BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1.
Penelitian Terdahulu Renyowijoyo (2003) melakukan penelitian dengan judul: Hubungan antara Budaya
Organisasi, Komitmen Organisasi, Kepuasan Kerja, dan Prestasi Kerja, Studi Empiris Karyawan Sektor Manufaktur di Indonesia. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui
hubungan antara budaya organisasi, kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan prestasi kerja karyawan, studi kelayakan karyawan sektor manufaktur di Indonesia. Responden dalam penelitian sebanyak 390 orang dari 13 perusahaan
di Jakarta, Bogor,
Tangerang, Bekasi, Serang dan Karawang. Data-data dianalisis dengan menggunakan
Uji-f, analisis varian, korelasi Pearson, Path Analysis, dan Analisis Regresi Berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuasan kerja mempunyai hubungan positif dan signifikan dengan prestasi kerja karyawan, demikian juga komitmen organisasi mempunyai hubungan positif dan signifikan dengan prestasi kerja karyawan.
Sariyathi (2006) melakukan study dengan judul: Beberapa Faktor yang Berasosiasi dengan Prestasi Kerja Karyawan PDAM Kabupaten Klungkung. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya asosiasi signifikan secara bersama-sama maupun secara parsial faktor motivasi, kepuasan kerja, kondisi fisik pekerjaan, dan kemampuan kerja dengan prestasi kerja karyawan PDAM Kabupaten Klungkung. Responden dalam penelitian sebanyak 85 orang yang terdiri dari 2 orang direksi, 45 orang tenaga administrasi, dan 38 orang teknisi. Analisis data dilakukan
Universitas Sumatera Utara
dengan uji F dan uji t. Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa keempat faktor yang diteliti yaitu faktor motivasi, kepuasan kerja, kondisi fisik pekerjaan, dan kemampuan kerja supaya, baik secara bersama-sama maupun secara parsial, berasosiasi signifikan dengan prestasi kerja karyawan. Dari keempat faktor yang diteliti, ternyata faktor kemampuan kerja memiliki asosiasi paling kuat dengan prestasi kerja karyawan. Sholikhan dan Churiyah (2006) melakukan penelitian dengan judul: Analisis Jalur Iklim Organisasi terhadap Komitmen dan Kepuasan Kerja Serta Implikasinya pada Prestasi Kerja. Populasi sekaligus sampel sebanyak 45 orang. Proses analisis menggunakan Analisis Statistik Deskriptif dan Analisis Statistik Inferential yaitu Analisis Jalur (Path Analysis). Hasil penelitian ini adalah iklim organisasi berpengaruh signifikan terhadap komitmen karyawan; iklim organisasi, komitmen karyawan berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan; iklim organisasi, komitmen karyawan, kepuasan kerja karyawan berpengaruh signifikan terhadap prestasi kerja karyawan baik langsung maupun tidak langsung.
II.2.
Teori tentang Iklim Organisasi
II.2.1. Pengertian Iklim Organisasi Setiap organisasi memiliki budaya, tradisi dan metode tindakan sendiri-sendiri, yang
keseluruhannya akan menciptakan iklim tertentu. Demikian uniknya, sehingga setiap organisasi juga mempunyai kondisi psikologis yang berbeda-beda. Beberapa organisasi bisa terlihat sangat sibuk dengan aktivitasnya, sementara organisasi lain
Universitas Sumatera Utara
tampak santai dan lamban. Kondisi psikologis demikianlah yang kemudian merefleksikan suatu iklim organisasi. Menurut Purnomosidhi (1996), bahwa iklim organisasi adalah suatu kondisi atau suasana organisasi yang diciptakan oleh berbagai komponen yang membentuk suatu nilai kebijaksanaan dimana pelaksanaannya sesuai dengan kepentingan bersama. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa iklim organisasi berpengaruh positif pada kinerja dan kepuasan kerja, sehingga semakin sesuai dan sehat suatu iklim organisasi akan semakin tinggi tingkat kepuasan kerja dan kinerja pegawai. Owens (1995) mendefinisikan iklim organisasi sebagai studi persepsi individu mengenai berbagai aspek lingkungan organisasinya. Sementara Keith Davis dalam Djatmiko (2005) mengemukakan pengertian iklim organisasi sebagai “The human environment within an organization’s employees do their work”. Pernyataan Davis tersebut mengandung arti bahwa iklim organisasi itu adalah yang menyangkut semua lingkungan yang ada atau yang dihadapi oleh manusia di dalam suatu organisasi tempat mereka melaksanakan pekerjaannya. Stringer (2002) mendefinisikan iklim organisasi sebagai kualitas lingkungan internal organisasi yang secara relatif terus berlangsung, dialami oleh anggota organisasi, mempengaruhi perilaku mereka dan dapat dilukiskan dalam pengertian satu set karakteristik atau sifat organisasi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa iklim organisasi merupakan suatu konsep yang melukiskan sifat subjektif atau kualitas lingkungan organisasi.
Universitas Sumatera Utara
Definisi lain tentang iklim organisasi dikemukakan oleh B. H Gilmer dalam Hoy dan Miskel (2001) yang menyebutkan bahwa iklim organisasi merupakan karakteristik yang membedakan satu organisasi dengan organisasi lainnya dan mempengaruhi
orang-orang
dalam
organisasi
tersebut.
Sedangkan
Steers
menyebutkan bahwa iklim organisasi dapat dipandang sebagai kepribadian organisasi yang dicerminkan oleh anggota-anggotanya. Lebih lanjut Steers mengatakan bahwa iklim organisasi tertentu adalah iklim yang dilihat pekerjanya, tidak selalu iklim yang sebenarnya dan iklim yang muncul dalam organisasi merupakan faktor pokok yang menentukan perilaku pekerja. Dari pengertian-pengertian yang dikemukakan tersebut jelas bahwa iklim organisasi berhubungan erat dengan persepsi individu terhadap lingkungan sosial organisasi yang mempengaruhi organisasi dan perilaku anggota organisasi. Hoy dan Miskel (2001) menyebutkan ada dua tipe iklim organisasi, yaitu iklim organisasi terbuka dan iklim organisasi tertutup. Pada iklim organisasi terbuka, semangat kerja karyawan sangat tinggi, dorongan pimpinan untuk memotivasi karyawannya agar berprestasi sangat besar; sedangkan rutinitas administrasi rendah, karyawan yang meninggalkan pekerjaan seperti bolos, izin dan sebagainya juga rendah; perasaan terpaksa untuk bekerja juga rendah. Sebaliknya, pada iklim organisasi yang tertutup, semangat kerja karyawan sangat rendah; dorongan pimpinan untuk memotivasi karyawannya berprestasi sangat rendah; sedangkan rutinitas administratif tinggi, karyawan yang meninggalkan pekerjaan tinggi; perasaan terpaksa untuk bekerja juga tinggi.
Universitas Sumatera Utara
II.2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Iklim Organisasi Iklim organisasi dirumuskan sebagai kondisi lingkungan kerja yang diciptakan dan dirasakan oleh para anggotanya serta mempengaruhi perilakunya, yang digambarkan melalui seperangkat nilai-nilai dan karakteristik tertentu dari organisasi. Davis dalam Djatmiko (2005) menyebutkan bahwa unsur-unsur yang mengkontribusi terciptanya iklim yang menyenangkan adalah: (1) kualitas kepemimpinan, (2) kadar kepercayaan, (3) komunikasi, ke atas dan ke bawah, (4) perasaan melakukan pekerjaan yang bermanfaat, (5) tanggung jawab, (6) imbalan yang adil, (7) tekanan pekerjaan yang nalar, (8) kesempatan, (9) pengendalian, struktur, dan birokrasi yang nalar, dan (10) keterlibatan pegawai, partisipasi. Steers (2005) menyebutkan struktur organisasi, teknologi, lingkungan luar dan kebijakan serta praktek manajemen sebagai faktor pengaruh yang penting terhadap iklim organisasi. Menurut Okpara (2002), iklim organisasi dapat diukur melalui perilaku pemimpin, arus komunikasi, interaksi, pengambilan keputusan, motivasi, dan independensi. 1) Perilaku Pemimpin Menurut Luthans (2006), bahwa perilaku pimpinan dapat membuat perbedaan, baik positif maupun negatif. Sebagai contoh sebuah survey menemukan bahwa eksekutif senior melihat perilaku pimpinan dengan gaya kepemimpinan perusahaan mereka lebih ke pragmatik daripada konseptual, dan konservatif daripada berisiko. Para eksekutif tersebut merasa bahwa untuk
Universitas Sumatera Utara
memenuhi tantangan sekarang dan masa depan, gaya kepemimpinan seharusnya mendapat perhatian. Berlawanan dengan para pemimpin di birokrasi klasikal, para pemimpin organisasi masa kini, harus bersifat lebih usahawan, fokus ke pelanggan, proses, dan hasil; lebih condong kepada tindakan; lebih memberi wewenang; komunikatif; berteknologi canggih; mendukung inovasi dan perbaikan terus menerus; kuat dalam menggunakan bimbingan, saran dan pengaruh; dan berhemat dalam penggunaan otoritas murni. Setelah gaya kepemimpinan seseorang dinilai, perlu untuk menyesuaikan pimpinan dengan situasi. Tiga faktor kondisi atau dimensi kontijensi yang dikenalkan oleh Fiedler ditetapkan sebagai berikut (Robbins, 2005): 1. 2. 3.
Hubungan pemimpin-anggota: Tingkat keyakinan, kepercayaan, dan penghargaan bawahan terhadap pemimpin mereka. Struktur tugas: Tingkatan pada tugas-tugas kerja bawahan terstruktur atau tidak terstruktur. Wewenang jabatan: Tingkat pengaruh seorang pemimpin terletak pada variasi wewenang seperti mempekerjakan, memecat, mendisiplinkan, mempromosikan, dan menaikkan gaji.
2) Arus Komunikasi Komunikasi adalah proses berbagai makna melalui perilaku verbal dan non verbal. Segala perilaku dapat disebut komunikasi jika melibatkan dua orang atau lebih (Mulyana, 2004). Komunikasi organisasi dapat dinyatakan sebagai penunjukan atau penafsiran pesan diantara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian dari suatu organisasi tertentu (Pace dan Faules, 2005). Menurut Rogers dalam Cangara (2006), komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari
Universitas Sumatera Utara
sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Proses komunikasi dimulai apabila seseorang memiliki suatu ide atau informasi yang ingin disampaikannya kepada orang lain untuk diketahuinya. Menurut Gitosudarmo dan Sudita (2003), komunikasi berperan dalam tiga jenis peran manajerial, yaitu: a. Berperan antar pribadinya, manajer bertindak sebagai simbol dan pemimpin serta sebagai koordinator unit organisasinya. Dia akan berinteraksi dengan bawahan, pelanggan, pemasok dan rekan setingkatnya dan juga dengan atasannya. b. Berperan informasionalnya, manajer akan selalu mencari informasi dari rekan setingkat, bawahan, pemasok dalam organisasinya, serta kontak pribadi lainnya mengenai segala upaya yang dapat mempengaruhi pekerjaan dan tanggung jawabnya. c. Berperan keputusannya, manajer menangani gangguan dalam unit organisasinya dan menangani pengalokasian sumber daya kepada bagianbagian yang membutuhkannya. Keputusannya mungkin diambil sendiri atau melibatkan bawahannya. 3) Interaksi Hubungan antara satu individu dengan individu lain dalam organisasi, adalah merupakan serangkaian proses penyesuaian nilai-nilai diri dengan anggota lain dan lingkungan organisasi secara menyeluruh. Hal ini berhubungan dengan kepribadian, kemampuan bercakap dan jenis kegiatan, yang merupakan gambaran dari nilai-nilai individu yang sebenarnya. Untuk itu seseorang harus aktif mempengaruhi, mengubah ataupun menyesuaikan dengan nilai-nilai individu lain dalam batas-batas yang memungkinkan (Ahmadi, 1999). Interaksi adalah serangkaian hubungan antara dua atau lebih individu, yang berorientasi pada saling mempengaruhi, mengubah, menyesuaikan atau memperbaiki dan
Universitas Sumatera Utara
melengkapi perilaku diantara mereka. Dengan demikian dua fungsi individu dalam kehidupan organisasi, akan berjalan dengan seimbang baik sebagai obyek maupun sebagai subyek.
4) Pengambilan Keputusan Simon dalam Steers (2005), menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan dalam organisasi dilakukan melalui 3 (tiga) tahapan, yaitu: 1) Kegiatan inteligensi; mencakup pengenalan masalah dan pencarian sebab-
sebab masalah serta metode pemecahannya. 2) Kegiatan morancang; yaitu merumuskan dan menilai berbagai alternatif cara bertindak dilihat dari kemungkinan akibat negatif maupun positifnya. 3) Kegiatan pilihan atau keputusan itu sandhi. Masalah utama yang berkaitan dengan strategi manajemen dalam pengambilan keputusan adalah bagaimana atasan mengizinkan para bawahannya untuk ikut berpartisipasi dalam proses yang akan mempengaruhi pekerjaan mereka. Ada tiga hal utama yang berkaitan dengan partisipasi dalam poses pengambilan keputusan, yaitu: (1) keputusan otokratis, yang sepenuhnya ditentukan oleh atasan, (2) keputusan konsultatif, yang diambil oleh atasan setetah berkonsultasi dengan bawahannya, dan (3) keputusan kelompok, yang diambil berdasarkan hasil partisipasi anggota kelompok (Vroom dan Yetton dalam Steers, 2005). Ada beberapa strategi untuk meningkatkan efektivitas pengambilan keputusan yang dikemukakan oleh Thompson dalam Steers (2005) bahwa keputusan dalam organisasi dicirikan oleh dua dimensi utama yaitu (1) keyakinan mengenai hubungan sebab akibat dan (2) preferensi antara hasil-hasil yang mungkin didapat.
Universitas Sumatera Utara
5) Motivasi Teori motivasi merupakan konsep yang bersifat memberikan penjelasan tentang kebutuhan dan keinginan seseorang serta menunjukkan arah tindakannya. Menurut Herpen et al, (2002), bahwa motivasi seseorang berupa intrinsik dan ekstrinsik.
Motivasi
intrinsik
dan
ekstrinsik
sesuatu
yang
sama-sama
mempengaruhi tugas seseorang. Kombinasi insentif intrinsik dan ekstrinsik merupakan kesepakatan yang ditetapkan dan berhubungan dengan psikologi seseorang. Gouzaly (2000), mengelompokkan faktor-faktor motivasi kedalam dua kelompok yaitu, faktor eksternal (karakteristik organisasi) dan faktor internal (karakteristik pribadi). Faktor eksternal (karakteristik organisasi) yaitu: lingkungan kerja yang menyenangkan, tingkat kompensasi, supervisi yang baik, adanya penghargaan atas prestasi, status dan tanggung jawab. Faktor internal (karakteristik pribadi) yaitu: tingkat kematangan pribadi, tingkat pendidikan, keinginan dan harapan pribadi, kebutuhan, kelelahan dan kebosanan. Menurut Mondy and Noe (1996); Direct financial compensation consist of the pay that a person receives in the form of wages salaries, bonuses and commissions. Indirect financial compensation (benefits) includes all financial rewards that are not included direct compensation. Kompensasi non keuangan terdiri dari kepuasan yang diterima oleh seseorang dari tugas atau dari psikologi dan atau lingkungan phisik di mana seseorang bekerja.
Universitas Sumatera Utara
Pada saat-saat tertentu seseorang dalam menerima kompensasi akan mengukur penerimaannya dengan bentuk nonfinancial atau financial hal ini tergantung pada tingkat kebutuhan yang dimilikinya. Menurut Werther dan Davis (1996); manajemen kompensasi berusaha keras membuat keadilan luar dan dalam. Internal menghendaki keadilan nilai pembayaran relatif sama dengan tugas yang diterima sedangkan eksternal adalah pembayaran pekerja sebanding dengan pembayaran oleh perusahaan lain dipasaran tenaga kerja. Jadi kompensasi berusaha untuk memberikan kewajaran terhadap pembayaran-pembayaran yang diterima oleh pekerja baik dilihat dari dalam perusahaan maupun dari luar perusahaan. 6) Independensi Suatu hal yang seringkali mendapatkan sorotan tajam dari publik terhadap aktivitas sebuah organisasi adalah rendahnya tingkat independensi, baik secara individu sebagai anggota, maupun pada tataran organisasi secara keseluruhan. Hal ini tentu saja akan memicu kecenderungan terjadinya pemilihan orang-orang untuk menempati posisi strategis dalam organisasi, yaitu orang-orang yang dekat dengan penguasa tertinggi (pimpinan). Harkrisnowo (2003), mengungkapkan bahwa adanya iklim independensi dalam sebuah organisasi, akan mempu menciptakan beberapa situasi kondusif, antara lain: 1) Rekrutmen dan penempatan pejabat dalam organisasi sesuai dengan
keahlian dan pengalamannya. 2) Kebijakan-kebijakan yang diambil akan dapat dilaksanakan dengan konsisten dan berkesinambungan, yang pada gilirannya diharapkan dapat menghasilkan kinerja yang efektif dan efisien.
Universitas Sumatera Utara
Namun demikan harapan pada terciptanya iklim independensi dalam organisasi harus dapat didukung oleh berbagai hal mendasar yang berhubungan dengan sumber daya manusia (Harkrisnowo, 2003) yaitu: 1) Individu harus mempunyai integritas yang tinggi dan bersih. 2) Mempunyai kemampuan manajerial, substantive dan juga motivasi yang
besar. 3) Mempunyai pemahaman yang berwawasan public service. 4) Dapat mengambil keputusan secara transparan dan obyektif. 5) Mampu memperhitungkan public opinion dalam
pengambilan
keputusannya. Hal penting lainnya yang harus diperhitungkan adalah bahwa independensi ini mempunyai kemungkinan untuk diterjemahkan sebagai kebebasan yang tak terbatas (unlimited independence). Dalam kerangka ini, suatu mekanisme akuntabilitas publik akan mampu mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya penyimpangan yang diakibatkan oleh interpretasi yang keliru terhadap makna independensi yang sesungguhnya. Kesimpulannya, dengan adanya iklim independensi, akan mampu meningkatkan kinerja organisasi, selama hal itu diinterpretasikan dengan benar. Litwin dalam Holbche (2005) mengklasifikasikan dimensi iklim organisasi sebagai berikut: 1. Tanggung jawab, karyawan diberi kebebasan untuk melaksanakan tugas dan menyelesaikannya, diberi motivasi yang lebih untuk melaksanakan tugas tanpa harus selalu mencari persetujuan manajer, diberi keberanian menanggung resiko dari pekerjaan tanpa rasa takut dimarahi. 2. Fleksibilitas, karyawan diberi kebasan untuk lebih inovatif. 3. Standar, diperlukan untuk mencapai hasil yang memuaskan ditandai dengan adanya dorongan untuk maju.
Universitas Sumatera Utara
4. Komitmen tim, orang akan memberikan apa yang terbaik yang mereka bisa lakukan jika mereka memiliki komitmen terhadap organisasi dan bangga berada di dalamnya. 5. Kejelasan, kejelasan terhadap apa yang menjadi tujuan, tingkatan tanggung jawab, nilai-nilai organisasi. Hal ini penting diketahui oleh karyawan agar mereka tahu apa yang sesungguhnya diharapkan dari mereka dan mereka dapat memberikan kontribusi yang tepat bagi organisasi. 6. Penghargaan, karyawan dihargai sesuai dengan kinerjanya. Manajer harus lebih banyak memberikan pengakuan daripada kritikan. Sistem promosi harus dibuat untuk membantu karyawan meraih puncak prestasi. Kesempatan berkembang harus menggunakan penghargaan dan peningkatan kinerja. 7. Gaya kepemimpinan, ketika gaya kepemimpinan sesuai dengan situasi yang ada maka hasil akan dicapai.
II.3.
Teori tentang Komitmen
II.3.1. Pengertian Komitmen Organisasi Komitmen organisasi dapat didefinisikan sebagai “relative strength of an individual’s identification with an involvement in a particular organization” (Porter et al. dalam Prasetyono dan Kompyurini, 2007). Selanjutnya menurut Aranya et al. dalam Prasetyono dan Kompyurini (2007) mendefinisikan komitmen sebagai: 1. Keyakinan dan penerimaan tujuan dan nilai organisasi. 2. Kemauan untuk berusaha atau bekerja untuk kepentingan organisasi. 3. Hasrat untuk menjaga keanggotaan organisasi. Menurut Meyer dalam Prasetyono dan Kompyurini (2007), komitmen organisasi dibangun melalui identifikasi individual dengan tujuan organisasi (affective commitment) dan biaya terkait dengan tetap tinggalnya seseorang pada suatu organisasi (the “side-bet” theory atau continuance commitment) serta apa yang sebaiknya dilakukan (normatif commitment).
Universitas Sumatera Utara
Komitmen organisasi adalah perasaan dan sikap para pekerja tentang keseluruhan organisasi (Riggio, 2000). Seseorang pekerja yang mempunyai perasaan positif terhadap keseluruhan organisasi kerja kelihatannya akan lebih sedikit absennya dalam bekerja dan sedikit yang meninggalkannya untuk bekerja pada organisasi lain dibandingkan jika pekerja mempunyai sikap perasaan negatif terhadap organisasinya. Menurut Yousef (200), bahwa komitmen organisasi telah mendapat perhatian pada riset-riset terdahulu karena pengaruhnya yang signifikan dalam tingkah laku kerja seperti kepuasan kerja, prestasi kerja (performance), absensi, dan intensitas turnover. Komitmen organisasi mempunyai tiga komponen dasar yaitu: a. Kepercayaan yang kuat dalam penerimaan tujuan dan nilai-nilai organisasi (identification). b. Kemauan untuk mengerahkan usahanya atas nama organisasi (involvement). c. Keinginan yang kuat untuk tetap bersama organisasi (loyalty). Argyris dalam Sukarno dan Prasetyohadi (2004) membagi komitmen menjadi dua, yaitu komitmen internal dan komitmen eksternal. Komitmen internal merupakan komitmen yang berasal dari diri karyawan untuk menyelesaikan berbagai tugas, tanggung jawab dan wewenang berdasarkan pada alasan dan motivasi yang dimiliki. Komitmen eksternal dibentuk oleh lingkungan kerja, yang muncul karena adanya tuntutan terhadap penyelesaian tugas dan tanggung jawab yang harus diselesaikan oleh para karyawan.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Armstrong (1999), ada dua aliran pemikiran tentang komitmen. Aliran yang pertama aliran yang mengedepankan dari kontrol menuju komitmen (from control to commitment) yang dipelopori oleh Walton. Menurutnya, kinerja akan meningkat jika organisasi berpindah dari pendekatan tradisional yang menekankan kontrol ke pendekatan yang lebih menitikberatkan pada manajemen pendorong kerja (workforce management). Hal ini dicapai dengan cara memantapkan perintah, mengolah kontrol dan mencapai efisiensi dalam dorongan kerja. Menurut Walton dalam Armstrong (1999), pendekatan ini sebaiknya diganti dengan strategi komitmen. Pekerja akan menampilkan respon terbaik dan terkreatif mereka tidak pada saat mereka dikontrol secara ketat oleh manajemen, diletakkan pada pekerjaan yang telah ditentukan secara ketat dan diperlakukan secara kaku, namun kondisi ini akan dijumpai pada saat mereka diberi tanggung jawab yang lebih luas, ditantang untuk memberi kontribusi dan dibantu untuk mencapai kepuasan di tempat kerja. New commitment based approach memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Pekerjaan didesain lebih luas dari sebelumnya (dikombinasikan dengan perencanaan dan implementasi serta mencakupkan pula usaha-usaha untuk meningkatkan
tindakan-tindakan,
tidak
hanya
sekedar
mempertahankan
(maintain) semata. b. Tanggung jawab individu diharapkan berubah seiring dengan perubahan kondisikondisi dan team, tidak hanya individu-individu semata.
Universitas Sumatera Utara
Dengan hirarki manajemen yang relatif datar (flat) serta perbedaan status diminimalkan, kontrol dan koordinasi lateral tergantung pada tujuan-tujuan yang bersama dan menonjolkan keahlian, bukan posisi formal yang mempengaruhi. Aliran kedua adalah aliran Japannese/excellence yang ditampilkan oleh Peters dan Waterman dalam Armstrong (1999) yang melihat pola komitmen yang menghubungkan pencapaian prestasi terbaik (excellence) untuk mendapatkan komitmen utuh sebagai pendorong kerja pada suatu organisasi sebagaimana yang banyak dijumpai di negara Jepang. Usaha untuk menjelaskan rahasia kesuksesan bisnis bahwa cara terbaik untuk memotivasi orang-orang untuk mencapai komitmen penuh pada nilai-nilai organisasi adalah melalui kepemimpinan (leadership) dan keterlibatan. Pendekatan ini seringkali disebut pendekatan Heart and Minds (Armstrong,1999). Pendekatan Heart and Minds ini menurut Peters dan Austin dalam Armstrong (1999) menggunakan cara memperlakukan orang seperti orang dewasa, mengeluarkan antusiasme mereka dengan kepemimpinan yang hidup/membangkitkan semangat serta imajinatif. Selain itu juga mengembangkan dan mendemonstrasikan obsesi pada kualitas, membuat mereka merasa memiliki bisnis sendiri. Dorongan semacam ini akan mengeluarkan respon berupa komitmen total. II.3.2. Pendekatan Komitmen Organisasi Pendekatan untuk menjelaskan mengenai komitmen organisasi oleh Shepperd dan Mathew (2000) dikelompokkan menjadi empat pendekatan, yakni:
Universitas Sumatera Utara
a. Pendekatan berdasarkan sikap (attitudinal approach) Komitmen menurut pendekatan ini, menunjuk pada permasalahan keterlibatan dan loyalitas. Menurut Mowday dan Potter dalam Armstrong (1999) komitmen adalah identifikasi yang relatif kuat serta keterlibatan dari individu terhadap organisasi tertentu. Ada 3 faktor yang tercakup di dalamnya, yakni: 1. Keinginan kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi. 2. Keyakinan kuat dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan serta tujuan dari organisasi. 3. Penerimaan untuk melakukan usaha-usaha sesuai dengan organisasi. Sementara menurut Steers (2005), komitmen organisasi adalah kekuatan relatif dari identifikasi individu untuk terlibat dalam organisasi tertentu. Komitmen organisasi ditandai oleh: 1. Adanya keyakinan kuat dan penerimaan terhadap tujuan serta nilai-nilai dari organisasi. 2. Adannya keinginan untuk mengerahkan usaha bagi organisasi. 3. Adanya keinginan untuk mempertahankan keanggotaan di organisasi tersebut. Menurut Kuntjoro (2002), seseorang yang memiliki komitmen tinggi akan memiliki identifikasi terhadap organisasi, terlibat sungguh-sungguh dalam pekerjaannya dan ada loyalitas serta afeksi positif terhadap organisasi. Selain itu tampil tingkah laku berusaha kearah tujuan organisasi dan keinginan untuk tetap bergabung dengan organisasi dalam jangka waktu lama.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Armstrong (1999), ada 3 faktor yang berkaitan dengan keberadaan komitmen organisasi, yakni: 1. Karakteristik personal, mencakup di dalamnya umur serta tingkat pendidikan. 2. Karaketeristik pekerjaan, mencakup di dalamnya adalah tantangan, kesempatan untuk berinteraksi sosial dan jumlah umpan balik yang diterima oleh individu tersebut. 3. Pengalaman kerja, mencakup di dalamnya sikap terhadap organisasi, kebebasan atau independensi organisasi serta realisasi terhadap harapanharapan di dalam organisasi. b. Pendekatan komitmen organisasi multi dimensi (the multidimensional approach) Menurut Allen dan Meyer dalam Prasetyono dan Kompyurini (2007), ada tiga komponen yang mempengaruhi komitmen organisasi, sehingga karyawan memilih tetap atau meninggalkan organisasi berdasar norma yang dimilikinya. Tiga komponen tersebut adalah: 1. Affective commitment, yang berkaitan dengan adanya keinginan untuk terikat pada organisasi. Individu menetap dalam organisasi karena keinginan sendiri. Kunci dari komitmen ini adalah want to. 2. Continuance commitment, adalah suatu komitmen yang didasarkan akan kebutuhan rasional. Dengan kata lain, komitmen ini terbentuk atas dasar untung rugi, dipertimbangkan atas apa yang harus dikorbankan bila akan menetap pada suatu organisasi. Kunci dari komitmen ini adalah kebutuhan untuk bertahan (need to). 3. Normative Commitment, adalah komitmen yang didasarkan pada norma yang ada dalam diri karyawan, berisi keyakinan individu akan tanggung jawab
Universitas Sumatera Utara
terhadap organisasi. Ia merasa harus bertahan karena loyalitas. Kunci dari komitmen ini adalah kewajiban untuk bertahan dalam organisasi (ought to). Shepperd dan Mathew (2000) berpendapat bahwa setiap komponen memiliki dasar yang berbeda. Karyawan dengan komponen afektif tinggi, masih bergabung dengan organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi. Sementara itu karyawan dengan komponen continuance tinggi, tetap bergabung dengan organisasi tersebut karena mereka membutuhkan organisasi. Karyawan yang memiliki komponen normatif yang tinggi, tetap menjadi anggota organisasi karena mereka harus melakukannya. c. Pendekatan komitmen organisasi normatif (the normative approach) Menurut Weiner dalam Shepperd dan Mathew (2000) bahwa perasaan akan komitmen terhadap organisasi diawali oleh keyakinan akan identifikasi organisasi dan digeneralisasikan terhadap nilai-nilai loyalitas dan tanggung jawab. Menurut Weiner, komitmen organisasi dapat dipengaruhi oleh predisposisi personal dan intervensi organisasi. Ini mengandung arti bahwa perusahaan atau organisasi dapat memilih individu yang memiliki komitmen tinggi, dan bahwa organisasi dapat melakukan apa saja agar karyawan menjadi lebih berkomitmen. d. Pendekatan komitmen organisasi berdasarkan perilaku Pendekatan ini menitikberatkan pandangan bahwa investasi karyawan (berupa waktu, pertemanan, pensiun) pada organisasi membuat ia terikat untuk loyal terhadap organisasi tersebut. Kanter mendefinisikan pandangan komitmen organisasi sebagai profit associated with continued participation and a `cost' associated with leaving (Suliman and Iles, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Menurut White dalam Armstrong (1999), komitmen organisasi terdiri dari tiga area keyakinan ataupun perilaku yang ditampilkan oleh karyawan terhadap perusahaan di mana ia bekerja. Ketiga area tersebut adalah: 1. Keyakinan dan penerimaan terhadap organisasi, tujuan dan nilai-nilai yang ada di organisasi tersebut. 2. Adanya keinginan untuk berusaha sebaik mungkin sesuai dengan keinginan organisasi. Hal ini tercakup diantaranya menunda waktu libur untuk kepentingan organisasi dan bentuk pengorbanan yang lain tanpa mengharapkan personal gain secepatnya. 3. Keyakinan untuk mempertahankan keanggotaannya di organisasi tersebut. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Bateman dan Stresser dalam Armstrong (1999) menemukan kenyataan bahwa individu yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi memiliki kondisi: 1. 2. 3. 4.
Individu-individu tersebut lebih mampu beradaptasi. Jumlah karyawan yang keluar-masuk (turnover) lebih sedikit. Kelambatan dalam bekerja lebih sedikit dijumpai. Kepuasan kerja lebih tinggi. Bashaw dan Grant dalam Armstrong (1999), mengatakan bahwa komitmen
diukur melalui tiga indikator yaitu: a. Kemauan karyawan; merupakan suatu upaya untuk menjalani dan menekuni pekerjaannya. b. Kesetiaan karyawan; kemampuan dalam menunjukkan loyalitas yang tinggi dalam upaya mengembangkan organisasi. c. Kebanggaan karyawan; merupakan hasil dan upaya maksimal yang ditunjukkan melalui pencapaian kualitas kinerja yang optimal. II.3.3. Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Pegawai Komitmen pegawai dapat tercipta apabila individu dalam organisasi sadar akan hak dan kewajibannya dalam organisasi tanpa melihat jabatan dan kedudukan, hal ini disebabkan pencapaian tujuan organisasi merupakan hasil kerja semua anggota
Universitas Sumatera Utara
organisasi yang bersifat kolektif. Penelitian yang dilakukan oleh Kouzes menemukan bahwa kredibilitas yang tinggi akan mampu menghasilkan suatu komitmen dan hanya dengan komitmen yang tinggi, suatu perusahaan mampu menghasilkan bisnis yang baik (Riyanto, 2002). Komitmen terhadap organisasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Mowday, Porter dan Steers, (1982) dalam Telemaru (2001), faktor yang mempengaruhi komitmen pegawai terhadap organisasi adalah: masa kerja (tenure), karakteristik pribadi, dan faktor lingkungan pekerjaan. Dari hasil studi yang dilakukan oleh Angle dan Perry (1981) menunjukkan bahwa salah satu prediktor terhadap komitmen adalah masa kerja (tenure) seseorang pada organisasi tertentu. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Makin lama seseorang bekerja pada suatu organisasi, semakin ia memberi peluang untuk menerima tugas yang lebih menantang, otonomi yang lebih besar, keleluasaan untuk bekerja, tingkat imbalan ekstrinsik yang lebih besar dan peluang mendapat promosi yang lebih tinggi. b. Adanya peluang investasi pribadi, yang berupa pikiran, tenaga dan waktu untuk organisasi yang makin besar, sehingga makin sulit untuk meninggalkan organisasi tersebut. c. Adanya keterlibatan sosial yang dalam dengan organisasi dan individuindividu yang ada, hubungan sosial yang lebih bermakna, sehingga membuat individu semakin berat meninggalkan organisasi. d. Akses untuk mendapat informasi pekerjaan baru makin berkurang.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa karakteristik pribadi dianggap memiliki hubungan dengan komitmen, diantaranya adalah (dalam Temaluru, 2001): a. Usia dan masa kerja. Usia dan masa kerja berkorelasi positif dengan komitmen (Mowday, Porter dan Steers, 1982). b. Tingkat Pendidikan. Makin tinggi tingkat pendidikan, makin banyak pula harapan individu yang mungkin tidak bisa diakomodir oleh organisasi, sehingga komitmennya semakin rendah (Mowday, Porter dan Steers, 1982). c. Jenis Kelamin. Wanita pada umumnya menghadapi tantangan yang lebih besar dalam pencapaian kariernya, sehingga komitmennya lebih tinggi. d. Peran individu tersebut di organisasi. Hasil studi Morris dan Sherman (1981) menunjukkan bahwa adanya hubungan yang negatif antara peran yang tidak jelas dan komitmen terhadap organisasi. Peran yang tidak jelas muncul akibat adanya tujuan yang tidak jelas pula atas suatu pekerjaan (Gary John, 1983). Ciri-cirinya antara lain ketidakjelasan evaluasi terhadap pekerjaan, cara untuk mencapai unjuk kerja yang baik dan batas wewenang serta tanggung jawab individu. Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya ketidakjelasan peran, yakni: (1) faktor organisasi, keberadaan individu tidak jelas fungsinya sehingga peranannyapun tidak jelas; (2) faktor pemberi peran, ketidakjelasan muncul karena atasan tidak mengkomunikasikan dengan jelas harapannya terhadap bawahan; (3) faktor penerima peran, ketidakjelasan peran karena bawahan tidak mengerti peran yang harus ia lakukan sesuai harapan.
Universitas Sumatera Utara
Faktor lingkungan pekerjaan akan berpengaruh terhadap sikap individu pada organisasi. Menurut Porter, Mowday dan Steers (1982) dalam Temaluru (2001), lingkungan dan pengalaman kerja dipandang sebagai kekuatan sosialisasi utama yang mempengaruhi komitmen terhadap organisasi. Beberapa faktor lingkungan yang berkaitan dengan komitmen adalah: (1) Keterandalan organisasi yakni sejauh mana individu merasa bahwa organisasi tempat ia bekerja memperhatikan anggotanya, baik dalam hal minat maupun kesejahteraan; (2) Perasaan dianggap penting oleh organisasi, yakni sejauhmana individu merasa diperlukan dalam mencapai misi organisasi; (3) Realisasi terhadap harapan individu yakni sejauhmana harapan individu dapat direalisasikan melalui organisasi di mana ia bekerja; (4) Persepsi tentang sikap terhadap rekan kerja sejauhmana individu merasa bahwa rekan kerjanya dapat mempertahankan sikap kerja yang positif terhadap organisasi; (5) Persepsi terhadap gaji sejauhmana individu tersebut merasa gaji yang diterimanya seimbang dengan gaji individu lain. Perasaan diperlakukan fair atau tidak akan mempengaruhi komitmennya; (6) Persepsi terhadap perilaku atasan sejauhmana individu merasa dihargai dan dipercayai oleh atasan. Jika persepsi sikap atasan negatif, maka akan cenderung mengakibatkan sikap negatif pula yang diaktualkan dalam bentuk perilaku negatif seperti mangkir dan keinginan berpindah kerja.
Universitas Sumatera Utara
Jika dalam organisasi, komitmen dari karyawannya cenderung rendah, maka menurut Schermerhorn (1996) akan terjadi kondisi sebagai berikut: 1. Tingkat absensi karyawan yang tinggi dan meningkatnya turnover (High levels of abseentism and voluntary turnover). Pada banyak penelitian, individu yang berkomitmen terhadap organisasinya cenderung kurang melakukan usaha mencari pekerjaan baru. 2. Ketidakinginan untuk berbagi dan berkorban untuk kepentingan organisasi (Unwillingness to share and make sacrifice). Individu-individu yang memiliki komitmen rendah cenderung memeiliki motivasi kerja yang rendah, dan sebisa mungkin bekerja dengan kondisi minimal yang diharapkan organisasi.
II.4.
Teori tentang Kepuasan Kerja
II.4.1. Pengertian Kepuasan Kerja Bekerja bagi sebagian orang merupakan sarana atau bentuk aktivitas yang bertujuan untuk memperbaiki taraf hidup. Hal ini lebih menekankan pada orientasi material sebagai tujuan dari bekerja. Sedangkan pada sebagian yang lain, bekerja dianggap sebagai serangkaian aktivitas yang bertujuan meningkatkan dan memperbaiki taraf hidup sekaligus juga sebagai sarana aktualisasi diri untuk menunjukkan individu yang dianutnya. Berkenaan dengan anggapan ini, Smith dan Wakeley dalam As'ad (1998), menyatakan bahwa bekerja adalah serangkaian aktivitas yang bertujuan mendapatkan kepuasan. Kepuasan kerja merupakan dampak dari pelaksanaan pekerjaan. Dalam konteks organisasi, pegawai terdorong untuk bekerja untuk memuaskan ketutuhan-kebutuhannya. Apabila kebutuhannya terpenuhi sebagai imbalan dari pekerjaan yang dilakukannya, maka ia cenderung untuk merasa puas. Sebaliknya, ketika kebutuhannya tidak bisa terpenuhi, ketidakpuasan akan muncul.
Universitas Sumatera Utara
Kepuasan kerja adalah suatu tingkatan emosi yang menyenangkan dan bersifat positif yang muncul atau dihasilkan dari penilaian terhadap suatu prestasi kerja atau pengalaman
(Locke dalam Luthans, 2006). Sedangkan Davis (1996), memandang kepuasan kerja sebagai rasa senang seseorang dalam memandang pekerjaannya. Jadi, kepuasan kerja akan tercapai apabila terdapat kesesuaian antara pekerjaan yang dibebankan dengan keinginan individu pegawai. Menurut Dole and Schroeder (2001), kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai perasaan dan reaksi individu terhadap lingkungan pekerjaannya. Dalam pernyataan tersebut mengandung makna bahwa kepuasan kerja merupakan suatu keadaan emosi yang positif atau dapat menyenangkan yang dihasilkan dari suatu penilaian terhadap pekerjaan atau pengalaman-pengalaman kerja seseorang. Menurut Linz (2002), bahwa secara positif sikap terhadap kerja ada hubungan positif dengan kepuasan kerja. Pada dasarnya makin positif sikap kerja makin besar pula kepuasan kerja, untuk itu berbagai indikator dari kepuasan kerja perlu memperoleh perhatian khusus agar pekerja dapat meningkatkan kinerjanya. Pada umumnya seseorang merasa puas dengan pekerjaannya karena berhasil dan memperoleh penilaian yang adil dari pimpinannya. Menurut Hasibuan (2005), kepuasan kerja dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: 1. Balas jasa yang adil dan layak. 2. Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian. 3. Berat ringannya pekerjaan.
Universitas Sumatera Utara
4. Suasana dan lingkungan pekerjaan. 5. Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan. 6. Sikap pimpinan dalam kepemimpinannya. 7. Sifat pekerjaan monoton atau tidak. II.4.2. Pengukuran Kepuasan Kerja Kepuasan kerja memiliki banyak dimensi. Luthans (2006), menganjurkan untuk mengacu pada JDI (Job Descriptive Index). Menurut indeks ini, kepuasan kerja diukur atas dasar lima dimensi yaitu: a. Pekerjaan Sekarang ini, seseorang cenderung lebih menyukai pekerjaan yang memberikan kepada mereka kesempatan untuk berkreativitas, yakni dengan menggunakan ketrampilan dan kemampuan serta menawarkan keberagaman tugas dan kebebasan berekspresi. b. Imbalan/Bayaran Dalam organisasi, seseorang cenderung menginginkan sistem imbalan yang mampu mempresentasikan rasa keadilan yang sesuai dengan keinginan mereka. Oleh karena itu, ketika individu mempersepsikan bahwa kebijakan sistem imbalan dilakukan secara adil, maka mereka akan mempunyai kecenderungan untuk merasa puas dengan pekerjaan. c. Promosi Promosi adalah menunjuk pada suatu kesempatan untuk memperoleh jenjang jabatan tertentu yang lebih tinggi dalam organisasi. Kesempatan tersebut bisa timbul karena berbagai faktor diantaranya pengetahuan dan kemampuan yang tinggi untuk menyelesaikan
pekerjaan.
Pencapaian
prestasi
tertentu
juga
memungkinkan
diberikannya kesempatan untuk mendapatkan jenjang jabatan yang lebih menantang.
Universitas Sumatera Utara
d. Supervisi Pengaruh-pengaruh dari perilaku pengawas yang berorientasi pada pekerjaan terhadap kepuasan kerja, kurang dapat diramalkan. Dalam beberapa studi, para pegawai lebih banyak mendapatkan kepuasan dengan supervisi yang tidak terlalu berorientasi pada pekerjaan (Yukl, 1998). Namun demikian para peneliti akhirakhir ini telah banyak mengidentifikasi sifat-sifat individu dan variabel-variabel situasional yang membentuk kesukaan pegawai terhadap pengawasan partisipatif. e. Rekan kerja Dukungan, motivasi, perhatian dan tingkat pemahaman ditunjukkan sabagai suatu proses positif dari sebuah interaksi antar sesama pegawai dalam organisasi. Hal ini juga tidak terlepas dari daya dukung yang diberikan oleh pimpinan organisasi kepada para pegawainya.
II.5.
Teori tentang Prestasi Kerja
II.5.1. Pengertian Prestasi Kerja Prestasi kerja adalah suatu tingkat atau serangkaian pencapaian keberhasilan dalam mengatasi segala tantangan dan hambatan kerja dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditentukan. Penyelesaian yang baik dan berorientasi pada kualitas adalah rnerupakan tolok ukur dari pencapaian tingkat prestasi kerja. Sejumlah karakteristik menunjukkan pegawai yang berorientasi pada prestasi kerja. Mereka bekerja keras apabila mereka memandang bahwa mereka akan memperoleh kebanggaan pribadi atas upaya mereka, terdapat resiko gagal dalam pekerjaan, dan apabila mereka mendapat umpan balik yang spesifik tentang
Universitas Sumatera Utara
prestasi di waktu yang lalu.
Prestasi kerja atau prestasi kerja karyawan adalah hasil kerja atau kinerja yang dihasilkan oleh para pekerja dalam organisasi (Yousef, 2000). Prestasi kerja karyawan tidak hanya sekedar informasi tentang dapat dilakukannya promosi dan penetapan gaji bagi perusahaan. Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mengembangkan satu rencana untuk memperbaiki kemerosotan apa saja yang mungkin sudah digali oleh penilaian, dan mendorong hal-hal baik yang sudah dilakukan bawahan. Penilaian di sini dimaksudkan untuk memberikan satu peluang yang baik untuk meninjau rencana karir orang itu dilihat dari kekuatan dan kelemahan yang diperlihatkan. Akhirnya, semua itu dengan satu sasaran yaitu kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Prestasi kerja karyawan (employee performance) adalah tingkat terhadap mana para karyawan mencapai persyaratan-persyaratan dalam pekerjaan (Baron & Gerald dalam Ruky, 2006). Sedang Ivancevich dan Matteson (1999) mendefinisikan sebagai hasil kerja karyawan yang diperoleh dari resultan/gabungan perilaku karyawan dan organisasi. Dari dua definisi di atas, prestasi kerja karyawan merupakan sesuatu yang penting bagi organisasi/perusahaan, tidak terkecuali perusahaan manufaktur. Menurut Heneman, Schab dan Fossum dalam Istitimijati (1996) bahwa secara umum pengukuran prestasi kerja mencakup dua kegiatan. Pertama, identifikasi dimensi prestasi kerja yang mencakup semua unsur yang akan dievaluasi dalam pekerjaan masing-masing karyawan dalam suatu organisasi. Kedua, penetapan standar prestasi kerja. Berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
pernyataan tersebut, untuk mengetahui prestasi kerja karyawan diperlukan tolok ukur meliputi: kuantitas, kualitas dan ketepatan waktu kerja. II.5.2. Dimensi Prestasi Kerja Lopez dalam Istitimijati (1996) mengajukan tujuh kriteria pengukuran prestasi kerja yaitu: kuantitas kerja, kualitas kerja, pengetahuan tentang pekerjaan, pendapat atau pernyataan yang disampaikan, keputusan yang diambil, perencanaan kerja dan daerah kerja organisasi. Menurut Yousef (2000) indikator/dimensi dari prestasi kerja karyawan
adalah: Kualiti Prestasi Kerja (Quality Performance) dan Kuantiti Prestasi Kerja (Quantity Performance). 1) Kualiti Prestasi Kerja (Quality Performance) Kualiti merupakan harapan semua organisasi bisnis, baik kualiti manusianya, alatnya, maupun perangkat lainnya sehingga diperoleh kualiti produk yang maksimal. Prestasi kerja karyawan secara kualitatif kerapkali tidak pasti, namun demikian, penilaian prestasi kerja secara kualitatif penting artinya bagi organisasi, sebab merupakan sarana untuk merencanakan dan mengendalikan pekerjaan ke arah prestasi kerja (kinerja) yang lebih baik. 2) Kuantiti Prestasi Kerja (Quantity Performance) Artinya bahwa semakin meningkat kuantiti kerja karyawan berarti menunjukkan adanya produktiviti yang meningkat.
Universitas Sumatera Utara