BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perumusan Kebijakan Pembuatan kebijakan publik merupakan fungsi penting dari sebuah pemerintahan. Karenanya, kemampuan dan pemahaman yang memadai dari pembuat kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan menjadi sangat penting bagi terwujudnya kebijakan publik yang cepat, tepat dan memadai. Kemampuan dan pemahaman terhadap prosedur pembuatan kebijakan tersebut juga harus diimbangi dengan pemahaman dari pembuat kebijakan publik terhadap kewenangan yang dimilikinya. Hal ini terkait dengan kenyataan sebagaimana diungkapkan oleh Gerston (2002, 14) bahwa kebijakan publik dibuat dan dilaksanakan pada semua tingkatan pemerintahan, karenanya tanggung jawab para pembuat kebijakan akan berbeda pada setiap tingkatan sesuai dengan kewenangannya.1 Selain itu menurut Gerston, hal yang penting lainnya adalah bagaimana memberikan pemahaman mengenai akuntabilitas dari semua pembuat kebijakan kepada masyarakat yang dilayaninya (Gerston, 2002, 14). Dengan pemahaman yang seperti ini, akan dapat memastikan pembuatan kebijakan publik yang mempertimbangkan berbagai aspek dan dimensi yang terkait, sehingga pada akhirnya sebuah kebijakan publik dapat dipertanggung – jawabkan secara memadai. 1
Larry N. Gerston, Public Policy Making in a Democratic Society: A Guide to Civic Engagement, Armonk: M. E. Sharpe2002 hal 14
Kebijakan itu sendiri menurut Anderson (2003;2), a policy is defined as a relatively stable, purposive course of action followed by an actor or set actors in dealing with a problem or matter of concern. Kebijakan publik menurut Anderson dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah dalam menyelesaikan masalah yang ada serta memiliki dampak secara substansial terhadap masyarakat. 1) Kategori Kebijakan Menyangkut kebijakan publik, Anderson (2003; 5-12) membagi kedalam empat kategori dari kebijakan publik, yakni: kebijakan substantif dan prosedural; kebijakan distributif, pengaturan, pengaturan sendiri, dan redistribusi; kebijakan material dan simbolik; serta kebijakan yang melibatkan barang kolektif atau barang privat. -
Kategori kebijakan yang pertama adalah Kebijakan substantif dan prosedural. Kebijakan substantif adalah kebijakan mengenai apa yang ingin dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan substantif mengalokasikan secara langsung kepada masyarakat keuntungan dan kerugian maupun biaya dan manfaatnya. Sebaliknya kebijakan prosedural merupakan kebijakan yang berkaitan dengan bagaimana sesuatu itu akan dilakukan atau siapa yang akan diberi kewenangan untuk mengambil tindakan.
-
Kategori kebijakan yang kedua adalah kategori yang didasarkan atas dampak dari kebijakan terhadap masyarakat serta hubungan diantara mereka yang terlibat dalam pembentukan kebijakan. Dalam kategori ini terdapat empat jenis kebijakan yaitu distributif, pengaturan, pengaturan sendiri dan redistribusi. Kebijakan distributif adalah kebijakan dalam mengalokasikan
pelayanan atau manfaat terhadap segmen tertentu dari masyarakat-individu, kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kebijakan distributif biasanya melibatkan penggunaan dana publik untuk membantu kelompok, masyarakat atau perusahaan tertentu. Kebijakan pengaturan adalah kebijakan yang memberlakukan larangan terhadap perilaku individu atau kelompok. Kebijakan pengaturan sendiri adalah kebijakan yang membatasi atau mengawasi terhadap suatu kelompok yang dilakukan dengan memberikan kewenangan kepada kelompok tersebut untuk mengatur dirinya sendiri dalam rangka melindungi atau mempromosikan keperitingan dari anggota kelompoknya. Kebijakan ini biasanya terkait dengan kelompok profesi tertentu. Sementara itu, kebijakan redistribusi adalah kebijakan oleh pemerintah untuk menggeser alokasi kesejahteraan, pendapatan, kepemilikan ataupun hak diantara berbagai kelompok masyarakat. -
Kategori kebijakan yang ketiga adalah kebijakan yang terdiri dari kebijakan material dan kebijakan simbolik. Kebijakan material adalah kebijakan yang menyediakan sumberdaya nyata (tangible) atau kekuasaan substantif kepada penerima manfaatnya atau dengan memaksakan kerugian nyata pada mereka yang terkena dampak. Adapun kebijakan simbolik adalah kebijakan yang tidak memiliki dampak material nyata kepada masyarakat. Kebijakan simbolik biasanya menyangkut nilai-nilai yang disukai oleh masyarakat. Contoh kebijakan material adalah kebijakan yang mengatur mengenai upah minimum, sementara kebijakan simbolik adalah kebijakan yang mengatur perilaku masyarakat terhadap penghormatan akan nilai-nilai tertentu seperti
terhadap lambang-lambang kenegaraan. -
Kategori kebijakan yang terakhir menurut Anderson adalah kebijakan yang melibatkan penyediaan baik barang-barang kolektif maupun barang-barang privat. Barang-barang kolektif adalah barang-barang yang harus disediakan kepada semua orang, sementara barang privat adalah barang-barang yang dikonsumsi oleh individu tertentu saja.
2) Teori Perumusan Kebijakan Mengingat peran penting dari kebijakan publik dan dampaknya terhadap masyarakat, maka para ahli juga menawarkan sejumlah teori yang dapat digunakan dalam proses pembuatan kebijakan serta kriteria yang dapat digunakan untuk mempengaruhi pemilihan terhadap suatu kebijakan tertentu. Menurut Anderson (2006, 121-125), terdapat tiga teori utama yang dapat digunakan dalam proses pembuatan sebuah kebijakan yakni: teori rasional-komprehensif; teori inkremental; serta teori mixed scanning. -
The Rational-comprehensive theory (Teori rasional-komprehensif) yaitu teori yang intinya mengarahkan agar pembuatan sebuah kebijakan publik dilakukan secara rasional-komprehensif dengan mempelajari permasalahan dan alternatif kebijakan secara memadai. Adapun menurut Anderson (2003; 121) elemen - elemen dari teori tersebut yaitu : The rational - comprehensive theory ussualy includes these elements : 1. The decision-maker is confronted with a problem that can be separates from other problems or at least considered meaningfully in comparison with them.
2. The goals, values, or Objectives that guide the decision-maker are known and can be clarified and ranked according to their importance. 3. The various alternatives for dealing with are examined. 4. The consequences (cost and benefits, advantages and disadvantages) that would follow from selecting each alternative are investigated. 5. Each alternatives, and its attendant consequences, is then compared with the other alternatives. 6. The Decision-maker will choose the alternative, and its consequences, that maximizes attainment of his or her goals, values or objectives.
Dalam model ini membuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu kemudian masalah tersebut dipisahkan dengan masalah - masalah yang lain karena masalah tersebut lebih bermakna dibanding masalah yang lain. Kemudian tujuan - tujuan, nilai - nilai atau sasaran - sasaran yang mengarahkan pembuat keputusan dijelaskan dan disusun menurut kepentingannya. Langkah selanjutnya dilakukan pengujian atau penyelidikan terhadap alternatif - alternatif yang akan dijadikan kebijakan tersebut termasuk juga konsekuensi - konsekuensi baik itu biaya atau manfaat yang mungkin akan timbul dari setiap pilihan alternatif tersebut diteliti. Setiap alternatif dan konsekuensi yang mungkin akan muncul dapat dibandingkan dengan alternatif - alternatif lain, pembuat keputusan memiliki alternatif serta konsekuensi yang memaksimalkan pencapaian tujuan, nilai atau sasaran yang hendak dicapai. Namun beberapa ahli dibidang kebijakan Publik mengajukan beberapa keberatan dan kritik tehadap model ini, sebagaimana dinyatakan Winarno merujuk beberapa pendapat ahli diantaranya Charles E Lindblom, David Braybrook, dan Ira Sharkansky (2012, 107), yang menyatakan : "masalah - masalah dan persoalan - persoalan yang dikemukakan oleh para pengkritik model rasional komprehensif ini boleh dikatakan beragam sehingga masing - masing kritik perlu dikaji secara
terpisah dan memiliki sejumlah keterbatasan pada pembuat keputusan yang mencoba memberikan "satu alternatif terbaik" keputusan rasional. Kritik - kritik ini didasarkan pada ketidakmampuan decision makers untuk benar - benar mengambil keputusan sesuai dengan konsep model rasional. -
The Incremental Theory (Teori Inkremental) adalah teori yang intinya tidak melakukan perbandingan terhadap permasalahan dan alternatif serta lebih memberikan deskripsi mengenai cara yang dapat diambil dalam membuat kebijakan. Menurut Anderson (2003; 123) merujuk pada Charles Lindblom (1979) teori inkremental meliputi beberapa hal yaitu : Incrementalism (Lindblom refers ti it as "disjointed incrementalism") can be summarized in the following manner : 1. The selection of goals or objectives and the empirical analysis of the action neede to attain them are closely interwined with, rather than distinct from, one another. 2. The decision:maker consider only some of the alternatives for dealing with a problem, which will differ only incrementally (i.e., marginally) from existing policies. 3. For each alternative, only a limited number of "important" consequences are evaluated. 4. The problem confronting the decision- maker is continually redefined. Incrementalism allows for countless ends-means and means-enss adjusments that helpmake the problem more manageable. 5. There is no single decision or "right" solution for a problem. The test of a good decision is that various analysts find themselves directly agreeing on it, without agreeing that the decision is the most appropriate or optimum means to anagreed objective. 6. Incremental decision-making is essentially remedial and is geared more to ameliorating present, concrete social imperfections than to promoting future social goals.
Teori ini merupakan teori yang lahir dikarenakan beragamnya kritikan terhadap teori model rasional komprehensif. Teori inkremental (penambahan) dilakukan melalui beberapa hal yang harus menjadi perhatian yaitu pemilihan -
pemilihan tujuan atau sasaran - sasaran dan analisis - analisis empirik terhadap tindakan yang dibutuhkan, keduanya lebih berkaitan erat dengan dan bukan berada satu sama lain. Kemudian, pembuat keputusan hanya mempertimbangkan beberapa alternatif untuk menanggulangi masalah yang dihadapi dan alternatif alternatif ini hanya berada secara marginal dengan kebijakan yang ada. Selanjutnya untuk setiap alternatif, pembuat keputusan hanya mengevaluasi beberapa konsekuensi yang dianggap penting saja. Kemudian, masalah yang dihadapi
oleh
pembuat
keputusan
dibatasi
secara
berkesinambungan,
inkrementalisme memungkinkan penyesuaian - penyesuaian sarana - tujuan dan tujuan - sarana sebanyak mungkin sehingga memungkinan masalah dapat dikendalikan. Selain itu, tidak ada keputusan tunggal atau penyelesaian yang dianggap tepat, pengujian terhadap keputusan yang dianggap baik adalah bahwa persetujuan terhadap berbagai macam analisis dalam rangka memecahkan persoalan tidak di ikuti persetujuan bahwa keputusan yang diambil merupakan sarana yang paling cocok untuk meraih sasaran yang telah disepakati. Terakhir yang perlu diperhatikan dalam model inkrementalis ini bahwa pembuatan keputusan incremental pada dasarnya merupakan remedial dan diarahkan lebih banyak kepada perbaikan terhadap ketidak-sempurnaan sosial yang nyata sekarang ini dari pada mempromosikan tujuan sosial di masa depan. Teori inkremental merupakan model teori yang mencoba menyesuaikan dengan realitas kehidupan praktis dengan mendasarkan pada pluralisme dan demokrasi maupun keterbatasan-keterbatasan kemampuan manusia.
-
Teori mixed scanning adalah teori yang intinya menggabungkan antara teori rasional-komprehensif dengan teori inkremental. Anderson (2003; 125) menyatakan : Mixed scanning enables decision-makers to utilize both the rationalcomprehensive and incremental theoris, but in different situations. In some instance, incrementalism will be adequate ; in others, a more thorough approach along rational-comprehensive lines will be needed. Mixed scanning also takes into account differing capacities of decision - makers.
Hal tersebut Anderson kemukakan merujuk pada pendapat Amitai Etzioni (1967) dalam Anderson (2003; 124) yang menyatakan "Amitai, Etzioni beleives that both the rational-comprehensive theory and incremental theory have shortcomings . for instances, he says that decisions make by incrementalists will reflect the interest of the most powerful and organized interest in society. White neglecling the interest of the underprivileged and politically and unorganized. Great fundamental decisions, a declaration of war for example, do not come within the ambit incermentalism.' Although limited in number, these fundamental decisions are highly significant and often provide the context for numerous incremental decision. etzioni present mixed scanning as an approach to decision - making that draws on both fundamental and incremental decision and provides for "high-order, fundamental policy-making processes which set basic directions and... incremental processes which prepare for fundamental decisions and work them out after they have been reached" Amitai Etzioni menggabungkan antara model rasional Komprehensif dengan model inkremental dengan menamakan "mixed-scanning". Secara mendasar etzioni berpendapat ada hal - hal yang bisa digunakan dalam model rasional dalam mengambil suatu keputusan, namun ada juga beberapa hal menjadi kelemahan dari model teori rasional komprehensif, begitu pula dengan inkremental ada hal - hal yang terlihat menjadi kelemahan - kelemahan dalam model pembuatan keputusan inkremental. Menurut Etzioni, dalam pembuatan keputusan incremental keputusan yang dibuat lebih merefleksikan kepentingan
kelompok - kelompok yang yang paling kuat dan terorganisir dalam masyarakat sedangkan masyarakat yang lemah dan tidak terorganisir cenderung diabaikan. Dalam
mengambil
suatu
keputusan,
Anderson
(2003,
126-134)
mengemukakan ada enam kriteria yang harus dipertimbangkan, yakni (1) nilai nilai yang dianut baik oleh organisasi, profesi, individu, kebijakan maupun ideologi; (2) afiliasi partai politik; (3) kepentingan konstituen; (4) opini publik; (5) penghormatan terhadap pihak lain; serta (6) aturan kebijakan.
3) Siklus / Proses Kebijakan Proses pembuatan sebuah kebijakan publik melibatkan berbagai aktivitas yang kompleks. Pemahaman terhadap proses pembuatan kebijakan oleh para ahli dipandang penting dalam upaya melakukan penilaian terhadap sebuah kebijakan publik. Untuk membantu melakukan hal ini, para ahli kemudian mengembangkan sejumlah kerangka untuk memahami proses kebijakan (policy process) atau seringkali disebut juga sebagai siklus kebijakan (policy cycles). Sejumlah ahli yang mengembangkan kerangka pemahaman tersebut diantaranya adalah Thomas R. Dye (2005) dan James E. Anderson (2003). Menurut Dye (2005, 31), bagaimana sebuah kebijakan dibuat dapat diketahui dengan mempertimbangkan sejumlah aktivitas atau proses yang terjadi didalam sistem politik. Terkait hal ini, dalam pandangan Dye (2005, 31-32), pembuatan kebijakan sebagai sebuah proses akan meliputi sejumlah proses, aktivitas, dan keterlibatan peserta sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 2 Pembuatan Kebijakan sebagai sebuah Proses Proses
Aktivitas
Peserta
Identifikasi Masalah
Publikasi masalah sosial; Media massa; kelompok mengekspresikan tuntutan akan kepentingan; inisiatif masyarakat; opini publik tindakan dari pemerintah
Penetapan Agenda
Menentukan mengenai masalah-masalah apa yang akan diputuskan; masalah apa yang akan dibahas/ditangani oleh pemerintah
Perumusan Kebijakan
Pemikir; Presiden dan Pengembangan proposal kebijakan untuk menyelesaikan .lembaga eksekutif; komite kongres; dan memperbaiki masalah
Elit, termasuk presiden dan kongres; kandidat untuk jabatan publik tertentu; media massa
kelompok kepentingan
Legitimasi Kebijakan
Memilih proposal; mengembangkan dukungan untuk proposal terpilih; menetapkannya menjadi peraturan hukum; memutuskan konstitusionalnya
Kelompok kepentingan; presiden; kongres; pengadilan
Implementasi Kebijakan
Mengorganisasikan departemen dan badan; menyediakan pembiayaan atau jasa pelayanan; menetapkan pajak
Presiden dan staf kepresidenan; departemen dan badan
Evaluasi Kebijakan
Melaporkan output dari program pemerintah; mengevaluasi dampak kebijakan kepada kelompok sasaran dan bukan sasaran; mengusulkan perubahan dan reformasi
Departemen dan badan; komite pengawasan kongres; media massa; pemikir
Sumber: Dye, 2005, 32
Terkait dengan pendapat dari Dye mengenai siklus kebijakan sebagaimana dapat dilihat dalam tabel 1 diatas, Anderson (2003,27-28) memiliki pandangan yang sedikit berbeda mengenai proses atau siklus kebijakan tersebut, menurut Anderson, proses kebijakan terdiri atas lima tahapan sebagaimana dapat dilihat dalam tabel 2 berikut. Tabel 3 Proses Kebijakan
Terminolo gi kebijakan Definition
Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
Agenda Kebijakan
Perumusan Kebijakan
Pembuatan kebijakan
Sejumlah permasalahan diantara banyak permasalahan lainnya yang mendapat perhatian serius dari pejabat public
Pengembanga n usulan akan tindakan yang terkait dan dapat diterima untuk menangani permasalahan public
Pengembang an dukungan terhadap sebuah proposal tertentu sehingga sebuah kebijakan dapat dilegitimasi atau disahkan
Tahap 4 Implementa si Kebijakan Aplikasi kebijakan oleh mesin adminsitrasi pemerintah
Tahap 5 Evaluasi Kebijakan Upaya pemerintah untuk menentukan apakah kebijakan efektif, serta mengapa efektif atau tidak efektif
Common sense
Membuat apa yang membuat menerapkan Apakah pemerintah diusulkan pemerintah kebijakan Kebijakan untuk untuk untuk pemerintah bekerja mempertimba dilakukan menerima terhadap dengan baik ngkan terhadap solusi masalah ? tindakan masalah tertentu terhadap terhadap masalah masalah Sumber: Anderson, 2003, 28 (diadaptasi dari Anderson, Brady dan Bullock III, 1984) Berdasarkan tabel 1 dan 2 tersebut, dapat dilihat bahwa perbedaan pandangan dari Dye dan Anderson mengenai proses kebijakan //hanya terletak pada masalah
identifikasi kebijakan saja. Dye membedakan tahapan antara aktivitas identifikasi masalah dengan penetapan agenda, sementara Anderson menganggap kedua hal tersebut sebagai tahap agenda kebijakan. Tahapan lainnya cenderung sama antara pendapat Dye dan Anderson, yang berbeda hanya istilah penyebutannya saja. Baik Dye dan Anderson juga cenderung sepakat bahwa tahapan perumusan kebijakan merupakan tahap dimana dikembangkan proposal yang berisikan sejumlah alternatif untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dijelaskan oleh Anderson (2003, 27-29) tahapan Proses Kebijakan dimulai dengan agenda kebijakan dimana dari sejumlah permasalahan, ada permasalahan yang akan mendapat perhatian secara serius dari pejabat publik dan pemerintah akan mempertimbangkan tindakan atau langkah apa yang akan dilakukan terhadap permasalahan tersebut dengan mengidentifikasi dan menspesifikasi permasalahan dan menetapkannya sebagai agenda kebijakan pemerintah. kemudian tahap perumusan kebijakan, dimana dikembangkan usulan tindakan yang akan dilakukan dan dapat diterima dalam menangani permasalahan, pada tahap ini akan dihasilkan sejumlah usulan kebijakan yang akan diputuskan untuk diambil oleh pemerintah dan aktor aktor kebijakan. selanjutnya tahap adopsi kebijakan, tahap ini dilakukan pengembangan dukungan terhadap usulan tertentu sehingga menjadi sebuah kebjakan yang dilegitimasi dan disahkan oleh permerintah. Kemudian tahap implementasi kebijakan dimana kebijakan yang sudah dibuat dan disahkan tersebut diterapkan oleh mesin adiminstrasi pemerintah. Tahap terakhir yaitu evaluasi kebijakan dimana pemerintah menentukan apakah kebijakan tersebut berjalan efektif atau tidak.
Sebagai salah satu tahapan dalam siklus kebijakan, Perumusan kebijakan dinyatakan Anderson (2003; 27) bahwa : "Formulation. This encompasses the creation, identification, or borrowing of proposed courses of action, often called alternatives or options, for resolving or ameliorating public problems. Who participates in policy formulation? How are alternatives for dealing with a problem developed? Are there difficulties and biases in formulating policy proposals? Perumusan kebijakan menurut Anderson (2003; 27) merupakan suatu aktivitas yang meliputi pembuatan, identifikasi, dan mengambil program untuk dilakukan tindakan terhadap suatu masalah atau sering disebut juga alternatif atau pilihan - pilihan. Untuk menyelesaikan atau memperbaiki masalah publik. Siapa yang terlibat dalam merumuskan kebijakan, bagaimana alternatif - alternatif yang ada untuk menangani permasalahan yang berkembang, dan apakah ada kesulitan dan ketidak-jelasan dalam merumuskan usulan kebijakan. Hal ini juga diperkuat dalam pandangan Sidney (Fischer, Miller and Sidney, 2007;79), tahapan perumusan kebijakan merupakan tahap kritis dari sebuah proses kebijakan. Hal ini terkait dengan proses pemilihan alternatif kebijakan oleh pembuat kebijakan yang biasanya mempertimbangkan besaran pengaruh langsung yang dapat dihasilkan dari pilihan alternatif utama tersebut. Proses ini biasanya akan mengekspresikan dan mengalokasikan kekuatan dan tarik menarik diantara berbagai kepentingan sosial, politik dan ekonomi. Menurut Sidney (Fischer, Miller and Sidney, 2007; 79), tahap perumusan kebijakan melibatkan aktivitas identifikasi dan atau merajut seperangkat alternatif kebijakan
untuk
mengatasi
sebuah
permasalahan;
serta
mempersempit
seperangkat solusi tersebut sebagai persiapan dalam penentuan kebijakan akhir.
Dengan mengutip pendapat dari Cochran dan Malone (1999), menurut Sidney (Fischer, Miller and Sidney, 2007; 79), perumusan kebijakan mencoba menjawab terhadap sejumlah pertanyaan "apa", yakni: apa rencana untuk menyelesaikan masalah? Apa yang menjadi tujuan dan prioritas? Pilihan apa yang tersedia untuk mencapai tujuan tersebut? Apa saja keuntungan dan kerugian dari setiap pilihan? Eksternalitas apa, baik positif maupun negatif yang terkait dengan setiap alternatif? Selanjutnya, menurut Sidney (Fischer, Miller and Sidney, 2007; 79), perumusan seperangkat alternatif akan melibatkan proses identifikasi terhadap berbagai
pendekatan
untuk
menyelesaikan
masalah;
serta
kemudian
mengidentifikasi dan mendesain seperangkat perangkat kebijakan spesifik yang dapat mewakili setiap pendekatan. Tahap perumusan juga melibatkan proses penyusunan draft peraturan untuk setiap alternatif-yang isinya mendeskripsikan diantaranya mengenai sanksi, hibah, larangan, hak, dan lain sebagainya-serta mengartikulasikan kepada siapa atau kepada apa ketentuan tersebut akan berlaku dan memiliki dampak. Apa yang dinyatakan oleh Sidney tersebut menguatkan pernyataan Jann dan Wegrich (dalam Fischer, Miller and Sidney, 2007; 48). Menurut Jann dan Wegrich (Fischer, Miller and Sidney, 2007; 48), didalam tahap perumusan kebijakan permasalahan kebijakan, usulan proposal, dan tuntutan masyarakat ditransformasikan kedalam sejumlah program pemerintah. Perumusan kebijakan dan juga adopsi kebijakan akan meliputi definisi sasaran-yakni apa yang akan dicapai melalui kebijakan-serta pertimbangan-pertimbangan terhadap sejumlah
alternatif yang berbeda. Sementara itu, menurut Anderson (2003, 101-102), menyatakan bahwa "perumusan kebijakan melibatkan proses pengembangan usulan akan tindakan yang terkait dan dapat diterima (biasa disebut dengan alternatif, proposal atau pilihan) untuk menangani permasalahan publik." Perumusan kebijakan menurut Anderson tidak selamanya akan berakhir dengan dikeluarkannya sebagai sebuah produk
peraturan
perundang–undangan.
Seringkali
pembuat
kebijakan
memutuskan untuk tidak mengambil tindakan terhadap sebuah permasalahan dan membiarkannya selesai sendiri. Atau seringkali pembuat kebijakan tidak berhasil mencapai kata sepakat mengenai apa yang harus dilakukan terhadap suatu masalah tertentu. Namun demikian, pada umumnya sebuah proposal kebijakan biasanya ditujukan untuk membawa perubahan mendasar terhadap kebijakan yang ada saat ini. Menurut Sidney (Fischer, Miller and Sidney, 2007; 79), terdapat sejumlah kriteria yang membantu dalam menentukan pemilihan terhadap alternatif kebijakan untuk dijadikan sebuah kebijakan, misalnya: kelayakannya, penerimaan secara politis, biaya, manfaat, dan lain sebagainya. Hal tersebut mengutip pendapat Jann dan Wegrich dalam Fischer, Miller and Sidney (2007; 50) mengemukakan dua faktor utama yang menentukan sejauhmana alternatif kebijakan akan diadopsi menjadi kebijakan, yakni: (1) penghilangan alternatif kebijakan yang akan ditentukan oleh sejumlah parameter susbtansial dasar misalnya kelangkaan sumberdaya untuk dapat melaksanakan alternatif kebijakan. Sumberdaya ini dapat berupa sumberdaya ekonomi maupun dukungan politik
yang didapat dalam proses pembuatan kebijakan. Apabila dalam proses pembuatan kebijakan suatu alternatif kebijakan banyak mendapat kritikan secara politik, maka alternatif tersebut layak untuk dihilangkan karena kurangnya dukungan politik. (2) alokasi kompetensi yang dimiliki oleh berbagai aktor juga memainkan peranan penting dalam penentuan kebijakan. Diluar kedua faktor tersebut, Jann dan Wegrich dalam Fischer, Miller and Sidney (2007; 51) juga mengemukakan mengenai peranan penting dari akademisi yang berperan sebagai penasehat kebijakan atau pemikir (think tanks). Pengetahun dari para penasehat ini seringkali berpengaruh dalam proses perumusan kebijakan. Disamping itu Anderson (2006, 104), juga menyampaikan bahwa perumus kebijakan perlu mempertimbangkan beberapa faktor agar usulan alternatif – alternatif kebijakan yang dirumuskan dapat berhasil menyelesaikan permasalahan, Sejumlah factor tersebut adalah: (1) apakah proposal memadai secara teknis? Apakah proposal diarahkan kepada penyebab permasalahan? Sejauhmana proposal akan menyelesaikan atau mengurangi permasalahan? (2) apakah anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan masuk akal atau dapat diterima? Hal ini penting untuk diperhatikan khususnya apabila terkait dengan program kesejahteraan sosial. (3) apakah secara politik proposal dapat diterima? Dapatkah proposal mendapatkan dukungan dari anggota parlemen atau pejabat publik lainnya? (4) jika proposal telah menjadi peraturan perundang-undangan, apakah akan disetujui oleh publik? Keempat hal tersebut menurut Anderson (2006, 104) sangat penting untuk dipertimbangkan dalam perumusan sebuah kebijakan Publik.
4) Lingkungan Kebijakan (Aktor dan Partisipasi Publik) Perumusan kebijakan dalam prakteknya akan melibatkan berbagai aktor, baik yang berasal dari aktor negara maupun aktor non negara atau yang disebut oleh Anderson (2003, 46-67) sebagai pembuat kebijakan. resmi (official policymakers) dan peserta non pemerintahan (nongovernmental participants). Pembuat kebijakan resmi adalah mereka yang memiliki kewenangan legal untuk terlibat dalam perumusan kebijakan publik. Mereka ini menurut Anderson (2006, 46-57) terdiri atas legislatif; eksekutif; badan administratif; serta pengadilan. Legislatif merujuk kepada anggota kongres/dewan yang seringkali dibantu oleh para staffnya. Adapun eksekutif merujuk kepada Presiden dan jajaran kabinetnya. Sementara itu, badan administratif menurut Anderson merujuk kepada lembagalembaga pelaksana kebijakan. Dipihak lain menurut Anderson, Pengadilan juga merupakan aktor yang memainkan peran besar dalam perumusan kebijakan melalui kewenangan mereka untuk mereview kebijakan serta penafsiran mereka terhadap undang-undang dasar. Dengan kewenangan ini, keputusan pengadilan bisa mempengaruhi isi dan bentuk dari sebuah kebijakan publik. Selain pembuat kebijakan resmi, terdapat pula peserta lain yang terlibat dalam proses kebijakan yang meliputi diantaranya kelompok kepentingan; partai politik; organisasi penelitian; media komunikasi; serta individu masyarakat. Mereka ini yang disebut oleh Anderson sebagai peserta non pemerintahan (nongovernmental participants) karena penting atau dominannya peran mereka dalam sejumlah situasi kebijakan tetapi mereka tidak mem iliki kewenangan legal untuk membuat kebijakan yang mengikat. Peranan mereka biasanya adalah dalam menyediakan
informasi; memberikan tekanan; serta mencoba untuk mempengaruhi (Anderson, 2006, 57-67). Mereka juga dapat menawarkan proposal kebijakan yang telah mereka siapkan. Terkait keterlibatan peserta dalam pembuatan kebijakan ini, khususya dalam tahapan perumusan kebijakan, menurut Sidney (dalam Fischer, Miller and Sidney, 2007; 79) tahap perumusan kebijakan diharapkan melibatkan peserta yang lebih sedikit dibandingkan dalam tahapan penetapan agenda. Dalam tahapan ini menurut Sidney, yang lebih banyak diharapkan adalah kerja dalam merumusakan alternatif kebijakan yang mengambil tempat diluar mata/perhatian publik. Dalam sejumlah teks standar kebijakan, tahap perumusan disebut sebagai sebuah fungsi ruang belakang. Detail dari kebijakan biasanya dirumuskan oleh staff dari birokrasi pemerintah, komite legislatif, serta komisi khusus. Proses perumusan ini biasanya dilakukan di ruang kerja dari para aktor perumus tersebut.meskipun pada akhirnya perumusan alternatif kebijakan dilakukan lebih banyak oleh para aktor tersebut, menurut Jann dan Wegrich (dalam Fischer, Miller and Sidney, 2007; 49), tidak sepenuhnya bisa dipisahkan dari masyarakat umum dalam perumusan kebijakan. Para perumus menurut Jann dan Wegrich senantiasa berinteraksi dengan aktor sosial dan membentuk pola hubungan kebijakan (policy networks) yang stabil diantara mereka. Jadi meskipun pada akhirnya kebijakan ditentukan oleh institusi yang berwenang, keputusan diambil setelah melalui proses informal negosiasi dengan berbagai pihak yang berkepentingan. Dengan demikian keterlibatan aktor lain dalam pemberian ide terhadap proses perumusan kebijakan tetap atau sangat diperlukan.
2.2 Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Bersama 2.2.1 Pemilihan Umum Pemilihan Umum (Pemilu) atau dalam bahasa inggris disebut election adalah cara yang digunakan untuk mewujudkan partisipasi rakyat dalam pemerintahan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Pemilihan umum sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari suatu negara demokrasi, hampir semua negara demokrasi melaksanakan pemilihan umum. Pemilihan umum dapat dipahami merupakan sarana bagi masyarakat untuk mewujudkan kedaulatannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. bagi negara-negara yang menganut pada sistem demokratis merupakan suatu hal yang fundamental dalam setiap kurun waktu tertentu peralihan kekuasaannya diserahkan pilihannya kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Menurut Henry B. Mayo dalam buku Introduction to Democratic Theory, memberi definisi sebagai berikut. Sistem politik yang demokratis ialah di mana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik2. Morissan (2005:17) pemilihan Umum (pemilu) merupakan salah satu hak asasi warga negara yang sangat prinsipil sebagai perwujudan kedaulatan rakyat. Pemilihan umum adalah cara atau sarana untuk mengetahui keinginan rakyat mengenai arah dan kebijakan negara kedepan. Paling tidak ada tiga macam tujuan 2
Joko J. Prihatmoko, 2005, “Pemilihan Kepala Daerah Langsung”, Filosofi dan Problem Penerapan di Indonesia, LP3M Universitas Wachid Hasyim, Semarang, hlm. 204
pemilihan umum, yaitu 1.
Memungkinkan peralihan pemerintahan secara aman dan tertib
2.
Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat
3.
Dalam rangka melaksanakan hak asasi warga Negara.
Jadi pemilihan umum adalah suatu cara untuk memilih wakil rakyat balk di legislatif maupun pemerintahan sebagai ciri dari negara demokrasi. Abd Rohim Ghazali (1997:68) Dalam jurnal Afkar, Vol. IV. No.2, 1997 mengatakan bahwa ada tiga aspek yang harus diagendakan dalam menjadikan pemilu sebagai penunjang demokrasi adalah: 1. Pada aspek filosofi konseptual, pemilih harus diberi makna dinamik. kontekstual dengan multiperspektif. Pemilu yang monolik hanya akan menjadi bagian dari proses hegemonik makna yang memperbodoh masyarakat. 2. pada aspek legal konstitusional, undang-undangdan peraturan bagi pelaksanaan pemilu harus diubah, disesuaikan dengan aspek filosofi kontekstual. 3. pada aspek sosiokultur, setiap parpol harus diberikan kewenangan untuk mengeksoresikan dan melaksanakan program-programnyasecara mandiri. Parpol bukan pengumpul suara legitimasi bagi pemerintahan yang sedang berjalan, namun merupakan instrument penggerak kearah demokrasi. Ditegaskan dalam ketentuan pasal 22E UUD 1945 bahwa (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,jujur,
dan adil setiap lima tahun sekali.
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. (4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan. (5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri. (6)
Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan
undang undang. Selanjutnya dalam pasal 18 UUD 1945 ayat ( 4 ) menegaskan mengenai Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota yang harus dipilih secara demokratis, yakni "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing - masingsebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Dalam ketentuan umum Undang-Undangno 10 tahun 2008 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, pemilihan umum diartikan sebagai : "Pemilihan umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalan Negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945" Yang kemudian selanjutnya dalam perkembangannya pelaksanaan pemilihan umum baik DPR, DPD, dan DPR serta Presiden dan Wakil Presiden, Bupati dan Wakil Bupati / Walikota dan Wakil Walikota dilaksanakan pemilihan secara langsung oleh masyarakat sebagai mana diatur dalam berbagai ketentuan
perundang - undangan baik UU no. 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana diubah melalui UU No 10 tahun 2008 untuk pemilihan umum DPR, DPD, dan DPRD dan UU no. 32 tahun 2004 mengenai pemerintahan daerah sebagaimana diubah oleh UU No. 12 tahun 2008 yang didalamnya mengatur masalah pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang oleh ketentuan UU no 22 tahun 2007 sebagaimana telah dirubah menjadi UU No 15 tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu rezim pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi termasuk pemilihan umum secara langsung.
2.2.2 Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Pemilihan Umum Kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan produk kebijakan pemerintah pusat dalam mewujudkan tuntutan masyarakat untuk dijalankannya
pembagian
kekuasaan
dan
kewenangan
dalam
mengurus
daerahnya, Hal ini sejalan dengan semangat reformasi yang menghendaki adanya desentralisasi / otonomi daerah tidak terkecuali dalam perwujudan demokrasi lokal. "Istilah Demokrasi yang menurut asal kata berarti "rakyat berkuasa" atau "government of rule by the people" Kata Yunani demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa3. Oleh karenanya pemilukada sebagai wujud demokrasi di daerah pada hakekatnya menempatkan rakyat sebagai penentu dalam memberikan mandatnya terhadap kekuasaan pemerintahan di daerah. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Peny Khalid Semangat pemilihan Kepala
3
Miriam Budiharjo, 1989, "Dasar-dasar Ilmu Poline', PT Gramedia, Jakarta, hlm 50
Daerah langsung adalah memberikan ruang yang luas bagi partisipasi politik masyarakat untuk menentukan kepala daerah sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan didaerah masing - masing, sehingga diharapkan kebijakan dari pemerintah nantinya sesuai dengan harapan dan keinginan rakyat pada umumnya. Atau dengan kata lain lebih mendekatkan pemerintah kepada rakyatnya.4 Leo Agustino (2006) mengemukakan dalam arti yang (relatif) agak luas demokrasi sering dimaknai sebagai pemerintahan dengan segenap kegiatan yang dikelola, dengan menjadikan rakyat sebagai subyek dan titik tumpu roda penentu berjalannya kepolitikan dan kepemerintahan.5 Demokrasi di daerah dalam bentuk pemilukada dapat dipahami secara kontekstual sebagaimana yang diuraikan dalam Pasal 1 peraturan pemerintah no 6 tahun 2005 yaitu : Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang selanjutnya disebut pemilihan adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.6 Dalam era reformasi ini pemilu lokal bagi elit ekesekutif secara langsung tentunya akan terjadi penguatan dalam sistem pemerintahan daerah. Sejarah Pilkada di era Reformasi diawali dengan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipi.lih oleh DPRD dengan dasar hukumnya UU No.22 tentang
4
Leo Agustino. Politik dan Kebijakan Publik. Bandung: AIPI dan Puslit KP2W Lemlit Unpad2006 ha142-432 5
lbid hal 212
6
PP no 6 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana telah diubah oleh PP no 49 tahun 2008tentangPerubahan ketiga atasPeraturan pemerintah nomor 6 tahun 2005Tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan,Dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Pemerintahan Daerah tahun 1999. Sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan penyelenggaraan otonomi daerah maka diganti dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyempurnakan UU sebelumnya, sehingga Kepala Daerah dan Wakilnya dipilih langsung oleh masyarakat dengan penyelenggaranya KPUD. Sejak era reformasi, demokrasi yang diusung mengarah pada demokrasi partisipatif atau langsung, salah satunya karena banyak pejabat politik yang tidak melakukan tanggung jawabnya dengan balk, sehingga legitimasi mereka lemah. Di sisi lain memunculkan ketidak percayaan rakyat pada penguasa mendorong rekrutmen pejabat politik ke arah demokrasi langsung. Sehingga tidak mengherankan bila rekrutmen hampir semua jabatan politik dilaksanakan dalam format demokrasi yang bergerak pada hubungan state and society secara langsung. Mulai dari pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD. Kemudian dilanjutkan dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Pada fase demokrasi langsung ini merupakan era baru reformasi politik di Indonesia yang pertama kali digelar sejak kemerdekaan Indonesia. Rekrutmen politik skala nasional ini merupakan perkembangan demokrasi yang mendapat pengakuan dunia karena keberhasilannya.Sebagai tindak lanjut dari keberhasilan rekrutmen poltik dalam tataran demokrasi ini, diawali pada tahun 2005 juga dilakukan 'proses rekrutmen politik elit daerah sebagai kelanjutan dari pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang telah melahirkan pasangan pemimpin politik berbasis legitimasi rakyat. Pemilihan Umum Kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan proses demokrasi yang akan menyetarakan legitimasinya dengan keberadaan
DPRD yang telah dipilih secara langsung. Dari sisi kedaulatan rakyat daerah. demokrasi lokal dibangun untuk memberikan porsi yang seharusnya diperoleh rakyat lokal dalam pemberian legitimasi pada elit eksekutifnya. Selama ini rakyat daerah memberikan kedaulatan hanya pada legislatif daerah sajamelalui pemilu legislatif. Hal ini terkait dengan pola hubungan pemerintahan pusat daerah dalam asas desentralisasi. Kedaulatan rakyat dalam kerangka sistem pemerintahan dapat dibagi kedalam hierarkhi demokrasi nasional dan lokal dari tata cara rekrutmen politiknya. Pemilukada sebagai wujud demokrasi lokal dengan penempatannya sebagai implementasi desentralisasi dan otonomi daerah telah menarik perhatian beberapa penulis untuk melakukan penelitian sebagaimana telah diuraikan pada latar belakang diatas, persoalan - persoalan dalam pemilukada yang diangkat dalam penelitian seperti yang dilakukan oleh Ratna Fitria (2011) Penelitian ini menekankan pada aspek pemilih pada pemilihan kepala daerah Kota Bandung yang dilaksanakan pada tahun 2008, pada penelitian ini Ratna (2001) menggambarkan fenomena tentang perilaku pemilih dalam pemilihan kepala daerah melalui pokok permasalahan yang menjadi pertanyaan penelitiannya yaitu: pertama, bagaimana keterkaitan perilaku memilih dengan kandidat, dalam hal ini aspek yang menjadi gambaran penelitiannya adalah masyarakat melakukan evaluasi terhadap kandidat sebagai dasar dari pilihan mereka, maka masyarakat akan cenderung memilih kandidat yang telah terbukti memberikan keuntungan kepada mereka daripada kepada kandidat yang baru muncul dengan janji - janji
baru. Kedua, Bagaimana Keterkaitan Opini Publik dengan Perilaku memilih, dalam hal ini aspek yang menjadi gambaran penelitiannya yaitu masyarakat sebagai pemilih yang mendapatkan informasi (isu) tentang partai/kandidat yang akan memberikan keuntungan pada mereka dibandingkan partai/kandidat lainnya, maka masyarakat lebih sukarela memberikan suaranya kepada partai/kandidat yang memberikan keuntungan tadi. Kemudian Penelitian yang dilakukan oleh Rien A. Muslim Ruhsan (2009) Penelitian ini menekankan pada aspek pencalonan dalam pemilihan kepala daerah, pencalonan
merupakan
salah
satu
tahapan
dan
aspek
penting
dalam
penyelenggaraan pemilukada. Pelaksanaan pemilukada tidak akan terlaksana apabila tidak ada pesertanya yaitu calon kepala daerah, dalam hal ini Rien (2009) menggambarkan fenomena seorang calon peserta pemilukada sebagai politikus juga berasal dari kalangan selebritis (celebrity Politics) yang pada saat itu sedang begitu maraknya di Indonesia kalangan selebritis mengikuti perhelatan pemilukada. Fenomena yang digambarkan tersebut didngkat melalui pokok permasalahan yaitu : Pertama, Mengapa selebriti mencalonkan diri sebagai Wakil Gurbernur, dalam konteks ini bahasan yang digambarkan oleh Rien (2009) yaitu seorang selebritis dalam hal ini dede yusuf merupakan seorang warga negara dan memiliki hak politik yang sama dalam kedudukannya sebagai warga negara untuk dipilih maupun memilih dan aktualisasi diri merupakan motif partisipasi politik selebritis (Dede Yusuf ). Kedua, mengapa partai memilih selebritis sebagai Wakil Gurbernur Jawa Barat, dalam konteks ini Rien (2009) menggambarkan bahwa popularitas seorang selebritis merupakan modal politik yang harus dimanfaatkan
sedemikian rupa, disamping itu pula memanfaatkan kejenuhan masyarakat terhadap incumbent dan politisi konvensional sehingga membuka ruang masyarakat untuk memiliki harapan baru terhadap calon kepala daerah yang berlatar belakang selebritis. Selanjutnya Penelitian yang dilakukan oleh Novie (2009) menekankan pada aspek pemilih dimana penelitian mengenai pemilih hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Ratna (2011) yang membedakan penelitian ini lebih kepada aspek rasionalitas pemilih dengan rumusan permasalahan yang diangkat yaitu : pertama, seberapa besar tingkat rasionalitas pemilih dalam pelaksanaan pemilihan Bupati/Wakil Bupati Sumedang Tahun 2008. Dalam konteks ini Novie (2009) mengukur tingkat rasionalitas pemilih yang diukur dengan informasi yang memadai, kebutuhan program kerja, dan kalkulasi rasional para pemilih dalam pelaksanaan pemilihan Bupati/Wakil Bupati Sumedang. Sehingga semakin tinggi akses informasi/pengetahuan yang diperoleh pemilih, kesesuaian kepentingan/kebutuhan mengenai isu/program kerja kandidat dan kebutuhan tentang pemimpin yang ideal serta kalkulasi rasional maka semakin tinggi
pula
tingkat
rasionalitas
pemilih
dalam
pelaksanaan
pemilihan
Bupati/Wakil Bupati Sumedang Tahun 2008. Kedua, bagaimana:kategori pemilih apakah termasuk traditional-emotional voters (pemilih emosional-tradisional) ataukah modern-rational voters (Pemilih rasional modern) dalam konteks ini Novie(2009) mengklasifikasikan apakah para pemilih dalam pelaksanaan pemilihan Bupati/Wakil Bupati Sumedang tahun 2008 dilihat dari tinggi atau rendahnya tingkat rasionalitas pemilih dalam pelaksanaan pemilihan Bupati/Wakil
Bupati Sumedang Tahun 2008, apabila tinggi maka pemilih dalam pelaksanaan pemilihan Bupati/Wakil Bupati Sumedang Tahun 2008 termasuk kategori modern-rational voters (Pemilih rasional modern), apabila rendah tingkat rasionalitas pemilih dalam pelaksanaan pemilihan Bupati/Wakil Bupati Sumedang Tahun 2008 maka termasuk kategori traditional-emotional voters (pemilih emosional-tradisional). Penelitian - Penelitian ini berbeda dengan permasalahan yang penulis akan teliti. walaupun sama penelitiannya dalam masalah pemilihan kepala daerah, penelitian yang dilakukan penulis menyangkut aspek pendanaan pemilukada bersama dan lebih kepada aspek sumber daya pemilukada yaitu pendanaan yang tentunya sangat menentukan terhadap penyelenggaraan pemilukada berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ratna (2011) yang mengkaji aspek pemilih, dan Penelitian yang dilakukan oleh Rien (2009) yang mengangkat aspek pencalonan (calon Wakil Kepala Daerah) yang Iebih kepada manusianyasebagai peserta pemilukada dan merupakan bagian dari tahapan pemilukada serta penelitian Novie (2009) yang menguji variabel pemilih dalam pemilukada.
2.2.3 Pemilukada Bersama Pemilukada bersama merupakan istilah yang baru dalam menginterpretasikan ketentuan pasal 235 ayat 2 uu no 12 tahun 2008 yang menentukan bahwa apabila dalam suatu daerah dalam hal ini kota / kabupaten masa jabatan walikota dan wakil walikota atau bupati dan wakil bupati berada dalam kurun waktu 90 hari dengan berakhirnya masa jabatan gubrenur dalam wilayah yang sama, maka hari dan tanggal pemungutan suara nya dilaksanakan pada hari dan tanggal yang sama
dan ini berlaku 90 hari kedepan maupun kebelakang. Sebelumnya istilah yang digunakan dalam menginterpretasikan penyamaan hari dan tanggal pemungutan suara antara pemilukada provinsi dan kabupaten/kota yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir dalam kurun waktu 90 hari bermacam - macam ada yang menyebut pemilukada gabungan (pilgab), pemilukada serentak (piltak) namun Jawa Barat hasil dari penelaahan berdasarkan nomenklatur yang tertuang dalam pasal 235 ayat 2 uu no 12 tahun 2008 yang menyebutkan frase "pemungutan suaranya dilaksanakan pada hari dan tanggal yang sama" oleh karenanya penggunaan istilah "pemilukada bersama" merupakan istilah yang cukup tepat terhadap interpretasi ketentuan pasal 235 ayat 2 uu no 12 tahun 2008.
2.3 Pendanaan Bersama Kata pendanaan berasal dari kata dana atau Anggaran yang merupakan terjemahan dari kata "budget "dalam bahasa inggris. Menurut Arif ((arif et.a1.2002:14) Anggaran adalah rencana kegiatan keuangan yang berisi perkiraan belanja yang diusulkan dalam satu periode dan sumber pendapathn yang diusulkan untuk membiayai belanja tersebut. Menurut Govermental Accounting Standards Board (GASB) dalam Bastian (2006:164), definisi anggaran (budget) adalah: "...rencana operasi keuangan, yang mencakup estimasi pengeluaran yang diusulkan, dan sumber pendapatan yang diharapkan untuk membiayainya dalam periode waktu tertentu". Pendapat senada dikemukakan Freeman dalam Nordiawan (2006: 48), anggaran adalah sebuah proses yang dilakukan oleh organisasi sektor publik untuk mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya ke dalam kebutuhan-kebutuhan yang tidak terbatas.
Pengertian tersebut mengungkap peran strategis anggaran dalam pengelolaan kekayaan sebuah
organisasi publik. Organisasi sektor publik tentunya
berkeinginan memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat, tetapi seringkali terkendala oleh terbatasnya sumber daya yang dimiliki.7 Sedangkan pendanaan / penganggaran (budgeting) menurut Arif et.al (.2002:17) merupakan aktifitas pengalokasian sumber daya keuangan untuk pembiayaan belanja Negara yang cenderung tanpa batas. Dengan arti lain wildvasky (1975) dalam Arifet.al (2002:17) menyatakan "budgeting is translating financial resources into human purposes". Anggaran dalam public policy memainkan peran penting terhadap tercapainya tujuan dikeluarkannya kebijakan publik hal ini sebaimana dinyatakan Anderson (2003,158) Yaitu : It is a rare public policy that can be carried into effect without the expenditure of money. At a minimum funding will be needed for administrative personnel, office space, and equipment many important programs, such as social security, 'Medicaid and unemployment compensation primarily entail transfer payments moving money from taxpayer to the government and then to eligible beneficiaries who spend it on goods and services. Money is also central the farm, highway, public housing, medical research and Pell grant programs. The effectiveness and impact of many regulatory programs antitrust, consumer protections, environmental pollution control and securities and stock exchange regulation among others is determined in part by the amount of money available to agencies responsible for their conduct and implementation. At the extreme policies without funding become nullities... Mencermati pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa begitu banyaknya tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam menangani permasalahan 7
Dikutip dari Sri Rahayu, Unti Ludigdo. Didied Affandy,Studi Fenomenologis Terhadap Proses Penyusunan Anggaran Daerah Bukti Empiris Dari Satu Satuan Kerja Perangkat Daerah Di Provinsi Jambi pada Simposium Nasional Akuntansi X 2007
permasalahan yang rnenyangkut kemasyarakatan baik itu pengangguran, kesehatan, sarana prasarana umum dan lain sebagainya, sehingga mendorong untuk pemerintah mengeluarkan berbagai program dan kebijakan untuk menanggulangi permasalahan - permasalahan tersebut. Tentunya dalam langkah dan tindakan pemerintah tersebut harus dipersiapkan sumber daya manusia dalam hal ini aparatur pemerintah (birokrasi) untuk menjalankannya, namun langkah langkah untuk terlaksananya suatu program dalam penanganan permasalahan tersebut tentu juga membutuhkan anggaran yang memadai. Anderson (2003; 158) menyatakan secara ekstrem bahwa "kebijakan tanpa pendanaan hanya sedikit tindakan yang bisa dilakukan dan sedikit kemungkinan untuk berhasil mencapai tujuan" Pengertian Pendanaan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 Permendagri nomor 44 tahun 2007 adalah semua aktivitas berkaitan dengan pengelolaan sumber pendapatan dan pemanfaatan belanja daerah untuk mencapai tujuan dari kegiatan yang memenuhi prinsip efisiensi, efektivitas, transparansi dan akuntabilitas.8 Pendanaan diuraikan dalam pasal 8 permendagri no 57 tahun 2009 yang menyatakan : (1) Dalam hal pemungutan suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dalam satu daerah yang sama diselenggarakan pada hari dan tanggal yang sama, pelaksanaan Pemilu dilakukan dengan pendanaan bersama. 8
Peraturan menteri dalam negeri no 44 tahun 2007 tentang pedoman-pedomanpengelolaanBelanja pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah yang telah dirubah oleh Permendagri 57 tahun 2009.
(2) Pendanaan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup
pembayaran
honorarium,
uang
lembur,
perlengkapan
KPPS/TPS,
pengangkutan, pembiayaan pemutakhiran data pemilih dan perjalanan dinas. (3) Honorarium sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pembayaran
honorarium kepada KPU Kabupaten/Kota, Sekretariat KPU Kabupaten/Kota, Anggota Pokja KPU Kabupaten/Kota, PPK, Sekretariat PPK, PPS, Sekretariat PPS, KPPS, Petugas Pemutakhiran Data Pemilih, Panwaslu Kabupaten/Kota, Sekretariat Panwaslu Kabupaten/Kota, Anggota Pokja Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Sekretariat Panwaslu Kecamatan, Anggota Pokja Panwaslu Kecamatan dan Petugas Pengawas Pemilu Lapangan di Desa/Kelurahan. (4) Uang lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pembayaran uang
lembur kepada KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, Petugas Pemutakhiran Data Pemilih, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan dan Petugas Pengawas Pemilu Lapangan di Desa/Kelurahan.\ (5) Perlengkapan KPPS/TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi
bantalan dan alat pencoblos, tanda pengenal, lem, tali, spidol, ballpoint, pemasangan dan pembongkaran kotak dan bilik suara, tanda khusus (tinta Pemilukada) dan template penyandang cacat. (6) Pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pengangkutan
dari
Kabupaten/Kota
Desa/Kelurahan
ke
(PPS),
pengangkutan sebaliknya.
Kecamatan
dari
(PPK),
Desa/Kelurahan
dari
Kecamatan
ke KPPS
ke
(TPS) dan
(7) Pemutakhiran data pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi
cetak formulir pemutakhiran data pemilih. (8) Perjalanan dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi perjalanan
dinas yang dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, Panwaslu Kabupaten/Kota dan Panwaslu Kecamatan. Kemudian di pasal 8A permendagri no 57 tahun 2009 ini pun mengatur mengenai pendanaan bersama yang menjadi beban pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah provinsi Jawa - Barat dan Pemerintah kota sukabumi sekaitan dengan pelaksanaan pemilukada gubernur Jawa - Barat dan pemilukada walikota Sukabumi yang dinyatakan bahwa : (1) Provinsi dan Kabupaten/Kota yang melakukan pendanaan bersama dalam
rangka Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara bersamaan menetapkan besaran dana yang akan dibebankan kepada masingmasing pemerintah daerah. (2) daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara proporsional
sesuai dengan beban kerja. (3) Beban kerja masing - masing pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disepakati bersama dan ditetapkan dalam Keputusan Gubernur. (4) Gubernur Penetapan besaran dana yang akan dibebankan kepada masing -
masing pemerintah menetapkan standar honorarium dan/atau uang lembur penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakilk Kepala Daerah dengan besaran nilai yang sama dan berlaku untuk seluruh Kabupaten/Kota di wilayahnya.
Selanjutnya di Pasal 8B permendagri no 57 tahun 2009 memberikan ruang kepada pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah provinsi atau pemerintah kota /kabupaten untuk memberikan dan atau mendapatkan bantuan keuangan apabila kondisi keuangan daerah tidak memiliki kemampuan keuangan yang dinyatakan : (1) Dalam hal Pemerintah Provinsi mengalami keterbatasan kemampuan
keuangan daerah untuk penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Pemerintah Kabupaten/Kota di wi layahnya dapat membantu pendanaan Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur. (2) Dalam hal Pemerintah Kabupaten/Kota mengalami keterbatasan kemampuan
keuangan daerah untuk penyelenggaraan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, Pemerintah Provinsi dapat membantu pendanaan Pemilu Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Ketentuan yang mengatur pendanaan bersama sebagaimana tertuang dalam pasal 8 permendagri no 57 yang diuraikan diatas, secara sederhana dapat digambarkan pada alur bagan pada gambar sebagai berikut :
Gambar 3. Alur pola Pendanaan bersama berdasarkan pasal 8 permendagri 57 tahun 2009 KPU Kota Sukabumi
DPRD Kota Sukabumi
Pemerintah Kota Sukabumi
KPU Provinsi Jabar
Pemerintah Ptovinsi Jabar
APBD Kota Sukabumi
Pemilu Walikota & Wakil Walikota Sukabumi
KPU Kota Sukabumi
DPRD Provinsi Jabar
APBD Kota Sukabumi
Kesepakatan Pembiayaan 6 komponen Pendanaan bersama
Pemilu Gubernur & Wakil Gubernur Jabar
KPU Provinsi jabar
RKA (Rencana Kegiatan Anggaran) Pemilu Walikota & Wakil Walikota Sukabumi dan Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur di Kota Sukabumi Berdasarkan Permendagri No. 57 tahun 2009 tentang perubahan atas Permendagri No 44 tahun 2007 tentang pedoman pengelolaan belanja Pemilukada. Dari bagan diatas dimulai dari KPU Provinsi Jawa Barat dan KPU Kota Sukabumi mengusulkan anggaran untuk kebutuhan penyelenggaraan kepada pemerintah daerah masing - masing sebagaimana ditentukan dalam peraturan KPU No 9 tahun 2010, Penyusunan dan Penyampaian Program dan anggaran untuk kegiatan Pemilukada mengikuti jadwal penyusunan APBD sesuai dengan tahun anggaran dan kebutuhan tahapan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah. kemudian masing - masing pemerintah daerah pada mat melakukan pembahasan ABPD setelah menerima usulan program dan anggaran dari KPUD masing - masing dimana setelah kebijakan mengenai penganggaran APBD yang didalamnya disamping untuk kegiatan pembangunan daerah juga sudah teralokasikan untuk pembiayan penyelenggaraan pemilukada. Kemudian Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota diamanatkan untuk melakukan pembahasan terkait dengan komponen pembiayaan yang ditentukan untuk dilakukan pendanaan bersama yaitu 6 komponen yang terdiri dari honorarium, uang lembur, pengangkutan, perjalanan dinas, alat kelengkapan TPS dan pemutakhiran data pemilih. Setelah kesepakatan bersama tersebut disepakati besaran beban masing - masing pemerintah daerah untuk pembiayaan komponen pendanaan bersama, kemudian anggaran kebutuhan pembiayaan penyelenggaraan Pemilukada Provinsi Jawa Barat serta pemilukada Kota Sukabumi didistribusikan kepada masing-masing penyelenggara pemiliukada yaitu KPU Provinsi dan KPU Kota Sukabumi oleh masing - masing pemerintah daerah, dalam hal ini alokasi anggaran pelaksanaan pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur di kota sukabumi oleh KPU Provinsi didistribusikan ke KPU Kota Sukabumi sebagai penyelenggara Pemilu Gubernur ditingkat Kota Sukabumi. Disinilah Pendanaan Bersama tersebut akan terlaksana sesuai dengan kesepakatan bersama pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kota Sukabumi sebagaimana diatur dalam Permendagri 57 tahun 2009.
2.4 Kerangka Pemikiran Dan Proposisi Penelitian Dari uraian diatas untuk dapat dipahami bahwa mengenai kebijakan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dalam hal penyelenggaraan pemilukada diatur sebagaiaman hierarki ketentuan perundang - undangan dimulai dari UUD 1945 yang mengamanatkan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis yang kemudian dijabarkan oleh para pembuat kebijakan dengan UU no 32 tahun 2004 sebagaimana telah dirubah 2 kali dan terakhir oleh UU No 12 Tahun 2008 yang mengatur bahwa pelaksanaan Pemilukada dilaksanakan secara langsung dan dalam satu pasangan dengan wakil kepala daerah selanjutnya secara tekhnis diatur oleh PP no 6 tahun 2005 sebagaimana telah diubah oleh PP 49 tahun 2008 Tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah dan pendanaan Pemilukada diatur dalam permendagri no 44 tahun 2005 pedoman pengelolaan belanja pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana telah diubah Permendagri no 57 tahun 2009, sejalan dengan itu pengaturan tentang penyelenggara pemilihan umum yang diatur oleh UU No. 22 tahun 2007 sebagaimana telah diubah oleh UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum juga menempatkan pemilukada sebagai bagian dari rezim pemilihan umum dengan memberikan kewenangan KPU sebagai Penyelenggara Pemilu untuk membuat ketentuan ketentuan tekhnis melalui Peraturan KPU (PKPU) dalam penyelenggaraan Pemilukada sehingga secara alur bagan hierarki perundang-undangan tersebut dapat dilihat pada pada gambar dibawah ini :
Gambar 4. Bagan Ketentuan perundang - undangan yang menjadi dasar hukum pendanaan pemilukada : UUD 45 pasal 18 ayat 4 (Kepala daerah dipilih secara demokratis)
UU 32 tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah Pasal 56 ayat 1 (pemaknaan demokratis kepala daerah dipilih secara langsung) sebagaimana telah dirubah 2 kali dan terakhir oleh UU No 12 tahun 2008 (menegaskan pemilukada dalam wilayah yang sama dalam kurun waktu 90 hari pemungutan suaranya dilaksanakan pada hari dan tanggal yang sama)
UU 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu (mengamanatkan pemilukada sebagai erzim pemilihan umum dan KPUD sebagai penyelenggara) sebagaimana telah dirubah oleh UU no 15 tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu
PP No 2005 tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana telah diubah Permendagri no 57
Peraturan – peraturan KPU diantaranya PKPU no 9 tahun 2009 Program jadwal tahapan pemilukada
Permendagri no 44 (pedoman pengelolaan belanja pemilihan umum kepala daerah & wakil kepala daerah) sebagaimana telah diubah permendagri no 57
Rincian Kegiatan dan Anggaran (RKA) dan Rencana Kebutuhan Biaya (RKB) Pemilukada
Permendagri no 44 (pedoman pengelolaan belanja pemilihan umum kepala daerah & wakil kepala daerah) sebagaimana telah diubah permendagri no 57
Melihat alur Pola Pendanaan bersama (gambar 1) dan bagan ketentuan perundang - undangan (gambar 2) tesebut dan mencermati pendapat Gerston
(2002, 14) yang menyatakan bahwa kebijakan publik dibuat dan dilaksanakan pada semua tingkatan pemerintahan, karenanya tanggung-jawab para pembuat kebijakan akan berbeda pada setiap tingkatan sesuai dengan kewenangannya. Kebijakan pendanaan bersama yang menjadi beban pemerintah daerah dalam merumuskan dan menentukan alokasi besaran anggaran untuk mendanai komponen - komponen pendanaan bersama pemilukada bersama Provinsi Jawa barat dan Pemilukada Kota Sukabumi sebagaimana ketentuan pasal 8A Permendagri No 57 Tahun 2009 yang mengamanatkan Provinsi Jawa - Barat dan Kota sukabumi karena melakukan pendanaan bersama dalam Pemilukada yang dilaksanakan secara bersamaan menetapkan besaran dana yang akan dibebankan kepada masing-masing pemerintah daerah. Kemudian penetapan besaran dana yang akan dibebankan kepada pemerintah Provinsi Jawa - Barat dan Pemerintah Kota Sukabumi ditetapkan secara proporsional sesuai dengan beban kerja. Yang selanjutnya Beban kerja masing - masing pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disepakati bersama dan ditetapkan dalam Keputusan Gubernur. Sebagaimana telah dikemukakan dilatar belakang bahwa Gubernur telah menetapkan Standar Honorarium dan Uang lembur. Merujuk pada pendapat Anderson , Jann dan Weidrich, dan Mara Sydney sebagaimana telah diuraikan dalam tinjauan pustaka yang mengemukakan pendapat yang hampir sama dalam perumusan kebijakan, bahwa perumusan kebijakan menyangkut upaya menjawab dua hal yaitu : 1) Bagaimana alternatif - alternatif yang dibangun dalam menentukan kesepakatan besaran beban komponen - komponen pendanaan bersama
2) Siapa dan bagaimana aktor – aktor resmi maupun tidak resmi yang mempengaruhi dalam memainkan peran menentukan alternatif yang diambil dalam permasalahan pendanaan bersama. Gambar 3. Bagan Alur Perumusan Kebijakan Kesepakatan Komponen Komponen Pendanaan Bersama di bawah ini : Alokasi Anggaran untuk penyelenggaraan Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur di Kota Sukabumi dari APBD Provinsi Jabar
Alokasi Anggaran untuk penyelenggaraan Pemilu Walikota dan Wakil Walikota di Kota Sukabumi dari APBD Kota Sukabumi
Alternatif – alternatif untuk menentukan besaran beban komponen – komponen pendanaan bersama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan pemerintah Kota Sukabumi
Aktor – aktor yang terlibat baik resmi maupun tidak resmi yang mempengaruhi dan menentukan lesepakatan besaran beban pendanaan bersama antara pemerintah Provinsi Jawa barat dan pemerintah Kota Sukabumi
Kebijakan Kesepakatan proporsionalitas besaran pembiayaan6 (enam) komponen Pendanaan Bersama yang menjadi beban Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kota Sukabumi untuk komponen : 1. Honorarium 2. Uang lembur 3. Pengangkutan 4. Alat -alat Kelengkapan TPS 5. Perjalanan Dinas 6. Pemutakhiran Data Pemilih Prosesnya diawali dari pengalokasian anggaran untuk kebutuhan pemilihan umum Gurbernur dan Wakil Gurbernur Jawa Barat telah ditentukan dalam APBD Provinsi untuk kebutuhan pemilu Gurbernur diseluruh wilayah Jawa Barat, dan
pada saat yang sama Kota Sukabumi sebagai bagian dari Provinsi Jawa Barat juga menentukan alokasi anggaran untuk Pemilu Walikota dan Wakil Walikota Sukabumi namun dengan kondisi APBD Kota Sukabumi dengan Tingkat Pendapatan Asli Daerah yang minim memiliki keterbatasan anggaran dalam memenuhi usulan pembiayaan pemilu Walikota dan Wakil Walikota sukabumi sebesar 19,6 miliar dari penyelenggara pemilu di Kota Sukabumi, dengan hanya mengalokasikan anggaran 8 miliar untuk tahun 2012 dan anggaran tersebut juga dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pengawas pemilu dan pengamanan, dan sebagaimana penyelenggara
telah
dikemukakan
pemilu
tahun
sebelumnya
2012
pemerintah
bahwa kota
untuk
kebutuhan
Sukabumi
hanya
mengalokasikan 4,6 m yang sudah barang tentu sangat jauh dari kebutuhan, besarnya kebutuhan anggaran untuk penyelenggaraan pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Sukabumi serta adanya kebijakan pendanaan bersama dalam rangka Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Daerah yang pemungutan suaranya dilaksanakan pada hari dan tanggal yang sama, menjadi permasalahan yang mendapat perhatian pemerintah Kota Sukabumi dan pemerintah Provinsi Jawa Barat. Sehingga menjadi agenda kebijakan untuk selanjutnya dilakukan perumusan kesepakatan antara pemerintah Kota Sukabumi dan pemerintah Provinsi Jawa Barat mengenai pendanaan bersama pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Sukabumi dan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat yang dilaksanakan Di Kota Sukabumi. Bagaimana proses perumusan kesepakatan komponen pendanaan bersama tersebut dirumuskan dan disepakati, dengan menjadikan permasalahan beban
alokasi pembiayaan pemilihan walikota dan wakil walikota sukabumi bersama dengan pemlihan Gubernur dan Wakil Gubernur yang harus disediakan oleh pemerintah Kota Sukabumi dan Pemerintah Jawa Barat dan disepakati sebagai permasalahan yang masuk kedalam agenda kebijakan pemerintah Kota Sukabumi dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dengan merumuskan alternatif - alternatif atau pilihan - pilihan apa saja yang diusulkan untuk disepakati dalam pembiayaan komponen honorarium, uang lembur, alat - alat kelengkapan TPS, pengangkutan, perjalanan dinas, dan pemutakhiran data pemilih (sesuai pasal 8 Permendagri no 57 tahun 2009), dalam merumuskan kesepakatan pendanaan bersama, sebagaimana dinyatakan Anderson (2006,104), para perumus kebijakan perlu mempertimbangkan beberapa faktor agar usulan kebijakan yang dirumuskan dapat berhasil menyelesaikan permasalahan beban alokasi pembiayaan pendanaan bersama antara pemerintah Kota Sukabumi dengan Pemerintah Jawa Barat yang harus disepakatiu, yaitu : (1) Apakah usulan pembagian alokasi beban pembiayaan pendanaan bersama tersebut memadai secara tekhnis, (2) apakah anggaran yang diusulkan untuk pembiayaan komponen pendanaan bersama tersebut masuk akal atau dapat diterima? (3) apakah secara politik usulan besaran beban pembiayan komponen pendanaan bersama dapat diterima? Apakah usulan besaran beban komponen pendanaan bersama tesebut juga mendapat dukungan dari anggota Dewan ? (4) jika Usulan besaran beban pembiayaan komponen pendanaan bersama tersebut disepakati, dapatkah juga disetujui oleh Publik? Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran yang telah diuraikan sebelumnya, maka Proposisi yang dibangun sebagaimana terlihat pada gambar
kerangka pemikiran dibawah ini yaitu : Gambar 4. Kerangka Pemikiran Perumusan Kebijakan Kesepakatan Komponen Pendanaan Bersama Pemilukada Bersama di Kota Sukabumi Agenda Kebijakan : Tersedianya besaran beban anggaran pembiayaan komponen pendanaan bersama untuk pemilukada bersama di Kota Sukabumi oleh Pemerintah Kota Sukabumi dan Pemerintah Jawa Barat
Perumusan Kebijakan Kesepakatan Pembiayaan Komponen Pendanaan Bersama Alternatif - alternatif untuk menentukan kesepakatan beban pembiayaan komponen pendanaan bersama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kota Sukabumi
Aktor-aktor yang terlibat baik resmi maupun tidak resmi yang mempengaruhi dan menentukan kesepakatan besaran beban pendanaan bersama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kota Sukabumi
Kesepakatan alokasi besaran beban pembiayaan komponen Pendanaan Bersama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kota Sukabumi untuk komponen Honorarium, Uang lembur, Pengangkutan, Alat alat Kelengkapan TPS, Perjalanan Dinas dan Pemutakhiran Data Pemilih. Sehingga proposisi yang disusun penulis yaitu sebagai berikut : "Perumusan kebijakan beban pembiayaan komponen pendanaan bersama dapat menghasilkan kesepakatan antara pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kota Sukabumi sebagai sebuah kebijakan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan komponen pendanaan bersama dengan memperhatikan altematif atau pilihan pilihan yang diusulkan, serta aktor - aktor yang terlibat baik aktor resmi maupun aktor tidak resmi dan bagaimana aktor - aktor tersebut mempengaruhi terhadap perumusan kesepakatan kebijakan pembiayaan komponen pendanaan bersama.