BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Siklus Hidrologi dan Neraca air Menurut Mori (2006) siklus air tidak merata dan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi (suhu, tekanan atmosfir, angin, dan lain-lain) dan kondisi topografi. Dalam proses sirkulasi air, penjelasan mengenai hubungan antara aliran air kedalam (inflow) dan aliran keluar (outflow) disuatu daerah untuk suatu periode tertentu disebut neraca air. Gambar 1 memperlihatkan skema siklus hidrologi.
Sumber : http//yanessipil.wordpress.com Gambar 1 Skema siklus hidrologi. Menurut Seyhan (1990) Persamaan Neraca Air merupakan persamaan yang menggambarkan prinsip bahwa selama selang waktu tertentu, masukan air total pada suatu ruang tertentu harus sama dengan keluaran total ditambah perubahan bersih dalam cadangan. Neraca air digunakan untuk mengetahui keseimbangan kondisi sumberdaya air dalam suatu DAS, sehingga dapat diketahui periode surplus dan defisit air wilayah, faktor-faktor yang mempengaruhi neraca air adalah kondisi tutupan lahan atau penggunaan lahan, jenis tanah dan iklim,
4
yang masing-masing ditunjukkan oleh peubah curah hujan, limpasan permukaan dan evapotranspirasi. Wilayah DAS Cisangkuy mempunyai rata-rata status cadangan air yang defisit baik pada musim hujan maupun musim kemarau, nilai defisit air pada bulan-bulan basah (November-April) berkisar antara 2-15 mm/bulan, sedangkan pada bulan-bulan kering (Mei-Oktober) berkisar antara 2668 mm/bulan (BPDAS Citarum-Ciliwung 2009).
2.2 Curah Hujan dan Intensitas Hujan Hujan adalah sebuah presipitasi berwujud cairan yang jatuh ke tanah dalam rangkaian proses siklus hidrologi. Jumlah presipitasi selalu dinyatakan dengan (mm) (Mori 2006) , berbeda dengan presipitasi non-cair seperti salju, batu es dan slit. Hujan memerlukan keberadaan lapisan atmosfer tebal agar dapat menemui suhu di atas titik leleh es di dekat dan di atas permukaan bumi. Di bumi hujan adalah proses kondensasi uap air di atmosfer menjadi butir air yang cukup berat untuk jatuh dan biasanya tiba di daratan. Dua proses yang mungkin terjadi bersamaan dapat mendorong udara semakin jenuh menjelang hujan, yaitu pendinginan udara atau penambahan uap air ke udara. Curah hujan tahunan di wilayah Sub DAS Cisangkuy berkisar antara 1900-2500 mm/tahun dengan rata-rata jumlah bulan kering adalah empat bulan (Juni-September), dua bulan lembab (Mei dan Oktober) dan enam bulan basah (Januari-April dan November-Desember) (BPDAS Citarum-Ciliwung 2009).
2.3 Erosi dan Sedimentasi Faktor-faktor yang mempengaruhi erosi tanah meliputi hujan, angin, limpasan permukaan, jenis tanah, kemiringan lereng, penutupan tanah baik oleh vegetasi atau lainnya serta ada tidaknya tindakan konservasi. Faktor-faktor tersebut tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya, artinya bekerja secara simultan. Tanah kering yang rentan terhadap erosi terutama adalah tanah podsolik merah kuning yang menempati areal terluas di Indonesia, kemudian disusul oleh tanah Latosol yang dengan kemiringan lereng agak curam sampai curam, terutama tanah-tanah yang tidak tertutup tanaman (Suripin 2004).
5
Hujan merupakan salah satu faktor utama penyebab erosi tanah. Tetesan air hujan yang menghantam muka bumi menyebabkan terlemparnya partikel tanah ke udara. Karena gravitasi bumi, partikel tersebut jatuh kembali ke bumi dan sebagian partikel halus menutup pori-pori tanah sehingga porositas tanah menurun, tetesan air hujan juga dapat menimbulkan pembentukan lapisan tanah keras (crust formation) pada lapisan permukaan (surface run-off), sebagai faktor penyebab terjadinya erosi oleh aliran air akan bertambah besar. Dengan tertutupnya pori-pori tanah maka laju kapasitas infiltrasi bekurang sehingga runoff akan semakin besar dan mengikis dan membawa tanah secara terus-menerus . proses pengangkutan tanah ini akan terhenti baik untuk sementara atau tetap , sebagai pengendapan atau sedimentasi. Pengendapan akhir atau sedimentasi terjadi pada kaki bukit yang relatif datar, sungai atau waduk. Pada daearah aliran sungai partikel dan unsur hara yang larut dalam aliran permukaan akan mengalir ke sungai atau waduk sehingga terjadi pendakalan pada tempat tersebut. Keadaan ini menurut Soemarwoto (1978, dalam Suripin 2004) akan mengakibatkan daya tampung sungai dan waduk menjadi turun sehingga timbul bahaya banjir dan eutrofikasi berlebihan. Erosi
merupakan penyebab utama menurunnya produktivitas lahan
pertanian, menurunnya kualitas air, membawa bahan-bahan kimia pencemaran dan mengurangi kapasitas sungai/ saluran air dan waduk. Erosi tanah tidak hanya berpengaruh negatif
terhadap lahan dimana terjadi erosi tetapi juga pada di
daerah hilirnya dimana material sedimen diendapkan. Banyak bangunanbangunan sipil di daerah hilir akan terganggu, saluran-saluran, jalur air, wadukwaduk akan mengalami pengendapan sedimen. Disamping itu kandungan sedimen yang tinggi pada air sungai juga akan merugikan pada penyediaan air bersih yang bersumber dari air permukaan , biaya pengelolaan akan semakin mahal. Salah satu keuntungannya mungkin adalah penyuburan tanah jika sumber sedimen berasal dari tanah yang subur (Suripin 2004).
2.4 Debit Aliran Menurut Soewarno (1995), pengukuran debit air yang dilaksanakan di suatu pos duga air tujuannya adalah untuk membuat lengkung debit dari pos duga
6
air yang bersangkutan. Lengkung debit dapat merupakan hubungan yang komplek apabila debit disamping fungsi dari tinggi muka air juga merupakan fungsi dari kemiringan muka air, tingkat perubahan muka air dan fungsi dari faktor lainnya. Menurut Asdak (1995), teknik pengukuran debit aliran sungai langsung di lapangan pada dasarnya dapat dilakukan melalui empat kategori, yaitu : 1. Pengukuran volume aliran sungai 2. Pengukuran debit dengan cara mengukur kecepatan aliran dan menentukan luas penampang melintang sungai. 3. Pengukuran debit dengan menggunakan bahan kimia (pewarna) yang dialirkan dalam aliran sungai. 4. Pengukuran debit dengan membuat bangunan pengukur debit seperti weir (aliran air lambat) atau flume (aliran air cepat). Menurut Soewarno (1995), kekurangtelitian atau kesalahan (errors) pengukuran debit dapat diartikan sebagai besarnya nilai perbedaan antara debit yang dihitung berdasarkan pengukuran dengan debit yang sebenarnya. Kesalahan pengukuran debit umumnya bersumber dari dua macam sebab yaitu : a. Kesalahan petugas b. Kesalahan peralatan
2.5 Hidrograf Satuan Hidrograf satuan merupakan cara untuk memperoleh hidrograf limpasan permukaan dari curah hujan lebih. Hidrograf limpasan yang diakibatkan oleh curah hujan jangka waktu yang relatif singkat dengan intensitas tinggi yang disebut hujan satuan. Hujan satuan adalah curah hujan yang lamanya sedemikian sehingga lama limpasan permukaan tidak menjadi pendek, meskipun curah hujan itu menjadi pendek. Jadi hujan satuan yang dipilih adalah yang lamanya sama atau lebih pendek dari perioda naik hidrograf (waktu dari titik permulaan limpasan permukaan sampai puncaknya). Periode limpasan dari hujan satuan semuanya adalah kira-kira sama dan tidak ada sangkutannya dengan intensitas curah hujan (Mori 2006).
7
2.6 Aplikasi Tank Model Tank model GA Optimizer yang dikembangkan oleh Prof.Budi I Setiawan dan Dr.Rudiyanto merupakan salah satu model hidrologi yang digunakan untuk menganalisis karakteristik air sungai yang diciptakan oleh Rudiyanto dan Budi I Setiawan tahun 2003. Model ini dapat memberikan informasi mengenai kualitas air dan untuk memprediksi banjir. Model ini menerima data harian hujan, evapotranspirasi, dan debit sungai dalam satuan mm/hari sebagai parameter Tank Model. Tank model digambarkan tersusun atas empat reservoir vertikal, dimana bagian atas mempresentasikan Surface Reservoir, dibawahnya Intermediate Reservoir, kemudian Sub-base Reservoir dan paling bawah Base Reservoir. Dalam konsep Tank Model ini air dapat mengisi reservoir dibawahnya dan bisa terjadi sebaliknya apabila evapotranspirasi sedemikian berpengaruh (Setiawan 2003). Aplikasi Tank Model pernah digunakan dalam penelitian-penelitian sebelumnya (Tabel 1). Tabel 1 Penelitian terdahulu menggunakan Aplikasi Tank Model Lokasi Sub DAS
Luas Area (Ha)
CH (mm/th)
SF (Ya2)
110,7
2.935
4,9%
Cikundul
57,65
2313,9
26,46%
Cilebak
413,5
971,8
5,59%
Cipeucang
IF (Yb1)
SbF (Yc1)
BF (Yd1)
48,2%
37,7%
Bangun
2009
6,65%
63,7%
3,16%
Ulya
2010
8,83%
30,3%
55,26%
Sahayana
2010
9,1%
Peneliti
Tahun
Keterangan: CH= curah hujan; SF= surfaceflow; IF= intermediateflow; SbF= subbase flow; BF= Base flow.
2.7 Metode MUSLE MUSLE merupakan modifikasi dari model penduga erosi Universal Soil Loss Equation (USLE) yang merupakan model empiris yang dikembangkan di Pusat Data Aliran Permukaan dan Erosi Nasional, Dinas Penelitian Pertanian, Departemen Penelitian Amerika Serikat (USDA) bekerja sama dengan Universitas Purdue pada tahun 1954. Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dibuat
8
model penduga erosi dengan menggunakan data curah hujan , tanah, topografi, dan pengelolaan lahan. Secara deskriptif model USLE di formulasikan sebagai berikut (Wischmeir dan Smith 1978 diacu dalam Asdak 1995: A = R K L S C P………………………………………………………………...(1) dimana : A
= erosi (ton/ha/thn)
R
= faktor erosivitas hujan
K
= faktor erodibilitas tanah
L
= faktor kelerengan
S
= faktor kemiringan lereng
C
= faktor penggunaan lahan
P
= faktor konservasi tanah
disamping digunakan sebagai model penduga erosi wilayah, model tersebut juga digunakan sebagai landasan pengambilan kebijakan pemilihan teknik konservasi dan air yang akan diterapkan, walaupun ketepatan pengunaan model tersebut masih diragukan, hal ini disebabkan karena model USLE hanya dapat memprediksi rata-rata kehilangan tanah dari erosi lembar dan erosi alur, tidak mampu memprediksi pengendapan sedimen pada suatu lanskap dan tidak menghitung hasil sedimen dari erosi parit, tebing sungai dan dasar sungai. Berdasarkan
beberapa
kelemahan
tersebut,
model
erosi
USLE
disempurnakan menjadi RUSLE (Revised-USLE) dan Metode MUSLE (Modified USLE). Perbedaan yang mendasar pada metode USLE dan MUSLE terletak pada penggunaan faktor energi hujan sebagai pemacu penyebab terjadinya erosi. Metode MUSLE digunakan sebagai penduga erosi setiap kejadian hujan sedangkan USLE digunakan untuk pendugaan erosi tahunan. Pendugaan Metode MUSLE pernah dilakukan pada beberapa penelitian sebelumnya yakni penelitian yang dilakukan oleh Sahayana (2010) di Sub-DAS Cilebak Cirasea Kabupaten Bandung dan oleh Farid (2010) di Sub-DAS Cibengang, Kabupaten Garut . Erosi yang terjadi di Sub-DAS Cilebak Cirasea sebesar 4,42 ton/ha/tahun sedangkan yang Erosiyang terjadi di Sub-DAS Cibengang sebesar 364,48 ton/ha/tahun.