BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kenakalan remaja merupakan kumpulan dari berbagai perilaku remaja yang tidak dapat diterima secara sosial. Kenakalan remaja berupa perbuatan yang melanggar norma, aturan, atau hukum dalam masyarakat yang dilakukan pada usia remaja. Bab ini memaparkan tentang teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Teori Kenakalan Remaja, Kecerdasan Emosional dan Keharmonisan Keluarga yang dimulai dari pengertian, aspek-aspek dan faktor yang memengaruhi dari masingmasing peubah. Selain itu dijelaskan juga tentang hasil-hasil penelitian sebelumnya, dinamika hubungan antar peubah, model penelitian serta hipotesis penelitian.
2.1
KECENDERUNGAN KENAKALAN REMAJA
2.1.1
Pengertian Kecenderungan Kenakalan Remaja Menurut Soekanto (1993), kecenderungan merupakan suatu
dorongan yang muncul dari dalam individu secara inharen menuju suatu arah tertentu untuk menunjukkan suka atau tidak suka kepada suatu objek. Kecenderungan merupakan hasrat, keinginan yang selalu timbul berulangulang (Sudarsono, 1997). Kecenderungan dapat bersifat sementara dapat juga bersifat menetap. Selain itu kecenderungan tidak bersifat hereditas dan perwujudannya lebih dipengaruhi oleh komponen kognitif dan afektif (Sabri, 1993).
15
Kenakalan remaja juga dikenal dengan istilah perilaku delinkuensi (Juvenile delinquency). Juvenile berasal dari bahasa Latin juvenilis yang berarti anak-anak; anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifatsifat khas pada periode remaja. Delinquency berasal dari kata Latin delinquere yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain. Kenakalan remaja adalah perbuatan jahat/dursila atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang (Kartono, 2012). Kenakalan remaja adalah tindakan oleh seseorang yang belum dewasa yang sengaja melanggar hukum dan yang diketahui oleh anak itu sendiri bahwa jika perbuatannya itu sempat diketahui oleh petugas hukum dapat dikenai hukuman (Gold & Petronio dalam Sarwono, 2007). Kenakalan remaja mempunyai arti khusus dan terbatas pada suatu masalah tertentu yaitu masa remaja sekitar umur 13-15 tahun sampai dengan umur 21 tahun. Kamus Webster’s New World Dictionary of The American Language (dalam Tambunan, 1982) memberi arti sebagai suatu kegagalan atau tidak menurut hukum. Dalam hal tingkah laku anak itu disebut seorang antisosial atau pelanggar hukum dan pada umumnya usia anak itu sudah akil balik. Ensiklopedia The World Book Encyclopedia memberi arti juvenile delinquency sebagai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh seorang remaja termasuk di dalamnya tindakan yang melanggar normanorma masyarakat. Sedangkan menurut Comparative Survey on Juvenile 16
delinquency (1988) merumuskan perbuatan yang dilakukan oleh orang muda laki-laki atau perempuan dan mereka diberikan perlakuan khusus sesuai hukum yang berlaku. Menurut Santrock (2007) kenakalan remaja merujuk pada berbagai perilaku, mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial (seperti berbuat onar di sekolah), pelanggaran status (melarikan diri dari rumah), hingga tindakan kriminal (seperti pencurian, dan lain-lain). Menurut Jensen (1985, dalam Sarwono 2007), kenakalan remaja merujuk pada perilaku melakukan yang dapat menimbulkan korban fisik, materi, kenakalan sosial maupun kenakalan yang melawan status sebagai remaja. Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kecenderungan kenakalan remaja adalah dorongan atau keinginan untuk berperilaku melanggar aturan baik di sekolah maupun aturan dalam masyarakat yang tidak dapat diterima secara sosial berupa pelanggaran status yang merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. 2.1.2
Teori Kenakalan Remaja Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud
(1985-1939) kepribadian manusia dikendalikan oleh proses mental bawah sadar yang dikembangkan pada awal masa kanak-kanak. Perkembangan kepribadian sadar pada masa awal kanak-kanak ini memengaruhi perilaku selama sisa hidup seseorang. Ketika tiga komponen utama kepribadian yakni id, ego dan superego seimbang, individu dapat menjalani hidup normal. Jika tidak maka individu akan menunjukkan ciri-ciri kepribadian yang abnormal. Kenakalan maupun pelanggaran hukum merupakan hasil dari kepribadian abnormal yang terbentuk pada awal kehidupan. Ketidakseimbangan dalam ciri-ciri kepribadian yang disebabkan oleh 17
trauma awal masa kanak-kanak dapat menyebabkan kesulitan psikologis jangka panjang. Sehingga dapat disimpulkan mereka yang berperilaku nakal, jahat menurut teori ini pada dasarnya memiliki ego yang lemah dan kepribadian yang rusak (Siegel & Brandon, 2011). Menurut psikolog perilaku, kepribadian dipelajari sepanjang hidup dan selama berinteraksi dengan orang lain. Berdasar pada karya Watson (1878-1958) dan dipopulerkan oleh Skinner (1904-1990) perilaku merupakan hasil belajar dengan mengamati bagaimana orang bereaksi terhadap perilaku mereka. Perilaku dipicu awal oleh stimulus, ketika perilaku tertentu diperkuat oleh reaksi positif maka perilaku itu akan berkelanjutan karena terus dipelajari. Selanjutnya beberapa psikolog perilaku berpendapat
bahwa pembelajaran
sosial
terjadi melalui
pengalaman, ditambah dengan nilai-nilai, dan harapan menentukan perilaku. Menurut Bandura (1977) orang belajar dari yang orang lain, melalui observasi, peniruan, dan pemodelan. Perilaku manusia merupakan hasil interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku, dan pengaruh lingkungan. Bandura (1963, dalam Siegel & Brandon, 2011) berpendapat bahwa anak-anak akan mencontohi perilaku dan reaksi yang mereka terima dari orang lain; misalnya orang dewasa, terutama orang tua, dan perilaku yang mereka melihat di televisi dan film. Jika anak-anak mengamati kenakalan dan melihat bahwa itu disetujui atau dihargai, mereka mungkin akan bereaksi yang sama saat kejadian serupa. Pembelajaran sosial menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh di rumah di mana kekerasan merupakan sebuah cara hidup membuat mereka dapat belajar untuk percaya bahwa perilaku seperti dapat diterima. Bahkan jika orang tua menghukum dengan kekerasan maka anak-anak akan mencontoh perilaku kekerasan. Jadi, anak-anak lebih cenderung 18
memperhatikan apa yang orang tua lakukan daripada apa yang mereka katakan (Siegel & Brandon, 2011). Dalam perspektif teori kognitif pola perilaku kenakalan, kejahatan berubah dari waktu ke waktu tergantung kekuatan penalaran mereka. Kenakalan
berkaitan
dengan
penalaran
individu
sebagai
proses
memengaruhi perilaku. Menurut Kohlberg (1969, dalam Siegel & Brandon, 2011) dalam kaitan dengan persoalan kenakalan, pelaku yang cenderung nakal memiliki orientasi moral yang berbeda dari mereka yang mematuhi aturan yang berlaku. Mayoritas pelaku kenakalan terungkap mereka memiliki penghormatan yang rendah terhadap hukum serta mementingkan diri sendiri. Penelitiannya telah menemukan bahwa sejumlah besar remaja, pemuda yang berperilaku nakal memiliki penalaran moral yang rendah dan sebaliknya, yang berdampak dengan munculnya lebih banyak bentuk kenakalan dalam lingkaran yang tidak pernah berakhir (Siegel & Brandon, 2011). Dalam tulisan ini penulis berlandas pada perspektif pembelajaran sosial
yang
melihat
kecenderungan
kenakalan
sebagai
bentuk
pembelajaran melalui hubungan dekat dengan orang lain. Menurut Bandura (1963, dalam Siegel & Brandon, 2011) kenakalan sebagai hasil interaksi faktor dalam diri (kognitif) dan lingkungan, juga merupakan hasil dari hubungan yang terganggu dengan orang tua. Dengan tidak adanya kontrol maka anak mungkin mengungkapkan dengan perilaku yang tidak dapat diterima, seperti perilaku nakal. Sejalan teori di atas, Jensen (1985, dalam Sarwono, 2007) menguraikan kenakalan remaja berkaitan dengan keadaan lingkungan baik keluarga dan masyarakat juga oleh keadaan pribadi dari seseorang. Faktor 19
lingkungan keluarga, masyarakat dan keadaan pribadi seseorang memberi pengaruh pada terjadinya perilaku nakal. Remaja dapat belajar nilai-nilai menyimpang dari orang tua, saudara, bahkan teman-teman. Dari lingkungan dan keadaan pribadi seseorang sangat memungkinkan remaja untuk cenderung melakukan kenakalan yang dapat menimbulkan korban fisik, materi, kenakalan sosial maupun kenakalan yang melawan status sebagai remaja. Bandura mengungkapkan bahwa perilaku seseorang adalah hasil interaksi faktor dalam diri dan lingkungan sehingga dapat disimpulkan kecenderungan berperilaku nakal merupakan hasil interaksi dari faktor dalam diri (kecerdasan emosional) dan lingkungan (keluarga).
2.1.3
Bentuk Kenakalan Remaja Pada umumnya remaja bersifat pendek pikir, sangat emosional,
agresif, tidak mampu mengenal nilai-nilai etis dan cendrung menceburkan diri dalam perbuatan yang beresiko. Pembagian bentuk kenakalan remaja ini berdasarkan ciri kepribadian (Kartono, 2012), sebagai berikut: 1. Kenakalan Terisolir Kelompok ini merupakan jumlah terbesar dari para remaja delinkuen dan merupakan kelompok mayoritas. Pada umumnya mereka tidak mengalami gangguan psikologis. Perbuatan kejahatan yang dilakukan disebabkan atau didorong oleh faktor-faktor berikut: (1) Keinginan meniru, ingin konform dengan norma gangnya. (2) Mereka kebanyakan berasal dari daerah yang transisional sifatnya yang memiliki subkultural kriminal. Sejak kecil melihat adanya gang-gang kriminal 20
sampai pada suatu saat menjadi anggota salah satu gang kelompok tersebut dan merasa diterima, mendapat kedudukan, pengakuan, status sosial dan prestise tertentu. (3) Berasal dari keluarga berantakan, tidak harmonis, tidak konsekuen dan mengalami banyak frustasi. (4) Mereka mengadopsi etik dan kebiasaan gang yang dipakai sebagai saran untuk meyakinkan diri sendiri bahwa dirinya adalah penting, cukup “menonjol” dan berarti (5) Mereka dibesarkan dalam keluarga tanpa atau sedikit sekali mendapatkan supervise dan latihan disiplin yang teratur. Sehingga anak tidak sanggup menginternalisasikan norma hidup normal. Ringkasnya, kenakalan terisolasi itu mereaksi terhadap tekanan dari lingkungan sosial. Mereka mencari panutan dan sekularitas dari dan di dalam kelompok gangnya. Namun, pada usia dewasa, mayoritas remaja tipe
ini
meninggalkan
tingkah
laku
kriminalnya.
Sekitar
60%
menghentikan perbuatan mereka pada usia 21-23 tahun. 2. Kenakalan Neurotik Pada umumnya anak-anak di tipe ini menderita gangguan kejiwaan yang cukup serius antara lain berupa: kecemasan, merasa selalu tidak aman, merasa terancam, tersudut dan terpojok, merasa bersalah atau berdosa dan lain-lain. Ciri tingkah laku mereka antara lain: (1) Tingkah laku kenakalannya bersumber pada sebab-sebab psikologis yang sangat dalam. (2) Tingkah laku kriminal mereka merupakan ekspresi dari konflik batin yang belum terselesaikan. Sehingga tindak kejahatan mereka merupakan alat-pelepas bagi rasa ketakutan, kecemasan dan kebingungan batinnya yang jelas tidak terpikulkan oleh egonya.(3) Biasanya, anak remaja tipe ini melakukan kejahatan seorang diri dan mempraktekkan jenis kejahatan. (4) Anak dengan kenakalan neurotik banyak yang berasal 21
dari kelas ekonomi menengah. Namun pada umumnya keluarga mereka mengalamu banyak ketegangan emosional yang parah dan orang tuanya biasanya juga neurotik atau psikotik. (5) Anak memiliki ego yang lemah dan ada kecendrungan untuk mengisolir diri dari lingkungan orang dewasa atau remaja lainnya. (6) Motivasi kejahatan mereka berbeda-beda. Misalnya para penyundut api (pyromania, suka membakar) didorong oleh nafsu ekshibisionistis, anak-anak yang suka membokar melakukan pembokaran didorong oleh keinginan melepaskan nafsu seks dan lain-lain. (7) Perilaku yang memperlihatkan kualitas komplusif. Anak-anak dan orang muda yang tukang bakar, para peledak dinamit dan bom waktu, penjahat seks dan pecandu narkotik ada dalam tipe neurotic ini. Mereka akan terus melanjutkan tingkah laku kejahatannya sampai usia dewasa dan umur tua. 3. Kenakalan Psikopatik Kenakalan psikopatik ini sedikit jumlahnya tetapi dilihat dari kepentingan umum dan segi keamanan mereka merupakan oknum kriminal yang paling berbahaya. Ciri tingkah laku mereka ialah (1) Hampir seluruhnya berasal dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang ekstrim, brutal diliputi banyak pertikaian keluarga, disiplin keras namun tidak konsisten dan selalu menyianyiakan anak-anaknya. Tidak sedikit dari mereka berasal dari rumah yatim-piatu. Dalam lingkungan demikian mereka tidak pernah merasakan kehangatan, kasih sayang dan relasi personal yang akrab dengan orang lain. Sehingga mereka tidak mempunyai kapasitas untuk menumbuhkan afeksi. Mereka tidak mampu menjalin relasi emosional yang akrab atau baik dengan orang lain. (2) Mereka tidak mampu menyadari arti bersalah, ketika melakukan pelanggaran. (3) Bentuk kejahatannya majemuk, tergantung pada suasana 22
hatinya yang tidak dapat diduga-duga. Mereka pada umumnya sangat agresif dan impulsive. Biasanya mereka berulang kali masuk penjara. (4) Mereka selalu gagal dalam menyadari dan menginternalisasikan normanorma sosial yang umumnya berlaku. Juga tidak peduli norma subkultur gangnya sendiri. Psikopat merupakan bentuk kekalutan mental dengan ciri-ciri: tidak memiliki pengorganisasian dan integrasi diri. Orangnya tidak pernah bertanggung jawab secara moral; dia selalu berkonflik dengan norma sosial dan hukum. Selalu anti sosial, eksentrik kegila-gilaan dan tidak memiliki kesadaran sosial dan intelegensi sosial. Mereka sangat egoistis, fanatik, dan selalu menentang apa dan siapapun juga juga. Sikapnya aneh, sangat kasar, kurang ajar, ganas, buas terhadap siapapun tanpa sebab. Kata-katanya menyakiti hati orang lain, perbuatannya sering ganas dan sadis, suka menyakiti jasmani orang lain tanpa motif apapun. 4. Kenakalan Defek Moral Defek (defect, defectus) artinya rusak; tidak lengkap, salah, cedera, cacat, kurang. Ciri-cirinya: selalu melakukan tindak a-sosial walaupun dirinya tidak terdapat penyimpangan dan gangguan kognitif namun ada disfungsi pada intelegensinya. Kelemahan dan kegagalan para tipe ini ialah mereka tidak mampu mengenal dan memahami tingkah lakunya yang jahat; juga tidak mampu mengendalikan dan mengaturnya. Mereka selalu ada keinginan untuk melakukan kekerasan, penyerangan dan kejahatan. Relasi kemanusiaannya sangat terganggu. Sikap yang sangat dingin dan beku, tanpa perasaan; jadi ada kemiskinan afektif dan sterilitas emosional. Mereka tidak memiliki harga diri dan terdapat kelemahan pada dorongan instrinktif yang primer sehingga pembentukan superegonya 23
sangat lemah. Implusnya tetap ada dalam taraf primitive sehingga sukar dikontrol dan dikedalikan. Mereka selalu bersikap bermusuhan terhadap siapapun juga karena itu mereka selalu melakukan perbuatan kejahatan. Remaja dengan defek moral biasanya biasanya menjadi penjahat dan sukar diperbaiki. Mereka adalah para residivis yang melakukan kejahatan karena didorong oleh naluri rendah, impuls dan kebiasaan primitif. Lebih kurang 80% mengalami kerusakan psikis, berupa disposisi dan perkembangan mental yang salah. Hanya kurang lebihh 20% yang menjadi penjahat disebabkan factor sosial atau factor lingkungan sekitar. Dari keempat bentuk kenakalan ini, kecenderungan remaja dalam penelitian ini adalah bentuk kenakalan terisolir yang pada umumnya mereka
tidak
mengalami
gangguan
psikologis.
Perilaku
mereka
disebabkan atau didorong oleh keinginan meniru dan sebagainya. 2.1.4 Aspek-aspek Kenakalan Remaja Hurlock (1980) berpendapat bahwa kenakalan remaja terbagi dalam empat aspek, yaitu: a. Perilaku yang menyakiti diri sendiri dan orang lain. b. Perilaku yang membahayakan hak milik orang lain, seperti merampas, mencuri, dan mencopet. c. Perilaku yang tidak terkendali, yaitu perilaku yang tidak mematuhi orang tua dan guru seperti membolos, mengendarai kendaran dengan tanpa surat izin, dan kabur dari rumah. d. Perilaku yang membahayakan diri sendiri dan orang lain, seperti mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, memperkosa dan menggunakan senjata tajam.
24
Aspek kenakalan lainnya dijabarkan oleh Jensen (1985, dalam Sarwono, 2007) sebagai berikut: a. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain. b. Kenakalan
yang
menimbulkan
korban
materi:
perusakan,
pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain. c. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat dan hubungan seks pra-nikah d. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan membolos, mengingkari status orang tua dengan minggat dari rumah atau membantah perintah mereka dan sebagainya. Menurut Gunarsa (2003) kenakalan yang dilakukan oleh remaja, dapat dilihat pada gejala sebagai berikut: a. Membohong, memutarbalikan kenyataan dengan tujuan menipu orang atau menutup kesalahan. b. Membolos, pergi meninggalkan sekolah tanpa izin. c. Kabur, meninggalkan tumah tanpa izin orang tua atau menentang keinginan orang tua d. Keluyuran, pergi sendiri atau berkelompok tanpa tujua dan mudah menimbulkan perbuatan iseng yang negatif e. Memiliki dan membawa benda yang membahayakan orang lain. Misalnya pisau, pistol, pisau silet dan sebaginya. f. Bergaul dengan teman yang memberi pengaruh buruk sehingga mudah terjerat dalam perkara yang benar-benar kriminal
25
g. Berpesta pora semalam suntuk tanpa pengawasan sehingga mudah timbul tindakan yang kurang bertanggung jawab h. Membaca buku cabul dan kebiasaan mempergunakan bahasa yang tidak sopan, tidak senonoh, seolah-olah menggambarkan kurang perhatian dari orang dewasa. i. Secara berkelompok makan di rumah makan atau naik angkutan umum tanpa membayar j. Berpakaian tidak pantas dan minum-minuman keras atau menghisap ganja. Penelitian ini berdasar pada aspek kenakalan remaja menurut Jensen (1985, dalam Sarwono, 2007). Sesuai tujuan penelitian yang melihat kecenderungan kenakalan remaja maka aspek-aspek kenakalan remaja menurut Jensen (1985, dalam Sarwono, 2007) dijabarkan sebagai dorongan atau keinginan untuk melakukan kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, kemauan untuk melakukan kenakalan yang menimbulkan korban materi, keinginan melakukan kenakalan sosial, keinginan untuk melakukan kenakalan yang melawan status.
26
2.1.5
Karakteristik Remaja Nakal Menurut
Kartono
(2003),
remaja
nakal
itu
mempunyai
karakteristik umum yang sangat berbeda dengan remaja tidak nakal. Perbedaan itu mencakup: a.
Perbedaan struktur intelektual Pada umumnya inteligensi mereka tidak berbeda dengan
inteligensi remaja yang normal, namun jelas terdapat fungsi-fungsi kognitif khusus yang berbeda biasanya remaja nakal ini mendapatkan nilai lebih tinggi untuk tugas-tugas prestasi daripada nilai untuk keterampilan verbal (tes Wechsler). Mereka kurang toleran terhadap hal-hal yang ambigius biasanya mereka kurang mampu memperhitungkan tingkah laku orang lain bahkan tidak menghargai pribadi lain dan menganggap orang lain sebagai cerminan dari diri sendiri. b. Perbedaan fisik dan psikis Remaja yang nakal ini lebih “idiot secara moral” dan memiliki perbedaan ciri karakteristik yang jasmaniah sejak lahir jika dibandingkan dengan remaja normal. Bentuk tubuh mereka lebih kekar, berotot, kuat, dan pada umumnya bersikap lebih agresif. Hasil penelitian juga menunjukkan ditemukannya fungsi fisiologis dan neurologis yang khas pada remaja nakal ini, yaitu: mereka kurang bereaksi terhadap stimulus kesakitan dan menunjukkan ketidakmatangan jasmaniah atau anomali perkembangan tertentu.
27
c. Ciri karakteristik individual Remaja yang nakal ini mempunyai sifat kepribadian khusus yang menyimpang, seperti: i. Rata-rata remaja nakal hanya berorientasi pada masa sekarang, bersenang-senang dan puas pada hari ini tanpa memikirkan masa depan. ii. Kebanyakan dari mereka terganggu secara emosional. iii. Mereka kurang bersosialisasi dengan masyarakat normal, sehingga tidak mampu mengenal norma-norma kesusilaan, dan tidak bertanggung jawab secara sosial. iv. Mereka senang menceburkan diri dalam kegiatan tanpa berpikir yang merangsang rasa kejantanan, walaupun mereka menyadari besarnya risiko dan bahaya yang terkandung di dalamnya. v. Pada umumnya mereka sangat impulsif dan suka tantangan dan bahaya. vi. Hati nurani tidak atau kurang lancar fungsinya. vii. Kurang memiliki disiplin diri dan kontrol diri sehingga mereka menjadi liar dan jahat. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja nakal biasanya berbeda dengan remaja yang tidak nakal. Remaja nakal biasanya lebih ambivalen terhadap otoritas, percaya diri, pemberontak, mempunyai kontrol diri yang kurang, tidak mempunyai orientasi pada masa depan dan kurangnya kematangan sosial, sehingga sulit bagi mereka untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.
28
2.1.6 Faktor-faktor yang memengaruhi Kecenderungan Kenakalan Remaja Menurut Kartono (2012) penyebab timbulnya kecenderungan kenakalan remaja terbagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal antara lain: a. Faktor intelegensi, remaja nakal ini pada umumnya mempunyai intelegensi verbal rendah dan pencapaian hasil prestasi sekolah rendah. b. Ciri kepribadian, ciri kepribadian nampak lebih ambivalen terhadap otoritas, mendendam, bermusuhan, curiga, destruktif dan impulsif. Kepribadian memengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan menyimpang. c. Motivasi, motivasi yang rendah dalam mengontrol perilaku yang sesuai dengan lingkungan sosialnya. d. Internalisasi diri yang keliru, berada pada lingkungan yang melakukan kenakalan menyebabkan remaja menanamkan nilai-nilai yang salah dalam diri remaja. e. Emosi yang kontroversial. Pendorong kuat munculnya kenakalan adalah ketidakmatangan emosi terutama bila disertai kecemasan sehingga mengakibatkan pemikiran dan pertimbangan remaja akan memburuk, tindakan menjadi tidak menentu dan dapat membawa pada perilaku maladaptif. f. Kecenderungan psikopatologis, adanya sikap yang tidak bertanggung jawab dalam hubungannya dengan lingkungan sosialnya sehingga cenderung akan bersifat manipulatif dan tidak menunjukan penyesalan.
29
Faktor eksternal timbulnya kecenderungan kenakalan remaja (Kartono 2012) adalah: a. Lingkungan rumah atau keluarga: (i)
Status ekonomi orang tua rendah, banyak penghuni atau keluarga besar dan rumah kotor.
(ii)
Memiliki kebiasaan yang kurang baik.
(iii) Tidak melaksanakan tata-tertib dan kedisiplinan atau justru menerapkan disiplin yang salah. (iv) Tidak mampu mengembangkan ketenangan dan emosional. (v)
Anak tidak mendapat kasih sayang orang tua.
(vi) Anak diasuh bukan oleh orang tuanya. (vii) Tidak ada rasa persekutuan antar anggota. (viii) Ada penolakan baik dari ibu maupun ayah. (ix) Orang tua kurang memberi pengawasan pada anaknya. (x)
Broken home karena kematian, perceraian, hukuman dan lainlainnya.
b. Lingkungan sekolah (i)
Sekolah yang berusaha memandaikan anak yang sebenarnya kurang mampu.
(ii)
Guru bersikap reject atau menolak.
(iii) Sekolah atau guru yang mendisiplinkan anak dengan cara yang kaku, tanpa menghiraukan perasaan anak. (iv)
Suasana sekolah buruk. Hal ini menimbulkan anak suka membolos, malas belajar, melawan peraturan sekolah atau melawan guru, anak meninggalkan sekolah.
30
c. Lingkungan masyarakat (i)
Tidak menghiraukan kepentingan anak dan tidak melindunginya.
(ii)
Tidak memberikan kesempatan bagi anak untuk melaksanakan kehidupan sosial dan tidak mampu menyalurkan emosi anak.
(iii)
Lingkungan tempat anak dibesarkan dan dengan siapa anak berteman, anak terkadang tanpa disadari meniru perbuatan temantemannya.
Graham (1983, dalam Sarwono, 2007), membagi faktor-faktor penyebab kecenderungan kenakalan lebih mendasarkan pada sudut kesehatan mental remaja dalam dua golongan: a.
Faktor lingkungan, meliputi (a) malnutrisi (kekurangan gizi), (b) kemiskinan, (c) gangguan lingkungan (polusi, kecelakaan lalu lintas, bencana alam, dan lain-lain), (d) migrasi (urbanisasi, pengungsian, dan lain-lain). (e) faktor sekolah (f) keluarga yang tercerai berai (perceraian, perpisahan yang terlalu lama, dan lainlain). (g) gangguan dalam pengasuhan oleh keluarga meliputi kematian orang tua, orang tua sakit atau cacat, hubungan antar anggota keluarga, antar saudara kandung, sanak saudara yang tidak harmonis serta pola asuh yang salah. Hubungan antar anggota yang tidak haarmonis dapat menghambat perkembangan individu, khususnya perkembangan mental dan perilakunya.
b.
Faktor pribadi, seperti faktor bawaan yang mempengaruhi temperamen (menjadi pemarah, hiperaktif, dan lain-lain), cacat tubuh, serta ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri.
31
Selain faktor penyebab di atas, dalam beberapa penelitian lain ditemukan beberapa faktor yang memengaruhi kecenderungan kenakalan remaja: a. Kecerdasan Interpersonal Menurut
Aprilia
(2013)
kecerdasan
interpersonal
merupakan
kemampuan dan keterampilan seseorang dalam menciptakan relasi, membangun relasi dan mempertahankan relasi sosialnya sehingga kedua belah pihak berada dalam situasi saling menguntungkan. Indikator kecerdasan interpersonal yaitu kesadaran diri, pemahaman situasi sosial dan etika sosial, pemecahan masalah efektif, kemampuan empati, sikap prososial, komunikasi dengan santun serta mendengarkan dengan efektif. Ketika seseorang memimili kecerdasan interpersonal maka orang tersebut akan memiliki kecenderungan nakal yang rendah karena kecerdasan interpersonal memiliki hubungan negatif dengan perilaku kenakalan remaja. b. Religiusitas Millatina et al. (2012) dalam penelitiannya menemukan bahwa adanya hubungan
religiusitas
dengan
kecenderungan
kenakalan
remaja.
Religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi atau dimensi kehidupan manusia. Remaja yang memiliki religiusitas relatif tinggi menunjukan perilaku negatif relatif rendah. Individu yang memiliki religiusitas tinggi mampu menjadikan nilai-nilai ajaran agamanya sebagai mekanisme kontrol yang mengatur serta mengarahkan tingkah lakunya sehari-hari sehingga dimungkinkan remaja dalam berperilaku normatif dan terhindar dari kecenderungan kenakalan remaja. Nilai-nilai agama yang melekat dalam diri remaja menumbuhkan religiusitas yang memungkinkan remaja 32
dapat mengontrol dirinya. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Halima
(2013)
bahwa
religiusitas
yang
memadai
dari
remaja
memungkinkan remaja mampu mengatasi kondisi sulit dan dapat berperilaku adaptif serta terhindar dari kecenderungan kenakalan remaja. c. Kontrol Diri Kenakalan remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Kebanyakan remaja telah mempelajari perbedaan antara tingkah laku yang dapat diterima dan tingkah laku yang tidak dapat diterima, namun remaja yang melakukan kenakalan tidak mengenali hal ini. Kontrol diri sebagai atribut internal akan berpengaruh pada menurunnya kecenderungan kenakalan remaja. Hal tersebut ditemukan dalam penelitian Aroma dan Suminar (2012) semakin tinggi kontrol diri seseorang maka akan semakin rendah perilaku kenakalannya.
d. Konsep Diri Konsep diri merupakan prediktor penting bagi tingkah laku. Konsep diri merupakan pandangan atau keyakinan dari keseluruhan diri meliputi konsep, asumsi, dan prinsip-prinsip yang dipegang selama hidup sehingga menjadi cermin bagi individu dalam memandang dan menilai dirinya sendiri yang kemudian terwujud dalam tingkah laku. Millatina et al. (2012) dalam penelitian menemukan semakin tinggi tingkat konsep diri maka kecenderungan kenakalan remaja akan rendah, begitu pula sebaliknya.
33
e. Kepercayaan Diri Menurut Fatchurahman dan Pratikto (2012) kepercayaan diri merupakan sikap individu dalam hal ini siswa yang yakin akan kemampuan dirinya atau mempunyai pandangan yang bersifat positif terhadap dirinya, dengan tidak perlu membandingkan dengan orang lain. Bentuk kepercayaan diri seperti percaya pada kemampuan diri sendiri, bertindak mandiri dalam mengambil keputusan, memiliki konsep diri yang positif, dan berani mengungkapkan pendapat. Semakin tinggi kepercayaan diri remaja maka semakin rendah tingkat kecenderungan kenakalan.
f. Penyesuaian Sosial Adanya hubungan yang sangat signifikan antara penyesuaian sosial dengan kecenderungan kenakalan remaja (Setianingsih, et al., 2006). Remaja yang dapat menyesuaikan diri dengan baik, tentu akan mampu melewati
masa
remajanya
dengan
lancar
dan
diharapkan
ada
perkembangan ke arah kedewasaan yang optimal serta dapat diterima oleh lingkungannya. Ketika remaja tidak mampu melakukan penyesuaian sosial, maka akan menimbulkan permasalahan yang semakin kompleks. Permasalahan-permasalahan tersebut menuntut suatu penyelesaian agar tidak menjadi beban yang dapat mengganggu perkembangan selanjutnya. Hal inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa masa remaja dinilai lebih rawan.
34
g. Kemampuan menyelesaikan Masalah Berhasil tidaknya remaja dalam mengatasi tekanan dan mencari jalan keluar
dari
berbagai
masalahnya
tergantung
bagaimana
remaja
mempergunakan pengalaman yang diperoleh dari lingkungannya dan kemampuan menyelesaikan masalah tersebut sehingga dapat membentuk sikap pribadi yang lebih mantap dan lebih dewasa. Semakin tinggi kemampuan menyelesaikan masalah pada remaja maka semakin rendah kecenderungan perilaku delinkuennya (Setianingsih et al., 2006). Ketika remaja yang gagal mengatasi masalah seringkali menjadi tidak percaya diri, prestasi sekolah menurun, hubungan dengan teman menjadi kurang baik serta berbagai masalah dan konflik lainnya yang terjadi. h. Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor yang memengaruhi individu dalam berperilaku. Kecerdasan emosional yang baik dapat menekan kecenderungan perilaku nakal yang dilakukan. Penelitian yang dilakukan Rini, Hardjajani, dan Nugroho (2012) menjelaskan kecerdasan emosional mempunyai pengaruh yang penting dalam menentukan perilaku individu.
Individu
dengan
kecerdasan
emosional
tinggi
dapat
mengendalikan dan mengelola emosi sehingga dapat mengendalikan terjadinya perilaku yang salah, seperti perilaku nakal. Hal ini diperkuat dengan temuan Agung dan Matulesssy (2012) bahwa kecerdasan emosional berpengaruh pada tinggi rendahnya perilaku nakal seseorang.
35
i. Keharmonisan Keluarga Keluarga dan suasana hidup keluarga sangat berpengaruh atas taraf-taraf permulaan perkembangan anak dan menentukan apakah yang kelak akan terbentuk (Gunarsa, 2003). Kenakalan remaja sangat terkait dengan hubungan yang di dalam keluarga misalnya hubungan tidak baik antara orang tua dan anak (Ilahude 1983, dalam Sarwono, 1999) atau apa yang dilihatnya di rumah, sekolah dan kalangan teman. Penelitian yang dilakukan oleh Darokah dan Safaria (2005) menyatakan bahwa anak dari keluarga yang tidak harmonis mempunyai resiko lebih tinggi untuk terlibat dalam kenakalan remaja. Sejalan dengan itu penelitian Maria (2007) menyatakan keharmonisan keluarga memberi sumbangan dalam arti menekan tingkat kecenderungan kenakalan remaja. Selain itu penelitian Widyawati et al., (2014), Saputri dan Naqiah (2014) yang menyatakan keharmonisan keluarga yang baik akan menekan perilaku nakal remaja. Berdasarkan berbagai hasil penelitian yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan kecenderungan kenakalan remaja dipengaruhi oleh faktor interal dari remaja itu sendiri maupun faktor eksternal yakni faktor dari luar. Dalam penelitian ini penulis memilih faktor internal yakni kecerdasan emosional dan faktor eksternal yakni keharmonisan keluarga. Pemilihan kecerdasan emosional dan keharmonisan keluarga dengan asumsi: (1). Masa remaja merupakan masa transisi dan remaja akan mengalami berbagai perubahan. Kecerdasan emosional memungkinkan remaja untuk mampu mengenali emosi diri sendiri, orang lain dan dapat mengendalikan emosi diri yang berpengaruh dalam pengendalian perilaku. (2) Keharmonisan keluarga menjadi faktor penting yang memengaruhi tingkat kecenderungan kenakalan. Keluarga sebagai lingkungan primer pada setiap individu yang mengajarkan berbagai norma-norma dan nilai36
nilai dalam masyarakat. Keharmonisan keluarga sebagai suatu lingkungan yang diantara anggotanya didasari pada cinta kasih sehingga tercipta kehidupan yang seimbang (fisik, mental, emosional dan spiritual) yang memungkinkan seluruh anggota keluarga menjalankan perannya dan anak dapat untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Pengaruh hubungan, suasana dalam keluarga akan memengaruhi remaja dalam berbagai perkembangannya juga dalam kemampuan bersosialisasi dengan orang lain.
2.2
KECERDASAN EMOSIONAL
2.2.1 Pengertian Kecerdasan Emosional Kecerdasan
Emosional
berawal
ketika
pakar
psikologi
berkebangsaan Amerika, Edward Thorndike membicarakan mengenai “kecerdasan sosial”. Selanjutnya manfaat penting “faktor emosi” dikemukakan oleh David Wechler, salah seorang penemu uji IQ. Pada tahun 1940, dalam sebuah karya ilmiah Wechler mendesak agar “aspek non intelektual dan kecerdasan umum hendaknya disertakan dalam setiap pengukuran lengkap. Tulisan itu juga membicarakan kemampuan “afektif dan konatif” yang pada dasarnya adalah kecerdasan emosional dan sosial yang menurutnya amat penting dalam memberikan gambaran menyeluruh. Pada tahun 1948, R.W. Leeper memperkenalkan gagasannya tentang “pemikiran emosional”. Tahun 1955, Alberth Ellis meneliti apa yang kemudian dikenal dengan Rational Emotive Therapy (suatu proses yang melibatkan unsur pengajaran untuk menguji emosi manusia secara logis dan mendalam). Kemudian pada tahun 1983, Howard Gardner menulis tentang kemungkinan
adanya
kecerdasan
yang bermacam-macam
termasuk yang disebutnya “kemampuan dalam tubuh” yang pada 37
pokoknya adalah kemampuan melakukan introspeksi dan kecerdasan pribadi. Sampai Reuvan Bar-On aktif mengerjakan penelitian dan menyumbangkan ungkapan “emotional quotient”. Kemudian istilah “emotional intelligence” diciptakan dan secara resmi didefinisikan oleh John Mayer dari Universitas New Hampsire, dan Peter Salovey dari Universitas Yale pada tahun 1990 (Stein dan Book, 2002). Weisinger (2006) menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah menggunakan emosi secara cerdas, yaitu seseorang membuat emosi menjadi bermanfaat dengan menggunakannya sebagai pemandu perilaku dan pemikiran sehingga terdapat hasil yang meningkat dalam diri seseorang tersebut. Cooper dan Sawaf (2002) menyatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan
kemampuan
merasakan,
memahami
dan
menerapkan secara efektif daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Lebih lanjut dikatakan bahwa emosi manusia adalah wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri tersembunyi, dan sensasi emosi. Apabila dipercayai dan dihormati, kecerdasan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam tentang diri sendiri dan orang lain di sekitarnya. Bar-On (1985, dalam Stein & Book) menjelaskan kecerdasan emosi adalah serangkaian kemampuan, kompetensi, dan kecakapan nonkognitif yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Dalam bahasa sehari-hari, kecerdasan emosi biasa kita sebut sebagai street smart atau kemampuan khusus yang kita kenal sebagai akal sehat, yaitu terkait dengan kemampuan membaca lingkungan politik dan sosial, serta menatanya 38
kembali, kemampuan memahami dengan spontan apa yang diinginkan dan dibutuhkan orang lain, kelebihan dan kekurangan mereka, kemampuan untuk tidak terpengaruh oleh tekanan, dan kemampuan untuk menjadi orang yang menyenangkan yang kehadirannya didambakan orang lain. (Stein & Book, 2002) Menurut Mayer, Salovey dan Caruso (2004), kecerdasan emosional merupakan suatu kemampuan untuk memonitor perasaan dan emosi diri sendiri dan orang lain, dan menggunakan informasi emosi tersebut untuk memandu proses berpikir dan bertingkah. Sejalan dengan itu, Robert dan Cooper (dalam Agustian, 2001) mengungkapkan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, emosi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Individu yang mampu memahami emosi individu lain, dapat bersikap dan mengambil keputusan dengan tepat. Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan itu untuk membantu pikiran memahami perasaan dan maknanya, serta mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosional dan intelektual.
39
2.2.2 Aspek-aspek Kecerdasan Emosional Menurut Selovey dan Mayer (1990, dalam Goleman, 2002) kecerdasan emosional terdiri dalam lima aspek berikut ini: a. Mengenali emosi diri, yaitu kemampuan individu yang berfungsi untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu, mencermati perasaan yang
muncul. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang
sesungguhnya membuat kita berada dalam kekuasaan emosi. Orang yang mengenali emosi adalah pilot yang andal bagi kehidupan karena mempunyai
kepekaan
lebih
tinggi
akan
perasaan
mereka
sesungguhnya. b. Mengelola emosi, yaitu kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibatakibat yang timbul karena kegagalan ketrampilan emosi dasar. Orang yang buruk kemampuan dalam ketrampilan ini akan terus menerus bernaung melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar akan dapat bangkit kembali jauh lebih cepat dari kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan. c. Memotivasi diri sendiri, yaitu kemampuan untuk mengatur emosi merupakan alat untuk mencapai tujuan dan sangat penting untuk memotivasi dan menguasai diri. Orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam upaya apapun yang dikerjakannya. d. Mengenali emosi orang lain, kemampuan ini disebut empati, yaitu kemampuan yang bergantung pada kesadaran diri emosional, kemampuan ini merupakan ketrampilan dasar dalam bersosial. Orang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial tersembunyi
40
yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan orang atau dikehendaki orang lain. e. Membina hubungan. Seni membina hubungan sosial merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain, meliputi ketrampilan sosial yang menunjang popularitas,
kepemimpinan dan keberhasilan
hubungan antar pribadi. Sejalan dengan itu, aspek-aspek kecerdasan emosional menurut Tsaousis (2008) yaitu: a. Mengenali emosi diri (expression & recognition of emotions) Mengetahui apa yang dirasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu dalam pengambilan keputusan serta menjadi tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. b. Mengelola emosi (control of emotions) Menangani emosi dalam diri sedemikian rupa sehingga berdampak positif, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran dan mampu pulih kembali dari tekanan emosi. c. Memotivasi diri sendiri (use of emotion for fascilitation thinking) Menggunakan hasrat diri yang paling dalam untuk menggerakan dan menuntun menuju sasaran, membantu diri dalam mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif dan untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi.
41
d. Mengenali emosi orang lain atau empati (caring or emphaty) Merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif orang lain, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan orang lain. Dari aspek
yang dijelaskan, penulis menggunakan aspek
kecerdasan emosional menurut Tsaosis (2008) yakni mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain. Peneliti menggunakan aspek kecerdasan emosional dari Tsoasis karena merupakan pengembangan dari aspek Selovey dan Mayer. Selain itu menurut penulis aspek-aspek tersebut lengkap dan sederhana untuk dipakai dalam menggambarkan kecerdasan emosional remaja.
2.2.3 Manfaat Kecerdasan Emosional Emosi merupakan salah satu elemen dasar pada diri manusia dalam menciptakan perilaku pada manusia seperti yang dikemukakan oleh Paul Ekman, bahwa emosi memberikan pengaruh kepada proses berfikir (Goleman, 2002). Emosi dapat melumpuhkan proses berfikir rasional karena emosi dapat memberikan masukan kepada proses berfikir rasional yang berada di wilayah kecerdasan emosional. Yukl (2001) mengemukakan bahwa orang-orang yang cerdas secara emosional dapat menyesuaikan diri dengan lebih baik, tidak mengalami
gangguan
psikologis,
lebih
menyadari
kekuatan
dan
kelemahan pribadi, lebih berorientasi pada pertumbuhan orang, mampu mengendalikan diri dan tidak egois. Goleman (2002) mengungkapkan terdapat dua jenis pikiran yaitu pikiran rasional dan pikiran emosional. Kedua pikiran itu saling 42
memengaruhi dalam membentuk kehidupan mental manusia. Keterkaitan kedua pikiran itu yaitu pikiran rasional model pemahaman yang lazim kita sadari, lebih menonjolkan kesadaran, bijaksana, mampu bertindak hati-hati dan merefleksi pikiran emosional, membantu pikiran rasional untuk mendayagunakan
pikiran
itu
sendiri.
Segal
(2000)
memaparkan
kecerdasan emosional membantu pikiran rasional (akal) karena secara psikologis jika pusat-pusat emosional terluka, kecerdasan secara keseluruhan akan mengalami gangguan. Kecerdasan emosional memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pikiran rasional. Dalam kecerdasan
kaitan
emosional
dengan
kecenderungan
memiliki
peran
yang
kenakalan
remaja,
signifikan
dalam
mempengaruhi perilaku manusia termasuk perilaku nakal. Peranan kecerdasan emosional terhadap penurunan tingkat kenakalan remaja merupakan aspek kecerdasan yang mampu bertindak dan memahami orang lain dan bertindak bijaksana dalam hubungan dengan orang lain. Dalam
suatu
penelitian
siswa
dengan
kecerdasan
emosional
memungkinkan remaja dapat bersikap toleransi, mampu mengendalikan amarah, dapat mengendalikan perilaku yang dapat merusak diri sendiri dan orang lain, memiliki perasaan positif tentang diri sendiri dan orang lain, memiliki kemampuan untuk mengatasi stres, dan dapat mengurangi perasaan kesepian dan cemas. (Rachmawati, 2013) Sejalan dengan hal di atas kecerdasan emosional dapat meningkatkan kapasitas seluruh remaja yang adalah siswa sekolah untuk menjadi lebih berpengetahuan luas, bertanggung jawab, peduli, produktif, tanpa kekerasan dan dapat berkontribusi dalam masyarakat (Zins, Bloodworth, Weissberg & Walberg, 2003).
43
2.3
KEHARMONISAN KELUARGA
2.3.1 Pengertian Keharmonisan Keluarga Penelitian tentang keluarga telah dimulai sejak lama. DeFrain dan Asay (2007) menguraikan bahwa sejak dulu penelitian tentang keluarga focus terutama hanya pada masalah kelemahan dari keluarga atau individu dalam keluarga. Penelitian awal pada kekuatan keluarga dimulai pada tahun 1930-an pada 250 keluarga. Pada tahun 1960-an diikuti oleh Otto pada keluarga dan kekuatan keluarga. Sekitar awal 1970-an penelitian tentang keluarga mendapatkan momentum ketika Nick Stinnet memulai karyanya di Oklahoma State University tahun 1974 dan di University of Nebraska pada tahun 1977. Stinnett, DeFrain dan banyak rekan yang lain kemudian menerbitkan serangkaian artikel dan buku tentang keluarga. Konferensi keluarga kemudian dimulai tahun 1978 dan terbukti menjadi katalis untuk penelitian selanjutnya tentang kekuatan keluarga. Selama tiga dekade terakhir para peneliti di University of Nebraska-Lincoln dipimpin oleh John DeFrain, University of AlabamaTuscaloosa dipimpin oleh Nick Stinnett,
University of Mirinesota-St.
Paulus dipimpin oleh David H. Olson, ditambah afiliasi lembaga di Amerika Serikat dan di seluruh dunia telah mempelajari keluarga dari perspektif kekuatan dasar (families from a strengths-based perspective). Kesamaan yang ditemukan di antara penelitian keluarga secara global yang menunjukkan kualitas yang menggambarkan karakteristik dari keluarga yang kuat. Bagian pertama fokus pada tiga wilayah di dunia dan masingmasing negara diwakili dalam masing-masing daerah: Afrika (Afrika Selatan, Botswana, Kenya, Somalia); Timur Tengah (Israel, Oman.); dan 44
Asia (China, India, Korea). Bagian kedua akan fokus pada keluarga dari Oceania (Australia Selandia Baru) Amerika Utara (Kanada, Amerika Serikat): Amerika Latin (Meksiko, Brasil) dan Eropa (Rusia, Yunani, Rumania). Hasilnya kekuatan keluarga dari budaya ke budaya sangat mirip. Kekuatan keluarga itu kadang-kadang disajikan dalam cara yang kreatif yang dijiwai dalam budaya. Sebagai contoh, karena popularitas olahraga di Selandia Baru, maka metafora olahraga menggambarkan sikap keluarga Selandia Baru yang bersolidaritas dan memiliki ketahanan yang cukup baik. Dalam sebuah studi pendahuluan, kekuatan keluarga Selandia Baru menemukan bahwa rasa menjadi tim terinspirasi pada tanggapan positif terhadap tekanan. Keluarga secara konsisten berbicara sebagai sebuah tim, yang bersama-sama, satu orang dengan kekuatan dan kelemahan dan masing-masing memiliki bagian untuk bermain. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-isteri, atau suami-isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungan. Keluarga adalah lingkungan sosial yang paling intim dan merupakan tempat memulai proses penting bagi anak-anak. Menurut Mace (1985, dalam Defrain & Stinnet, 2003) keluarga harmonis adalah kualitaskualitas hubungan yang berkontribusi terhadap kesehatan emosional dan kesejahteraan keluarga. Keluarga yang mendefinisikan diri mereka sebagai 45
keluarga harmonis umumnya mengatakan bahwa mereka saling mencintai, menemukan
kehidupan
bersama
memuaskan,
dan
hidup
dalam
kebahagiaan dan keharmonisan satu sama lain. Keluarga yang sehat, harmonis dapat menjadi sumber daya berharga untuk bertahan dalam kesulitan hidup. Di sisi lain, hubungan yang tidak sehat atau disfungsional dapat menciptakan masalah serius yang dapat bertahan dari satu generasi ke generasi berikutnya (DeFrain & Asay, 2007). Menurut Defrain dan Stinnet (2003 dalam Coombs, 2005) keharmonisan keluarga didasari oleh hubungan emosional yang positif antara anggota keluarga, sehingga tercipta rasa nyaman antara satu dengan yang lainnya dan terjaminnya kesejahteraan tiap anggota keluarga. Diantara anggota keluarga tercipta apresiasi dan kasih sayang, komitmen, komunikasi yang positif, mempunyai waktu bersama dalam keluarga, tercipta kesejahteraan spiritual dan memiliki kemampuan untuk mengatasi krisis di dalam keluarga. Manurut Lam, Fielding, Mcdowell, Johston, Chan, Leung dan Lam (2012) keharmonisan keluarga merupakan situasi di mana antar anggota keluarga hidup bahagia adanya sikap saling peduli, menghormati, saling mendukung dan kurangnya konflik yang terjadi. Menurut Gunarsa (1995) keluarga harmonis adalah bilamana seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan dan menerima seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi, aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental dan sosial. Fungsi keluarga tidak hanya terbatas selaku penerus keturunan saja, keluarga merupakan sumber pendidikan utama, selain itu juga merupakan produsen dan konsumen dalam mempersiapkan, menyediakan segala 46
kebutuhan dan seluruh anggota keluarga saling membutuhkan satu sama lain (Gunarsa, 2003). Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan keharmonisan keluarga adalah suatu lingkungan yang diantara anggotanya tercipta apresiasi dan kasih sayang, komitmen, komunikasi yang positif, mempunyai waktu bersama dalam keluarga, tercipta kesejahteraan spiritual dan memiliki kemampuan untuk mengatasi krisis di dalam keluarga sehingga tercipta kehidupan yang memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara seimbang. 2.3.2 Aspek-aspek Keharmonisan Keluarga Enam aspek keharmonisan keluarga (DeFrain & Stinnett, 2002 dalam Coombs, 2005): a. Adanya apresiasi dan kasih sayang (Appreciation and affection) Keluarga yang harmonis memiliki rasa peduli satu sama lain, dan terbuka dengan membiarkan anggota keluarga yang lain mengetahui perasaan mereka. Mereka tidak ragu-ragu untuk mengekspresikan rasa cinta atau kasih mereka kepada anggota keluarga lainnya baik secara verbal maupun non verbal. b. Komitmen (Commitment) Keluarga yang harmonis umumnya berkomitmen bahwa keluarga adalah yang utama. Pekerjaan maupun unsur-unsur lain dari kehidupan tidak akan mengambil waktu terlalu banyak. Anggota keluarga berdedikasi/rela berkorban satu sama lainnya, memberikan waktu dan energi dalam kegiatan keluarga.
47
c. Komunikasi yang positif (Positive communication) Komunikasi merupakan dasar bagi terciptanya keharmonisan dalam keluarga. Anggota keluarga mempunyai keterampilan berkomunikasi yang baik, mereka dapat mengidentifikasi kesulitan, dan menemukan solusi yang efektif untuk semua anggota keluarga. Keluarga yang harmonis biasanya menghabiskan waktu untuk berbicara dan saling mendengarkan satu sama lain. d. Mempunyai waktu bersama keluarga (Enjoyable time together) Keluarga yang harmonis selalu menyediakan waktu untuk bersama keluarganya, baik itu hanya sekedar berkumpul, makan bersama, menemani anak bermain dan liburan keluarga, mendengarkan masalah dan keluhan-keluhan anak, dalam kebersamaan ini anak akan merasa dirinya dibutuhkan dan diperhatikan oleh orangtuanya. e. Kesejahteraan spiritual (Spiritual well-being) Orang-orang dalam keluarga harmonis menggambarkan spiritualitas dalam berbagai cara, beberapa berbicara tentang keimanan terhadap Tuhan, harapan atau rasa optimisme dalam hidup, beberapa yang lain mengungkapkan spiritualitas dalam hal nilai-nilai etis dan komitmen. Keluarga yang harmonis juga ditandai dengan terciptanya kehidupan beragama dalam rumah tersebut. Hal ini penting karena dalam agama terdapat nilai-nilai moral dan etika kehidupan. Landasan utama dalam kehidupan keluarga berdasarkan ajaran agama adalah kasih sayang, cinta-mencintai dan kasih-mengasihi. f. Kemampuan untuk mengatasi stres dan krisis (Succesful management of strees and crisis) Sebagian besar masalah di dunia ini dimulai atau berakhir di keluarga. Kadang-kadang keluarga atau anggota keluarga secara tidak sengaja
48
menciptakan masalah dalam keluarga, dan kadang-kadang dunia menciptakan masalah bagi keluarga, dan hampir selalu keluarga akan terjebak dengan masalah tidak peduli apa penyebabnya.
Dalam
keluarga yang harmonis, anggota keluarga memiliki kemampuan untuk mengelola dengan baik stres yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan kesulitan atau krisis yang terjadi dalam kehidupan secara kreatif dan efektif. Mereka tahu bagaimana mencegah masalah sebelum terjadi, dan bagaimana bekerja sama untuk menghadapi tantangan dalam hidup. Lam et al., (2012) mengkatagorikan keharmonisan keluarga dalam empat aspek: a. Komunikasi Adanya
kesempatan
dan
keinginan
untuk
berhubungan
atau
berkomunikasi antar anggota keluarga dan bersikap secara proaktif dalam berkomunikasi satu sama lain. Adanya kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama-sama. Juga adanya keinginan untuk saling mengerti, memahami meski terdapat perbedaan generasi (antar anak dan orang tua), orang tua berusaha mengerti situsi anak begitu juga sebaliknya yang harus dilakukan oleh anak. b. Sikap saling menghormati Sikap saling menghormati dianggap sebagai salah sau faktor paling penting untuk terwujudnya keluarga yang harmonis. Hal ini tercipta oleh adanya sikap saling menghormati dengan nilai-nilai atau ketetapan
yang di
sepakati
bersama.
Mampu
menyelesaikan
perselisihan atau konflik yang terjadi sampai situasi tenang atau kembali seperti semula juga diperlukan dalam terwujudnya keluarga yang harmonis. Dalam keluarga yang harmonis, adanya tenggang rasa 49
antar anggota keluarga dengan tidak bersikeras terhadap pandangan pribadi. c. Kurangnya konflik Kurang adanya konflik merupakan salah satu faktor penting untuk mempertahanan keluarga yang harmonis. d. Waktu keluarga Waktu
berkumpul
bersama
keluarga
menjadi
penting dalam
menciptakan keluarga yang harmonis Berdasarkan uraian di atas, penulis memakai aspek-aspek keharmonisan keluarga DeFrain dan Stinnett (2002, dalam Coombs, 2005) meliputi adanya apresiasi dan kasih sayang (appreciation and affection), komitmen (commitment), adanya komunikasi yang positif (positive communication), mempunyai waktu bersama keluarga (enjoyable time together), kesejahteraan spiritual dalam keluarga (spiritual well-being), dan adanya kemampuan untuk mengatasi stres dan krisis (succesful management of strees and crisis). Pemilihan aspek ini dengan asumsi bahwa keenam aspek ini telah mencakup keseluruhan fungsi di dalam keluarga.
2.3.3 Kaitan Keharmonisan Keluarga dengan Kecenderungan Kenakalan remaja Keharmonisan keluarga merupakan suatu situasi lingkungan diantara anggotanya didasari pada cinta kasih sehingga tercipta kehidupan yang
seimbang
(fisik,
mental,
emosional
dan
spiritual)
yang
memungkinkan seluruh anggota keluarga menjalankan perannya dan anak dapat untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Menurut Gunarsa 50
(1995) keluarga harmonis adalah bilamana seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan dan menerima seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi, aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental dan sosial. Fungsi keluarga tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan saja, juga merupakan sumber pendidikan utama. Selain itu juga merupakan produsen dan konsumen dalam mempersiapkan, menyediakan segala kebutuhan dan seluruh anggota keluarga saling membutuhkan satu sama lain (Gunarsa, 2003). Menurut Dodson (1990, dalam Maria, 2007) keluarga yang sehat adalah keluarga yang memberikan tempat bagi setiap individu menghargai perubahan
yang
terjadi
akibat
perkembangan
kedewasaan
dan
mengajarkan kemampuan berinteraksi kepada anggota keluarga terutama remaja. Dalam keluarga harmonis, seluruh anggota keluarga merasa dicintai, dan mencintai, merasa terpenuhi kebutuhan biologis dan psikologisnya, saling menghargai dan mengembangkan sistem interaksi yang memungkinkan setiap anggota menggunakan seluruh potensinya. Dalam kaitan dengan kenakalan remaja, penelitian di Indonesia membuktikan bahwa kenakalan remaja sangat terkait dengan hubungan yang tidak baik antara orang tua dan anak atau apa yang dilihatnya di rumah, sekolah dan di kalangan teman (Retnowati, 1983; & Sarifuddin, 1982 dalam Sarwono, 1999). Dalam suatu penelitian (Maria, 2007) keluarga mempunyai peran dalam membentuk kepribadian seorang remaja. Dalam keluarga yang sehat dan harmonis, anak akan mendapatkan latihan-latihan dasar dalam mengembangkan sikap sosial yang baik dan perilaku yang terkontrol. Selain itu anak juga memperoleh pengertian tentang hak, kewajiban,
51
tanggung jawab serta belajar bekerja sama dan berbagi dengan orang lain. Dengan kata lain seorang anak dalam keluarga yang diwarnai dengan kehangatan dan keakraban (keluarga harmonis) akan terbentuk asas hidup kelompok yang baik sebagai landasan hidupnya di masyarakat nantinya. Lingkungan keluarga yang kurang harmonis sering kali dianggap memberikan kontribusi terhadap munculnya kecenderungan kenakalan pada remaja, karena remaja yang dibesarkan oleh keluarga yang tidak harmonis akan mempersepsi rumahnya sebagai tempat yang tidak menyenangkan. Dengan menghadirkan enam aspek keharmonisan keluarga (DeFrain dan Stinnett, 2002 dalam Coombs, 2005) yakni adanya apresiasi dan kasih sayang, komunikasi yang positif, waktu bersama keluarga, kesejahteraan spiritual dan kemampuan untuk mengatasi stres dan krisis dalam keluarga memungkinkan remaja bertumbuh secara optimal ke arah positif dalam segala aspek sehingga akan menekan munculnya kecenderungan kenakalan.
52
2.4
PENELITIAN SEBELUMNYA Dari hasil penelusuran penulis pada berbagai hasil kajian
penelitian, kajian tentang kecerdasan emosional dan keharmonisan keluarga secara simultan sejauh ini belum ditemukan. Sementara hasil kajian penelitian tentang kecerdasan emosional dan keharmonisan keluarga secara parsial cukup yang ditemukan yang diuraikan sebagai berikut. 2.4.1 Kecerdasan
Emosional
dan
Kecenderungan
Kenakalan
Remaja Dalam kaitan dengan kenakalan remaja, kecerdasan emosional memainkan peran penting dalam menentukan perilaku. Kecerdasan emosional remaja memengaruhi kecenderungan kenakalan seseorang. Dalam suatu penelitian yang dilakukan Rini et. al., (2012) terhadap siswa SMAN se-Surakarta menemukan hasil bahwa ada hubungan yang negatif signifikan antara kecerdasan emosional dengan kenakalan remaja pada siswa SMAN se-Surakarta koefisien korelasi sebesar -0,259; signifikansi sebesar 0,000<0,05. Semakin tinggi tingkat kecerdasan emosional pada individu maka semakin rendah tingkat kenakalan individu tersebut. Demikian juga, penelitian yang dilakukan oleh Muawanah et. al., (2012) terhadap remaja tengah usia 16-17 tahun dengan sampel 53 laki-laki dan 67 perempuan di Kota Kediri, Jawa Timur, menemukan hasil koefisien korelasi parsial kematangan emosi = -0,313 dan p= 0,001. Hal ini menunjukkan, hubungan kematangan emosi dengan kenakalan remaja adalah berlawanan arah, prediksi tersebut signifikan (p<0,05). Artinya, kematangan emosi merupakan kapasitas psikologis yang berpotensi untuk memungkinkan terjadinya penurunan kenakalan remaja. Sejalan dengan 53
itu penelitian Agung dan Matulesssy (2012) menemukan hubungan negatif yang signifikan dengan koefisien korelasi sebesar -0,259 (p<0,05) . Sejalan dengan itu, penelitian dengan subjek yang terbatas, ditemukan hasil bahwa agresi dan kecerdasan emosional berkorelasi negatif
signifikan dengan r= -0.87, p<0,05. Hal ini berarti, semakin tinggi tingkat agresivitas
seseorang
maka
semakin
rendah
tingkat
kecerdasan
emosionalnya (Moskat dan Sorensen, 2012). Selain itu, penelitian Bacon et al., (2014) ditemukan bahwa kecerdasan emosional berpengaruh negatif signifikan terhadap perilaku nakal. Hasil yang sama dalam penelitian yang dilakukan oleh Silsby (2012) terhadap 61 partisipan remaja laki-laki dengan judul Emotional intelligence and juvenile delinquency among Mexican-American Adolescents. Hasil yang berbeda dari penelitian Yulianto (2012), ditemukan hasil terdapat hubungan negatif yang tidak signifikan dengan koefisien rx2y= -0,081 pada p=0,167 (p>0,05).
2.4.2 Keharmonisan Keluarga dan Kecenderungan Kenakalan Remaja Selain kecerdasan emosional, beberapa peneliti sebelumnya juga telah melakukan penelitian tentang keterkaitan antara keharmonisan keluarga dengan kecenderungan kenakalan remaja. Semakin baik keharmonisan keluarga, maka kenakalan remaja semakin menurun. Pernyataan ini mendukung penelitian dari Maria (2007), terhadap siwa SMPN 20 Surakarta Jawa Tengah. Hasilnya, ditemukan sumbangan efektif dari keharmonisan keluarga terhadap kecenderungan kenakalan remaja sebesar 7,2%. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Saputri dan Naqiah (2014), menyatakan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan 54
antara keharmonisan keluarga dengan perilaku agresif dari siswa, dengan uji korelasi ganda yang menunjukan diperoleh koefisien korelasi r tabel (5% =0,176) ≤ (r empirik -0,573) ≤ r tabel (1%=0,230). Artinya, r empirik sebesar 0,573 adalah lebih kecil dari r teoritik baik pada taraf signifikan 5% maupun 1%. Sehingga disimpulkan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara keharmonisan keluarga dengan perilaku agresif. Hal ini berarti, adanya keharmonisan dalam suatu keluarga akan memungkinkan munculnya perilaku yang baik bagi para anggota keluarga terutama bagi anak. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Darokah dan Safaria (2005) yang menyatakan keluarga yang tidak harmonis mempunyai resiko lebih tinggi untuk terlibat dalam perilaku nakal. Hasil penelitian yang sama juga dilakukan oleh Widyawati, et al., (2014) terhadap siswa-siswa salah satu sekolah, hasil menunjukan bahwa ada hubungan yang negatif kecerdasan emosional dan kenakalan remaja dengan korelasi -0,258 dengan nilai signifikansi 0,000. Hasil yang berbeda ditemukan dalam penelitian Irmawati dan Kurniawan (2008), dengan temuan rxy = 0,106, p = 0,147 (p> 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan negatif signifikan antara keluarga harmonis dengan kecenderungan kenakalan remaja di Surakarta. Artinya,
perilaku
kenakalan
remaja
tidak
dipengaruhi
adanya
keharmonisan dalam keluarga dengan kata lain keluarga yang harmonis belum tentu menjadi faktor penentu untuk menciptakan perilaku yang baik bagi remaja.
55
2.5
DINAMIKA HUBUNGAN ANTAR PEUBAH Santrock
(2003)
mendefinisikan
remaja
sebagai
masa
perkembangan transisi antara anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Perubahan biologis mencakup perubahan dalam hakikat fisik individu. Perubahan kognitif meliputi perubahan dalam pikiran, intelegensi dan bahasa tubuh, sedangkan perubahan sosial emosional meliputi perubahan dalam hubungan individu dengan manusia lain, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan sekitar, dalam emosi, kepribadian, dan konsep diri. Pada masa transisi tersebut kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis, yang ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku menyimpang yaitu kenakalan remaja. Banyak peneliti yang telah melakukan penelitian untuk mencari faktor-faktor yang berhubungan dengan kecenderungan kenakalan remaja. Semua faktor tersebut memiliki kontribusi tersendiri. Berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan disimpulkan kecenderungan kenakalan remaja disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Dalam penelitian ini dipahami bahwa kecenderungan kenakalan pada remaja dipengaruhi oleh kecerdasan emosional individu dan keharmonisan keluarga. Kecerdasan emosional merupakan serangkaian kemampuan, kompetensi, dan kecakapan non-kognitif yang memengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan (Stein & Book, 2002). Salovey dan Mayer (1990, dalam Stein & Book, 2002), menyatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang dalam mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan itu untuk membantu pikiran memahami perasaan dan maknanya 56
serta mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosional dan intelektual. Seseorang remaja yang memiliki kecerdasan emosional tinggi memiliki kecenderungan yang rendah dalam melakukan tindakan bermasalah yang berat, dan sebaliknya dengan remaja yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah berpotensi untuk melakukan atau mempunyai masalah yang berat. Menurut Rachmawati (2013) siswa yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah, cenderung tidak mempunyai rasa tanggung jawab terhadap perasaan diri sendiri tetapi menyalahkan orang lain, berbohong tentang apa yang ia rasakan, tidak sensitif terhadap perasaan orang lain, tidak mempunyai rasa empati dan rasa kasihan, sering merasa kecewa, dan pemarah, sehingga memicu permasalahan yang menyebabkan siswa memiliki masalah yang berat dan kemudian melakukan perilaku yang menyimpang. Hal ini sejalan dengan penelitian dari Rini et al. (2012); Muawanah et al., (2012) yang menyatakan, kecerdasan emosional berpengaruh pada kecenderungan perilaku nakal yang dilakukan. Remaja dengan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi akan memiliki kecenderungan kenakalan yang rendah dan sebaliknya. Selain faktor kecerdasan emosional, faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah keharmonisan keluarga. Keluarga yang sehat, harmonis dapat menjadi sumber daya berharga untuk bertahan dalam kesulitan hidup. Di sisi lain, hubungan yang tidak sehat atau disfungsional dapat menciptakan masalah serius yang dapat bertahan dari satu generasi ke generasi berikutnya (DeFrain & Asay, 2007).
57
Menurut Gunarsa (1995), keluarga harmonis ketika seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan dan menerima seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi, aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental dan sosial. Fungsi keluarga tidak hanya terbatas selaku penerus keturunan tetapi merupakan sumber pendidikan utama. Selain itu, keluarga juga merupakan produsen dan konsumen dalam mempersiapkan, menyediakan segala kebutuhan dan seluruh anggota keluarga untuk saling membutuhkan satu sama lain (Gunarsa, 2003). Dalam keluarga yang harmonis, terciptanya apresiasi dan kasih sayang, komitmen, adanya komunikasi yang positif, mempunyai waktu bersama keluarga, kesejahteraan spiritual dalam keluarga, dan adanya kemampuan untuk mengatasi stres dan krisis (Coombs, 2005). Keluarga harmonis, seluruh anggota keluarga merasa dicintai, dan mencintai, merasa terpenuhi kebutuhan biologis dan psikologisnya, saling menghargai dan mengembangkan sistem interaksi yang memungkinkan setiap anggota menggunakan seluruh potensinya. Seorang anak dalam keluarga yang diwarnai dengan kehangatan dan keakraban (keluarga harmonis) akan terbentuk asas hidup kelompok yang baik sebagai landasan hidupnya di masyarakat nantinya dan sebaliknya lingkungan keluarga yang kurang harmonis sering kali dianggap memberikan kontribusi terhadap munculnya kenakalan pada remaja (Maria, 2007). Hal itu didukung oleh penelitian Darokah dan Safaria (2005); Saputri dan Naqiah (2014), bahwa keharmonisan keluarga memungkinkan munculnya perilaku yang baik bagi para anggota keluarga terutama bagi anak sedangkan keluarga yang tidak harmonis mempunyai resiko lebih tinggi untuk terlibat dalam perilaku nakal. 58
2.6
MODEL PENELITIAN Berdasarkan tujuan penelitian, hasil-hasil penelitian sebelumnya
dan landasan teori yang telah dikemukakan sebelumnya maka kaitan antar peubah dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Kecerdasan Emosional X1 Kecenderungan Kenakalan Remaja Y Keharmonisan Keluarga X2
Gambar 2.1 Model penelitian
2.7
HIPOTESIS Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh kecerdasan
emosional
dan keharmonisan keluarga
secara simultan terhadap
kecenderungan kenakalan remaja siswa SMP Negeri 13 Ambon.
59