BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sistem Drainase Drainase berasal dari bahasa inggris yaitu drainage yang artinya
mengalirkan, menguras, membuang atau mengalihkan air. Dalam bidang Teknik Sipil, drainase secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan teknis untuk mengurangi kelebihan air, baik yang berasal dari air hujan, rembesan maupun kelebihan air irigasi dari suatu kawasan/lahan, sehingga fungsi kawasan/lahan tidak terganggu (Suripin, 2004). Secara umum sistem drainase dapat didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan/lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal. Bangunan sistem drainase secara berurutan mulai dari hulu terdiri dari saluran penerima (interceptor drain), saluran pengumpul (collector drain), saluran pembawa (conveyor drain), saluran induk (main drain), dan badan air penerima (receiving waters). Di sepanjang sistem sering dijumpai bangunan lainnya, seperti gorong-gorong, jembatan-jembatan, talang dan saluran miring/got miring (Suripin, 2004). Sesuai dengan cara kerjanya, jenis saluran drainase buatan dapat dibedakan menjadi: a. Saluran Interceptor (Saluran Penerima) Berfungsi sebagai pencegah terjadinya pembebanan aliran dari suatu daerah terhadap daerah lain di bawahnya. Saluran ini biasanya dibangun dan diletakkan pada bagian yang relatif sejajar dengan garis kontur. Outlet dari saluran ini biasanya terdapat di saluran collector atau conveyor atau langsung di natural drainage/sungai alam.
Universitas Sumatera Utara
b. Saluran Collector (Saluran Pengumpul) Berfungsi sebagai pengumpul debit yang diperoleh dari saluran drainase yang lebih kecil dan akhirnya akan dibuang ke saluran conveyor (pembawa).
c. Saluran Conveyor (Saluran Pembawa) Berfungsi sebagai pembawa air buangan dari suatu daerah ke lokasi pembuangan tanpa harus membahayakan daerah yang dilalui. Menurut keberadaannya, sistem jaringan drainase dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: a. Natural Drainage (Drainase Alamiah) Terbentuk melalui proses alamiah yang terbentuk sejak bertahun-tahun mengikuti hukum alam yang berlaku. Dalam kenyataannya sistem ini berupa sungai beserta anak-anak sungainya yang membentuk suatu jaringan alur aliran. b. Artifical Drainage (Drainase Buatan) Dibuat oleh manusia, dimaksudkan sebagai upaya penyempurnaan atau melengkapi kekurangan-kekurangan sistem drainase alamiah dalam fungsinya membuang kelebihan air yang mengganggu. Jika ditinjau dari sistem jaringan drainase, kedua sistem tersebut harus merupakan kesatuan tinjauan yang berfungsi secara bersama. Menurut fungsinya, saluran drainase dapat dibedakan menjadi: a. Single purpose, yaitu saluran hanya berfungsi mengalirkan satu jenis air buangan saja. b. Multi purpose, yaitu saluran yang berfungsi mengalirkan beberapa jenis air buangan, baik secara tercampur maupun secara bergantian.
Menurut konstruksinya, saluran drainase dapat dibedakan menjadi: a. Drainase saluran terbuka Saluran drainase primer biasanya berupa saluran terbuka, baik berupa saluran dari tanah, pasangan batu kali atau beton. b. Drainase saluran tertutup Pada kawasan perkotaan yang padat, saluran drainase biasanya berupa saluran tertutup. Saluran dapat berupa buis beton yang dilengkapi dengan bak
Universitas Sumatera Utara
pengontrol, atau saluran pasangan batu kali/beton yang diberi plat tutup dari beton bertulang. Karena tertutup, maka perubahan penampang saluran akibat sedimentasi, sampah, dan lain-lain tidak dapat terlihat dengan mudah (Suripin, 2004). Menurut konsepnya, sistem jaringan drainase dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: a. Drainase konvensional Drainase konvensional adalah upaya membuang atau mengalirkan air kelebihan secepatnya ke sungai terdekat. Dalam konsep drainase konvensional, seluruh air hujan yang jatuh di suatu wilayah harus secepatnya dibuang ke sungai dan seterusnya mengalir ke laut. Jika hal ini dilakukan pada semua kawasan, akan memunculkan berbagai masalah, baik di daerah hulu, tengah, maupun hilir. Dampak dari pemakaian konsep drainase konvensional tersebut dapat kita lihat sekarang ini, yaitu kekeringan yang terjadi di mana-mana, juga banjir, longsor, dan pelumpuran. Kesalahan konsep drainase konvensional yang paling pokok adalah filosofi membuang air genangan secepatnya ke sungai. Demikian juga mengalirkan air secepatnya berarti menurunkan kesempatan bagi air untuk meresap ke dalam tanah. Dengan demikian, cadangan air tanah akan berkurang, kekeringan di musim kemarau akan terjadi. Sehingga banjir dan kekeringan merupakan dua fenomena yang saling memperparah dan terjadi susul-menyusul.
b. Drainase Ramah Lingkungan Drainase ramah lingkungan didefinisikan sebagai upaya mengelola air kelebihan dengan cara sebanyak-banyaknya meresapkan air ke dalam tanah secara alamiah atau mengalirkan ke sungai dengan tanpa melampaui kapasitas sungai sebelumnya. Dalam drainase ramah lingkungan, justru air kelebihan pada musim hujan harus dikelola sedemikian rupa sehingga tidak mengalir secepatnya ke sungai. Namun diusahakan meresap ke dalam tanah, guna meningkatkan kandungan air tanah untuk cadangan pada musim kemarau. Beberapa metode drainase ramah lingkungan yang dapat dipakai diantaranya adalah metode kolam konservasi, metode sumur resapan, metode river side polder, dan metode pengembangan areal perlindungan air tanah (ground water protection area).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 River Side Polder, Kolam Konservasi, dan Drainase Resapan Metode kolam konversi Metode kolam konservasi dilakukan dengan membuat kolam-kolam air, baik di perkotaan, permukiman, pertanian, atau perkebunan. Kolam konservasi ini dibuat untuk menampung air hujan terlebih dahulu, diresapkan dan sisanya dapat dialirkan ke sungai secara perlahan-lahan. Kolam konservasi dapat dibuat dengan memanfaatkan daerah-daerah dengan topografi rendah, daerahdaerah bekas galian pasir atau galian material lainnya, atau secara ekstra dibuat dengan menggali suatu areal atau bagian tertentu. Di samping itu, kolam konservasi dapat dikembangkan menjadi bak-bak permanen air hujan, khususnya di daerah-daerah dengan intensitas hujan yang rendah. Metode sumur resapan Metode sumur resapan merupakan metode praktis dengan cara membuat sumur- sumur untuk mengalirkan air hujan yang jatuh pada atap perumahan atau kawasan tertentu (Dr Sunjoto, UGM). Sumur resapan ini juga dapat dikembangkan pada areal olahraga dan wisata. Konstruksi dan kedalaman sumur resapan disesuaikan dengan kondisi lapisan tanah setempat. Perlu
Universitas Sumatera Utara
dicatat bahwa sumur resapan ini hanya dikhususkan untuk air hujan, sehingga masyarakat
harus
mendapatkan
pemahaman
mendetail
untuk
tidak
memasukkan air limbah rumah tangganya ke sumur resapan tersebut. Metode river side polder Metode river side polder adalah metode menahan aliran air dengan mengelola/menahan air kelebihan (hujan) di sepanjang bantaran sungai. Pembuatan polder pinggir sungai ini dilakukan dengan memperlebar bantaran sungai di berbagai tempat secara selektif di sepanjang sungai. Lokasi polder perlu dicari, sejauh mungkin polder yang dikembangkan mendekati kondisi alamiah, dalam arti bukan polder dengan pintu-pintu hidraulik teknis dan tanggul-tanggul lingkar hidraulis yang mahal. Pada saat muka air naik (banjir), sebagian air akan mengalir ke polder dan akan keluar jika banjir reda, sehingga banjir di bagian hilir dapat dikurangi dan konservasi air terjaga. Upaya ini sedang dilakukan di Jepang dan Jerman secara besarbesaran, sebagai upaya menahan air untuk konservasi sungai musim kemarau dan menghindari banjir serta meningkatkan daya dukung ekologi wilayah keairan. Demikian juga dapat meningkatkan pasokan air sungai musim kemarau untuk mendukung transportasi sungai atau pertanian.
Metode areal perlindungan air tanah Metode areal perlindungan air tanah dilakukan dengan cara menetapkan kawasan lindung untuk air tanah, di kawasan tersebut tidak boleh dibangun bangunan apa pun. Areal tersebut dikhususkan untuk meresapkan air hujan ke dalam tanah. Di berbagai kawasan perlu segera mungkin dicari tempat-tempat yang cocok secara geologi dan ekologi sebagai areal untuk recharge dan perlindungan air tanah sekaligus sebagai bagian penting dari komponen drainase kawasan. Konsep drainase ramah lingkungan atau eko-drainase ini perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Kesalahan pemahaman masyarakat, dinas terkait, dan perguruan tinggi tentang filosofi konsep drainase, yaitu membuang air secepat-cepatnya ke sungai, perlu segera direvisi dan diluruskan secara serius. Perlu pembenahan dan revisi bangunan
Universitas Sumatera Utara
drainase permukiman, tempat olahraga dan rekreasi, pertanian dan perkebunan dengan konsep drainase ramah lingkungan.
2.2
Siklus Hidrologi Siklus hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari
atmosfer ke bumi dan kembali ke atmosfer dengan matahari sebagai wali utama dalam proses tersebut. Komponen utama dalam siklus hidrologi adalah kondensasi, presipitasi, infiltrasi, limpasan permukaan (run off), evaporasi, dan transpirasi.
Gambar 2.2 Siklus Hidrologi
Untuk menjaga siklus hidrologi agar komponennya dapat bekerja sebagaimana mestinya, maka perlu dipertahankan keseimbangan melalui proses pengisian air hujan dengan meresapkannya ke dalam pori/rongga tanah, batuan atau yang disebut dengan upaya konservasi air. Prinsip dasar konservasi air adalah mencegah atau meminimalkan air yang hilang sebagai aliran permukaan dan menyimpannya semaksimal mungkin ke dalam tubuh bumi. Atas dasar prinsip ini maka curah hujan yang berlebihan pada musim hujan tidak dibiarkan mengalir ke laut, melainkan ditampung dalam suatu wadah yang memungkinkan air kembali meresap ke dalam tanah (groundwater recharge) melalui pemanfaatan air hujan dengan cara membuat sumur resapan maupun sumur biopori. Pada siklus hidrologi, posisi sumur resapan (Gambar 2.3)
Universitas Sumatera Utara
membantu proses infiltrasi/perkolasi guna mengurangi limpasan air hujan yang berlebih pada permukaan tanah sehingga air hujan dapat bergerak secara vertikal di bawah permukaan tanah hingga air tersebut memasuki sistem air tanah.
Gambar 2.3 Posisi Sumur Resapan dalam Siklus Hidrologi
2.3
Konsep Umum infiltrasi
2.3.1
Defenisi Infiltrasi adalah proses aliran air (umumnya berasal dari curah hujan)
masuk kedalam tanah. Perkolasi merupakan proses kelanjutan aliran air yang berasal dari infiltrasi ke tanah yang lebih dalam. Kebalikan dari infiltrasi adalah rembesan (speege). Laju maksimal gerakan air masuk kedalam tanah dinamakan kapasitas infiltrasi. Kapasitas infiltrasi terjadi ketika intensitas hujan melebihi kemampuan tanah dalam menyerap kelembaban tanah. Sebaliknya apabila intensitas hujan lebih kecil dari pada kapasitas infiltrasi, maka laju infiltrasi sama dengan laju curah hujan. Laju infiltrasi umumnya dinyatakan dalam satuan yang sama dengan satuan intensitas curah hujan, yaitu millimeter per jam (mm/jam). Air infiltrasi yang tidak kembali lagi ke atmosfer melalui proses evapotranspirasi akan menjadi air tanah untuk seterusnya mengalir ke sungai disekitar.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu proses yang berkaitan dengan distribusi air hujan yang jatuh ke permukaan bumi adalah infiltrasi. Infiltrasi adalah proses masuk atau meresapnya air dari atas permukaan tanah ke dalam bumi. Jika air hujan meresap ke dalam tanah maka kadar lengas tanah meningkat hingga mencapai kapasitas lapang. Pada kondisi kapasitas lapang air yang masuk menjadi perkolasi dan mengisi daerah yang lebih rendah energi potensialnya sehingga mendorong terjadinya aliran antara (interflow) dan aliran bawah permukaan lainnya (base flow). Air yang berada pada lapisan air tanah jenuh dapat pula bergerak ke segala arah (ke samping dan ke atas) dengan gaya kapiler atau dengan bantuan penyerapan oleh tanaman melalui tudung akar. Proses infiltrasi sangat ditentukan oleh waktu. Jumlah air yang masuk kedalam tanah dalam suatu periode waktu disebut laju infiltrasi. Laju infiltrasi pada suatu tempat akan semakin kecil seiring kejenuhan tanah oleh air. Pada saat tertentu laju infiltrasi menjadi tetap. Nilai laju inilah yang kemudian disebut laju perkolasi. Ketika air hujan jatuh diatas permukaan tanah, tergantung pada kondisi biofisik permukaan tanah, sebagian atau seluruh air hujan tersebut akan mengalir masuk kedalam tanah melalui pori-pori permukaan tanah. Proses mengalirnya air hujan kedalam tanah disebabkan oleh tarikan gaya gravitasi dan gaya kapiler tanah. Di bawah pengaruh gaya gravitasi air hujan mengalir vertikal kedalam tanah, sedangkan pada gaya kapiler bersifat mengalirkan air tersebut tegak lurus keatas, kebawah, dan kearah horizontal (lateral). Gaya kapiler bekerja nyata pada tanah dengan pori-pori yang relative kecil. Mekanisme
infiltrasi
melibatkan
3
proses
yang
tidak
saling
mempengaruhi: a. proses masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan tanah. b. tertampungnya air hujan tersebut didalam tanah. c. proses mengalirnya air tersebut ketempat lain (bawah, samping, dan atas).
Universitas Sumatera Utara
2.3.2
Faktor yang Mempengaruhi Infiltrasi Perpindahan air dari atas ke dalam permukaan tanah baik secara vertikal
maupun secara horizontal disebut infiltrasi. Banyaknya air yang terinfiltrasi dalam satuan waktu disebut laju infiltrasi. Besarnya laju infiltrasi f dinyatakan dalam mm/jam atau mm/hari. Laju infiltrasi akan sama dengan intensitas hujan, bila laju infiltrasi tersebut lebih kecil dari daya infiltrasinya. Jadi f ≤ fp dan f ≤ I (Soemarto, 1999). Infiltrasi berubah-ubah sesuai dengan intensitas curah hujan. Akan tetapi setelah mencapai limitnya, banyaknya infiltrasi akan berlangsung terus sesuai dengan kecepatan absorbsi setiap tanah. Pada tanah yang sama kapasitas infiltrasinya berbeda-beda, tergantung dari kondisi permukaan tanah, struktur tanah, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain. Di samping intensitas curah hujan, infiltrasi berubah-ubah karena dipengaruhi oleh kelembaban tanah dan udara yang terdapat dalam tanah (Maryono, 2004).
Beberapa faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi laju infiltrasi adalah sebagai berikut: 1. Tinggi genangan air di atas permukaan tanah dan tebal lapisan tanah yang jenuh. 2. Kadar air atau lengas tanah 3. Pemadatan tanah oleh curah hujan 4. Penyumbatan pori tanah mikro oleh partikel tanah halus seperti bahan endapan dari partikel liat 5. Pemadatan tanah oleh manusia dan hewan akibat traffic line oleh alat olah 6. Struktur tanah 7. Kondisi perakaran tumbuhan baik akar aktif maupun akar mati (bahan organik) 8. Proporsi udara yang terdapat dalam tanah 9. Topografi atau kemiringan lahan 10. Intensitas hujan 11. Kekasaran permukaan tanah 12. Kualitas air yang akan terinfiltrasi 13. Suhu udara tanah dan udara sekitar
Universitas Sumatera Utara
Apabila semua faktor-faktor di atas dikelompokkan, maka dapat dikategorikan menjadi dua faktor utama yaitu: 1. Faktor yang mempengaruhi air untuk tinggal di suatu tempat sehingga air mendapat kesempatan untuk terinfiltrasi (oppurtunity time). 2. Faktor yang mempengaruhi proses masuknya air ke dalam tanah. Selain dari beberapa factor yang menentukan infiltrasi diatas terdapat pula sifat-sifat khusus dari tanah yang menentukan dan membatasi kapasitas infiltrasi (Arsyad, 1989) sebagai berikut: a.
Ukuran pori Laju masuknya hujan ke dalam tanah ditentukan terutama oleh ukuran pori dan susunan pori-pori besar. Pori yang demikian itu dinamakan pori aerasi, oleh karena pori-pori mempunyai diameter yang cukup besar yang memungkinkan air keluar dengan cepat sehingga tanah beraerasi baik.
b.
Kemantapan pori Kapasitas infiltrasi hanya dapat terpelihara jika porositas semula tetap tidak terganggu selama waktu tidak terjadi hujan.
c.
Kandungan air Laju infiltrasi terbesar terjadi pada kandungan air yang rendah dan sedang.
d.
Profil tanah Sifat bagian lapisan suatu profil tanah juga menentukan kecepatan masuknya air ke dalam tanah. Ketika air hujan jatuh di atas permukaan tanah, maka proses infiltrasi tergantung pada kondisi biofisik permukaan tanah, sebagian atau seluruh air hujan tersebut akan mengalir masuk ke dalam tanah melalui pori-pori permukaan tanah. Proses mengalirnya air hujan ke dalam tanah disebabkan oleh tarikan gaya gravitasi dan gaya kapiler tanah. Oleh karena itu, infiltrasi juga biasanya disebut sebagai aliran air yang masuk ke dalam tanah sebagai akibat gaya kapiler dan gravitasi. Laju air infiltrasi yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi dibatasi oleh besarnya diameter pori-pori tanah. Tanah dengan pori-pori jenuh air mempunyai kapasitas lebih kecil dibandingkan dengan tanah dalam keadaan kering (Asdak, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Dibawah pengaruh gaya gravitasi, air hujan mengalir vertikal kedalam tanah melalui profil tanah. Dengan demikian, mekanisme infiltrasi melibatkan tiga proses yang tidak saling mempengaruhi (Asdak, 2002): a. Proses masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan tanah. b. Tertampungnya air hujan tersebut di dalam tanah. c. Proses mengalirnya air tersebut ke tempat lain (bawah, samping dan atas). Pengukuran laju infiltrasi dapat dilakukan pada permukaan tanah, pada kedalam tertentu, pada lahan kosong atau pada lahan bervegetasi. Walaupun satuan infiltrasi serupa dengan konduktivitas hidraulik, terdapat perbedaan antara keduanya. Hal itu tidak bisa secara langsung dikaitkan kecuali jika kondisi batas hidraulik diketahui, seperti kemiringan hidraulik dan aliran air lateral atau jika dapat diperkirakan. Laju infiltrasi memiliki kegunaan seperti studi pembuangan limbah cair, evaluasi potensi lahan tanki septik, efisiensi pencucian dan drainase, kebutuhan irigasi, penyebaran air dan imbuhan air tanah, dan kebocoran saluran atau bendungan dan kegunaan lainnya (Kirkby, M.J., 1971). Jumlah dan ukuran pori yang menentukan adalah jumlah pori-pori yang berukuran besar. Makin banyak pori-pori besar maka kapasitas infiltrasi makin besar pula. Atas dasar ukuran pori tersebut, liat kaya akan pori halus dan miskin akan pori besar. Sebaliknya fraksi pasir banyak mengandung pori besar dan sedikit pori halus. Dengan demikian kapasitas infiltrasi pada tanah-tanah pasir jauh lebih besar daripada tanah liat. Tanah-tanah yang bertekstur kasar menciptakan struktur tanah yang ringan. Sebaliknya tanah-tanah yang terbentuk atau tersusun dari tekstur tanah yang halus menyebabkan terbentuknya tanah-tanah yang bertekstur berat. Tanah dengan struktur tanah yang berat mempunyai jumlah pori halus yang banyak dan miskin akan pori besar. Sebaliknya tanah yang ringan mengandung banyak pori besar dan sedikit pori halus. Dengan demikian kapasitas infiltrasi dari kedua jenis tanah tanah tersebut akan berbeda pula, yaitu tanah yang berstruktur ringan kapasitas infiltrasinya akan lebih besar dibandingkan dengan tanah-tanah yang berstruktur berat (Saifuddin, 1986).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Boedi Susanto (2008), laju infiltrasi berbeda menurut jenis tanahnya seperti pada tabel berikut: Tabel 2.1 Tekstur Tanah dengan Kecepatan Infiltrasi
Sumber: Soesanto, 2008 Sifat transmisi lapisan tanah tergantung pada lapisan-lapisan dalam tanah. Lapisan tanah dibedakan 4 horizon (Soesanto, 2008) : 1. Horizon A, yang teratas, sebagian bahan organik tanaman. 2. Horizon B, merupakan akumulasi dari bahan koloidal A, ketebalan permeabilitas sangat menentukan laju infiltrasi. 3. Horizon C, kadang-kadang disebut sub soil, terbentuk dari pelapukan bahan induk. 4. Horizon D, merupakan bahan induk (bed rock).
2.3.3
Perhitungan Infiltrasi dan Laju Infiltrasi Penentuan besarnya infiltrasi dapat dilakukna dengan melalui tiga cara
yaitu: 1. Menentukan perbedaan volume air hujan buatan dengan volume air larian pada percobaan laboratorium menggunakan simulasi hujan buatan (metode simulasi laboratorium). 2. Menggunakan alat ring infiltrometer (metode pengukuran lapangan). 3. Teknik pemisahan hidrograf aliran dari data aliran air hujan (metode separasi hidrograf). Singh (1989) menyajikan beberapa model infiltrasi yang telah diusulkan dan digunakan pada kebanyakan analisa hidrologi dan hidraulik yang berkaitan
Universitas Sumatera Utara
dengan sistem keairan. Model - model tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua kelas yakni: (1) model empiris, dan (2) model konseptual. Model empiris menyatakan kapasitas infiltrasi sebagai fungsi waktu. Dimana kadar lengas tanah memiliki sifat dinamis terhadap waktu, sehingga laju infiltrasi ditentukan oleh kondisi lengas tanah mula-mula saat proses infiltrasi mulai terjadi. Adapun model- model empiris infiltrasi diantaranya adalah Model Kostiakov, Model Horton, Model Holtan dan Model Overton. Dalam penelitian ini digunakan Model Horton, berikut adalah uraian dari model tersebut: Model Horton adalah salah satu model infiltrasi yang terkenal dalam hidrologi. Horton
mengakui
bahwa kapasitas
infiltrasi
berkurang seiring dengan
bertambahnya waktu hingga mendekati nilai yang konstan. Ia menyatakan pandangannya bahwa penurunan kapasitas infiltrasi lebih dikontrol oleh faktor yang beroperasi di permukaan tanah dibanding dengan proses aliran di dalam tanah. Faktor yang berperan untuk pengurangan laju infiltrasi seperti penutupan retakan tanah oleh koloid tanah dan pembentukan kerak tanah, penghancuran struktur permukaan lahan dan pengangkutan partikel halus dipermukaan tanah oleh tetesan air hujan. Model Horton dapat dinyatakan secara matematis mengikuti persamaan sebagai berikut:
f
fc
fo
fc)e kt ; i ≥ fc dan k = konstan
(2.1)
Keterangan: f fc fo k
= laju infiltrasi nyata (cm/h) = laju infiltrasi tetap (cm/h) = laju infiltrasi awal (cm/h) = konstanta geofisik Model ini sangat simpel dan lebih cocok untuk data percobaan. Kelemahan
utama dari model ini terletak pada penentuan parameternya f0, fc, dan k dan ditentukan dengan data-fitting. Meskipun demikian dengan kemajuan sistem komputer proses ini dapat dilakukan dengan program spreadsheet sederhana. Rumus Horton diatas ditransposisikan sebagai berikut:
f t
fc
fo fc) e
kt
(2.2)
Kemudian persamaan (2.2) tersebut di log kan menjadi:
Log f t
fc
log fo fc
kt log e
Universitas Sumatera Utara
atau
Log f t t
fc
log fo fc
1 log f t k log e
fc
1 log f t k log e
fc
kt log e log fo fc
atau t
1 log fo fc k log e
(2.3)
Persamaan (2.3) diatas sama dengan persamaan Y = mx + C dimana: Y=t m
(2.4) 1 k log e
x Log f t C
1 Log f t k log e
(2.5)
f c
(2.6)
f c
(2.7)
Dengan demikian persamaan ini dapat diwakilkan dalam sebuah garis lurus yang mempunyai nilai m
1 . Bentuk dari persamaan garis lurus tersebut k log e
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.4 Grafik Hubungan t dan Log (fo-fc)
Universitas Sumatera Utara
2.3.4
Pengukuran Infiltrasi Infiltrasi dapat diukur dengan cara berikut :
a.
Dengan infiltrometer Infiltrometer dalam bentuk yang paling sederhana terdiri atas tabung baja
yang ditekankan kedalam tanah. Permukaan tanah di dalam tabung diisi air. Tinggi air dalam tabung akan menurun, karena proses infiltrasi. Kemudian banyaknya air yang ditambahkan untuk mempertahankan tinggi air dalam tabung tersebut harus diukur. Makin kecil diameter tabung makin besar gangguan akibat aliran ke samping di bawah tabung. Dengan cara ini infiltrasinya dapat dihitung dari banyaknya air yang ditambahkan kedalam tabung sebelah dalam per satuan waktu.
Gambar 2.5 Infiltrometer
Universitas Sumatera Utara
b. Dengan testplot Pengukuran infiltrasi dengan infiltrometer hanya dapat dilakukan terhadap luasan yang kecil saja, sehingga sukar untuk mengambil kesimpulan terhadap besarnya infiltrasi bagi daerah yang lebih luas. Untuk mengatasi hal ini dipilih tanah datar yang dikelilingi tanggul dan digenangi air. Daya infiltrasinya didapat dari banyaknya air yang ditambahkan agar permukaannya konstan. Jadi testplot sebenarnya adalah infiltrometer yang berskala besar. c.
Lysimeter Lysimeter merupakan alat pengukur berupa tangki beton yang ditanam dalam
tanah diisi tanah dan tanaman yang sama dengan sekelilingnya, dilengkapi dengan fasilitas drainase dan pemberian air. 2.4
Koefisien Permeabilitas Permeabilitas adalah tanah yang dapat menunjukkan kemampuan tanah
meloloskan air. Tanah dengan permeabilitas tinggi dapat menaikkan laju infiltrasi sehingga menurunkan laju air larian. Pada ilmu tanah, permeabilitas didefenisikan secara kualitatif sebagai pengurangan gas-gas, cairan-cairan atau penetrasi akar tanaman atau lewat. Koefisisen permeabilitas tanah tergantung pada beberapa factor, yaitu kekentalan cairan, distribusi ukuran pori-pori, distribusi ukuran butir, angka pori, kekasaran permukaan butiran tanah dan derajat kejenuhan tanah. Pada tanah lempung, struktur tanah memgang peranan penting dalam menentukan koefisien permeabilitas. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi sifat rembesan tanah lempung adalah konsentrasi ion dan ketebalan lapisan air yang menempel pada butiran lempung. Harga koefisien permeabilitas (K) untuk tiap-tiap tanah berbeda-beda. Beberapa koefisien permeabilitas diberikan segai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Harga Koefisien Permeabilitas pada Umumnya k Jenis Tanah (cm/detik) (ft/detik) Kerikil bersih
1.00 - 100
2.00 - 200
Pasir kasar
1.00 – 0.01
2.00 – 0.02
Pasir halus
0.01 – 0.001
0.02 – 0.002
Lanau
0.001 – 0.00001
0.002 – 0.00002
Lempung
Kurang dari 0.000001
Kurang dari 0.000002
Sumber: Buku Mekanika Tanah Jilid I (Das, 1985) Penentuan harga koefisien permeabilitas (k) suatu tanah didapat dari pengujian laboratorium ataupun pengujian di lapangan. Untuk menentukan koefisien permeabilitas di laboratorium dapat dilakukan dengan: a)
Pengujian tinggi energi tetap (constant head permeability test)
b) Pengujian tinggi energi jatuh (falling head permeability test) c)
Penelitian secara tidak langsung dari pengujian konsolidasi
d) Pengujian kapiler horizontal Sedangkan untuk menentukan koefisien permeabilitas tanah di lapangan dapat dilakukan dengan: a)
Uji pemompaan (pumping test)
b) Uji perlokasi (auger hoole test) Uji koefisien permeabilitas tanah di laboratorium, yaitu: a) Constant Head Permeability Test Percobaan ini dilakukan dengan pemberian tegangan tetap. Sampel tanah yang dipakai adalah tanah yang memiliki daya rembes besar, misalnya pasir. Untuk menentukan nilai k, kita langsung mengukur banyaknya air yang masuk dan keluar dari tanah tersebut dalam jangka waktu tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.6 Alat Constant Head Permeabilty Test Setelah data-data hasil percobaan dicatat, kemudian koefisien rembesan dihitung dengan turunan rumus: Qmasuk Qkeluar
Qmasuk A V k A ki t Qkeluar
kh A L
T
Maka, K
Q L As h t
(2.8)
Dimana Q = Volume air yang dikumpulkan (cm3), As = Luas penampang sampel tanah (cm2), t = Waktu (detik), dan h = i.(L) b) Falling Head Permeability Test Untuk percobaan ini, tegangan yang diberikan terhadap contoh tanah tidak tetap. Sampel tanah yang dipakai adalah tanah yang daya rembesnya kecil, misalnya lempung. Pada cara ini, air yang masuk ke sampel tanah melalui pipa berdiamater kecil. Untuk menentukan nilai (k) dilakukan dengan mengukur penurunan ketinggian air pada pipa tersebut sehinga tegangan air tidak tetap.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.7 Skema Proses Alat Falling Head Permeability Jumlah air yang mengalir melalui contoh tanah pada waktu (t), yaitu:
Q
k h Ls As
Debit masuk (Qi) = Debit keluar (Qo)
k h A L dt t
dt 0
maka,
dh tinggi air berkurang dt a Ls dh As k h a
a Ls As k
h2
1 dh h h1
t
a Ls ln h1 h2 As k
t
a Ls As k
t
2,303
k
a As a 2,303 As
h1 h2 log e
log
Ls h1 log k h2 Ls h1 log t h2
(2.9)
Universitas Sumatera Utara
Dimana: K a L A t h1 h2
2.5
= Koefisien permeabilitas tanah (cm/detik) = Luas penampang pipa (cm2) = Panjang sampel tanah (cm) = Luas penampang sampel tanah (cm2) = Interval penurunan h1 ke h2 = Ketinggian mula-mula air pada interval waktu tertentu (cm) = Ketinggian akhir air pada interval waktu tertentu (cm)
Analisis Hidrologi Hidrologi adalah ilmu yang mempelajari seluk beluk air, kejadian dan
distribusinya, sifat alami dan sifat kimianya, serta reaksinya terhadap kebutuhan manusia. Pengumpulan data dan informasi, terutama data untuk perhitungan hidrologi sangat diperlukan dalam analisa penentuan debit banjir rancangan yang selanjutnya dipergunakan sebagai dasar rancangan suatu bangunan air. Semakin banyak data yang terkumpul berarti semakin menghemat biaya dan waktu, sehingga kegiatan analisis dapat berjalan lebih cepat, selain itu akan didapatkan hasil perhitungan yang lebih akurat. Secara keseluruhan pengumpulan data hidrologi ini dapat dilakukan dengan tahapan-tahapan pengumpulan data dasar dan pengujian (kalibrasi) data-data yang terkumpul. 2.5.1
Perhitungan Parameter Statistik Parameter statistik yang digunakan untuk menentukan jenis distribusi data
adalah sebagai berikut: 1.
Harga/Nilai Rata-rata Rumus: n
Xi X
1
n
(2.10)
Dimana: Xi n
= Curah hujan rata-rata (mm) = Curah hujan ke-i (mm) = Jumlah data
Universitas Sumatera Utara
2.
Standar Deviasi (Sd) Rumus:
(Xi X)
Sd
2
(2.11)
n 1
Dimana: Sd Xi n 3.
= = = =
Standar deviasi Curah hujan rat-rata (mm) Curah hujan ke-i (mm) Jumlah data
Koefisien Skewness (Cs) Kemencengan (skewness) adalah suatu nilai yang menunjukkan derajat ketidaksimetrisan dari suatu bentuk distribusi. Rumus: n
n Cs
Xi X
3
i 1
n 1 n 2 Sd 3
(2.12) Dimana: Cs Sd Xi n 4.
= = = = =
Koefisien Skewness Standar deviasi Curah hujan rat-rata (mm) Curah hujan ke-i (mm) Jumlah data
Koefisien Kurtosis (Ck) Pengukuran kurtosis dimaksudkan untuk mengukur keruncingan dari bentuk kurva distribusi, yang umumnya dibandingkan dengan distribusi normal. Rumus: n
n2 Ck
Xi X
4
i 1
n 1 n 2 n - 3 Sd 4
(2.13)
Universitas Sumatera Utara
Dimana: Ck Sd
= = = = =
Xi n 5.
Koefisien Kurtosis Standar deviasi Curah hujan rat-rata (mm) Curah hujan ke-i (mm) Jumlah data
Koefisien Variasi (Cv) Koefisien variasi adalah nilai perbandingan antara standar deviasi dengan nilai rat-rata hitung suatu distribusi. Rumus:
Cv
Sd X
(2.14)
Dimana: Cv Sd
2.5.2
= Koefisien variasi = Standar deviasi = Curah hujan rat-rata (mm)
Penentuan Jenis Distribusi Data Untuk menentukan jenis distribusi data, digunakan beberapa pendekatan
yang bertujuan agar jenis distribusi data yang dipilih sesuai dengan keadaan data yang ada. Adapun beberapa pendekatan yang dilakukan, yaitu: 1.
Berdasarkan hasil perhitungan parameter statistik Hasil perhitungan parameter statistik ditunjukkan oleh Tabel 2.3 sebagai
berikut: Tabel 2.3 Hasil Perhitungan Parameter Statistik No.
Jenis Distribusi
1
Normal
2
Log Normal
3
Gumbel Tipe I
4
Log Pearson Tipe III
Syarat Cs ≈ 0 dan Ck ≈ 3 Cs ≈ 3Cv + Cv3 dan Ck ≈ Cv8 + 6CV6 + 15CV4 + 16Cv2 + 3 Cs = 1,1396 dan Ck = 5,4002 Selain dari nilai di atas
Sumber: Buku Hidrologi Terapan (Triatmodjo, 2008)
Universitas Sumatera Utara
2.
Berdasarkan plotting terhadap kertas probabilitas Jenis distribusi data dapat diamati dari garis yang terbentuk oleh titik-titik hasil plotting data pada kertas probabilitas. Apabila plotting titik-titik pada kertas probabilitas tersebut mendekati garis lurus, berarti pemilihan distribusinya semakin mendekati benar.
3.
Berdasarkan hasil uji keselarasan Uji keselarasan dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan distribusi peluang yang telah dipilih dapat mewakili distribusi statistik sampel data yang dianalisis. Ada 2 jenis keselarasan, yaitu uji keselarasan Chi Square dan Smirnov Kolmogorov. Pada tes ini biasanya yang diamati adalah nilai hasil perhitungan yang diharapkan. Uji Keselarasan Chi Square Prinsip pengujian dengan metode ini didasarkan pada jumlah pengamatan yang diharapkan pada pembagian kelas dan ditentukan terhadap jumlah data pengamatan yang terbaca di dalam kelas tersebut atau dengan membandingkan nilai Chi Square (X2) dengan nilai Chi Square Kritis (X2-Cr). Rumus:
X2
n i 1
Efi Ofi Efi
2
(2.15)
Dimana: X2 = Harga Chi Square, Efi = Banyaknya frekuensi yang diharapkan pada data ke-i, Ofi = Frekuensi yang terbaca pada kelas yang sama pada data ke-i, dan n = Jumlah data. Prosedur perhitungan Chi Square adalah sebagai berikut: a. Urutkan data pengamatan dari besar ke kecil b. Hitunglah jumlah kelas yang ada (K) = 1 + 3,322 log n. Dalam pembagian kelas disarankan agar setiap kelas terdapat minimal 3 buah pengamatan. c. Hitung nilai
Universitas Sumatera Utara
d. Hitung banyaknya Of = untuk masing-masing kelas. e. Hitung nilai X2 untuk setiap kelas kemudian hitung nilai total X2, dari tabel untuk derajat nyata tertentu yang sering diambil sebesar 5% dengan parameter derajat kebebasan akan didapatkan X2Cr. Rumus derajat kebebasan adalah: (2.16) Dimana DK = Derajat kebebasan, K = banyaknya kelas, dan R = Banyaknya keterikatan (biasanya diambil R=2 untuk distribusi normal dan binomial dan R=1 untuk distribusi Poisson dan Gumbel). Jika nilai Chi Square (X2) < nilai Chi Square kritis (X2Cr), maka data dapat menggunakan persamaan distribusi data sesuai dengan yang diasumsikan pada uji Chi Square. Uji Keselarasan Smirnov Kolmogorov Pengujian kecocokan sebaran dengan metode ini dilakukan dengan membandingkan probabilitas untuk tiap variabel dari distribusi empiris dan teoritis sehingga didapat perbedaan (Δ) tertentu. Perbedaan maksimum yang dihitung (Δmaks) dibandingkan dengan perbedaan kritis (ΔCr) untuk suatu derajat nyata dan banyaknya varian tertentu, maka sebaran sesuai jika (Δmaks) < (ΔCr). Rumus: Δmaks = [P(X) – P(Xi)] < ΔCr(a;n)
(2.17)
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.4 Nilai Δ Kritis untuk Uji Keselarasan Smirnov Kolmogorof
Sumber: Soewarno, 1995 2.5.3
Curah Hujan Rencana Perhitungan curah hujan rencana digunakan untuk memperkirakan
besarnya hujan dengan periode ulang tertentu. Berdasarkan curah hujan rencana tersebut kemudian dicari intensitas hujan yang digunakan untuk mencari debit banjir rencana. Untuk memperkirakan curah hujan rencana dilakukan dengan analisis frekuensi data hujan. Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam menghitung analisis frekuensi data hujan, yaitu: 1.
Distribusi Normal (Cara Analitis) Untuk analisis frekuensi curah hujan menggunakan metode distribusi
Normal, dengan persamaan sebagai berikut : XT = X + k.Sd
(2.18)
dengan : XT
=
Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan rencana untuk Periode ulang T tahun. n
Xi
X
=
Harga rata – rata dari data =
Sd
=
Standar Deviasi
1
n
(2.19)
Universitas Sumatera Utara
( Xi
= k
=
X)
2
(2.20)
n 1 Variabel reduksi Gauss Tabel 2.5 Nilai Variabel Reduksi Gauss (K)
Sumber: Buku Hidrologi Terapan (Harto, 1981)
2.
Distribusi Log Normal Untuk analisis frekuensi curah hujan menggunakan metode distribusi Log
Normal, dengan persamaan sebagai berikut : Log X = LogX + k.SLog X
(2.21)
dengan : Log X
=
LogX
=
SLogX
= =
K
=
Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan rancangan untuk periode ulang T tahun. LogX Harga rata – rata dari data = (2.22) n Standar Deviasi
( LogX
LogX )
2
n 1 Variabel reduksi Gauss
(2.23)
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.6 Faktor Frekuensi K untuk Distribusi Log Normal
Sumber: Soewarno, 1995 3.
Distribusi E. J. Gumbel Tipe I Untuk analisis frekuensi curah hujan menggunakan metode E.J. Gumbel,
dengan persamaan sebagai berikut : XT = X + K.Sd
(2.24)
dengan :
XT
=
X
=
Sd
=
= K
=
Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan rencana untuk Periode ulang T tahun. Xi Harga rata – rata dari data = (2.25) n Standar Deviasi
( Xi
X)
2
(2.26) n 1 Faktor frekuensi yang merupakan fungsi dari periode ulang (return period) dan tipe frekuensi.
Universitas Sumatera Utara
Untuk menghitung faktor frekuensi E.J. Gumbel mengambil harga : K=
YT Yn Sn
(2.27)
dengan : YT Yn Sn
= = =
Reduced variate sebagai fungsi dari periode ulang T Reduced mean sebagai fungsi dari banyak data (N) Reduced standard deviation sebagai fungsi dari banyak data (N)
Tabel 2.7 Harga Reduced Variate pada Periode Ulang Hujan T Tahun
Sumber: Soemarto, 1999 Tabel 2.8 Reduced Mean (Yn)
Sumber: Soemarto, 1999
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.9 Standar Deviasi dari Reduksi Variasi (Sn)
Sumber: Soemarto, 1999 4.
Log Pearson Tipe III Untuk analisis frekuensi curah hujan menggunakan metode Log Pearson
Type III, dengan persamaan sebagai berikut :
Log X = LogX + Ktr. Slog X
(2.28)
dengan : Log X
=
LogX
= =
Slog X
= =
Ktr
=
Cs
=
Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan rancangan untuk periode ulang T-tahun. Harga rata – rata dari data LogX (2.29) n Standar Deviasi
( LogX
LogX ) 2
n 1 Koefisien frekuensi, didapat berdasarkan hubungan nilai Cs dengan periode ulang T tahun koefisien kemencengan 3
n
n =
(2.30)
LogX
LogX
1
n 1 n 2 SLogX 3
(2.31)
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.10 Faktor Frekuensi K Distribusi Log Pearson Tipe III
Sumber: Soewarno, 1995
2.5.4
Analisis Intensitas Curah Hujan Intensitas curah hujan adalah tinggi atau kedalaman hujan per satuan
waktu. Sifat umum hujan adalah semakin singkat hujan berlangsung, intensitasnya cenderung semakin tinggi dan semakin tinggi serta semakin besar periode ulangnya, maka semakin tinggi pula intensitasnya. Intensitas curah hujan (I) menyatakan besarnya curah hujan dalam jangka pendek yang memberikan gambaran derasnya hujan per jam. Untuk mengubah curah hujan menjadi intensitas curah hujan dapat digunakan 2 metode sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Metode Van Breen Metode ini beranggapan bahwa besarnya atau lama durasi hujan harian adalah berpusat selama 4 jam dengan hujan efektif sebesar 90% dari hujan selama 24 jam (Anonim dalam Melinda, 2007). Rumus:
I
90% R 24 4
(2.32)
Dimana I = Intensitas hujan (mm/jam) dan R24 = Curah hujan harian maksimum (mm/24 jam). Berdasarkan rumus tersebut, maka dapat dibuat suatu kurva durasi intensitas hujan. Dimana Van Breen mengambil bentuk kurva kota Jakarta sebagai basis. Kurva basis tersebut memberikan kecenderungan bentuk kurva untuk daerah-daerah lain di Indonesia pada umumnya. Berdasarkan kurva pola Van Breen kota Jakarta, besarnya intensitas hujan dapat didekati dengan persamaan:
54 RT 0.007 RT 2 t 0.31 RT
IT
(2.33)
Dimana: IT = Intensitas hujan (mm) pada PUH T, t = Durasi waktu hujan (menit), dan RT = Curah hujan harian maksimum PUH T (mm/24 jam). 2. Metode Hasper Der Weduwen Penurunan rumus diperoleh berdasarkan kecenderungan curah hujan harian yang dikelompokkan atas dasar anggapan bahwa hujan mempunyai distribusi yang simetris dengan durasi hujan (t) lebih kecil dari 1 jam dan durasi hujan sampai 24 jam (Melinda, 2007). Persamaan yang digunakan adalah: Rt
Xt
R
1218 t 54 Xt 1 t 1272 t
(2.34)
11300 Rt t 3.12 100
(2.35)
Setelah didapat nilai dari persamaan diatas, kemudian hitung intensitas curah hujan dengan persamaan berikut:
Universitas Sumatera Utara
I
2.5.5
R t
(2.36)
Analisis Penentuan Metode Perhitungan Intensitas Curah Hujan Setelah kedua metode tersebut dilakukan, maka selanjutnya dilakukan
perhitungan penentuan/pendekatan intensitas hujan. Cara ini dimaksudkan untuk menentukan persamaan intensitas yang paling mendekati untuk daerah perencanaan. Metode yang digunakan adalah metode perhitungan dengan cara kuadrat terkecil. Menurut Sosrodarsono (2003), ada 3 metode yang dapat digunakan, yaitu: 1. Metode Sherman (1953), menjelaskan bahwa intensitas curah hujan (I) sebagai berikut:
I n
n
log i Log a
i 1
log t n
log t
2
b
log t
n
log t
n
i 1 n
log t i 1
i 1
i 1
n
n
log t
2
n
i 1
i 1
n
log t log i i 1
n
log i
(2.37)
n
2
i 1
n
a tb
log t log i i 1
2
2
n
log t i 1
Dimana I = Intensiats curah hujan (mm/jam), t = Lamanya curah hujan (menit), a,b = Konstanta yang tergantung pada lama curah hujan yang terjadi di daerah aliran, dan n = Banyaknya pasangan data i dan t. 2. Metode Ishiguro (1905), menetukan intensitas curah hujan (I) sebagai berikut:
I
a t
b
(2.38)
Universitas Sumatera Utara
n
n
i a
n
j 1
i2. t
j 1
i j 1
n
n
i
i
j 1
2
i2 j 1
b
j 1
n
n
i
j 1
n
n
n
i2
t
t
i2. t
n
j 1
j 1
n
2
n
n
i
2
i
j 1
j 1
3. Metode Talbot (1881), rumus ini banyak digunakan karena mudah diterapkan dimana tetapan-tetapan a dan b ditentukan dengan harga-harga yang diukur. Untuk menentukan intensitas curah hujan (I) dapat digunakan rumus:
I n
n
n
a
j 1
j 1
i 2 .t j 1
n
n
i j 1
n
n
i b
j 1
2
i2 j 1
i t
i 2 .t
n
j 1
j 1
n
n
i j 1
n
n
(2.39)
t b
n
i2
i t
a
2
n
i
2
j 1
i j 1
Dimana I = Intensitas curah hujan (mm/jam), t = Lamanya curah hujan (menit), a dan b = Konstanta yang tergantung pada lama curah hujan yang terjadi di daerah aliran, dan n = Banyaknya pasangan data i dan t. Untuk pemilihan rumus intensitas curah hujan dari ketiga rumus di atas, maka harus dicari selisih terkecil antara I asal dan I teoritis berdasarkan rumus di atas. Persamaan intensitas dengan selisih terkecil itulah yang dipakai untuk perhitungan debit.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian dilakukan penggambaran kurva IDF yang dimaksud untuk menggambarkan persamaan-persamaan intensitas curah hujan yang dapat digunakan untuk perhitungan limpasan (run off) dengan rumus rasional dan besarnya kemungkinan terjadinya intensitas hujan yang berlaku untuk lamanya curah hujan sembarang. 2.6
Sumur Resapan
2.6.1
Pengertian Di dalam studi ini dipilih sumur resapan, yang dapat diartikan sebagai
sumur gali yang berbentuk segi empat atau lingkaran, dengan ke dalaman tertentu. Pada saat hujan, sumur resapan ini akan menampung air hujan yang jatuh di atap bangunan rumah, di halaman maupun yang jatuh di jalan, dan meresapkannya kembali ke dalam tanah.
Gambar 2.8 Konstruksi Sumur Resapan 2.6.2
Fungsi Sumur Resapan Fungsi utama dari sumur resapan bagi kehidupan manusia antara lain
adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Pengendali Banjir Bajir yang melanda beberapa kawasan perumahan/permukiman telah berlangsung cukup lama, bahkan telah dianggap sebagai rutinitas yang terjadi setiap tahun. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut dengan membangun sumur resapan air pada setiap rumah dalam suatu kawasan perumahan. Sumur resapan mampu memperkecil aliran permukaan sehingga dapat menghindari terjadinya genangan aliran permukaan secara berlebihan yang menyebabkan banjir. Banyaknya aliran permukaan yang dapat dikurangi melalui sumur resapan tergantung pada volume dan jumlah sumur resapannya. 2. Konservasi Tanah Fungsi lain dari sumur resapan adalah memperbaiki kondisi air tanah atau mendangkalkan permukaan air sumur. Di sini diharapkan air hujan lebih banyak yang diresapkan ke dalam tanah menjadi air cadangan dalam tanah. Air yang tersimpan dalam tanah tersebut akan dapat dimanfaatkan melalui sumursumur atau mata air. 3. Menekan Laju Erosi Dengan adanya penurunan aliran permukaan, maka laju erosi pun akan menurun. Bila aliran permukaan menurun, tanah-tanah yang tergerus dan terhanyut pun akan berkurang. Dampaknya, aliran permukaan air hujan menjadi kecil dan erosi pun akan kecil. Dengan demikian, adanya sumur resapan yang mampu menekan besarnya aliran permukaan akan dapat menekan laju erosi. 2.6.3
Prinsip dan Teori Kerja Sumur Resapan Prinsip kerja sumur resapan adalah menyalurkan dan menampung air
hujan ke dalam lubang atau sumur air agar dapat memiliki waktu tinggal di permukaan tanah lebih lama sehingga sedikit demi sedikit air dapat meresap ke dalam tanah.
Universitas Sumatera Utara
Sebagaimana media yang secara langsung berhubungan dengan lapisan tanah, dalam pengoperasiannya sumur resapan mengandalkan kemampuan tanah dalam meresapkan air. Oleh karena itu perencanaan dimensi sumur resapan berangkat dari sifat fisik tanah khususnya harus bertitik tolak pada keadaan daya rembes tanahnya. Semakin banyak air yang mengalir ke dalam tanah, maka akan banyak air tanah yang tersimpan di bawah permukaan bumi. Air tersebut dapat dimanfaatkan kembali melalui sumur-sumur atau mata air yang dapat dieksplorasikan setiap saat.Jumlah aliran permukaan akan menurun karena adanya sumur resapan. Pengaruh positifnya, bahaya banjir dapat dihindari karena terkumpulnya air permukaan yang berlebihan di suatu tempat dapat dihindarkan. Menurunnya aliran permukaan ini juga akan menurunkan tingkat erosi tanah. Teori sumur resapan yang diajukan oleh Sunjoto (1989) dipandang oleh beberapa ahli sebagai teori yang cukup sempurna. Debit resap oleh Sunjoto (1995) dinyatakan dengan persamaan: Qo
(2.40)
f kH
Dimana Qo = Debit resap (m3/detik), f = Faktor geometrik (m), k = Koefisien permeabilitas tanah (m/detik), H = Kedalaman air di dalam sumur resapan (m). Jika dikembalikan pada prinsip hidrolika air tanah, bahwa debit adalah: Qo
kiA
(2.41)
Dimana Qo = Debit (m3/det), k = Koefisien permeabilitas tanah (m/det), i = Gradien hidrolik Δ H / L dan A = Luas bidang resap (m2). Pada persamaan (2.40) dapat ditinjau bahwa unsur fH adalah pengganti unsur iA dalam persamaan (2.41). Dalam kasus peresapan di dalam sistem sumur, maka tidak mudah menentukan gradien hidrolis i dan lus bidang resap A. Sebab dimensi sumur resapan itu masih ditafsir. Unsur kedalaman H menjadi unsur penentu sebab baik gradien hidrolis maupun luas bidang resap, keduanya sekaligus akan terjadi manakala H telah ditetapkan. Di lain pihak pada sistem sumur resapan, luas bidang resap A terbentuk oleh jari-jari R dan kedalaman H. Jadi faktor geometrik f pada prakteknya adalah fungsi R dan H. Dengan demikian Qo = k i A = k f H. Pada prakteknya faktor geometris (shape factor) f memerlikan formulasi untuk kasus sumur resapan yang sama.
Universitas Sumatera Utara
Jika t1 adalah rentang waktu yang dibutuhkan untuk mengisi sampai dengan penuh, maka waktu yang dibutuhkan untuk meresapkan adalah t2. Dengan begitu maka akan terpenuhi syarat terjadinya persamaan keseimbangan di dalam sumur resapan, yaitu: Qi t
(2.42)
f k H t
Tetapi oleh karena tampungan dalam sumur harus penuh beru kemudian terjadi peresapan, maka event t1 terjadi terlebih dahulu baru event t2, meskipun besarnya t1 = t2. Qi t1
(2.43)
f k H t2
Pada rentang waktu t2, yang mana roses resap Qo sedang berlangsung, bersamaan dengan itu debit input Qi tetap mengisi tampungan untuk diresapkan pada rentang waktu seterusunya secara berurutan. Demikian seterusnya Qi dan Qo saling bekerja secara kontinyu selama rentang waktu t. Pada akhir durasi t, debit masuk Qi telah berhenti mengisi tampungan dan debit resap Qo menghabiskan sisa volume sumur resapan. 2.6.4
Komponen-komponen Proses Peresapan Komponen-komponen dalam proses resapan adalah:
a.
Debit Masukan (Qi = Q) Debit masukan adalah volume air yang mengalir masuk ke dalam sumur resapan per satuan waktu. Apabila sumur resapan dimaksudkan sebagai sarana drainase limpasan permukaan akibat hujan, maka debit masukan Qi adalah debit limpasan permukaan dari suatu luasan tertentu. Jika sumur resapan itu adalah sarana drainase bangunan tempat tinggal, maka debit masukan Qi adalah berupa air yang terkumpul dari permukaan penutup atap. Penentuan debit masukan Qi secara empirs yang bersifat praktis untuk luasan yang relatif kecil sebagaimana rumah tinggal adalah menggunakan metode rasional, dimana debit masuk ke sumur resapan (Qi) = debit banjir metode rasional (Q). Rumus metode rasional untuk menghitung debit banjir pada suatu kawasan tertentu akibat limpasan air hujan (Bedient dan Huber, 1988) adalah:
Universitas Sumatera Utara
Q
(2.44)
Kc C I A
Dimana: Q = Debit banjir (cfs atau m3/detik), C = Koefisien pengaliran permukaan, yang besarnya < 1, I = Intensitas hujan (in./hr atau mm/jam), A = Luas bidang tangkapan hujan (ac atau ha) dan Kc = Faktor konversi (Kc = 0,00278, yaitu faktor konversi ha-mm/jam ke m3/detik). Luasan bidang tangkapan hujan untuk bangunan tempat tinggal adalah berupa luas atap yang diukur secara horizontal. Untuk koefisien pengaliran (C), apabila tidak diukur langsung pada medan pengaliran yang dimaksud, maka dapat digunakan perkiraan nilai koefisien (C) secara empiris berdasarkan hasil penelitian yang dilampirkan pada Tabel 2.11 berikut. Tabel 2.11 Nilai Koefisien Aliran Permukaan (C) untuk Berbagai Permukaan
Sumber: Maduto, Drainase Perkotaan Volume I, 1997 b. Durasi Debit Masukan (t) Pemberian debit masukan ke dalam lubang sumur resapan memiliki durasi tertentu selam t. Apabila sumur resapan sebagai saran drainase hujan pada
Universitas Sumatera Utara
tempat tinggal, biasanya mengambil t berupa waktu hujan yang dominan. Dalam hal ini, Sunjoto (1995) memberikan batasan bahwa maksud dari durasi dominan hujan adalah lamanya hujan yang paling sering terjadi. Paling akurat datanya adalah yang didapatkan berdasarkan data Automatic Rainfall Recorder (ARR). Keberadaan durasi (t) dalam perencanaan sumur resapan akan mempengaruhi besar kecilnya dimensi sumur resapan, terutama dalam hal berapa lama volume tampungan yang dibutuhkan serta kapan kondisi water balance terjadi. c.
Koefisien Permeabilitas Tanah Proses pengisian air pada sumur resapan untuk mengalami peresapan merupakan imbuhan buatan (artificial recharge). Oleh karena itu dalam proses tersebut semata-mata karena pengaruh gravitasi bumi, maka sifat tanah sebagai mendia peresap akan memiliki arti yang sangat penting. Dalam kaitannya dengan masalah ini, maka sifat fisik tanah akan menjadi parameter utama. Sifat fisik tanah untuk mengalirkan air dalam bentuk rembesan itu ditunjukkan dengan koefisien permeabilitas.
d. Faktor Geometrik Tiga unsur yakni bidang resap, volume tampungan, dan ketinggian air, direncanakan secara bersamaan menjadi faktor geometrik sumur resapan. Jadi faktor geometrik adalah koefisien dalam perencanaan dimensi sumur resapan yang memperhitungkan kebutuhan akan bidang resap, gradien hidrolis, dan volume tampungan air, berdasarkan bentuk, ukuran dan konstruksi sumur resapan yang direncanakan. 2.6.5
Perencanan Dimensi Sumur Resapan Dimensi sumur resapan ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya
adalah sebagai berikut: a) Tinggi muka air tanah Dasar bangunan sumur resapan akan efektif apabila terletak di atas muka air tanah. Oleh karena itu diperlukan peta sebaran muka preatik daerah penelitian
Universitas Sumatera Utara
yang menggambarkan distribusi tinggi muka air tanah, namun dalam penelitian ini kedalaman muka air tanah diketahui berdasarkan sumur air bersih penduduk di lokasi studi. b) Intensitas hujan Intensitas hujan sangat diperlukan untuk menghitung besarnya kapasitas sumur resapan untuk menampung air hujan yang jatuh pada suatu lahan dengan luasan tertentu. Volume air tampungan adalah hasil kali intensitas hujan, luas daerah tampungan, dan lamanya hujan. c)
Durasi hujan Lama hujan adalah waktu terlama hujan itu terjadi setiap kejadian hujan. Lama hujan (durasi) sangat diperhitungkan dalam memprediksi daya tamping sumur resapan.
d) Luas penampung Luas bidang penampung ini merupakan jumlah total dari atap bangunan atau bidang perkerasan yang airnya dialirkan pada sumur resapan. Semakin besar luas tampungan maka semakin besar pula volume tampungannya. e)
Koefisien permeabilitas tanah Koefisien permeabilitas tanah kemampuan suatu tanah dalam melewatkan air sebagai fungsi dari waktu. Kemampuan tanah dalam meresapkan air hujan yang ditampung ditentukan oleh koefisien permeabilitas ini. Metode-metode yang digunakan dalam perencanaan dimensi sumur
resapan antara lain sebagai berikut: a.
Metode Sunjoto (2011) Sunjoto membangun suatu formula dengan asas:
1.
Debit air masuk kedalam sumur diasumsikan konstan sama dengan Q. hal ini sesuai dengan keadaan fisik yaitu dalam suatu durasi hujan akan ada debit dari atap yang masuk ke dalam sumur.
Universitas Sumatera Utara
2.
Debit keluar (meresap) adalah sama dengan faktor geometrik kali koefisien permeabilitas fungsi ketinggian air dalam sumur, Qo = F K h.
3.
Formula unsteady flow condition ini menjadi sama dengan formula Forchheimer (1930) bedanya adalah yang terakhir ini adalah steady flow condition. Bila waktu tak terhingga, maka formula sunjoto akan sama menjadi steady flow condition dan formulanya akan sama persis dengan formula Forchheimer (1930).
Gambar 2.9 Skema Aliran dalam Sumur (Sunjoto, 2011) Secara teoritis, volume dan efisiensi sumur resapan dapat dihutung berdasarkan keseimbangan air yang masuk ke dalam sumur dan air yang meresap ke dalam tanah dan dapat diilustrasikan sebagai berikut: a) Sumur kosong tampang lingkaran Untuk konstruksi sumur resapan biasanya dengan dinding samping dan ruang tetap kosong maka dimensinya dihitung dengan: FKT
H
Q 2 1 e πR FK
(2.45)
Universitas Sumatera Utara
b) Sumur kosong tampang rectangular Untuk konstruksi sumur resapan biasanya dengan dinding samping dan ruang tetap kosong maka dimensinya dihitung dengan: fKT
H
Q 1 e bB fK
(2.46)
Dimana H = Tinggi muka air dalam sumur (m), F = Faktor geometrik (m), f = Faktor geometrik tampang rectangular (m), Q = Debit air masuk (m3/det), T = Waktu pengaliran (detik), K = Koefisien permeabilitas tanah (m/det), dan R = Jari-jari sumur (m). b. Metode PU Pusat penelitian dan pembangunan permukiman Departemen Pekerjaan Umum (2002) telah menyusun standar tat cara perencanaan teknik sumur resapan air hujan untuk pekarangan yang dituangkan dalam SNI 03-24532002. Metode PU menyatakan bahwa dimensi atau jumlah sumur resapan air hujan yang diperlukan pada suatu lahan pekarangan ditentukan oleh curah hujan maksimum, permeabilitas tanah dan luas bidang tanah, yang dapat dirumuskan sebagai berikut: a) Volume andil banjir, digunakan rumus: Vab
(2.47)
0,855 Ct adah At adah R
Dimana: Vab = Volume andil banjir yang akan ditampung sumur resapan (m3), Ctadah = Koefisien limpasan dari bidang tanah, Atadah = Luas bidang tanah (m2), dan R = Tinggi hujan harian rata-rata (L/m2hari). b) Volume air hujan yang meresap, digunakan rumus:
Vrsp
te Atotal K 24
(2.48)
Universitas Sumatera Utara
Dimana: Vrsp = Volume air hujan yang meresap (m3), te = Durasi hujan efektif = 0,9.R0,92/60 (jam), Atotal = Luas dinding sumur + luas alas sumur (m2), dan K = Koefisien permeabilitas tanah (m/hari) dimana untuk dinding sumur kedap, nilai Kv = Kh, untuk tidak kedap diambil nilai Krata-rata.
Krata
rata
Kv Ah Kh Av Atotal
(2.49)
Dimana Krata-rata = Koefisien permeabilitas tanah rata-rata (m/hari), Kv = Koefisien permeabilitas tanah pada dinding sumur (m/hari) = 2Kh, Kh = Koefisien permeabilitas tanah pada alas sumur (m/hari), Ah = Luas alas sumur dengan penampang lingkaran = ¼ π D2 (m2), dan Av = Luas dinding sumur dengan penampang lingkaran = π D H (m2). c) Volume penampungan (storasi) air hujan:
Vstorasi Vab Vrsp
(2.50)
d) Penetuan jumlah sumur resapan (n):
Htotal
n
Vab Vrsp Ah
(2.51)
Htotal Hrencana
(2.52)
Dimana: n = jumlah sumur resapan air hujan (buah), Htotal = Kedalaman total sumur resapan air hujan (m), dan Hrencana = Kedalaman yang direncanankan < kedalaman muka air tanah (m). 2.6.6
Persyaratan Umum dan Teknis Sumur Resapan Pada SNI No. 03-2459-2002 dijelaskan tentang persyaratan umum dan
teknis sumur resapan, standar ini merupakan hasil revisi dari SNI No. 03-24591991.
Universitas Sumatera Utara
Persyaratan umum yang harus dipenuhi antara lain sebagai berikut: a) Sumur respan air hujan ditempatkan pada lahan yang relatif datar. b) Air yang masuk ke dalam sumur resapan adalah air hujan tidak tercemar. c) Penetapan sumur resapan air hujan harus mempertimbangkan keamanan bangunan sekitarnya. d) Harus memperhatikan peraturan daerah setempat e) Hal-hal yang tidak memenuhi ketentuan ini harus disetujiu instansi yang berwenang. Persyaratan teknis yang harus dipenuhi antara lain sebagai berikut: a) Kedalaman air tanah minimum 1,50 m pada musim hujan. b) Struktur tanah yang dapat digunakan harus mempunyai nilai permeabilitas tanah ≥ 2,0 cm/jam. c) Jarak penempatan sumur resapan air hujan terhadap bangunan, dapat dilihat pada Tabel 2.12 berikut ini. Tabel 2.12 Jarak Minimum Sumur Resapan Air Hujan Terhadap Bangunan Jarak minimum dari sumur No.
1. 2. 3.
2.6.7
Jenis Bangunan Sumur resapan air hujan/
resapan air hujan (m) 3
sumur air bersih Pondasi bangunan
1
Bidang resapan/ sumur
5
resapan tangki septik
Jenis dan Konstruksi Sumur Resapan Jenis sumur resapan yang dibuat harus memenuhi syarat-syarat agar daya
kerjanya dapat dipertanggungjawabkan serta tidak menimbulkan dampak baru bagi lingkungan. Penerapan sumur resapan pada lingkungan tempat tinggal (terutama di wilayah perkotaan) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Sumur resapan individu Sumur resapan individu merupakan sumur resapan yang dibuat pada masingmasing rumah tinggal. Peletakannya dapat memanfaatkan lahan sisa maupun pekarangan yang ada. Sumur resapan yang digunakan untuk satu rumah terdiri dari sumur resapan dangkal maupun sumur resapan dalam. Skema sumur resapan individu dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.10 Sumur Resapan Dangkal Berbentuk Bulat dengan Menggunakan Talang Air Hujan (Permeneg Lingkungan Hidup No. 12 Tahun 2009)
Gambar 2.11 Sumur Resapan Dangkal Berbentuk Bulat dengan Menggunakan Saluran Terbuka (Permeneg Lingkungan Hidup No. 12 Tahun 2009)
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.12 Sumur Resapan Dangkal Berbentuk Bulat Melalui Pemboran (Permeneg Lingkungan Hidup No. 12 Tahun 2009) 2. Sumur resapan kolektif Sumur resapan kolektif adalah suatu sumur resapan yang digunakan bersamasama untuk lebih dari satu rumah dalam sebuah komunitas warga masyarakat dengan skala besar dan membutuhkan lahan yang cukup luas. Sumur resapan kolektif dapat berupa kolam resapan, sumur resapan dalam, resapan parit berorak maupun sumur resapan kolektif yang dapat dipasang di bahu jalan. Letak sumur resapan kolektif berada pada lokasi terendah pada suatu kawasan sehingga air dengan mudah mengalir dari semua tempat dalam kawasan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.13 Sumur Resapan kolektif di Bahu Jalan
Gambar 2.14 Sumur Resapan Kolektif Berbentuk Kolam Resapan Beberapa ketentuan umum untuk pembangunan konstruksi sumur resapan adalah sebagai berikut: a)
Sumur resapan sebaiknya berada di atas elevasi/kawasan sumur-sumur gali biasa
b) Untuk menjaga pencemaran air di lapisan aquifer, kedalaman sumur resapan harus di atas kedalaman muka air tanah tidak tertekan (unconfined aquifer) yang ditandai oleh adanya mata air tanah.
Universitas Sumatera Utara
c)
Pada daerah berkapur/karst, perbukitan kapur dengan kedalaman/solum tanah yang dangkal, kedalaman air pada umumnya sangatlah dalam sehingga pembuatan sumur resapan sangatlah tidak direkomendasikan. Demikian sebaliknya di lahan pertanian pasang surut yang berair tanah sangat dangkal.
d) Untuk mendapatkan jumlah air yang memadai, sumur resapan harus memiliki tangkapan air hujan berupa suatu bentang lahan baik berupa lahan pertanian atau atap rumah. e)
Sebelum air hujan yang berupa aliran permukaan masuk ke dalam sumur melalui saluran air, sebaiknya dilakukan penyaringan air di bak kontrol terlebih dahulu.
f)
Bak control terdiri dari beberapa lapisan berturut-turut adalah lapisan gravel (kerikil), pasir kasar, pasir, dan ijuk.
g) Penyaringan ini dimaksudkan agar partikel-partikel debu hasil erosi dari daerah tangkapan air tidak terbawa masuk ke sumur sehingga tidak menyumbat pori-pori lapisanaquifer yang ada. h) Untuk menahan tenaga kinetis air yang masuk melalui pipa pemasukan, dasar sumur yang berada di lapisan kedap air dapat diisi dengan batu belah atau ijuk. i)
Pada dinding sumur tepat di depan pipa pemasukan, dipasang pipa pengeluaran yang letaknya lebih rendah dari pipa pemasukan untuk antisipasi manakala terjadi overflow/luapan air di dalam sumur. Bila tidak dilengkapi dengan pipa pengeluaran, air yang masuk ke sumur harus dapat diatur, misalnya dengan seka balok, dll.
j)
Diameter sumur bervariasi tergantung pada besarnya curah hujan, luas tangkapan air, konduktifitas hidrolika lapisan aquifer dan daya tamping lapisan aquifer. Pada umumnya diameter berkisar antara 1–1,5 m.
k) Tergantung pada tingkat kelabilan/kondisi lapisan tanah dan ketersediaan dana yang ada, dinding sumur dapat dilapis pasangan batu bata atau buis
Universitas Sumatera Utara
beton. Akan lebih baik bila dinding sumur dibuat lubang-lubang air dapat meresap juga secara horizontal. l)
Untuk menghindari terjadinya gangguan atau kecelakaan, maka bibir sumur dapat dipertinggi dengan pemasangan bata dan atau ditutup dengan papan/plesteran.
Gambar 2.15 Perspektif Sumur Resapan 2.7
Gambaran Umum Daerah Tinjauan Studi Gambaran umum fisik dasar Kelurahan Hutatoruan VII, Kecamatan
Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara, antara lain memuat gambaran tentang letak geografis dan batas-batas wilayah, topografi/kemiringan, tanah, hidrologi, klimatologi serta penggunaan lahan. 2.7.1 Letak Geografis dan Luas Wilayah Kelurahan Hutatoruan VII berada di Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara, Propinsi Sumatera Utara dengan luas wilayah kelurahannya adalah 2,00 Ha. Secara geografis, Kelurahan Hutatoruan VII (menurut GPS) terletak di antara koordinat 02˚01’21,40” Lintang Utara dan 98˚57’59,69” Bujur Timur. Batas-batas wilayah Kelurahan Hutatoruan VII adalah: - Sebelah Utara
: Kel. Hutatoruan X-XI
- Sebelah Timur
: Desa Simamora
Universitas Sumatera Utara
- Sebelah Selatan
: Kel. Partalitoruan-Desa Hapoltahan
- Sebelah Barat
: Kel. Hutatoruan IV
Kecamatan Tarutung dihuni oleh 40.037 orang penduduk dimana penduduk terbanyak berada di Kelurahan/desa Hutatoruan VII dengan 5.383 jiwa, dimana terdiri dari 1.256 rumah tangga.
Gambar 2.16 Peta Kecamatan Tarutung Menurut Desa/Kelurahan Tabel 2.13 Luas Wilayah Dirinci per Kelurahan/Desa di Kecamatan Tarutung Desa/Kelurahan
Luas (Km2)
1
Siandor-andor
8,50
Rasio Terhadap Total Luas Kecamatan 7,89
2
Hutapea Banuarea
8,25
7,66
3
Parbubu Pea
1,25
1,16
4
Parbubu II
4,50
4,18
5
Parbubu Dolok
7,94
7,37
6
Hutatoruan VIII
3,50
3,25
No.
Universitas Sumatera Utara
7
Parbubu I
4,75
4,41
8
2,00
1,86
9
Hutatoruan I Sosunggulon
2,62
2,43
10
Parbaju Toruan
4,55
4,23
11
Hapoltahan
1,44
1,34
12
Hutatoruan IV
0,87
0,81
13
Aek Sian Simun
4,56
4,23
14
Hutatoruan V
1,50
1,39
15
Hutatoruan VI
3,25
3,02
16
Hutatoruan XI
0,20
0,19
17
Hutatoruan IX
0,85
0,79
18
Hutatoruan X
1,04
0,97
19
Hutatoruan VII
2,00
1,86
20
Partali Toruan
0,62
0,58
21
Parbaju Tonga
3,50
3,25
22
Simamora
3,40
3,16
23
Hutagalung Siwalu Ompu
3,20
2,97
24
Siraja Oloan
3,75
3,48
25
Hutauruk
2,19
2,03
26
Parbaju Julu
3,50
3,25
27
Partali Julu
2,00
1,86
28
Sitampurung
7,75
7,20
29
Jambur Nauli
8,76
8,14
30
Sihujur
5,00
4,64
31
Hutatoruan III
0,44
0,41
Sumber: Tarutung Dalam Angka, 2012
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.14 Jumlah Penduduk dan Rumah Tangga Menurut Desa/Kelurahan Jumlah Rumah Tangga 136
Rata-Rata per Rumah Tangga 4
266
4
468
106
4
Parbubu II
658
185
4
5
Parbubu Dolok
1.116
240
5
6
Hutatoruan VIII
472
113
4
7
Parbubu I
1.066
279
4
8
1.797
417
4
9
Hutatoruan I Sosunggulon
970
234
4
10
Parbaju Toruan
1.208
280
4
11
Hapoltahan
838
192
4
12
Hutatoruan IV
870
206
4
13
Aek Sian Simun
1.052
259
4
14
Hutatoruan V
672
180
4
15
Hutatoruan VI
637
133
5
16
Hutatoruan XI
1.491
356
4
17
Hutatoruan IX
1.195
274
4
18
Hutatoruan X
4.464
976
5
19
Hutatoruan VII
5.383
1.256
4
20
Partali Toruan
2.813
632
4
21
Parbaju Tonga
1.083
261
4
22
Simamora
2.376
551
4
1.218
269
5
No.
Desa/Kelurahan
Jumlah Penduduk
1
Siandor-andor
2
Hutapea Banuarea
574 981
3
Parbubu Pea
4
23
Hutagalung Siwalu Ompu
24
Siraja Oloan
1.292
297
4
25
Hutauruk
560
129
4
26
Parbaju Julu
986
232
4
27
Partali Julu
1.159
278
4
Universitas Sumatera Utara
28
Sitampurung
808
183
4
29
Jambur Nauli
1.072
273
4
30
Sihujur
448
107
4
31
Hutatoruan III
310
71
4
40.037
9.371
-
Jumlah
Sumber : Tarutung Dalam Angka, 2012 2.7.2
Kondisi Fisik Dasar
Iklim Kecamatan Tarutung memiliki iklim tropis dengan 2 musim yaitu musim penghujan dan kemarau. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Tapanuli Utara, banyaknya curah hujan per bulan pada tahun 2011 tercatat rata-rata curah hujan adalah 176 mm , dengan curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli (27 mm) dan tertinggi terjadi pada bulan November (418 mm). Kelembaban udara rata-rata berkisar antara 65-75% dan kecepatan angin sekitar 20 km/jam. Suhu udara di Kecamatan Tarutung berkisar antara 22-30 ˚C. Topografi/Kemiringan Tabel 2.15 Ketinggian dan Kondisi Kemiringan Lereng Di Kecamatan Tarutung Ketinggian
Ha
Kemiringan
Ha
a.
min s/d 500 m
2.930
Datar (0 - 2 %)
7.964
b.
500 s/d 1000 m
11.793
Landai (2 - 15 %)
7.200
c.
1000 s/d 1500 m
38.707
Miring (15 - 40 %)
47.103
d.
1500 s/d max
790
Terjal (40 % ke atas)
98.093
Sumber : Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW Kabupaten Tapanuli Utara 2011)
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.16 Banyaknya Hari Hujan dan Curah Hujan Per Bulan 2011 Hari Hujan
Curah Hujan
(Hari)
(mm)
Januari
19
152
Februari
14
99
Maret
26
259
April
21
137
Mei
13
73
Juni
6
50
Juli
4
27
Agustus
21
133
September
14
170
Oktober
17
254
November
21
418
Desember
15
345
Jumlah
191
2.117
Rata-rata
16
176
Bulan
Sumber: Dinas Pertanian dan Perkebunan Tapanuli Utara Kedalaman Efektif Tanah Kedalaman efektif tanah merupakan kemampuan suatu akar tumbuhan dapat menembus lapisan tanah sampai bahan induk dan tumbuhan tersebut dapat tembus dengan baik dan normal. Kedalaman efektif tanah di kawasan perencanaan lebih dari 100 cm.
Jenis Tanah Jenis tanah berdasarkan satuan lahan di Kecamatan Tarutung dapat dibedakan menjadi 3 jenis kelompok yaitu jenis tanah podsolik coklat kelabu, Litosol Regosol, Alluvial, dan Podolik Regosol.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.17 Peta Topografi Kecamatan Tarutung
Gambar 2.18 Peta Jenis Tanah Kecamatan Tarutung
Universitas Sumatera Utara
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tabel 2.17 Penggunaan Lahan di Kecamatan Tarutung Menurut Desa/ Kelurahan Tahun 2011
Sumber : Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Tapanuli Utara, 2011
Universitas Sumatera Utara