BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Skizofrenia 1.
Definisi Skizofrenia Istilah skizofrenia berasal dari kata Scihzo yaitu perpecahan atau bercabang dan phrenos yaitu jiwa.
Istilah ini digunakan Euge Bleuler (1911).
Karena
penyakit ini menonjolkan gejala utama yaitu jiwa yang terpecah belah. Bleuler berpendapat bahwa istilah untuk menandakan adanya perpecahan antara pikiran emosi, dan perilaku pada pasien yang terkena. (Sinaga, 2007). Adolf Meyer menerangkan bahwa skizofrenia dan gangguan mental lainnya adalah reaksi terhadap berbagai stress kehidupan yang dinamakannya sindrom suatu reaksi skizofrenik (Kaplan, dkk 1997). Skizofrenia adalah adalah suatu gambaran sindrom dengan berbagai penyebab dan perjalanan penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang dipengaruhi oleh faktor genetik, fisik, dan sosial budaya, ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh efek yang tidak wajar, kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual yang tetap terpelihara meskipun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian. (Maslim, 2001). Gangguan skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikiatri dengan gangguan dasar pada kepribadian, distorsi khas proses pikir, waham yang kadangkadang aneh, gangguan persepsi, efek abnormal yang tak terpadu dengan situasi nyata/sebenarnya, dan autisme. Meskipun demikian, kesadaran yang jernih dan kapasitas intelektual biasanya tidak terganggu. (Depkes, 1985).
2. Etiologi Skizofrenia
Penyebab Skizofrenia adalah : a. Biologis 1) Abnormalitas otak yang menyebabkan respons neurobiologik yang maladaktif yang baru mulai dipahami yaitu bahwa otak terlibat luas dalam perkembangan skizofrenia, lesi pada daerah area frontal, temperal, dan limbic paling berhubungan dengan perilaku psikotik. 2)
Beberapa
kimia
otak
dikaitkan
dengan
skizofrenia
yaitu
dopamine
neurotransmmiter yang berlebihan, ketidakseimbangan antara dopamine dan neurotransmmiter lain, masalah-masalah pada system reseptor dopamine. b. Genetik Penelitian pada keluarga yang melibatkan anak kembar dan anak yang diadopsi telah diupayakan untuk mengidentifikasi penyebab genetik pada skizofrenia.
Sudah ditemukan bahwa kembar identik yang dibesarkan secara
terpisah mempunyai angka kejadian tinggi pada skizofrenia daripada pasangan saudara sekandung yang tidak identik. Penelitian genetic terakhir memfokuskan pada “gene maping” (pemetaan gen) dalam keluarga dimana terdapat angka kejadian skizofrenia yang tinggi. Perlu ditekankan bahwa menjadi saudara kembar satu telurpun secara otomatis tidak menjadi kepastian predisposisi dai perkembangan skizofrenia. (Stuart dkk, 1998) Faktor genetik telah terbukti ada sangkut pautnya dalam perkembangan penyakit itu, tetapi adanya angka ketidakserasian yang cukup berarti (substantial discordance rate), didalam anak kembar satu telur sekalipun, memberi petunjuk akan pentingnya faktor non genetik. (Depkes, 1985) c. Psikologis Teori
psikodinamika
untuk
terjadinya
respons
neurobiologik
yang
maladaptive belum didukung oleh penelitian. Sayangnya teori psikologik terdahulu menyalahkan keluarga sebagai penyebab gangguan ini. Sehingga menimbulkan kurangnya rasa percaya keluarga terhadap tenaga kesehatan jiwa professional. d. Sosiobudaya
Stress yang menumpuk dapat menunjang terhadap awitan skizofrenia dan gangguan psikotik lain tetapi tidak diyakini sebagai penyebab utama gangguan. (Stuart, dkk 1998 ). e. Endokrin Teori ini ditemukan berhubungan dengan sering timbulnya skizofrenia pada waktu purbertas, kehamilan atau puerperium dan waktu klimakterum. f. metabolisme Banyak orang menyangka penderita skizofrenia di sebabkan oleh gangguan metabolisme, karena penderita tampak pucat dan tidak sehat, ujung ekstrimitas agak sianosis, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun. Pada penderita stupor katatonik, konsumsi zat asam menurun. g. Kelainan susunan kelainan syaraf pusat, yaitu pada diensefalon atau kortex otak. h. Teori Adolf Meyer Teori Adolf Meyer, yang mengatakan bahwa penyakit ini tidak disebabkan suatu penyakit badaniah, tetapi ia mengakui bahwa suatu konsitusi yang inferior atau penyakit badaniah dapat mepengaruhi timbulnya skizofrenia. i. Teori sigmun freud Menurut teori ini maka pada skizofrenia terdapat : 1) Kelemahan ego yang dapat timbul karena penyebab psikogenik ataupun somatik. 2) Super ego dikesampingkan sehingga tidak bertenaga lagi sehingga yang berkuasa serta terjadi suatu regresi ke fasenarsisme. 3) Kehilangan kapasitas untuk pemindahan (transference).
Sehingga terapi
psikoanalitik tidak mungkin. j. Sebagai suatu sindroma Skizofrenia merupakan suatu syndrome yang disebabkan keturunan, badaniah seperti lesi otak, aterosklerosis otak dan penyakit lainnya yang belum diketahui.
k. Gangguan psikomatik Skizofrenia sebagai suatu gangguan psikosomatik, gejala pada badan hanya sekunder karena gangguan dasar yang psikogenik, atau merupakan manifestasi
somatic dari gangguan psikogenik. Tetapi pada skizofrenia justru kesukaran ialah untuk menentuka mana yang primer dan mana yang sekunder, mana yang merupakan penyebab dan mana yang akibatnya saja. Adapun penyebab gangguan skizofrenia, pada tingkat tertentu akan menghasilkan suatu gangguan biokimia di otak.
1.
Gejala Skizofrenia Menurut Bleuler (1911) membagi gejala skizofrenia menjadi dua kelompok : a. Gejala primer meliputi gangguan proses pikir, gangguan emosi, gangguan kemauan, dan otisme. b. Gejala sekunder meliputi waham, halusinasi, dan gejala katatonik atau gangguan psikomotorik atau lainnya. Walaupun tidak ada gejala-gejala yang patognomonik khusus, dalam praktek ada manfaat untuk membagi gejala tersebut kedalam kelompok-kelompok yang penting untuk diagnosis dan yang sering terdapatnya bersama-sama. Harus ada satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejalagejala itu kurang tajam atau kurang jelas) : a. “Thought echo”, isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau berbema dalam kepalanya, “thought insertion or withdrawal”, isi pikiran yang asing dari luar masuk kedalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal), “thought broadcasting”, isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya. b. “Delusion of control”, waham tentang dirinya dikendalikan oleh sesuatu kekuatan tertentu dari luar, atau “delusion of influence”, waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar, atau “delusion of passivity”, waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar, (tentang “dirinya”, secara jelas merujuk kepergerakan tubuh/anggota gerak atau kepikiran, tindakan, atau penginderaan khusus), “delusional perception”, pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
c. Halusinasi auditorik yaitu suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa.(misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain). Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas : a. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disetai oleh ide-ide berlebihan (overvalued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus-menerus. b. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang berakibat inkoherensi atau neologisme. c. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor. d. Gejala-gejala “negative”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan social dan menurunnya kinerja social, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika. Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan penarikan diri secara social. (Maslim, 2001)
2. Tipe – tipe Skizofrenia a. F.20 Skizofrenia Paranoid b. F20.1 Skizofrenia hebefrenik c. F20.2 Skizofrenia katatonik d. F20.3 Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated) e. F20.4 Depresi Pasca Skizofrenia f.
F20.5 Skizofrenia Residual
B. Usia Lanjut Usia lanjut merupakan masa atau tahap hidup manusia : bayi, kanak-kanak, dewasa, tua, usia lanjut. Manusia dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya berlangsung sepanjang masa hidup sejak bayi hingga dewasa sampai masa tua. Didalam struktur anatomis proses menjadi tua terlihat sebagai kemunduran dalam sel. Proses ini berlangsung secara alami, terus menerus dan berkesinambungan, yang selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomi, fisiologi dan biokomia pada jaringan tubuh dan akhirnya akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan. Umur manusia sebagai makhluk hidup terbatas maksimal sekitar 120 tahun, namun pada kenyataannya banyak faktor yang menyebabkan manusia tidak dapat mencapai usia tersebut (Depkes. RI, 2003). Proses menua merupakan suatu proses normal yang ditandai dengan perubahan secara progresif dalam proses biokimia, sehingga terjadi kelainan atau perubahan struktur dan fungsi jaringan sel dan non sel. Telah banyak teori yang menjelaskan proses menua, salah satunya adalah teori kerusakan akibat radikal bebas. Kerusakan acak dijaringan akibat terbentuknya radikal bebas pada metabolisme aerob normal dianggap penyebab proses menua. Radikal bebas juga menyebabkan disfungsi sel yang dapat mengakibatkan terjadinya penyakit degeneratif. Tubuh sebenarnya telah menyiapkan pertahanannya, pertahanan berupa antioksidan terhadap serangan radikal bebas ditingkat sel, membran dan ekstra sel,
sehingga akan ada keseimbangan antara akibat produksi radikal bebas dan antioksida. (Soejono H, 1996) Teori yang mencoba menerangkan proses menua tidak sedikit, namun harus diakui bahwa tidak satupun yang dapat secara mendasar menjelaskan mekanisme utama terjadinya proses menua (Soejono H, 1996). Teori radikal bebas dalah salah satu teori yang saat ini paling banyak dianut. Sebagaimana oleh Harman, teori ini mencoba menerangkan proses menua berdasarkan timbulnya kerusakan jaringan yang disebabkan oleh radikal bebas. Radikal bebas adalah atom atau molekul dengan susunan elektron tak lengkap, terbentuk dari reaksi transfer elektron tunggal dan merupakan molekul yang sangat reaktif (Soejono H, 1996). Radikal bebas dapat dirusak oleh enzim-enzim protektif, yaitu superoksidismutase, katalase dan glutasi peroksidase. Bila terdapat radikal bebas yang tidak terdestruksi, maka radikal bebas tersebut akan merusak membrane organel subseluler seperti membran mitokondria dan membran mikrosom. Keadaan tersebut akan mengakibatkan terjadinya kerusakan sel. Bentuk kerusakan yang tampak misalnya munculnya proses degeneratif (Soejono H, 1996). Teori radikal bebas ini lebih dapat memberikan gambaran proses menua ditingkat selular secara lebih fundamental, yang dapat terjadi pada tiap jenis sel. Proses menua sangat individual dan berbeda perkembangannya bagi setiap individu karena dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang saling mempengaruhi. Asupan gizi atau konsumsi makanan sangat mempengaruhi proses menjadi tua (age related disease), mengingat seluruh aktifitas sel atau metabolisme dalam tubuh memerlukan zat gizi yang cukup disamping faktor penyakit dan lingkungan. Proses menua dapat dilihat secara fisik dengan perubahan yang terjadi pada tubuh dan berbagai organ serta penurunan fungsi tubuh serta organ tersebut. Perubahan secara biologi ini dapat mempengaruhi status gizi pada masa tua, antara lain: a. Massa otot yang berkurang dan masa lemak yang bertambah, mengakibatkan jumlah cairan tubuh yang berkurang, sehingga kulit kelihatan mengkerut dan
kering, wajah keriput serta muncul garis-garis yang menetap. Oleh karena itu, pada usia lanjut seringkali terlihat kurus. b. Penurunan indera penglihatan akibat katarak pada usia lanjut sehingga dihubungkan dengan kekurangan vitamin A, vitamin C dan asam folat. Sedangkan gangguan pada indera pengecap yang dihubungkan dengan kekurangan kadar Zn dapat menurunkan nafsu makan. Penurunan indera pendengaran terjadi karena adanya kemunduran fungsi sel syaraf pendengaran. c. Dengan banyaknya gigi geligi yang sudah tanggal, mengakibatkan gangguan fungsi mengunyah yang berdampak pada kurangnya asupan gizi pada usia lanut. d. Penurunan mobilitas usus, menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan seperti perut kembung, nyeri yang menurunkan nafsu makan usia lanjut. Penurunan mobilitas usus dapat juga menyebabkan susah buang air besar yang dapat menyebabkan wasir. e Kemampuan motorik yang menurun, selain menyebabkan usia lanjut menjadi lamban, kurang aktif dan kesulitan untuk menyuap makanan, dapat mengganggu aktivitas/ kegiatan sehari-hari. f. Pada usia lanjut terjadi penurunan fungsi sel otak, yang menyebabkan penurunan daya ingat jangka pendek, melambatnya proses informasi, kesulitan berbahasa, kesulitan mengenal benda-benda, kegagalan melakukan aktivitas bertujuan (apraksia) dan gangguan dalam menyusun rencana, mengatur sesuatu, mengurutkan, daya abstraksi, yang dapat mengakibatkan kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang disebut dimensia atau pikun. Gejala pertama adalah pelupa, perubahan kepribadian, penurunan kemampuan untuk pekerjaan sehari-hari dan perilaku yang berulang-ulang, dapat juga disertai delusi paranoid atau perilaku anti-sosial lainnya. g. Akibat proses menua, kapasitas ginjal untuk mengeluarkan air dalam jumlah besar juga berkurang. Akibatnya dapat terjadi pengenceran Natrium sampai dapat terjadi hiponatremia yang menumbulkan rasa lelah. h. Incotenensia Urine (UI) adalah pengeluaran urine diluar kesadaran merupakan salah satu masalah kesehatan yang besar yang sering diabaikan pada kelompok
usia lanjut, sehingga usia lanjut yang mengalami IU seringkali mengurangi minum yang dapat menyebabkan dehidrasi. Secara singkat, proses menua adalah kombinasi dari : a. Suatu proses yang telah ditentukan secara genetik pada setiap spesies. b. Adanya mutasi somatik yang beruntun secara berantai hingga pada
suatu
waktu kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat meledak sebagai katastrop. Disini tersangkut kesalahan pada proses transkripsi dan translasi (pembentukan RNA dan protein ). c. Adanya kerusakan system imun tubuh, terbentuk sebagai proses hetero-imunitas maupun auto-imunitas. d. Adanya kerusakan sel, jaringan dan organ tubuh akibat radikal bebas yang dapat terbentuk dalam badan sendiri. Tubuh sendiri sebetulnya dapat menangkal hal ini dalam bentuk enzim seperti superoksida, katalase, glutation peroksida dan sebagainya.ada pula zat-zat penangkal seperti vitamin C, E, beta karoten dan sebagainya. e. Peristiwa menua akibat metabolisme badan sendiri, antara lain karena
kalori
yang berlebihan atau kurang aktivitas dan sebagainya
1. Penggolongan Lanjut Usia Menurut Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization atau WHO) yang dimaksud dengan usia lanjut adalah seseorang yang berusia 60 tahun keatas atau lebih.
Sedangkan menurut Undang-Undang No.13 tahun 1998 tentang
kesejahteraan usia lanjut, batasan usia lanjut di Indonesia adalah 60 tahun atau lebih. Menurut Depkes RI (2003) pengelompokan lanjut usia adalah sebagai berikut : a. Kelompok pra usia lanjut (45 tahun–59 tahun) b. Kelompok usia lanjut (60 tahun–69 tahun) c. Kelompok usia lanjut dengan resiko tinggi yaitu lebih dari 70 tahun atau usia lanjut berumur 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.
2. Keadaan Kesehatan Lanjut Usia Status kesehatatan lanjut usia tidak boleh terlupakan karena berpengaruh dalam penilaian kebutuhan akan gizi. Ada lansia yang tergolong sehat, dan ada pula yang mengidap penyakit kronis. Di samping itu, sebagian lansia masih mampu mengurus diri sendiri, sementara sebagian lain sangat bergantung pada “belas kasian” orang lain. Kebutuhan zat gizi mereka yang tergolong aktif biasanya tidak berbeda dengan orang dewasa sehat. a
Perubahan fisiologis akibat penuaan Usia tua hampir selalu datang bersama “Kesengsaraan” fisik, psikis, sosial, dan ekonomi. Kekuatan, ketahanan dan kelenturan otot rangka berkurang mengalami pembengkokan ( kifosis ), panggul dan lutut juga terfleksi sedikit.keadaan tersebut menyebapkan postur tubuh terganggu.
b. Perubahan pada saluran pencernaan Data mengenai keterpengaruhan sistim saluran cerna akibat kekuatan sangat terbatas karena kemampuan penyesuaian diri sistim pencernaan tidak mempengaruhi fungsinya.
Rongga Mulut Bagian dalam rongga mulut yang lazim terpengaruh adalah gigi, gusi dan ludah. Tanggalnya gigi bukan hanya disebabkan oleh ketuaan, tetapi juga dikondisikan oleh pemeliharan yang tidak baik. Ketidakbersihan mulut menyebabkan gigi dan gusi kerap terinfeksi. Selain itu, sekresi air ludah berkurang sampai kira- kira 75% sehingga mengakibatkan pengeringan rongga mulut, dan berkemungkinan menurunkan cita rasa. Esofagus Penuaan esophagus berupa pengerasan sfingter bagian bawah sehingga sukar mengendur
(relaksasi)
dan
mengakibatkan
esofagus
melebar
(presbyesofagus).Keadaan ini memperlambat pengosongan esofagus, dan tidak jarang berlanjut sebagai hernia hiatal. Gangguan menelan biasanya berpangkal pada
daerah
presofagus,
tepatnya
didaerah
orofaring.
Penyebabanya
tersembunyi dalam sistem syaraf sentral atau akibat gangguan neuromuscular, seperti jumlah ganglion yang menyusut sementara lapisan otot polos menebal. Dengan manometer akan tampak tanda perlambatan pengosongan esofagus. Lambung Lapisan lambung lansia menipis. Diatas usia 60 tahun, sekresi HCl (Asam Clorida) dan pepsin berkurang. Dampaknya, penyerapan vitamin B12 dan zat besi menurun. Usus Berat total usus (diatas 40 tahun) berkurang, meskipun penyerapan zat gizi pada umumnya masih dalam batas normal, kecuali kalsium (diatas usia 60 tahun) dan zat besi. c. Perubahan pada sistem endokrin Terjadi perubahan dalam kecepatan dan jumlah sekresi, respon terhadap stimulasi dan struktur kelenjar endokrin. Pada usia diatas 60 tahun sekresi testosterone akan menurun. Produksi esterogen dan progesterone pada usia diatas juga menurun.
d. Perubahan pada sistem pernafasan Diameter anteroposterior paru membesar sehingga menimbulkan “barrel chest”. Pengapuran tulang rawan menyebabkan kelenturan tulang iga berkurang. Disamping itu, osteoporosis yang progresif dan kifosis menyebebkan gangguan kelenturan (fleksibilitas) paru yang selanjutnya menurunkan kapasitas vital. Sakus paru membesar, sementara dindingnya menipis, untuk kemudian bersatu sama lain membentuk sakus baru yang lebih besar. Semua perubahan ini berujung pada penurunan fungsi paru, dan tampak sebagaiemfisema pada klise foto rontgen. e. Perubahan pada sistem kardiovaskular Perubahan yang terkait dengan ketuaan sulit dibedakan dengan perubahan yang diakibatkan oleh penyakit. Pembesaran bilik kiri jantung disertai oleh fibrosisi dan skerosis di endokardium. Katub mitral mengeras (fibrosis dan kalsifikasi). Jumlah jaringan ikat meningkat sehingga efisiensi fungsi pemompaan jantung
berkurang. Pembuluh darah membesar, terutama aorta, menebal dan menjadi fibrosis. Pengerasan ini selai mengurangi aliran darah dan meningkatkan kerja bilik kiri jantung, juga mengakibatkan ketidakefisienan baroreseptor (tertanam pada dinding aorta, arteri pulmonalis, sinus karotikus, dan pembuluh darah didaerah dada), mengurangi kemampuan tubuh untuk mengatur tekanan darah. Itulah sebabnya para lansia cenderumg menderita hipotensi postural. Curah jantung menyusut sebesar 50% pada usia 80 tahun, sementara tekanan sisitolik dan diastolic cenderung meningkat.
3. Menaksir Kebutuhan Basal dengan Perhitungan Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan menggunakan alat pernafasan telah dikembangkan cara menaksir angka metabolisma basal (AMB) dengan perhitungan.
Untuk sebagian besar manusia,kebutuhan energi dasar yang ditentukan melalui kalorimetri langsung atau tidak langsung hanya berbeda sebesar +10 % dari angka yang di peroleh dengan cara perhitungan. Kebutuhan energi basal atau AMB pada dasarnya ditentukan oleh ukuran dan komposisi tubuh serta umur. Hubungan antara tiga perubahan ini sangat kompleks. AMB per satuan berat badan berbeda menurut umur, yaitu lebih tinggi dari anak-anak dan lebih rendah pada orang dewasa dan tua. AMB per unit berat badan juga berbeda juga berbeda menurut tinggi badan. AMB per kg berat badan lebih tinggi pada orang pendek dan kurus serta lebih rendah dari orang tinggi dan gemuk. Menurut Cera (1984) dan Stump (1992) secara umum kebutuhan energi total (TEE) sehari dapat dihitung dari perkalian resting metabolic expenditure (RME), dengan factor stress (FS), dan activity energy expenditure (AEE) dengan persamaan sebagai berikut (Titus, 2000) : TEE = RME x FS x AEE Dengan perhitungan berat badan,tinggi badan dan umur,Harris dan benedict menentukan rumus untuk menghitung kebutuhan basal sebagai berikut : Laki-laki
: RME = 66 + (13,7 X BB) + (5 X TB) – (6,8 X U)
Perempuan : RME = 655 + (9,6 X BB) + (1,8 X TB) – (4,7 X U) BB adalah berat badan dalam kg; TB adalah tinggi badan dalam cm; U adalah umur dalam tahun (Almatsier, 2003) Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap angka metabolisme basal : -
Ukuran tubuh. Ukuran tubuh merupakan perubah utama dalam menentukan pengeluaran energi seseorang yang memberi sumbangan lebih dari separuh AMB. Tubuh yang besar mempunyai AMB lebih tinggi daripada tubuh yang kecil. Perbedaan berat sebanyak 10 kg pada orang dewasa laki-laki atau perempuan menyebabkan perbedaan AMB sebanyak kurang lebih120 kkal sehari.
-
Komposisi tubuh. Semua jaringan tubuh aktif secara metabolik. Ada jaringan yang pecah dan diganti dan melakukan fungsi-fungsi vital. Namun kecepatannya berbeda-beda. Otot, organ tubuh, dan kelenjar secara metabolik lebih aktif daripada lemak dan tulang.
-
Jenis Kelamin. Laki-laki dan permpuan dengan umur, tinggi badan, dan berat badan yang sama mempunyai komposisi tubuh yang berbeda.
-
Umur. AMB lebih tinggi pada usia muda dari pada usia tua. Pada usia muda tubuh lebih banyak mengandung jaringan tanpa lemak atau otot.
-
Tidur. Selama tidur, otot-otot tubuh dan emosi mengalami relaksasi. Ini akan menurunkan AMB sebanyak kurang lebih 10%.
-
Suhu tubuh.
Suhu bertindak sebagai katalisator terhadap sebagian besar
reaksi kimia. Oleh karena itu, AMB meningkat dengan peningkatan suhu tubuh. -
Suhu lingkungan/iklim. Iklim berpengaruh terhadap AMB karena kebutuhan tubuh akan energi untuk mempertahankan suhu tubuh.
-
Sekresi kelenjar endokrin. meningkatkan AMB.
Sekresi kelenjar-kelenjar tiroid dan adrenal
Kekurangan sekresi kelenjar tiroid berupa hormon
tiroksin (hipotiroidisme) menurunkan AMB. Sebaliknya kebanyakan tiroksin (hipertiroidisme) meningkatkan AMB.
Sekresi kelenjar adrenalin berupa
epinefrin atau adrenalin terjadi sebagai akibat stimuli emosional yang
berlebihan misalnya terjadi pada waktu marah, ketakutan atau dibawah tekanan (stres). Akibatnya AMB akan meningkat. -
Status gizi.
Keadaan gizi kurang, menurunkan AMB sampai 20%.
Ini
merupakan upaya tubuh untuk beradaptasi mempertahankan berat badan pada konsumsi makanan dibawah kebutuhan, sebagaimana terjadi didaerah yang konsumsi energinya rata-rata rendah. Konsumsi energi rendah menurunkan AMB sebesar 10%-20%. Fator Aktifitas fisik : 1. Bedrest
= RME x 1,2
2. Ringan
= RME x 1,3
3. Sedang
= RME x 1,4
4. Berat
= RME x 1,5 (Titus,2000)
Aktifasi 1. Aktifitas berat yaitu aktifitas yang banyak menggunakan tenaga otot, seperti gaduh, gelisah, banyak bicara, main tennis, main bulu tangkis, dan lain-lain. 2. Aktifitas sedang yaitu aktifitas yang menggunakan tenaga otot agak banyak seperti senam, mencuci piring, menyapu, menjahit, dan lain-lain. 3. Aktifitas ringan yaitu aktifitas yang sedikit menggunakan tenaga otot seperti banyak tidur, banyak melamun, merawat diri, dan lain-lain. Faktor stress 1. Stress ringan
= 1,2
2. Stress sedang
= 1,3
3. Stress berat
= 1,5 (Titus, 2000)
Keadaan emosi dan mental menurut Harris Bennedict dapat meningkatkan kebutuhan energi 4% (Suharjo dkk, 1992).
4. Asupan Energi Protein a. Keseimbangan Energi Keseimbangan energi bergantung pada asupan dan keluaran energi. Besarnya asupan bisa diperkirakan berdasarkan jumlah energi yang dikeluarkan, bukan menghitung langsung asupan perorangan. Total asupan merupakan penjumlahan langsung dari BMR/AMB,energi yang dihabiskan untuk kegiatan fisik, dan
pengaruh termis dari makanan. Kebutuhan akan kalori menurun sejalan dengan pertambahan usia,karena metabolisma seluruh sel dan kegiatan otot berkurang secara umum terjadi penurunan asupan energi sebesar 5% per dekade. Penyusutan BMR 10 % sampai 20 %, antara usia 30 dan 75 tahun merupakan cermin dari perubahan komposisi tubuh: penambahan massa lemak, dan penyusutan massa otot. Yang pertama di sebabkan oleh berkurangnya kekurangan fisik. Boleh juga di katakan sebaliknya, penyusutan massa tubuh tak berlemak merupakan imbas dari kekurangngnya kegiatan fisik. Penilaian terhadap kebutuhan akan zat gizi di bangsal didasarkan pada keadaan kesehatan pasien. Untuk lansia yang sehat, besarnya asupan disamakan dengan asupan orang dewasa sehat. Untuk lansia yang sedang sakit akut, besaran asupan dihitung berdasarkan peningkatan yang dibutuhkan untuk merespon keadan hiperkatabolik yang di sebabkan oleh stress penyakit. Sementara lansia yang lemah dan telah kehilangan napsu makan, serta asupan zat gizinya rendah, memerlukan peningkatan zat gizi yang khas. b. Protein Jika diacu pada RDA, besaran protein dipatok pada angka 0,8gr/KgBB/hari. Tanpa penyakit ginjal dan hati, diet protein harus mengkontribusi energi sebesar 12 – 15 % total asupan kalori. Dengan acuan ini ,jika asupan energi menurua tajam, asupan protein juga menurun tajam. Dengan demikian jumlah protein yang seharusnya dikonsumsi harus dihitung berdasarkan orang perorang . Beberapa literatur mengatakan bahwa kebutuhan protein pada lanjut usia secara umur tidak mengalami perubahan, namun mengingat kebutuhan energi menurun maka prosentase kalori yang berasal dari protein dianjurkan sekitar 14-16 % dari total kalori atau 0,8 – 1 gr/kgBB/hari.
Jumlah
tersebut
dianggap
cukup
untuk
mempertahankan
keseimbangan netrogin pada lanjut usia dalam keadan sehat (Purba, 2004). Untuk kelompok usia lanjut dengan penyakit penyerta yang kronis seperti trauma, infeksi atau stress dibutuhkan asupan protein yang lebih tinggi yaitu 1-1,5 gr/kgBB/hari agar keseimbangan nitrogen tetap di pertahankan. (Purba, 2004)
c. Lemak Asupan lemak dalam jumlah cukup yaitu 20–25% dari total energi, sementara sisanya diupayakan dari karbohidrat. Pembatasan lemak kurang dari 20% akan mempengaruhi mutu makanan, karena kandungan asam lemak esensial berkurang. Untuk usia lanjut dianjurkan untuk mengkonsumsi jenis asan lemak tak jenuh ganda yaitu asam linoleat dan asam linolenat. Asam linolenat ( asam lemak omega-3) merupakan substrat untuk sintesis asam eikosapentanoat dan asam dokosaheksanoat yang berperan dalam agregasi trombosit. Oleh karena itu omega-3 dikatakan factor protektif terhadap kelainan kardiovaskuler (Purba, 2004). d. Karbohidrat Merupakan sumber energi utama didalam menu makanan Indonesia. Penggunaan karbohidrat relatif menurun pada usia lanjut karena kebutuhan kalori juga menurun. Untuk usia lanjut dianjurkan mengkonsumsi karbohidrat komplek karena juga mengandung vitamin, mineral dan serat dari pada mengkonsumsi karbohidat murni seperti gula. Dianjurkan pada usia lanjut mengkonsumsi 60-65 % karbohidrat sebagai kebutuhan energi.
C. Penilaian Asupan Zat Gizi Dalam kegiatan pengkajian status gizi individu atau kelompok selalu dilakukan pengkajian asupan makan. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menilai asupan zat gizi yaitu penentuan sisa makanan dengan metode taksiran visual Comstock. Sisa makan atau plate waste merupakan makanan yang tidak habis termakan dan dibuang sebagai sampah ( Azwar, 1990 ). Menurut Muwarni (2001 ) yang dimaksud sisa makanan pasien adalah semua atau sebagian makanan yang disajikan kepada pasien dan benar-benar dapat dimakan, tetapi tidak habis dimakan atau tidak dimakan dan dibuang sebagai sampah. Sisa makanan diukur dengan menggunakan observasional method, pada metode ini sisa makanan diukur dengan cara menaksir secara visual banyaknya sisa
makanan untuk setiap jenis hidangan.
Hasil taksiran bisa dalam bentuk berat
makanan untuk setiap jenis hidangan. Hasil taksiran bisa dalam bentuk gram atau dalam bentuk skor bila menggunakan skala pengukuran. Comstock mengembangkan metode taksiran visual dengan menggunakan skala 6 point untuk mengukur sisa makanan.
Berat sisa makanan diperkirakan
dengan cara hasil pengukuran dikonversi kedalam persen kemudian dikalikan dengan berat penyajian. Skala 6 point yang dimaksud yaitu : 0
= Tidak
ada
sisa
makanan
atau
bila
makanan
yang
disajikan
dikonsumsiseluruhnya 1
= Terdapat sisa seperempat (1/4) atau bila makanan yang disajikan dikonsumsi 75%.
2
= Terdapat sisa setengah (1/2) atau bila makanan yang disajikan dikonsumsi 50%
3
= Terdapat sisa tiga perempat (3/4) atau bila makanan yang disajikan dikonsumsi 25%
4
= Terdapat banyak sisa makanan atau biala makanan yang disajikan dikonsumsi hanya 5%.
5
= Terdapat sisa makanan penuh atau bila makanan yang disajikan tidak ada yang dikonsumsi (Astuti, 2002).
. D. Penilaian Status Gizi Status gizi adalah merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara makanan yang masuk kedalam tubuh (nutrient input) dengan kebutuhan tubuh (nutrient output). Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi yang baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan, sehingga menimbulkan efek toksik
yang membahayakan.
Baik status gizi kurang maupun status gizi lebih terjadi
gangguan gizi. Status gizi lansia dapat dinilai dengan cara-cara yang baku bagi berbagai tahapan umur yakni penilaian status gizi secara langsung dan penilaian status gizi secara tidak
langsung (Jelliffe, 1966). Penilaian status gizi
secara langsung
dilakukan melalui pemeriksaan klinik, antropometrik, biokomia dan biofisik. Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi tiga yaitu : survey konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi, faktor eksternal antara lain konsumsi makanan baik secara kuantitatif maupun kualitatif, infeksi, aktifitas dan lain-lain.
Faktor internal seperti jaringan tubuh, jenis kelamin, usia, sekkresi
hormone, tonus pada waktu tidur, kondisi emosi dan mental, tonus otot, status kesehatan, kondisi khusus (Apriliadji, 1986). Pemeriksaan antropometerik adalah pengukuran variasi berbagai dimensi fisik dan komposisi tubuh secara umum pada berbagai tahapan umur dan derajat kesehatan. Pengukuran yang dilakukan meliputi berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak dibawah kulit. Semua hasil pengukuran tersebut harus dikontrol terhadap umur dan jenis kelamin. Dalam melakukan intepretasi, digunakan berbagai baku (standar) internasional maupun nasional seperti baku WHO, NCHS, Harvard dan sebagainya. Perlu ditekankan disini bahwa pemeriksaan tinggi badan pada lansia dapat memberikan nilai kesalahan yang cukup bermakna oleh karena telah terjadinya osteoporosis pada lansia yang akan berakibat pada kompresi tulang-tulang columna vertebral. Untuk itu para ahli sepakat bahwa sebagai gantinya tinggi badan dapat dipakai panjang rentang lengan (armspan) dalam penentuan indeks massa tubuh (BMI) (Schultink et al, 1995). Ternyata korelasi koefisien antara BMI dengan BMA (body mass-armspan) cukup tinggi yaitu 0,83 dan 0,81 untuk wanita dan pria dengan nilai p-0,001. Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur diatas 18 tahun. IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak remaja, ibu hamil dan olahragawan.
Disamping itu pula IMT tidak bisa diterapkan pada keadaan khusus (penyakit) lainnya seperti adanya oedema, ascites, dan hepatomagali. Rumus perhitungan IMT adalah : IMT = _________Berat badan (kg)_________ Tinggi badan (m) x Tinggi badan (m) Atau berat badan (dalam kilogram) dibagi kuadrat tinggi badan (dalam meter).
TABEL 1 KATEGORI AMBANG BATAS INDEKS MASSA TUBUH UNTUK ORANG INDONESIA
Kurus
Kategori
IMT
Kekurangan berat badan tingkat berat
< 17,0
Kekurangan berat badan tingkat
17,0 – 18,5
ringan Normal Gemuk
> 18,5 – 25,0 Kelebihan berat badan tingkat ringan
> 25,0 – 27,0
Kelebihan berat badan tingkat berat
> 27,0
E. Kerangka Teori MUTU MAKANAN
JUMLAH MAKANAN
KOMSUMSI MAKANAN
STATUS GIZI
PENAMPILAN MENTAL FISIK SOSIAL
TINGKAT KEBUTUHAN
PENGGUNAAN METABOLIK
1. Faktor jaringan aktif dalam tubuh 2. Besar dan luas bidang permukaan tubuh 3. Komposisi tubuh 4. Jenis Kelamin 5. Usia
GAMBAR 1.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI (APRILIADJI, 1986)