6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Pinus Pinus terdiri atas banyak spesies, salah satunya adalah Pinus merkusii. Di Indonesia, pinus dikenal dengan nama tusam. Menurut Hendromono et al (2005) dalam Handayani & Indrajaya (2008), Pinus merkusii merupakan jenis pohon pionir berdaun jarum yang termasuk dalam famili Pinaceae. Pohon pinus tumbuh secara alami di Aceh, Sumatera Utara, dan daerah Kerinci. Tanaman pinus di Pulau Jawa didominasi oleh jenis Pinus merkusii Jung et de Vriese yang dapat diuraikan sebagai berikut (Hermansyah 1980 dalam Priyono & Siswamartana 2002) : Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Gymnospermae
Class
: Coniferae
Ordo
: Pinales
Familia
: Pinaceae
Genus
: Pinus
Species
: Pinus merkusii Jungh et de Vriese Pinus merkusii merupakan satu-satunya pinus yang tersebar secara alami
hingga ke Selatan khatulistiwa, tersebar pula di beberapa negara yakni Burma, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Indonesia, dan Filipina. Pohonnya besar dan berbatang lurus. Tegakan masak dapat mencapai tinggi 30 meter dengan diameter 60-80 cm. Untuk tegakan tua, tinggi pohon dapat mencapai 45 cm dengan diameter 140 cm. Tajuk pohon muda berbentuk piramid, setelah tua lebih rata dan tersebar. Kulit pohon muda berwarna abu-abu, sedangkan yang tua berwarna gelap dan beralur dalam. Terdapat 2 jarum dalam satu ikatan, panjang 16-25 cm. Pohon berumah satu dan bunga berkelamin tunggal. Buahnya berbentuk kerucut, silindris, panjang 5-10 cm dan lebar 2-4 cm. Bunga jantan dan bunga betina terdapat dalam satu tunas. Bunga jantan berbentuk stobili, panjangnya 2-4 cm, terutama di bagian bawah tajuk. Strobili betina banyak terdapat pada sepertiga bagian atas tajuk terutama di ujung dahan. Adapun buahnya berbentuk kerucut,
7
panjangnya 5-10 cm dan lebarnya 2-4 cm. Benih bersayap berada pada setiap dasar sisik dan setiap sisik menghasilkan dua benih (Hidayat & Hansen 2001). Persyaratan tumbuh pinus relatif mudah, dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, tanah berpasir dan tanah berbatu, tetapi tidak dapat tumbuh pada tanah yang becek. Jenis ini menghendaki iklim basah sampai agak kering dengan tipe hujan A sampai C, pada ketinggian 200-1700 meter di atas permukaan laut, kadang-kadang tumbuh di bawah ketinggian 200 meter di atas permukaan laut dan mendekati daerah pantai (Priyono & Siswamartana 2002).
2.2 Penyadapan Getah Pinus Pemungutan hasil hutan bukan kayu seperti getah pinus dilakukan dengan cara disadap. Penyadapan pinus pada umumnya dilakukan dengan cara koakan (quarre) baik dengan maupun tanpa bahan perangsang (stimulan). Selain itu, telah banyak dilakukan penyadapan dengan cara lain yaitu metode riil dan metode bor karena suatu metode penyadapan belum tentu cocok diterapkan pada semua lokasi penyadapan (Sumadiwangsa 2000). Berdasarkan bagian pohon yang disadap, terdapat 3 macam penyadapan, yaitu penyadapan pada batang pohon, penyadapan terhadap malai bunga atau buah, dan penyadapan terhadap buah. Penyadapan pada pohon pinus dilakukan terhadap bagian batangnya (Sumadiwangsa & Gusmailina 2006). Menurut Kasmudjo (2011), ada beberapa metode dalam penyadapan getah pinus, yakni diuraikan seperti berikut: a. Metode koakan Sadapan dengan metode ini berbentuk huruf U terbalik dengan jarak mula-mula dari permukaan tanah 15-20 cm. Penyadapan dilakukan dengan cara mengerok kulit batang terlebih dahulu kemudian kayunya dilukai sedalam 1-2 cm, lebar 10 cm, dan tinggi koakan hingga 200 cm. Saat ini, mulai dikembangkan koakan dengan lebar 4-6 cm dan tinggi koakan 240 cm. Pembaruan koakan dilakukan pada hari ke empat. b. Metode V Penyadapan dengan metode V hampir sama dengan metode koakan. Namun, yang membedakannya adalah bentuk pelukaannya berbentuk huruf V. Dari bentuk tersebut, dapat dimodifikasi ke dalam bentuk V ganda atau seri arah ke atas yang
8
disebut dengan bentuk rill. Sadap awal 10 cm dari permukaan tanah dengan kemiringan 30°, ada saluran di tengah V. Lebar pelukaan 5 mm dengan jarak sadapan 5 mm. Frekuensi penyadapan enam hari sekali dengan tinggi maksimal 65 cm tiap tahunnya. c. Metode bor Penyadapan dengan metode ini dilakukan dengan membuat luka pada pohon yang akan disadap dengan cara dibor sedalam 3-12 cm (diameter mata bor ± 3 cm). Pembaruan luka bor bisa ke arah dalam atau di atas dari luka lama. Arah penyebaran sebaiknya 5-10° dari bidang mendatar. Saat ini, mulai dikembangkan sistem bor tertutup yaitu luka sadapan dimasuki selang dan getah yang keluar ditampung dalam plastik atau botol. Frekuensi sadapan dengan metode ini adalah lima sampai tujuh hari sekali. d. Metode goresan atau guratan Metode penyadapan ini biasanya dilakukan pada agathis (kopal) dan karet, sedangkan pada pinus jarang digunakan. Pohon pinus yang akan disadap harus memenuhi beberapa ketentuan, yaitu pohon yang memiliki diameter minimum 20 cm dan pohon yang telah berumur sebelas tahun (Kasmudjo 1982 dalam Sugiyono et al 2001). Selain itu Soetomo (1971) dalam Iriyanto (2007) menyebutkan bahwa dalam melakukan penyadapan getah pinus seorang penyadap dipengaruhi oleh: 1. Musim hujan yang terus menerus menyebabkan suhu udara rendah sehingga getah cepat beku. 2. Adanya mata pencaharian lain. Pekerjaan lain dengan upah yang lebih tinggi menyebabkan penyadap memilih pekerjaan tersebut sehingga penyadapan terganggu. 3. Jarak dari desa ke blok sadapan dan interval pembaruan luka. 4. Situasi pasaran gondorukem. 5. Intensitas pengawasan. Besar kecilnya upah yang diterima oleh penyadap sangat ditentukan oleh produktivitas getah pinus. Menurut Matangaran (2006), dari berbagai hasil penelitian, produksi getah pinus dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu luas areal sadap, kualitas tempat tumbuh, ketinggian tempat tumbuh, jumlah koakan tiap
9
pohon, jangka waktu pelukaan, sifat genetis pohon, perlakuan kimia berupa pemberian stimulan, keterampilan penyadap, arah sadapan dan lain-lain. Penelitian Kasmudjo (2011) menyebutkan bahwa produksi getah pinus dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni: 1. Faktor internal (dalam pohon), yaitu: a. Jenis pohon pinus, masing-masing jenis pinus menghasilkan produktivitas hasil getah yang berbeda, misalnya Pinus merkusii 6,0 kg/pohon/tahun, Pinus palutris 4,2 kg/pohon/tahun, dan Pinus martima 3,0 kg/pohon/tahun. b. Jumlah (persen) kayu gubal, jenis pinus dengan jumlah kayu gubal yang lebih banyak pada batang kayunya, maka pohon pinus tersebut dapat menghasilkan getah pinus total lebih banyak. Selain itu, karena daerah kayu gubal merupakan tempat akumulasi getah tertinggi (sekitar 36%). c. Kesehatan pohon, pinus dengan kesehatan yang baik, memungkinkan menghasilkan getah lebih banyak. d. Sistem perakaran, pinus dengan sistem perakaran yang memadai (luas) berarti dapat menyerap zat makanan dari dalam tanah dengan lebih baik sehingga hasil getahnya lebih banyak. e. Persen tajuk (lebar dan tinggi tajuk pohon), pinus dengan tajuk yang lebih banyak memungkinkan proses fotosintesis lebih optimal sehingga menghasilkan getah lebih banyak. 2. Faktor eksternal (lingkungan, luar pohon), yaitu: a. Jarak tanam, hutan pinus dengan jarak tanam yang jarang pada umumnya akan tumbuh lebih baik sehingga menghasilkan getah pinus lebih banyak. b. Iklim dan tempat tumbuh, pohon atau hutan pinus yang tumbuh di daerah dengan curah hujan rata-rata kurang dari 2000 mm/tahun, suhu antara 2228°C dan tinggi tempatnya antara 400-700 m dari permukaan laut menghasilkan getah optimal. c. Bonita, pada tanah yang subur memungkinkan menghasilkan getah pinus lebih banyak. 3. Faktor perlakuan (oleh manusia) a. Bentuk sadapan, hasil getah dari sadapan bentuk koakan paling banyak, kemudian menyusul bentuk rill dan bor.
10
b. Arah sadapan, arah menghadapnya luka sadapan tersebut. Arah sadapan menghadap ke timur paling banyak menghasilkan getah kemudian menghadap ke utara, selatan, dan barat. c. Arah pembaruan, pembaharuan ke arah atas produksi getahnya lebih banyak dibandingkan ke arah bawah. d. Penggunaan stimulan, upaya perangsangan pada luka sadapan dengan bahan kimia asam. Upaya stimulansia harus menggunakan pedoman yang teliti agar tidak merugikan. Bahan stimulansia yang dapat digunakan antara lain asam sulfat, socepas, asam oksalat, CuSO4, ethrel, bolus alba dan sebagainya.
2.3 Produk Getah Pinus Pada awalnya, tujuan penanaman pinus di Perum Perhutani adalah untuk menghasilkan kayu. Kemudian dicoba untuk dilakukan penyadapan yang diteruskan dengan penyulingan hingga menghasilkan gondorukem dan terpentin (Sumadiwangsa 2000). Gondorukem dapat digunakan secara murni maupun sebagai campuran, yaitu: a. Dalam industri batik, gondorukem digunakan sebagai bahan pencampur lilin batik sehingga diperoleh malam. Kebutuhan gondorukem dalam industri ini kira-kira 2.500 ton/tahun. b. Dalam industri kertas, gondorukem digunakan sebagai bahan sizing (pengisi) dalam pembuatan kertas. Kebutuhan gondorukem dalam industri ini kira-kira 0,5% dari produksi kertas atau 2.000 ton/tahun. c. Dalam industri sabun, gondorukem digunakan sebagai bahan pencampur dibutuhkan kira-kira 5-10% dari berat sabun. d. Gondorukem juga dipakai untuk pembuatan varnish, tinta cetak, bahan isolasi listrik, korek api, lem, industri kulit dan lain-lain. Terpentin digunakan untuk minyak cat, campuran parfum, detergent, flavouring agent, protective coating, insektisida, lubricants, medicine, plastic, rubber, dan sebagainya (Soenardi 1983).
11
2.4 Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Menurut Rahim & Hastuti (2007), pendapatan dan pengeluaran dalam rumah tangga merupakan hal yang penting dalam kehidupan berumah tangga, baik rumah tangga petani maupun bukan rumah tangga petani. BPS (1995) mendefinisikan bahwa rumah tangga adalah sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik dan biasanya tinggal bersama serta makan bersama dari satu dapur atau seseorang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan serta mengurus keperluannya sendiri. Orang yang tinggal di rumah tangga ini disebut anggota rumah tangga, sedangkan orang yang bertanggung jawab terhadap rumah tangga adalah kepala rumah tangga. Sebuah rumah tangga bisa terdiri atas satu orang, sedangkan sebuah keluarga terdiri atas minimal dua orang. Berdasarkan keterkaitan antara keluarga dan rumah tangga, maka rumah tangga terdiri atas dua macam, yakni (Sumarwan 2011): 1. Rumah tangga keluarga Rumah tangga keluarga adalah sebuah rumah tangga yang anggotaanggotanya terikat oleh hubungan perkawinan, darah, atau adopsi. Rumah tangga keluarga terdiri atas: a. Rumah tangga suami dan istri. b. Rumah tangga suami, istri, dan anak-anaknya. c. Rumah tangga suami dan istri, dan anak-anak tinggal di rumah tangga yang berbeda (misalnya anak sekolah di luar kota atau sudah memiliki rumah sendiri). d. Rumah tangga orang tua tunggal (ayah saja atau ibu saja), dan e. Rumah tangga lainnya (saudara sekandung, atau anggota keluarga lainnya tinggal bersama dalam satu rumah). 2. Rumah tangga bukan keluarga Rumah tangga bukan keluarga adalah sebuah rumah tangga yang anggotaanggotanya tidak terikat oleh hubungan perkawinan, darah, atau adopsi. Rumah tangga bukan keluarga terdiri atas: a. Rumah tangga yang dihuni oleh seorang pria sendiri b. Rumah tangga yang dihuni oleh seorang wanita sendiri, dan
12
c. Rumah tangga yang dihuni oleh dua orang atau lebih yang tidak memiliki hubungan keluarga.
2.4.1 Pendapatan Rumah Tangga Pendapatan rumah tangga adalah pendapatan kepala rumah tangga dan anggota rumah tangga sesuai dengan mata pencaharian utama ditambah dengan mata pencaharian tambahan yang diperoleh rumah tangga tersebut per satuan waktu (Soemitro 1981 dalam Prabandari 1997). Menurut Rahardja dan Manurung (1999), ada tiga sumber pendapatan rumah tangga, yaitu: 1. Pendapatan dari gaji dan upah Gaji dan upah adalah balas jasa terhadap kesediaan menjadi tenaga kerja. Besar gaji atau upah seseorang secara teoritis bergantung dari produktivitasnya. Upah adalah imbalan jasa yang diterima seseorang di dalam hubungan kerja yang berupa uang atau barang, melalui perjanjian kerja, imbalan jasa diperuntukkan memenuhi bagi dirinya dan keluarganya (Ravianto 1985). Menurut Badrudin (1974) dalam Hidayat (1999), penetapan upah di perusahaan di bidang kehutanan dapat digolongkan menjadi dua yakni: a. Penetapan upah dengan dasar waktu Dasar yang digunakan adalah waktu selama dilakukan pekerjaan dalam hari, minggu atau bulanan. Karyawan yang menerima cara pengupahan seperti ini adalah karyawan tetap. Kelebihan dari cara ini adalah sederhana dalam pemeriksaan, pendaftaran, dan kualitas hasil pekerjaan tinggi. Akan tetapi, cara penetapan upah seperti ini tidak memberi semangat untuk mencapai prestasi kerja yang tinggi dan sukar dalam perhitungan harga pokok. b. Penetapan upah dengan dasar prestasi Dasar yang digunakan adalah prestasi kerja. Cara ini lazim disebut juga cara borongan. Pekerja menerima upah bergantung kepada pestasi yang telah dilakukan dalam waktu yang telah disediakan sehingga jumlah upah tiap bulan bisa bervariasi. Penetapan upah dengan cara ini memiliki beberapa kelebihan di antaranya mudah dalam hal pelaksanaan dan pengawasan, sederhana dalam hal pendaftaran, serta baik untuk perhitungan harga pokok. Kelemahan dari penetapan upah dengan dasar prestasi ini mengakibatkan pekerja terkadang harus
13
mengeluarkan tenaga yang melebihi kemampuannya untuk mencapai upah yang tinggi. 2. Pendapatan dari aset produktif Aset produktif adalah aset yang memberikan pemasukan atas balas jasa penggunaannya. 3. Pendapatan dari pemerintah (transfer payment) Pendapatan dari pemerintah adalah pendapatan yang diterima bukan sebagai balas jasa atas input yang diberikan. Di negara-negara yang telah maju, penerimaan transfer diberikan, misalnya dalam bentuk tunjangan penghasilan bagi para pengangguran (unemployment compensation), jaminan sosial bagi orangorang miskin dan berpendapatan rendah.
2.4.2 Pengeluaran Rumah Tangga Total pengeluaran rumah tangga adalah sejumlah pengeluaran berbentuk uang yang dilakukan oleh suatu rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dalam kurun waktu tertentu (BPS 2000 dalam Sulistiana 2008). Menurut Sumarwan (2011), jumlah anggota keluarga atau rumah tangga akan menentukan jumlah dan pola konsumsi suatu barang dan jasa. Rumah tangga dengan jumlah anggota yang lebih banyak akan membeli dan mengonsumsi beras, daging, sayuran, dan buah-buahan yang lebih banyak dibandingkan dengan rumah tangga yang memiliki anggota lebih sedikit. Jumlah anggota keluarga akan menggambarkan potensi permintaan terhadap suatu produk dari sebuah rumah tangga.
2.5 Kesejahteraan Kemiskinan dimaknai sebagai kurangnya kesejahteraan dan kesejahteraan sebagai berkurangnya kemiskinan. Kemiskinan berarti kurangnya pendapatan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga atau kekurangan kekayaan untuk memberi stabilitas atau menghadapi perubahan seperti kehilangan pekerjaan, sakit atau krisis lainnya. Kemiskinan dapat juga berarti bahwa kebutuhan dasar yang lain, seperti kesehatan, pendidikan atau perumahan, tidak memadai. Akan tetapi, kemiskinan juga subjektif, dan dapat disebabkan oleh perasaan, seperti kehilangan, kerentanan, keterkucilan, malu atau sakit. Seseorang
14
dapat merasa miskin jika kesejahteraannya turun, atau jika dia membandingkan dirinya dengan orang lain yang keadaannya lebih baik (CIFOR 2007). Menurut Suparlan (1986), kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Salim (1980) dalam Dharmawan et al. (2010) menyebutkan bahwa penduduk miskin dapat dicirikan dengan: 1) rata-rata tidak mempunyai faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, peralatan kerja, dan keterampilan, 2) mempunyai tingkat pendidikan yang rendah, 3) kebanyakan bekerja atau berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil (sektor informal), setengah menganggur atau menganggur (tidak bekerja), 4) kebanyakan berada di pedesaan atau daerah tertentu perkotaan (slum area), dan 5) kurangnya kesempatan untuk memperoleh (dalam jumlah yang cukup) : bahan kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, fasilitas kesehatan, air minum, pendidikan, angkutan, fasilitas komunikasi, dan kesejahteraan sosial lainnya. Kemiskinan yang terjadi di perdesaan menyebabkan kesejahteraan masyarakat menjadi rendah. Pendapatan masyarakat yang rendah dan tingginya tingkat pengangguran menyebabkan meningkatnya arus migrasi ke kota (urbanisasi). Secara umum kemiskinan menyebabkan efek yang hampir sama di semua negara. Kemiskinan menyebabkan hilangnya kesejahteraan bagi kalangan miskin (sandang, pangan, papan), hak akan pendidikan, hak atas kesehatan, tersingkirnya dari pekerjaan yang layak secara kemanusiaan, termarjinalkan dari hak atas perlindungan hukum, hak atas rasa aman, hak atas partisipasi terhadap pemerintahan dan keputusan publik, hak atas spritualitas, hak untuk berinovasi, dan yang lebih penting hak atas kebebasan hidup (Muttaqien 2006). CIFOR (2007) juga menyebutkan ada beberapa pendekatan untuk secara resmi menentukan kemiskinan dalam suatu populasi dan menetapkan siapa yang miskin. Salah satunya adalah dengan menarik garis kemiskinan. Garis kemiskinan menandai level konsumsi minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan fisik dasar. Individu yang berada di bawah garis ini dianggap miskin. Kebanyakan
15
negara memiliki definisi sendiri mengenai garis kemiskinan tersebut dan, oleh karena itu, kemiskinan sangat berlainan dari satu negara ke negara lain. Mengacu pada teori garis kemiskinan Sajogyo (1971) dalam BPS (2008), kesejahteraan rumah tangga responden diukur dengan pendekatan tingkat pengeluaran yang ekuivalen dengan konsumsi beras (kg) per orang per tahun di daerah perdesaan dan perkotaan. Di daerah perkotan, kriteria rumah tangga paling miskin jika konsumsi beras berkisar antara 0-270 kg/orang/tahun, miskin sekali jika konsumsi beras berkisar antara 270-360 kg/orang/tahun, kriteria miskin jika konsumsi beras 360-480 kg/orang/tahun, dan apabila tingkat konsumsi beras lebih dari 480 kg/orang/tahun maka rumah tangga tersebut dikategorikan tidak miskin. Untuk perdesaan, kriteria yang menyatakan paling miskin jika konsumsi beras berkisar antara 0-180 kg/orang/tahun, kriteria miskin sekali jika konsumsi beras berkisar antara 180-240 kg/orang/tahun, kriteria miskin jika konsumsi beras berkisar antara 240-320 kg/orang/tahun, dan kriteria tidak miskin jika konsumsi beras lebih dari 320 kg/orang/tahun. Adapula bentuk pendekatan lain untuk mengukur kemiskinan secara global, yakni kriteria kemiskinan menurut Bank Dunia. Bank Dunia menggunakan indikator pendapatan per kapita US$1 per hari. Orang dianggap miskin jika pendapatannya di bawah standar tersebut (CIFOR 2007).