BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Limbah Padat Abu Terbang Batubara (fly ash) Berbagai penelitian mengenai pemanfaatan abu terbang batubara sedang dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomisnya serta mengurangi dampak buruknya terhadap lingkungan. Saat ini umumnya abu terbang batubara digunakan dalam pabrik semen sebagai salah satu bahan campuran pembuat beton (S.Wang dkk, 2006). Selain itu, sebenarnya abu terbang batubara memiliki berbagai kegunaan yang amat beragam: 1. Penyusun beton untuk jalan dan bendungan 2. Penimbun lahan bekas pertambangan 3. Recovery magnetit, cenosphere, dan karbon 4. Bahan baku keramik, gelas, batu bata, dan refraktori 5. Bahan penggosok (polisher) 6. Filler aspal, plastik, dan kertas 7. Pengganti dan bahan baku semen 8. Aditif dalam pengolahan limbah (waste stabilization) 9. Konversi menjadi zeolit dan adsorben 2.2
Sifat Fisis dan Kimia Abu Terbang
Komponen utama dari abu terbang batubara yang berasal dari pembangkit listrik adalah silika (SiO2), alumina, (Al2O3), dan besi oksida (Fe2O3), sisanya adalah karbon, kalsium, magnesium, dan belerang. Rumus empiris abu terbang batubara ialah: Si1.0Al0.45Ca0.51Na0.047Fe0.039Mg0.020K0.013Ti0.011.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Komposisi kimia abu terbang batubara Komponen
Bituminous
Subbituminous
Lignite
SiO2
20-60%
40-60%
15-45%
Al2O3
5-35%
20-30%
10-25%
Fe2O3
10-40%
4-10%
4-15%
CaO
1-12%
5-30%
15-40%
MgO
0-5%
1-6%
3-10%
SO3
0-4%
0-2%
0-10%
Na2O
0-4%
0-2%
0-6%
K2O
0-3%
0-4%
0-4%
LOI
0-15%
0-3%
0-5%
(Ngurah Ardha dkk, 2008) Sifat kimia dari abu terbang batubara dipengaruhi oleh jenis batubara yang dibakar dan teknik penyimpanan serta penanganannya. Pembakaran batubara lignit dan sub-bituminous menghasilkan abu terbang dengan kalsium dan magnesium oksida lebih banyak daripada bituminus. Namun, memiliki kandungan silika, alumina, dan karbon yang lebih sedikit daripada bituminous. Kandungan karbon dalam abu terbang diukur dengan menggunakan Loss On Ignition Method (LOI). Jadi fly ash yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil pembakaran jenis batubara sub-bituminus. Sedangkan sifat fisika abu terbang batubara terdiri dari butiran halus yang umumnya berbentuk bola padat atau berongga. Ukuran partikel abu terbang hasil
Universitas Sumatera Utara
pembakaran batubara bituminous lebih kecil dari 0,075mm (Yoga P.dkk,2007). Kerapatan abu terbang berkisar antara 2100 sampai 3000 kg/m3 dan luas area spesifiknya (diukur berdasarkan metode permeabilitas udara Blaine) antara 170 sampai 1000 m2/kg (Yoga P.dkk,2007), (Bayat.B,2002), (Putu Astari, 2006) . 2. 3 Serat Sintetis Limbah Ban Bekas Selain limbah dan industri metal, bahan serat (fiber) dapat pula meningkatkan kinerja beton, yang dikenal dengan beton berserat. Disini serat berfungsi sebagai tulangan mikro yang melindungi beton dari keretakan, meningkatkan kuat tarik dan lentur secara tak langsung. Serat juga meningkatkan kekuatan tekan dan daktilitas beton, meningkatkan kekedapan beton, serta meningkatkan daya tahan beton terhadap beban berulang dan beban kejut. Sistem tulangan mikro yang terbuat dari serat-serat ini bekerja berdasarkan prinsip-prinsip mekanis, yaitu berdasar pada ikatan (bond) anatar serat dan beton, bukan secara kimiawi. Oleh karenanya, material komposit beton berserat akan menjadi bahan yang tak mudah retak.
Proses kimiawi dalam beton tidak akan terpengaruh dengan adanya serat dan tidak akan merugikan proses pengerasan beton dalam jangka pendek maupun panjang. Beberapa jenis bahan serat yang dapat dipergunakan dalam beton, antara lain serat alami (rami, abaca), serat sintetis (polyproplene. polyester), nylon), serat baja, fiber glass dan terkhusus dalam hal ini limbah ban bekas.
Limbah ban bekas meningkatkan kuat tarik dan lentur, meningkatkan daktilitas dan kemampuan menyerap energi saat berdeformasi, mcngurangi retak akibat susut beton, meningkatkan ketahanan fatigue (beban berulang) dan meningkatkan ketahanan impact (beban tumbukan) merupakan beberapa keunggulan beton berserat.
Universitas Sumatera Utara
Ban bekas dapat digunakan sebagai pengganti agregat pasir yang digunakan sebagai bahan aditif dengan cara memarut ban bekas tersebut. Kandungan kimia parutan ban bekas hasil pengujian laboratorium kimia ITB, yakni :
- Karbon
: 32,19 %
- Silikat
: 1,64 %
- Sulphur
: 2,13 %
- Karet
: 64,04 %
(Petra Christian University Library, 2009 )
Dari penelitian lain komposisi kimia karet ban bekas dapat diketahui : - Kadar Natural Karet
: 25 %
- Kadar Butadin Karet
: 15 %
- Kadar Butil Karet
: 5%
- Kadar Karbon Hitam
: 35 %
- Kadar Zn O
:4%
- Kadar Oil/ Nepthenic/ Arometic
:4%
- Kadar Kotoran/ Debu/ Kaolin/ Kalsium: 12 % (Vembianto, 2006).
Sedangkan sifat fisis limbah ban bekas adalah parutan ban bekas yang lolos saringan No.50 (0,297 mm), bentuk butiran memanjang dan berwarna hitam (SNI-T15-1990-03). 2.4 Batako Pengertian batako adalah salah satu bahan bangunan yang berupa batu-batuan yang pengerasannya tidak dibakar dengan bahan pembentuk yang berupa campuran pasir, semen, air merupakan mortar ( Van Vlack, L. 1994) dan dalam pembuatannya dapat ditambahkan bahan tambah lainnya (additif). Kemudian dicetak melalui proses
Universitas Sumatera Utara
pemadatan sehingga menjadi bentuk balok-balok dengan ukuran tertentu dan dimana proses pengerasannya tanpa melalui pembakaran yang digunakan sebagai bahan untuk pasangan dinding.
Batako merupakan komponen non struktural yang disusun dari semen , pasir dan air. Menurut Persyaratan Umum Bahan Bangunan di Indonesia (1982) pasal 6, “Batako adalah bata yang dibuat dengan mencetak dan memelihara dalam kondisi lembab”.
Mutu batako sangat dipengaruhi oleh komposisi dari penyusun-penyusunnya , disamping itu dipengaruhi oleh cara pembuatannya yaitu melalui proses manual ( cetak tangan ) dan pres mesin. Perbedaan dari proses pembuatan ini dapat dilihat dari kepadatan permukaannya (Wijanarko.W, 2008).
Batako yag diproduksi dipasaran umumnya memiliki ukuran panjang 36 - 40 cm, lebar 8 – 10 cm, dan tinggi 18 - 20 cm., sehingga untuk membuat dinding seluas 1 m2, dibutuhkan batako press kira-kira sebanyak 15 buah.
Batako terdiri dari 2 jenis , yaitu batako jenis berlubang ( hallow ) dan batako yang padat ( solid ). Dari hasil pengetesan terlihat bahwa batako yang jenis solid lebih padat dan mempunyai kekuatan yang lebih baik. Batako berlubang mempunyai luas penampang lubang dan isi lubang masing-masing tidak melebihi 5% dari seluruh luas permukaannya.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Batako berlubang
Gambar 2.2 Batako solid Kekuatan dari batako dipengaruhi komposisi penyusunnya yaitu jenis semen dan pasir yang dipakai , dan perbandingan jumlah semen terhadap agregat dan air. Batako yang baik adalah yang masing-masing permukaannya rata dan saling tegak lurus serta mempunyai kuat tekan yang tinggi.
Persyaratan batako menurut PUBI-(1982) pasal 6 antara lain adalah “permukaan batako harus mulus, berumur minimal satu bulan, pada waktu pemasangan harus sudah kering, berukuran panjang ± 400 mm, ± lebar 200 mm, dan tebal 100-200 mm, penyerapan air maksimum 25-35 % dari berat, dengan kuat tekan antara 2-7 N/mm2” (
PUBI , 1982 )
Universitas Sumatera Utara
2. 5 Pengujian Karakteristik Bahan 2.5.1 Kekuatan Tekan (Compressive Strength) Pemeriksaan kuat tekan mortar dilakukan untuk mengetahui secara pasti akan kekuatan tekan mortar dari mortar yang sebenarnya apakah sesuai dengan kuat tekan yang direncanakan atau tidak.
Standar yang digunakan pada pengujian ini adalah ASTM C 270-04 dan ASTM C 780. Alat yang digunakan pada tes uji tekan mortar adalah Hydraulic Compresive Strength Machine tipe MAC-200. Pembebanan diberikan sampai benda uji runtuh, yaitu pada saat beban maksimum bekerja. Beban maksimum dicatat sebagai Pmax. Besarnya kekuatan tekan suatu bahan merupakan perbandingan besarnya beban maksimum yang dapat ditahan bahan dengan luas penampang bahan yang mengalami gaya tersebut. Secara matematis besarnya kekuatan tekan suatu bahan : Kekuatan tekan : σc =
Pmaks A
( 2.1 )
Pmaks adalah beban tekan maksimum ( N ) yang menyebabkan beban hancur A = luas penampang ( m2 )
2.5.2 Kekuatan Patah ( Flexural Strength ) Kekuatan patah sering disebut Modulus of Rapture ( MOR ) yang menyatakan ukuran ketahanan bahan terhadap tekanan mekanis dan tekanan panas (thermal sterss). Standar yang digunakan pada pengujian ini adalah ASTM C 133-97; ASTM C 34897. Persamaan kekuatan patah ( bending strength/ lentur ) suatu bahan dinyatakan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Kekuatan patah =
3 PL 2 bd 2
( 2.2 )
P
L Untuk : P = gaya penekan ( N ) L= jarak 2 penumpuan ( m ) b dan d = dimensi sampel ( m ) b d
dimensi sampel
2.5.3 Uji Kekerasan Pengukuran Kekerasan dilakukan dengan alat Equatip Hardnessn Tester, hasil pengujian langsung tertera secara digital pada monitor (Surdia.T dan Saito.S, 1992). Pengukuran dilakukan tiga kali dan diambil rata-ratanya dalam satuan BHN ( Brinell Hardness Number) yang kemudian dikonversikan ke VHN (Vickers Hardness Number).
2.5.4 Uji Densitas Untuk pengukuran densitas dan penyerapan air digunakan metoda Archimedes dan dihitung dengan persamaan : Densitas =
Ws ρair Wb − (W g − Wk )
( 2.3 )
(ASTM C-00-2005).
Universitas Sumatera Utara
Untuk,
Ws = berat sampel kering ( gr ) Wb = berat sampel setelah direndam air ( gr ) Wg = berat sampel digantung di dalam air ( gr ) Wk = berat kawat penggantung ( gr )
2.5.5 Uji Penyerapan Air Sampel yang sudah berumur 28 hari diukur massanya sebagai massa kering dan selanjutnya direndam selama 24 jam, kemudian diukur massa basahnya dengan neraca analitis. berat sampel jenuh – berat sampel kering Penyerapan air =
x 100 %
(2.4)
berat sampel kering (SNI 03-0691-1996) atau (ASTM C-20-2005)
2.5.6 Pengujian Mikroskopis Uji mikroskopis digunakan untuk mengamati mikrostruktur sampel dengan menggunakan mikroskop optik. Pengamatan dilakukan pada permukaan sampel yang telah dilakukan pengujian kuat patah, untuk mengamati sifat adhesif dari bahan sehingga dapat diketahui karakteristik dari bahan apakah perekat yang terlepas ikatannya atau serat tambahan yang patah.
Universitas Sumatera Utara