BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Akuntansi Pemerintahan
2.1.1 Pengertian Akuntansi Pemerintahan Akuntansi Pemerintahan merupakan bagian dari disiplin ilmu akuntansi yang berkembang di Indonesia akhir-akhir ini. Perkembangan akuntansi pemerintahan secara umum di seluruh negara pun sudah berkembang meskipun tidak sepesat perkembangan akuntansi bisnis. Dalam era globalisasi, reformasi, dan tuntutan transparansi yang semakin meningkat, peran akuntansi semakin dibutuhkan. Tidak saja untuk kebutuhan manajemen suatu entitas, tetapi juga untuk kebutuhan pertanggungjawaban (accountability) kepada pihak yang membutuhkan. Hal ini ditunjang oleh semakin berkembangnya teknologi informasi yang memungkinkan masyarakat untuk menilai dan membandingkan suatu entitas dengan entitas lain. Untuk itu, tuntutan penyediaan informasi termasuk informasi keuangan dan akuntansi semakin dibutuhkan. Saat ini terdapat perhatian yang lebih besar terhadap praktik akuntansi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah, lembaga pemerintah didalam menjalankan
pemerintahannya
memerlukan
jasa
akuntansi,
baik
untuk
meningkatkan mutu pengawasannya maupun untuk menghasilkan informasi keuangan yang akan digunakannya, jasa akuntansi ini dikenal dengan akuntansi
pemerintahan. Untuk dapat memahami pengertian yang lebih jelas mengenai akuntansi pemerintahan, disini penulis mengemukakan beberapa definisi akuntansi pemerintahan dari para ahli. Adapun pengertian Akuntansi Pemerintahan menurut Bachtiar Arif Muchlis (2002:3), : “Suatu aktivitas pemberian jasa untuk menyediakan informasi keuangan pemerintah berdasarkan proses pencatatan, pengklasifikasian, pengikhtisaran suatu transaksi keuangan pemerintah serta penafsiran atas informasi keuangan tersebut.” Sedangkan Akuntansi Pemerintahan menurut Revrisond Baswir (2000:7), mengemukakan : “Akuntansi pemerintah (termasuk di dalamnya akuntansi untuk lembagalembaga yang tidak bertujuan mencari laba lainnya), adalah bidang akuntansi yang berkaitan dengan lembaga pemerintahan dan lembagalembaga yang tidak bertujuan mencari laba.” Dengan demikian, secara umum pengertian tersebut tidak berbeda dengan akuntansi, dan perbedaan terletak pada jenis transaksi yang dicatat dan penggunaannya. Akuntansi pemerintah merupakan bidang akuntansi yang tidak bertujuan untuk mencari laba dan merupakan suatu disiplin akuntansi sebagai suatu keutuhan dan memisahkan berbagai karakteristik dengan akuntansi bisnis. Pengguna informasi keuangan pemerintah antara lain rakyat secara umum yang diwakili oleh legislatif, pemerintah sendiri, kreditor seperti Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF), Asian Development Bank (ADB), dan lainnya.
2.1.2
Karakteristik Akuntansi Pemerintah Karakteristik akuntansi pemerintah menurut Revrisond Baswir (2000:11),
terbagi atas beberapa karakteristik akuntansi pemerintah, sebagai berikut : “1. Karena keinginan mencari laba tidak inklusi di dalam usaha dan kegiatan lembaga pemerintahan, maka akuntansi pemerintah pencatatan Laba/Rugi tidak diperlukan. 2. Karena lembaga pemerintah tidak dimiliki secara pribadi sebagaimana halnya perusahaan, maka dalam akuntansi pemerintah pencatatan pemilikan pribadi juga tidak dilakukan. 3. Karena sistem akuntansi pemerintah suatu negara sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintah negara yang bersangkutan, maka bentuk akuntansi pemerintahan berbeda antara satu Negara dengan Negara lainnya, tergantung pada sistem pemerintahannya. 4. Karena fungsi akuntansi pemerintah adalah untuk mencatat, menggolong-golongkan, meringkas dan melaporkan realisasi pelaksanaan anggaran suatu negara maka penyelenggaran akuntansi pemerintah tidak bias dipisahkan dari mekanisme pengurusan keuangan sistem anggaran tiap-tiap negara.” Beberapa Karakteristik diatas adalah antara lain yang membedakan akuntansi pemerintah dengan akuntasi bisnis tetapi pada hakikatnya adalah sama, yaitu memberikan informasi keuangan atas transaksi keuangan yang dilakukan organisasi tersebut dalam periode tertentu dan posisi keuangan pada tanggal tertentu kepada para penggunanya dalam rangka pengambilan keputusan. Perlu diketahui pula penyelenggaraan akuntansi pemerintah senantiasa harus tunduk pada hukum / ketentuan-ketentuan yang berlakukan oleh suatu negara, maka hal ini turut pula memberi corak tersendiri terhadap keragaman praktik Akuntansi Sektor Publik.
2.2
Anggaran Anggaran sektor publik berisi rencana kegiatan yang dipresentasikan
dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter. Dalam bentuk paling sederhana, anggaran publik merupakan suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan, belanja, dan aktivitas. Anggaran berisi estimasi mengenai apa yang akan dilakukan organisasi dimasa yang akan datang dan memberikan informasi mengenai apa yang hendak dilakukan dalam beberapa periode yang akan datang. Untuk memahami pengertian yang lebih jelas mengenai anggaran, disini penulis mengemukakan definisi anggaran dari para ahli dan berbagai sumber. Adapun pengertian Anggaran menurut Mardiasmo (2002:61), menyatakan: “Anggaran merupakan pernyataan estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial”. Anggaran pemerintah daerah pada hakekatnya merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggungjawab. Dengan demikian anggaran harus benar-benar mencerminkan kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Pengertian lain dikemukakan oleh Revrisond Baswir (2000:26), : “Anggaran Negara/Daerah adalah suatu pernyataan tentang pemikiran pengeluaran dan penerimaan yang diharapakan akan terjadi dalam suatu periode dimasa depan, serta data dari pengeluaran dan penerimaan yang sungguh-sungguh terjadi dimasa lalu”.
Sedangkan anggaran Menurut Ghozali (2001:39), : “Anggaran adalah jenis rencana pemerintah yang menggambarkan rangkain tindakan/kegiatan yang dinyatakan dalam bentuk angka-angka Rupiah untuk jangka waktu tertentu”. Anggaran
menurut
Govermental
Accounting
Standards
Board,
mengemukakan: “A budget is plan of financial operation embodying an estimated of proposed expenditures for a given period of time and the proposed means of financing them”. Maksudnya adalah rencana operasional keuangan yang mencakup suatu estimasi pengeluaran yang diusulkan, dan sumber pendapatan yang diharapkan untuk membiayai dalam periode waktu tertentu. Menurut Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan anggaran merupakan: “Pedoman tindakan yang akan dilaksanakan pemerintah meliputi rencana pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan yang diukur dalam satuan rupiah, yang disusun menurut klasifikasi tertentu secara sistematis untuk satu periode”. Dari berbagai definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa anggaran Negara/daerah adalah suatu rencana dalam jangka tertentu, yang terdiri dari pengeluaran serta penerimaan yang sesungguhnya terjadi yang dinyatakan dalam bentuk angka-angka rupiah.
2.2.1. Kegunaan Anggaran Kegunaan angaran menurut Kusnadi (2002:40,41,42), dapat dibagi atas : “1. Kegunaan anggaran secara umum 2. Kegunaan anggaran bagi lembaga Negara”.
Kegunaan Anggaran Secara Umum 1. Memberi arah atas kegiatan atau aktivitas yang akan dikerjakan sehingga kegiatan yang dilakukan akan menjadi terarah kepada tujuan yang dikehendaki. 2. Akan menjadi alat koordinasi antar bagian yang melakuakan kegiatan. 3. Anggaran akan dapat mengharmoniskan atau mensinkronkan antar bagian yang ada dalam organisasi. 4. Anggaran akan dapat membatasi kegiatan atau aktivitas hanya pada yang penting atau perlu. Hal-hal yang dipandang kurang penting akan dapat dihindarkan atau ditangguhkan sebab setiap aktivitas pasti memerlukan dana (uang) sedangkan anggaran telah membatasi besaran dana (uang) untuk setiap aktivitas yang diperlukan. 5. Anggaran dapat dijadikan alat pengawasan organisasi. Dengan adanya anggaran maka setiap penyimpangan yang ada akan lebih mudah diukur sehingga berbagai tindakan perbaikan yang diambil. 6. Penggunaan metode, alat, tenaga kerja semakin efektif dan efesien sehingga kinerja organisasi akan semakin baik dan terarah sesuai dengan prinsip efektifitas dan efisien. 7. Memaksa semua pihak yang didalam organisasi, baik dari pimpinan puncak sampai kepada tenaga pelaksana untuk sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh anggaran. Kegunaan Anggaran Bagi Lembaga Negara Anggaran dapat digunakan sebagai alat untuk :
1. Pengendalian Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat) terhadap Eksekutif (Presiden). Jika anggaran telah di undangkan oleh legislatif maka estimasi pengeluaran yang ada didalam anggaran akan menjadi patokan tertinggi yang tidak boleh dilanggar oleh presiden. Pengeluaran pemerintah diatas batas anggaran tersebut dapat dijadikan sebagai adanya penyimpangan yang harus dipertanggungjawabkan dimuka Majelis Perwusyawaratan Rakyat (MPR). Kemudian akan memutuskan apakah akan menerima atau menolak laporan pertanggung jawaban Presiden. 2. Pengendalian Eksekutif (Presiden) terhadap bawahannya (Menteri, Gubernur, dan seterusnya). Presiden melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang di undangkan kemudian akan mengalokasikan kepada setiap departemen yang ada, kepada lembaga, lembaga tinggi negara dan lembaga tertinggi negara. Anggaran yang telah dialokasikan tersebut tidak boleh dilanggar (melampaui batas tertinggi), setiap waktu yang diperlukan Presiden akan memantau kinerja lembaga dan departemen yang ada dibawahnya. Dengan demikian maka bagi Presiden anggaran juga merupakan alat pengendalian.
2.2.2 Fungsi Anggaran Proses anggaran harus terkoordinasi dengan rapi, sehingga mampu untuk membiayai pembangunan. Fungsi anggaran bila bagi pemerintah berfungsi sebagai pedoman, maka bagi masyarakat anggaran negara berfungsi sebagai alat
pengawas baik terhadap kebijaksanaan yang dipilih pemerintah maupun terhadap realisasi dari kebijaksanaan tersebut. Menurut Indra Bastian (2001:80), terdapat tujuh fungsi anggaran yaitu; “1. Anggaran merupakan hasil akhir proses penyusunan rencana kerja. 2. Anggaran merupakan cetak biru aktivitas yang akan dilaksanakan dimasa mendatang. 3. Anggaran sebagai alat komunikasi intern yang menghubungkan berbagai unit kerja dan mekanisme kerja antar atasan dan bawahan. 4. Anggaran sebagai alat pengendalian unit kerja. 5. Anggaran sebagai alat motivasi dan persuasi tindakan efektif dan efesien dalam pencapaian visi organisasi. 6. Anggaran merupakan instrumen politik. 7. Anggaran merupakan instrumen kebijakan fiskal”.
2.2.3
Klasifikasi Anggaran Klasifikasi anggaran menurut Revrisond Baswir (2000:45), ditujukan
untuk keperluan-keperluan sebagai berikut : “1. Untuk memudahkan proses perumusan sasaran program yang hendak dilakukan. 2. Untuk memudahkan proses formulasi penerimaan dan pengeluaran secara kuantitatif. 3. Untuk memudahkan pelaksanaan anggaran. 4. Untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan program-program yang dibiayai dengan anggaran. 5. Untuk memudahkan pelaksanaan analisa ekonomi. 6. Untuk memudahkan pemeriksaan terhadap realisasi anggaran, dan 7. Untuk memudahkan evaluasi terhadap pencapaian sasaran-sasaran yang telah digariskan”. Sedangkan bentuk pengklasifikasiannya dalam garis besar menurut Revrisond Baswir (2000:46), dapat dibedakan berdasarkan beberapa pendekatan sebagai berikut : “ 1. Klasifikasi Organik dan Objek Klasifikasi organik dan objek sebenarnya merupakan dua bentuk pengklasifikasian anggaran yang berbeda, akan tetapi dalam praktik kedua bentuk pengklasifikasian ini hampir sama selalu dipakai
2.
3.
4.
5.
bersamaan. Dalam klasifikasi organik, anggaran dikelompokkan berdasarkan departemen atau lembaga Negara, masing-masing unit organisasi didalam pengklasifikasian. Klasifikais Fungsional Klasifikasi fungsional ini dikelompokkan menurut tugas-tugas yang sama sesuai dengan fungsi tertentu misalnya pengeluaran untuk pendidikan dijadikan satu kelompok. Klasifikasi Ekonomis Klasifikasi ekonomis ini untuk memberikan gambaran tentang kebijaksanaan pemerintah dibidang ekonomi. Klasifikasi berdasarkan Program Program pada dasarnya adalah kumpulan dari berbagai jenis kegiatan atau proyek karena itulah penyusunan dan pengelolaan anggaran dalam klasifikasi program lebih ditekankan pada penggelompokkan kegiatan dan proyek. Klasifikasi Terpadu Dalam praktik kerap kali dijumpai kombinasi dari berbagai metode klasifikasi yang ada, kombinasi tersebut biasa melibatkan dua atau lebih metode klasifikasi seperti klasifikasi berdasarkan untit organisasi dan jenis pengeluaran, klasifikasi berdasarkan fungsi dan karakteristik ekonomi, dan klasifikasi berdasarkan fungsi, unit organisasi, program, dan proyek”.
Dengan demikian, bila ditelusuri perkembangan pengklasifikasian anggaran di Indonesia, maka boleh dikatakan bahwa kegiatan ini baru secara resmi dimulai sejak tahun 1960, yaitu ketika anggaran di Indonesia dikelompokkan kedalam 4 (empat) kategori dengan klasifikasi unit organisasi dan jenis pengeluaran. Dalam perkembangan berikutnya, klasifikasi anggaran Indonesia secara berangsur-angsur dilengkapi dengan klasifikasi berdasarkan fungsi dan berdasarkan karakteristik ekonomi. Sehingga dapat dikatakan bahwa saat ini di Indonesia menganut klasifikasi terpadu.
2.2.4
Siklus Anggaran Anggaran digunakan untuk tujuan perencanaan, pengendalian, dan
evaluasi. Pada penggunaanya terdapat perbedaan pada pendekatan atau sistem di
tiap pemerintahan. Bahkan sangat jarang terdapat dua pemerintahan yang menggunakan sistem anggaran yang benar-benar sama. Suatu siklus anggaran yang dikembangkan pada suatu organisasi pemerintahan sebaiknya harus didasarkan pada faktor-faktor lingkungan dimana anggaran itu digunakan dan dapat digunakan untuk tujuan perencanaan, pengendalian, dan evaluasi sesuai dengan keadaan. Tahap siklus anggaran Negara adalah sebagai berikut : 1. Pengajuan RUU APBN 2. Pembahasan dan Persetujuan oleh DPR-RI 3. Pelaksanaan APBN 4. Pengawasan 5. Pertanggungjawaban. Sedangkan siklus anggaran daerah yaitu masa kegiatan dari saat anggaran mulai disusun sampai dengan pada saat perhitungan disahkan dengan peraturan daerah (Perda). Tahap siklus anggaran Daerah terdiri dari : 1. Tahap Persiapan Anggaran 2. Tahap Ratifikasi / Pembahasan Anggaran 3. Tahap Pelaksanaan / Implementasi Anggaran 4. Tahap Pertanggungjawaban / Pengawasan Anggaran. Siklus anggaran daerah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Tahap Persiapan Anggaran Proses perencanaan APBD dengan paradigma baru menekankan pada pendekatan dari bawah (botton up planning) dengan mengacu kepada rencana pembangunan jangka panjang dan menengah (RPJP/M) daerah. Hal ini sesuai dengan semangat otonomi sebagaimana yang dimaksud pada Undang-undang No 32/2004. Pada tahap inilah seharusnya partipasi publik sangat menonjol. Dalam konteks bottom up planning ini, seharusnya perancang anggaran, baik ditingkat eksekutif maupun legislatif dituntut untuk membangun dan mengefektifkan komunikasi publik baik formal maupun informal. 2. Tahap Ratifikasi / Pembahasan Anggaran Pada tahap ini terjadi proses politik dimana pihak eksekutif menyerahkan draft rencana anggaran pembangunan daerah (RAPBD) kepada legislatif untuk dibahas. Mekanisme pembahasan di DPRD biasanya terdiri dari empat tahap, yaitu : pembahasan ditingkat pertama pada tahap ini dilakukan pembahasan ditingkat fraksi, tahap ini diakhiri dengan rapat paripurna 1 menyampaikan Ranperda APBD oleh kepala daerah. Pembahasan tingkat ke dua berdasarkan pengantar kepala daerah tadi selanjutnya fraksi-fraksi mempersiapkan pandangan umum fraksi yang dibacakan dalam rapat paripurna II. Pembahasan tingkat ketiga berdasarkan pandangan umum fraksi-fraksi kepala daerah membuat jawaban yang dibacakan dalam rapat paripurna III. Jawaban-jawaban tadi selanjutnya dibahas ditingkat komisi dalam rapat kerja dengan satuan kerja terkait. Pembahasan tingkat ke empat pada tahap ini fraksi-fraksi akan memberikan pendapat akhir atas rancangan APBD yang diajukan eksekutif,
pendapat akhir ini biasa menerima atau menolak RAPBD, dan jika disetujui oleh DPRD maka selanjutnya dievaluasi ketingkat provinsi lalu bersama penjabarannya untuk dievaluasi jika disetujui maka disahkan menjadi Peraturan Daerah APBD
yang merupakan otorisasi parlementer sebagai dasar
pelaksanaan anggaran eksekutif dan jika tidak ditindaklanjuti maka berlaku RAPBD sebelumnya. 3. Tahap Pelaksanaan / Implementasi Anggaran Tahap ini dimulai ketika RAPBD telah disyahkan dan di Perdakan. Perda APBD pada hakikatnya merupakan otorisasi parlementer yang akan menjadi dasar bagi eksekutif dalam melaksanakan anggaran. Dalam hal ini penerimaan maka pemerintah daerah harus berusaha mencapai target penerimaan yang telah disepakati dengan menggali sumber-sumber penerimaan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan dalam dalam hal pengeluaran (belanja) eksekutif hanya berhak menggunakan dana sebatas yang tersedia dalam anggaran. Monitoring dalam tahap ini sangat penting dilakukan agar kesalahan yang mungkin terjadi dilakukan eksekutif dapat secara dini diatasi. 4. Tahap Pertanggungjawaban / Pengawasan Anggaran Tahap terakhir dalam siklus anggaran, pada akhir periode tahun anggaran eksekutif memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBD. Sesuai dengan paradigma baru pengelolaan keuangan daerah, pertanggungjawaban eksekutif meliputi laporan keuangan dan laporan kinerja.
Pedoman Tata cara siklus anggaran daerah diatur dengan : a) Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. b) Undang-undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. c) Undang-undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. d) Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Pembedaharaan Negara. e) Undang-undang No. 15 Yahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. f) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah. g) Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah. h) Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. i) Peraturan pemerintah No.58 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. j) Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2002 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan dan Pertanggung Jawaban Keuangan Daerah. k) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 11 Tahun 1975 tentang contoh-contoh penyusunan APBD, pelaksanaan tata usaha keuangan daerah dan penyusunan perhitungan APBD yang telah disempurnakan dengan keputusan menteri dalam negeri No. 94 Tahun 1984 jo. No 903-1316 Tahun 1985 dan No. 903-269 Tahun 1986 jo. No 903-397 tahun 1987 dan surat menteri dalam negeri
mengenai pedoman penyusunan APBD yang ditertibkan untuk setiap tahun anggaran. Misalnya Pada Tahun 2005 dikeluarkan keputusan menteri dalam negeri dan otonomi daerah No. 903/3172/SJ perihal “Pedoman umum penyusunan dan APBD”. Penyusunan
APBD
bukan
hanya
untuk
memenuhi
ketentuan
konstitusional yang dimaksud dalam Undang-undang 1945 akan tetapi dimaksudkan pula sebagai rencana kerja yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan. APBD dapat berubah dalam tahun anggaran yang berjalan namun harus sesuai dengan prinsip-prinsip anggaran surplus dan defisit, Surplus Anggaran Daerah adalah selisih lebih antara pendapatan daerah dan belanja daerah. Dan defisit anggaran daerah adalah selisih kurang antara pendapatan daerah dan belanja daerah . Yang dimaksud dengan perubahan anggaran yaitu tindakan yang dilakukan pemerintah daerah yang membawa akibat perubahan/pengurangan anggaran. Tindakan tersebut dituangkan dalam bentuk peraturan daerah yang disahkan oleh kepala daerah yang paling banyak dilakukan sebanyak dua kali dalam satu tahun anggaran.
2.3
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Dalam melaksanakan pengurusan keuangan Negara ini pemerintah
menyusun dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang No 33 Tahun 2004, tentang
perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dinyatakan dalam pasal 1 butir (17) : “Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan peraturan daerah”. Pendapatan dapat diperoleh dari pendapatan asli daerah (PAD), Pendapatan yang berasal dari pemberian Pemerintah/instansi yang lebih tinggi yang sekarang dikenal dengan nama Dana Perimbangan dan Dana Pinjaman Daerah, Pengeluaran dana dalam APBD ini secara garis besar dikelompokkan kedalam dua kelompok yaitu : Pengeluaran Rutin dan Pengeluaran Pembangunan, salah satu pengeluaran dalam APBD yang dianggarkan yaitu Anggaran Belanja Pembangunan / Belanja Modal. Anggaran Belanja Modal disusun atas dasar kebutuhan nyata masyarakat sesuai dengan tuntutan dan dinamika yang berkembang untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.
2.3.1
Fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Adapun fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah
sebagai berikut: § Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa APBD menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan. § Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa APBD menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
§ Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa APBD menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. § Fungsi alokasi mengandung arti bahwa APBD harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja/mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. § Fungsi
distribusi
mengandung
arti
bahwa
kebijakan
APBD
harus
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. § Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa APBD menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah. Berikut
adalah
Contoh
format
Realisasi
Anggaran
Pemerintah
Kabupaten/Kota menurut Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, ditunjukan seperti pada Tabel 2.1 berikut:
PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA LAPORAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA UNTUK TAHUN YANG BERAKHIR SAMPAI DENGAN 31 DESEMBER 20X1 dan20X0
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
URAIAN PENDAPATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH Pendapatan Pajak Daerah Pendapatan Retribusi Daerah Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan Lain-Lain PAD Yang Sah Jumlah Pendapatan Asli Daerah (3 s/d 6) PENDAPATAN TRANSFER TRANSFER PEMERINTAH PUSAT–DANA PERIMBANGAN Dana Bagi Hasil Pajak Dana Bagi hasil Sumber Daya Alam Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus Jumlah Pendapatan Transfer Dana Perimbangan (10 s/d 13) TRANSFER PEMERINTAH PUASAT-LAINNYA Dana Otonomi Khusus Dana Penyesuaian Jumlah Pendapatan Transfer Pemerintah Pusat-lainnya (16s/d17) TRANSFER PEMERINTAH PROVINSI Pendapatan Bagi Hasil Pajak Pendapatan Bagi Hasil Lainnya Jumlah Transfer Pemerintah Provinsi (20 s/d 21) Total Pendapatan Transfer (14+18+22) LAIN-LAIN PENDAPATAN YANG SAH Pendapatan yang Hibah Pendapatan Dana Darurat Pendapatan Lainnya Jumlah Lain-lain Pendapatan yang sah (25 s/d 27) JUMLAH PENDAPATAN (7+23+28) BELANJA BELANJA OPERASI Belanja Pegawai Belanja Barang Bunga Subsidi Hibah Bantuan Sosial Jumlah Belanja Operasi (33 s/d 37)
(Dalam Rupiah) Angg Reali sasi % aran 20X1 20X1 xx xxx xxx xx xxx xxx xx xxx xxx xx xxx xxx xx xxx xxx xx xxx xxx xxxx xxxx xx
Reali sasi 20X0 xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxxx
xxx xxx xxx xxx xxxx
xxx xxx xxx xxx xxxx
xx xx xx xx xx
xxx xxx xxx xxx xxxx
xxx xxx
xxx xxx
xx xx
xxx xxx
xxxx
xxxx
xx
xxxx
xxx xxx xxxx xxxx
xxx xxx xxxx xxxx
xx xx xx xx
xxx xxx xxxx xxxx
xxx xxx xxx xxx xxxx xxxx
xxx xxx xxx xxx xxxx xxxx
xx xx xx xx xx xx
xxx xxx xxx xxx xxxx xxxx
xxx xxx xxx xxx xxx
xxx xxx xxx xxx xxx
xx xx xx xx xx
xxx xxx xxx xxx xxx
xxxx
xxxx
xx
xxxx
39 40 41 42 43 44 45
BELANJA MODAL Belanja Tanah Belanja Peralatan dan Mesin Belanja Gedung dan Bangunan Belanja Jalan, Irigasi, dan jaringan Belanja Aset Tetap dan Lainnya Jumlah Belanja Modal (40 s/d 44)
xxx xxx xxx xxx xxx
xxx xxx xxx xxx xxx
xx xx xx xx xx
xxx xxx xxx xxx xxx
xxxx
xxxx
xx
xxxx
46 47 48 49
BELANJA TAK TERDUGA Belanja Tak Terduga Jumlah Belanja Tak Terduga ( 47 ) JUMLAH BELANJA (38+45+48)
xxx xxxx xxxx
xxx xxxx xxxx
xx xx xx
xxx xxxx xxxx
xxx xxx xxx xxxx
xxx xxx xxx xxxx
xx xx xx xx
xxx xxx xxx xxxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx
xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx
xx xx xx xx xx xx xx xx xx xx xx
xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx
xxxx
xxxx
xx
xxxx
xxx xxx xxx xxx xxx xxx
xxx xxx xxx xxx xxx xxx
xx xx xx xx xx xx
xxx xxx xxx xxx xxx xxx
xxx xxx xxx xxx xxx
xxx xxx xxx xxx xxx
xx xx xx xx xx
xxx xxx xxx xxx xxx
50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 62 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87
TRANSFER TANSFER/BAGI HASIL KE DESA Bagi hasil Pajak Bagi Hasil Retribusi Bagi Hasil Pendapatan Lainnya JUMLAH TRANSFER/BAGI HASIL KE DESA (52 s/d 54) SURPLUS/DEFISIT (29 – 55) PEMBIAYAAN PENERIMAAN PEMBIAYAAN Penggunaan SILPA Pencairan Dana Cadangan Hasil Penjualan Daerah yang Dipisahkan Pinjaman Dalam Negeri – Pemerintah Pusat Pinjaman Dalam Negeri – Pemerintah Daerah Lainnya Pinjaman Dalam Negeri – Lembaga Keuangan Bukan Bank Pinjaman Dalam Negeri – Obligasi Pinjaman Dalam Negeri – Lainnya Penerimaan Kembali Pinjaman Kepada Perusahaan Negara Penerimaan Kembali Pinjaman Kepada Perusahaan Daerah Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya Jumlah Penerimaan (62 s/d 72)
PENGELUARAN PEMBIAYAAN Pembentukan Dana Cadangan Penyertaan Modal Pemerintah Daerah Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri–Pemerintah Pusat Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri–Pemerintah Daerah Lainnya Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Neger –Lembaga Keuangan Bank Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri–Lembaga Keuangan Bukan Bank Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri – Obligasi Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri – Lainnya Pemberian Pinjaman Kepada Perusahaan Negara Pemberian Pinjaman Kepada Perusahan Daerah Pemberian Pinjaman Kepada Pemerintah Daerah Lainnya
88 89 90
Jumlah Pengeluaran (76 s/d 87) PEMBIAYAAN NETO (73 – 88) Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (57 + 89)
2.4.
xxx xxxx
xxx xxxx
xx xx
xxx xxxx
xxxx
xxxx
xx
xxxx
Pendapatan Daerah
2.4.1. Pengertian Pendapatan Daerah Didalam keuangan daerah terdapat hak-hak yang dapat dinilai dengan uang yang tercemin dalam hal pemungutan pendapatan daerah, dimana pemungutan pendapatan daerah ini jika dapat direalisir akan tercipta menjadi penerimaan daerah. Realisasi pemasukan pendapatan daerah ini dimaksudkan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran daerah yang telah dilaksanakan. Pemerintah daerah harus memiliki sumber keuangan yang cukup dan memadai, karena untuk pelaksanaan pembangunan daerah itu diperlukan biaya yang tidak sedikit. Sehubungan dengan pentingnya sumber keuangan, Indra Bastian (2002:49), mengatakan bahwa : “Pendapatan adalah peningkatan aktiva atau penurunan utang atau kewajiban yang berasal dari berbagai kegiatan didalam periode akuntansi atau periode anggaran tertentu”. Pendapatan daerah merupakan analisa pengeluaran daerah, dimana penerimaan adalah merupakan fundamental untuk melaksanakan pengeluaran daerah yang dalam hal ini adalah pengeluaran pembangunan daerah. Menurut Undang-undang No.32 Tahun 2004, Pendapatan Daerah, yaitu : Semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Yang berasal dari :
“1. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu: 1). Hasil pajak daerah; 2). Hasil retribusi daerah; 3). Hasil pengeloalaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan 4). Lain-lain pendapatan yang sah 2. Dana Perimbangan 3. Lain-lain Pendapatan Yang Sah”. Sumber penerimaan daerah dalam konteks diatas untuk saat ini masih didominasi oleh bantuan dan sumbangan dari pemerintah pusat baik dalam bentuk Dana Alokasi umum, Dana Alokasi Khusus, dan bagi hasil, sedangkan porsi PAD masih relatif kecil. Secara rata-rata nasioanal PAD hanya memberi kontribusi 1215% dari total penerimaan daerah, sedangkan yang 70% masih menggantungkan sumbangan dan bantuan dari pemerintah pusat.
2.4.2 Sumber Pendapatan Daerah Pemerintah menyadari bahwa keuangan daerah sangat penting untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Untuk memiliki keuangan yang memadai dalam mengatur dan mengurus rumah tangga, maka daerah membutuhkan sumber keuangan yang cukup juga, sumber-sumber pendapatan daerah sebagai pembiayaan penyelenggaraan pemerintah, sesuai dengan pasal 5 Undang-undang No.33 Tahun 2004 Pendapatan Daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan / Pendapatan Transfer, dan Lain-lain Pendapatan yang Sah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Jenis pajak Kabupaten/Kota terdiri atas : pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak
reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan bahan galian golongan C, dan pajak parkir. Dana perimbangan diatur dalam Undang-undang No.33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah serta pemerataan antar daerah secara proposional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya. Dana Perimbangan terdiri dari : § Dana Bagi Hasil, bersumber dari pajak dan sumber daya alam, yang bersumber dari pajak sebagaimana dimaksud terdiri atas Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 25 dan pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh pasal 21 ; § Dana Alokasi Umum (DAU);dan § Dana Alokasi Khusus (DAK). Penerimaan Negara / Dana Bagi Hasil dari PBB dengan imbangan 90 % untuk Kabupaten/Kota dengan rincian 16,2% untuk daerah Provinsi, 64,8% untuk daerah Kabupaten/Kota, 9% untuk biaya pungutan, dan untuk pemerintah pusat 10 % . Penerimaan Negara dari BPHTB akan dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah pusat dan 80% dengan rincian 16% untuk daerah provinsi, dan 64% untuk daerah kabupaten dan kota penghasil. Dana bagi hasil dari penerimaan PPh
pasal 25 dan pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh pasal 21 sebagaimana dimaksud dimana untuk pemerintah provinsi adalah sebesar 40% dan untuk pemerintah Kabupaten/Kota 60%. Penerimaan pemerintah pusat dari PBB dan BPHPTB tersebut akan dibagikan kepada seluruh daerah kabupaten dan daerah kota. Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari pendapatan dalam negeri neto yang ditetapkan APBN. DAU untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar, celah fiskal yang dimaksud adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah, dan alokasi dasar yang dimaksud dihitung berdasarkan jumlah gaji pegawai sipil daerah. Dana Alokasi Khusus dialokasikan untuk membantu pembiayaan kebutuhan tertentu, yaitu merupakan program nasional atau program kegiatan yang tidak terdapat di daerah lain. Kegiatan/program yang dibiayai dengan Dana Alokasi Khusus harus didampingi dengan dana pendamping yang bersumber dari penerimaan umum APBD. Lain-lain pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat. Pendapatan hibah merupakan bantuan tidak mengikat yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui pemerintah dan dituangkan dalam suatu naskah
perjanjian antara Pemerintah Daerah dengan pemberi hibah digunakan sesuai dengan naskah perjanjian. Pemerintah mengalokasikan dana darurat yang berasal dari APBN untuk keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa (ditetapkan oleh Presiden) yang tidak dapat ditanggulangi oleh daerah dengan menggunakan sumber APBD Pinjaman Daerah dapat dilakukan yang bersumber dari Pemerintah, Pemerintah daerah lainnnya, lembaga keuangan Bank, Lembaga keuangan bukan Bank, dan masyarakat. Dengan persetujuan Pemerintah Pusat untuk membiayai sebagian anggarannya. Ketentuan mengenai pinjaman daerah selanjutnya diatur dalam Undang-undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah.
2.4.3
Kebijakan atas Pendapatan Daerah Kebijakan atas pendapatan daerah ini harus sejalan dengan kebijakan yang
baku bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dalam menyikapi pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab, aspek pendapatan daerah adalah sesuatu yang sangat penting dan mendasar bagi terselenggaranya suatu rumah tangga pemerintah daerah. Untuk mencapai hal tersebut diupayakan dengan cara intensifikasi yaitu tindakan memperbesar / meningkatkan penerimaan Pendapatan Daerah dengan cara melakukan pemungutan yang lebih giat secara ketat dan teliti, dan ekstensifikasi, yaitu mencari dan menggali potensi sumber-
sumber Pendapatan daerah yang baru dalam batas ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2.5.
Belanja Daerah
2.5.1 Pengertian Belanja Daerah Untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban pemerintah dalam rangka memenuhi pemenuhan tagihan-tagihan kepadanya dan melaksanakan keadilan sosial yang seluas-luasnya diperlukan belanja atau pengeluaran-pengeluaran daerah. Pengeluaran-pengeluaran daerah tersebut mempunyai kaitan terhadap kewajiban-kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang. Adapun
pengeluaran-pengeluaran
tersebut
adalah
pengeluaran-
pengeluaran rutin (Current Expenditure) dan pengeluaran pembangunan (Capital Expenditure). Menurut Mardiasmo (2002:185), belanja daerah adalah : “Semua pengeluaran pemerintah daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah”. Adapun jenis-jenis belanja yaitu: belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, belanja Modal, belanja bagi hasil dan bantuan, dan belanja tidak tersangka.
2.5.2 Belanja Modal / Belanja Pembangunan Belanja Modal merupakan pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah asset tetap / inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk didalamnya
adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas asset. Pengertian Belanja Modal/Pembangunan (Capital/Investment Expenditure) menurut Mardiasmo (2002:187),: “Belanja langsung yang digunakan untuk membiayai kegiatan investasi”. Belanja Modal dapat dikategorikan dalam 5 (lima), kategori utama : 1. Belanja Modal Tanah Belanja modal tanah adalah pengeluaran / biaya yang digunakan untuk pengadaan / pembelian / pembebasan penyelesaian, baik nama dan sewa tanah, pengosongan, pengurugan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat, dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dan sampai tanah dimaksud dalam kondisi siap pakai. 2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin Belanja modal peralatan dan mesin adalah pengeluaran / biaya yang digunakan untuk pengadaan / penambahan / penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan mesin serta inventaris kantor yang memberikan manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan dan sampai peralatan dan mesin dimaksud dalam kondisi siap pakai. 3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan Belanja modal gedung dan bangunan merupakan pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan / penambahan / penggantian, dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan pembangunan
gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan dimaksud dalam kondisi siap pakai. 4. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan Adalah pengeluaran / biaya yang digunakan untuk pengadaan / penambahan / penggantian / peningkatan pembangunan / pembuatan serta perawatan, dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan jalan irigasi dan jaringan yang menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai. 5. Belanja Modal Fisik / Aset Tetap Lainnya Merupakan pengeluaran / biaya yang digunakan untuk pengadaan / penambahan / penggantian / peningkatan pembangunan / pembuatan serta perawatan terhadap fisik lainnya yang tidak dapat dikategorikan kedalam kriteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan jalan irigasi dan jaringan, termasuk dalam belanja ini adalah belanja modal kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku, dan jurnal ilmiah.
2.5.3
Kebijakan atas Belanja Daerah Pembiayaan pembangunan secara keseluruhan tidak terlepas dari peranan
pelaku pembangunan yaitu pemerintah, swasta/dunia usaha, dan masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan yang bersumber dari pemerintah, maka pemerintah daerah terus berupaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dengan memanfaatkan dan menggali sumber-sumber pendapatan yang ada, serta berupaya memperoleh dukungan pembiayaan dari pemerintah dengan porsi yang lebih besar.
2.6
Hubungan antara Pendapatan Daerah dengan Besarnya Belanja Modal Sesuai dengan prinsip Otonomi daerah yang nyata, dinamis, dan
bertanggungjawab, maka otonomi harus merupakan suatu kewajiban dalam arti daerah harus dapat mengadakan pembangunan serta mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Pemerintah daerah memegang peranan yang cukup besar dalam pelaksanaan otonomi daerah ini mulai tahap perencanaan, pelaksanaan,sampai kepada pembiayaan dan tanggung jawabnya. Untuk menyelenggarakan kegiatan pemerintah ini diperlukan sarana dan penunjang yang sangat memadai yang dalam hal ini adalah keuangan. Keuangan ini merupakan salah satu kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Sumber keuangan daerah untuk penyelenggaran kegiatan pemerintah adalah dari pendapatan daerah. Pendapatan daerah merupakan pendapatan yang harus digali dan ditingkatkan secara terus menerus oleh pemerintah daerah guna untuk meningkatkan pembangunan diberbagai sektor. Dengan upaya agar terdapat kesinambungan proyek-proyek pembangunan yang telah ada sehingga hasi-hasil yang diharapkan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakatnya dapat terus ditingkatkan. Hal ini sesuai dengan hakekat pembangunan daerah
yaitu pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat seluruhnya dengan pancasila sebagai dasar, tujuan, dan pedoman dalam setiap pelaksanaan kegiatan pembangunan. Antara pendapatan daerah dengan besarnya belanja modal/belanja pembangunan daerah mempunyai hubungan yang searah, merujuk pada penelitian yang dilakukan (Qodariah, 2005), dimana jika terjadi peningkatan pada pendapatan daerah dari tahun ke tahun maka belanja modal pun akan memperlihatkan perkembangan yang terus meningkat dari tahun ke tahun.