3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Etnobotani Etnobotani menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah ilmu botani mengenai pemanfaatan tumbuh-tumbuhan dalam keperluan kehidupan sehari-hari dan adat suku bangsa. Menurut Soekarman dan Riswan (1992) etnobotani berasal dari bahasa Yunani yaitu ethnos berarti bangsa dan botany yang artinya tumbuhtumbuhan. Etno berasal dari kata ethnos yang dapat diartikan memberi ciri pada kelompok dari suatu populasi dengan latar belakang yang sama baik dari adat istiadat, karakteristik, bahasa dan sejarahnya, sedangkan botani adalah ilmu yang mempelajari tentang tumbuhan. Dengan demikian etnobotani berarti ilmu yang mempelajari tentang kajian interaksi antara manusia dengan tumbuhan (Martin 1998). Beberapa definisi etnobotani yang lain menurut beberapa ahli, antara lain: 1. Hough (1898) diacu dalam Soekarman dan Riswan (1992), etnobotani adalah ilmu yang mempelajari tumbuh-tumbuhan dalam hubungannya dengan budaya manusia. 2. Jones (1941) diacu dalam Soekarman dan Riswan (1992), etnobotani adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia yang primitif dengan tumbuh-tumbuhan. 3. Schultes (1967) diacu dalam Soekarman dan Riswan (1992), etnobotani adalah ilmu yang mempelajari hubungan manusia dengan vegetasi di sekitarnya. 4. Ford (1980) diacu dalam Soekarman dan Riswan (1992), etnobotani adalah ilmu yang mempelajari penempatan tumbuhan secara keseluruhan didalam budaya dan interaksi langsung manusia dengan tumbuhan. 5. Sheng-Ji et al. (1990) diacu dalam Soekarman dan Riswan (1992), etnobotani adalah ilmu yang mempelajari keseluruhan hubungan langsung antara manusia dan tumbuhan untuk apa saja kegunaannya.
4
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa etnobotani merupakan ilmu yang mempelajari hubungan langsung manusia dengan tumbuhan dalam kegiatan pemanfaatannya secara tradisional. 2.2 Ruang Lingkup Etnobotani Terdapat empat usaha utama yang berkaitan erat dengan etnobotani, yaitu: 1) pendokumentasian pengetahuan etnobotani tradisional; 2) penilaian yang bersifat kuantitatif tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber botani; 3) penilaian keuntungan yang dapat diperoleh dari tumbuhan, baik untuk keperluan sendiri maupun untuk tujuan komersial; dan 4) proyek yang bermanfaat dan dapat memaksimumkan nilai yang diperoleh masyarakat lokal dari pengetahuan ekologi dan sumber-sumber ekologi (Martin 1998). Lebih lanjut Martin (1998) menjelaskan istilah-istilah yang berkaitan dengan etnobotani, yaitu : 1. Masyarakat pribumi adalah penduduk suatu kawasan yang telah dikaji dan memperoleh pengetahuan mengenai ekologi secara turun menurun dalam budaya mereka sendiri. 2. Penyelidik/peneliti adalah orang yang terlatih pada sebuah perguruan tinggi, dalam mendokumentasikan pengetahuan tradisional ini dan bekerjasama dengan masyarakat pribumi. 3. Pengetahuan tradisional atau pengetahuan lokal adalah hal-hal yang diketahui oleh masyarakat mengenai alam sekitarnya. Suwahyono et al. (1992) menyebutkan bahwa dalam etnobotani dipelajari pola perilaku kelompok masyarakat dalam mengatur sistem pengetahuan anggotanya terhadap tumbuhan di lingkungan sekitarnya, yang digunakan tidak saja untuk keperluan ekonomi tetapi juga untuk kepentingan spiritual dan budaya lainnya. Kajian mengenai etnobotani dibatasi oleh ruang lingkup bahwa etnobotani merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mendalami tentang persepsi dan konsepsi masyarakat tentang sumberdaya tumbuhan di alam sekitarnya. Pemanfaatan yang dimaksud di sini yaitu pemanfaatan tumbuhan baik sebagai bahan obat, sumber pangan maupun sumber kebutuhan hidup manusia lainnya. Status etnobotani sebagai ilmu tidak mengalami masalah, akan tetapi status obyek penelitiannya sangat rawan karena cepatnya laju erosi sumber daya alam,
5
terutama flora dan pengetahuan tradisional pemanfaatan tumbuhan dari suku bangsa tertentu. 2.3 Kearifan Lokal Masyarakat Masyarakat lokal telah lama hidup secara berdampingan dengan sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Mereka tidak melakukan perusakan besar-besaran terhadap sumberdaya alam, di sebagian besar tempat yang ada di sekitarnya tersebut. Dalam sejarah perkembangan manusia, tumbuhan memiliki peranan yang penting dalam perkembangan budaya masyarakat. Namun, saat ini masyarakat lokal sedang dihadapkan pada perubahan lingkungan secara besarbesaran akibat meningkatnya interaksi masyarakat dengan dunia luar, sehingga seringkali timbul perbedaan yang mencolok antara generasi tua dengan generasi muda (Primack et al. 1998). Pengetahuan merupakan kapasitas
manusia untuk
memahami
dan
menginterpretasikan baik hasil pengamatan langsung maupun pengalaman sehingga dapat digunakan untuk meramalkan ataupun sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan (Kartikawati 2004). Bangsa Indonesia yang mendiami di seluruh pulau-pulau yang tersebar dari Sabang hingga Merauke terdiri dari suku-suku yang masing-masing mempunyai kebudayaan dan adat istiadat yang berkembang dan diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi. Kehidupan suku-suku tersebut terutama yang mempunyai interaksi dekat dengan sumberdaya dan lingkungannya secara turun-temurun pula mewarisi pola hidup tradisional yang dijalani oleh leluhurnya. Masyarakat setempat yang hidup secara tradisional tersebut dikenal dengan istilah-istilah tribal people (masyarakat suku), indigenous people (orang asli), native people (penduduk asli) atau tradisional people (masyarakat tradisional) (Primack et al. 1998). Kearifan tradisional sering diistilahkan dengan sebutan pengetahuan tradisional atau pengetahuan lokal. Kearifan tradisional menurut Keraf (2002) adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan, serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan didalam komunitas ekologis. Sementara pengetahuan adalah salah satu unsur kebudayaan yang muncul dari pengalaman-pengalaman individu akibat interaksi antara individu dengan lingkungannya, kemudian diimplementasikan menjadi
6
konsep-konsep, pendirian-pendirian, dan pedoman-pedoman tingkah laku bermasyarakat. Kearifan tradisional menyangkut pengetahuan, pemahaman adat dan kebiasaan tentang manusia, alam, dan bagaimana hubungan diantara semua penghuni komunitas ekologis harus dibangun. Berdasarkan hal tersebut di atas Keraf (2002) menyebutkan bahwa : 1. Kearifan tradisional adalah milik komunitas bukan individu. 2. Kearifan tradisional yang juga berarti pengetahuan tradisional, lebih bersifat praksis mencakup bagaimana memperlakukan setiap kehidupan di alam dengan baik. 3. Kearifan tradisional
lebih bersifat
holistik karena menyangkut
pengetahuan dan pemahaman tentang seluruh kehidupan dengan segala relasinya di alam semesta. 4. Berdasarkan kearifan tradisional masyarakat adat juga memahami semua aktivitasnya sebagai aktivitas moral. Tradisi berarti adat kebiasaan yang turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan oleh masyarakat tetapi bersifat hukum yang tidak tertulis. Tradisional berarti bersifat adat kebiasaan yang turun temurun, hasil kreatifitas dan uji coba secara terus menerus dengan inovasi internal dan eksternal dalam usaha menyesuaikan dengan kondisi baru. Tumbuhan adalah semua jenis sumber daya alam nabati, baik yang hidup di darat maupun di air (UU No.05 tahun 1990 Pasal 1 ayat 4 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.08 tahun 1999 tentang pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar bertujuan agar spesies tumbuhan dan satwa liar dapat didayagunakan secara lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemanfaatan spesies tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan mengendalikan pendayagunaan spesies tumbuhan dan satwaliar atau bagian-bagiannya serta hasil dari padanya dengan tetap menjaga keanekaragaman dan keseimbangan ekosistem. Masyarakat lokal telah lama hidup secara berdampingan dengan keanekaragaman hayati atau sumberdaya alam yang ada di sekelilingnya. Dalam sejarah perkembangan manusia, tumbuhan memiliki peranan yang sangat penting
7
dalam perkembangan budaya masyarakat (Afrianti 2007). Pengelompokkan penggunaan tumbuhan oleh Purwanto dan Walujo (1992) meliputi tumbuhan sebagai bahan sandang, pangan, bangunan, alat rumah tangga, dan alat pertanian, tali temali, anyam-anyaman, pelengkap upacara adat, obat-obatan dan kosmetika, kegiatan sosial dan kegunaan lain. 2.4 Pengertian Tumbuhan Pangan Tumbuhan pangan adalah kebutuhan vital dalam kehidupan manusia. Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (1988) disebutkan bahwa tumbuhan pangan adalah segala sesuatu yang tumbuh, hidup, berbatang, berakar, berdaun, dan dapat dimakan atau dikonsumsi oleh manusia (Jika dimakan ternak dinamakan pakan). Jenis penghasil pangan yaitu tumbuhan yang mengandung karbohidrat, sayuran, buah-buahan, dan kacang-kacangan. Seiring dengan perkembangan jaman, tumbuhan yang hanya semula terdapat pada satu tempat akhirnya menyebar ke berbagai daerah sebagai pemenuh kebutuhan hidup manusia. Tumbuhan pangan di Indonesia ada yang memiliki daerah penyebaran khusus hanya terdapat di daerah tertentu dan ada yang menyeluruh. Penyebaran di daerah tertentu akibat dari pengaruh iklim dan tanah. Demikian pula dengan penggunaannya, selain memenuhi kebutuhan pangan dengan berbagai bentuk, digunakan pula untuk kepentingan lain (Moeljopawiro & Manwan 1992). Tumbuhan penghasil pangan di Indonesia dikelompokkan menjadi 3 yaitu : 1. Komoditas utama, seperti padi (Oryza sativa), kedelai (Glycine max), kacang tanah (Arachis hypogaea), jagung (Zea mays) dan sebagainya. 2. Komoditas potensial, seperti sorgum (Andropogon sorgum), sagu (Metroxylon sp.), wijen (Sesamum indicum), dan sebagainya. 3. Komoditas introduksi, seperti jawawut (Panicum viridae), ganyong (Canna edulis), kara (Dolichos lablab) dan sebagainya. Menurut Kartikawati (2004), tumbuhan penghasil pangan dapat ditemukan pada jenis tumbuhan seperti kacang-kacangan, buah-buahan, sayuran, dan sereal. Pengertian mengenai kacang-kacangan diberi batasan sebagai biji kering yang dapat dimakan (edible) dari polong-polongan. Polong-polongan merupakan anggota Suku Leguminosae yang memiliki polong atau legume. Buah-buahan
8
adalah jenis buah-buahan tahunan yang dapat dimakan baik dalam keadaan segar maupun yang telah dikeringkan umumnya dikonsumsi dalam kondisi mentah. Buah-buahan mengandung vitamin dan mineral untuk menyeimbangkan menu makan dan beberapa jenis mengandung protein dan energi. Sayuran merupakan tumbuhan yang biasanya mengandung air atau dikonsumsi sebagai makanan yang mengandung zat tepung dan tidak jarang digunakan sedikit pada makanan untuk menambah rasa dan kelezatan. Sereal merupakan jenis tumbuhan yang dihasilkan oleh famili Poaceae dan merupakan jenis yang paling banyak dimanfaatkan dan digunakan adalah dari famili ini, seperti padi (Oryza sativa), jagung (Zea mays), gandum (Triticum spp.), dan lain-lain. 2.4.1 Pengertian pangan Menurut Peraturan Pemerintah No.28 tahun 2004, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumberdaya hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Pangan adalah salah satu kebutuhan dasar (basic need) manusia. Pertahanan hidup manusia sangat terkait dengan pangan, tanpa pangan manusia tidak akan bisa hidup. Hal tersebut tentunya merupakan faktor utama dalam hal hak asasi manusia yang paling mendasar (Hariyadi 2010a). Pangan lokal didefinisikan sebagai produk pangan yang telah lama diproduksi, berkembang dan dikonsumsi di suatu daerah atau suatu kelompok masyarakat lokal tertentu, produk tersebut umumnya diolah dari bahan baku lokal menggunakan teknologi lokal. Proses pengadaan pangan lokal tersebut berdasarkan pengetahuan lokal dan biasanya dikembangkan sesuai dengan preferensi konsumen lokal pula. Biasanya produk lokal sering menggunakan nama daerah; seperti Dodol Garut, Talas Bogor, Wajik Salaman, dan lain-lain. Pangan lokal tentunya memilki peranan strategis dalam pembangunan ketahanan pangan (Hariyadi 2010b). Makanan tradisional diolah berdasarkan resep secara turun-temurun, bahan yang digunakan berasal dari daerah setempat, dan makanan yang dihasilkan sesuai
9
dengan selera masyarakat setempat. Menurut Sosrodiningrat (1991) diacu dalam Marwanti (1997), ciri-ciri makanan tradisional, yaitu: 1. Resep makanan yang diperoleh secara turun temurun dari generasi pendahulunya. 2. Penggunaan alat tradisional tertentu di dalam pengolahan masakan tersebut (misalnya: alat dari tanah liat). 3. Teknik olah masakan merupakan cara pengolahan yang harus dilakukan untuk mendapatkan rasa maupun rupa yang khas dari suatu masakan. 2.4.2 Ketahanan dan kedaulatan pangan Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau (UU No.07 tahun 1996). Menurut Hariyadi (2010), aspek utama dalam ketahanan pangan terdiri dari 4 hal; yaitu (1) aspek ketersediaan pangan (food availibity), (2) aspek stabilitas ketersediaan/ pasokan pangan (stability od supplies) (3) aspek keterjangkauan (acces supplies) dan (4) aspek konsumsi (food utilization). Faktor-faktor struktur sosial, budaya, politik, dan ekonomi sangat penting dalam menentukan ketahana pangan. Faktorfaktor tersebut di atas merupakan faktor determinan dasar (basic determinan) bagi ketahaan pangan. Sumberdaya lokal termasuk di dalamnya pangan lokal erat kaitannya dengan ketahanan pangan. Ketahanan pangan yang dikembangkan berdasarkan kekuatan sumberdaya lokal akan menciptakan kemandirian pangan, yang selanjutnya akan melahirkan individu yang sehat, aktif, dan berdaya saing sebagaimana indikator ketahanan pangan. Disamping itu, juga akan melahirkan sistem pangan dengan pondasi yang kokoh (Hariyadi 2010). Karakteristik dan potensi yang dimilki Indonesia, khususnya mengenai keadaan, luas wilayah dan kondisi lingkungannya, maka Indonesia mempunyai peluang besar untuk mewujudkan kemandirian pangannya. Pemerintah daerah perlu secara serius menggali potensi lokalnya dalam hal pangan pokok yang lebih sesuai dengan lingkungan alam dan lingkungan budayanya (Hariyadi et al. 2009). Adanya pemanfaatan terhadap sumberdaya lokal akan mengarah pada ketahanan
10
pangan lokal dan kemandirian masyarakat setempat dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Kedaulatan pangan memiliki peran penting sebagai strategi untuk mencegah krisis pangan. Membangun kedaulatan pangan dapat dilakukan melalui peningkatan produksi
pangan
disertai pembangunan perdesaan
terpadu.
Ketidakberhasilan dalam penerapan strategi ketahanan pangan menjadi inspirasi munculnya strategi alternatif, yaitu kemandirian dan kedaulatan pangan. Pelaksanaan program ketahanan pangan, pemenuhan kebutuhan pangan masih bergantung pada perdagangan internasional. Dengan berbagai kendala diplomasi internasional dan posisi tawar (bargaining position) yang belum memadai, Indonesia belum mampu secara optimal melindungi petani dari serbuan pangan impor (Swastika 2011). Menurut
BKP
(2012),
kemandirian
pangan
(food
independence)
didefinisikan sebagai kemampuan suatu bangsa dalam memproduksi pangan yang yang beranekaragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Lima komponen dalam mewujudkan kemandirian pangan yaitu ketersediaan yang cukup, stabilitas ketersediaan, keterjangkauan, mutu/keamanan pangan yang baik, dan tidak ada ketergantungan pada pihak luar. Lima komponen tersebut, kemandirian pangan menciptakan daya tahan yang tinggi terhadap perkembangan dan gejolak ekonomi dunia. Membangun kemandirian dan kedaulatan pangan merupakan strategi untuk mencegah krisis pangan dan mengentaskan masyarakat tani dari kemiskinan. Membangun kemandirian dan kedaulatan pangan di Indonesia diarahkan untuk: (1) mewujudkan kemandirian dan kedaulatan negara dan rakyat dalam menentukan kebijakan produksi, distribusi, dan konsumsi pangan berdasarkan pemanfaatan sumber daya lokal, tanpa pengaruh pihak luar; (2) mengurangi ketergantungan pada pangan impor; (3) memanfaatkan keragaman sumber daya hayati untuk memproduksi berbagai komoditas pangan nonberas; (4) menciptakan lapangan kerja pada industri pertanian di perdesaan; dan (5) membebaskan petani
11
tanaman pangan dari perangkap kemiskinan sehingga mampu menyongsong masa depan yang lebih sejahtera dan bermartabat (Swastika 2011). 2.4.3 Rediversifikasi pangan Strategi pengembangan melalui rediversifikasi pangan lokal di Indonesia adalah suatu usaha yang dilakukan sungguh-sungguh dengan kebijakan pemerintah. Tetapi bukan diversifikasi pangan yang sekarang ini dipahami banyak orang, melainkan rediversifikasi. Penganekaragaman kembali pangan lokal pada masing-masing wilayah (rediversifikasi pangan lokal) mutlak dilakukan dengan menggunakan hasil-hasil penelitian etnobiologi pada masing-masing tempat. Penganekargaman pangan dari sumberdaya lokal yang sudah dimanfaatkan secara turun-temurun sesuai dengan eko-fisiologi dan budaya masyarakat setempat. Sangat perlu dukungan masyarakat, peran perguruan tinggi, IPTEKS, secara bersama-sama
dalam
upaya
menekan
sekecil
mungkin
ancaman
yang
menyebabkan kerusakan habitat alam, terutama hutan hujan tropika Indonesia. Pengrusakan lahan produktif dan pengrusakan kawasan hutan alam yang masih berlangsung, harus dihentikan sehingga sumber-sumber plasma nutfah untuk rediversifikasi pangan lokal dapat dikembangkan dan dilestarikan (Zuhud 2011). 2.5 Pengertian Tumbuhan Obat dan Pengobatan Tradisional Tumbuhan obat adalah seluruh spesies tumbuhan obat yang diketahui atau dipercaya mempunyai khasiat obat, yang dikelompokkan menjadi : (1) tumbuhan obat tradisional, yaitu spesies tumbuhan yang diketahui atau dipercaya oleh masyarakat mempunyai khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional; (2) tumbuhan obat modern, yaitu tumbuhan yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis; (3) tumbuhan obat potensial, yaitu spesies tumbuhan yang diduga mengandung senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat obat, tetapi belum dibuktikan secara ilmiah/medis atau penggunaanya sebagai bahan obat tradisional sulit ditelusuri (Zuhud et al. 1994). Menurut Aliadi dan Roemantyo (1994), tumbuhan obat merupakan salah satu hasil hutan yang bernilai ekonomi tinggi. Pengobatan tradisional secara langsung atau tidak langsung mempunyai kaitan dengan upaya pelestarian
12
pemanfaatan tumbuhan obat. Kaitan tersebut dapat dilihat dari nilai-nilai yang terkandung dalam pengobatan tradisional, antara lain pandangan tentang sakit, pengetahuan ramuan obat tradisional, serta aturan adat dalam pemanfaatan sumberdaya alam hayati yang sering dijumpai pada masyarakat asli/tradisional. Berdasarkan intensitas pemanfaatannya, masyarakat pemanfaat tumbuhan obat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu : 1) Kelompok masyarakat asli, masyarakat tersebut hanya menggunakan pengobatan tradisional. Umumnya masyarakat tersebut tinggal di pedesaan atau daerah terpencil yang tidak memiliki sarana dan prasarana kesehatan. Cara pengobatan yang dilakukan kelompok ini sangat dipengaruhi oleh adat atau norma dan tradisi setempat. 2) Kelompok masyarakat yang menggunakan pengobatan tradisional dalam skala keluarga. Masyarakat ini umumnya tinggal di daerah pedesaan dengan sarana dan prasarana kesehatan yang terbatas. 3) Kelompok industriawan obat tradisional. Budaya pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan baku pengobatan tradisional telah menjadi catatan sejarah seperti yang tertulis dalam berbagai kitab daerah, seperti kitab Primbon dan serat Centhini dari Jawa, Tombo dari Sumatera, Usadha Sari atau Lontar Usadha dari Bali, Usadha Bone di Sulawesi Selatan, dan lainlain. Etnis atau suku bangsa memiliki konsep tertentu dalam memanfaatkan kekayaan lingkungan sekitarnya dalam suatu hubungan yang harmonis. Sumber utama tumbuhan obat adalah hutan alam yang terdapat di sekitar pemukiman penduduk, sehingga secara otomatis masyarakat telah ikut menjaga sumber alami tumbuhan obat (Permanasari 2001). Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (BPOM 2005). Pengobatan tradisional dan obat tradisional telah menyatu dengan masyarakat, digunakan dalam mengatasi berbagai masalah kesehatan baik di desa maupun di kota-kota besar. Kemampuan masyarakat untuk mengobati sendiri, mengenai gejala penyakit dan memelihara kesehatan. Untuk ini pelayanan kesehatan tradisional merupakan potensi besar karena dekat dengan masyarakat,
13
mudah diperoleh dan relatif lebih murah daripada obat modern. Undang-undang No.09 tahun 1960 tentang pokok-pokok kesehatan pasal 2 ayat 4 yang berbunyi: Usaha-usaha pengobatan tradisional berdasarkan ilmu atau cara lain daripada ilmu kedokteran diawasi oleh pemerintah agar tidak membahayakan masyarakat. 2.6 Taman Hutan Raya (Tahura) Taman Hutan Raya (Tahura) adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, spesies asli atau bukan spesies asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya tumbuhan dan atau satwa, budaya, pariwisata dan rekreasi. Pengelolaan Kawasan Taman Hutan Raya dilakukan oleh Pemerintah (UU No.05 tahun 1990). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.68 tahun 1998, adapun kriteria penunjukan dan penetapan suatu daerah sebagai kawasan Taman Hutan Raya adalah : 1. Merupakan kawasan dengan ciri khas baik asli maupun buatan baik pada kawasan yang ekosistemnya masih utuh ataupun kawasan yang ekosistemnya sudah berubah. 2. Memiliki keindahan alam dan atau gejala alam. 3. Mempunyai luas yang cukup yang memungkinkan untuk pembangunan koleksi tumbuhan dan atau satwa baik spesies asli dan atau bukan asli. Kawasan Taman Hutan Raya dikelola oleh pemerintah daerah dan dikelola dengan upaya pengawetan keanekaragaman spesies tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Sesuai dengan fungsinya, taman hutan raya dapat dimanfaatkan untuk : 1. Penelitian dan pengembangan (kegiatan penelitian meliputi penelitian dasar dan penelitian untuk menunjang pengelolaan kawasan tersebut) 2. Ilmu pengetahuan 3. Pendidikan 4. Kegiatan penunjang budidaya 5. Pariwisata alam dan rekreasi.