BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Tomat Tanaman tomat (Solanum lycopersicum) termasuk ke dalam famili Solanaceae. Tanaman ini berasal dari daerah Andean, Amerika Selatan yang meliputi wilayah Chili, Ekuador, Bolivia, Kolumbia dan Peru. Sebagaian besar tomat spesies liar tersebar merata di daerah tersebut. Berdasarkan bukti-bukti arkeologi yang mendalam seperti keragaman tipe, kegunaan, kelimpahan namanama lokal semua menunjukan bahwa tomat didomestikasi di Mexico, di daerah di luar asalnya, dan kemungkinan besar nenek moyang tomat adalah tomat cherry primitif (Lycopersicon esculentum var. cerasiforme (Dunal) Gray) (Opena & Vossen, 1994). Tomat diperkenalkan ke Eropa dalam stadium domestikasi yang sudah cukup maju. Tomat dikonsumsi segar dalam salad, saus dan sebagai bumbu sup, dan hidangan daging atau ikan. Tomat juga bisa dijadikan permen, buah kering dan juga wine (Opena & Vossen, 1994). Klasifikasi tomat menurut Keng (1978) adalah sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta
Class
: Dicotyledoneae
Ordo
: Tubiflorae
Familia
: Solanaceae
Genus
: Lycopersicum
Spesies
: Lycopersicum esculentum Mill.
6
7 Sinonimnya tanaman ini menurut Ovena & Vossen (1994): Solanum lycopersicum L., Lycopersicon lycopersicum (L.) Karst. Tomat memiliki komposisi zat yang cukup lengkap dan baik bagi tubuh. Menurut Wahyudi (2010) tomat banyak mengandung vitamin C dan vitamin A yang bermanfaat untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Warna merah pada tomat lebih banyak mengandung lycopene, yaitu suatu zat antioksidan yang dapat menghancurkan radikal bebas dalam tubuh akibat rokok, polusi, dan sinar ultraviolet. Lycopene berguna dalam meningkatkan kemampuan kulit untuk melindungi dari sinar UV yang berbahaya (BBC News, 2008). Sebuah studi yang dilakukan oleh para peneliti di Manchester dan Newcastle University mengungkapkan bahwa tomat dapat melindungi kulit terhadap sinar matahari dan membantu menjaga kulit tampak muda (Maccrae, 2008). Tanaman tomat ditanam sebagai tanaman buah di ladang, pekarangan, atau ditemukan liar pada ketinggian 1 -1600 m dpl. Tanaman ini tidak tahan hujan, sinar matahari terik, serta menghendaki tanah yang gembur dan subur. Terna setahun ini tumbuh tegak atau bersandar pada tanaman lain, tinggi 0,5-2,5 m, bercabang banyak atau berambut kasar warnanya hijau keputihan. Daun majemuk menyirip, letaknya berseling, bentuknya bulat telur sampai memanjang, ujung runcing, pangkal membulat, helaian daun yang besar tepinya berlekuk, helaian daun yang lebih kecil tepinya bergerigi, panjang 10-40cm, warna hijau muda. Bunga majemuk, berkumpul dalam rangkaian berupa tandan, bertangkai, mahkota berbentuk bintang, warnanya kuning (Gambar 2.1A). Buahnya buah buni, berdaging, kulitnya tipis licin mengkilap, beragam dalam bentuk maupun
8 ukurannya (Gambar 2.1B), warnanya kuning atau merah. Bijinya banyak, pipih, warnanya kuning kecoklatan (Fitriani, 2012).
A
B
Gambar 2.1 A. Tanaman tomat dengan bunganya, B. Buah tomat (Sumber: koleksi pribadi 2013). Tomat dibedakan menjadi dua varietas botani yaitu: var. cerasiformae (Dunal) Gray, dengan diameter buah berukuran 1,5 - 3 cm, dan var. esculentum dengan diameter buah berukuran > 3 cm. Ada banyak kultivar tomat yang diklasifikasikan dengan berbagai cara, misalnya menurut: ukuran buah: bulat kecil (cherry, 30 g, ‘Money maker’, 80 g, sedang (120-150 g), besar (> 200g); bentuk buah: bulat, bulat telur dan memanjang (‘San marzano’) atau flat ('Marmande'); warna: merah, pink, oranye, kuning; pemanfaatan: untuk pasar segar (konsumsi langsung) atau pengolahan. Banyak petani di Asia tenggara masih menggunakan kultivar lokal. Sebagai contoh di Jawa Barat menggunakan kultivar ‘Gondol’, yaitu kultivar yang terkenal hidup di dataran tinggi, kemungkinan keturunan dari kultivar import ‘San Marzano’ yang mempunyai rasa enak, toleran terhadap penyakit busuk daun dan penyakit lainnya. Kultivar ini telah digantikan oleh
9 kultivar hibrida dari Taiwan, meski dari rasa agak kurang tetapi kapasitas hasil yang tinggi dan tahan dari kerusakan selama pengangkutan. Kultivar tomat yang ada di Indonesia adalah ‘Ratna’, ‘Intan’, dan ‘Berlian’ adalah kultivar hasil seleksi dari AVRDC (Asian Vegetable Research Development Center) yaitu kultivar yang tahan terhadap bakteri penyebab layu dan cocok pada dataran rendah (Opena & Vossen, 1994) . Sifatnya yang multiguna dan banyak dicari, membuat permintaan tomat semakin tinggi. Konsumsi tomat per kapita per tahun pada tahun 2010 sebesar 1,94 kg dan pada tahun 2011 sebesar 2,09 kg (BPS, 2012). Para petani selalu berusaha untuk meningkatkan produksi tanaman tomat. Namun dalam rangka meningkatkan produksi tanaman tomat sering terganjal adanya kendala seperti: kondisi iklim, hama dan penyakit.
2.2 Penyakit Layu Fusarium pada Tanaman Tomat Penyakit layu pada tomat sebelumnya dikenal orang disebabkan oleh bakteri, tetapi setelah tahun 1970 penyakit layu yang disebabkan oleh jamur Fusarium baru mendapat perhatian di Indonesia. Penyakit layu Fusarium menimbulkan kerugian yang cukup besar pada tanaman tomat. Gejala penyakit tersebut adalah pucatnya tulang-tulang daun, terutama daun bagian atas, kemudian merunduknya tangkai daun dan akhirnya tanaman menjadi layu. Kadang-kadang kelayuan didahului dengan menguningnya daun terutama daun sebelah bawah. Tanaman menjadi kerdil dan merana tumbuhnya (Gambar 2.2). Jika tanaman yang sakit itu dipotong dekat pangkal batang akan terlihat suatu cincin coklat pada berkas pembuluh. Tanaman dengan gejala berat, gejala penyakit juga bisa terjadi
10 pada tanaman sebelah atas. Pada tanaman yang sangat muda penyakit dapat menyebabkan matinya tanaman secara mendadak, karena pada pangkal batang terjadi kerusakan atau kanker yang menggelang, sedangkan tanaman dewasa yang terinfeksi sering dapat bertahan terus dan membentuk buah tetapi hasilnya sangat sedikit dan buahnya kecil-kecil. Jamur Fusarium termasuk patogen tular-tanah. Jika tanah sudah terkontaminasi patogen maka penyakit tersebut selalu ada hampir setiap musim tanam (Agrios, 2005; Semangun, 2007).
A
B
Gambar 2.2. Tanaman tomat yang menunjukkan gejala penyakit layu Fusarium, (A) daun menguning dan layu, (B) warna coklat pada berkas pembuluh pangkal batang (sumber: koleksi pribadi 2013) Penyakit layu Fusarium pada tanaman tomat disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum f. sp. lycopersici. Sebaran geografis penyakit ini adalah: Afrika, Asia,
11 Amerika Utara dan Selatan, Australia, Eropa, India Barat. Ada beberapa isolat yang berbeda dalam morfologi, ciri dan sifat patogennya (Subramanian, 1970). Menurut Suhardi dan Bustaman (1979) jamur F. oxysporum f.sp. lycopersici diketahui mempunyai banyak ras fisiologi. Ras fisiologi yang paling banyak terdapat di Indonesia adalah ras 1, sedangkan ras 0 meskipun sedikit juga ada. Menurut Suhardi (1980) ras 1 terdiri atas 2 galur yaitu galur putih dan galur ungu. Galur putih mempunyai virulensi yang lebih tinggi daripada galur ungu. Jamur Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici menurut Alexopoulos dan Mims (1979) diklasifikasi ke dalam : Kingdom
: Myceteae
Divisi
: Amastigomycota
Class
: Deuteromycetes
Sub Class
: Hypomycetidae
Ordo
: Moniliales
Famili
: Tuberculariaceae
Marga
: Fusarium
Species
: Fusarium oxysporum
2.2.1 Morfologi jamur Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici Jamur Fusarium mempunyai 3 spora aseksual (konidia) yang pembentukkannya dan macam konidianya tergantung pada tempat tumbuh dan keadaan lingkungan. Ketiga jenis konidia tersebut adalah mikrokonidia, makrokonidia dan klamidospora. Mikrokonidia mempuyai 1 atau 2 sel, dan merupakan macam konidia yang paling banyak dihasilkan baik pada fase patogenase maupun
12 saprogenase. Makrokonidia mempunyai bentuk yang khas terdiri atas 3-5 septa melengkung seperti bulan sabit dan biasanya dihasilkan pada permukaan tanaman yang terserang lanjut (Agrios, 2005). Menurut Barnet dan Hunter (1998) bentuk makrokonidia seperti perahu. Klamidospora terdiri atas 1-2 septa, berbentuk bulat dan berdinding tebal, dihasilkan pada ujung atau bagian tengah miselium yang telah tua atau pada makrokonidia dengan diameter 5-15 µm, dan merupakan spora untuk bertahan pada lingkungan yang kurang baik. Pada awalnya miselium berwarna putih keruh (krem), kemudian menjadi kuning pucat, merah muda pucat sampai keunguan. Menurut Tombe (2010), bahwa klamidospora dapat bertahan di dalam tanah tanpa tanaman inang. Konidiofor jarang bercabang, tidak membentuk rantai, tanpa sekat, eliopssilindris, lurus-lonjong, pendek dan sederhana, berukuran 5-12 x 2,3-3,5 µm. Mikrokonidium mempunyai satu atau dua sel, terdapat dalam jumlah banyak, dan sering dihasilkan pada semua kondisi. Jenis spora ini banyak dijumpai di dalam jaringan tanaman terinfeksi. Sementara itu makrokonidium umumnya banyak dijumpai di permukaan tanaman yang mati karena infeksi jamur ini (Agrios 2005). Jamur F. oxysporum f.sp. lycopersici dapat tumbuh dengan baik pada medium dengan kisaran pH 3,6-8,4 dan suhu tanah optimum untuk perkembangan gejala penyakit layu Fusarium pada tanaman tomat adalah 28oC dengan kisaran suhu 21-33oC (Walker, 1957). Siklus hidup jamur Fusarium terdiri atas dua fase yaitu fase patogenase dan saprogenase (Gambar 2.3). Fase patogenase adalah fase dimana jamur hidup sebagai parasit pada tanaman inang yang masuk melalui luka pada akar dan berkembang di dalam jaringan tanaman. Fase saprogenase yaitu
13 hidup sebagai saprofit di dalam tanah dan pada sisa-sisa tanaman tomat, dan menjadi sumber inokulum bagi tanaman tomat lain. Patogen tersebut mampu menghasilkan enzim, toksin, polisakarida yang dapat menimbulkan penyakit bagi tanaman inang (Agrios, 2005). Patogen
menghasilkan
enzim
pektin-metil-esterase
(PME),
dan
depolimerase (DP) yang memecah pektin di dalam dinding sel pembuluh kayu yang juga masuk dalam dinding parenkim silem. Fragmen asam pektat masuk ke dalam pembuluh kayu dan membentuk massa koloid yang dapat menghambat pembuluh. Warna coklat pada berkas pembuluh disebabkan oleh fenol yang terlepas dan masuk ke dalam pembuluh serta mengalami pemolimeran menjadi melamin yang berwarna coklat oleh sistem fenol oksidase tanaman. Bahan tadi diserap oleh pembuluh kayu yang berlignin, sehingga menyebabkan warna coklat (Semangun, 2007). Toksin yang dihasilkan oleh F. oxysporum adalah asam fusarat, dehidrofusarat, dan likomarasmin (Sastrahidayat, 1989). Toksin tersebut akan mengubah kelenturan selaput plasma tanaman, sehingga tanaman yang terinfeksi lebih cepat kehilangan air dibandingkan tanaman sehat. Jamur F. oxysporum f.sp. lycopersici dapat bertahan dalam tanah dan tanah yang sudah terkontaminasi sukar dibebaskan kembali dari jamur ini. Jamur melakukan
infeksi
akar terutama melalui luka-luka, lalu menetap dan
berkembang di berkas-berkas pembuluh yang menyebabkan pengangkutan air dan hara tanah terganggu dan menyebabkan tanaman menjadi layu. Menurut Walker (1952) jamur membentuk polipeptida, yang disebut likomarasmin, yang dapat
14 mengganggu permeabilitas membran plasma dari tanaman. Sesudah jaringan pembuluh mati, pada waktu udara lembab jamur akan membentuk spora yang berwarna putih keunguan pada akar yang terinfeksi. Jamur menginfeksi tanaman inangnya melalui bermacam – macam luka, misalnya luka yang terjadi karena pemindahan bibit, karena pembumbunan, atau luka karena serangga atau nematoda. Meskipun demikian jamur juga dapat mengadakan infeksi pada akar yang tidak mempunyai luka. Jamur dapat tersebar karena pengangkutan bibit, tanah yang terbawa angin atau air, atau oleh alat pertanian (Semangun, 2007).
Gambar 2.3 Siklus hidup jamur Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici penyebab penyakit layu Fusarium pada tanaman tomat (Sumber: Agrios, 2005)
15 2.2.2 Pengendalian penyakit layu Fusarium Pengendalian penyakit layu Fusarium belum berhasil dengan baik karena patogen dapat bertahan lama di dalam tanah pada fase saprogenase yaitu hidup saprofit di dalam tanah pada sisa-sisa tanaman tomat menjadi sumber inokulum bagi tanaman tomat yang lain. Pengendalian penyakit dengan menggunakan fungisida sintetik dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan seperti resistensi patogen, pencemaran lingkungan, dan matinya organisme non target (Oka, 1995). Residu fungisida sintetis bisa berbahaya bagi hewan maupun manusia. Keracunan akibat kontak langsung dengan fungisida sintetik dapat terjadi pada saat aplikasi (Djunaedy, 2009). Penggunaan pestisida sintetik menimbulkan dampak pada kesehatan petani karena menurunnya aktivitas acetylcholinesterase darah pada kategori ringan sampai sedang (Sulistiyono et al., 2008). Menurut Afriyanto (2008) bahwa hadirnya insektisida organofosfat dan karbamat di dalam tubuh akan menghambat aktifitas enzim asetilkholinesterase, sehingga terjadi akumulasi substrat (asetilkholin) pada sel efektor. Keadaan tersebut menyebabkan gangguan sistem syaraf yang berupa aktifitas kholinergik secara terus menerus akibat asetilkolin yang tidak terhidrolisis. Gangguan ini dikenal sebagai gejala keracunan. Pengendalian secara hayati terhadap penyakit layu Fusarium pada tanaman tomat telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Menurut Sugito et al. (2010) bahwa populasi Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici di dalam tanah mengalami penurunan akibat penggunaan bahan nabati seperti ekstrak daun
16 nimba, daun cengkeh, kulit jati, kulit pinus, dan daun ketapang. Penurunan populasi sebesar 79,22 % terjadi pada perlakuan ekstrak daun cengkeh yang diberikan pada 4 minggu sebelum tanam. Menurut Kristalisasi (2007) bahwa isolat Trichoderma sp. yang berasal dari rizosfer tanaman tomat mampu menyebabkan lisisnya miselium F. oxysporum f.sp. lycopersici. Pupuk kandang ayam dan lamtoro merupakan substrat terbaik dalam mendukung peningkatan populasi dan aktivitas antagonistik Trichoderma sp. dalam menekan penyakit layu tanaman tomat. Pertumbuhan awal tanaman tomat yang terbaik diperoleh pada media yang mengandung lamtoro dan pupuk kandang ayam yang diinokulasi Trichoderma sp. Menurut Dwivedi dan Enespa (2013) bahwa aktifitas antijamur dari spesies Aspergillus spp., Penicillium spp. dan Trichoderma memainkan peran penting dalam mengendalikan jamur patogen tular tanah dari jamur F. solani dan F. oxysporum f. sp. lycopersici. Spesies Aspergillus adalah antagonis terbaik diikuti oleh Penicillium spp. dan Trichoderma spp. untuk
mengendalikan
penyakit layu pada tanaman tomat dan tanaman terung. Penggunaan agen hayati ini tidak hanya aman bagi petani dan konsumen, tetapi juga ramah lingkungan, mudah dalam memproduksi dan mudah dalam formulasi. Susanna et al. (2010) menyatakan bahwa semakin tinggi dosis dan frekuensi pemberian kascing, maka masa inkubasi semakin lama (19 hari), persentase jumlah tanaman layu berkurang, hasil tanaman tomat meningkat. Dosis dan frekuensi kascing yang efektif dalam pengendalian penyakit layu Fusarium pada tanaman tomat adalah 200 g per tanaman dengan dua kali aplikasi.
17 2.3 Ekstrak Tumbuhan sebagai Fungisida Nabati Ekstrak tanaman
yang diperoleh dari berbagai bagian tanaman
mengandung banyak senyawa dengan sifat antimikroba. Senyawa ini dapat diperoleh dari akar, kulit, biji, tunas, daun, bunga dan buah. Beberapa penelitian melaporkan bahwa sifat anti jamur ekstrak rimpang lengkuas (Alpinia galanga) pada media PDA mampu menghambat pertumbuhan jamur Fusarium oxysporum (Suprapta et al., 2005; Suprapta dan Khalimi, 2009). Ekstrak rimpang lengkuas (Alpinia galanga) dan ekstrak daun pepaya (Carica papaya) mempunyai aktivitas anti jamur terhadap Ceratocystis sp. (Suprapta et al., 2001). Senyawa fenolik merupakan produk metabolisme skunder pada tumbuhan. Contoh senyawa fenolik yaitu fitoaleksin, asam kafein, asam khlorogenik, skopoletin bersifat toksik bagi patogen. Tanin merupakan senyawa fenolik toksik terhadap patogen, senyawa ini terdapat pada tanaman yaitu tomatin (antijamur pada tomat), avenacin (antijamur pada oat), senyawa tersebut dapat mematikan atau menghambat kolonisasi patogen (Sinaga, 2006). Fitoaleksin merupakan senyawa toksik yang dilepaskan oleh tanaman di tempat terjadinya infeksi. Fitoaleksin termasuk kedalam beberapa jenis senyawa antara lain: terpenoid, glikokortesoid, dan alkaloid yang merupakan kelompok senyawa yang umumnya bersifat lifofilik dan spesifik dalam aktivitas antimikrobanya (Morrissey et al., 1999). Flavonoid adalah hasil metabolit sekunder tanaman yang mengandung inti C-15 phenylpropanoid, yang akan mengalami alkilasi, oksidasi dan glikosilasi. Senyawa ini memiliki aktivitas antioksidan dan juga menghambat estrogenic,
18 antiviral, antibakteria. Proses biosintesis flavanoid merupakan proses yang panjang. Biosintesis flavanoid selain terjadi pada tumbuhan dapat pula terjadi pada khamir (Hidayat, 2013). Buah terung pirus (Cyphomandra betacea (Cav.) Sendtn.) mengandung senyawa flovanoid yang termasuk dalam golongan flavono-glikosida. Senyawa tersebut bersifat sebagai antibakteri (Ellizar & Maaruf, 2009). Ekstrak soxhletasi dan ekstrak maserasi daun mimba (Azadirachta indica) mengandung golongan senyawa flavonoid, tannin, dan saponin. Ekstrak daun mimba mempunyai aktivitas antijamur terhadap jamur Candida albicans (Puspitasari et al., 2009). Kumarin merupakan golongan senyawa fenilpropanoid yang memiliki cincin lakton lingkar enam dan memiliki inti 2H-l-benzopiran-2-on dengan rumus molekul C9H5O2 (Murray et al., 1982). Kumarin dan turunannya banyak memiliki aktifitas biologis diantaranya dapat menstimulasi pembentukan pigmen kulit, mempengaruhi kerja enzim, anti koagulan darah, anti mikroba dan menunjukkan aktifitas menghambat efek karsinogen (Syarif dan Amir, t.t.). Menurut Isnawati et al. (2008) bahwa senyawa hasil isolasi yang terkandung di dalam herba Artemisia L. merupakan senyawa golongan kumarin dengan nama 2H-l-Benzopyran-2one,7-hydroxy-6-methoxy atau dengan nama lain skopoletin. Menurut Widayat dan Sutarto (2012), bahwa tanaman Purwoceng atau Pimpinella alpina Kds. merupakan tanaman obat langka yang berkhasiat sebagai afrodisiak. Tanaman tersebut mengandung senyawa kumarin. Senyawa kumarin dalam industri dimanfaatkan untuk bahan aditif makanan dan parfum.
19 Kuinon merupakan senyawa dengan cincin aromatik dengan substitusi 2 keton yang dicirikan dengan sifatnya yang sangat reaktif. Senyawa ini berwarna, yang bertanggung jawab atas terjadinya reaksi browning pada potongan buah atau buah atau sayur yang terluka. Kuinon diketahui membentuk kompleks secara irreversible dengan asam amino nucleophillic di dalam protein. Oleh Karena itu kuinon menonaktifkan protein. Kuinon berikatan dengan permukaan adhesions, polipeptida dinding sel, enzim yang terikat dengan membran yang membentuk kompleks yang menonaktifkan enzim. Pada kelompok anthrakuinon seperti aglycons, alizarin dan emodin yang berasal dari Rubia tinctorum dan Rhamus frangula dilaporkan memiliki aktifitas antijamur. Naphtkuinon kigelinone, isopinatal, dehydro-alpha-lapachone dan laphacol dari Kigelia pinnata dilaporkan memiliki aktifitas antijamur. Senyawa baru 11-hydroxy-16-hentriacontanone yang diisolasi dari Anona squamosa dilaporkan sebagai senyawa antijamur yang potensial (Arif, et al. 2009). Saponin merupakan senyawa dalam bentuk glikosida yang tersebar luas pada tumbuhan tingkat tinggi. Saponin membentuk larutan koloidal dalam air dan membentuk busa yang mantap jika dikocok dan tidak hilang dengan penambahan asam (Harborne, 1996). Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat dan menimbulkan busa bila dikocok dengan air. Beberapa saponin bekerja sebagai antimikroba (Robinson, 1995). Menurut Mardiningsih et al. (2010), bahwa ekstrak tanaman rerak atau Sapindus rarak mengandung senyawa saponin yang efektif mengendalikan populasi Aphis gossypii yang merupakan salah satu organisme yang mengganggu tanaman Nilam. Sa’diyah et al.(2013) menyatakan
20 bahwa ekstrak daun tanaman Bintaro atau Cerbera odollam yang mengandung saponin efektip menghambat perkembangan ulat Grayak (Spodoptera litura F.) yang menyerang tanaman Sawi. Senyawa Santon merupakan senyawa yang memiliki aktivitas biologi seperti antibakteri, antioksidan, sitotoksik, dan antimalaria. Senyawa ini dapat diisolasi dari tanaman genus Garcinia (manggis-manggisan). Genus Garcinia diketahui kaya dengan senyawa golongan Santon teroksigenasi, Santon terprenilasi, dan benzofenon poliisoprenilasi (Muharni, 2010).
Menurut
Purwaningsih dan Ersam (2007) bahwa batang tanaman manggis (Garcinia tetranda) mengandung senyawa Santon yaitu 1,3,4,5,8-pentahidroksiSanton dan 1,3,6,7-tetrahidroksiSanton. Kedua senyawa mempunyai aktivitas yang tinggi terhadap radikal bebas 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil. Muharni et al. (2009) menyatakan bahwa telah ditemukan suatu senyawa Santon yaitu Santon diprenilasi dari ekstrak etil asetat kulit batang tumbuhan Garcinia nigrolineata yaitu 1,7-dihidroksi-3-metoksi-4-(3metilbut-2-enil), 6’,6’–dimetilpirano (2’,3’: 5,6) Santon dengan rumus molekul C18H14O6. Senyawa terpenoid adalah senyawa terpen yang mengalami oksidasi. Zat inilah penyebab terjadinya bau wangi, harum atau bau yang khas yang terjadi pada tumbuh- tumbuhan. Pemanfaatan senyawa ini sangat penting artinya sebagai dasar wewangian alam dalam industri parfum dan begitu juga untuk pemanfaatan rempah-rempah serta sebagai senyawa citarasa didalam industri makanan maupun industri minuman (Harborne, 1996).
21 Herba meniran (Pyllanthus niruri Linn.) mengandung senyawa terpenoid yang bersifat sebagai anti bakteri terhadap bakteri Escherichia coli dan bakteri Staphylococcus aureus (Gunawan et al.,2008). Beberapa contoh senyawa terpen yang sangat aktif adalah: eugenol, timol dan carvacrol (Martinez, 2012). Cengkeh merupakan sumber eugenol yang paling potensial dikarenakan kandungan eugenolnya yang cukup tinggi yaitu 70-96% (Towaha, 2012). Menurut Manohara dan Noveriza (1999) dan Wiratno (2009), eugenol cengkeh dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pestisida nabati, mengingat beberapa hasil penelitian menunjukkan senyawa
eugenol efektif mengendalikan nematoda,
jamur patogen, bakteri dan serangga hama. Menurut Noviansari et al. (2013) bahwa senyawa eugenol yang terdapat pada daun cengkeh dapat diturunkan menjadi senyawa metil eugenol. Senyawa tersebut kemudian diturunkan lebih lanjut menjadi senyawa alkohol primer 3-(3,4 dimetoksi fenil)-1-propanol melalui reaksi hidroborasi-oksidasi menggunakan reagen NaBH 4-I2 dalam suasana alkalis pada suhu 45oC. Selanjutnya dilakukan uji aktivitas antibakteri terhadap bakteri gram negatif Eschericia coli ATCC (American Type Culture Collection) 25922 pada berbagai konsentrasi yaitu 20, 30 dan 40%. Hasil uji senyawa turunan eugenol yaitu alkohol primer 3-(3,4 dimetoksi fenil)-1-propanol pada konsentrasi 40% lebih efektif menghambat pertumbuhan bakteri Eschericia coli ATCC 25922 dengan diameter hambat sebesar 1,9 cm. Kayu manis (Cinnamomum zeylanicum J. Presl.) juga mengandung senyawa volatil eugenol yaitu hanya sebesar 8% sedangkan sinamaldehid sebesar
22 75%.
Gabungan senyawa eugenol dan sinamaldehid pada kayu manis dapat
menghambat spora Bacillus anthracis sedangkan senyawa eugenol pada cengkeh dapat menghambat perkecambahan spora B. subtilis secara in vitro. Kayu manis adalah rempah-rempah yang paling efektif, menghambat tiga spesies Penicillium selama lebih dari 21 hari. Cengkeh mempunyai kandungan senyawa anti jamur, yaitu menghambat pertumbuhan spesies jamur Aspergillus dan Penicillium selama lebih dari 21 hari pada suhu 25ºC (Davidson, 1997). Steroid dapat diartikan sebagai kelas senyawa organik bahan alam yang kerangka strukturnya terdiri atas androstan (siklopentanofenantren), mempunyai empat cincin terpadu. Senyawa ini mempunyai efek fisiologis tertentu. Sebagian besar dari steroid mempunyai sifat sebagai berikut: mengandung gugus fungsi oksigen (sebagai = O atau OH) pada C3, mengandung gugus samping pada C17, banyak yang mengandung ikatan rangkap C4 – C5 atau C5 – C6 (Sari, 2005). Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Alkaloid merupakan senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik (Harborne, 1996). Alkaloid bermanfaat di bidang kesehatan antara lain adalah untuk memacu sistem saraf, menaikkan atau menurunkan tekanan darah dan melawan infeksi mikrobia (Solomon, 1980). Menurut Arif et al. (2009) alkaloid seperti 2-(3,4dimethyl-2,5-dihydro-1H-phyrrol-2-yl)-1-methylethyl pentanoate yang diisolasi dari tumbuhan Datura metel menunjukkan aktivitas antijamur terhadap Aspergillus dan Candida. Antofine dari Ficus septica, sampangine dari kulit
23 batang Cananga odorata, cycleanine, cocsoline dan N-desmethylcycleanine dari tanaman Albertisia villosa adalah alkaloid yang bersifat sebagai anti jamur. Senyawa glukosinolat banyak terdapat pada jaringan kubis (Brassica olearacea). Hidrolisis glukosinolat menghasilkan beberapa produk, terutama tiosianat. Produk hidrolisis ini diketahui mempunyai aktivitas biosida yang luas, seperti insektisida, nematisida, fungisida dan fitotoksis (Kirkegaard & Sarwar, 1998). Lebih lanjut dilaporkan pemberian pupuk hijau dari kubis dapat menekan hama dan penyakit di dalam tanah. Diperkirakan mikoriza mampu mentoleransi sifat fungisida kompos limbah kubis dan bibit kakao tahan terhadap sifat fitotoksisnya (Hastuti et al., 2007). Menurut Yulianti dan Supriadi (2008), glukosinolat (GSL) berasal dari tanaman famili kubis-kubisan (Brassicaceae). Ada sekitar 350 genera dan 2500 spesies famili Brassicaceae yang diketahui mengandung senyawa GSL. GSL merupakan senyawa yang mengandung nitrogen dan belerang hasil metabolit sekunder tanaman. GSL akan dihidrolisis apabila terjadi kontak dengan enzim mirosinase, biasanya melalui pelukaan jaringan tanaman. Hasil hidrolisis adalah beberapa senyawa, baik yang bersifat volatil maupun tidak, misalnya isotiosianat (ITS), ion tiosianat (SCN-), nitril, epitionitril, indolil alkohol, amin, sianid organik dan oksazolidinetion. Senyawa yang dihasilkan dari proses hidrolisis tergantung pada suhu, pH, dan jenis tanah. Senyawa ITS mampu mengendalikan patogenpatogen tular tanah. Hasil skrining fitokimia daun sirih merah (Piper betle Linn.) diperoleh senyawa glikosida, triterpenoid/steroid, flavonoid, tanin, dan anthrakuinon.
24 Ekstrak etanol mempunyai aktivitas antimikroba lebih kuat daripada fraksi etanol dan fraksi n-heksan, sedang fraksi air tidak aktif. Daya hambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan jamur Candida albicans berturut-turut diperoleh kadar hambat minimum (KHM) dari ekstrak etanol 80% (2,5%, 2,5%, dan 10%), fraksi n-heksan (20%, 15%, dan 10%), sedang fraksi etilasetat (2,5%, 1%, 2,5%). Ekstrak etanol 80% memberikan daya antimikroba tertinggi pada bakteri Escherichia coli dengan KHM 2,5% (14,3 mm), fraksi etilasetat pada bakteri Staphylococcus aureus KHM 1% (11,5 mm) dan Candida albicans KHM 2,5% (11.4 mm). Hasil kromatografi lapis tipis (KLT) terhadap ekstrak etanol 80%, dan fraksi n-heksan dengan fase gerak n-heksan–etilasetat diperoleh 2 senyawa terpenoid/steroid dengan penampak noda Lieberman-Burchat (LB), sedang dengan kloroform– metanol (7:3), dan toluen-etilasetat (6:4) dengan penampak noda FeCl3 diperoleh 4 senyawa fenol (tanin dan flavonoida) (Reveny, 2011). Ekstrak metanol alga merah Gelidium latifolium mampu menghasilkan zona hambat terhadap Candida albicans, sedangkan ekstrak n-heksan dan aseton tidak menghasilkan zona hambat. Zona hambat tertinggi terdapat pada konsentrasi 12 mg/ml yaitu sebesar 8 mm. Hasil uji skrinning fitokimia menunjukkan bahwa terdapat senyawa alkaloid, triterpenoid, dan steroid pada ekstrak metanol. Gelidium latifolium berpotensi sebagai antijamur alami, antijamur yang dihasilkan bersifat polar (Lutfiyanti et al., 2012). Liu et al.(2009) menyatakan fraksinasi ekstrak kasar dari seluruh tanaman Macleaya cordata R. Br. menyebabkan terisolasi empat alkaloid, berdasarkan
25 data fisikokimia dan spektrometri mereka diidentifikasi sebagai: 1.sanguinarin, 2.chelerythrin,
3.protopine
dan
4.alpha-allocryptopin. Senyawa
1
dan
2
menunjukkan aktivitas antijamur yang signifikan terhadap enam jamur uji dengan konsentrasi penghambatan median (IC50) berkisar 0,47-6,13 µg/ml. Senyawa 1 adalah yang paling efektif dengan IC50 sebesar 0,47 µg/ml pada Rhizoctonia solani. Selanjutnya, senyawa 1 dan 2 juga menunjukkan aktivitas antibakteri yang kuat, dengan nilai IC50 berkisar 5,01-11,3 µg/ml, dan konsentrasi hambat minimum (MIC) berkisar 8,0-32,0 µg/ml. Doltsinis et al. (2006) melaporkan bahwa kemanjuran Milsana ® VP 1999 dan 2000 (ekstrak tanaman Reynoutria sachalinensis), diketahui menyebabkan ketahanan terhadap penyakit embun tepung pada mentimun, diuji terhadap Leveillula taurica (Im) Arn. pada tomat rumah kaca. Uji laboratorium menunjukkan bahwa Milsana ® (VP 1999) memiliki efek langsung pada perkecambahan konidia. Secara keseluruhan, hasil menunjukkan bahwa Milsana ® dapat memainkan peranan penting dalam manajemen penyakit embun tepung dalam produksi tomat organik. Timorex Gold merupakan contoh fungisida nabati yang telah dijual di pasar. Fungisida nabati ini, dibuat dari ekstrak tanaman Melaleuca alternifolia dikembangkan untuk pengendalian jamur yang menyerang tanaman. Kemanjuran yang telah terbukti dalam berbagai tanaman dan penyakit. Pengendalian yang efektif pada penyakit: embun tepung, embun berbulu halus, hawar awal, busuk daun, hitam Sigatoka. Tanaman yang telah diuji seperti: anggur, tomat, mentimun, selada, pisang. Timorex gold memiliki aktivitas sebagai pencegahan dan
26 pengobatan atas: perkecambahan spora in vitro, perkecambahan miselium jamur, sporulasi pada jaringan yang terinfeksi, dan penindasan pada jaringan yang terinfeksi jamur (Reuveni, 2010).
2.4 Tanaman Kayu Manis (Cinnamomum burmani Blume) 2.4.1 Ciri morfologi Tanaman Cinnamomum burmanni Blume atau di Indonesia dikenal dengan tanaman kayu manis, dalam bahasa Inggris disebut Cassia, Cinnamon, Indonesian cassia, Padang cassia, cassia vera. Tanaman ini termasuk kedalam suku Lauraceae. Kayu manis merupakan pohon dengan tinggi dapat mencapai 50 m, berbanir atau kadang-kadang tidak mempunyai banir. Pepagan atau jaringan terluar yang melapisi batang kayu, licin tidak bergaris dan berwarna coklat keabuabuan hingga coklat kemerahan. Pepagan mempunyai aroma yang sangat kuat, getahnya keputihan atau kuning muda. Daunnya agak berhadapan, berseling atau spiral, dengan titik-titik kelenjar dan berbau harum ketika diremas. Daun berbentuk lonjong – menjorong hingga melanset, merah muda kemudian berkembang menjadi hijau muda ketika muda dan akhirnya menjadi hijau (Gambar 2.4). Perbungaan di ujung atau di ketiak daun, bunga biseksual jarang yang berbunga tunggal. Buahnya berbiji 1, bulat telur, bijinya juga membulat telur (Ningsih, 2001). Kayu manis juga ditemukan di Malaysia. Di Indonesia kayu manis sudah ditanam luas di Jawa dan Sumatra. Kayu manis merupakan rempah-rempah tertua yang telah ditemukan di Mesir sejak abad 17 sebelum Masehi. Penjualan kayu
27 manis dilakukan sejak abad 15 – 16 ketika terjadi perdagangan oleh orang Eropa (Proseanet, 2013). Klasifikasi tanaman Kayu Manis menurut Tjitrosoepomo (1989) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Klas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Ranales
Familia
: Lauraceae
Genus
: Cinnamomum
Spesies
: Cinnamomum burmanni Blume
Gambar 2.4 Tanaman kayu manis (Cinnamomum burmanni Blume), daun warna merah muda waktu muda menjadi hijau muda akhirnya menjadi hijau (sumber: koleksi pribadi 2013)
28 2.4.2 Habitat Tanaman kayu manis terdapat di Indonesia hingga ketinggian 2000 m dari permukaan laut, tetapi daerah yang paling cocok pada ketinggian 500 – 1500 m dpl. Kelembaban yang dikehendaki berkisar antara 70-90%, dengan curah hujan 2000 – 2500 mm per tahun, dan suhu harian berkisar antara 19-23,3oC. Tanah yang cocok adalah tanah lempung berpasir yang subur dan sedang, kisaran pH tanah 4-6 dapat menghasilkan kulit kayu yang terbaik (Ningsih, 2001).
2.4.3 Manfaat Kulit kering kayu manis pada 3 jenis kayu manis seperti Cinnamomum burmanni, C. cassia, C. loureirii mempunyai kegunaan yang sama yaitu sebagai penyedap makanan baik secara domestik maupun industri. Minyak kulit kayu manis juga digunakan dalam pembuatan sabun dan parfum. Kayu manis yang terdapat di Cina digunakan dalam pembuatan wewangian, bumbu, dan sebagai pencampur dalam pembuatan minuman cola. Bubuk kulit kayu manis terdaftar dalam Pharmacopoiea Herba Inggris sebagai obat khusus untuk pencernaan yang terganggu atau sakit perut dengan mual. Dalam Phytomedicine Eropa minyak kayu manis (0,05-0,2 g per hari) digunakan dalam teh untuk anti bakteri dan membunuh jamur (Dao et al.,1999) . Di Indonesia kayu manis ini juga dipakai untuk pohon pelindung jalan dan peneduh. Akhir-akhir ini banyak penelitian menguraikan pentingnya minyak kayu manis. Di Malaysia telah digalakkan penggunaan kayu manis untuk industri lokal yang dapat menaikkan pendapatan petani. Penelitian selanjutnya untuk penggunaan minyak kayu manis masih diperlukan sehingga dapat terungkap
29 apakah minyak dari jenis ini yang diperoleh dari daun dan ranting dapat digunakan untuk bahan baku energi alternatif (Proseanet, 2013). Menurut Rachma (2012) bahwa kayu manis (Cinnamomum burmanni) mempunyai daya antijamur terhadap Candida albicans secara in vitro. Menurut Sukandar et al. (1999) bahwa aktivitas antibakteri minyak atsiri kulit batang kayu manis paling kuat terhadap Bacillus subtilis dengan konsentrasi hambat minimum 0,62% sedangkan aktivitas antijamur terkuat terhadap Candida albicans dengan konsentrasi hambat minimum 1%. Aktivitas antibakteri minyak atsiri daun paling kuat terhadap Salmonella typhimurium dan aktivitas anti jamur terkuat terhadap Candida albicans masing-masing dengan konsentrasi hambat minimum 2%. Aktivitas 1 ml minyak atsiri kulit kayu setara dengan 240,05 mg tetrasiklin terhadap Bacillus subtilis dan 549,54 mg nistatin terhadap Candida albicans. Sedangkan aktivitas 1 ml minyak atsiri setara dengan 96,95 mg tetrasiklin terhadap Salmonella typhimurium dan 446,68 mg nistatin terhadap Candida albicans.
2.4.4 Kandungan kimia Semua marga dari tanaman kayu manis adalah aromatik, dimana aromanya tergantung pada susunan substansinya. Beberapa kandungan senyawa kimia yang terdapat dalam kayu manis antara lain adalah sinnamaldehid, eugenol, safrol atau camphor, aceteugenol dan beberapa aldehid lain dalam jumlah kecil. Kandungan sinnamaldehid yang merupakan komponen utama dalam minyak kayu manis adalah berkisar antara 70-75% (Ningsih, 2001). Prasetya dan Ngadiwiyana (2006) menyatakan bahwa tiga senyawa penyusun minyak kulit batang kayu manis, yaitu
30 sinamaldehid dengan kelimpahan 91,18%, eugenol dengan kelimpahan 7,64% dan sinamil asetat dengan kelimpahan 1,18%. WHO (1999) menyatakan bahwa Cinnamomum cassia mengandung 90% sinamaldehid, sangat sedikit eugenol dan koumarin 0,40%. Senyawa kafeat dan sinamat telah dilaporkan memberikan khasiat sebagai inhibitor α-glukosidase. Penghambatan α-glukosidase pada usus mamalia mampu menurunkan kadar gula darah dari hasil metabolisme karbohidrat sehingga mampu menyebabkan pengurangan hiperglikemia postprandial untuk mencegah komplikasi kronis dari Diabetes Millitus (DM) (Ngadiwiyana et al., 2011) Minyak kayu manis juga mengandung senyawa-senyawa turunan fenol, hidrokarbon dan sejumlah kecil senyawa-senyawa turunan keton, alkohol dan ester. Disamping itu juga mengandung methyl-n-amyl keton yang juga sangat menentukan dalam flavour spesifik dari minyak kayu manis. Kulit batang kering mengandung minyak yang mudah menguap, tannin resin, protein, selulosa, pentosa, zat getah, lemak, kalsium oksalat dan mineral. Tanin menyebabkan rasa sepat pada tumbuhan (Harborne, 1996). Rasa dan bau tertentu terutama ditentukan oleh kandungan minyak aromatik yang mudah menguap pada batang. Minyak atsiri yang terkandung dalam kulit batang adalah 1-4%. Minyak kulit batang terutama mengandung sinamaldehid dan eugenol padat. Kandungan minyak atsiri pada kulit kayu manis yang berasal dari Indonesia berkisar antara 1,3 - 2,7% tergantung dari daerah asal dan umurnya. Minyak atsiri terdapat pada kulit batang dalam sel-sel diantara phloem (pembuluh tapis). Sifat minyak atsiri ini antara lain: kadar minyak: 3,45%; sinamaldehid: 80-90%; berat
31 jenis 25o/25oC : 0,9593; indeks bias 25oC : 1,5251; putaran optik: 19,5. Daun kulit kayu manis mengandung minyak atsiri sekitar 1,1% (berdasarkan daun kering) dan mengandung 23 komponen atau senyawa, selain itu mengandung banyak senyawa linaluol sehingga minyak tersebut banyak digunakan dalam meramu wangi-wangian. Juga mengandung sinamaldehid, alpha terphenol, coumarine, benzaldehid, alpa-pinen, betapinen, limonen, linaloal, beta kryofilen dan eugenol. Hasil dalam bentuk lain adalah oleoresin. Kandungan lainnya adalah pati, gula, zat warna, fixed oil dan lain-lain (Ningsih, 2001). Berdasarkan penelitian pendahuluan yang telah dilakukan terhadap 43 tanaman pekarangan untuk melihat daya hambat terhadap pertumbuhan jamur (anti jamur) secara in vitro pada media PDA, ditemukan bahwa ekstrak daun tanaman kayu manis mempunyai diameter daya hambatan sebesar 30 mm. Data ini menunjukan bahwa ekstrak daun kayu manis mempunyui daya hambat yang sangat kuat terhadap pertumbuhan jamur F. oxysporum f.sp. lycopersici (Gambar 2.5); (Lampiran 1).
A
B
Gambar 2.5 Daya hambat dari ekstrak daun kayu manis terhadap jamur Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici (A) dan kontrol(B) (sumber: koleksi pribadi 2013).