BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Implementasi
2.1.1 Pengertian Implementasi Pengertian implementasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pelaksanaan penerapan.Implementasi diartikan sebagai sebuah pelaksanaan atau penerapan suatu program ataupun kebijakan yang telah dirancang atau didesain dan djalankan secara keseluruhan.Secara singkat, implementasi dapat diartikan sebagai penerapan, pelaksanaan, perwujudan dalam tindak nyata.Van Master dan Van Horn dalam wahab (2002), merumuskan proses implementasi atau pelaksanaan sebagi berikut: “Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau pejabatpejabat atau kelompok-kelompok pemerintah maupun swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan”. Pengertian implementasi dalam pengertian luas adalah pelaksanaan dan melakukan suatu program kebijaksanaan. Dijelaskan bahwa suatu proses interaksi diantara merancang dan menentukan sasaran yang diinginkan. Implementasi merupakan tahap yang sangat menentukan dalam proses kebijakan karena tanpa implementasi yang efektif maka keputusan pembuat kebijakan tidak akan berhasil dilaksanakan. Implementasi kebijakan merupakan aktivitas yang terlihat setelah adanya pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya mengelola input untuk menghasilkan implementasi baru akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan, kemudian telah tersusun dan dana telah siap untuk proses pelaksanaanya dan telah disalurkan untuk mencapai sasaran atau tujuan kebijakan yang diinginkan. 10
Universitas Sumatera Utara
Dari skema tersebut terlihat bahwa proses implementasi dimulai dengan suatu kebijakan yang harus dilaksanakan. Hasil proses implementasi terdiri dari hasil kebijakan yang segera atau disebut sebagai “policy performance”. Secara konkrit antara lain dapat kita lihat jumlah dan isi barang dan jasa yang dihasilkan pemerintah dalam jangka waktu tertentu untuk menaikkan taraf kesejahteraan warga masyarakat, Misalnya perubahan dalam taraf kesejahteraan warga masyarakat dapat dianggap sebagai hasil akhir kebijakan yang disebut juga sebagai “policy outcome” atau Dampak akhir kebijakan Dampak segara kebijakan Proses Pelaksanaan Kebijakan “policy impact”. Dengan sendirinya di dalam hasil akhir kebijakan termasuk juga hasilhasil sampingan disamping “policy performance” yang diperoleh. Subarsono (2008;89) mengemukakan beberapa teori dari beberapa ahli mengenai implementasi kebijakan, yaitu: a. Teori George C. Edward dalam pandangan Edward III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variable, yaitu : 1) Komunikasi, yaitu keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan, dimana yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group), sehingga akan mengurangi distorsi imlpementasi. 2) Sumberdaya, dimana meskipun isi kebijakan telah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, misalnya kompetensi implementor dan sumber daya finansial. 3) Disposisi, adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka implementor tersebut dapat 11
Universitas Sumatera Utara
menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Edward III (1980: 98) menyatakan bahwa sikap dari pelaksana kadangkala menyebabkan masalah apabila sikap atau cara pandangnya berbeda dengan pembuat kebijakan. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi dapat mempertimbangkan atau memperhatikan aspek penempatan pegawai (pelaksana) dan insentif . 4) Struktur Birokrasi, merupakan susunan komponen (unit-unit) kerja dalam organisasi yang menunjukkan adanya pembagian kerja serta adanya kejelasan bagaimana fungsi-fungsi atau kegiatan yang berbeda-beda diintegrasikan atau dikoordinasikan, selain itu struktur organisasi juga menunjukkan spesialisasi pekerjaan, saluran perintah dan penyampaian laporan (Edward III, 1980;125) Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks, yang menjadikan aktivitas organisasi tidak fleksibel. Aspek dari stuktur organisasi adalah Standard Operating Procedure (SOP) dan fragmentasi. Berdasarkan pemahaman diatas konklusi dari implementasi jelas mengarah kepada pelaksaan dari suatu keputusan yang dibuat oleh eksekutif.Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi masalah yang terjadi sehingga tercipta rangkaian yang terstruktur dalam upaya penyelesaian masalah tersebut.Dalam konsep implementasi terdapat kata “rangkaian terstruktur” yang memiliki makna bahwa dalam prosesnya implmentasi pasti melibatkan berbagai komponen dan instrument. Pemerintah dalam hal ini adalah yang membuat dan melaksanakan peraturan daerah merupakan pion penting dalam penyelengaraan pemerintahan.pelayanan dan pengaturan berkenaan dengan nilai dasar yang dijelaskan pada konsep tentang masarakat yaitu mengenai hak dan kewajiban masyarakat. Yang pertama mengenai 12
Universitas Sumatera Utara
tugas pengaturan, jika yang bertugas mengatur adalah pemerintah maka yang diatur adalah yang-diperintah dalam hal ini masyarakat.Berarti pemerintah memiliki hak untuk mengatur dan masyarakat memiliki kewajiban untuk diatur.hal ini terkait dengan konsep implementasi kebijakan. Implementasi sendiri menurut Budi Winarno (2002), yang mengatakan bahwa implementasi kebijakan dibatasi sebagai menjangkau tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh
individu-individu
pemerintah
dan
individu-individu
swasta
(kelompokkelompok) yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijaksanaan sebelumnya, sedangkan menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul Sabatier (1979) sebagaimana dikutip dalam buku Solihin Abdul Wahab (2008: 65), mengatakan bahwa, yaitu : “Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan focus perhatian implementasi kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan Negara yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadiankejadian. Proses implementasi kebijakan publik baru dapat dimulai apabila tujuantujuan kebijakan publik telah ditetapkan, program-program telah dibuat, dan dana telah dialokasikan untuk pencapaian tujuan kebijakan tersebut. Suatu proses implementasi dapat digambarkan secara sistematis seperti berikut ini :
13
Universitas Sumatera Utara
Kebijakan
Proses Pelaksanaan
Dampak Segera Kebijakan
Dampak Akhir Kebijakan
Sumber : Bambang Sunggono (1994:139) Dalam aturan peraturan daerah no 6 Tahun 2003 tentang larangan gelandangan dan pengemis, Pemerintah Daerah yang dimaksud penulis dalam melaksanakan peraturan daerah tersebut adalah aparatur yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan perda. Pemerintah daerah yang berwewenang dalam hal ini yaitu DPRD Kota Medan bagian Kesejahteraan Masyarakat, dan Dinas Sosial Kota Medan. Penjelasan mengenai peraturan daerah no 6 tahun 2003 di kota Medan mengenai larangan gelandangan dan pengemis adalah segala upaya atau kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat untuk mengatasi masalah gelandangan pengemis dan keluarganya agar dapat hidup dan mencari nafkah dengan tetap mengutamakan hak-hak dasar bagi kemanusiaan. Kesimpulanya, dengan demikian dapat dikatakan bahwa program merupakan unsur pertama yang harus ada demi tercapainya kegiatan implementasi. Program akan menunjang implementasi, karena dalam program tersebut telah dimuat dalam berbagai aspek antara lain : 1. Adanya tujuan yang ingin dicapai. 2. Adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan yang harus diambil dalam mencapai tujuan itu. 3. Adanya aturan-aturan yang harus di pegang dan prosedur yang harus di lalui. 4. Adanya perkiraan anggaran yang dibutuhkan. 5. Adanya strategi dalam pelaksanaan. 14
Universitas Sumatera Utara
2.2 Peraturan Daerah No.6 Tahun 2003 Kota Medan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor : 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan Dan Pengemisan Serta Praktek Susila Di Kota Medan Wali Kota Medan Menimbang Mengingat : : a. Bahwa salah satu upaya Pemerintah Kota Medan mewujudkan tercapainya Kota Medan menjadi Kota Bestari, perlu meningkatkan pelaksanaan penanggulangan gelandangan dan pengemis serta praktek tuna susila secara terpadu di Kota Medan. b. Bahwa dengan semakin meningkatnya dan perkembangan jumlah gelandangan dan pengemis serta praktek tuna susila, yang melakukan kegiatan pengemisan di medan-medan jalan, traffic light, pelataran masjid-masjid dan jembatan-jembatan penyebrangan serta kegiatan tuna susila ditempat-tempat umum, taman-taman, pinggiran sungai, bawah jembatan, hotel, losmen, dan tempat lainnya di kota medan. c. Bahwa kegiatan yang dilakukan dengan berbagai cara, untuk menimbulkan belas kasihan orang lain, ini merupakan penyakit mental atau pemalas yang tidak sejalan dengan ajaran agama, sedangkan tuna susila merupakan tindakan yang bertentangan
dengan
norma-norma
sosial
dan
keagamaan
dan
sangat
membahayakan kehidupan generasi muda serta dapat menyebabkan penyebaran virus AIDS / HIV dan virus penyakit lainnya yang semakin meluas.
15
Universitas Sumatera Utara
d. Bahwa untuk maksud tersebut diatas perlu untuk menerbitkan satu ketentuan tentang larangan gelandangan dan pengemis serta praktek tuna susila di kota medan dan menetapkannya dalam satu Peraturan Daerah. 1. Undang-Undang Nomor 8 (Drt) Tahun 1956 tentang pembentukan Daerah Otonom kota-kota besar dalam lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Utara. 2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan 5. Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. 6. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. 7. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 tentang penanggulangan gelandangan dan pengemis. 8. Peraturan pemerintah nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom 9. Keputusan presiden nomor 40 tahun1983 tentang koordinasi penanggulangan gelandangan dan pengemis 10. Keputusan presiden nomor 44 tahun 1999 tentang teknik penyususnan peraturan perundang-undangan, rancangan peraturan daerah dan rancangan keputusan presiden 16
Universitas Sumatera Utara
11. Peraturan menteri kesehatan RI Nomor 86/Menkes/4/77 tentang minuman keras.
Dengan persetujuan : DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA MEDAN MEMUTUSKAN Menetapkan: PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN TENTANG LARANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMISAN SERTA PRAKTEK TUNA SUSILA DI KOTA MEDAN
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam peraturan daerah ini yang dimaksud dengan : a. Daerah adalah Kota Medan b. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Medan c. Kepala Daerah adalah Wali Kota Medan d. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan. e. Kepala kantor adalah kepala sosial kota medan 17
Universitas Sumatera Utara
f. Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara ditempat-tempat umum. g. Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan memintaminta dimuka umum dengan berbagai cara baik berupa mengamen dan alasan lainnya untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. h. Tuna susila adalah seseorang yang melakukan hubungan kelamin tanpa ikatan perkawinan yang sah dengan mendapatkan imbalan jasa financial maupun materil bagi dirinya maupun pihak lain dan perbuatan tersebut bertentangan dengan norma sosial, agama dan kesusilaan (termasuk didalamnya wanita tuna susila, mucikari, gigolo, dan waria tuna susila) i. Tempat tuna susila adalah tempat yang digunakan untuk melakukan atau menampung perbuatan praktek pelacuran baik yang bersifat tetap maupun besifat sementara. BAB II LARANGAN Pasal 2 (1)
Dilarang melakukan penggelandangan dan pengemisan berkelompok atau
perorangan atau dengan cara apapun dengan mempengaruhi/menimbulkan belas kasihan orang lain (2)
Dilarang dengan sengaja memperajat orang lain seperti bayi, anak kecil dan
atau mendatangkan seseorang/beberapa orang untuk maksud melakukan pengemisan 18
Universitas Sumatera Utara
(3)
Dilarang membujuk atau memikat orang lain dengan dengan perkataan-
perkataan dan isyarat dan atau dengan perbuatan lainnya dengan maksud mengajak melakukan
perbuatan
pelacuran
dijalan
umum
dan
atau
tempat
yang
diketahui/dikunjungi oleh orang lain baik perorangan atau beberapa orang. (4)
Dilarang dengan sengaja memanggil/mendatangkan seseorang, beberapa orang
untuk maksud melakukan perbuatan-perbuatan pelacuran / tuna susila (5)
Barang siapa mengetahui, melihat, melanggar, ada perbuatan sebagaimana
dimaksud ayat (1), (2), (3), dan (4) pasal ini berkewajiban melaporkan kepada pihak yang berwenang. BAB III PENGAWASAN DAN PEMBINAAN Pasal 3 (1)
Pengawasan terhadap peraturan daerah ini dilaksanakan secara terpadu di
bawah koordinasi kepala daerah (2)
Dalam hal-hal tertentu dan dipandang kepala daerah membentuk tim
pengawasan terpadu (3)
Teknis penanggulangan gelandangan dan pengemis serta tuna susila akan
diatur lebih lanjut dengan keputusan kepala daerah Pasal 4 Pemerintah daerah melakukan pembinaan terhadap gelandangan dan pengemis serta tuna susila berupa kegiatan yang berbentuk dan mencakup keterampilan-keterampilan serta keahlian lainnya BAB IV KETENTUAN PIDANA
19
Universitas Sumatera Utara
Pasal 5 (1)
Barang siapa yang melanggar ketentuan pasal 2 peraturan daerah ini diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda sebanyakbanyaknya Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah)
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah pelanggaran. BAB V P E N Y I D I K
Pasal 6 (1)
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu dilingkungan pemerintah kota medan diberi wewenang sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang pelanggaran ketentuan tentang penanggulangan gelandangan dan pengemis serta tuna susila di kota medan.
(2)
Wewenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. Menerima,mencari mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana dibidang pelanggaran ketentuan tentang penaggulangan gelandangan pengemis serta tuna susila agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas b. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana yang pelanggaran ketentuan tentang penanggulangan gelandangan dan pengemis serta tuna susila
20
Universitas Sumatera Utara
c. Meminta keterangan dan bahan bukti bagi orang pribadi atau badan sebungan dengan tindak pidana dibidang pelanggaran ketentuan tentang penanggulangan gelandangan dan pengemis serta tuna susila d. Melakukan penggeledahan utnu mendapatkan bahan bukti pembukuan pencatatan dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut e. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka melaksanakan tugas penyidikan tindak pidana pelanggaran gelandangan dan pengemis serta tuna susila f. Menyuruh berhenti seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen sebagaiman dimaksud pada huruf e. g. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana pelanggaran ketentuan tentang penaggulangan gelandangan dan pengemis serta tuna susila h. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai saksi i. Menghentikan penyidikan j. Melakukan tindak lain untuk kelancaran penyidikan tindak pidana dibidang pelanggaran ketentuan tentang penaggulangan gelandangan dan pengemis serta tuna susila menurut hukum yang dapat dipertanggung jawabkan (3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan penyampaian hasil penyidikan kepada penuntut umum, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 21
Universitas Sumatera Utara
BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 7 (1)
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini akan diatur kemudian
dengan keputusan Kepala Daerah dengan sepanjang mengenai pelaksanaannya. (2)
Peraturan Daerah ini disebut Peraturan Daerah tentang larangan gelandangan
dan pengemis serta praktek tuna susila di Kota Medan (3)
Peraturan Daerah ini dimulai berlakunya sejak tanggal diundangkan Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam lembaran daerah Kota Medan. 2.3 Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) adalah seseorang, keluarga atau kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan, atau gangguan tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya sehingga tidak terpenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmani, rohani, maupun sosial secara memadai dan wajar.Hambatan, kesulitan, atau gangguan tersebut dapat berupa kemiskinan, ketelantaran,
kecacatan,
ketunaan
sosial,
keterbelakangan,
keterasingan/ketertinggalan, dan bencana alam maupun bencana sosial. Saat ini Departemen Sosial menangani 22 jenis PMKS, yaitu sebagai berikut : 1.
Anak Balita Telantar, adalah anak yang berusia 0-4 tahun karena sebab tertentu, orang tuanya tidak dapat melakukan kewajibannya (karena beberapa kemungkinan : miskin/tidak mampu, salah seorang sakit, salah seorang/kedua-
22
Universitas Sumatera Utara
duanya, meninggal, anak balita sakit) sehingga terganggu kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangannya baik secara jasmani, rohani dan sosial. 2. Anak Telantar, adalah anak berusia 5-18 tahun yang karena sebab tertentu, orang
tuanya
tidak
dapat
melakukan
kewajibannya
(karena
beberapa
kemungkinan seperti miskin atau tidak mampu, salah seorang dari orangtuanya atau kedua-duanya sakit, salah seorang atau kedua-duanya meninggal, keluarga tidak harmonis, tidak ada pengasuh/pengampu) sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar baik secara jasmani, rohani dan sosial. 3. Anak Nakal, adalah anak yang berusia 5-18 tahun yang berperilaku menyimpang dari norma dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, lingkungannya sehingga merugikan dirinya, keluarganya dan orang lain, serta mengganggu ketertiban umum, akan tetapi karena usia belum dapat dituntut secara hukum. 4. Anak Jalanan, adalah anak yang berusia 5-18 tahun yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dan berkeliaran di jalanan maupun tempat-tempat umum. 5. Wanita Rawan Sosial Ekonomi, adalah seorang wanita dewasa berusia 18-59 tahun belum menikah atau janda dan tidak mempunyai penghasilan cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. 6. Korban
Tindak
Kekerasan, adalah seseorang
yang
mengalami
tindak
kekerasan, diperlakukan salah atau tidak semestinya dalam lingkungan keluarga atau lingkungan terdekatnya, dan terancam baik secara fisik maupun non fisik. 7. Lanjut Usia Telantar, adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih, karena faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya baik secara jasmani, rohani maupun sosial.
23
Universitas Sumatera Utara
8. Penyandang Cacat, adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan bagi dirinya untuk melakukan fungsi-fungsi jasmani, rohani maupun sosialnya secara layak, yang terdiri dari penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental dan penyandang cacat fisik dan penyandang cacat mental. 9. Tuna Susila, adalah seseorang yang melakukan hubungan seksual dangan sesama atau lawan jenis secara berulang-ulang dan bergantian diluar perkawinan yang sah dengan tujuan mendapatkan imbalan uang, materi atau jasa. 10. Pengemis, adalah orang-orang yang mendapat penghasilan meminta-minta di tempat umum dengan berbagai cara dengan alasan untuk mengharapkan belas kasihan orang lain. 11. Gelandangan, adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan yang tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai pencaharian dan tempat tinggal yang tetap serta mengembara di tempat umum. 12. Bekas Warga Binaan Lembaga Kemasyarakatan (BWBLK) adalah seseorang yang telah selesai atau dalam 3 bulan segera mengakhiri masa hukuman atau masa pidananya sesuai dengan keputusan pengadilan dan mengalami hambatan untuk menyesuaikan diri kembali dalam kehidupan masyarakat, sehingga mendapat
kesulitan
untuk
mendapatkan
pekerjaan
atau
melaksanakan
kehidupannya secara normal. 13. Korban Penyalahgunaan NAPZA, adalah seseorang yang menggunakan narkotika, psikotropika dan zat-zat adiktif lainnya termasuk minuman keras diluar tujuan pengobatan atau tanpa sepengetahuan dokter yang berwenang.
24
Universitas Sumatera Utara
14. Keluarga Fakir Miskin, adalah seseorang atau kepala keluarga yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan atau tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian akan tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarga yang layak bagi kemanusiaan. 15. Keluarga Berumah Tidak Layak Huni, adalah keluarga yang kondisi perumahan dan lingkungannya tidak memenuhi persyaratanyang layak untuk tempat tinggal baik secara fisik, kesehatan maupun sosial. 16. Keluarga Bermasalah Sosial Psikologis, adalah keluarga yang hubungan antar anggota keluarganya terutama antara suami -istri kurang serasi, sehingga tugastugas dan fungsi keluarga tidak dapat berjalan dengan wajar . 17. Komunitas Adat Terpencil, adalah kelompok orang atau masyarakat yang hidup dalam kesatuan – kesatuan sosial kecil yang bersifat lokal dan terpencil, dan masih sangat terikat pada sumber daya alam dan habitatnya secara sosial budaya terasing dan terbelakang dibanding dengan masyarakat Indonesia pada umumnya,sehingga memerlukan pemberdayaan dalam menghadapi perubahan lingkungan dalam arti luas. 18. Korban Bencana Alam, adalah perorangan, keluarga atau kelompok masyarakat yang menderita baik secara fisik, mental maupun sosial ekonomi sebagai akibat dari terjadinya bencana alam yang menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Termasuk dalam korban bencana alam adalah korban bencana gempa bumi tektonik, letusan gunung berapi, tanah longsor, banjir, gelombang pasang atau tsunami, angin kencang, kekeringan, dan kebakaran hutan atau lahan, kebakaran permukiman, kecelakaan pesawat terbang, kereta api, perahu dan musibah industri (kecelakaan kerja). 25
Universitas Sumatera Utara
19. Korban Bencana Sosial atau Pengungsi, adalah perorangan, keluarga atau kelompok masyarakat yang menderita baik secara fisik, mental maupun sosial ekonomi sebagai akibat dari terjadinya bencana sosial kerusuhan yang menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. 20. Pekerja Migran Telantar, adalah seseorang yang bekerja di luar tempat asalnya dan menetap sementara di tempat tersebut dan mengalami permasalahan sosial sehingga menjadi telantar. 21. Orang dengan
HIV/AIDS
(ODHA),
adalah
seseorang
yang
dengan
rekomendasi profesional (dokter) atau petugas laboratorium terbukti tertular virus HIV sehingga mengalami sindrom penurunan daya tahan tubuh (AIDS) dan hidup telantar. 22. Keluarga Rentan, adalah keluarga muda yang baru menikah (sampai dengan lima tahun usia pernikahan) yang mengalami masalah sosial dan ekonomi (berpenghasilan sekitar 10% di atas garis kemiskinan) sehingga kurang mampu memenuhi kebutuhan dasar keluarga.
2.4 Gelandangan dan pengemis 2.4.1 Defenisi Gelandangan Gelandangan adalah orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuaidengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempatserta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap danmengembara di tempat umum.Mengutip pendapatnya Wirosardjono maka Ali, dkk., (1990) jugamenyatakan bahwa gelandangan merupakan lapisan sosial, ekonomidan budaya paling bawah dalam stratifikasi masyarakat kota. Denganstrata demikian maka gelandangan merupakan 26
Universitas Sumatera Utara
orang-orang yang tidakmempunyai tempat tinggal atau rumah dan pekerjaan yang tetap ataulayak, berkeliaran di dalam kota, makan-minum serta tidur disembarang tempat. (Saptono Iqbali, 2007) Mengutip pendapatnya Wirosardjono maka Ali, dkk., (1990) jugamenyatakan bahwa gelandangan merupakan lapisan sosial, ekonomidan budaya paling bawah dalam stratifikasi masyarakat kota. Dengan strata demikian maka gelandangan merupakan orang-orang yang tidakmempunyai tempat tinggal atau rumah dan pekerjaan yang tetap ataulayak, berkeliaran di dalam kota, makan-minum serta tidur disembarang tempat. Menurut Muthalib dan Sudjarwo dalam Ali, dkk., (1990) diberikantiga gambaran umum gelandangan, yaitu (1) sekelompok orang miskinatau dimiskinkan oleh masyaratnya, (2) orang yang disingkirkan darikehidupan khalayak ramai, dan (3) orang yang berpola hidup agarmampu bertahan dalam kemiskinan dan keterasingan. Denganmengutip definisi operasional Sensus Penduduk maka gelandanganterbatas pada mereka yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap,atau tempat tinggal tetapnya tidak berada pada wilayah pencacahan.Karena wilayah pencacahan telah habis membagi tempat hunianrumah tinggal yang lazim maka yang dimaksud dengan gelandangandalam hal ini adalah orang-orang yang bermukim pada daerah-daerahbukan
tempat
tinggal
tetapi
merupakan
konsentrasi
hunian
orangorangseperti di bawah jembatan, kuburan, pinggiran sungai, sepanjang rel kereta api, taman, pasar, dan konsentrasi huniangelandangan yang lain.Pengertian gelandangan tersebut memberikan pengertian bahwamereka termasuk golongan yang mempunyai kedudukan lebihterhormat daripada pengemis.Gelandangan pada umumnyamempunyai pekerjaan tetapi tidak memiliki tempat tinggal yang tetap (berpindah-pindah). Sebaliknya pengemis hanya mengharapkan belaskasihan orang 27
Universitas Sumatera Utara
lain serta tidak tertutup kemungkinan golongan inimempunyai tempat tinggal yang tetap. (Saptono Iqbali, 2007) 2.4.2 Defenisi Pengemis Pengemis adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dengan memintaminta dimuka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharap belas kasihan orang lain.Sedangkan gelandangan pengemis adalah seorang yang hidup menggelandang
dan
sekaligus
mengemis
di
muka
umum.(N.FKesumawindayati,C.Sahuri, 2011) Menurut Kepala Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara Drs. Nabari Ginting MSi pengemis adalah orang yang mendapat penghasilan dengan cara meminta-minta ditempat umum dan mengharap belas kasihan dari orang lain. Secara garis besar pengemis dapat didefinisikan sebagai orang-orang yang mendapat penghasilan dengan meminta-meminta ditempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan orang lain. Kriteria yang dapat diberikan antara lain : a. Anak sampai usia dewasa (laki-laki/perempuan) usia 18-59 tahun. b. Meminta-minta dirumah-rumah penduduk, pertokoan, persimpangan jalan (lampu lalu lintas), pasar, tempat ibadah, dan tempat umum lainnya. Universitas Sumatera Utara c. Bertingkah laku untuk mendapatkan belas kasihan berpura-pura sakit, merintih dan kadang-kadang mendoakan dengan bacaan ayat-ayat suci, sumbangan untuk organisasi tertentu. d. Biasanya mempunyai tempat tinggal tertentu atau tetap, membaur dengan penduduk pada umumnya.
28
Universitas Sumatera Utara
2.5 Kerangka Pemikiran Kebijakan pemerintah mengenai gelandangan dan pengemis harus dituangkan dalam kebijakan yang tegas baik dalam formalitas legislasinya maupun dalam penerapannya.Larangan mengemis dan menggelandang di persimpangan dan di perkantoran misalnya harus ditindak lanjuti dengan konsisten. Razia dan pembinaan yang dilakukan kepada gelandangan akan menjadi sia-sia bila ketegasan menjalankan peraturan tidak dilakukan. Gelandangan dan pengemis akan kembali lagi mengemis dan menggelandang begitu selesai dirazia dan dibina. Untuk mengatasi persoalan gelandangan dan pengemis yang semakin banyak dan kompleks dikota medan ini, maka pemerintah daerah mengeluarkan peraturan daerah no.6 tahun 2003 tentang larangan gelandangan dan pengemis, tujuannya adalah untuk mengurangi segala aktivitas atau tindakan yang berhubungan dengan gelandangan dan pengemis tersebut. Bagi gelandangan dan pengemis yang tertangkap oleh Satuan Polisi dan Pamong Praja atau pihak yang berwenang melalukan razia tersebut akan dibina dan diberikan keterampilan oleh lembaga yang terkait agar mereka memilikki pekerjaan dan tidak kembali kejalan sehingga mereka dapat menjalakan fungsi sosialnya dengan baik serta tidak melanggar peraturan daerah yang dibuat oleh pemerintah kota medan.
29
Universitas Sumatera Utara
Bagan Alir Pikir
Pemerintah Kota Medan
Peraturan Daerah Kota Medan No.6 Tahun 2003
Dinas Sosial, Lembaga Sosial, Satpol PP
Implementasi
1. Adanya tujuan yang diinginkan 2. Adanya kebijaksanaan yang harus diambil dalam mencapai tujuan tersebut 3. Adanya aturan yang harus dipegang & prosedur yang harus dilalui 4. Adanya perkiraan anggaran yang dibutuhkan 5. Adanya strategi dalam pelaksanaannya
1. Larangan 2. Pengawasan dan Pembinaan 3. Ketentuan Pidana 30
Universitas Sumatera Utara
2.6 Definisi Konsep 1) Implemementasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penerapan aturan yang lebih difokuskan lagi sebagai kebijakan pemerintah. Implementasi juga bertujuan untuk mencapai dan mangukur sampai sejauh mana tingkat keberhasilan aturan atau program pemerintah tersebut berjalan dalam hal ini kebijakan pemerintah. 2) Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kebijakan Pemerintah Daerah No. 6 Tahun 2003 tentang larangan gelandangan dan pengemis. 3) Yang dimaksud dengan Larangan dalam penelitian ini adalah: a. Dilarang melakukan penggelandangan dan pengemisan berkelompok atau perorangan atau dengan cara apapun dengan mempengaruhi/menimbulkan belas kasihan orang lain b. Dilarang dengan sengaja memperajat orang lain seperti bayi, anak kecil dan atau mendatangkan seseorang/beberapa orang untuk maksud melakukan pengemisan c. Dilarang membujuk atau memikat orang lain dengan dengan perkataanperkataan dan isyarat dan atau dengan perbuatan lainnya dengan maksud mengajak melakukan perbuatan pelacuran dijalan umum dan atau tempat yang diketahui/dikunjungi oleh orang lain baik perorangan atau beberapa orang. d. Dilarang dengan sengaja memanggil/mendatangkan seseorang, beberapa orang untuk maksud melakukan perbuatan-perbuatan pelacuran / tuna susila
31
Universitas Sumatera Utara
4) Gelandangan adalah seseorang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai norma kehidupan yang layak dalam masyarakat, tidak mempunyai mata pencaharian dan tidak mempunyai tempat tinggal tetap; Istilah gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap (Suparlan, 1993 : 179). Pada umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa dan mencoba nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak tetap, terutamanya di sektor informal. 5)Pengemis adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dengan meminta-minta dimuka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharap belas kasihan orang lain.Sedangkan gelandangan pengemis adalah seorang yang hidup menggelandang
dan
sekaligus
mengemis
di
muka
umum.(N.FKesumawindayati,C.Sahuri, 2011)
32
Universitas Sumatera Utara