
Metode
ini
dilakukan
dengan
mengkombinasikan marker protein yang berfluoresen di dalam strain sehingga pengamatan terhadap proliferasi sel, pengembangan sel, dan diferensiasi sel menjadi tunas dapat dilakukan. Teknik pengendalian hormon etilen pada pertumbuhan dan perkembangan sel pada tanaman Populus dilaporkan dapat mempengaruhi kultur meristem (Love, et al., 2009). Percobaan dini dilakukan menggunakan transgenik tidak sensitif terhadap etilen dan ethylene-overproducing hybrid aspen (Populus tremula x tremuloides) dipadukan dengan menggunakan inhibitor persepsi ethylene [1methylcyclopropene
(1-MCP)]
menunjukkan
bahwa
etilen
dihasilkan
secara
endogenous sebagai hasil stimulasi sel pada meristem kambium. 2.4.3. Kultur Meristem Pada Jeruk Kultur meristem pada berbagai jenis jeruk juga sudah banyak dilakukan. Chaturvedi, et al., (2001) berhasil mengkultur meristem sebesar 0,2 - 0,5 mm pada 2 spesies jeruk komersial yaitu Citrus aurantifolia dan C. sinensis dan 1 spesies jeruk rootstock, C. limonia. Keberhasilan kultur ini ditentukan oleh tipe media, jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh seperti sudah disebut di atas. Persentase keberhasilan meristem tumbuh di dalam kultur meningkat sampai mencapai 70% dan 80% masing-
Universitas Sumatera Utara
48 masing pada media dengan konsentrasi kinetin sampai 1 ppm dan 2,4-D 10 ppm. Selanjutnya Chaturvedi, et al., (2002) mendapatkan hasil terbaik dengan rata-rata hasil 8,2 planlet pada Citrus aurantifolia dan 9,4 planlet pada C. sinensis dari kultur meristem sebesar 0,5 mm, pada media cair MS modifikasi diperkaya asam giberelat (GA3)
dengan
konsentrasi 5 ppm dan IAA sebanyak 0,1 ppm tanpa melalui
pembentukan kalus. Hasil kultur meristem dapat mengalami re-infeksi jika kontak dengan lingkungan luar, sehingga perlu dilakukan manajemen terpadu. Perlakuan selanjutnya antara lain menumbuhkan tanaman di dalam rumah kaca atau di tempat lain yang bebas vektor dan inokulum, menggunakan sistem penanaman yang higienis termasuk alat yang digunakan dan terus menerus dilakukan pemantauan baik visual maupun assay. Hasil kultur meristem kadang juga menimbulkan mikro-mutasi atau epigenetik seperti yang terjadi pada hasil kultur meristem apel dan rhubby (Walkey. 1978; Murashige, 1980). 2.4.4. Embriogenesis Somatik Untuk Perbaikan Genetik Jeruk Embriogenesis somatik adalah metode in vitro yang dapat menghasilkan tanaman klonal dan perbanyakan tanaman dari perlakuan transformasi genetik dan hibridisasi somatik . Beberapa bagian organ dan jaringan tanaman yang dapat digunakan untuk embriogenesis somatik seperti planlet untuk menghasilkan tanaman berkualitas baik yang bebas virus, yang kuat, tanaman yang normal (Cassells and Curry, 2001). Dalam beberapa kasus, planlet yang dihasilkan di dalam kultur in vitro dapat menyebabkan variasi dalam genetik (Siragusa, et al., 2007), variasi dalam somaklonal karena perubahan kariotipe, pengaturan kembali genetik (Palombi and Damiano, 2002). Beberapa zat pengatur tumbuh digunakan dalam teknik embriosomatik seperti ,4dichlorophenoxy acetic acid (2,4-D) cenderung dapat menghasilkan variasi dalam genetik dalam teknik in vitro (Gesteria, et al., 2002; Rakoczy-Trojanowska, 2002).
Universitas Sumatera Utara
49 Stabilitas genetik dari tanaman Citrus madurensis Lour dari teknik embriosomatik telah dipelajari menggunakan teknik analisis DNA menggunakan ISSR and RAPD. Somatik embriogenesis dihasilkan dalam teknik in vitro jeruk calamondin (Citrus madurensis Lour) oleh pengaruh kehadiran sitokinin benzylaminopurine (BAP), Naphthalene acetic acid (NAA) dan sintetik turunan difenylurea N-(2-chloro-4-pyridyl)-N-phenylurea (4CPPU),
N-phenyl-N¢-benzothiazol-6-ylurea
methilendioxyphenyl)urea
(2,3-MDPU)
tidak
(PBU) semuanya
dan
N,N¢-bis-(2,3-
menghasilkan
mutasi
somaklonal (Siragusa, et al., 2007). Somatik embriogenesis juga digunakan untuk mempelajari molekuler, sitologi, fisiologi dan pengembangan tanaman berkayu karena adanya kesempatan dalam memanipulasi percobaan (Zimmerman, 1993). Somatik embriogenesis untuk tanaman jeruk juga dapat dilakukan (Mukaddes and Kemal 2006). Pengembangan tanaman jeruk manis menggunakan transformasi genetik sudah banyak yang berhasil dilakukan menggunakan mediasi Agrobacterium (Pena and Navarro, 1999), dan teknik transformasi protoplas sudah berhasil dikembangkan (Grosser dan Gmitter, 1990; Grosser, et al., 2000; Niedz, et al., 2003). Transformasi plasmid DNA dengan mediasi polyethylene glycol (PEG) ke dalam protoplas yang diisolasi dari suspensi kultur embriogenesis jeruk manis Valencia juga telah dijelaskan oleh Guo, et al, (2005). Embriogenesis pada tanaman jeruk manis dapat dilakukan secara tidak langsung melalui pembentukan kalus, dan secara embriogenesis langsung tanpa melalui pembentukan kalus. 2.4.5. Zat Pengatur Tumbuh Pada Kultur In Vitro Jeruk Kultur jaringan jeruk yang telah dilakukan menggunakan zat pengatur tumbuh bervariasi. Zat Pengatur Tumbuh yang berjumlah lima kelompok, empat diantaranya digunakan dalam kultur jaringan jeruk. Zat Pengatur Tumbuh untuk pembentukan kalus
Universitas Sumatera Utara
50 adalah BA, 2,4-D, NAA dan KIN ditambahkan ke dalam media tunggal atau dikombinasi. Pembentukan tunas dapat menggunakan ZPT tersebut dan juga GA3, asam absisat (ABA), cumarin, TDZ dan Indole Butiric Acid (IBA). Sementara itu, perakaran memerlukan hormon dari kelompok auksin seperti NAA, IBA, cumarin , yang lainnya, dengan soilrite saja atau tanpa ZPT (Kochba, et al., 1974; Singh, et al., 1994; Kotsias and Roussos, 2001). Pemilihan ZPT baik tunggal atau kombinasinya tergantung pada spesies, eksplan yang digunakan, media dan tujuan dari pembuatan kultur. Spesies menentukan pertumbuhan eksplan. Spesies berbeda ditumbuhkan pada media yang sama belum tentu hasilnya sama. Eksplan yang digunakan dapat berupa epikotil, hipokotil, ruas batang, buku batang, daun, embrio, pucuk, akar ataupun transverse thin cell layer (tTCL) dari buku batang. Sedangkan media yang berpengaruh terhadap pemilihan ZPT adalah Murashige and Skoog (1962) dan Murashige and Tucker, (1969). Dua media tersebut hampir sama komposisinya, MT adalah modifikasi MS pada glisin, myo-inositol dan vitamin B (Carimi, 2002). 2.4.6. Subkultur Pada Kultur In Vitro Jeruk Kalus embriogenik yang dalam jangka lama di dalam satu media mengalami habituasi dan berkurang pertumbuhannya. Dengan demikian kalus sudah seharusnya dipindahkan ke media baru secara rutin pada kisaran tiga minggu atau lebih. Menurut Button and Rijkenberg (1977), variasi interval subkultur menghasilkan tipe dan karakteristik kalus dan regeneran yang berbeda walaupun kalus asal sama. Kalus yang disubkultur setiap tiga minggu menjadi kalus yang lembek, kadar air tinggi, putih dan beberapa sel bersatu membentuk agregat berdinding tebal. Subkultur setiap enam minggu menghasilkan nodul dan embrioid normal yang terpolarisasi. Bila subkultur
Universitas Sumatera Utara
51 dilakukan setiap sembilan minggu maka kalus dipenuhi oleh rongga diantara sel-sel parenkim dan banyak sel yang mati. Kultur dapat bertahan hidup lama jika disubkultur. Kalus jeruk limau (C. aurantifolia) dan jeruk asam (C. aurantium) dapat dipertahankan sampai berturut-turut 34 dan 32 kali subkultur walaupun terus mengalami penurunan pertumbuhan. Kalus berwarna putih dan halus pada permukaannya. Sedangkan pada apokat, kalus dapat tetap tumbuh pada kisaran subkultur bervariasi antara 3 sampai dengan 36 kali dan hal ini tergantung pada eksplan asal kalus (Schroeder, 1977). Jeruk lokal Brastepu termasuk jeruk keprok yang sangat langka karena budidaya tanaman tidak dilanjutkan lagi karena kesulitan dalam penyediaan bibit tanaman berkualitas baik yang bebas penyakit CVPD. Dengan demikian diperlukan usaha untuk budidaya agar varietas ini tidak mengalami kepunahan. Pengembangbiakan jeruk lokal varietas Brastepu juga merupakan aset berharga dalam keanekaragaman hayati Indonesia sehingga perlu dikonservasi secara biologi (biokonservasi) agar jeruk lokal ini tetap bertahan sebagai kekayaan hayati Indonesia, khususnya Propinsi Sumatera Utara. Untuk mendapatkan bibit tanaman jeruk Brastepu yang bebas penyakit CVPD sangat perlu dilakukan, sehingga gairah untuk membudidayakan jeruk lokal Brastagi yang memiliki kualitas dan kuantitas buah yang baik dapat kembali sebagai primadona di Sumatera Utara. Keberhasilan dalam mendapatkan bibit tanaman jeruk bebas penyakit CVPD akan dapat mengembalikan kejayaan jeruk lokal Brastagi yang pernah terkenal sebagai andalan petani di Kabupaten Karo Propinsi Sumatera Utara. Dengan demikian perbanyakan bibit tanaman jeruk keprok Brastepu secara kultur in vitro sebagai alternatif dalam penyediaan bibit tanaman dalam jumlah banyak dan seragam sekaligus memperbaiki kualitas jeruk keprok Brastepu menuju bibit yang tahan penyakit
Universitas Sumatera Utara
52 CVPD. Dengan demikian penelitian skrining tanaman induk, analisis hasil perbanyakan vegetatif in vivo dan in vitro jeruk keprok Brastepu bebas penyakit CVPD sebagai tujuan utama dari keseluruhan tahapan penelitian ini. Penelitian adalah sebagai langkah biokonservasi jeruk lokal Sumatera Utara dalam usaha menghasilkan bibit jeruk Brastepu dalam jumlah banyak dan seragam mengatasi kelangkaan jeruk lokal Brastagi dan memenuhi kebutuhan bibit berkualitas baik bagi petani di Sumatera Utara. Penelitian terdiri atas tiga bagian besar, yaitu (1) melakukan eksplorasi jeruk lokal Brastagi dan skrining CVPD untuk mengidentifikasi dan menskrining jeruk keprok Brastepu yang masih hidup dan bertahan dari serangan penyakit CVPD sehingga diperoleh tanaman sehat dan produktif untuk digunakan sebagai tanaman induk sumber mata tempel untuk perbanyakan secara okulasi sehingga diperoleh jeruk Brastepu bebas CVPD, (2) mempelajari teknik perbanyakan tanaman jeruk Brastepu secara okulasi menggunakan mata tempel tanaman induk yang sehat dan bebas CVPD untuk menghasilkan tanaman jeruk yang cukup sebagai sumber eksplan dalam teknik in vitro perbanyakan bibit tanaman bebas CVPD, (3) melakukan teknik in vitro perbanyakan melalui kultur meristem pucuk dan subkultur untuk menghasilkan tanaman yang bebas patogen dan variannya sebagai usaha untuk memperbaiki kualitas tanaman jeruk Brastepu yang bebas CVPD di tingkat kalus dan bibit. Penelitian dilakukan dengan tiga tahap yaitu (1) melakukan skrining tanaman induk jeruk keprok Brastepu secara langsung di lapangan melalui identifikasi visual, dan secara tidak langsung melalui identifikasi visual, dan secara tidak langsung melalui teknik sambung, pengujian secara kimia, histokimia menggunakan mikroskop, dan menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR), (2) melakukan perbanyakan secara okulasi menggunakan mata tempel tanaman yang sehat bebas CVPD, dan (3)
Universitas Sumatera Utara
53 melakukan kultur meristem pucuk (shoot tip) dan sub- kultur untuk perbanyakan tanaman jeruk Brastepu. Tanaman jeruk Brastepu yang tumbuh dan masih bertahan hidup di lapangan diidentifikasi untuk melihat tingkat kesehatan tanaman dari infeksi CVPD secara visual, skrining di lapangan melalui uji iodium dan uji laboratorium sehingga diperoleh tanaman induk jeruk keprok yang bebas CVPD. Perbanyakan tanaman menggunakan tanaman induk dilakukan secara vegetatif melalui teknik okulasi menggunakan mata tempel dari tanaman yang sehat dan sakit. Perbanyakan secara kultur jaringan tanaman kultur meristem pucuk dan subkultur dengan empat perlakuan seperti diringkas pada Gambar 2.1. Bagan percobaan skrining tanaman induk, perbanyakan secara okulasi dan meristem pucuk dan subkultur untuk perbanyakan bibit jeruk Brastepu bebas CVPD diperlihatkan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Bagan percobaan skrining tanaman induk, perbanyakan secara okulasi dan meristem pucuk (shoot tip) dan subkultur untuk perbanyakan bibit jeruk keprok Brastepu bebas CVPD.
Universitas Sumatera Utara
54 2.5. Hipotesis Penelitian 1. Teknik skrining yang digunakan dapat mengidentifikasi simptom CVPD dan analisis DNA jeruk dengan PCR dapat menentukan patogen spesifik CVPD pada tanaman induk jeruk Brastepu. 2. Perbanyakan tanaman secara okulasi menggunakan mata tempel tanaman induk bebas CVPD akan menghasilkan bibit tanaman jeruk Brastepu kualitas baik yang sama dengan induknya. 3. Teknik in vitro melalui kultur meristem pucuk dan subkultur kultur meristem yang optimum dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas tanaman jeruk Brastepu yang bebas penyakit CVPD di tingkat kalus dan bibit.
Universitas Sumatera Utara