BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Mencuci Tangan Perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. oleh sebab itu, perilaku manusia itu mempunyai bentangan yang sangat luas, mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian dan lain sebagainya. Bahkan kegiatan internal (internal activity) seperti berfikir, persepsi dan emosi yang merupakan perilaku manusia (Notoatmodjo, 2003) Robert Kwick (1974) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. Perilaku tidak sama dengan sikap. Sikap adalah hanya suatu kecenderungan untuk mengadakan tindakan pada suatu objek, dengan suatu cara yang menyatakan adanya suatu tanda-tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi objek tersebut. Sikap hanyalah sebagian dari perilaku manusia (Notoatmodjo, 2005) Perilaku mencuci tangan adalah suatu aktivitas, tindakan mencuci tangan yang di kerjakan oleh individu yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Green (1980), kesehatan seseorang dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu faktor perilaku (behavior causes), dan faktor non perilaku (non behavior causes). Perilaku kesehatan itu sendiri juga dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu: 1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor) Yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya. a. Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar 10
11
manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan seseorang dapat diperoleh melalui pendidikan, paparan media masa (akses informasi), ekonomi (pendapatan), hubungan social (lingkungan social budaya), pengalaman. Sebelum anak berperilaku mencuci tangan, ia harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku dan apa resikonya apabila tidak mencuci tangan dengan sabun bagi dirinya atau keluarganya. Melalui pendidikan kesehatan mencuci tangan anak mendapatkan pengetahuan pentingnya mencuci tangan sehingga diharapkan anak tahu, bisa menilai, bersikap yang didukung adanya fasilitas mencuci tangan sehingga tercipta perilaku mencuci tangan. b. Sikap Sikap adalah penilaian (bisa berupa pendapat) seseorang terhadap stimulus dan objek (dalam hal ini adalah masalah kesehatan, termasuk penyakit). Setelah anak mengetahui bahaya tidak mencuci tangan (melalui pengalaman, pengaruh orang lain, media massa, lembaga pendidikan, emosi), proses selanjutnya akan menilai atau bersikap terhadap kegiatan mencuci tangan tersebut. c. Kepercayaan sering diperoleh dari guru, orang tua dan seseorang yang dituakan. Pendidikan kesehatan bisa melalui guru atau orang tua, misal selain mengajari cara mencuci tangan guru atau orang tua bisa membiasakan dirinya mencuci tangan sehingga anak bisa meniru kebiasaan yang dilakukan guru atau orang tuanya. Karena anak menganggap benar apa yang dilakukan guru atau orang tua dan orang yang di tuakannya. 2. Faktor-faktor pemungkin (enambling factor) Yang terwujud dalam lingkungan fisik, ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya: air bersih, tepat buang sampah, tempat buang tinja, ketersediaan makanan yang bergizi, dan sebagainya. Termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu, polindes, pos obat
12
desa, dokter atau bidan swasta dan sebagainya. Untuk mendukung perilaku hidup sehat. 3. Faktor-faktor penguat (reinforcing faktor) Yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Maka promosi dan kesehatan yang paling tepat adalah bentuk pelatihan bagi tokoh masyarakat, tokoh agama dan petugas kesehatan, agar sikap dan perilaku petugas atau tokoh agama dan tokoh masyarakat dapat menjadi teladan, contoh, atau acuan bagi masyarakat tentang hidup sehat (berperilaku hidup sehat). (Notoatmodjo, 2003) Menurut skinner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku mencuci tangan ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus-Organisme-Respon. Skinner membedakan adanya dua respon, yaitu: 1. Respondent respons atau reflexive Respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut eliciting stimulation karena menimbulkan respon-respon yang relatif tetap. 2. Operant respon atau instrumental respons Respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang itu disebut reinforcing stimulation atau reinforce, karena memperkuat respon. Di dalam kehidupan sehari-hari, respon jenis pertama (respondent respons atau respondent beharvior) sangat terbatas keberadaannya pada manusia. Hal ini disebabkan karena hubungan yang pasti antara stimulus dan respons kemungkinan untuk memodifikasinya adalah kecil. Sebaliknya operant respons atau instrument behavior merupakan bagian terbesar dari perilaku manusia, dan kemungkinan untuk memodifikasi sangat besar, bahkan dapat dikatakan tidak terbatas (Notoatmodjo, 2005)
13
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : 1. Perilaku tertutup (recivert behavior) Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang menerima stimulus tersebut, dan belum bisa diamati secara jelas oleh orang lain. 2. Perilaku terbuka (overt behavior) Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata ata terbuka. Respon terhada stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindaka atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain (Notoatmodjo, 2003) Perilaku-perilaku mencuci tangan individu dapat terjadi disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya karena kebutuhan , dorongan motivasi, faktor perangsang dan pengawet, dan pengaruh sikap dan kepercayaan (Kariyoso, 1994) Terbentuknya perilaku mencuci tangan individu dapat terjadi karena proses kematangan dan proses interaksi dengan lingkungan. Cara yang inilah yang paling besar pengaruhnya terhadap perilaku manusia. Terbentuknya dan perubahan perilaku karena proses interaksi antara individu dengan lingkungan ini melalui suatu proses yakni proses belajar atau di lingkungan yang ada diluar. Oleh sebab itu, perubahan perilaku dan proses belajar itu sangat erat kaitannya. Perubahan perilaku adalah merupakan hasil dari proses belajar. Berarti pendidikan kesehatan mencuci tangan disekolah merupakan salah satu cara yang tepat untuk perubahan perilaku anak dalam proses belajar. Karena melalui proses belajar terjadi proses kematangan dan proses interaksi dengan lingkungan yang dapat merubah perilaku anak dalam hal mencuci tangan. (Notoatmodjo, 2005) Menurut WHO yang dikutip dari Notoatmodjo S, bentuk perilaku sangat bervariasi, sesuai dengan konsep yang digunakan oleh para ahli dalam
14
pemahamannya terhadap perilaku. Berikut bentuk-bentuk perubahan perilaku dapat dikelompokkan menjadi 3, yakni: 1. Perubahan Alamiah (natural change). Perilaku manusia selalu berubah, dimana sebagian perubahan itu disebabkan karena kejadian alamiah. Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan lingkungan fisik atau sosial budaya dan ekonomi, maka anggota-anggota masyarakat di dalamnya juga akan mengalami perubahan. 2. Perubahan Rencana (planned change). Perubahan perilaku ini terjadi karena memang direncanakan sendiri oleh subyek. 3. Kesediaan untuk Berubah (Readiness to Change), apabila terjadi suatu inovasi atau program-program pembangunan didalam masyarakat. Maka yang sering terjadi adalah sebagai orang sangat lambat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut (berubah perilakunya) Untuk melakukan perubahan perilaku diperlukan motivasi yang kuat untuk berubah. Motivasi adalah suatu dorongan yang menggerakkan seseorang untuk berperilaku, beraktivitas dalam penyampaian tujuan dimana kebutuhan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap lajunya dorongan tersebut . Jadi perubahan perilaku mencuci tangan pada anak usia sekolah dapat tercapai dengan memberi anak motivasi yang kuat. Sehingga timbul dari kesadarannya sendiri, tercipta perilaku mencuci tangan pada anak tersebut. (Widayatun, 1999) Menurut Kurt Lewin (1970) yang dikutip dari Notoatmodjo S, berpendapat bahwa perilaku manusia itu adalah suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong (drivering forces). Perilaku mencuci tangan itu dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan tersebut di dalam diri seseorang.
B. Anak Usia Sekolah 1. Definisi Anak Usia Sekolah Usia sekolah adalah anak pada usia 6-12 tahun, yang artinya sekolah menjadi pengalaman inti anak. Periode ketika anak-anak dianggap
15
mulai bertanggung jawab atas perilakunya sendiri dalam hubungan dengan orang tua mereka, teman sebaya, dan orang lainnya. Usia sekolah merupakan masa anak memperoleh dasar-dasar pengetahuan untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa dan memperoleh keterampilan tertentu. (Nuryanti, 2008) Menurut Sigmund Freud, anak usia 6-12 tahun sering disebut dengan masa anak pertengahan atau laten yaitu masa tenang dan nyaman, walau anak mengalami perkembangan pesat pada aspek motorik dan kognitif. Anak laki-laki lebih banyak bergaul dengan teman sejenis, demikian pula dengan anak perempuan. Oleh karena itu, fase ini disebut juga periode homoseksual alamiah. Anak mencari figur ideal diantara orang dewasa berjenis kelamin sama dengannya (Irwanto, 2002) Menurut Jean Piaget yang dikutip dari Dariyo A, bahwa anak usia sekolah dibagi menjadi 2 periode yaitu masa anak tengah (middle Childhood) pada masa ini anak-anak kira-kira berumur 7-9 tahun, berada pada fase perkembangan operasi komplit, untuk tugas yang rumit atau kompleks anak akan menemui hambatan. Dan masa anak akhir (late childhood)
anak
dengan
usia
10-12
tahun,
anak-anak
terus
mengembangkan kapasitas intelektual (masa operasi konkrit) di bangku pendidikan formal yaitu sekolah dasar. 2. Perkembangan Fisik Pada Anak Usia Sekolah Perkembangan fisik anak usia sekolah cenderung berbeda dengan masa sebelumnya dan sesudahnya. Pertumbuhan tangan dan kaki lebih cepat dibanding dengan pertumbuhan togok. Pada tahun-tahun awal usia sekolah pertumbuhan jaringan tulang lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan jaringan otot mulai lebih cepat, hal ini berpengaruh pada peningkatan kekuatan yang menjadi lebih cepat juga (Widayatun, 1999) Mulai umur 6 tahun ini, seorang anak pertumbuhan badannya relative seimbang, maka anak menjadi senang bermain keseimbangan dan penguasaan badan. Pertumbuhan fisik yang berlangsung secara baik itu sudah barang tentu ikut berpengaruh terhadap perkembangan psikis anak.
16
Pada masa tersebut anak sudah matang untuk masuk sekolah (Ahmadi, 2005) Perkembangan fisik atau jasmani anak sangat berbeda satu sama lain, sekalipun anak-anak tersebut usianya relatif sama, bahkan dalam kondisi ekonomi yang relatif sama pula. Sedangkan pertumbuhan anakanak berbeda ras juga menunjukkan perbedaan yang menyolok. Hal ini antara lain disebabkan perbedaan gizi, lingkungan, perlakuan orang tua terhadap anak, kebiasaan hidup dan lain-lain (Sofa, 2008) 3. Ciri-ciri Anak Usia Sekolah Orang tua, pendidik, dan ahli psikologis memberikan berbagai label kepada periode ini dan label-label itu mencerminkan ciri-ciri penting dari periode anak usia sekolah. Yaitu sebagai berikut: a. Label yang digunakan oleh orang tua 1) Usia yang menyulitkan Suatu masa dimana anak tidak mau lagi menuruti perintah dan dimana ia lebih banyak dipengaruhi oleh teman-teman sebaya daripada oleh orang tua dan anggota keluarga lainnya. 2) Usia tidak rapih Suatu masa dimana anak cenderung tidak memperdulikan dan ceroboh dalam penampilan, dan kamarnya sangat berantakan. Sekalipun ada peraturan keluarga yang ketat mengenai kerapihan dan perawatan barang-barangnya, hanya beberapa saja yang taat, kecuali kalau orang tua mengharuskan melakukannya dan mengancam dengan hukuman. b. Label yang digunakan oleh para pendidik 1) Usia sekolah dasar Pada usia tersebut anak diharapkan memperoleh dasar-dasar pengetahuan
yang
dianggap
penting
untuk
keberhasilan
penyesuaian diri pada kehidupan dewasa, dan mempelajari berbagai keterampilan penting tertentu, baik keterampilan kurikuler maupun ekstra kurikuler.
17
2) Periode kritis Suatu masa di mana anak membentuk kebiasaan untuk mencapai sukses, tidak sukses, atau sangat sukses. Sekali terbentuk, kebiasaan untuk bekerja dibawah, diatas atau sesuai dengan kemampuan cenderung menetap sampai dewasa.telah dilaporkan bahwa tingkat perilaku berprestasi pada masa kanak-kanak mempunyai korelasi yang tinggi dengan perilaku berprestasi pada masa dewasa. c. Label yang digunakan ahli psikologi 1) Usia berkelompok Suatu masa di mana perhatian utama anak tertuju pada keinginan diterima oleh teman-teman sebaya sebagai angota kelompok, terutama kelompok yang bergengsi dalam pandangan temantemannya. Oleh karena itu, anak ingin menyesuaikan dengan standar yang disetujui kelompok dalam penampilan, berbicara, dan perilaku. 2) Usia penyesuaian diri Suatu masa dimana perhatian pokok anak adalah dukungan dari teman-teman sebaya dan keanggotaan dalam kelompok. 3) Usia kreatif Suatu masa dalam rentang kehidupan dimana akan ditentukan apakah anak-anak menjadi konformis atau pencipta karya yang baru yang orisinil. Meskipun dasar-dasar untuk ungkapan kreatif diletakkan pada awal masa kanak-kanak, namun kemampuan untuk menggunakan dasar-dasar ini dalam kegiatan-kegiatan orisinal pada umumnya belum berkembang sempurna sebelum anak-anak belum mencapai tahun-tahun akhir masa kanak-kanak. 4) Usia bermain Bukan karena terdapat lebih banyak waktu untuk bermain daripada dalam periode-periode lain hal mana tidak dimungkinkan lagi apabila anak-anak sudah sekolah melainkan karena terdapat
18
tumpang tindih antara ciri-ciri kegiatan bermain anak-anak yang lebih muda dengan ciri-ciri bermain anak-anak remaja. Jadi alasan periode ini disebut sebagai usia bermain adalah karena luasnya minat dan kegiatan bermain dan bukan karena banyaknya waktu untuk bermain. (Hurlock, 1990) Jadi dapat disimpulkan bahwa masa ini adalah masa atau usia dini yang paling tepat bagi anak memperoleh pendidikan kesehatan mencuci tangan. Masa dimana anak senang mempelajari apa yang ada disekitarnya dengan suka bermain dan berkelompok dengan teman-temannya baik dalam keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan disekitarnya. anak akan mudah diberikan masukan mengenai pendidikan kesehatan mencuci tangan sehingga dapat merubah perilaku yang sebelumnya tidak rajin mencuci tangan, setelah mendapatkan pendidikan kesehatan anak menjadi tahu pentingnya mencuci tangan dan merubah perilaku mencuci tangannya. 4. Tugas Perkembangan Usia Sekolah Tugas-tugas perkembangan anak usia sekolah menurut Havighurst adalah sebagai berikut: a. Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainanpermainan yang umum b. Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai mahluk yang sedang tumbuh c. Belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya d. Mulai mengembangkan peran social pria atau wanita yang tepat e. Mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis dan berhitung f. Mengembangkan
pengertian-pengertian
yang
diperlukan
untuk
kehidupan sehari-hari g. Mengembangkan hati nurani, pengertian moral, tata dan tingkatan nilai h. Mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok social dan lembaga-lembaga
19
i. Mencapai kebebasan pribadi Untuk memperoleh tempat didalam kelompok sosial, anak harus menyelesaikan
berbagai
tugas
perkembangan.
Kegagalan
dalam
pelaksanaannya akan mengakibatkan pola perilaku yang tidak matang, sehingga sulit diterima oleh kelompok teman-temannya dan tidak mampu menyamai teman-teman sebaya yang sudah menguasai tugas-tugas perkembangan tersebut (Hurlock, 1990) Tugas-tugas perkembangan yang bersumber dari kematangan fisik diantaranya adalah belajar berjalan, belajar melempar mengangkap dan menendang bola, belajar menerima jenis kelamin yang berbeda dengan dirinya.
Beberapa tugas perkembangan terutama bersumber dari
kebudayaan seperti belajar membaca, menulis dan berhitung, belajar tanggung
jawab
sebagai
warga
negara.
Sementara
tugas-tugas
perkembangan yang bersumber dari nilai-nilai kepribadian individu diantaranya memilih dan mempersiapkan untuk bekerja, memperoleh nilai filsafat dalam kehidupan (Kurniawan, 2007)
C. Pendidikan Kesehatan 1. Definisi pendidikan kesehatan Pendidikan kesehatan adalah proses membuat orang mampu meningkatkan kontrol dan memperbaiki kesehatan individu. Kesempatan yang direncanakan untuk individu, kelompok atau masyarakat agar belajar tentang kesehatan dan melakukan perubahan-peubahan secara suka rela dalam tingkah laku individu (Entjang, 1991) Menurut Wood dikutip dari Effendi (1997), pendidikan kesehatan merupakan sejumlah pengalaman yang pengaruh menguntungkan secara kebiasaan, sikap dan pengetahuan yang ada hubungannya dengan kesehatan perseorangan, mayarakat dan bangsa. Kesemuannya ini, dipersiapkan dalam rangka mempermudah diterimannya secara suka rela perilaku yang akan meningkatkan dan memelihara kesehatan.
20
Menurut Steward dikutip dari Effendi (1997), unsur program kesehatan dan kedokteran yang didalamnya terkandung rencana untk merubah perilaku perseorangan dan masyarakat dengan tujuan untuk membantu tercapainya program pengobatan, rehabilitasi, pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan. Menurut Ottawwa Charter (1986) yang dikutip dari Notoatmodjo S, pendidikan kesehatan adalah proses untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Selain itu untuk mencapai derajat kesehatan yang sempurna, baik fisik, mental dan social, maka masyarakat harus mampu mengenal dan mewujudkan aspirasinya, kebutuhannya, dam mampu mengubah atau mengatasi lingkungannya (lingkungan fisik, sosial, budaya, dan sebagainya). Dapat dirumuskan bahwa secara konsep, pendidikan kesehatan adalah upaya untuk mempengaruhi, dan atau mempengaruhi orang lain, baik individu, kelompok, atau masyarakat, agar melaksanakan perilaku hidup sehat. Sedangkan secara operasional, pendidikan kesehatan merupakan suatu kegiatan untuk memberikan dan atau meningkatkan pengetahuan, sikap, dan praktek masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri (Notoatmodjo, 2003) 2. Tujuan pendidikan kesehatan Pendidikan kesehatan memiliki beberapa tujuan antara lain pertama,
tercapainya
perubahan
perilaku
individu,
keluarga
dan
masyarakat dalam membina dan memelihara perilaku sehat dan lingkungan sehat, serta peran aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yag optimal. Kedua, terbentuknya perilaku sehat pada individu, keluarga dan masyarakat yang sesuai dengan konsep hidup sehat baik fisik, mental dan social sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian. Ketiga, menurut WHO tujuan penyuluhan kesehatan adalah untuk mengubah perilaku perseorangan dan atau masyarakat dalam bidang kesehatan (Effendy, 1997)
21
Tujuan utama pendidikan kesehatan adalah agar orang mampu menerapkan masalah dan kebutuhan mereka sendiri, mampu memahami apa yang dapat mereka lakukan terhadap masalahnya, dengan sumber daya yang ada pada mereka ditambah dengan dukungan dari luar, dan mampu memutuskan kegiatan yang tepat guna untuk meningkatkan taraf hidup sehat dan kesejahteraan masyarakat (Mubarak, 2009) Menurut Undang-undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 dan WHO, tujuan pendidikan kesehatan adalah meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan; baik secara fisik, mental dan sosialnya, sehingga produktif secara ekonomi maupun social, pendidikan kesehatan disemua program kesehatan; baik pemberantasan penyakit menular, sanitasi lingkungan, gizi masyarakat, pelayanan kesehatan, maupun program kesehatan lainnya (Mubarak, 2009) Jadi pendidikan kesehatan mencuci tangan pada anak usia sekolah tersebut tujuannya adalah agar anak bisa cuci tangan pakai sabun dengan benar, memperoleh pengetahuan dan pemehaman pentingnya mencuci tangan untuk kesehatan, tercapainya perilaku mencuci tangan sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan fisik, mental dan sosialnya, sehingga produktif secara ekonomi maupun social. 3. Metode pendidikan kesehatan Penyampaian pendidikan kesehatan harus menggunakan cara tertentu , materi juga harus disesuaikan dengan sasaran, demikian juga alat bantu pendidikan disesuaikan agar dicapai suatu hasil yang optimal. Untuk sasaran kelompok, metodenya harus berbeda dengan sasaran massa dan sasaran individual. Untuk sasaran massa pun harus berbeda dengan sasaran individual dan sebagainya. a. Metode pendidikan individual Dalam pendidikan kesehatan, metode pendidikan yang bersifat individual ini digunakan untuk membina perilaku baru, atau seseorang yang telah mulai tertarik kepada suatu perubahan perilaku atau inovasi. Bentuk pendekatan antara lain:
22
1) Bimbingan dan penyuluhan (guidance and counseling) Dengan cara ini kontak antara klien dengan petugas lebih intensif, setiap masalah yang dihadapi oleh klien dapat dikorek, dan dibantu penyelesaiannya. 2) Interview (wawancara) Wawancara antara petugas kesehatan dengan klien untuk menggali informasi mengapa ia tidak atau belum menerima perubahan, untuk mengetahui apakah perilaku yang sudah atau yang akan diadopsi itu mempunyai dasar pengertian dan kesadaran yang kuat. Apabila belum maka perlu penyuluhan yang lebih mendalam lagi. b. Metode pendidikan kelompok Dalam memilih pendidikan kelompok, harus mengingat besarnya kelompok sasaran serta tingkat pendidikan formal pada sasaran. Untuk kelompok yang besar, metodenya akan lain dengan kelompok kecil. Efektivitas suatu metode akan tergantung pula pada besarnya sasaran pendidikan. 1) Kelompok besar : penyuluhan lebih dari 15 orang, dengan metode antara lain (a) Ceramah: metode yang baik untuk sasaran yang berpendidikan tinggi maupun rendah. (b) Seminar : metode ini sangat cocok untuk sasaran kelompok besar dengan pendidikan menengah keatas. Seminar adalah suatu penyajian (presentasi) dari satu ahli dari beberapa ahli tentang suatu topik yang dianggap penting dan biasanya dianggap hangat dmasyarakat. 2) Kelompok kecil: apabila peserta kegiatan itu kurang dari 15 orang. Metode-metode yang cocok yaitu diskusi kelompok, curah pendapat (brain storming), bola salju (snow balling), kelompok kecil-kecil (bruzz group), role play (memainkan peranan) dan permainan simulasi (simulation game)
23
c. Metode pendidikan massa (public) Metode
pendidikan
(pendekatan)
massa
untuk
mengkomunikasikan pesan-pesan kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat yang sifatnya massa atau public, maka cara yang paling tepat adalah pendekatan massa. Tanpa membedakan golongan umur, jenis kelamin, pekerjaan, status social, tingkat pendidikan
dan
sebagainya. Pada umumnya bentuk pendekatan (cara) massa ini tidak langsung. Biasanya mengguanakan atau melalui media massa. Beberapa contoh metode antara lain ceramah umum (public spesking), pidato-pidato diskusi tentang kesehatan melalui media elektronik baik tv maupun radio, simulasi, tulisan-tulisan di majalah atau Koran dan bill board yang di pasang di pnggir jalan, spanduk poster dan sebagainya. (Notoatmodjo, 2005) 4. Alat bantu/media pendidikan kesehatan Media pendidikan pada hakikatnya adalah alat bantu pendidikan, alat-alat yang digunakan oleh pendidik dalm menyampaikan bahan pendidikan/pengajaran. Disebut media pendidikan kesehatan karena alatalat tersebut merupakan saluran (channel) untuk menyampaikan informasi kesehatan dan karena alat-alat tersebut digunakan untuk mempermudah penerimaan
pesan-pesan
kesehatan
bagi
masyarakat
dan
klien
(Notoatmodjo, 2003) Salah satu tujuan menggunakan alat bantu
yaitu menimbulkan
minat, mencapai sasaran yang banyak, merangsang sasaran pendidikan untuk meneruskan pesan-pesan yang diterima kepada orang lain, untuk mempermudah pendidikan,
penyampaian,
mendorong
penerimaan
keinginan
orang
informasi untuk
oleh
sasaran
mengetahui
dan
menegakkan pengertian yang diperoleh (Notoatmodjo, 2003) Menurut para ahli, indera indra yang paling banyak menyalurkan pengetahuan ke dalam otak adalah mata. Kurang lebih 75% sampai 87% dari pengetahuan manusia diperoleh disalurkan melalui mata. Sedangkan
24
13% sampai 25% lainnya tersalur melalui indera lain. Dari sini dapat disimpulkan bahwa alat-alat visual lebih mempermudah cara penyampaian dan penerimaan informasi atau bahan pendidikan (Notoatmodjo, 2003) Pada garis besarnya hanya ada tiga macam alat bantu pendidikan (alat peraga), antara lain: a. Alat bantu melihat (visual aids) yang berguna dalam membantu menstimulasi
indera
mata
(penglihatan)pada
waktu
terjadinya
pendidikan. Alat ini ada 2 bentuk. 1) Alat yang diproyeksikan, misalnya slide, film, film strip dan sebagainya. 2) Alat-alat yang tidak diproyeksikan: (a) Dua dimensi, gambar peta, bagan dan sebagainya. (b) Tiga dimensi, misalnya bola dunia, boneka dan sebagainya. b. Alat-alat bantu dengar (audio aids), yaitu alat dapat membantu untuk menstimulasikan indera pendengar pada waktu proses penyampaian bahan pendidikan/pengajaran. Misalnya : piring hitam, radio, pita suara dan sebagainya. c. Alat bantu lihat-dengar, seperti televise dan video cassette. Alat-alat bantu pendidikan ini lebih dikenal dengan Audio Visual Aids (AVA) (Notoatmodjo, 2003) 5. Sasaran pendidikan kesehatan Sasaran pendidikan kesehatan adalah individu, keluarga, kelompok dan masyarakat yang dijadikan subyek dan obyek perubahan perilaku, sehingga diharapkan dapat memahami, menghayati dan mengaplikasikan cara-cara hidup sehat dalam kehidupan sehari-harinya. Banyak faktor yang diperhatikan terhadap sasaran dalam keberhasilan pendidikan kesehatan, antara lain tingkat pendidikan, tingkat social ekonomi, adat istiadat, kepercayaan masyarakat dan kepercayaan waktu (Effendy, 1997) Berdasarkan tujuan akhir visi dan misi pendidikan kesehatan yaitu kemampuan masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri. dari visi dan misi tersebut sudah jelas bahwa yang menjadi
25
sasaran utama pendidikan kesehatan adalah masyarakat khususnya bagi perilaku masyarakat. Namun demikian, karena terbatasnya sumber daya, akan tidak efektif apabila upaya atau kegiatan pendidikan kesehatan, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta itu,langsung di alamatkan kepada masyarakat. Oleh sebab itu dilakukan pentahapan sasaran pendidikan kesehatan yang terbagi menjadi 3 kelompok sasaran, yaitu: a. Sasaran Primer (Primary Target) Masyarakat menjadi sasaran langsung pendidikan kesehatan dengan strategi pemberdayaan masyarakat (impowerment). Sesuai dengan permasalahan kesehatan, maka sasaran ini dibagi menjadi, kepala keluarga untuk masalah kesehatan umum, ibu hamil dan menyusui untuk masalah KIA (kesehatan ibu dan anak), anak sekolah untuk kesehatan remaja dan sebagainya. b. Sasaran Sekunder (Sekunder Target) Para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat dan sebagainya. Disebut sasaran sekunder, Karena dengan memberikan pendidikan kesehatan kepada kelompok ini akan memberikan pendidikan
kesehatan
kepada
masyarakat
sekitarnya
dengan
mengguankan strategi dukungan sosial (social support). c. Sasaran Tersier (Tertiary Target) Para pembuat keputusan atau penentu kebijakan baik di tingkat pusat, maupun daerah adalah sasaran tersier pendidikan kesehatan. Dengan menggunakan startegi advokasi (advocacy) (Notoatmodjo, 2003) 6. Pendidikan Kesehatan Terhadap Perilaku Tujuan pendidikan kesehatan adalah mengubah perilaku individu, kelompok dan masyarakat menuju hal-hal yang positif secara terencana melalui proses belajar. Seseorang mengubah perilakunya dengan beberapa cara salah satunya yang disebut dengan Cognitive Dissonance adalah adanya suatu gangguan keseimbangan tentang kemantapan pengertian
26
yang sudah dimiliki seseorang. Cognitive dissonance akan timbul pada seseorang jika yang bersangkutan menghadapi hal-hal yang baru, di mana individu akan mengembalikan keseimbangannya melalui suatu proses rasionalisasi dengan mengubah pengertian atau sikapnya. Namun jika antara pengertian dan sikap yang sudah diikuti selama ini oleh yang bersangkutan dengan yang baru perbedaannya terlalu besar, maka cara untuk mengembalikan keseimbangan adalah dengan menolak yang baru. (Mubarak, 2009) Selain kebiasaan, perilaku orang untuk mau hidup sehat ternyata menjadi faktor penentu orang mau cuci tangan sebelum makan. Mengajak orang untuk sadar cuci tangan pakai sabun secara benar ternyata susahsusah gampang. Karena tidak jarang cuci tangan masih di anggap satu hal sepele. Letakkan tangan di air, bilas, selesai. Kesadaran bahwa kesehatan harus dimulai dan diusahakan oleh kita sendiri, harus kita sadari sejak dini. Dan perlu ada penjelasan pentingnya mencuci tangan dengan benar untuk menjaga dan mencegah penyakit yang berasal dari tangan kita sendiri. Adanya
pengertian
baru
akan
menyebabkan
adanya
gangguan
keseimbangan pemahaman yang sudah dimiliki oleh individu, kelompok atau masyarakat. Akan ada konflik antar pengertian dan anggapannya yang lama dan yang baru, perbedaan inilah yang disebut cognitive dissonance. Dengan ini berarti tujuan akhir dari pendidikan kesehatan adalah masyarakat dapat mempraktekkan hidup sehat melalui mencuci tangan bagi dirinya sendiri dan bagi masyarakat dapat berperilaku hidup sehat. (Mubarak, 2009) Pendidikan kesehatan identik dengan penyuluhan kesehatan, karena keduanya berorientasi kepada perubahan perilaku yang diharapkan yaitu perilaku sehat, sehingga mempunyai kemampuan mengenal masalah kesehatan dirinya, keluarga dan kelompoknya dalam meningkatkan kesehatan (Effendy, 1997)
27
D. Mencuci Tangan 1. Pengertian mencuci tangan Mencuci tangan dengan sabun adalah salah satu tindakan sanitasi dengan membersihkan tangan dan jari jemari menggunakan air dan sabun oleh manusia untuk menjadi bersih dan memutuskan mata rantai kuman. Mencuci tangan dengan sabun dikenal juga sebagai salah satu upaya pencegahan penyakit. Hal ini dilakukan karena tangan seringkali menjadi agen yang membawa kuman dan menyebabkan patogen berpindah dari satu orang ke orang lain, baik dengan kontak langsung ataupun kontak tidak langsung (menggunakan permukaan-permukaan lain seperti handuk, gelas) (Wikipedia, 2009) Cuci tangan adalah proses membuang kotoran dan debu secara mekanis dari kulit kedua belah tangan dengan memakai sabun dan air. Kesehatan dan kebersihan tangan secara bermakna mengurangi jumlah mikroorganisme penyebab penyakit pada kedua tangan dan lengan serta meminimalisasi kontaminasi silang (Tietjen dkk, 2004) Cuci tangan dianggap merupakan salah satu langkah yang paling penting untuk mengurangi penularan mokroorganisme dan mencegah infeksi selama lebih dari 150 tahun. Menurut Boyce 1999 dan Larson 1995) bahwa dapat diketahui bahwa kesehatan kebersihan tangan yang baik dapat mencegah penularan mikroorganisme dan mengurangi frekuensi infeksi nosokomial. (Tietjen dkk, 2004) Menurut Public Health Education Program Manager Yayasan Unilever Indonesia dr Leo Indarwahono, mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir dapat memutuskan mata rantai kuman yang melekat di jari-jemari. Dengan membiasakan diri mencuci tangan memakai sabun dan air mengalir, berarti telah melakukan salah satu upaya pencegahan penyakit. Masyarakat termasuk anak sering mengabaikan mencuci tangan memakai sabun dengan air mengalir karena kurangnya pemahaman tentang kesehatan. (okezone, 2009)
28
2. Tujuan mencuci tangan Pariera, Lee dan Wade (1990) yang dikutip dari Tietjen, mengungkapkan bahwa mencuci tangan dengan sabun bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan debu secara mekanis dari permukaan kulit dan mengurangi jumlah mikroorganisme sementara. Cuci tangan dengan sabun biasa dan air sama efektifnya dengan cuci tangan menggunakan sabun anti mikrobial. Sebagai tambahan, iritasi kulit jauh lebih rendah apabila menggunakan sabun biasa. Penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan mencuci tangan pakai sabun antara lain diare, infeksi saluran pernafasan dan infeksi cacing (infeksi mata dan kulit) Menurut Val Curtis & Sandy Cairncross dari London School of Hygiene and Tropical Medicine, Inggris tahun 2003. Menurut peneliti tentang kesehatan sanitary dan air ini, perilaku mencuci tangan dengan sabun bisa mengurangi insiden diare sebanyak 42-47%. Artinya, sekitar satu juta anak di dunia dapat diselamatkan tiap tahun dengan cuci tangan. Hanya saja ada yang perlu diperhatikan dalam prosesnya, yaitu harus menggunakan sabun dan membilas tangan menggunakan air mengalir. Menurut Curtis & Cairncross, tanpa sabun, bakteri dan virus tidak akan hilang. Air hanya sebatas menghilangkan kotoran yang tampak, tetapi tak menghilangkan cemaran mikrobiologis yang tidak tampak. (Moernantyo, 2006). 3. Cara mencuci tangan dengan benar Praktek CTPS yang benar hanya membutuhkan sabun dan air mengalir. Air mengalir tidak harus dari keran, bisa juga mengalir dari sebuah wadah berupa gayung, botol, kaleng, ember tinggi, gentong atau jerigen. Untuk penggunaan jenis sabun dapat menggunakan semua jenis sabun karena semua sebenarnya cukup efektif dalam membunuh kuman penyebab penyakit. Untuk memperoleh hasil yang maksimal, maka CTPS perlu dilakukan dengan cara yang baik dan benar, langkah-langkahnya adalah sebagai berikut, yaitu :
29
a. Bilas tangan dengan air bersih yang mengalir b. Tangan yang basah disabuni, digosok-gosok bagian telapak tangan dan punggung tangan,jari-jari, bawah kuku, minimal selama 20 detik. c. Bilas kembali dengan air mengalir bersih sampai bersih d. Keringkan dengan kain bersih atau kibas-kibaskan di udara (Sibuea, 2007) Untuk mendorong cuci tangan, kita harus melakukan segala upaya menyediakan sabun dan suplai air bersih terus menerus baik dari kran atau ember dan lap pribadi. Langkah-langkah mencuci tangan tersebut adalah a. Basahi kedua belah tangan b. Gunakan sabun biasa c. Gosok dengan seluruh bidang permukaan tanan dan jari-jari bersama sekurang-kurangnya selama 10 hingga15 detik, dengan memperhatikan bidang di bawah kuku tangan dan di antara jari-jari. d. Bilas kedua tangan seluruhnya dengan air bersih e. Keringkan kedua tangan dengan lap atau pengering dan gunakan lap untuk mematikan kran.(Tietjen, 2004) Karena mikroorganisme tumbuh berkembang biak di tempat basah dan di air yang menggenang maka apabila sabun batangan digunakan, sediakan sabun batangan yang berukuran yang kecil dalam tempat sabun yang kering. Hindari mencuci tangan di Waskom yang berisi air walaupun telah ditambahkan bahan antiseptic seperti detol atau savlon, karena microorganisme dapat bertahan dan berkembang biak pada larutan ini. Jangan menambahkan sabun cair kedalam temaptnya bila masih ada isinya, penambahan dapat menyebabkan kontaminasi bakteri pada sabun yang baru dimasukkan. Apabila tidak tersedia air mengalir, gunakan ember dengan kran yang dapat dimatikan sementara menyabuni kedua tangan dan buka kembali untuk membilas atau gunakan ember dan kendi / teko. (Tietjen, 2004)
30
4. Waktu Penting Cuci Tangan Pakai Sabun Saat yang penting cuci tangan dengan sabun adalah sebelum makan dan sesudah makan, sebelum memegang makanan, sebelum melakukan kegiatan apapun yang memasukkan jari-jari kedalam mulut dan mata, setelah bermain dan olah raga, setelah buang air kecil dan buang air besar, setelah buang ingus dan setelah buang sampah, setelah menyentuh hewan/unggas termasuk hewan peliharaan dan sebelum mengobati luka. Penggunaan sabun pada saat mencuci tangan menjadi penting karena sabun sangat membantu menghilangkan kuman yang tidak tampak minyak/lemak/kotoran di permukaan kulit serta meninggalkan bau wangi. Sehingga kit adapt memperoleh kebersihan yang terpadu dengan bau wangi dan segar setelah mencuci tangan pakai sabun, ini tidak akan kita dapatkan jika kita hanya menggunakan air saja. Yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah waktu-waktu kita harus melakukan perilaku mencuci tangan, di Indonesia diperkenalkan 5 waktu penting yaitu: a. Setelah ke jamban b. Setelah menceboki anak c. Sebelum makan d. Sebelum member makan anak e. Sebelum menyiapkan makanan (Sibuea, 2007)
E. Pendidikan Kesehatan Terhadap Peningkatan Perilaku Mencuci Tangan Tangan merupakan pembawa utama kuman penyakit, oleh karena itu sangat penting untuk diketahui dan diingat bahwa perilaku cuci tangan pakai sabun merupakan perilaku sehat yang sangat efektif untuk mencegah penyebaran berbagai penyakit menular seperti diare, ISPA dan Flu Burung. Diare merupakan penyakit "langganan" yang banyak berjangkit pada masyarakat terutama usia balita. Survei Kesehatan Nasional tahun 2001 menempatkan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) penyakit pada posisi tertinggi sebagai penyakit paling berbahaya pada balita. Diare dan ISPA dilaporkan telah membunuh 4 juta anak setiap tahun di negara-negara
31
berkembang. Sementara Flu Burung atau yang dikenal juga H5N1 merupakan penyakit mematikan dan telah memakan cukup banyak korban. Penyakitpenyakit tersebut juga merupakan masalah global dan banyak berjangkit di negara-negara berkembang, suatu wilayah yang didominasi dengan kondisi sanitasi lingkungan yang buruk, tidak cukup pasokan air bersih, kemiskinan dan pendidikan yang rendah tetapi rantai penularan penyakit-penyakit tersebut di atas dapat diputus "hanya" dengan perilaku cuci tangan pakai sabun yang merupakan perilaku yang sederhana, mudah dilakukan, tidak perlu menggunakan banyak waktu dan banyak biaya. (Sibuea, 2007) Cuci tangan merupakan salah satu perilaku sehat yang pasti sudah dikenal. Perilaku ini pada umumnya sudah diperkenalkan kepada anak-anak sejak kecil tidak hanya oleh orang tua di rumah, bahkan ini menjadi salah satu kegiatan rutin yang diajarkan para guru di Taman Kanak-Kanak sampai Sekolah Dasar. Tetapi kenyataannya perilaku sehat ini belum menjadi budaya masyarakat kita dan biasanya hanya dilakukan sekedarnya, sebagai contoh ketika kita masuk ke sebuah rumah makan Indonesia, biasanya fasilitas cuci tangan disediakan dalam bentuk kobokan berisi air bersih dengan sepotong kecil jeruk nipis yang maksudnya untuk menghilangkan bau amis di tangan. Pemandangan berbeda ketika kita masuk ke restaurant fast food terkemuka asal negara adi daya, fasilitas cuci tangan sudah sangat memenuhi syarat, yaitu air bersih mengalir dilengkapi dengan sabun cuci tangan cair berkualitas dan pengering tangan merk terkenal, sayangnya fasilitas itu belum digunakan dengan baik, karena biasanya orang hanya mencuci tangan sekedar menghilangkan bau amis bekas makanan dan lupa atau malas mencuci tangan dulu sebelum makan. Jika kita sedikit melirik ke masyarakat pedesaan, pada umumnya masyarakat desa hanya menggunakan air seadanya dan belum banyak yang menggunkan sabun untuk mencuci tangan sebelum atau sesudah dari jamban. Beberapa hal di atas menunjukan kenyataan bahwa perilaku cuci tangan pakai sabun sebagai salah satu upaya personal hygiene belum dipahami masyarakat
32
secara luas dan prakteknya pun belum banyak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. (Sibuea, 2007) Banyak masyarakat yang beranggapan mencuci tangan adalah suatu kegiatan yang sepele. Mereka mencuci tangan cukup dengan meletakkan tangan di air, bilas, selesai. Kesadaran bahwa kesehatan harus dimulai dan diusahakan oleh kita sendiri, harus kita sadari sejak dini. Agar anak tahu dan mampu berperilaku mencuci tangan pakai sabun, dapat diberikan penjelasan mengenai pentingnya mencuci tangan dengan sabun dan cara mencuci tangan pakai sabun dengan benar melalui pendidikan kesehatan. Dengan memberikan pendidikan kesehatan
tentang mencuci tangan dengan tujuan anak
mendapatkan pengetahuan tentang pentingnya mencuci tangan pakai sabun. sehingga setelah anak tahu, diharapkan anak timbul dalam kesadarannya sendiri membiasakan mencuci tangannya pakai sabun. Menurut penelitian Rogers (1974) perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku didasari oleh pengetahuan, pemahaman, kesadaran, dan sikap positif, maka perilaku tersebut akan bersifat lenggeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku tidak didasari oleh pengetahuan, pemahaman dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama. Seperti, anak-anak di himbau untuk mencuci tangan oleh gurunya tanpa mengetahui makna dan tujuan mencuci tangan pakai sabun, maka sebagian besar dari anak akan lebih banyak menyepelekan kegiatan mencuci tangan tersebut walaupun telah mendapatkan himbauan mencuci tangan pakai sabun. (Notoatmodjo, 2003) Pentingnya membudayakan cuci tangan memakai sabun secara baik dan benar didukung oleh data WHO yang menunjukkan, setiap tahun rata-rata 100.000 anak di Indonesia meninggal dunia karena diare. Sementara data Subdit Diare Depkes menunjukkan sekitar 300 orang diantara 1.000 penduduk masih terjangkit diare sepanjang tahun. Penyakit diare menjadi penyebab kematian nomor dua pada balita, nomor tiga pada bayi, dan nomor lima pada semua umur. Penyebab utama diare adalah minimnya perilaku hidup bersih
33
dan sehat di masyarakat, salah satunya kurangnya pemahaman mengenai cara mencuci tangan dengan sabun secara baik dan benar menggunakan air bersih mengalir. Sedangkan berdasarkan kajian WHO, cuci tangan memakai sabun dapat mengurangi angka diare hingga 47% (lily, 2007) Data menunjukkan lebih dari 5.000 anak balita penderita diare meninggal setiap harinya di seluruh dunia sebagai akibat kurangnya akses pada air bersih dan fasilitas sanitasi dan pendidikan kesehatan. Penderitaan dan biaya-biaya yang harus ditanggung karena sakit dapat dikurangi dengan melakukan perubahan perilaku sederhana seperti mencuci tangan dengan sabun. (Mujiyanto, 2009) Upaya mensosialisasikan perilaku sehat sanitasi dan mencuci tangan dengan sabun di Nigeria dimulai oleh sebuah program yang diprakarsai oleh UNICEF dengan menggunakan anak sekolah sebagai agen perubahan. Dalam membentuk perilaku sanitasi mandiri dan pengetahuan akan hidup yang bersih dan sehat anak-anak sekolah dirangsang untuk membentuk kelompok kelompok sekolah seperti klub sehat & hak untuk anak, yang melibatkan orang tua dan mengajak partisipasi komunitas di desa untuk ikut serta dalam proyek-proyek sanitasi. Salah satu sekolah memprakarsai Klub Lingkungan Sehat dimana para murid mempromosikan perilaku mencuci tangan dengan sabun untuk komunitas dan memperkenalkan teknik-teknik untuk menjaga kebersihan air dalam penggunaannya sehari-hari di rumah dan berusaha agar pengetahuan untuk hidup bersih ini diterapkan dirumah. Dengan pertolongan dari guru-guru sekitar 12 anak perempuan dan 18 anak lelaki yang mendirikan klub lalu mengoperasikan dan merawat fasilitas klub serta mengawasi penggunaan sumur bor. Klub tersebut membiayai aktivitasnya dengan menjual ember plastik dan bejana tembikar yang dilengkapi dengan keran. Dua tahun setelah intervensi ini, perilaku mencuci tangan dengan sabun meningkat hingga 95 persen. Guru mulai melaporkan bahwa para murid datang kesekolah dalam keadaan bersih, dan kasus cacingan serta penyakit-penyakit kulit lainnya berkurang. Tidak hanya itu, angka kehadiran murid pun naik dengan
34
teratur per tahunnya, dari 320 murid ketika program pertama kali diperkenalkan, hingga 538 murid pada tahun 2001. ( Suryani, 2009) Penelitian lain di Pakistan menemukan bahwa mencuci tangan dengan sabun mengurangi infeksi saluran pernafasan yang berkaitan dengan pnemonia pada anak-anak balita hingga lebih dari 50%. Mencuci tangan dengan sabun mengurangi angka infeksi saluran pernafasan dengan dua langkah: dengan melepaskan patogen-patogen pernafasan yang terdapat pada tangan dan permukaan telapak tangan dan dengan menghilangkan patogen (kuman penyakit) lainnya (terutama virus entrentic) yang menjadi penyebab tidak hanya diare namun juga gejala penyakit pernafasan lainnya. Bukti-bukti telah ditemukan bahwa praktek-praktek menjaga kesehatan dan kebersihan seperti – mencuci tangan sebelum dan sesudah makan/ buang air besar/kecil – dapat mengurangi tingkat infeksi hingga 25%. (Suryani, 2009).
35
F. Kerangka Teori Faktor Predisposisi : 1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Kepercayaan 4. Keyakinan 5. Nilai
Faktor Pendukung: 1. Lingkungan fisik 2. Ketersediaan sarana dan prasarana sumber/ fasilitas kesehatan
Perilaku Kesehatan
Faktor Penguat : 1. Sikap dan perilaku petugas kesehatan 2. Sikap dan perilaku tokoh masyarakat
Bagan 2.1 Kerangka Teori Sumber : Lawrance Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003)
36
G. Kerangka Konsep
Variabel Independent Pengetahuan Tentang Mencuci Tangan Pada Anak Usia Sekolah
Variabel Dependent Perilaku Mencuci Tangan Anak Usia Sekolah
Bagan 2.2 Kerangka Konsep
H. Variabel Penelitian 1. Variabel Independent Variabel independent dalam penelitian ini adalah pengetahuan tentang mencuci tangan pada anak usia sekolah. 2. Variabel Dependent Variabel dependent dalam penelitian ini adalah perilaku mencuci tangan pada anak usia sekolah.
I. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan yang diajukan pada penelitian ini adalah : Ha
: Ada pengaruh pendidikan kesehatan mencuci tangan terhadap perilaku pada anak usia sekolah di SDN Sinoman Pati.