BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Hakikat Sosiologi Sastra a. Pengertian Sastra Secara etimologi sastra berasal dari kata sas (ajaran) dan tra (alat). Sastra merupakan alat (wahana) untuk mengajarkan
kearifan hidup yang tidak lain
adalah suatu kebenaran. Sastra adalah alat atau wahana pengajaran yang menggunakan bahasa khas, untuk menyampaikan sebuah kebenaran dengan dibungkus kata indah (Endraswara, 2011:2). Sastra merupakan wahana atau alat untuk mengajar, memberikan suatu pengajaran, menyampaikan sebuah kebenaran melalui bahasa yang khas dan kata-kata indah. Sastra merupakan fenomena tulisan yang memberikan sebuah pengajaran secara moral tentang sebuah kebenaran melalui bahasa-bahasanya yang indah. Menurut pandangan ilmu Psikologi, karya sastra merupakan aktifitas kejiwaan pengarang yang dituangkan dalam sebuah tulisan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karsa dalam berkarya. Karya sastra merupakan sebuah pantulan kejiwaan yang sedang dialami oleh pengarang pada saat menuangkan ide-ide kreatifnya dalam sebuah tulisan. Pengarang akan menangkap gejala jiwa kemudian diolah dalam menjadi bentuk teks dan dengan dilengkapi kejiwaanya. Proyeksi pengalaman sendiri dan pengalaman hidup disekitar pengarang akan tergambar dalam teks sastra (Endraswara,2011:96). Secara konsep mimesis sastra merupakan sebuah tiruan atau cerminan kehidupan masyarakat. Kendati demikian,sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi, fiksi, atau khayalan dari kenyataan. Sastra tidak menyajikan fakta-fakta masyarakat secara mentah. Karena sastra bukan merupakan sekedar jiplakan atau salinan dari kenyataan, melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan. Kenyataan tersebut bukanlah salinan yang kasar, tetapi sebuah refleksi halus dan estetis (Endraswara, 2011:78).
10
11
Wellek dan Werren yang menyatakan bahwa sastra adalah suatu kegiatan kreatif, imajinatif dalam sebuah karya seni dalam bentuk sesuatu yang tertulis atau tercetak (1993: 3-14). Secara rinci pernyataan tersebut menyatakan bahwa sastra adalah karya kreatif yang ditulis oleh manusia dengan mempertimbangkan aspek imajinatif dan memiliki nilai seni. Karya sastra memiliki nilai kreatif dan estetis yang sangat dominan yang tertuang dalam tulisan-tulisan kreatif pengarangnya. Sastra memiliki bahasa yang khas dengan balutan kata-kata indah, karena sastra merupakan sebuah seni kreatif pengarang. Hal tersebut berdasarkan konsep kreatifitas yang menilai bahwa meskipun karya sastra meniru realitas, peniruan yang dilakukan pengarang bukan sekedar meniru apa adanya. Pengarang membentuk realitas baru berdasarkan realitas yang telah ada. Pengarang melakukan kreatifitas untuk menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru. Dengan demikian karya sastra merupakan hasil kreatif pikiran,perasaan, dan perbuatan manusia yang disusun dalam bentuk teks (Sariban, 2009:20). Menurut Luxemburg sastra merupakan ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi. Seniman menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan
proses
penciptaan
di
dalam
semesta
alam,
bahkan
menyempurnakannya. Sastra merupakan suatu luapan emosi yang spontan (1984:5). Menurut Nyoman Kutha Ratna, karya sastra merupakan kisah rekaan ciptaan manusia yang dapat dimanfaatkan pembaca untuk sarana hiburan, pelajaran, petunjuk, dan perenungan hidup. Sebagaimana dalam teori mimetik, karya sastra dipandang sebagai tiruan atau jiplakan kenyataan yang sesungguhnya (2012:70). Berdasarkan hal tersebut karya sastra dapat dipandang sebagai dokumentasi realitas kehidupan masyarakat pada zamannya. Kisah yang terjadi dalam karya sastra memunyai hubungan erat dengan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat. Dalam Kamus Istilah Sastra, Panuti Sudjiman menuliskan bahwa sastra adalah karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapanya (dalam Purba, 2010:2). Dalam pengertian ini sastra tidak hanya terbatas pada sastra tulis saja,
12
melainkan juga pada sastra lisan. Karena pada dasarnya sastra memang memiliki dua jenis yakni sastra lisan dan sastra tulis. Kehadiran dua jenis sastra tersebut memiliki kedudukan yang sama. Sama-sama memiliki ciri dan keunggulan dalam keindahan bahasa dalam ungkapanya. Berdasarkan definisi-definisi sastra yang dikutip dari para ahli tersebut dapat disintesiskan bahwa sastra adalah karya kreatif hasil penciptaan manusia yang bersifat ekspresif, imajinatif, dan estetis, serta memunyai nilai ajaran kebenaran dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. b. Pengertian Sosiologi Sosiologi berasal dari bahasa latin yaitu socius, yang berarti tema atau pergaulan hidup manusia, dan logus berarti ilmu pengetahuan. Jadi sosiologi adalah ilmu kemasyarakatan, yaitu ilmu pengetahuan tentang kehidupan manusia dalam masyarakat yang mencakup hubungan antara seorang dengan seorang, antara perseorangan dengan kelompok. Dalam sudut pandang ini, sosiologi bisa didefinisikan
sebagai
(masyarakat)”.
“studi
Perkembangan
tentang berikutnya
dasar-dasar mengalami
keanggotaan perubahan
sosial makna,
socio/socius berarti ‘masyarakat’ dan logos berarti ‘ilmu’. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat (Ratna, 2009:1). Kenyataaan yang ada dalam sosiologi bukanlah kenyataan objektif, tetapi kenyataan yang sudah ditafsirkan, kenyataan sebagai konstruksi sosial. Alat utama dalam menafsirkan kenyataan adalah bahasa sebab bahasa merupakan milik bersama, di dalamnya terkandung persediaan pengetahuan sosial. Lebih-lebih dalam sastra, kenyataan bersifat interpretative subjektif, sebagai ciptaan yang dicipatkan. Pada gilirannya kenyataan yang tercipta dalam karya menjadi model, lewat mana masyarakat pembaca membayangkan dirinya sendiri. Karakteristik tokoh-tokoh dalam novel, misalnya, tidak diukur atas dasar persamaannya dengan tokoh masyakarat yang diluksikan. Sebaliknya, citra tokoh masyaraat yang mesti meneladani tokoh novel, karya seni sebagai model yang diteladani. Proses penafsirannya bersifat bolak-balik, dwiarah, yaitu antara kenyataan dan rekaan (Teeuw, 1991:224-249).
13
Ritzer (dalam Faruk, 2012:3) berpendapat bahwa sosiologi merupakan disiplin ilmu tentang masyarakat yang melandaskan masyarakat pada tiga paradigm; yaitu paradigm fakta-fakta sosial berupa lembaga sosial dan struktur sosial yang dianggap sebagai sesuatu yang nyata, yang berada di luar individu. Sosiologi merupakan ilmu yang erat sekali hubungannya dengan masyarakat. Sosiologi mencoba mempelajari segala sesuatu tentang manusia dalam masyarakat, baik dalam hubungan antara individu dengan kelompok, serta antara kelompok dengan kelompok. Jadi, dapat dikatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari seluk beluk masyarakat, baik secara ekonomi, politik, budaya yang merupakan sebuah proses perubahan sosial yang pada gilirannya akan membentuk interaksi sosial, kelompok sosial, dan lembagalembaga sosial. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagimana ia tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga dan segala masalah perekonomian, keagamaanm politil, dan lain-lain yang kesemunya itu merupakan struktur sosial, kita mendapatkan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme sosialis, proses pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat ditempatnya masing-masing (Damono, 1979:7). Sasaran kajian sosiologi sastra juga dikemukakan oleh Leenhardt (1967: 517): “The expression 'sociology of literature' covers two very different types of research, bearing respectively on literature as a consumer product and literature as an integral part of social reality, or, considered from another bearing on society as the place of literary consumption and society as the subject of literary creation.” Soekanto (2006: 21) menyatakan bahwa objek sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antarmanusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat karena istilah masyarakat terlalu banyak beruasaha mencakup keseluruhannya, masih ada juga yang tidak memenuhi unsur-unsurnya.
14
Abdulsyani (2007:5) mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempunyai objek studi masarakat. Sosiologi berkembang di dalam masarakat. Masarakatlah yang menjadi objek ilmu. Baik itu dilihat dari aspek sosial, aturan, adat-istiadat, kebudayaan dan sebagainya. Sosiologi sebenarnya mempelajari manusia sebagaimana ditemukan dan dialami secara langsung dalam kenyataan keseharian kehidupan (Faruk, 2010:17). Sebagai usaha untuk menemukan aturan, hokum dan pola-pola yang berulang dan berlangsung dalam waktu relative lama. Hal ini disbabkan obyek pengalaman dalam kehidupan sehari-hari berlangsung tak beraturan. Pengalaman tersebut senantiasa berubah, hilang sesaat atau muncul kembali. Zaretta (dalam Elizabeth dan Tom Burns, 1973:11) mendefinisikan sosiologi dalam novel: In the sociology of the novel, sociology is dealing with in art. True, narrative fiction is contained within language and takes most of is own character from it; the form and content of the novel derive more closely from social phenomena than do those of other arts, except perhaps cinema; novels often seem bound up with particular moments in the history of society; We are none the less concerned with a specific art. Dalam sosiologi novel, ilmu sosiologi berhubungan dengan suatu seni. Fiksi naratif termasuk dalam bahasa dan membentuk karakternya sendiri paling banyak dari bahasa itu; bentuk dan isi novel mengambil lebih dekat fenomena sosial disbanding bentuk kesenian lain kecuali, film; novel seringkali terlihat berhubungan dengan peristiwa-peristiwa tertentu dalam sejarah manusia. Damono (1979:6) menyatakan bahwa sosiologi adalah suatu cabang ilmu yang menelaah secara ilmiah dan objektif tentang manusia dalam masyarakat, menelaah lembaga dan pross sosial. Aspek sosiologis pada hakikatnya adalah segi pandangan yang lebih banyak memperhatikan hubungan antara manusia dalam bermasarakat. Kerangka pemikiran Parson sangat sistematik sehingga lewat kerangka pemikiran ini, setiap butir tingkah laku manusia betapapun kecilnya dapat dianalisis scara lebih jelas dan tajam dalam interaksi sosialnya. Teori sosiologi Parson berdasar pada pemikiran Durkheim yang menganggap bahwa factor
15
penentu suatu masalah sosial adalah factor sosial dan budaya masyarakat yang bersangkutan. (Faruk, 2012 :208-209). Teori ini kemudian dikembangkan dengan teori Weber yang menyatakan bahwa sumber dari masalah-masalah sosial adalah tindakan-tindakan individu yang termotivasi dalam konteks sosial historis tertentu. Fokus utama dari teori ini adalah adanya makna subjektif yang terkait pada tindakan manusia dalam orientasinya masing-masing pada konteks sosial historis. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tntang manusia dalam masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagiamana ia tetap ada. Sosiologi dengan pemahaman objektif-empiris mempelajari manusia sebagaimana yang ditentukan dan dialami secara langsung dalam kenyataan keseharian kehidupan. c. Pengertian Sosiologi Sastra Sosiologi sastra merupakan kajian tentang segala sesuatu yang menyangkut masyarakat. Termasuk permasalahannya dan kaitannya dengan hajat hidup orang banyak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Damono (1979:7) sosiologi sastra adalah telaah objektif dan ilmiah tentang manusia di dalam masayarakat, telaah tentang lembaga, dan proses sosial. Sosiologi mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana masyarakat berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada. Dengan mempelajari lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain kesemuanya itu merupakan struktur sosial. Kita mendapatkan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaiakn diri dengan lingkungannya, tntang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat pada tempatnya masing-masing. Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat degan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut: (1) Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat. (2) Karya sastra hidup dalam masyarakat,
16
menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat. (3) Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan. (4) Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap aspek tersebut. (5) Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakekat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya (Ratna, 2009: 332:333). Pendekatan sastra mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan oleh beberapa ahli disebut sebagai sosiologi sastra. istilah itu pada dasarnya tidak berbeda pengertiannya dengan sosiosastra, pendekatan sosiologis atau pendekatan sosiokultural terhadap sastra (Damono, 1979:2). Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Dengan pertimbangan dapat melihat sastra sebagai cerminan kehidupan masarakat. Asumsi dasar penelitian sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial (Endraswara, 2011:77). Kajian sosiologi sastra terdapat tiga jenis pendekatan yang berbeda dalam sosiologi sastra, yaitu sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil kara sastra; sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri; sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh karya sastra (Damono, 1979:5). Istilah “sosioologi sastra” dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa kara sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudah terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu (Abrams, 1979:178). Analisis sosiologi tidak bermaksud untuk mendiskusikan hakikat rekaan ke dalam fakta, sebaliknya, sosiologi sastra juga tidak bermaksud untuk
17
melegitimasikan hakekat fakta ke dalam dunia imajinasi. Tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra juga dikonstruksikan secara imajinatif, tetapi kerangka imajinatifnya tidak bisa dipahami di luar kerangka empirisnya. Karya sastra bukan semata-mata gejala individual, tetapi juga gejala sosial. (Ratna, 2009:11). Analisis sosiologi memberikan penelitian yang besar terhadap fungsifungsi sastra, karya sastra sebagai produk masyarakat tertentu. Konsekuensinya, sebagai timbal balik, karya sastra mesti memberikan masukan, manfaat, terhadap struktur sosial yang menghasilkannya. Mekanisme tersebut seolah-olah bersifat imperative, tetapi tidak dalam pengertian yang negative. Artinya, antarhubungan yang terjadi tidak merugikan secara sepihak. Sebaliknya, antarhubungan akan menghasilkan proses regulasi dalam sistemnya masing-masing. Menurut Wellek dan Warren (1993:37) fungsi sastra berada dalam kerangka hakikatnya karya sastra (Ratna, 2009: 11). Sosiologi dan sastra memiliki masalah yang sama. Sosiologi dan sastra berhubungan erat dengan manusia dan masyarakat sebagai usaha manusia untuk menyesuaiakan diri serta usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Novel sebagai sebuah karya sastra dianggap sebagai sebuah usaha untuk menciptakan kembali hubungan sosial yaitu hubungan manusia dengan keluarga, lingkungan, politik, Negara, ekonomi, dan sebagainya yang menjadi urusan sosiologi (Damono, 1979:8). Selanjutnya, dikaitkan oleh Jadhav (2012:66) “Sosiologi sastra adalah teori kritis yang sedang berkembang yang mempelajari hasil karya sastra dalam konteks lembaga sosial dan penentu karya sastra dan struktur sosial. Teori ini menitikberatkan pada hubungan antara karya sastra dan struktur sosial melatarbelakangi lahirnya karya sastra tersebut. Teori ini menguji hubungan antara seniman dan masyarakat, sosiologi penulis dan kondisi penciptaan dan hasil karya sastra. Dengan demikian, sosiologi sastra membantu dalam memahami situasi sosial-ekonomi, isu-isu politik, kepribadian, dan kreativitas penulis, hubungan antara cara berpikir dan wujud budaya yang melatarbelakangi
18
munculnya budaya itu dan beberapa faktor penentu eksistensi sosial serta keberhasilan karya sastra”. Sosiologi sastra, dengan menggabungkan dua disiplin yang berbeda, sosiologi dan sastra, secara harfiah mesti ditopang oleh dua konsep yang berbeda, yaitu konsep-konsep sosiologi dan konsep-konsep sastra. Masalah yang perlu dipertimbangkan adalah dominasinya dalam analisis sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat tercapai secara maksimal. Dalam sosiologi sastra yang seharusnya mendominasi jelas konsep-konsep yang berkaitan dengan sastra, sedangkan konsep-konsep yang berkaitan dengan sosiologi berfungsi sebagai komplementer. Bahkan akan lebih tajam lagi jika para peneliti spesifik, sehingga muncul sosiologi puisi, sosiologi novel, sosiologi drama, dan sebagainya. Hal ini saya dasarkan asumsi kritis bahwa setiap genre sastra tentu memiliki kekhususan konsep sosial yang berlainan (Endraswara, 2011:34). Kajian sosiologi sastra harus mampu mengungkapkan pesan sosial. Subjek kajian sosiologi sastra adalah pada aspek sastra sebagai cerminan atau ciptaan sosial yang berfungsi sebagai pengungkapan kembali pengalaman manusia dengan khayalan yang memberikan ajaran, menggerakkan pembaca, berguna, indah dan sebagai cermin masyarakat. Sosiologi sastra harus memperhatikan kekhasan fakta sastra. Dengan memberi keuntungan kepada para professional (home de metier), ia harus menguntungkan pembaca dengan jalan membantu ilmu sastra tradisional sejarah atau kritik dalam tugas-tugas khusus yang harus menjadi cakupannya. Sasaran kajian sosiologi sastra juga dikemukakan oleh Leenhardt (1967: 517): “The expression 'sociology of literature' covers two very different types of research, bearing respectively on literature as a consumer product and literature as an integral part of social reality, or, considered from another bearing on society as the place of literary consumption and society as the subject of literary creation.” Sosiologi sastra tidak bisa mengenyampingkan peran ilmu lain dalam analisisnya meskipun fokus kajian berbeda-beda, misalnya dalam menganalisis sosial budaya masyarakat, pasti diperlukan ilmu-ilmu sosial ataupun ilmu-ilmu budaya.
19
Mammi (dalam Segers, 1978:70) mengatakan bahwa sosiologi sastra mempunyai tiga kemungkinan penelitian yang menitikberatkan pada pengarang, teks sastra, dan masyarakat pembaca. Penitikberan pada pengarang mengarahkan penyelidikan pada status ekonomik dan professional penulis, kelas, sosial, dan generasi sastra penulis itu. Yang menitikberatkan pada teks, penyelidikan dapat dibuat dalam sosiologi genre, bentuk, tema, karakter, dan gaya. Akhirnya dalam kesesuaiannya dengan resepsi (estetik resepsi). Memmi mempertimbangkan caracara sebuah teks diterima oleh pembaca sebagai indikasi yang krusial dari pentingnya sebuah teks. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang berpusat pada kara sastra sebagai objek yang dibicarakan. Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap kara sastra yang masih mempertimbangkan kara sastra dan segi-segi sosial yang melatarbelakangi masarakat tersebut. Kajian utama sosiologi sastra adalah sastra yang berupa kara sastra, sedangkan sosiologi berguna sebagai ilmu untuk memahami gejala sosial yang ada dalam sastra, baik penulis, fakta sastra, maupun pembaca dalam relasi dialektiknya dengan kondisi masyarakat yang menghidupi penulis, masyarakat yang digambarkan dan pembaca sebagai individu kolektif yang menghidupi masyarakat. d. Perpektif Sosiologi Sastra Sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia. Sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi. Dari pendapat ini, tampak bahwa perjuangan panjang hidup manusia akan selalu mewarnai teks sastra. Goldmann (dalam Endraswara, 2011: 79) mengemukakan tiga ciri dasar, yaitu: (1) kecenderungan manusia untuk mengadaptasikan dirinya terhadap lingkungan, dengan demikian ia dapat berwatak rasional dan signifikan di dalam korelasinya dengan lingkungan, (2) kecenderungan pada koherensi dalam proses penstrukturan yang global, dan (3) dengan sendirinya ia mempunyai sifat dinamik serta kecenderungan untuk merubah struktur walaupun manusia menjadi bagian struktur tersebut.
20
2. Hakikat Aspek Sosial Budaya a. Pengertian Aspek Sosial Budaya Menurut Fatimah Djajasudarma (1999:26) aspek adalah cara memandang struktur temporalitmen suatu situasi yang dapat berupa keadaan, peristiwa, dan proses. Keadaan bersifat statis, sedangkan peristiwa bersifat dinamis. Peristiwa dikatakan dinamis. Peristiwa dikatakan dinamis jika dipandang sedang berlangsung (imperaktif). Sosial artinya kbersamaan yang melekat pada individu (Soelaeman, 1998:123). Jadi, aspek sosial dapat diartikan sebagai pengintepreatasikan terhadap sudut
pandang
masyarakat.
Aspek
sosial
merupakan
sesuatu
yang
memperhitungkan nilai penting antara sastra dan masyarakat, sehingga untuk mmahami permasalahan dalam suatu karya sastra, akan berhubungan dengan realita sosial yang terdapat dalam masyarakat. Aspek sosial suatu karya sastra. Edward Burnett Tylor (dalam Liliweri, 2009: 107) menjelakan bahwa kebudayaan adalah kompleks dari keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Adapun Bounded et. al (dalam Liliweri, 2009: 110) mendefinisikan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang terbentuk oleh pengembangan dan transmisi dari kepercayaan manusia melalui simbol-simbol tertentu, misalnya simbol bahasa sebagai rangkaian simbol, yang digunakan untuk mengalihkan keyakinan budaya di antara para anggota suatu masyarakat. Pesan-pesan tentang kebudayaan yang diharapkan dapat ditemukan di dalam media, pemerintahan, institusi agama, sistem pendidikan dan bermacammacam Menurut Soerjono Soekanto (2006: 54-55) yang dimaksud proses-proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dapat dilihat apabila kelompokkelompok saling bertmu dan menentukan sistem serta bentuk hubungan tersbut atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya cara-cara hidup yang telah ada. Atau dengan perkataan lain, proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama. Tiga bentuk interaksi sosial yaitu persaingan, dapat diartikan sebagai
21
suatu proses sosial, dimana individe atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang ada pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik perseorangan meupun kelompok bersama) dengan cara menarik perhatian public atau mempertajam prasangka yang telah ada tanpa mempergunakan ancama atau kekerasan (soerjono soekanto, 2006:83). 3. Hakikat Novel a. Pengertian Novel Istilah novel berasal dari bahasa Italia, yang dalam bahasa Jerman novelle, dan dalam bahasa Yunani Novellus. Kemudian masuk ke Indonesia menjadi novel. Dewasa ini istilah novella dan novella mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelette yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cakupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus (Nurgiyantoro, 2007: 9). Pendapat lain mengemukakan bahwa kata novel berasal dari kata Latin, yaitu noveltus yang diturunkan dari kata novies yang berarti baru. Dikatakan baru karena kalau dibandingkan dengan jenis sastra lainnya seperti puisi dan drama (Purba, 2010:62). Istilah novel memang bukan asli indonesia, melainkan pengaruh sastra Inggris dan Amerika. Walaupun demikian, pengertian novel dalam Kamus Istilah Sastra, Panuti Sudjiman memberi pengertian bahwa novel adalah prosa rekaan yang panjang dan menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun (Purba, 2010:63). Menurut Aminuddin novel adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar, serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi dari pengarangnya sehingga menjalin
suatu cerita secara utuh (2011:66). Novel merupakan cerita hasil
imajinasi dari pengarang. Terlepas pengarang perempuan atau laki-laki. Dalam The Advanced Learner’s Dictionary of Current English novel adalah suatu cerita
22
dengan suatu alur, cukup panjang mengisi satu buku atau lebih yang menganggap kehidupan pria dan wanita yang bersifat imajinatif (Purba, 2010:62). Berdasarkan definisi-definisi tersebut bisa disintesiskan bahwa novel adalah sebuah kisah rekaan hasil imajiner pengarang yang mempunyai sifat estetis ceritanya serta unsur-unsur didalamnya terpadu menjalin rangkaian secara utuh dalam menyajikan peristiwa kehidupan dengan menampilkan tokoh laki-laki dan wanita menggunakan latar, alur dan tema
mengenai aspek-aspek kehidupan
manusia. b. Unsur Pembangun Novel Menurut Burhan Nurgiyantoro unsur pembangun sebuah novel yang membentuk sebuah totalitas dekelompokan menjadi dua bagian. pembagian unsur yang dimaksud yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik (2007:23). Kedua unsur itulah yang digunakan untuk mengkaji novel atau karya sastra pada umumnya. Unsur intrinsik merupakan unsur yang ada di dalam karya sastra. Sebagaimana Burhan Nurgiyantoro menyatakan bahwa unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri (2007:23). Unsur tersebut adalah unsur pembangun karya sastra dari dalam yang akan ditemukan oleh pembaca ketika membaca suatu karya sastra. Unsur yang dimaksud adalah; Tema merupakan ide dasar yang berindak sebagai titik tolak keberangkatan pengarang dalam menyusun sebuah cerita. Menurut Santon dalam Kasnadi dan Sutejo (2010: 7) tema diformulasikan, dan sebagai makna yang terkandung dalam sebuah cerita. Jadi tema adalah intisari atau gagasan dasar yang telah ditentukan oleh pengarang sebelumnya yang dapat dipandang sebagai dasar cerita yang mendalam. Tokoh dan Penokohan. Peristiwa dalam karya fiksi seperti halnya peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelakupelaku tertentu. Pelaku yang mengemban pristiwa dalam cerita fiksi disebut dengan tokoh. Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku disebut dengan penokohan. (Aminuddin, 2011: 79). Ditinjau dari segi keterlibatannya dalam keseluruhan cerita, tokoh fiksi dibedakan menjadi dua, yakni tokoh sentral atau tokoh utama dan tokoh periferal atau tokoh tambahan.Tokoh utama yaitu tokoh yang diutamakan penceritaannya
23
dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh paling banyak diceritakan , baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian ( Nurgiyantoro, 2007: 176 -177). Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh- tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Ia selalu hadir sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian dan konflik penting yang mempengaruhi perkembangan plot. Di pihak lain, pemunculan tokoh- tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama secara langsung atau tidak langsung ( Nurgiyantoro, 2007: 176). Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh. Penokohan sekaligus mencangkup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2007 : 165). Definisi penokohan disebutkan oleh beberapa tokoh seperti berikut pertama, menurut Edward H. Jones penokohan adalah gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita, penokohan atau karakter adalah begaimana cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan watak tokoh-tokoh dalam cerita rekannya. Kedua, menurut Stanton istilah perwatakan (caracter) itu sendiri merujuk pada dua konsep yang berbeda: (a) sebagai tokohtokoh yang ditampilkan dan (b) sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsipprinsip moral yang dimiliki para tokohnya (Nurgiyantoro, 2007: 113). Berdasarkan dari uraian di atas dapat disintesiskan bahwa penokohan adalah gambaran yang ditampilkan pengarang tentang lakon yang bermain di dalam cerita yang ditinjau dari segi fisik, psikis maupun lingkungan tempat tinggalnya. Pengambaran ini dapat secara langsung atau tidak langsung diuraikan oleh pengarang dalam sebuah cerita. Plot atau alur menurut Fanani (dalam Sutejo, 2011: 17) dipahami sebagai keseluruhan rangkaian peristiwa yang terdapat dalam cerita. Jadi, alur adalah peristiwa-peristiwa yang saling berkaitan satu sama lain dengan adanya hubungan
24
saling melengkapi. Istilah alur terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya. Menurut Sayuti (2000: 57-59 ) plot berbeda- beda apabila ditinjau dari segi yang berlainan pula. Jika ditinjau dari segi penyusunan peristiwa atau bagianbagian yang membentuknya, dikenal adanya plot kronologis/ progresif dan regresif/flash back/sorot balik. Dalam plot kronologis, awal cerita benar- benar merupakan “awal” , tengah benar- benar “tengah” dan akhir benar- benar “ akhir”. Hal ini berarti bahwa dalam plot kronologis cerita benar- benar dimulai dari eksposisi, melampaui komplikasi dan klimaks yang berawal dari konflik tertentu dan berakhir pada regresif, awal cerita bisa saja merupakan akhir dan akhir dapat merupakan awal atau tengah. Sementara, teknik regresif atau sorot balik dipakai didalamnya pun bermacam-macam, misal dengan teknik cakap tokoh, teknik mengenang masa lalu tokoh atau dengan teknik-teknik lain yang dimungkinkan seperti mimpi dan monolog interior. Jika ditinjau dari segi akhir cerita dikenal dengan adanya plot terbuka dan plot tertutup. Di dalam plot tertutup pengarang memberikan kesimpulan kepada pembacanya sedangkan dalam plot terbuka cerita sering dan biasanya berakhir pada klimaks dan pembaca dibiarkan untuk menentukan apa yang ( diduga dan mungkin) akan menjadi penyelesaian cerita (akhir cerita dibiarkan mengantung/ menganga.) Jika ditinjau dari segi kualitasnya, dikenal adanya plot tunggal dan plot jamak. Suatu cerita dikatakan berplot tunggal apabila cerita tersebut hanya memiliki atau mengandung sebuah plot atau plot itu bersifat primer ( utama). Plot tunggal biasanya terdapat dalam cerpen. Sementara itu, cerita dikatakan plot jamak apabila cerita itu memiliki lebih dari sebuah plot dan plot-plot utamanya juga lebih dari sebuah. Akan tetapi plot-plot utama dalam cerita yang berplot jamak seringkali bersinggungan pada titik-titik tertentu. Jika ditinjau dari segi kualitasnya dikenal adanya plot rapat dan plot longgar. Sebuah cerita dinyatakan berplot rapat apabila plot utama cerita itu tidak
25
memiliki celah yang memungkinkan untuk disisipi plot lain. Sebaliknya, cerita dinyatakan berplot longgar apabila memiliki kemungkinan adanya penyisipan plot lain. Hanya saja, dalam kaitan ini perlu disadari bahwa dalam cerita yang berplot longgar biasanya sisipan plot lain, yang biasanya merupakan sub-plot, berfungsi untuk mengedepankan plot utamanya, disamping jika plot sisipan itu dibuang. Cerita utamanya akan tetap berjalan tanpa gangguan yang berarti. Latar atau setting merujuk pada pengertian tempat, hubungan waktu lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang diciptakan (Sutejo, 2011:21). Latar dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu; a) latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi, b) latar waktu, berhubungan dengan masalah ‘kapan’ terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan pada sebuah karya fiksi, c) latar sosial, mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan prilaku kehidupan social masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi (Nurgiyantoro, 2007: 227-233). Berdasarkan pengertian tersebut dapat diartikan bahwa latar adalah segala sesuatu yang melatar belakangi sebuah peristiwa berhubungan dengan tempat, waktu, dan suasana. Sudut pandang menurut Abrams (dalam Sutejo, 2011: 22) sudut pandang ialah sebuah cara cerita itu dikisahkan. Ia merupakan cara atau pandanganyang dipergunakan pengarang sebagai sarana menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk sebuah karya fiksi. Burhan Nugiyantoro (dalam Sutejo, 2011: 22) membedakan sudut pengisahan ini ke dalam dua kategori: persona pertama, gaya ber-”aku”, dan persona ketiga, gaya ber-dia. Style (gaya pengucapan) gaya berbahasa dalam mengungkapkan ide kreatif pengarang. Style menurut Abrams, terdiri dari unsur fonologi, sintaksis, leksikal, dan retorika yang berupa karakteristik penggunaan bahasa figuratif, pencitraan, dan sebagainya (Sutejo, 2010: 25). Pesan (amanat) Unsur terakhir dalam kajian struktural ialan pesan atau amanat yang dapat digali dari cerita fiksi. Pesan dapat berupa pesan moral, pesan religiusitas, nilai dan kritik sosial, nilai pendidikan, adat dan sebagainya. Selain unsur intrinsik,dalam karya sastra juga terdapat unsur ekstrinsik. Yang dimaksud dengan unsur ekstrinsik karya sastra adalah hal-hal yang berada di
26
luar struktur karya sastra, namun sangat mempengaruhi karya sastra tersebut. Misalnya faktor-faktor sosial politik saat sastra itu diciptakan, faktor ekonomi, faktor latar belakang kehidupan pengarang, faktor ilmu jiwa dan sebagainya. Seperti pendapat Nurgiyantoro yang mengartikan bahwa unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung memengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra (2007: 23). Berdasarkan hal yang dikemukakan tersebut, untuk memahami karya sastra harus dianalisis tanpa memecah strukturnya menjadi bagian-bagian yang terpisah, tetapi harus dipahami secara keseluruhan dari unsur-unsurnya. Unsurunsur sebuah novel saling berhubungan dan saling berkait antara unsur satu dengan unsur lainya, Karena novel merupakan totalitas yang menjadi satu kesatuan utuh dimana unsur satu dengan unsur lainya berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. c. Ciri- ciri Novel Novel adalah salah satu karya fiksi ataupun fiksi berbentuk prosa. Novel sebagai karya sastra memiliki beberapa ciri tertentu yang dapat dijadikan sebagai pedoman. Sebagaimana dikemukakan oleh Tarigan (1984: 170) bahwa ciri-ciri novel, sebagai berikut: 1) jumlah kata lebih dari 35.000 buah, 2) jumlah waktu rata-rata yang dipergunakan untuk membaca novel yang paling pendek diperlukan waktu minimal 2 jam atau 120 menit, 3) jumlah halaman novel minimal 100 halaman, 4) novel bergantung pada pelaku dan mungkin lebih dari satu pelaku, 5) novel menyajikan lebih dari satu impresi, efek dan emosi, 6) skala novel luas, 7) seleksi pada novel lebih luas, 8) kejutan pada novel kurang cepat, dan 9) unsurunsur kepadatan dan intensitas dalam novel kurang diutamakan. Selanjutnya Hendy (1993: 225) menyatakan bahwa ciri-ciri novel, meliputi: 1) sajian cerita lebih panjang dari cerita pendek dan lebih pendek dan roman, 2) biasanya cerita dalam novel dibagi atas beberapa bagian, 3) bahan cerita diangkat dari keadaan yang ada dalam masyarakat dengan ramuan fiksi pengarang, 4) penyajian cerita berlandas pada alur pokok atau alur utama yang merupakan batang tubuh cerita, dan dirangkai dengan beberapa alur penunjang yang bersifat otonom (mempunyai latar tersendiri), 5) tema sebuah novel terdiri
27
atas tema pokok tersebut, serta 6) karakter tokoh-tokoh utama dalam novel berbeda-beda. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri novel adalah cerita yang lebih panjang dari cerita pendek, diambil dari cerita masyarakat yang diolah secara fiksi atau disebut dengan faksi, serta mempunyai unsur pembangun cerita. Ciri-ciri novel tersebut dapat menarik pembaca atau penikmat karya sastra karena cerita yang terdapat di dalamnya banyak mengangkat kehidupan nyata di masyarakat. d. Jenis-jenis Novel Goldman (dalam Ratna, 2009: 126-127) memandang karya sastra dalam kapasitas sebagai manifestasi aktivitas cultural, mengungkapkan bahwa novel lah karya sastra yang berhasil merekonstruksi struktur mental dan kesadaran sosial secara memadai, yaitu dengan cara menyajikannya melalui tokoh-tokoh dan peristiwa. Penggunaan tokoh-tokoh imajiner juga merupakan salah satu keunggulan novel dalam usaha untuk merekonstruksi dan memahami gejala sosial, perilaku impersonal, perilaku impersonal, termasuk peristiwa-peristiwa historis. Karya fiksi dapat digolongkan menjadi fiksi serius dan fiksi popular. Fiksi serius bermaksud menyajikan pengalaman kemanusiaan melalui fakta-fakta, tematema, dan sarana-sarana kesastraan. Untuk memahami dan menikmatinya, terkadang harus dilakukan semacam analisis terhadap bagian-bagian tersebut dan relasi-relasinya satu sama lain. Fiksi popular juga bermaksud menyajikan pengalaman kemanusiaan. Hanya saja, tidak diperlukan perlakuan-perlakuan khusus atau analisis-analisis untuk memahami fiksi jenis ini (Stanton, 2012:1-13). Novel dapat dibedakan dengan melihat karakteristik jenisnya. Waluyo (2002:38-39) membedakan jenis novel menjadi dua, yaitu novel serius dan novel pop. Novel serius adalah novel yang dipandang bernilai sastra (tinggi), sedangkan novel pop adalah novel yang nilai sastranya diragukan (rendah), karena tidak ada unsur kreativitasnya. Dalam novel serius, pembaca dirangsang untuk berfikir, diperdayai dengan menyelimuti amanat dan pesan pengarangnya. Karena tersembunyi pesan itu,
28
terbuka pluang bagi pembaca untuk member penafsiran yang bermacam-macam. Tema cerita yang rumit, tokoh-tokoh yang mengalami konflik batin dan perubahan sikap, srta latar cerita yang mendukung problem yang dihadapi tokohtokohnya, justru memberikan banyak hal kepada pembaca. Mungkin pembaca mendapatkan informasi kesejarahan, pengetahuan, pendalaman, dan makna kehidupan manusia. Novel serius pada umumnya menampilkan tema yang kompleks. Meskipun tidak bertema besar atau universal, persoalannya disajikan secara rumit, sehingga memerlukan penyelesaian yang juga rumit, tidak gampangan, atau mungkin juga tidak ada pnyelesaian (open ending). Selain itu, hubungan antarunsur, seperti tema, latar, tokoh dan alur, memperlihatkan kepaduannya (koherensi). Dengan demikian, setiap unsurnya hadir secara fungsional, saling mendukung. Dalam novel serius, pengarang cenderung memanfaatkan kebebasan berkreasi (licentia poetica). Dengan kebebasan itu, pengarang akan selalu berusaha menampilkan hal yang baru dengan tetap menjaga orisinalitasnya. Dalam kebudayaan (cultural study), novel ini serisu termasuk ke dalam kategori produk kebudayaan tinggi atau elite (high culture), sedangkan novel popular termasuk kedalam produk kebudayaan massa atau popular (mass culture/popular culture). Kebudayaan tinggi atau elite dihasilkan dan dinikmati hanya oleh kalangan yang sangat terbatas. Pemahaman terhdapa produk kebudayaan elite menuntut khalayak yang terlatih, berwawasan, dan mempunyai tingkat apresiasi yang tinggi. Mengingat tuntutannya yang demikian, maka novel serius dianggap hanya dapat dinikmati oleh kalangan terpelajar. Goldman (dalam Faruk, 2012:98) mengkategorikan karya-karya sastra novel menjadi tiga kategori. Yang pertama, novel dengan hero problematic yakni yang berhubungan dengan ekonomi liberal, yang terkait dengan nilai kehidupan individu yang secara universal diakui dan didasarkan pada realitias. Yang kedua, novel dengan karakter nonbiografis, yang berhubungan dengan masyarakat yang di dalamnya pasar bebas, dan dengan demikian individualism. Sudah terdesak. Yang ketiga, novel yang lahir di kenyataan lenyapnya dasar ekonomi dan sosial bagi individualism di satu pihak dan dari kenyataan bahwa evolusi sosial,
29
ekonomik, dan cultural, belum cukup tinggi untuk menciptakan kondisi-kondisi bagi suatu kristalisasi yang pasti dari novel tanpa hero dan tanpa karakter di pihak lain. Menurut Lubis (dalam Tarigan, 2011: 168) cerita novel itu ada bermacammacam, antara lain : (1) Novel Avontour adalah bentuk novel yang dipusatkan pada seorang lakon atau tokoh utama. Ceritanya dimulai dari awal sampai akhir para tokoh atau tokoh utama. Ceritanya dimuali dari awal sampai akhir para tokoh mengalami rintangan-rintangan dalam mencapai maksudnya, (2) Novel Psikologi merupakan novel yang penuh dengan peristiwa-peristiwa kejiwaan para tokoh. (3) Novel Detektif adalah novel yang merupakan cerita pembongkaran rekayasa kejahatan untuk menangkap pelakunya dengan cara penyelidikan yang cermat dan tepat. (4) Novel Politik atau Novel Sosial adalah bentuk cerita tentang kehidupan golongan dalam masyarakat dengan segala permasalahannya, misalnya antara kaum masyarakat dan buruh dengan kaum kapitalis terjadi pemberontakan. (5) Novel Kolektif adalah novel yang menceritakan pelaku secara kompleks (menyeluruh) dan segala seluk beluknya. Novel Kolektif tidak mementingkan masyarakat secara kolektif. Pembagian novel yang dilakukan di atas adalah berdasarkan genre atau jenisnya. Sedikit berbeda dengan pembagian yang dilakukan oleh Lubis di atas, yaitu pembagian novel yang terdapat dalam Ensiklopedia Indonesia dalam Tarigan (2011:169). Novel digolongkan antara lain menjadi: novel sosial, novel bersejarah, novel bertendens, novel keluarga dan novel psikologi. Menurut Sumardjo dan Saini K.M. (1994: 29), jenis novel adalah (1) novel percintaan dan novel petualangan melibatkan peranan tokoh pria dan wanita secara seimbang bahkan kadang-kadang peranan wanita lebih dominan. (2) novel petualangan sedikit sekali memasukkan peranan wanita. Jika wanita disebut dalam novel ini, maka penggambarannya kurang berkenan. Jenis novel ini adalah bacaan pria, karena tokoh-tokohnya adalah pria, dan dengan sendirinya banyak masalah untuk laki-laki yang tidak ada hubungannya dengan wanita. (3)Novel Fantasi. Novel Fantasi bercerita tentang hal-hal yang tidak realistis dan serba tidak mungkin dilihat dari pengalaman sehari-hari. Novel jenis ini menggunakan
30
karakter yang tidak realistis, setting, plot yang juga tidak wajar untuk menyampaikan ide-ide penelitinya. Menurut Suharianto (1982: 42-44), jenis-jenis novel berdasarkan tinjauan isi, gambaran, dan maksud pengarang adalah: Pertama, Novel bertendens. Sering disebut pula dengan istilah novel bertujuan. Dikatakan demikian karena tujuan yang dimaksudkan pengarangnya amat terasa mewarnai novel jenis ini. Kedua, Novel sejarah adalah novel yang berkaitan dengan peristiwaperistiwa sejarah. Tokoh cerita atau latar belakang sosial yang mewarnai novel jenis ini biasanya diambil dari peristiwa-peristiwa sejarah. Walaupun megandung unsure kesejarahan, novel ini tidak dapat disamakan dengan sejarah dalam pengertian catatan atau dokumentasi peristiwa-peristiwa yang telah lampau, sebab apa yang terjadi di dalam novel jenis ini telah diwarnai dengan pandangan dan penilaian pengarang. Keempat, Novel anak-anak adalah jenis novel yang menceritakan kehidupan anak-anak. Karena umumnya jenis novel ini ditujukan kepada anakanak, baik persoalan maupun penggarapannya disesuaikan dengan dan pikir anakanak pula. Kelima, Novel politik adalah jenis novel yang berlatar belakang masalahmasalah politik. Umumnya jenis ini lahir sebagai sarana pengarangnya untuk memperjuangkan gagasan politiknya atau dapat pula berupa sarana pembakar semangat berjuang masyarakat dalam mencapai cita-cita politiknya. Keenam, Novel psikologis adalah novel yang di dalamnya biasanya perhatian pengarang lebih tertumpah kepada perkembangan jiwa para tokohnya. Dengan demikian melalui novel jenis ini akan dapat memperoleh pengetahuan mengenai sifat da watak manusia umumnya, pergolakan-pergolakan pikiran, hubungan antara perbuatan manusia dengan watak-watak dasarnya dan sebagainya. Ketujuh, Novel percintaan adalah novel yang lebih banyak membicarakan masalah hubungan antara laki-laki dan wanita. Umumnya kemampuan novel jenis ini hanya sampai pada taraf sebagai bacaan hiburan belaka. Penggarapan
31
masalahnya biasanya tak begitu mendalam. Jenis novek ini sekarang lebih dikenal masarakat dengan istilah novel pop. Berdasarkan beberapa jenis novel yang dikemukakan oleh para pakar dapat diambil simpulan bahwa jenis-jenis novel terbagi atas: Novel Serius, Novel Popo, Novel Psikologi, Novel Pendidikan, Novel Kolektif, Novel Percintaan, Novel Petualangan, Novel Fantasi, Novel Sejarah, Novel Anak-anak, dan Novel Detektif. 4.
Nilai Pendidikan Karakter
a.
Pengertian Nilai Pendidikan Karakter Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan
masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat menjadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi, yaitu sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai. Seorang anak harus mendapatkan pendidikan yang dapat menyentuh pemikirannya dengan baik. Dimensi kemanusiaan mencakup tiga hal paling mendasar, yaitu (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi konesitas. Berdasarkan
pengertian
yang
sederhana
dapat
dijelaskan
bahwa
pendidikan merupakan usaha-usaha yang dilakukan untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi yang terdapat dalam diri manusia, baik rohani dan jasmani, sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalaam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai yang ditanam itu akan diwariskan kepada tiap generasi sebagai usaha untuk melestarikan hidup dan mengembangkan budaya bangsa. Hal ini menunjukkan bahwa proses pendidikan yang terangkum dalam nilai-nilai dan norma-norma tersebut juga merupakan bukti bagaimana warga negara suatu bangsa berpikir dan berperilaku hingga mencapai peradaban yang
32
tinggi dan pembinaan kehidupan yang lebih sempurna. Selain itu, seperti yang dikutip dari Santoso dalam Hidayatullah (2010:20), pendidikan juga dapat dimaknai sebagai usaha untuk mengembangkan potensi individu semaksimal mungkin dalam batas-batas kemampuannya, sehingga terbentuk manusia yang pandai, terampil, jujur, tahu kemampuan dan batas kemampuannya, serta mempunyai kehormatan diri. Dengan demikian, pembinaan watak merupakan tugas utama pendidikan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan itu sendiri adalah sebagai pembentuk karakter yang terwujud dalam perilaku sikap hidup yang dimiliki oleh seseorang. Dalam hal ini Foerster (dalam Wibowo, 2012: 26) menyebutkan bahwa karakter merupakan sesuatu yang mengkualifikasikan pribadi seseorang dan menjadi identitas dalam mengatasi perubahan dan pengalaman hidup. Pengertian yang hampir serupa diungkapkan oleh Samani dan Hariyanto (2012:41) yang mengemukakan bahwa karakter dapat diartikan sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama dalam berbagai lingkungan. Karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual, seperti berpikir kritis dan alasan moral, perilaku seperti jujur dan bertanggung jawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh ketidakadilan, kecakapan interpersonal
dan emosional
yang memungkinkan seseorang
berinteraksi seacara efektif dalam berbagai keadaan, dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan masyarakatnya. Individu yang berkarakter baik adalah seseorang yang berusaha melakukan hal yang terbaik. Pendidikan karakter adalah hal positif apa saja yang dilakukan guru dan berpengaruh kepada karakter siswa yang diajarnya. Pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilainilai kepada para siswanya (Winton dalam Samani & Hariyanto, 2012: 43-48). Pendidikan karakter telah menjadi sebuah pergerakan pendidikan yang mendukung pengembangan sosial, emosional dan etika. Pendidikan karakter
33
merupakan suatu upaya proaktif yang dilakukan baik oleh sekolah maupun pemerintah untuk membantu siswa mengembangkan inti pokok dari nilai-nilai etika dan nilai-nilai kinerja, seperti kepedulian, kejujuran, kerajinan, keuletan, dan ketabahan, tanggung jawab, menghargai diri sendiri dan orang lain. Pendidikan karakter merupakan bagian dari pembelajaran yang baik dan merupakan bagian yang fundamental dari pendidikan yang baik. Pendidikan karakter juga dapat didefinisikan sebagai pendidikan yang mengembangkan karakter yang mulia dari peserta didik dengan mempraktikkan dan mengajarkan nilai-nilai moral dan pengambilan keputusan yang beradab dalam hubungan dengan sesama manusia maupun dalam hubungannya dengan Tuhannya. Lebih lanjut lagi, Muslich (2011:71) mengungkapkan bahwa karakter adalah sesuatu yang berkaitan dengan moral dan berkonotasi positif. Kemudian lebih jauh Muslich menjelaskan pula bahwa orang yang berkarakter adalah orang yang mempunyai kualitas moral atau budi pekerti yang positif sehingga seharusnya pendidikan merupakan pembangun karakter, yang berarti juga membangun sifat atau pola perilaku yang berkaitan dengan dimensi moral yang positif. Mengacu pada berbagai pengertian di atas, maka dapat disimpulkan karakter adalah nilai-nilai yang unik yang terdapat dalam diri seseorang dan terwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Selain itu juga dapat disimpulkan bahwa seseorang dengan karakter yang baik adalah yang dapat membuat keputusan dan mampu mempertanggungjawabkan keputusannya tersebut, apapun resikonya. Dengan demikian dapat dijelaskan dalam artian sederhana bahwa pendidikan karakter merupakan pendidikan moral, budi pekerti, atau akhlak yang menggabungkan beberapa aspek didalamnya, seperti kognitif, afektif dan psikomotorik. Dalam hal ini, Suyanto (dalam Wibowo, 2012:33) mengungkapkan pengertian pendidikan karakter sebagai pendidikan budi pekerti plus, yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Hal serupa dinyatakan oleh Saptomo (2011: 26), Pendidikan karakter menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling
34
atau perasaan tentang moral, dan moral action atau perbuatan moral. Hal ini diperlukan agar anak mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan. Moral knowing merupakan hal yang penting untuk diajarkan. Moral knowing ini terdiri dari enam hal yaitu : (1) moral awareness (kesadaran moral), (2) knowing moral values (mengetahui nilai-nilai moral), (3) perspective taking, (4) moral reasoning, (5) decision making, (6) self knowledge. Moral feeling adalah aspek yang lain yang harus ditanamkan kepada anak yang merupakan sumber energi dari diri manusia untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral. Terdapat enam hal yang merupakan aspek emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter, yakni (1) concience (nurani), (2) self esteem (percaya diri), (3) empathy (merasakan penderitaan orang lain), (4) loving the good (mencintai kebenaran), (5) self control (mampu mengontrol diri) dan (6) humility (kerendahan hati). Moral action adalah bagaimana membuat pengetahuan moral dapat diwujudkan menjadi tindakan nyata. Perbuatan tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter, yaitu kompetensi (competence), keinginan (will) dan kebiasaan (habit). Mengacu pada berbagai pengertian dan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah proses pembelajaran yang menekankan pembentukan karakter dan mengembangkan nilai-nilai karakter bangsa pada diri peserta didik, membangun nilai dan karakter dalam dirinya dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang religius, nasional, produktif dan kreatif. Jadi, dapat disimpulkan bahwa esensi dari pendidikan karakter itu sendiri bukan hanya pada pengetahuan, namun juga perasaan dan tindakan yang nyata sehingga materi pembelajaran tidak bersifat kognitif tetapi aplikatif. b. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Karakter Lickona dalam Sudrajat (2011:49) menyebutkan tujuh alasan mengapa pendidikan karakter penting untuk ditumbuhkembangkan. Ketujuh alasan tersebut
35
antara lain; 1) cara terbaik untuk menjamin anak-anak (siswa) memiliki kepribadian yang baik dalam kehidupannya; 2) cara untuk meningkatkan prestasi akademik; 3) sebagian siswa tidak dapat membentuk karakter yang kuat bagi dirinya di tempat lain; 4) persiapan siswa untuk menghormati pihak atau orang lain dan dapat hidup dalam masyarakat yang beragam; 5) berangkat dari akar masalah yang berkaitan dengan problem moral-sosial, seperti ketidaksopanan, ketidakjujuran, kekerasan, pelanggaran kegiatan seksual, dan etos kerja (belajar) yang rendah; 6) Persiapan terbaik untuk menyongsong perilaku di tempat kerja; dan 7) pembelajaran nilai-nilai budaya yang merupakan bagian dari kerja peradaban. Secara umum, fungsi pendidikan karakter adalah meningkatkan kualitas perilaku, akhlak, budi pekerti setiap anak dalam menjalani kehidupan sebagai anggota masyarakat dan makhluk Tuhan, sedangkan secara akademik berfungsi sebagai; 1) pengembangan, pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik, ini bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa; 2) perbaikan, memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat; dan 3) penyaring, untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat (Halomoan, 2011:4). Tujuan dari pendidikan karakter pada dasarnya adalah mendorong lahirnya genarasi yang baik. Tumbuh dan berkembangnya karakter yang baik akan mendorong peserta didik tumbuh dengan kapasitas dan komitmennya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar serta memiliki tujuan hidup. Dalam dunia akademik, pendidikan karakter memiliki tujuan-tujuan tertentu. Kesuma (2011:9-11) menjelaskan tujuan pertama pendidikan karakter adalah memfasilitasi penguatan dan pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga terwujud dalam perilaku anak, baik dalam proses sekolah maupun setelah proses sekolah berakhir. Penguatan dan pengembangan ini memiliki makna bahwa pendidikan di sekolah bukan hanya seputaran nilai yang
36
diberikan kepada peserta didik, tetapi juga merupakan proses yang membawa peserta didik untuk memahami dan merefleksi nilai-nilai yang telah diterima atau pelajari untuk diterapkan dalam perilakunya sehari-hari. Tujuan selanjutnya pendidikan karakter adalah memperbaiki kesalahan perilaku peserta didik yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan atau bahkan sekolah. Artinya, pendidikan karakter menjadi dasar bagi sekolah untuk memperbaiki atau mengubah perilaku anak dari negatif menjadi positif. Terakhir, pendidikan karakter bertujuan membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dengan memerankan tanggung jawab pendidikan karakter bersama-sama. Tujuan ini memiliki pengertian bahwasanya keluarga memiliki peranan penting dalam pengembangan pendidikan karakter anak, bukan hanya pada interaksi antara peserta didik dengan guru atau teman sebayanya. Hal ini dapat dipahami karena pendidikan karakter tidak hanya persoalan rentangan waktu sesaat, namun harus dalam penguatan menyeluruh atau holistik. Pendidikan karakter pada dasarnya memiliki relasi yang positif dengan perkembangan akademik siswa. Hal ini sejalan dengan penelitian Benninga, Berkowitz, Kuehn, dan Smith (2003:28) yang menyatakan komposit skor pendidikan karakter memiliki korelasi yang positif dengan skor akademik akhir tahun. Selanjutnya, Halomoan (2011:3) menyatakan tujuan pendidikan karakter dalam bidang akademik, yaitu 1) mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa melalui aspek pedagogis; 2) mengembangkan kebiasaan dan perilaku terpuji sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius; 3) menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa; 4) mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan 5) mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).
37
c. Nilai-nilai Pendidikan Karakter Sastra mempunyai peran sebagai salah satu alat pendidikan yang seharusnya dimanfaatkan dalam dunia pendidikan, dapat difokuskan pada peran dalam usaha untuk membentuk dan mengembangkan kepribadian anak, peran sebagai character building (Nurgiyantoro, 2007: 434). Dalam karya sastra tersimpan nilai atau pesan yang berisi amanat atau nasihat melalui karyanya. Karya sastra diciptakan bukan sekedar untuk dinikmati, akan tetapi untuk dipahami dan diambil manfaatnya. Karya sastra tidak sekedar benda mati yang tidak berarti, tetapi di dalamnya termuat suatu ajaran berupa nilai-nilai hidup dan pesan-pesan luhur yang mampu menambah wawasan manusia dalam memahami kehidupan. Melalui karya sastra, berbagai nilai hidup dihadirkan karena hal ini merupakan hal positif yang mampu mendidik manusia sehingga manusia mencapai hidup yang positif yang mampu mendidik manusia sehingga manusia mencapai hidup yang lebih baik sebagai makhluk yang dikaruniai oleh akal, pikiran, dan perasaan. Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang banyak memberikan penjelasan secara jelas tentang sistem nilai. Nilai itu mengungkapkan perbuatan apa yang dipuji dan dicela, pandangan hidup mana yang dianut dan dijauhi, dan hal apa saja yang dijunjung tinggi. Platform pendidikan karakter bangsa Indonesia telah dipelopori oleh tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang tertuang dalam tiga konsep yang berbunyi: Ing Ngarsa Sung Tuladha (Di depan memberikan teladan). Ketika berada di depan dapat memberikan teladan, contoh, dan panutan. Sebagai seorang yang terpandang dan terdepan atau berada di depan di antara para muridnya, guru senantiasa memberikan panutan-panutan yang baik sehingga dapat dijadikan teladan bagi peserta didiknya. Ing Madya Mangun Karsa (Di tengah membangun kehendak). Ketika di tengah peserta didik hendaknya guru bisa menjadi penyatu tujuan dan cita-cita peserta didiknya. Seorang guru di antara peserta didiknya berkonsolidasi memberikan bimbingan dan mengambil keputusan dengan musyawarah dan mufakat yang mengutamakan kepentingan peserta didik di masa depannya. Tut Wuri handayani (Di belakang memberikan dorongan). Guru yang memiliki makna
38
“digugu dan ditiru” (dipercaya dan dicontoh) secara tidak langsung juga memberikan pendidikan karakter kepada dicontoh) secara tidak langsung juga memberikan pendidikan karakter kepada peserta didiknya. Oleh karena itu, profil dan penampilan guru seharusnya memiliki sifat yang membawa peserta didiknya ke arah pembentukan karakter yang kuat. Pendidikan Karakter adalah hal positif apa saja yang dilakukan oleh guru dan berpengaruh kepada karakter siswa yang diajarnya. Pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada siswanya. Pendidikan karakter telah menjadi sebuah pergerakan pendidikan yang mendukung pengembangan sosial, pengembangan emosional, dan pengembangan etik para siswa (Samani dan Hariyanto, 2012:43). Selanjutnya juga ditulis oleh Arthur bahwa Anne Lockwood (dalam Samani dan Hariyanto, 2012:45) memerinci ada tiga proporsi sentral dalam pendidikan karakter. Pertama, bahwa tujuan pendidikan moral dapat dikejar atau dicapai, tidak semata-mata membiarkan sekadar sebagai kurikulum tersembunyi yang tidak terkontrol, dan bahwa tujuan pendidikan karakter telah memiliki dukungan yang nyata dari masyarakat dan telah menjadi konsensus bersama. Kedua, bahwa tujuan-tujuan behavioral tersebut adalah bagian dari pendidikan karakter, dan ketiga, perilaku antisosial sebagai bagian kehidupan anak-anak adalah sebagai hasil dari ketidakhadiran nilai-nilai dalam pendidikan. Adapun nilai-nilai yang hendak diinternalisasikan terhadap anak didik melalui pendidikan karakter menurut kemendiknas (Wibowo 2012: 15-17), tercantum dalam tabel berikut:
39
No. Nilai 1 Religius 2
Jujur
3
Toleransi
4
Disiplin
5
Kerja Keras
6
Kreatif
7
Mandiri
8
Demokratis
9
Rasa Ingin Tahu
10 Semangat Kebangsaan 11 Cinta Tanah Air 12 Menghargai Prestasi 13 Bersahabat/ Komuniktif 14 Cinta Damai 15 Gemar Membaca 16 Peduli Lingkungan 17 Peduli Sosial 18 Tanggungjawab
Deskripsi Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Gambar 1. Tabel Nilai Pendidikan Karater (dalam Wibowo, 2012:15-17).
40
B. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan terkait dengan variabel-variabel yang digunakan, baik variabel bebas maupun variabel terikat dapat dijabarkan sebagai berikut: Penelitian relevan yang pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Silvia Albertazi yang berjudul A Comparative Essay on The Sociology of Literature: Alice Munro’s “Unconsummated Relationship” (2010). Penelitian tersebut mengkaji tentang analisis sosiologi sastra terhadap cerita pendek Alice Munro. Hasil penelitian mengemukakan mengenai latar belakang Munro
dalam
mencipta
karyanya,
bagaimana
ia
memandang
dunia,
penggambaran keadaan sosial masyarakat dalam karyanya, serta genre apa yang paling ditonjolkan oleh Munro dalam karyanya. Penelitian tersebut relevan karena memfokuskan objek kajiannya pada salah satu satu pendekatan dalam penelitian sastra, yakni kajian sosiologi sastra, yang merupakan salah satu variabel dalam penelitian ini. Perbedaan penelitian terletak pada objek kajian. Albertazi memfokuskan kajian pada kajian sosiologi sastra terhadap suatu karya sastra berupa cerita pendek, sedangkan dalam penelitian ini, fokus kajian terdapat pada analisis sosiologi sastra terhadap novel. Penelitian relevan kedua adalah penelitian yang berjudul The Sociology of Stendhal’s Novels: Preliminary Research oleh Genevieve Mouillaud (1967). Penelitian tersebut menjabarkan tentang pengkajian sosiologi dalam novel-novel Stendhal, yang dimulai dari analisis struktural pada dua novel karya pertamanya. Hasil penelitian mengemukakan bahwa novel-novel Stendhal merupakan novel yang banyak mengandung sejarah dan kehidupan sosial masyarakat dalam cerita. Persamaan penelitian terletak pada variabel kajian sosiologi sastra terhadap karya sastra berupa novel. Perbedaan penelitian dapat dilihat bahwa dalam penelitian yang dilakukan oleh Mouillaud, hanya berkaitan dengan kajian sosiologi sastra novel, sedangkan dalam penelitian ini, selain mengkaji sosiologi sastra dalam novel, juga mengkaji nilai-nilai pendidikan karakter di dalamnya, serta relevansi novel-novel tersebut sebagai bahan ajar sastra di SMA.
41
Penelitian relevan ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh E. Koperundevi dan B. Krisnamurthy pada 2010 berjudul Socio-Cultural Aspects in Select Novels of R.K. Narayan. Hasil penelitian menjabarkan tentang sosialbudaya yang terdapat dalam novel-novel pilihan karya R.K. Narayan. E. Koperundevi dan B. Krisnamurthy menganalisis beberapa novel yang diciptakan oleh R.K. Narayan melalui kajian sosiologi sastra. Penelitian yang dilakukan oleh E. Koperundevi dan B. Krisnamurthy mengungkapkan mengenai kehidupan sosial-budaya para tokoh yang terdapat dalam novel-novelnya yang berlatar kehidupan di India. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh E. Koperundevi dan B. Krisnamurthy dengan penelitian ini terletak pada kajiannya, yakni sama-sama menganalisis tentang gambaran kehidupan sosial-budaya masyarakat dalam novel dan bagaimana sudut pandang pengarang dalam penciptaan novel-novel tersebut. Perbedaan penelitian terletak pada kajian selanjutnya. Penelitian ini mengkaji lebih lanjut tentang nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel berlatar kehidupan masyarakat Indonesia dan relevansi penelitian sebagai bahan ajar pembelajaran sastra. Penelitian relevan keempat berjudul A Novel Approach: The Sociology of Literature, Children’s Books, and Social Inequality yang ditulis oleh Singer, Ami E (2011). Penelitian tersebut berisi tentang analisis sebuah novel melalui beberapa pendekatan, yang salah satunya adalah pendekatan sosiologi sastra. Melalui pendekatan sosiologi sastra tersebut, peneliti belajar cara bagaimana menganalisis unsur sosiologi sastra dengan memperhatikan bentuk-bentuk dalam sastra fiksi. Penelitian relevan kelima adalah penelitian yang dilakukan oleh Benninga et al pada 2003 yang berjudul The Relationship of Character Education Implementation and Academic Achievement in Elementary Schools. Hasil penelitian mengemukakan mengenai hubungan antara implementasi pendidikan karakter dan hasil akademik peserta didik di sekolah dasar. Persamaan penelitian oleh Benninga dkk. dengan penelitian ini terletak pada kajian tentang nilai pendidikan karakter dalam sebuah karya sastra. Perbedaan penelitian terletak pada subjek penelitian. Subjek penelitian Benninga dkk. adalah peserta didik di tingkat
42
sekolah dasar, sedangkan dalam penelitian ini adalah mencari relevansi hasil penelitian sebagai bahan ajar di tingkat sekolah menengah atas. Penelitian relevan selanjutnya tentang pendidikan karakter adalah penelitian yang dilakukan oleh Glenn pada 1999 dengan judul Character Building and Freedom in Education. Hasil penelitian menjelaskan bahwa pembentukan karakter dalam pendidikan dapat menjadikan para peserta didik lebih menunjukkan sikap positif selama pembelajaran. Relevansi penelitian Glenn adalah kajian yang dilakukan terhadap pembentukan karakter para peserta didik, seperti halnya dalam penelitian ini, yakni mengkaji tentang nilai-nilai pendidikan karakter peserta didik, sedangkan perbedaan penelitian terletak pada objek kajian yang bukan merupakan sebuah karya sastra, melainkan langsung kepada peserta didik dan pembelajarannya. Penelitian relevan ketujuh merupakan penelitian berjudul The TransNational Reception of Literature: The Reception of French Nationalism in German yang dilakukan oleh Jurt pada 2005. Penelitian Jurt menjelaskan mengenai adanya respon oleh para pembaca terhadap perkembangan sastra di Jerman. Persamaan penelitian Jurt dengan penelitian ini adalah sama-sama melibatkan pembaca untuk memberikan tanggapannya terhadap suatu karya sastra. Perbedaan penelitian terletak pada genre sastra yang dikaji. Jurt mengemukakan penelitiannya berupa tanggapan pembaca terhadap beberapa genre sastra, seperti puisi, prosa, dan drama, sedangkan dalam penelitian ini hanya mengacu kepada tanggapan pembaca terhadap satu genre sastra, yakni prosa berupa novel. C. Kerangka Berpikir Karya sastra merupakan satu bentuk kebudayaan sehingga tidak dapat dipisahkan dari lingkungan yang telah membentuknya. Salah satu bentuk karya sastra adalah novel. Novel merupakan cerminan keadaan sosial dari kurun waktu tertentu. Novel berbicara mengenai manusia dan kemanusiaan serta mengandung fenomena-fenomena sosial yang ditampilkan oleh pengarang. Oleh karena itu,
43
kehadiran karya sastra, khususnya novel, tidak dapat terlepas dari situasi dan kondisi sosial masyarakat. Penelitian terhadap keterkaitan antara karya sastra dengan keadaan masyarakat yang melingkupinya dapat dilakukan menggunakan analisis sosiologi sastra. Analisis sosiologi sastra dilakukan untuk menelaah sejauh mana gejalagejala kemasyarakatan, baik yang bersifat positif maupun negatif, tumbuh di kehidupan sosial mereka. Pada dasarnya, penelitian menggunakan analisis sosiologi sastra membahas tiga hal utama, yakni latar belakang sosial pengarang dalam penciptaan novel, berbagai aspek sosial yang terdapat dalam novel, serta tanggapan para pembaca terhadap novel. Selain analisis menggunakan kajian sosiologi sastra, selanjutnya akan dilakukan penelaahan nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam novel. Pada tahap terakhir, akan ditarik simpulan apakah hasil kajian terhadap novel dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, serta melihat bagaimana relevansi novel sebagai bahan ajar bahasa Indonesia, khususnya pada jenjang Sekolah Menengah Atas kelas XI untuk kurikulum berbasis KTSP. Penelitian ini berjudul “Kajian Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel Karya Diyana Millah Islami serta Relevansinya sebagai Materi Ajar di SMA Islam Jepara”. Alur kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut.
44
Novel Yasmin dan Khaddam Diyana Millah Islami
Pendekatan Sosiologi Sastra
1. Mendeskripsikan latar belakang sosial pengarang dalam penciptaan novel Yasmin dan Khaddam. 2. Mendeskripsikan aspek sosial budaya dalam novel Yasmin dan Khaddam. 3. Mendeskripsikan tanggapan pembaca terhadap novel Yasmin dan Khaddam.
Nilai-nilai Pendidikan Karakter
Mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam novel karya Diyana Millah Islami.
Relevansi terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di SMA
Totalitas makna novel dalam pendekatan sosiologi sastra, nilai pendidikan karakter, dan relevansinya sebagai materi ajar di SMA
Gambar 2. Alur Kerangka Berpikir
45
Novel Yasmin dan Khaddam karya Diyana Millah Islami merupakan objek dalam penelitian ini dan dikaji menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi sastra digunakan untuk menganalisis dan mendeskripsikan latar belakang sosial pengarang dalam penciptaan kedua novel. Selanjutnya, pendekatan sosiologi sastra juga digunakan untuk menganalisis aspek sosial yang terdapat dalam novel, serta menganalisis dan mendeskripsikan pandangan dan tanggapan para pembaca terhadap novel Yasmin dan Khaddam. Selain menggunakan pendekatan sosiologi sastra dalam menganalisis novel Yasmin dan Khaddam karya Diyana Millah Islami, kedua novel tersebut juga dianalisis dari segi nilai pendidikannya. Analisis nilai pendidikan dilakukan untuk mengetahui berapa jumlah nilai pendidikan yang terkandung di dalam kedua novel, untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, relevansi novel Yasmin dan Khaddam sebagai materi ajar dalam pembelajaran bahasa Indonesia di tingkat SMA juga dianalisis. Hal tersebut dilakukan untuk mendeskripsikan relevan atau tidaknya kedua novel sebagai materi ajar. Analisis dilakukan dengan cara mencocokkan kedua novel dengan kurikulum pembelajaran yang terdapat di SMA Islam Jepara. Kurikulum berbasis KTSP yang digunakan di SMA Islam Jepara menjadi panduan untuk melihat relevan tidaknya novel Yasmin dan Khaddam karya Diyana Millah Islami digunakan sebagai materi ajar di kelas XI dengan KD yang telah ditetapkan. Berdasarkan kelima analisis utama yang dilakukan terhadap novel Yasmin dan Khaddam tersebut, maka selanjutnya disimpulkan keseluruhan makna yang terkandung dalam kedua novel yang dapat dilihat melalui pendekatan sosiologi sastra, nilai pendidikan karakter, serta relevansinya sebagai materi ajar di SMA.