BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi Kecacingan Infeksi cacing merupakan permasalahan kesehatan dunia. Saat ini diperkirakan lebih dari 1,5 miliar orang (24% dari populasi dunia) terinfeksi oleh parasit cacing (WHO., 2015). Masalah kecacingan merupakan masalah yang serius di Indonesia. Angka infeksi cacing mencapai 28% dari penduduk Indonesia pada tahun 2013 (Kemenkes, RI., 2015). Kecacingan sering terjadi pada anakanak, diperkirakan sekitar 270 juta anak usia balita dan 600 juta anak usia sekolah beresiko tinggi terinfeksi parasit cacing di seluruh dunia (WHO., 2015). Infeksi cacing umumnya terjadi di negara-negara berkembang, dimana keadaan hidup dan pelayanan kesehatan masih kurang baik dan higienitas masih belum memadai (Rahardja dan Tan, 2010). Kecacingan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestive), penyerapan (absorption) dan metabolisme makanan. Secara kumulatif infeksi cacing dapat menimbulkan kurangnya gizi berupa kalori dan protein serta kehilangan darah yang berakibat menurunnya daya tahan tubuh dan menimbulkan gangguan tumbuh kembang (Samudar, dkk., 2013).
2.2 Penyebab Kecacingan Cacing penyebab infeksi pada manusia dapat dibagi menjadi dua filum utama, yaitu nematoda atau cacing gelang dan Platyhelmintes atau cacing pipih. Platyhelmintes terbagi menjadi dua kelas yaitu trematoda dan cestoda (Soedarto, 2008). 6 Universitas Sumatera Utara
Filum nematoda (roundworm) mempunyai bentuk tubuh bulat memanjang, silindris, tidak bersegmen dan bilateral simetris. Cacing ini memiliki rongga tubuh dan tubuhnya tertutup oleh kutikulum. Alat pencernaannya sudah lengkap, tetapi sistem syaraf dan ekskresinya belum sempurna. Nematoda adalah cacing yang uniseksual dengan alat reproduksi jantan dan betina yang terpisah (Soedarto, 2008). Trematoda mempunyai bentuk tubuh yang tidak bersegmen, pipih mirip daun. Cacing dewasa mempunyai alat isap mulut (oral sucker) yang terdapat di kepala dan alat isap ventral yang terdapat di bagian perut. Trematoda pada umumnya bersifat hermaprodit. Trematoda memiliki alat pencernaan yang belum sempurna dan tidak memiliki rongga tubuh. Ciri khas trematoda adalah adanya sistem ekskresi (flame cell) yang berbentuk khas pada setiap spesies (Soedarto, 2008). Cacing cestoda mempunyai bentuk seperti pita, pipih ke arah dorsoventral dan mempunyai banyak ruas (segmen). Cestoda memiliki alat pencernaan yang belum sempurna dan tidak memiliki rongga tubuh. Kepala cacing cestoda mempunyai alat isap untuk menempel yang dilengkapi kait untuk menempel pada organ manusia atau hewan yang menjadi hospes tempatnya hidup (Soedarto, 2008). Berikut adalah uraian tentang infeksi yang disebabkan oleh nematoda, cestoda dan trematoda. 2.2.1 Infeksi nematoda Menurut Anand dan Sharma (1997) infeksi nematoda (roundworm) yang sering
terjadi
adalah
askariasis,
infeksi
cacing
tambang,
trikuriasis,
strongyloidiasis dan filariasis. 7 Universitas Sumatera Utara
2.2.1.1 Askariasis Penyakit ini disebabkan Ascaris lumbricoides, yaitu cacing yang hidup di lumen usus halus manusia. Infeksi terjadi karena konsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh telur Ascaris. Rendahnya tingkat sanitasi dan kurangnya kebersihan personal merupakan penyebab utama menyebarnya penyakit ini. Penyakit ini umum terjadi pada orang yang tinggal di daerah kumuh yang padat penduduk (Anand dan Sharma, 1997). Askariasis tersebar di seluruh dunia dan menginfeksi sekitar 1000-1300 juta orang dan menyebabkan 20.000 kematian setiap tahun. Askariasis menyebabkan malnutrisi pada anak-anak. Proses migrasi larva dari usus ke paruparu juga menyebabkan pneumonia atipikal dengan inflamasi sel paru-paru dan hati, demam dan eosinofilia. Cacing dewasa terkadang berpindah ke hati, usus buntu, esofagus dan memblok saluran pencernaan yang dapat menyebabkan kolik (Anand dan Sharma, 1997). 2.2.1.2 Infeksi cacing tambang Infeksi cacing tambang disebabkan oleh nematoda penghisap darah, Ancylostoma duodenale, A. ceylanicum dan Necator americanus pada saluran cerna manusia. Infeksi ini umum terjadi pada petani yang bekerja dengan bertelanjang kaki di lahan yang diberi pupuk kandang. Infeksi terjadi melalui larva infektif yang berpenetrasi menembus kulit dan memasuki sirkulasi darah. Larva ini akan tumbuh menjadi cacing dewasa dan memperoleh makanan dengan mengisap darah inangnya melalui vili saluran pencernaan (Anand dan Sharma, 1997). Gejala utama infeksi ini adalah anemia hipokromik yang disebabkan kehilangan darah dalam jumlah besar. Hal ini menyebabkan perasaan lemas, 8 Universitas Sumatera Utara
lunglai, anoreksia dan menurunnya daya tahan tubuh. Infeksi cacing tambang juga menyebabkan gangguan dan rasa sakit pada saluran pencernaan. Anak-anak dengan infeksi berat menunjukkan pertumbuhan mental dan fisik yang buruk (Anand dan Sharma, 1997). 2.2.1.3 Trikuriasis Penyakit ini disebabkan infeksi Trichuris trichiura, yang dikenal sebagai cacing cambuk. Cacing ini hidup menempel di saluran pencernaan terutama pada usus besar manusia. Infeksi disebabkan karena konsumsi air atau sayuran yang terkontaminasi telur T. trichiura. Infeksi ringan umumnya asimtomatis, namun infeksi berat Trichuris dapat menyebabkan anemia, eosinofilia, sakit perut, diare, kotoran berlendir dan prolaps rektum (Anand dan Sharma, 1997). 2.2.1.4 Strongiloidiasis Sama seperti cacing tambang, Strongyloides stercoralis juga menginfeksi manusia dengan menembus kulit dalam bentuk larva filariform. Cacing ini memiliki tubuh yang tipis seperti benang, sehingga disebut cacing benang. Cacing ini hidup di mukosa intestinal manusia (Anand dan Sharma, 1997). Pergerakan cacing dewasa dan larvanya menyebabkan perubahan patologis seperti inflamasi sel, reaksi alergi dan eosinofilia. Gejala klinis penyakit ini adalah diare, sakit perut dan gangguan pencernaan. Infeksi berat dapat menyebabkan malabsorpsi, flatulens dan distensi abdominal (Anand dan Sharma, 1997). 2.2.1.5 Filariasis Filariasis merupakan penyakit yang sering terjadi di daerah tropis. Penyebab utama penyakit ini adalah cacing Wucherecia bancrofti, Brugia malayi, Onchocerca volvulus, Loa loa, Dipetalonema perstans, D. streptocerca dan Mansonella ozzardi. Nyamuk dan lalat merupakan inang perantara dalam siklus 9 Universitas Sumatera Utara
hidup cacing ini. Infeksi pada manusia terjadi ketika nyamuk menghisap darah manusia. Setelah mencapai sirkulasi darah, larva infektif akan berkembang menjadi cacing dewasa yang hidup di nodus limfe, pembuluh limfe, jaringan penghubung dan organ tubuh lainnya (Anand dan Sharma, 1997). Gejala-gejala yang ditunjukkan infeksi ini adalah demam tinggi, kedinginan, membesarnya nodus limfe, rasa sakit dan bengkak pada testis. Pada infeksi kronis, obstruksi sistem limfatik menyebabkan pembesaran pada kaki (elephanthiasis), lengan, skrotum dan dada. Terkadang cacing dewasa dapat bermigrasi ke bola mata, menyebabkan kebutaan dan gangguan syaraf (Anand dan Sharma, 1997). 2.2.2 Infeksi trematoda Infeksi trematoda yang sering terjadi diantaranya adalah schistosomiasis dan fasciolopsiasis (Anand dan Sharma, 1997). 2.2.2.1 Schistosomiasis Schistosomiasis adalah penyakit kecacingan pada manusia
yang
disebabkan oleh invasi 4 spesies trematoda darah, yaitu Schistosoma haematobium, S. mansoni, S. japonicum dan S. intercalatum. Cacing dewasa memiliki alat reproduksi yang terpisah (Anand dan Sharma, 1997). Cacing dewasa Schistosoma hematobium menyebabkan schistosomiasis saluran kemih (bilharziasis). S. hematobium hidup di pembuluh darah pelvis dan terkadang di pembuluh darah kolon dan rektum. Cacing ini mengeluarkan telur bersama urin dari hospesnya. Schistosoma lainnya (S.mansoni, S. japonicum dan S. intercalatum) mengakibatkan bilharziasis internal dan hidup di peredaran darah, vena mesentrik dan plexus hemoroid. Ketiga trematoda darah ini umumnya mengeluarkan telur bersama feses hospesnya (Anand dan Sharma, 1997). 10 Universitas Sumatera Utara
Telur Schistosoma yang keluar dari tubuh hospes bersama tinja atau urin harus masuk ke dalam air agar dapat menetas menjadi larva mirasidium. Larva ini berenang mencari hospes perantara yaitu siput. Di dalam tubuh siput, mirasidium berkembang menjadi sporokista dan akhirnya tumbuh menjadi serkaria yang infektif. Infeksi penyakit ini umumnya terjadi pada orang yang bekerja di sawah, danau, kolam, kanal dan aliran air yang terkontaminasi oleh larva. Larva akan masuk ke dalam aliran darah dengan berpenetrasi menembus kulit (Anand dan Sharma, 1997). 2.2.2.2 Fasciolopsiasis Beberapa cacing trematoda menginfeksi saluran cerna manusia dan hewan, sehingga disebut trematoda saluran pencernaan. Contohnya adalah Fasciolopsis buski, Heterophyses heterophyses dan Metagonimus yokogawi. Infeksi terjadi melalui konsumsi buah atau tanaman air yang terkontaminasi larva cacing. Hospes perantara cacing ini adalah siput. Manifestasi klinis penyakit ini adalah sakit perut, diare, mual, muntah dan anoreksia. Terkadang terjadi pembengkakan di wajah pada anak-anak (Anand dan Sharma, 1997). 2.2.3 Infeksi cestoda Infeksi yang diakibatkan cestoda yang sering terjadi adalah infeksi di saluran cerna dan kista hidatid (Anand dan Sharma, 1997). 2.2.3.1 Infeksi cestoda saluran cerna Merupakan infeksi yang disebabkan Taenia saginata (cacing pita sapi), Taenia solium (cacing pita babi) dan Diphyllobothrium latum (cacing pita ikan). Cacing ini tersebar di seluruh dunia, namun lebih sering terjadi pada daerah tropis dan sub-tropis. Cacing pita merupakan parasit hermaprodit yang menempelkan tubuhnya pada mukosa saluran cerna. Infeksi pada manusia terjadi melalui 11 Universitas Sumatera Utara
konsumsi daging sapi, babi, atau ikan mentah atau kurang matang yang terkontaminasi larva cacing pita. Infeksi juga dapat terjadi melalui minuman, buah dan sayuran yang dimasak kurang matang (Anand dan Sharma, 1997). Infeksi
cacing
ini
umumnya
asimtomatis,
namun
infeksi
berat
menimbulkan mual, muntah, lemas, turunnya berat badan, sakit perut dan diare (Anand dan Sharma, 1997). 2.2.3.2 Hidatid Merupakan penyakit yang disebabkan kista hidatid, yaitu larva Echinococcus granulosus dan E. multilocularis pada manusia dan hewan ternak. Umumnya menyerang orang yang sering berinteraksi dengan kucing, anjing atau domba. Cacing dewasa hidup pada hewan dan mengeluarkan telur bersama dengan feses (Anand dan Sharma, 1997). Saat menuju usus 12 jari inangnya, cangkang telur cacing akan terlepas dan membebaskan onkosper yang menembus dinding saluran cerna dan lalu mencapai sirkulasi darah. Onkosper lalu dibawa ke bagian lain tubuh dan berubah menjadi kista. Kista menghuni bagian tubuh seperti paru-paru, ginjal, otak, jantung, tulang, otot-otot dan paling banyak terdapat di hati (Anand dan Sharma, 1997). Gejala utama penyakit hidatid adalah inflamasi dan nekrosis jaringan di sekitar kista. Kista hidatid di hati akan menyebabkan mual, muntah, sakit perut dan rasa nyeri epigastrik karena pembesaran hati. Kista yang terdapat di paru-paru akan menimbulkan gejala berupa demam dan batuk yang hilang-timbul, kolik bilier dan jaundice. Terkadang kista akan pecah dan mengeluarkan cairan hidatid yang dapat mengakibatkan syok anafilaktik dan berakibat fatal (Anand dan Sharma, 1997). 12 Universitas Sumatera Utara
2.3 Pengobatan Kecacingan Antelmintik atau obat cacing ialah obat yang digunakan untuk memberantas atau mengurangi cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh. Kebanyakan obat cacing efektif terhadap satu macam cacing, sehingga diperlukan diagnosa tepat sebelum menggunakan obat tertentu. Kebanyakan obat cacing diberikan secara oral, pada saat makan atau sesudah makan. Beberapa obat cacing perlu diberikan bersama pencahar. Obat cacing baru umumnya lebih aman dan efektif dibanding dengan yang lama, efektif untuk beberapa macam cacing, rasanya tidak mengganggu, pemberiannya tidak memerlukan pencahar dan beberapa dapat diberikan sebagai dosis tunggal (Syarif dan Elysabeth, 2011). Menurut Holden-Dye dan Walker (2007), antelmintik dibagi menjadi 6 golongan berdasarkan struktur kimia dan mekanisme kerjanya yaitu: 2.3.1 Golongan piperazin Piperazin bekerja sebagai agonis GABA pada otot cacing. Cara kerja piperazin pada otot cacing ascaris lumbricoides adalah dengan mengganggu permeabilitas
membran
sel
terhadap
ion-ion
yang
berperan
dalam
mempertahankan potensial istirahat, sehingga menyebabkan hiperpolarisasi dan supresi impuls spontan disertai paralisis. Piperazin efektif terhadap Ascaris lumbricoides dan Enterobiasis vermicularis (cacing kremi) (Syarif dan Elysabeth, 2011). Struktur piperazin dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Struktur piperazin 13 Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Golongan benzimidazol Benzimidazol
merupakan
antelmintik
berspektrum
luas
dengan
mekanisme kerja menghambat pembentukan sitoskeleton dengan berinteraksi secara selektif dengan ß-tubulin. Derivat benzimidazol adalah tiabendazol, mebendazol dan albendazol (Syarif dan Elysabeth, 2011). Struktur benzimidazol dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Struktur benzimidazol a. Tiabendazol Merupakan antelmintik derivat benzimidazol berspektrum luas dan efektif untuk mengobati infestasi berbagai nematoda pada manusia. Tiabendazol mempunyai daya antelmintik yang luas, efektivitasnya tinggi terhadap strongiloidiasis, askariasis dan larva migrans kulit; berguna untuk mengobati trikuriasis dan trikinosis akut. Cara kerjanya sama dengan derivat benzimidazol lainnya, misalnya dengan menghambat enzim fumarat reduktase cacing (Syarif dan Elysabeth, 2011). b. Mebendazol Mebendazol efektif untuk mengobati infeksi cacing gelang, cacing kremi, cacing tambang dan T. trichiura, sehingga efektif untuk mengobati infestasi campuran cacing-cacing tersebut. Mebendazol bekerja dengan menyebabkan kerusakan struktur subselular dan menghambat sekresi asetilkolinesterase cacing. Obat ini juga menghambat pengambilan glukosa secara ireversibel sehingga akan
14 Universitas Sumatera Utara
terjadi pengosongan (deplesi) glikogen pada cacing (Syarif dan Elysabeth, 2011). c. Albendazol Albendazol efektif dalam dosis tunggal untuk infeksi cacing kremi, cacing gelang, cacing trikuris, cacing S. stercoralis dan cacing tambang. Juga merupakan obat pilihan untuk penyakit hidatid dan sistiserkosis. Obat ini bekerja dengan cara berikatan
dengan
ß-tubulin
parasit
sehingga
menghambat
polimerisasi
mikrotubulus dan memblok pengambilan glukosa oleh larva maupun cacing dewasa, sehingga persediaan glukosa menurun dan pembentukan ATP berkurang dan menyebabkan kematian cacing. Obat ini dapat membunuh larva N.americanus dan juga dapat merusak telur cacing gelang, tambang dan trikuris (Syarif dan Elysabeth, 2011). 2.3.3 Golongan agonis reseptor nikotinik Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah pirantel pamoat dan morantel. Struktur pirantel pamoat dan morantel dapat dilihat pada Gambar 2.3. a. Pirantel pamoat Pirantel pamoat terutama digunakan untuk memberantas cacing gelang, cacing kremi dan cacing tambang. Pirantel pamoat dan analognya menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan frekuensi impuls, sehingga cacing mati dalam keadaan spastis (Syarif dan Elysabeth, 2011). b. Morantel Morantel adalah antelmintik golongan tetrahidro pirimidin yang berguna untuk mengatasi infeksi cacing gelang dan cacing pita (Syarif dan Elysabeth, 2011).
15 Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3 Struktur pirantel pamoat dan morantel 2.3.4 Golongan spiroindol Paraherquamide A dan marcfortine A adalah anggota golongan oxindol alkaloid yang diisolasi dari Penicillum paraherquei dan P.roqueforti. Cara kerja antelmintik golongan ini adalah menimbulkan paralisis flasid pada cacing parasit dan sebagai antagonis kompetitif reseptor kolin (Holden-Dye dan Walker, 2007). Struktur paraherquamide A dan marcfortine A dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Struktur paraherquamide A dan marcfortine A 2.3.5 Golongan lakton makrosiklik Antelmintik
yang termasuk golongan lakton makrosiklik
adalah
avermektin dan ivermektin. Struktur avermektin dan ivermektin dapat dilihat pada Gambar 2.5.
16 Universitas Sumatera Utara
a. Avermektin Avermektin dihasilkan lewat proses fermentasi dari Streptomyces avermitilis. Obat ini efektif terhadap infeksi onchocersiasis dan strongiloidiasis. Cara kerjanya yaitu memperkuat peranan GABA pada proses transmisi di saraf tepi sehingga cacing mati dalam keadaan paralisis (Syarif dan Elysabeth, 2011). b. Ivermektin Ivermektin adalah antelmintik semisintesis dari avermektin yang lebih efektif dan aman dibanding senyawa induknya (Holden-Dye dan Walker, 2007).
Gambar 2.5 Struktur avermektin dan ivermektin 2.3.6 Golongan emodepsid Merupakan hasil fermentasi dari jamur Mycelia sterilia. Menyebabkan paralisis otot dengan mengganggu pertukaran ion kalsium dan kalium pada otot cacing (Holden-Dye dan Walker, 2007). Struktur emodepsid dapat dilihat pada Gambar 2.7
Gambar 2.7 Struktur emodepsid 17 Universitas Sumatera Utara
2.4 Tumbuhan Sebagai Sumber Antelmintik Penggunaan tumbuhan untuk mengobati infeksi cacing telah banyak digunakan dalam pengobatan tradisional seperti ayurveda, pengobatan tradisional Cina dan pengobatan tradisional Yunani yang telah dipraktikkan sejak dulu kala. Obat-obat tradisional ini digunakan sebagai kunci untuk mengembangkan obatobatan modern. Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kandungan senyawa kimia dan aktivitas biologis tumbuhan obat untuk menemukan sumber antelmintik yang baru (Anand dan Sharma, 1997). Senyawa-senyawa metabolit sekunder dari tumbuhan seperti alkaloid, flavonoid, glikosida, kalkon, kumarin, kuinolon, lignin, saponin dan terpenoid memiliki potensi sebagai antelmintik. Studi in vitro menunjukkan bahwa beberapa spesies tumbuh-tumbuhan dari suku Amaranthaceae (bayam duri), Apiaceae (adas), Apocynaceae (tapak dara), Arecaceae (pinang), Asteraceae (bunga matahari), Boraginaceae (pohon kendal), Colchicaseae (kembang sungsang), Crassulaceae (cocor bebek), Dryopteridaceae (pakis), Euphorbiaceae (patikan kebo), Fabaceae (dadap ayam), Lythraceae (delima), Moraceae (pohon serut), Myrsinaceae (pohon beech), Polygonaceae (kalembak), Rutaceae (jeruk sitrun), Schropulariaceae (jaka tuwa), dan Zingiberaceae (kunyit) mampu membunuh cacing parasit yang menyebabkan infeksi pada manusia (Padal, et al., 2014; Wink, 2012). Salah satu tumbuhan yang memiliki khasiat antelmintik adalah pugun tanoh [Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.] yang merupakan anggota dari suku Scrophulariaceae (Patilaya dan Husori, 2015). Studi in vitro menunjukkan bahwa jenis tumbuhan dari famili Schropulariaceae mampu membunuh cacing parasit penyebab infeksi (Padal, et al., 2014). 18 Universitas Sumatera Utara
2.5 Pugun Tanoh Pugun tanoh [Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.] merupakan tanaman dari famili Schropulariaceae yang tumbuh di wilayah Asia seperti Cina, India, Indonesia, Filipina, Malaysia dan Myanmar. Di Indonesia, Pugun tanoh dikenal dengan nama daerah pugun taneh (Karo), kukurang, mempedu tanah (Maluku), tamah raheut (Sunda), kerut, kerut mea, parang raindang, parang rintek (Minahasa), ai laun ujin (Ambon) dan papaita (Ternate) (Heyne, 1987). Di luar negeri, pugun tanoh dikenal dengan nama curanja (Inggris), kong saden (Laos), sagai-uak (Filipina), hempedu tanah, gelumak susu, rumput kerak nasi (Malaysia) dan thanh (Vietnam) (Stuartxchange, 2015). Sistematika tumbuhan pugun tanoh menurut IUCN (2015) adalah sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Scrophulariales
Famili
: Scrophulariaceae
Genus
: Curanga
Spesies
: Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.
Sinonim
: Curanga amara Vahl., Curanga amara Juss., Curania amara R&S., Gratiola amara Roxb., Picria fel-terrae Lour. dan Torenia cardiosepala Benth.
2.5.1 Morfologi tumbuhan Pugun tanoh merupakan herba tahunan, tinggi 40-90 cm, memiliki batang dengan cabang yang jarang, tegak atau melata, segi empat, batang berwarna coklat 19 Universitas Sumatera Utara
kemerahan, berakar di buku-buku, memiliki bulu halus yang padat. Daun berhadapan, bulat telur, pangkal daun membulat, ujung daun agak melancip, tepi daun beringgitan, berbulu halus. Pembungaan berupa tandan di ujung atau di batang, jumlah bunga 2-16, daun gagang bunga kecil, daun kelopak bunga berbentuk hati, mahkota bunga berbibir rangkap, bagian atas mahkota bunga berwarna coklat kemerah-merahan, sedangkan bagian bawah berwarna putih. Pada bagian luar bunga tidak berbulu, pada bagian dalam bunga ada kelenjar bulu. Buah berupa kapsul, berbentuk bulat telur, padat, panjangnya sekitar 3-4 mm, berkatup dua, dengan beberapa biji. Biji berbentuk membulat, dengan diameter sekitar 0,6 mm (Prohati, 2015). 2.5.2 Kandungan kimia tumbuhan Daun pugun tanoh mengandung flavonoid, glikosida, saponin, tanin, steroid, triterpenoid (Patilaya dan Husori, 2015), ß-sitosterol (Sitorus, dkk., 2014), apigenin (Huang, et al., 2011), curangin (Heyne, 1987) dan senyawa kukurbitasin seperti picfeltarraenon II, pifeltarraegenin I, picfeltarraenin IA, IB dan IV (Zou, et al., 2006). 2.5.3 Khasiat tumbuhan Di Maluku dan Filipina, cairan dekoksi dari tanaman ini dianggap sebagai obat cacing untuk anak-anak, untuk mengobati kolik (mulas mendadak dan hebat) juga malaria. Di Indonesia, tapel daun pugun tanoh dapat menyembuhkan gatalgatal dan penyakit kulit lainnya. Maserasi daun pugun tanoh dengan alkohol dianggap sebagai tonik (untuk menguatkan badan dan meningkatkan nafsu makan) (Prohati, 2015). Pugun tanoh juga memiliki efek diuretik (Dalimunthe, 2015), antikanker (Satria, 2015), antidiabetes (Sitorus, 2014), menyembuhkan luka bakar (Fitrah, 2013) dan antiasma (Harahap, 2013). 20 Universitas Sumatera Utara
2.6 Simplisia dan Ekstrak Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga kecuali dikatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan (Ditjen, POM., 2000). Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia hewani atau nabati menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan serbuk atau massa yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen, POM., 2000). 2.6.1 Metode ekstraksi Ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan 2 metode yaitu: 2.6.1.1 Metode dingin Ekstraksi dengan metode dingin terdiri dari 2 metode yaitu maserasi dan perkolasi (Ditjen, POM., 2000). a. Maserasi Maserasi adalah proses pengeekstrakan serbuk simplisia dengan menggunakan pelarut yang sesuai dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan. Secara teknologi, maserasi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti pengadukan yang dilakukan secara kontinu (terusmenerus). Remaserasi berarti berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Ditjen, POM., 2000). 21 Universitas Sumatera Utara
b. Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Ditjen, POM., 2000). 2.6.1.2 Metode panas Ekstraksi dengan metode panas terdiri dari 5 metode yaitu reflukstasi, soxhletasi, digestasi, infundasi dan dekoktasi (Ditjen, POM., 2000). a. Reflukstasi Reflukstasi adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna. (Ditjen, POM., 2000). b. Soxhletasi Soxhletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. (Ditjen, POM., 2000). c. Digestasi Digestasi adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari suhu ruangan, secara umum dilakukan pada suhu 40-50°C (Ditjen, POM., 2000). 22 Universitas Sumatera Utara
d. Infundasi dan dekoktasi Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infundasi tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 9698°C) selama 15-20 menit. Dekoktasi adalah infudasi dengan waktu yang lebih lama (>30 menit) dan temperatur 100°C (Ditjen, POM., 2000).
2.7 Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak 2.7.1 Organoleptik Pemeriksaan organoleptik bertujuan untuk pengenalan awal simplisia dan ekstrak dengan cara yang sesederhana dan seobyektif mungkin. Prinsipnya adalah penggunaan panca indra untuk pengenalan bentuk, warna, bau dan rasa (Ditjen, POM., 2000). 2.7.2 Mikroskopik Uji mikroskopik mencakup pengamatan terhadap bagian simplisia dan fragmen pengenal dalam bentuk sel, isi sel atau jaringan tanaman serbuk simplisia yang secara umum dilakukan di bawah mikrokop (Depkes, RI., 1979). 2.7.3 Rendemen Rendemen adalah perbandingan berat akhir (berat simplisia atau ekstrak yang dihasilkan) dengan berat awal (berat bahan basah atau berat simplisia yang digunakan) dikalikan 100% (Sani, dkk., 2014). 2.7.4 Kadar air Penetapan kadar air bertujuan untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air di dalam bahan karena tingginya kandungan air menyebabkan ketidakstabilan sediaan obat, bakteri dan jamur cepat tumbuh dan bahan aktif yang terkandung didalamnya dapat terurai. Penetapan 23 Universitas Sumatera Utara
kadar air dapat dilakukan dengan cara titrasi, destilasi atau gravimetri (Ditjen, POM., 2000). 2.7.5 Kadar abu Tujuan penetapan kadar abu adalah untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak. Prinsip penetapan kadar abu adalah bahan dipanaskan pada temperatur di mana senyawa organik dan turunannya terdekstruksi dan menguap, sehingga yang tertinggal adalah unsur mineral dan organik (Ditjen, POM., 2000). Kadar logam berat yang tinggi dapat membahayakan kesehatan, oleh sebab itu perlu dilakukan penetapan kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam berat tertentu melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya (toksik) bagi kesehatan (Satria, dkk., 2015). 2.7.6 Kadar sari Penetapan kadar sari bertujuan untuk menentukan jumlah senyawa aktif yang terekstraksi dengan pelarut yang digunakan. Digunakan untuk simplisia yang belum diketahui pelarut apa yang paling sesuai untuk ekstraksinya (WHO., 1998).
2.8 Metode Uji Aktivitas Antelmintik 2.8.1 Metode uji in vitro Penelitian secara in vitro adalah suatu proses yang dilakukan untuk menunjukkan gejala yang diteliti di luar tubuh makhluk hidup dalam kondisi laboratorium. Penelitian daya antelmintik secara in vitro yang sering dilakukan adalah dengan metode rendaman, dimana cacing yang bersangkutan direndam dalam larutan obat atau jamu dan efek yang timbul diamati. Faktor yang perlu 24 Universitas Sumatera Utara
diperhatikan dalam metode ini adalah faktor media, yaitu pemilihan media harus yang paling cocok untuk kelangsungan hidup cacing tersebut di luar tempat hidup sebenarnya (Djatmiko, 2009). Parameter dari uji antelmintik secara in vitro adalah waktu paralisis dan waktu kematian cacing. Waktu paralisis dinyatakan apabila cacing tidak bergerak kecuali apabila cacing diguncang dengan kuat menggunakan spatula. Waktu kematian dinyatakan apabila cacing tetap tidak bergerak meskipun jika dicelupkan ke dalam air hangat bersuhu 40-50°C dan cacing perlahan-lahan kehilangan warna tubuhnya (Bora, et al., 2014). 2.8.2 Metode uji in vivo Uji in vivo adalah uji yang dilakukan di dalam tubuh makhluk hidup (Dorland, 2012). Uji antelmintik secara in vivo dilakukan dengan menginfeksi hewan seperti tikus, domba, kambing atau hewan lainnya dengan cacing parasit. Lalu setelah mencapai masa prepaten (periode antara infeksi awal sampai ditemukannya generasi baru organisme penginfeksi dalam tubuh inangnya), hewan percobaan diberi perlakuan dengan ekstrak atau obat yang akan diuji, kemudian hasilnya dibandingkan dengan kontrol positif dan kontrol negatif. Pengaruh
pemberian
ekstrak
atau
obat
yang diuji
dievaluasi
dengan
membandingkan jumlah telur cacing dalam tiap gram sampel tinja dan jumlah cacing pada saat dinekropsi antara kelompok perlakuan dengan kontrol tidak diobati. Sampel tinja dikumpulkan untuk menghitung jumlah telur tiap gram tinja (TTGT). Kemampuan sediaan uji sebagai antelmintik diukur dengan menghitung persentase penurunan produksi telur cacing (fecal egg count reduction/FECR) dan prosentase pernurunan jumlah cacing (worm count reduction/WCR) setelah pemberian
ekstrak
atau
obat
yang
diuji
(Ridwan,
2010).
25 Universitas Sumatera Utara