BAB II Tinjauan Pustaka 2.1. Ruang Publik Pada bab I telah dibahas sedikit mengenai ruang publik, yang saat ini akan kita tinjau kembali secara teoritis. Ruang publik (McCarthy, 2009 : 17) adalah ruang dimana opini publik dapat dibentuk melalui diskusi tanpa kekangan dari masalah-masalah kepentingan umum, dibebani fungsi kritik dan kontrol dalam pengejewantahan teknologi ke dataran praktis. Pemikiran tentang ruang publik datang pula dari Douglas Kellner, yang mengatakan : “The principles of the public sphere involved an open discussion of all issues of general concern in which discursive argumentation was employed to ascertain general interests and the public good. The public sphere thus presupposed freedoms of speech and assembly, a free press, and the right to freely participate in political debate and decision-making” 1 .
Melalui tokoh pemikiran yang cukup sentral dalam ruang publik saat ini adalah Jurgen Habermas dengan pemikiran teori kritis. Menurut Habermas ruang publik adalah : “Maka itu, ruang publik politis ‘tidak lain daripada hakikat kondisikondisi komunikasi yang dengannya sebuah formasi opini dan aspirasi diskursif sebuah publik yang terdiri dari para warganegara dapat berlangsung” (Habermas,dalam Hardiman, 2009 :
134). Jadi, keberadaan ruang publik adalah suatu ruang di mana opini dan aspirasi dalam bentuk ide, kritik, argumentasi, pendapat, kemudian diolah dalam suatu proses diskusif. Hasil dari berjalannya suatu ruang publik sendiri adalah untuk 1
Douglas Kellner, dalam makalah “Habermas, the Public Sphere, and Democracy: A Critical Intervention” : hal.5
12
tujuan adalah untuk kebaikan bersama dari anggota ruang publik itu sendiri. Habermas lebih lanjut mengemukankan : “ruang publik adalah jaringan manusia privat dalam pelbagai organisasi masyarakat dapat selalu berperan sebagai pengeras suara (sounding board) untuk menyuarakan kepentingan publik dalam pelbagai keputusan publik, baik yang menyangkut politik maupun ekonomi” 2 .
Ruang publik sendiri tidak hanya menjadi arena diskusif yang membahas berbagai hal terkait kepentingan dan kebaikan bersama dari anggotanya, tetapi juga menjadi suatu corong dan sarana opini dan aspirasi yang kemudian dapat ditindaklanjuti, khususnya untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan publik. Penyuaraan aspirasi dan opini tersebut tidak hanya terbatas dalam bidang politik, misalnya mengkritisi pemerintah, tetapi juga bahkan juga bahkan jauh ke dalam semua aspek kehidupan masyarakat. Memahami keberadaan ruang publik tidak hanya penting dari hasil ruang publik itu sendiri. Proses internal dari berjalannya suatu ruang publik sendiri tidak hanya penting bagi eksistensi suatu ruang publik dalam masyarakat, tetapi juga penting dalam rangka pemeliharaan atau kontinuitas. Untuk dapat melihat lebih dalam melihat lebih dalam lagi bagaimana suatu ruang publik secara teoritis berjalan, habermas memiliki beberapa teori, di antara yang terpenting adalah teori tindakan komunikatif yang lebih melihat inti dari hubungan interaksi, khususnya komunikasi intersubjektif, dan teori diskurus yang lebih melihat bagaimana proses interaksi dalam rangka mencapai suatu pemahaman bersama dan konsensus dapat dicapai melalui proses diskursus.
2
Habermas, Between Facts and Norms : Contribution to a Discourse Theory of Law and Democracy, 1997, dalam ringkasan Disestasi Alexander Seran, Etika Diskursus Jurgen Habermas : Sumbangannya Bagi Pemahaman Undang‐Undang Dasar 1945 dan Hubungannya Dengan Pancasila, Universitas Indonesia : hal. 40
13
2.1.1. Teori Komunikasi 2.1.1.1. Tindakan Komunikatif Teori ini bertitik tolak dari pandangan tentang bagaimana proses interaksi antarmanusia. Habermas memiliki keyakinan bahwa tindakan antarmanusia atau interaksi sosial tidak begitu saja terjadi dan muncul, melainkan karena pada dasarnya hubungan antarmanusia adalah bersifat rasional. Sifat rasional ini mendorong manusia untuk mengorientasikan diri pada pencapaian pemahaman satu sama lain (Hardiman, 2009 : 34). Pemahaman yang rasional antarmanusia inilah yang kemudian mendorong berbagai tindakan manusia di dalam kehidupan sehari. Proses untuk mencapai kesepahaman itu sendiri dapat tercapai melalui proses komunikasi. Dengan menonjolkan interaksi yang komunikatif, manusia dapat mencapai sutu kesepahaman dengan yang manusia lainnya. “tindakan komunikatif adalah
interpretasi yang diperantarai secara
linguistik yang di dalamnya semua partisipan ingin mencapai suatu tujuantujuan ilokusioner, dengan tindakan komunikasi sebagai perantaranya”
(Habermas, 2009 : 362) Melalui tindakan komunikatif antarmanusia tidak hanya kesepahaman yang akan muncul, tetapi juga menjadi suatu suatu sarana tindakan untuk mencapai tujuan yang bersifat individu maupun bersama. Dalam tindakan melakukan tindakan komunikatif terjadi suatu pertemuan rasional dalam rangka kesepahaman bersama antar manusia, yang dapat bermanfaat secara individu maupun bersama bagi partisipan tindakan komunikatif itu sendiri. Pada tindakan komunikatif dalam interaksi manusia di dalam sistem masyarakat, hubungan antarmanusia tidak mencapai suatu kesepahaman begitu saja. Kesepahaman itu dapat terjadi hanya dengan memposisikan diri dan bertindak dalam sistem masyarakat. Manusia dapat memposisikan diri dalam masyarakat dan mencapai suatu kesepahaman dengan manusia lain, menurut 14
habermas memerlukan arahan tertentu, yaitu rasio komunikatif. Arahan ini melihat bahwa manusia yang melakukan tindakan komunikatif menyadari bahwa dia berada dalam suatu sistem yang memproduksi simbol-simbol dalam berbagai bentuk dalam tatanan masyarakat. Keadaan dari sistem itu pada akhirnya dapat mempengaruhi komunikasi antarmanusia, dan simbol tersebut hanya dapat dipahami dengan cara penafsiran yang juga melalui hubungan komunikatif antar indidu. “Rasio komunikatif tidak merujuk pada subjek yang menjaga dirinya dalam berhubungan dengan objek melalui representasi tindakan, ataupun pada sistem penjagaan-diri yang memisahkannya dari lingkungan, melainkan pada suatu suatu tatanan dunia yang terstruktur secara simbolis
yang
terbentuk dalam kegiatan menafsir para anggotanya dan hanya bisa direproduksi melalui komunikasi. Dengan demikian rasio komunikatif tidak sekedar melawan subjek dan sistem yang telah dibuat sebelumnya; namun, dia juga ambil bagian dalam proses strukturisasi hal-hal yang dipertahankan” (Habermas, 2009 : 489)
Konsekuensi dari keadaan suatu sistem itu sendiri menuntut manusia melakukan penafsiran bersama atas simbol-simbol yang mereka gunakan dalam tindakan komunikatif. Rasio komunikatif mencoba menuntun hubungan antar manusia untuk mencapai suatu kespahaman bersama. Untuk dapat mencapai suatu kesepahaman dari keadaan tersebut diperlukan suatu tindakan “pengambilalihan perspektif” yang artinya turut mencoba mengandaikan suatu perspektif dari pihak partner atau orang lain yang terlibat dalam tindakan komunikatif. Tindakan komunikatif yang menggunakan pengambilalihan perspektif tidak hanya memungkinkan terjadinya kesepahaman tetapi juga menjadi pengantara untuk rasionalitas yang dimiliki dalam masing-masing manusia partisipan tindakan komunikatif, yang kemudian kemudian dijadikan rasionalitas bersama. ‘Konsep rasionalitas yang mengandung pengertian yang didasarkan pada pengalaman inti yang bebas kendala, padu, dan menjembatani konsensus, di mana berbagai partisipan yang terlibat melampaui pandangan subjektif
15
mereka dan meyakinkan diri mereka akan kesatuan dua objektif mereka dan intersubjektivitas dunia-kehidupan mereka karena mereka telah memiliki mutualis keyakinan yang berlandaskan kerasionalan” (Habermas, 2009 :
13).
Interaksi dalam tindakan komunikatif antarmanusia tidak hanya diwarnai oleh suatu komunikasi yang tanpa paksaan. Habermas mengemukakan bahawa dalam mecapai suatu kesepahaman, manusia juga dapat melakukan tindakan strategis adalah suatu model tindakan yang berasal dari perluasan model tindakan teleologis. Tindakan stratgeis menurut habermas adalah : “..ketika perhitungan seorang agen tentang keberhasilannya masuk antisipasi tentang keputusan-keputusan yang mungkin diambil setidaknya oleh satu orang agen lain yang mempunya tujuan sama.....aktor hendaknya
memiliki
dan
mengkalkulasikan
tujuan
dari
sudut
maksimalisasi keuntungan atau harapan akan keuntungan” (Habermas,
2009 : 108) Dalam melakukan tindakan komunikatif, seorang manusia atau individu dengan membawa rasionalitas dan juga harapan tertentu. Tindakan strategis adalah upaya untuk mengantisipasi dan memenangkan suatu rasionalitas dan tujuan individu di atas individu lain, sehingga kesepahaman yang terjadi bukan berdasarkan pada rasionalitas tanpa paksaan, tetapi sudah mendapat suatu tekanan-tekanan dari individu lain. Untuk memahami tindakan komunikatif dengan konteks di atas, perlu dipahami pula unsur dalam tindakan komunikatif itu sendiri, yaitu bahasa. Dalam menggunakan bahasa untuk saling memahami, menurut Habermas ada tiga kategori pernyataan yang digunakan yang disebut dengan sikap performatif, yaitu pernyataan yang bersifat empiris-objektif, subjektif, dan normatif. Ketiga pernyataan tersebut diistilahkan dengan dimensi kesahihan atau dengan istilah
16
Habermas adalah “dunia” (welten) karena mengacu pada bidang-bidang pemahaman yang berbeda-beda (Hardiman, 2009 : 36). Tindakan komunikatif adalah suatu upaya interaksi antarmanusia atau intersbujektif untuk mencapai suatu konsensus. Suatu konsensus dapat dikatakan rasional, hanya jika para partisipan komunikasi dalam tindakan komunikatif dapat menyatakan sikap dan pendapatnya terhadap klaim-klaim kesahihan secara bebas dan tanpa paksaan. Pada bagian ini, kemampuan individu dalam menyatakan pendapat dan sikap, sekaligus mendengarkan pendapat dan sikap klaim kesahihan individu lain akan menjadi suatu penentu dalam keputusan tiap partisipan untuk “menerima atau menolak” (ja-odernein-stellungsnehme) klaim-klaim kebenaran itu dalam rangka mencapai kesepahaman atau konsensus. Hal ini berarti, klaimklaim kesahihan itu harus serentak benar, tepat dan jujur sehingga pendengar dapat mengambil sikapnya” (Hardiman, 2009 : 37) Pada proses tindakan komunikatif di atas adalah suatu proses komunikasi yang sifatnya reflektif. Namun tidak selalu proses komunikasi bersifat reflektif. Dalam konteks tindakan komunikatif, terdapat pula komunikasi yang berlangsung secara naif, dimana simbol-simbol dan klaim kesahihan yang diterima begitu saja secara naif khususnya dalam praksis kehidupan sehari-hari. Jadi tindakan komunikatif dapat berbentuk reflektif maupun naif. 2.1.1.1.1. Lebenswelt Atau Dunia Kehidupan Pada pemikiran tentang tindakan komunikatif telah dijelaskan bahwa manusia selalu berusah untuk melakukan interaksi secara komunikatif untuk mencapai suatu kesepahaman atau konsensus. Habermas sendiri sendiri menyadari bahwa tiap individu-individu partisipan dari tindakan komunikatif memliki suatu latar belakang yang membangun rasionalitasnya, baik secara indvidual maupun komunal (kelompok). Latar belakang ini kemudian meminjam dari Edmund Husserl sebagai lebenswelt atau dunia-kehidupan. Subjek yang bertindak secara komunikatif selalu sampai kepada pemahaman akan cakrawala suatu dunia-kehidupan. Dunia kehidupan
17
mereka terbentuk dari keyakinan-keyakinan mereka yang kurang lebih tersebar, tidak selalu problematis dan berlatar belakang. Latar belakang dunia sosial ini berfungsi sebagai sumber-sumber definisi yang diyakini oleh partisipannya sebagai sesuatu yang tidak bersifat problematis
(Habermas, 2009 : 89). Proses komunikatif yang terjadi dalam lebenswelt adalah proses komunikatif yang diterima partisipan dalam praksis kehidupan sehari-hari. Proses dalam lebenswelt ini kemudian apabila dikontekskan dengan tindakan komunikatif, akan lebih menonjolkan komunikasi yang sifatnya naif. “....para anggota masyarakat komunikasi memisahkan dunia subjektif dan dunia sosial yang dimiliki bersama secara intersubjektif dengan dunia subjektif individu dan kelompok (lain). Konsep dunia ini dan klaim validitas yang terkait dengannya kemudian menjadi panggung formal yang di atasnya orang-orang berakting (bertindak) secara komunikatif dalam menggunakan konteks-konteks situasi problematis, yang menemukan kesepakatannya, di dunia kedupan mereka, yang diyakini sebagai sesuatu yang tidak problematis” (Habermas, 2009 : 89-90).
Keadaan komunikasi yang demikian membentuk rasionalitas pada partisipan komunikasi
bahwa
kebanyakan
klaim-klaim
kesahihan
yang
dapat
dikomunikasikan secara reflektif, namun pada akhirnya dikomunikasikan dan dipahami secara naif. Habermas melihat bahwa keadaan ini sangat berlaku pada masyarakat tradisional di mana banyak klaim-klaim kesahihan yang diterima secara naif bahkan sudah terinsititusi di dalam masyarakat. Dalam hal ini bukan berarti kemampuan reflektif partisipan, yang berada dalam lebenswelt, menjadi terabaikan. Komunikasi yang naif terjadi hanya pada kelompok masyarakat yang memiliki sosiokultural yang sama. Masyarakat sendiri tidak terisolir atau terpisah dari masyarakat lain di luarnya, dalam konteks interaksi,
sehingga
memungkinkan
adanya
pertemuan-pertemuan
antara
masyarakat yang berbeda sosiokultural. Pada titik inilah kemudian lebenswelt yang satu kemudian bertemu dengan lebenswelt yang lain, yang memungkinkan terjadinya tindakan komunikatif, dalam rangka mencapai pemahaman bersama. 18
2.1.1.2. Etika diskursus 2.1.1.2.1. Diskursus Pada hamparan teoritis sebelumnya dijelaskan bahwa bahwa tindakan komunikatif antarmanusia bersifat rasional, dan rasionalitas tersebut terbangun dari lebenswelt yang melingkupi komunikasi sehari-hari partisipan komunikasi. Untuk melihat lebih dalam lagi bagaimana konsensus atau kesepahaman tercapai, Habermas mengemukakan satu teori lagi yang tidak terlepas dari lebenswelt dan tindakan komunikatif, yaitu diskursus. Diskursus adalah suatu bentuk tindakan komunikatif yang lebih mengarah pada komunikasi yang reflektif. Lebih dari itu, diskursus menawarkan suatu konsensus diperlukannya komunikasi yang tinggi tingkatannya atas sesuatu yang diproblematisasikan. Keadaan komunikasi ini lebih mendorong para partisipannya untuk mengeluarkan klaim-klaim kesahihan dan kemudian mengujinya untuk mendapatkan kesepahaman atau konsensus bersama 3 . Diskursus dalam tindakan komunikatif tidak hanya sekedar suatu komunikasi reflektif, di mana klaim-kalim kesahihan di ungkapkan dan kemudian tergantung pada kemampuan reflektif partisipan untuk setuju atau tidak hingga mencapai kesepahaman atau konsensus. Dalam diskursus dituntut tingkat reflektif lebih tinggi, dengan melakukan pengujian-pengujian klaim kesahihan. Untuk menjalankan diskursus, dimana komunikasi refektif tingkat tinggi diperlukan, maka secara otomatis akan memberikan beberapa dampak pada proses komunikasi dalam diskursus itu sendiri. Pada diskursus, lebenswelt yang menjadi latar belakang partisipan diskursus, akan berubah menjadi latar depan, karena partisipan menggunakan rasionalitas yang mereka miliki. Lebih lanjut lagi, 3 F. Budi Hardiman : Etika Politik Habermas, hal.6. (makalah disampaikan dalam Seri Kuliah Filsafat “etika Politik” di Komunitas Salihara, Sabtu 20 November 2010, untuk sesi “Jurgen Habermas tentang Etika Politik).
19
pertemuan antar lebenswelt dari para partisipan akan menyebabkan hanya sepenggal lebenswelt yang akan mereka bawa dalam diskursus. Pada proses diskursus seolah meninggalkan lebenswelt mereka untuk menyelesaikan masalah yang mereka ambil lebenswelt mereka secara rasional. Dengan kata lain mereka mencoba untuk meninggalkan kepentingan partikular, untuk mencoba untuk mengarahkan diri pada kepentingan bersama Pada proses komunikasi reflektif, pendapat dan pernyataan menjadi unsur yang diperlukan untuk mencapai suatu kesepahaman. Dalam diskursus, terdapat penambah unsur, yaitu kritik. Unsur pernyataan dan pendapat kemudian diperluan menjadi konsep argumentasi. Konsep ini menyangkut apakah klaim-klaim kesahihan dapat diuniversalkan atau terkait pada konteks tertentu. Klaim-klaim kesahihan dalam diskurus mengarah pada dua hal, yang pertama klaim-klaim kesahihan yang kontroversial dapat diuniversalkan. Yang kedua, klaim-klaim kesahihan yang bersifat evaluatif dan ekspresional (kritik) tetap terikat pada konteks tertentu. Keterikatan dengan konters tersebut membuat kritik bukan sebagai suatu ciri, tetapi sudah melekat di dalam diskursus itu sendiri (Hardiman, 2009 : 45). Jadi habermas tidak hanya mengemukakan konsep argumentasi yang dapat memberikan pengujian kepada klaim-klaim kesahihan yang dapat diuniversalkan. Argumentasi di dalam diskursus juga memberikan pengujian kepada klaim-klaim kesahinan yang sifatnya kontekstual, sesuai dengan problematikan yang hendak diselesaikan di dalam diskursus.
2.1.1.2.2. Diskursus Praktis Dalam menjalankan proses diskursus itu sendiri, habermas mengatakan perlu adanya suatu media bagi diskurus itu sendiri untuk dapat melakukan pengujian-pengujian terhadap klaim kebenaran. “Media tempat kita dapat menguji secara hipotesis apakah suatu tindakan dapat justifikasi dengan netral, terlepas dari apakah media itu diakui secara
20
aktual atau tidak, adalah diskursus praktis, inilah bentuk argumentasi di mana klaim ketepatan norma ditematisasikan” (Habermas, 2009, 24)
Media yang dimaksud dapat memberikan justifikasi dengan netral adalah suatu media yang dapat menjamin bahwa setiap setiap partisipan dalam tindakan komunikatifnya, benar-benar mencoba untuk mengemukankan dan menguji klaim-klaim kesahihan dalam kerangka mencapai konsensus yang dapat menjawab problematisasi bersama. Media ini kemudian memiliki prosedurprosedur di dalamnya saat melakukan tindakan komunikatif. Dengan demikian diskursus praktis kemudian diarahkan pada diskursus di mana para anggota mempersoalkan klaim ketepatan dari norma yang mengatur tindakan mereka. Pada diskursus yang diuji bukanlah ketepatan atau kebenaran dari klaimklaim kesahihan yang ada. Diskursus praktis adalah pengujian pada ketepatan klaim-klaim kesahihan yang terkait dengan norma-norma atau pengaturan tindakan intersubjektif. Dalam diskursus praktis sangat diutamakan bagaimana membahas dan menyelesaikan berbagai problematisasi yang terkait dengan tindakan, aturan, pengambilan sikap, dan semua hal yang terkait interaksi, baik secara individu maupun bersama bagi para partisipan.
2.1.1.2.2.1 Prosedur komunikasi Diskursus praktis adalah suatu bentuk komunikasi dengan tingkat reflektif yang tinggi dalam mencapai konsensus bersama. Dalam diskursus praktis juga klaim-klaim kesahihan yang terkait dengan norma-norma tindakan diujikan. Pengujian itu sendiri tidak berjalan dengan begitu saja, dimana para peserta melakukan pengujian atas dasar sekehendak hati. Dalam tindakan komunikatif yang mencapai bentuk diskursus, diperlukan suatu pemahaman timbal balik untuk mencapai konsensus. Untuk proses tersebut diperlukan suatu prosedur dimana melalui prosedur tersebut kesepahaman atau konsesus bersama dapat dicapai. Untuk mencapai suatu konsensus yang legitim tentang norma-norma tindakan bersama diperlukan prasyarat-prasayarat tertentu, yaitu idealisasi yang 21
kemudian diikuti oleh prosedur komunikasi yang digunakan di dalam suatu diskursus praktis. Idealisasi adalah suatu proses mengandaikan suatu keadaan komunikasi yang ideal di dalam diskursus praktis. Idealisasi tidak hanya sampai pada pengandaian keadaan yang ideal, tetapi sampai pada pengandaian itu sendiri menjadi suatu aturan-aturan di mana keadaan ideal diatur dalam suatu aturanaturan komunikasi ideal (Hardiman, 2009 : 48). Pengandaian yang di maksud tentunya bukanlah suatu pengandaian yang dilakukan secara otonom oleh subjektif dan kemudian berlaku. Pengandaian tersebut dilakukan secara intersubjektif yang kemudian di praksiskan dalam suatu prosedur komunikasi (diskursus) secara intersubjektif pula. Dalam argumennya terkait prosedur komunikasi, Habermas mengikuti saran dari Robert Alexy dan merumuskan prosedur komunikasi sebagai berikut : “(...1) Semua subjek yang mampu berbicara dan bertindak boleh ikut serta dalam diskursus. (...2) a. Setiap peserta boleh mempermasalahkan tiap pendapat. b. Setiap peserta boleh mengajukan pendapat apapun di dalam diskursus. c. Setiap peserta boleh mengungkapkan sikap-sikap, keinginankeinginan, dan kebutuhan-kebutuhannya. (...3) Tak seorang pembicarapun boleh dihalangi untuk melaksanakan hak-haknya yang tercantum dalam (...1) dan (...2)” (Habermas, dalam Hardiman, 2009 : 48)”
Apabila coba untuk dirumuskan lebih pada lagi, dapat dikatakan bahwa diskursus praktis haruslah bersifat inklusif, egaliter, dan bebas dominasi atau paksaan. Hal ini sangat penting untuk menjaga kenetralan dalam menguji klaim-klaim kesahihan dan mencapai konsensus yang diterima secara intersubjektif. Berdasarkan pada rumusan prosedur komunikasi Habermas di atas, Budi hardiman membuat suatu asumsi tentang prosedur komunikasi yang tersembunyi 4 (Hardiman, 2009 : 48-49). Yang pertama keikutsertaan didalam sebuah diskursus hanya mungkin, jika orang mempergunakan bahasa yang sama dan secara konsisten mematuhi aturan-aturan logis dan semantis dari bahasa tersebut. Kedua, 4
Asumsi ini telah dipaparkan pada bab I, Latar Belakang Masalah
22
kesamaan dalam memperoleh kesempatan dalam diskursus hanya dapat terwujud, jika setiap peserta memiliki maksud untuk mencapai konsensus yang tidak memihak dan memandang para peserta lainnya sebagai pribadi-pribadi otonom yang tulus, bertanggungjawab dan sejajar dan tidak menganggap ini hanya sebagai saran belaka. Ketiga, harus ada aturan-aturan yang dipatuhi secara umum yang mengamankan proses diskursus dari tekanan dan diskriminasi. Aturan-aturan tersebut harus memastikan bahwa orang mencapai konsensus berkat tanpa “paksaan”, tak memaksa dari argumen yang lebih baik
2.1.2.3. Prinsip Universalitas dan Prinsis Etika Diskursus Dalam suatu diskursus, tentunya akan selalu ada harapan dari tiap partisipan bahwa kepentingannya akan terwujud. Adalah sangat wajar ketika setiap subjek memiliki kepentingan dan membawanya ke dalam suatu diskursus. Partisipan mungkin saja melakukan diskursus dalam rangka pemenuhan kepentingan pribadi. Lalu bagaimana apabila hal ini terjadi dalam proses diskursus? Menurut Habermas hal seperti itu sangat wajar terjadi. Diskursus tidak menutup diri pada kepentingan pribadi, karena kepentingan bukanlah sesuatu yang sifatnya statis, melainkan dinamis. Kepentingan terbentuk melalui proses intersubjektif dan ketika dicoba untuk dikomunikasi, khususnya melalui diskursus, kepentingan subjektif yang satu akan berbenturan dengan kepentingan subjektif yang lain. Benturan ini akan menimbulkan konfrontasi ini terjadi dalam cakupan pengujian-pengujian klaim-klaim kesahihan, dan justru keadaan inilah yang akan membentuk suatu konsensus terkait kepentingan bersama secara intersubjektif (Hardiman, 2009 : Hal.50-51). Adanya suatu benturan kepentingan dalam suatu pengujian klaim-klaim kebenaran akan memaksakan setiap subjektif partisipan untuk mengambil suatu jalan tengah di mana kepentingan mereka dapat 23
tercapai, namun tanpa mengabaikan kepentingan subjektif partisipan lainnya. Dapat dikatakan keadaan ini lebih tampak pada keadaan win-win solution. Proses menguji dan merumuskan suatu norma yang berasal dari klaimklaim kesahihan dalam diskursus praktis sendiri, belum tentu semua orang dapat termasuk dalam cakupan norma itu dapat hadir dan mengikuti diskursus. Untuk keadaan yang demikian, Habermas merumuskan suatu prinsip etika diskursus. “bahwa setiap norma yang sahih kiranya akan mendapat persetujuan dari semua orang yang bersangkutan dengannya, seandainya orang-orang ini dapat ikutserta di dalam sebuah diskursus praktis” (Habermas, dalam
Hardiman, 2009 : 51) Dari rumusan tersebut berarti bahwa norma-norma yang sahih dituntut harus sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang diuniversalkan. Norma dari hasil diskursus harus bisa diterima bhkan oleh subjektif-subjektif yang tidak ikut hadir dalam diskursus, namun berada dalam cakupan norma tersebut. Untuk itu, para partisipan di dalam diskursus dituntut untuk mengandaikan suatu bentuk klaimklaim kesahihan yang digunakan untuk membuat konsensus, yang bisa diterima semua orang yang terkait dengan konsensus itu sendiri.
Dalam prinsip ini
tersembuyi suatu prinsip yang disebut prinsip universalitas atau prinsip “U”. Prinsip universalitas tidak lain adalah aturan argumentasi sendiri, yang ada dalam proses berjalannya diskursus praktis. “Setiap Norma yang sahih harus memenuhi memenuhi prasayarat bahwa efek-efek samping yang barangkali terjadi karena kepatuhan umum untuk pemenuhan kepentingan setiap individu dapat diterima tanpa paksaan oleh semua orang yang bersangkutan dengan norma itu” (Habermas, dalam
Hardiman, 2009 : 52)
Jadi, untuk menjamin bahwa norma-norma dari hasil konsensus diskursus praktis haruslah melewati atau memenuhi prasyarat diskursus praktis sendiri. Prasyarat 24
itu antara lain sudah di jelaskan, yaitu adanya idealisasi dan prosedur komunikasi. Dengan pemenuhan prasayarat dalam diskursus maka norma yang hasilkan dipatuhi oleh semua pihak yang terkait. Prinsi “U” sendiri adalah suatu saringan akan kepentingan, antara kepentingan yang dapat di universalkan dan kepentingan yang partikular. Yang di maksud dengan kepentingan yang dapat diuniversalkan adalah persoalan yang terkait dengan moral dan kepentingan yang partikular adalah persoalan yang terkait dengan peroalan etis. Menurut habermas, kepentingan yang etis harus mengalah pada kepentingan moral. Hal ini dikarenakan kepentingan etis adalah kepentingan yang memihak dan berdasarkan sejarah kehidupan individu sehingga tidak bersifat universal dan sulit diterima secara intersubjektif dalam rangka diskursus praktis. Sedangkan moral bersifat tidak memihak, netral, dan universal, sehingga bisa diterima secara intersubjektif dalam proses diskursus (Hardiman, 2009 : 52).
2.2 Ruang publik Dalam Ranah Demokrasi Pada pemaparan sudah di jelaskan secara teoritis mengenai ruang publik. Lalu bagaimana hubungan antara ruang publik dan demokrasi? Ruang publik adalah suatu sarana, yang di mana terhadap jaringan-jaringan dan hubungan intersubjektif yang berusaha mencapai suatu kesepahaman atau konsensus secara diskursif. Demokrasi sendiri adalah suatu sistem yang mengutamaka kesertaan tiap orang yang ada di dalamnya terkait berbagai hal khususnya dalam mengeluarkan pendapat, yang disebut “logika persaman”(Dahl, 2001 : 12). Kata demokrasi sendiri adalah kata yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti demos dan kratos yang berarti, demos adalah rakyat dan kratos adalah adalah pemerintahan (Dahl, 2001 : hal.14). Dapat diartikan bahwa demokrasi adalah pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat. Pemerintah dibentuk untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan dari rakyat itu sendiri, sehingga orientasi 25
dari kekuasaan, bukanlah penguasa, namun masyarakat sendirilah yang menjadi orientasi kekuasaan. Konsekuensi dari demokrasi sendiri adalah terdapat permasalahan, bagaimana menjalankan suatu pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat sendiri. Permasalahan yang muncul dalam pertanyaan tersebut diatasi dengan cara pembuatan keputusan bersama secara koletif. David Beetham dan Kevin Boyle (dalam Dwiyatmi, 2010 : 242) berpendapat bahwa demokrasi adalah salah satu cara dalam membuat keputusan kolektif. Keputusan kolektif adalah keputusan yang menyangkut kepentingan bersama. Melihat dari pengertian dari demokrasi di atas, menunjukan bahwa demokrasi dan ruang publik, pada prinsipnya mengutamakan konsensus. Lalu bagaimana proses mencapai konsensus, dalam mencapai keputusan bersama pada sistem demokrasi? Dahl mengemukakan bahwa ada lima (5) standar dalam demokrasi. 1. Partisipasi efektif : sebelum sebuah kebijakan digunakan oleh suatu asosiasi, seluruh anggota harus mempunya kesempatan yang sama dan efektif untuk membuat pandangan mereka diketahui oleh anggota-anggota lainnya sebagaimana seharusnya kebijakan itu dibuat. 2. Persamaan suara : ketika akhirnya tiba saat dibuatnya keputusan tentang kebijaksanaan itu, setiap anggota harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk memberikan suara dan seluruh suara harus dihitung sama. 3. Pemahaman yang cerah : dalam batas yang rasional setiap anggota harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk mempelajari kebijakankebijakan alternatif yang relevan dan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin. 4. Pengawasan agenda : setiap anggota harus mempunyai kesempatan eksklusif untuk memutuskan bagaimana dan apa permasalahan yang dibahas dalam agenda. Jadi proses demokrasi yang dibutuhkan oleh ketiga kriteria sebelumnya tidak pernah tertutup. Berbagai kebijakan asosiasi tersebut selalu terbuka untuk dapat diubah oleh para anggotanya, jika mereka menginginkannya begitu.
26
5. Pencakupan orang dewasa : semua, atau paling tidak sebagian besar, orang dewasa yang menjadi penduduk tetap seharusnya memiliki hak kewarganegaraan penuh yang ditunjukan oleh empat kriteria sebelumnya (Dahl, 2001 : 52-53).
Pada gambaran di atas diberikan suatu standar pada pelaksanaan demokrasi pada suatu asosiasi atau organisasi. Memang standar tersebut lebih dicocokan pada demokrasi pada tingkatan hubungan antara rakyat dan negara, tetapi tidak menutup kemungkinan standar tersebut diberlakukan pada asosiasi atau organisasi masyarakat yang tingkatnya lebih kecil, yang berada dalam lingkup negara demokratis sendiri. Dahl (Dahl, 2001 : 119) menjelaskan bahwa warga negara memiliki otonomi asosiasional. Artinya dalam usaha untuk mencapai hak-hak yang beranekaragam warga negara berhak untuk membentuk perkumpulan atau organisasi, termasuk partai politik atau kelompok kepentingan yang bebas. Menilik gambaran demokrasi di atas dan membandingkannya dengan ruang publik dapat diambil kesimpulan bahwa keduanya memusatkan suatu pengambilan keputusan yang bedasarkan pada kolektifitas yang komunikatif. Lebih dari itu, demokrasi membuka kesempatan terciptanya ruang publik yang kuat melalui otonomi asosiasional, dan kebebasan berpendapat untuk membuka, menanggapi, menyetujui dan menolak, suatu masalah problematik kehidupan bersama secara diskursif. Kesempatan bagi terciptanya ruang publik dalam ranah demokrasi umumnya diwujudkan dalam suatu bentuk pengambilan keputusan bersama yang disebut dengan musyawarah. Musyawarah ini tidak hanya di aplikasi pada tingkatan negara (pemerintahan), tetapi juga berlaku sampai organisasi/asosiasi yang ada di dalam masyarakat. Dalam musyawarah dituntut adanya pemenuhan standar-standar demokrasi, dan keadaan inilah yang dapat memberikan peluang bagi ruang publik, karena dibutuhkan suatu kesepahaman atau konsensus bersama yang di peroleh secara diskursif.
27
2.3 Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik Sudah dijelaskan bahwa sistem demokrasi ternyata mendukung terciptanya ruang publik yang diskursif. Sistem demokrasi tidak hanya memberikan kesempatan yang besar dan kebebasan bagi warga negara untuk bersuara dan berpendapat, namun sampai memberikan kesempatan pada warga negara untuk berasosiasi dan berorganisasi dalam rangka kepentingan politik ataupun kepentingan bebas. Pada tingkatan inilah kemudian, ruang publik yang diskursif memiliki peluang untuk muncul. Berangkat dari otonomi asosional yang dimiliki warga negara, memungkinkan masyarakat mengorganisir diri dalam berbagai bentuk organisasi dan
asosiasi.
Salah
satu
bentuknya
adalah
masyarakat
dayak
yang
mengorganisasikan diri dalam lembaga-lembaga adat Dayak 5 . lembaga Adat adalah Lembaga Kemasyarakatan baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat atau dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku 6 Lembaga adat Dayak merupakan suatu usaha masyarakat Dayak untuk mengembangkan diri dalam berbagai hal, mulai dari pendidikan, ekonomi, kebudayaan, bahkan menjadi suatu corong bagi aspirasi dan opini masyarakat adat Dayak. Di sini dapat dilihat bahwa lembaga adat Dayak bukanlah suatu lembaga tertutup akan opini dan aspirasi yang berbentuk pendapat, argumen, bahkan kritik. apabila kita mencoba untuk melakukan penyesuaian dengan teori komunikasi pada bab ini, maka kita dapat melihat ini adalah sautu kesempatan untuk melakukan tematisasi problematika. Opini dan aspirasi yang berkaitan dengan 5
Untuk sejarah dan bagaimana terbentuknya lembaga-lembaga Adat Dayak dapat diliat pada BAB I Latar Belakang Masalah.
6
PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENATAAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN, Bab I, pasal 1, ayat 15.
28
masalah bersama dalam kehidupan masyarakat adat Dayak, di mana apabila dirasa penting dapat diangkat dalam musyawarah adat yang pesertanya adalah masyarakat adat, yang dikonvokatori oleh lembaga adat. Pada musyawarah sendiri peranan dari lembaga adat sebagai media ruang publik sangatlah penting. Lembaga adat dalam mengadakan suatu musyawarah adat harus memperhatikan tidak hanya terbatas seberapa banyak yang datang, problematika apa yang diangkat. Lembaga adat perlu pula memperhatikan bagaimana menjamin standar demokrasi dapat berjalan dengan baik. Lebih dari itu, dalam konteks ruang publik, lembaga adat bahkan harus dapat melihat bagaimana suatu diskursus praktis dapat terjamin dengan adanya suatu prosedur komunikasi. Dengan pemenuhan syarat dan standar tersebut maka kemungkinan untuk dapat menciptakan suatu konsensus atau kesepahaman yang diakui (legitim) dan dipatuhi secara bersama pula, akan lebih besar.
29
2.4 Kerangka Pikir Gambar 1
Lebenswelt (Dunia‐Kehidupan) Lembaga‐Lembaga Adat Dayak
Masyarakat Adat Dayak
Problematika (Aspirasi, opini, issu, info, dll) Tematisasi Probelmatika
Musyawarah (ruang publik Dikursif) ‐ ‐ ‐
Diskursus praktis • Prosedur komunikasi Prinsip Universalitas Standar demokra
Konsensus (Penolakan FPI di Kalimantan Tengah) Ket : Garis putus : Lembaga Adat Dayak yang menjadi Pelaksana sekaligus peserta dari ruang publik 30
31