7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DAS dan Pengelolaan DAS Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang dibatasi oleh topografi secara alami sedemikian rupa sehingga semua air hujan yang jatuh kedalam DAS tersebut akan ditampung, disimpan dan dialirkan melalui suatu sistim sungai dan anak-anaknya ke danau atau laut. Dengan pemahaman seperti itu maka DAS dapat dianggap sebagai suatu sistim secara hidrologis dan berfungsi untuk menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan. Dalam pengelolaan DAS, fungsi hidrologis tersebut harus dikonservasikan agar dapat menunjang kehidupan secara lestari. Karena DAS merupakan suatu sistem secara hidrologis maka bagianbagian DAS mempunyai hubungan saling ketergantungan. DAS bagian hilir sangat tergantung pada DAS bagian hulu dalam hal penyediaan air (Tampubolon 2009). Menurut Tampubolon (2009), terjadinya krisis air baik dalam kuantitas dan kualitas, disebabkan oleh pengelolaan DAS yang tidak tepat. Arsyad (2000), Pagiola, et al (2002), Asdak (2004) dan Kodoatie dan Sjarief (2005) diacu dalam Tampubolon (2009) menyatakan bahwa kondisi air merupakan parameter kunci dalam menilai keberhasilan pengelolaan DAS yang dicirikan oleh beberapa faktor yaitu: 1. Kuantitas air. Pada umumnya kuantitas air sangat berkaitan dengan jumlah curah hujan, kondisi penutup dan tataguna lahan. Semakin tinggi perbandingan antara luas lahan tertutup vegetasi dengan total luas lahan, maka tingkat ketersediaan air akan semakin besar, demikian sebaliknya. Kondisi ini dapat dilihat pada besarnya air limpasan permukaan dan debit air sungai. 2. Kualitas air. Kondisi kualitas air dalam DAS sangat dipengaruhi oleh penutup lahan, limbah domestik, limbah industri, kegiatan pertanian (pola tanam, pemupukan dan pestisida). Kualitas air ini dapat dilihat dari kondisi kualitas air limpasan, air sungai, waduk, dan sumur.
8
3. Perbandingan debit maksimum dan debit minimum. Kondisi ini mencirikan kemampuan DAS menyimpan air (saat musim hujan) dan mengalirkannya terus menerus (kontinuitas) walaupun musim kemarau dengan fluktuasi debit yang kecil. Kemampuan lahan menyimpan air sangat tergantung pada kondisi dan distribusi penutup lahan serta tanah. Dalam sistem pengelolaan DAS, aktivitas di salah satu bagian akan memberi dampak hulu-hilir dalam bentuk hilangnya peluang maupun biaya sosial sehingga diperlukan suatu pengelolaan bersama dengan peran yang jelas (Pangesti 2002 diacu dalam Rahardja 2010). 2.2 Pembayaran Jasa Lingkungan Secara umum PES (pembayaran jasa lingkungan) didefinisikan sebagai mekanisme kompensasi dimana penyedia jasa (service provider) dibayar oleh penerima jasa (service users) (The Regional Forum on Payment Schemes for Environmental Services in Watersheds, The Third Latin American Congress on Watershed Management 2003 diacu dalam USAID 2009). Sedangkan definisi dari Wunder (2005), Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) adalah sebuah transaksi sukarela dengan kerangka kerja yang dinegosiasikan dimana terdapat jasa lingkungan yang dapat terukur atau adanya penggunaan lahan untuk memelihara jasa lingkungan yang dikandungnya yang kemudian jasa lingkungan tersebut dibeli oleh minimal satu pembeli dari minimal satu penyedia jasa lingkungan jika dan hanya jika penyedia jasa lingkungan memelihara keberlangsungan jasa lingkungan yang diperjualbelikan tersebut sesuai dengan ketentuan yang disyaratkan saat negosiasi. Berikut adalah ilustrasi pembayaran jasa lingkungan (Gambar 2).
9
Sumber : USAID (2009)
Gambar 2 Ilustrasi pembayaran jasa lingkungan. Berdasarkan definisi diatas suatu kegiatan pembayaran jasa lingkungan memerlukan sebuah mekanisme untuk mengatur berjalannya kegiatan tersebut. Mekanisme pembayaran jasa multifungsi DAS yang tergolong dalam pembayaran jasa lingkungan dapat dikelompokkan dalam 3 bentuk (Cahyono & Purwanto 2006), yaitu: 1.
Kesepakatan yang di atur sendiri. Kesepakatan diatur sendiri antara penyedia jasa dengan penerima jasa, biasanya bersifat tertutup, cakupannya sempit, negosiasi terjadi secara tatap muka, perjanjian cenderung sederhana, dan campur tangan yang rendah dari pemerintah. Misalnya, skema ekolabel, sertifikasi, pembelian hak pengembangan lahan dimana jasa itu berada, pembayaran langsung antara pemanfaat jasa DAS yang berada di luar lokasi dengan pemilik lahan yang bertanggungjawab atas ketersediaan jasa multifungsi DAS.
2.
Skema pembayaran publik. Pendekatan ini sering digunakan bila pemerintah bermaksud menyediakan landasan kelembagaan untuk suatu program dan sekaligus menanamkan investasinya. Pemerintah dapat memperoleh dana melalui beberapa jenis iuran dan pajak. Contohnya, kebijakan penetapan harga air, persetujuan penggunaan pajak air untuk melindungi DAS, menciptakan mekanisme pengawasan, pemantauan dan pelaksanaan regulasi yang
10
bersifat melindungi penyedia jasa dan menerapkan denda bagi pelanggarnya. 3.
Skema pasar terbuka. Skema ini jarang diterapkan dan cenderung dapat diterapkan di negara yang sudah maju. Pemerintah dapat mendefinisikan barang atau jasa apa saja dari multifungi DAS yang dapat diperjualbelikan. Selanjutnya dibuat regulasi yang dapat menimbulkan permintaan. Perlu sebuah kerangka regulasi yang kuat dan penegakan hukum, transparansi, penghitungan secara ilmiah yang akurat dan sistem verifikasi yang terjamin. Sedangkan menurut Landell-Mills & Porras (2002), terdapat delapan
kategori mekanisme pembayaran jasa DAS, mekanisme-mekanisme tersebut antara lain : 1. Direct negotiation between buyers and sellers. Mekanisme ini melibatkan rincian kontrak untuk membangun praktek manajemen terbaik yang dapat meningkatkan manfaat DAS atau perjanjian pembelian tanah berdasarkan negosiasi antara pembeli dan penjual 2. Intermediary-based transactions. Perantara digunakan untuk mengontrol biaya transaksi dan resiko, dan paling sering dibangun dan dijalankan oleh LSM, organisasi masyarakat, dan instansi pemerintah. Pada beberapa kasus dibuat perwakilan dana independen. 3. Pooled transactions. Transaksi terpusat mengontrol biaya transaksi dengan menyebar resiko pada beberapa pembeli. Mereka juga dipekerjakan untuk membagi biaya dari transaksi besar seperti yang dibutuhkan pasar DAS. 4. Internal trading. Transaksi dalam suatu organisasi, misalnya pembayaran dalam intra pemerintahan. 5. Over-the-counter trades/user fees. Mekanisme ini muncul dimana jasa dikemas untuk dijual, contohnya kredit kualitas air. Jasa DAS seringkali menawarkan standar tingkatan untuk penerima yang berbeda melalui biaya penggunaan. Tingkatan ini biasanya tidak dinegosiasikan dan dikenakan pada semua penerima.
11
6. Clearing-house transactions. Sebuah perantara yang lebih rumit menawarkan inti bentuk dasar perdagangan kepada pembeli dan penjual berupa penerimaan cek-cek antara bank. Mekanisme ini tergantung pada keberadaan dari standar pra pengemasan komoditas. Seperti : kredit salinitas, ganti rugi kualitas air. 7.
Auctions. Seringkali diasosiasikan dengan mekanisme clearing-house dan perdagangan over-the counter, pelelangan mencoba untuk melangkah lebih dekat dengan pasar persaingan untuk jasa DAS. Pelelangan ditujukan untuk menentukan penawaran jasa DAS serta untuk mengalokasikan kebijakan untuk membayar.
8. Retail-based trades. Dimana pembayaran jasa untuk perlindungan DAS yang melekat pada pembayaran dari konsumen. Contohnya: produksi pertanian yang aman. Biasanya diasosiasikan dengan sertifikasi dan skema pelabelan yang menghasilkan pengakuan konsumen dan kemauan membayar. Koch-Weser (2002) diacu dalam Pudyastuti (2007) menjelaskan bahwa dalam pembayaran jasa lingkungan membutuhkan beberapa elemen, khususnya :
Valuasi (nilai) jasa lingkungan dari titik yang menguntungkan satu atau beberapa kelompok stakeholder hilir
Organisasi sosial yang cukup efektif yang dinegosiasikan
antara
kelompok hulu dan hilir untuk mendorong kesepakatan pembayaran secara langsung.
Kesepakatan dengan tujuan yang jelas dan teruji serta berhubungan dengan kesepakatan implementasi dan monitoring.
Kerangka kerja yang legal dan institusional
Ketentuan untuk resolusi konflik. Menurut USAID (2009), konsep PES relatif baru, sehingga tidak semua
skema kontrak PES yang berkembang telah memiliki kesempurnaan dan siap diperbanyak untuk daerah lain. Dalam Kongres Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Negara-negara Amerika Latin 2003, Forum on Payment Schemes for Environmental Serivices in Watershed mengindentifikasi pembelajaran yang
12
diperoleh dari pengalaman pengembangan skema PES di Amerika Latin, yaitu bahwa:
Hingga sekarang skema PES pada pengelolaan DAS yang dikembangkan masih sangat beragam dengan tahapan kemajuan yang berbeda-beda dan untuk berbagai tujuan mulai dari tingkatan mikro dengan fokus yang sangat spesifik hingga tingkatan nasional yang dikontrol oleh negara. Namun banyak pula skema PES yang beroperasi tanpa kerangka peraturan yang spesifik.
Penerapan skema PES di negara-negara America Latin tergolong sudah maju di antara negara-negara berkembang lainnya, namun belum semua penerapan skema PES tersebut terinventarisasi secara baik dan masih memerlukan kajian-kajian sosial ekonomi dan kaitannya terhadap lingkungan.
Masih adanya ketidakpastian hubungan sebab akibat yang siginifikan antara penggunaan lahan dan jasa-jasa yang dihasilkan.
Pada banyak kejadian, penyedia jasa tertarik dengan skema PES sebagai instrumen mekanisme informal untuk penguatan hak kepemilikan (property rights) atas lahan.
Peran pemerintah dalam pengembangan skema PES dalam kerangka pengelolaan DAS masih sangat bervariasi.
Di beberapa kasus, institusi publik yang terlibat kebanyakan adalah institusi lokal dibandingkan dengan institusi yang berskala nasional.
Penerapan skema PES yang berkembang secara potensial dapat direplikasi ke berbagai lokasi.
2.3 Peraturan Perundangan Terkait Jasa Lingkungan Menurut Prasetyo et al. (2009), UU No 23 Tahun 1997 yang menggantikan UU Lingkungan Hidup No 4 Tahun 1984 menjelaskan pihak yang berwenang, hak, dan tanggung jawab pemerintah dalam mengatur pengelolaan lingkungan, termasuk delegasi pemerintahan lokal (propinsi, kabupaten, dan kota) dengan mempertimbangkan perencanaan tata ruang dan penggunaan lahan. UU No 41 Tahun 1999 diikuti baru-baru ini oleh PP No 6 Tahun 2007 tentang Kehutanan, menyediakan pedoman umum pengelolaan sumber daya hutan dengan bagian
13
tertentu
mengatur
pengelolaan
jasa
lingkungan.
Undang-undang
ini,
dikombinasikan dengan UU No 34 Tahun 2000 dan PP 65 Tahun 2001 tentang Perpajakan Daerah. Sebagai tambahan, jasa air diatur oleh UU No 7 Tahun 2004 mengenai Sumberdaya Air yang dijadikan dasar implementasi mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di Indonesia.
Menurut Bapak Subarudi dari
Badan Litbang Kehutanan, sebenarnya Indonesia telah memiliki peraturan perundangan terkait pembayaran jasa lingkungan yaitu UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Pasal 14 yang banyak terkait dengan pemanfaatan air, dan PP No. 6 Tahun 2007 dengan PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan (Murjani 2010). 2.4 Penelitian Terdahulu 2.4.1 Jasa lingkungan di DAS Citarum Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan jasa lingkungan DAS Citarum. Nurfitriani & Nugroho (2007), telah menghitung nilai ekonomi manfaat hidrologis hidrologis hutan lindung di hulu DAS Citarum yang memiliki nilai pasar sebagai dasar perhitungan nilai distribusi biaya dan manfaat di antara para penerima dan penyedia manfaat. Dari hasil penelitian diperoleh besar biaya penuh (full cost) pengadaan air yang telah memasukkan nilai lingkungan di Sub DAS Citarum Hulu sebesar Rp 25,33 milyar/tahun. Dari nilai tersebut diperoleh nilai tarif normal Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air untuk pemanfaatan PDAM dan industri sebesar Rp 273,38/m3 dan Rp 297,18/m3 dengan nilai lingkungan sebesar Rp 15,87 milyar/tahun dan Rp 5,265 milyar/tahun. Nilai tersebut menggambarkan nilai yang perlu dialokasikan kembali ke pengelola kawasan hutan di hulu DAS sebagai bentuk pembagian keuntungan dan biaya (benefit cost sharing) di antara penyedia dan penerima manfaat hidrologis hutan lindung. Drakel (2008), menganalisis persepsi dan kemauan masyarakat perkotaan (WTP) untuk jasa perbaikan lingkungan, lahan, dan air pada studi kasus DAS Citarum. Dari hasil penelitiannya, sebesar 70% responden mengeluhkan ketersedian air saat ini buruk, 65% menyatakan keluhan terhadap air yang keruh, 35% menyatakan keluhan air yang berbau. Sehingga 70% masyarakat menyatakan
14
hulu berperan untuk perbaikan lingkungan dan 69,45% setuju. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi air semakin buruk sehingga perlu untuk perbaikan lingkungan. Namun kemauan membayar (WTP) yang dilihat dari dugaan rataan WTP diatas harga air berlaku yang saat ini masih rendah, yaitu sebesar Rp 62.500/orang/bulan dengan WTP agregat (total kemauan membayar) dari populasi adalah sebesar Rp 36.080,618/bulan di bawah total harga air yang diterima pemerintah/PDAM per-bulan saat ini. Hal tersebut dipengaruhi oleh pendapatan, umur, tanggungan keluarga, ketersediaan air, keluhan air, status rumah, dan lebih memilih sumber air sumur dibanding PDAM. 2.4.2 Implementasi pembayaran jasa lingkungan di Indonesia (studi kasus di beberapa DAS) 2.4.2.1 DAS Cidanau, Banten Budhi et al. (2008) melakukan penelitian mengenai konsep dan implementasi dari program PES di DAS Cidanau. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa implementasi PES di DAS Cidanau dimotivasi oleh gangguan yang merusak daerah tangkapan air dan penggunaan pupuk dan pestisida pada pertanian yang mencemari air. Faktor lain adalah kebutuhan akan ketersediaan air yang diketahui telah mengalami fluktuasi pada beberapa tahun terakhir. PES diagggap penting untuk diimplementasikan untuk mengatasi masalah air. Selain itu, banyak perusahaan yang setuju untuk membayar sejumlah kompensasi kepada masyarakat hulu. Namun, implementasi dari program tersebut tidaklah mudah. PT KTI sebagai perusahaan air siap mendanai implementasi tersebut sebagai uji coba PES. PT KTI mendanai komunitas hulu dari DAS Cidanau untuk menanam pohon dan menggunakan teknik konservasi pada pertanian mereka. Skema PES yang terjadi di DAS Cidanau dapat dilihat pada Gambar 3.
15
Industri
LP3ES dan Rekonvasi Bhumi Kelompok Tani
PDAM
PT KTI
FKDC
Sektor Swasta
Keterangan : : Komunikasi dan Fasilitasi : MoU dan PES
PLN
: Air dan Pembayarannya
Sumber : Budhi et al. (2007)
Gambar 3 Skema pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau, Banten. Implementasi PES telah memberikan beberapa manfaat kepada lingkungan dan kondisi petani yang terlibat dalam proyek. Manfaat tersebut antara lain penurunan praktek illegal logging, pertumbuhan pohon yang baik, pengaplikasian pertanian berbasis konservasi, sikap petani yang ramah lingkungan dan kondisi ekonomi petani yang penting untuk keberlanjutan implementasi PES. Namun ditemui beberapa hambatan dimana konsep PES masih sulit untuk diterima sebagai regulasi baru, karena adanya anggapan dari pembuat kebijakan bahwa konsep tersebut telah diakomodasi oleh kebijakan yang telah ada. Kisah sukses dari implementasi PES di DAS Cidanau perlu diambil sebagai pelajaran oleh pemerintah untuk kebijakan lingkungan ke depan. Implementasi yang sukses oleh PT KTI ditekankan pada aspek pembelajaran dimana hak dan kewajiban tiap pihak dapat dikontrol secara transparan. Dengan beberapa improvisasi dan modifikasi, implementasi PES dapat di uji coba pada skala nasional. 2.4.2.2 DAS Way Besai, Lampung Isu yang melatarbelakangi mekanisme pembayaran jasa lingkungan di Sumberjaya, Lampung dikemukakan oleh RUPES (2010). Tulisan tersebut menyebutkan bahwa pemerintah mempercayai bahwa deforestasi yang tidak
16
terkontrol dan konversi lahan menjadi kebun kopi telah menyebabkan peningkatan erosi tanah. Erosi tersebut mengancam pengoperasian bendungan Sumberjaya dan mengurangi ketersediaan air untuk irigasi sawah di daerah hilir. Kepercayaan tersebut mengakibatkan pengusiran ribuan petani dari Sumberjaya antara tahun 1991-1996. Hasil penelitian RUPES sejak tahun 1998 menunjukkan bahwa kebun kopi multistrata dapat mengontrol erosi dan meningkatkan taraf hidup petani. Selain itu, menurut Suyanto & Khususiyah (2006), petani miskin di Trimulyo sangat tergantung pada lahan negara. Berdasarkan analisa Gini Rasio, lahan negara merupakan faktor yang menyebakan peningkatan pemerataan pendapatan dan pemerataan kepemilikan lahan. Pemberian imbalan atas lahan (land right) akan mengurangi kemiskinan dan meningkatkan pemerataan di kalangan petani. Menurut LPM Equator (2011), proses perumusan masalah, pendefinisian jasa lingkungan, aktor yang terlibat, serta indikator keberhasilan PES harus dipenuhi dalam pengembangan PES. PES yang dikembangkan di Sumberjaya, Lampung merupakan salah satu contoh implementasi PES yang berhasil mengembangkan indikator keberhasilan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya indikator mengenai jumlah sedimentasi yang ada di sungai Way Besai. Indikator yang dikembangkan berasal dari aspek fisik, biologi, dan ekonomi. Berikut adalah skema pembayaran jasa lingkungan yang terjadi di DAS Way Besai, Sumberjaya Lampung (Gambar 4). Pemberian Pembangkit Listrik mikrohidro
PLTA
Pembayarana jasa lingkungan riparian melalui dinas pertanian dan kehutanan
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (kepemilikan lahan)
Masyarakat hulu DAS Way Besai
Masyarakat sungai RUPES (intermediary)
peduli
Pelaksanaan kontrak dimana masyrakat hulu berhasil menurunka sedimen sungai, kemudian mendapatkan sejumlah insentif
Gambar 4 Skema pembayaran jasa lingkungan di DAS Way Besai, Sumberjaya Lampung.
17
2.4.2.3 DAS Kali Brantas, Jawa Timur Mata air utama Sungai Brantas dikenal dengan nama Sumber Brantas. Pada awalnya jumlah mata air sebanyak 13 buah, namun kondisi hutan saat ini mengalami kerusakan akibat aktivitas masyarakat baik pengusaha, petani maupun penebangan liar sehingga mata air banyak yang menurun fungsinya (PSDALLP3ES 2004 diacu dalam USAID 2007). USAID (2007) menyebutkan bahwa pembayaran jasa lingkungan yang terjadi antara Perum Jasa Tirta (PJT-1) dan Yayasan Pengembangan Pedesaan (YPP) PJT-1 sebagai pihak pertama dengan masyarakat petani di Desa Tlekung dan Desa Bendosari. Yayasan Pengembangan Pedesaan (YPP) berperan sebagai intermediary dari proses hubungan hulu-hilir DAS Brantas. Kurun waktu kesepakatan antara YPP dengan Petani adalah selama 6 bulan. Setelah berakhirnya kesepakatan tersebut, petani akan melakukan pemeliharaan tanaman dari
bantuan
penyiraman,
tersebut dan
meliputi
sebagainya
penyulaman,
secara
swadaya
pemupukan, sampai
pendangiran,
tanaman
mampu
menghasilkan buah atau produk lainnya. Hasil panen dari tanaman tersebut sepenuhnya menjadi hak petani. Meskipun demikian, hasil kayu dari penanaman tersebut diperoleh dengan melakukan tebang pilih untuk menghindari degradasi lahan. YPP dengan Petani Petani berkewajiban melakukan upaya penghijauan di lokasi yang telah disepakati dengan tanaman yang telah ditentukan: Petani berswadaya menyediakan ajir tanaman, pupuk kandang, tenaga kerja dan tanaman sulam dengan petani wajib mematuhi peraturan tebang pohon yang telah ditentukan walaupun pohon tersebut berada di tanah milik petani sendiri. Skema PES di DAS Kali Brantas tersaji pada Gambar 5.
18
DAS Kali Brantas, Jawa Timur
Rehabilitasi, restorasi, praktek pertanian ramah lingkungan
Pemilik/pengelola lahan/Tahura, LMDH, Desa, KTT, Fokal Mesra
Kualitas dan kuantitas air lebih baik untuk rumah tangga, irigasi, hotel dan industri.
PJB, PDAM, Hotel (APHI), HIPAM, Jasa Tirta
dukungan pembiayaan program & CSR
Hubungan diatur dalam MoU/ agreement
Kegiatan : kepastian hak kelola masyarakat, pelatihan, pelayanan kesehatan, pendidikan, kampanye, patroli, industri rumah tangga
GIRAB Batu Hijau Lestari
Sumber : USAID (2007)
Gambar 5 Skema pembayaran jasa lingkungan di DAS Kali Brantas, Jawa Timur. Anonim3 (2007) menyebutkan dampak yang terjadi setelah adanya pembayaran jasa lingkungan di DAS Brantas
antara lain: 1. Terbangunnya
kesadaran masyarakat untuk melakukan perlindungan DAS di lahan pribadi maupun milik Perhutani, 2. Munculnya keswadayaan masyarakat, seperti membangun
kebun bibit, penanaman lahan, dan perawatan tanaman, 3.
Terbangunnya hubungan antara kelompok masyarakat dengan dinas terkait, perguruan tinggi, pengusaha, bank, masyarakat sekitarnya untuk membangun lingkungan lestari, 4. Tercapainya kegiatan-kegiatan produktif dalam upaya perbaikan lingkungan, 5. Terbentuknya Serikat Petani Hulu sebagai wadah organisasi masyarakat hulu DAS Brantas, 6. Terciptanya mekanisme pertemuan secara rutin untuk media pembelajaran. Sedangkan permasalahan yang terjadi
19
adalah tidak adanya peraturan yang mengatur secara tegas mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang berlaku di DAS Brantas.