BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Taman Kota Taman kota merupakan salah satu bentuk ruang terbuka hijau yang terletak di kota dan banyak digunakan oleh masyarakat sebagai tempat aktivitas sosial. Secara umum, taman kota mempunyai tiga fungsi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan, diantaranya fungsi ekologis, estetika, dan fungsi sosial. Fungsi ekologis, memposisikan taman kota sebagai penyerap dari berbagai polusi yang diakibatkan oleh aktivitas penduduk, seperti meredam kebisingan dan, yang paling signifikan, menyerap kelebihan CO2, untuk kemudian mengembalikan menjadi O2. Selain itu, taman kota menjadi tempat untuk melestarikan berbagai jenis tumbuhan dan hewan. Dalam fungsi estetik, taman kota dapat mempercantik estetika sebuah kota, terutama dengan mempertahankan keasliannya. Dalam fungsi sosial, taman kota menjadi tempat berbagai macam aktivitas sosial seperti berolah raga, rekreasi, dan diskusi. Pada dasarnya fungsi ini merupakan kebutuhan warga kota yang secara naluri membutuhkan ruang terbuka hijau untuk bersosialisasi sekaligus menyerap energi alam (Dahlan, 2004). Kawasan perkotaan merupakan bentuk lanskap buatan manusia akibat aktivitasnya dalam mengelola lingkungan untuk kepentingan hidupnya (Simonds, 1983). Bentuk pengelolaan lingkungannya dapat dibangun dengan adanya sebuah taman kota. Taman kota memiliki konsep dasar untuk memaksimalkan keberadaan taman serta berbagai bentuk penghijauan kota lainnya untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang ada atau diperkirakan akan ada di masa yang akan datang (Dahlan, 2004). Selanjutnya, menurut Arifin, Munanadar, Arifin, Pramukanto dan Damayanti (2008), taman kota adalah taman umum pada skala kota, yang peruntukannya sebagai fasilitas untuk rekreasi, olahraga, dan sosialisasi masyarakat kota yang bersangkutan. Fasilitas yang disediakan dengan fungsinya dan fasilitas pendukung lainnya meliputi: a. fasilitas rekreasi (fasilitas bermain anak, tempat bersantai, panggung, dan lainlain);
5
b. fasilitas olahraga (jogging track, kolam renang, lapangan bola, lapangan tenis, lapangan bola basket, lapangan bola voli, lapangan bulutangkis, dan fasilitas refleksi); c. fasilitas sosialisasi (ruang piknik, ruang/fasilitas yang memungkinkan untuk bersosialisasi baik untuk kelompok kecil maupun besar); d. fasilitas jalan, entrance, tempat parkir, mushola, tempat berjualan, drainase, air, listrik, penerangan, penampungan sampah, dan toilet. Penanggung jawab taman kota adalah pemerintah kota meskipun dalam pengelolaannya pemerintah kota dapat berkolaborasi dengan pihak swasta.
2.2 Taman Terapeutik Taman terapeutik adalah suatu ruang terbuka yang didesain secara khusus untuk memenuhi kebutuhan fisik, psikologi, sosial, dan spiritual manusia sebagai penggunanya. Taman seperti ini dapat ditemukan di berbagai tempat, termasuk di rumah sakit, sekolah keperawatan, perumahan, pusat kanker, kompleks rumah sakit dan berbagai tempat lainnya yang berhubungan dengan pusat lingkungan pelayanan kesehatan. Fokus dari taman ini adalah mengutamakan perpaduan tanaman dan keramahan kehidupan liar dalam suatu ruang. Taman ini dapat didesain mengikuti beberapa penggunaan seperti penggunaan aktif, yaitu dengan desain peninggian tata letak tanaman untuk aktivitas terapi hortikultura serta penggunaan pasif, yaitu penggunaan area dengan konsep elemen air (Wikipedia, 2009). Istilah terapeutik itu sendiri adalah suatu penilaian dan pemahaman pada kondisi kesehatan dengan cara prediksi dan dalam lingkup ilmu pengetahuan. Selanjutnya dikemukakan oleh Spriggs dan Wiesen (2002) bahwa istilah “taman terapeutik” adalah taman yang berimplikasi dalam meningkatkan kualitas lingkungan medis, yang tidak hanya dalam perancangan lanskapnya untuk dinikmati saja, tetapi untuk meningkatkan pelayanan kesehatan. Taman ini dapat menyembuhkan seseorang, manfaatnya lebih berkaitan kepada pengurangan rasa stress dan kemampuannya untuk melegakan, menenangkan, meremajakan atau memperbaiki kesehatan mental dan emosi seseorang. Peranan penting dari taman ini adalah untuk menyediakan perlindungan, memberikan tempat untuk bermeditasi, atau untuk menimbulkan sifat yang diinginkan oleh pengguna taman.
6
Taman terapeutik dapat dijadikan sebagai tema utama dalam terapi bermain bagi pasien-pasien terutama anak-anak dengan memandang taman sebagai tempat untuk permainan fisik dan sosial (Moore, 1996). Taman ini dapat dijadikan area aktivitas yang dapat membantu dalam proses penyembuhan pasien di samping kebutuhan akan kenyamanan lingkungan rumah sakit. Breckenridge (2006) menyatakan bahwa bagian lain dari lanskap terapeutik adalah dengan terapi horikultura yang merupakan terapi berinteraksi dengan tumbuh-tumbuhan dengan cara memanfaatkan fisik dan emosional pasien. Prinsip desain taman terapeutik/healing garden yang dinyatakan oleh Marcus dan Barnes (2008). 1. Menyediakan keragaman ruang (Ruang untuk berkumpul dan ruang untuk menyendiri) Tersedianya pilihan atas beberapa ruang, akan menciptakan rasa pengendalian pada pengguna terhadap sekelilingnya yang akan menurunkan tingkat stress. Ruang untuk menyendiri tersedia bagi mereka yang ingin menjauh dari lingkungan rumah sakit. Sedangkan ruang untuk kelompok kecil (seperti anggota keluarga atau penunjang) menyediakan dukungan sosial kepada pasien/pengunjung. 2. Menyediakan material hijau yang merata Komposisi elemen perkerasan dikurangi dan elemen tanaman mendominasi taman. Tujuannya adalah untuk meminimalisasi penggunaan dari elemen perkerasan menjadi sepertiga dari keseluruhan taman. Melalui tanaman yang terdapat pada lanskap sekitarnya, pasien/pengunjung dapat merasakan kemajuan pada kesehatannya. 3. Mendukung aktivitas Taman yang mendukung untuk aktivitas berjalan sebagai bentuk latihan yang berkaitan dengan penurunan tingkat depresi. 4. Menyediakan pengalihan yang positif. Pengalihan yang alami seperti tanaman, bunga, dan water features menurunkan tingkat stress. Kegiatan lainnya seperti bekerja dan berkebun dengan tanaman dapat menyediakan pengalihan yang positif di taman.
7
5. Meminimalisasi gangguan Faktor-faktor yang negatif seperti kebisingan kota, asap dan cahaya buatan diminimalisasi di taman. Pencahayaan dan bunyi yang alami merupakan tambahan dari efek positif pada taman. 6. Meminimalisasi ketidakjelasan (ambigu) Lingkungan yang abstrak (seperti tempat-tempat yang misterius dan rumit) dapat menarik dan menantang bagi orang yang sehat, tetapi tidak kepada orang yang sakit. Sejumlah studi menunjukkan bahwa keabstrakan sebuah desain tidak dapat diterima oleh orang yang sakit atau stress. Fitur dan elemen taman yang dapat diidentifikasi seharusnya terdapat pada desain taman. Seni yang abstrak pada fasilitas dan taman seringkali tidak tepat. Stigsdotter dan Grahn (2002) menyatakan bahwa terdapat beberapa kriteria desain yang dapat dijadikan sebagai pedoman desain pada pembuatan taman terapeutik, yaitu sebagai berikut: 1. mempertimbangkan siapa pengguna utama dan tingkat kekuatan mentalnya; 2. menstimulasi panca indera penciuman, penglihatan, peraba, perasa, dan pendengaran; 3. mengakomodasi kegiatan aktif dan pasif; 4. menciptakan komunikasi pengguna dengan elemen taman melalui cara yang suportif dan positif; 5. mengakomodasi akses yang mudah dicapai. Menurut
Marcus
(2000),
terdapat
kriteria
desain
untuk
taman
terapeutik/healing garden, yaitu sebagai berikut. 1. Kesempatan untuk mencari ruang privasi Kesempatan yang diberikan dalam mencari ruang privasi bagi pengunjung dapat membantu dalam penurunan tingkat stress yang dideritanya. Proses penurunan tersebut karena pengunjung mendapatkan peningkatan dalam rasa pengendalian dirinya, mengetahui keadaan alami taman, dan mampu mencari akses dan memilih jalur-jalur yang disukainya. Selain itu, pencarian ruang privasi ini dapat menciptakan pengalaman dalam perbedaan susunan elemen taman.
8
2. Kesempatan yang mendukung untuk bersosialisasi Kegiatan bersosialisasi dapat ditingkatkan dengan penyediaan sub-ruang dengan susunan tempat duduk bagi pengunjung, sehingga memberikan kesepatan untuk berinteraksi dengan relasi privasinya selama berkunjung ke taman tersebut. 3. Kesempatan untuk pergerakan fisik dan gerak tubuh Kesempatan ini dapat dibuat dengan adanya sistem sirkulasi loop/melingkar dengan beragam rute perjalanan, yang dilengkapi dengan koridor pemandangan alami sehingga mendorong pengunjung masuk kedalam ruang taman. Setelan pada jalur pedestrian/jalur jogging dan jalur ruang rehabilitasi harus dilengkapi dengan standar keamanan yang baik, terutama bagi pengunjung anak-anak, pengunjung berkebutuhan khusus, dan pengunjung lanjut usia. 4. Bersentuhan dengan alam Kesan taman yang bersentuhan dengan alam yaitu taman yang mempunyai berbagai jenis tanaman, seperti tanaman berbunga pada pohon yang mampu menarik satwa liar (misalnya: burung, kupu-kupu, dan tupai), daun-daunan atau rumput-rumputan yang mampu bergerak oleh tiupan angin sepoi-sepoi, pandangan ke langit dengan perubahan formasi daun dari pepohonan, kolam air yang merefleksikan langit, dan menyediakan habitat bagi ikan atau water lily, serta elemen-elemen yang mampu menampilkan horizon atau pemandangan yang meluas menuju lanskap pinjaman (borrowed landscape). Selain itu, bentuk taman yang baik seharusnya memiliki jalur berjalan yang dilengkapi dengan fasilitas bagi pengunjung berkebutuhan khusus dengan penyediaan bermacam pemandangan yang terbuka atau tertutup, serta menciptakan pengalaman pada sub-ruang yang berbeda walaupun masih terdapat elemen yang kontras, mengejutkan, atau terkesan aneh. Walaupun demikian, semua elemen tersebut harus termanfaatkan dengan baik sesuai dengan standar, baik pada penggunaan warna, tekstur, ukuran, maupun daya dukungnya. 5. Menyediakan jarak penglihatan taman yang jelas Adapun dua jenis visibilitas yang penting dalam taman adalah (a) pergerakan pengunjung selama memasuki jalur/rute utama, baik pada ruang terbuka maupun tertutup sehingga dapat melihat taman, hamparan rumput/lapangan,
9
atau area alami yang berpotensi untuk digunakan, dan (b) ruang pasien, ruang tunggu, dan perkantoran yang mempunyai visual akses ke taman atau area alami atau bagian dari lanskap pinjaman. 6. Menyediakan kenyamanan fisiologis Kenyamanan dalam pemanfaatan ruang yang disediakan berupa ruang taman dengan cahaya matahari penuh atau ruang taman dengan naungan. Ruangruang tersebut mampu memberikan perlindungan dari angin, dengan penataan tanaman dan struktur elemen taman, dan penyediaan ruang khusus bagi pengguna rokok. 7. Menciptakan ketenangan dan keakraban Ketenangan pengunjung taman ditunjang dari keamanan fasilitas taman terhadap gangguan dan ancaman. Rasa tenang ini secara umum disukai karena pengunjung dapat berekreasi pada focal point taman, menyaksikan lalu lintas pejalan kaki, dan aktivitas sosial antar pengunjung. 8. Menyediakan kemudahan aksesibilitas Kemudahan ini yaitu kemudahan dalam mencapai akses taman dan ruang taman yang disukai oleh pengunjung. Kemudahan ini dilengkapi dengan kondisi akses yang nyaman dengan lebar dan panjang jalur yang sesuai dengan kebutuhan pengujung, dan dapat dilalui oleh semua golongan umur dan fisik pengunjung. 9. menyediakan desain yang jelas dan tidak abstrak. Desain yang memberikan pesan positif dari unsur seni pada berbagai elemen taman. McDowell dan McDowell (2008) menyatakan bahwa terdapat tujuh elemen desain pada healing garden, yaitu sebagai berikut: 1. penyediaan pintu masuk yang menarik dan mengajak pengunjung untuk masuk ke taman; 2. penggunaan elemen air untuk efek psikologi dan fisik; 3. penggunaan warna dan pencahayaan yang kreatif (dapat dengan tanaman atau cahaya buatan) untuk mendatangkan emosi, ketenangan, dan kekaguman kepada pengunjung; 4. penekanan (emphasis) terhadap aspek alami, seperti penggunaan material batu, kayu, pagar alami, atau angin, dan suara;
10
5. penggabungan dengan seni untuk meningkatkan keseluruhan nilai taman; 6. kemampuan elemen untuk menarik satwa liar dan menyediakan habitat bagi keanekaragaman jenis satwa tersebut; 7. penyediaan sarana penunjang yang mengakomodasi pengunjung untuk menikmati atraksi alami.
2.3 Terapi Ruang Terbuka Ruang terbuka dapat dibuat menjadi berbagai jenis-jenis taman seperti taman atap, teras atap, taman penyembuhan, taman meditasi, taman pemandangan, dan taman atrium. Kemungkinan arah pemandangan yang baik adalah dengan adanya lanskap sekitarnya seperti hutan, kebun, dan taman lainnya (Said, 2003). Ulrich (2003) menyatakan bahwa secara konsisten seorang pasien telah memperlihatkan dengan sederhana bahwa melihat sejumlah kandungan alam yang dikenal seperti vegetasi hijau, bunga, dan air secara sigifikan lebih efektif mengurangi stress jika dibandingkan dengan melihat bangunan seperti ruangruang bangunan, bangunan gedung dan situasi perkotaan. Selanjutnya, menurut Ghersi
(2007),
produk-produk
alam
kemungkinan
dapat
memberikan
pembangunan kembali keseimbangan dan mengintegrasikan kembali fisik kita dengan baik. Produk tersebut mempunyai arti sebagai taman pengobatan yang dapat dirasakan oleh kita sendiri dalam mendapatkan kepercayaan diri, yang tidak hanya dalam kemampuan pribadi, tetapi dalam kelompok. Beberapa teori yang telah dikembangkan dalam lingkup psikologi lingkungan dan arsitektur lanskap menurut Stigsdotter dan Grahn (2003), antara lain, sebagai berikut: 1. teori yang mengklaim bahwa efek kesehatan adalah pengaruh restorasi pusat emosional yang terdapat di dalam sistem limbik otak karena lingkungan sekitar dan alam liar; 2. teori efek kesehatan sebagai teori kearah pengaruh restorasi verdure dalam fungsi kognitif; 3. teori efek kesehatan merupakan suatu kenyataan taman dan alam yang dibuat berdasarkan permintaan keseimbangan lunak seseorang dalam kemampuan dan kendalinya.
11
2.4 Proses Evaluasi Rossi dan Howard (1993) menyatakan bahwa evaluasi merupakan suatu aplikasi penilaian yang sistematis terhadap konsep, desain, implementasi, dan manfaat aktivitas dan program dari suatu instansi pemerintah. Dengan kata lain, evaluasi dilakukan untuk menilai dan meningkatkan cara-cara dan kemampuan berinteraksi instansi pemerintah yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerjanya. Evaluasi adalah proses penilaian yang sistematis, pemberian nilai, atribut, apresiasi dan pengenalan permasalahan serta pemberian solusi atas permasalahan yang ditemukan (Anonim, 2005). Dalam berbagai hal, evaluasi dilakukan melalui monitoring terhadap sistem yang ada. Tanggung jawab pelaksanaan evaluasi bukan pada apakah informasi yang disediakan itu benar atau salah, atau sesuaitidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, tetapi lebih diarahkan pada perbaikan implementasi kegiatan untuk mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan. Untuk keberhasilan evaluasi, terdapat empat hal, di antaranya desain, pengumpulan data, analisis data, dan presentasi. 1. Desain data adalah pendefinisian dengan jelas mengenai tujuan evaluasi, pertanyaan apa yang harus dijawab, informasi apa yang dibutuhkan dan bagaimana cara pengumpulannya, dan bagaimana menggunakan informasi tersebut. 2. Pengumpulan data adalah pengumpulan informasi yang benar dan akurat yang mendukung pencapaian hasil evaluasi harus dikumpulkan. Untuk itu, perlu diketahui apakah informasi tersebut memang tersedia dan bagaimana cara memperolehnya, siapa yang bertanggung jawab untuk melakukan wawancara dengan para karyawan kunci, meninjau kebijakan dan prosedur, dan memastikan bahwa data akan tersedia untuk diakses. 3. Informasi yang telah didapat dan dikumpulkan tidak memiliki arti apa-apa sepanjang belum dianalisis dan diinterpretasikan sehingga dapat menjadi bahan pendukung dalam membuat simpulan hasil evaluasi. Dengan analisis, evaluator akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terkait.
12
4. Presentasi adalah pengidentifikasian temuan dan rekomendasi yang oleh evaluator perlu didiskusikan dengan pihak lain untuk mendapatkan masukan bagi perbaikan dan penyempurnaan hasil-hasil analisis. Arifin,
Munanadar,
Arifin,
Pramukanto
dan
Damayanti
(2008)
menyatakan bahwa evaluasi adalah suatu proses untuk menaksir kinerja dan keluaran yang dihasilkan oleh suatu program. Evaluasi pada suatu taman adalah menguji kesesuaian kondisi taman dengan rencana/rancangan taman dan kualitas yang standar serta pengelolaannya untuk perencanaan mendatang. Mekanisme evaluasi ini dilengkapi dengan perangkat pedoman (toolkit) yang meliputi standar prosedur operasi atau standard operating procedure (SOP), beserta indikator dan kriteria standar. Evaluasi dilakukan untuk menentukan keputusan apakah akan melanjutkan
suatu
program
yang
dinilai
sukses
atau
apakah
akan
menghentikannya. Tujuan evaluasi adalah untuk mengkoleksi dan menampilkan informasi yang diperlukan dalam mendukung pengambilan kesimpulan dan keputusan tentang suatu program serta nilainya. Hasil evaluasi digunakan untuk membantu memutuskan apakah suatu program akan dilanjutkan atau dihentikan dan bagaimana cara pengembangannya (Anonim, 2005). Pada hakekatnya, evaluasi diyakini sangat berperan dalam upaya meningkatkan kualitas operasional suatu program dan berkontribusi penting dalam memandu pembuat kebijakan di seluruh strata organisasi. Dengan menyusun desain evaluasi yang baik dan menganalisis hasilnya dengan tajam, kegiatan evaluasi dapat memberi gambaran tentang bagaimana kualitas operasional program, layanan, kekuatan dan kelemahan yang ada, efektivitas biaya dan arah produktif yang potensial untuk masa depan (Anonim, 2005).