BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Karies Gigi 1. Pengertian Karies merupakan suatu penyakit pada jaringan keras gigi, yaitu email, dentin dan sementum yang disebabkan aktivitas jasad renik yang ada dalam suatu karbohidrat yang diragikan. Proses karies ditandai dengan terjadinya demineralisasi pada jaringan keras gigi, diikuti dengan kerusakan bahan organiknya. Hal ini akan menyebabkan terjadinya invasi bakteri dan kerusakan pada jaringan pulpa serta penyebaran infeksi ke jaringan periapikal dan menimbulkan rasa nyeri. Proses terjadinya karies gigi karena adanya interaksi berbagai faktor yang melibatkan adanya jasat renik( agent ) , inang ( gigi) lingkungan diet didalam rongga mulut sampai terjadinya karies gigi di butuhkan adanya faktor waktu (Koerniati, 2006).
2. Proses Terjadinya Karies Gigi Proses terjadinya karies gigi dimulai dengan adanya plak di permukaan gigi, sukrosa (gula) dari sisa makanan dan bakteri berproses menempel pada waktu tertentu yang berubah menjadi asam laktat yang akan menurunkan pH mulut menjadi kritis (5,5) yang akan menyebabkan demineralisasi email berlanjut menjadi karies gigi ( Schuurs, 1993). Secara perlahan-lahan demineralisasi interna berjalan ke arah dentin melalui lubang fokus tetapi belum sampai kavitasi (pembentukan lubang). Kavitasi baru timbul bila dentin terlibat dalam proses tersebut. Namun kadang-kadang begitu banyak mineral hilang dari inti lesi sehingga permukaan mudah rusak secara mekanis, yang menghasilkan kavitasi yang makroskopis dapat dilihat. Pada karies dentin yang baru mulai yang terlihat hanya lapisan keempat (lapisan transparan, terdiri atas tulang dentin sklerotik, kemungkinan membentuk rintangan terhadap mikroorganisme dan enzimnya) dan lapisan kelima (lapisan opak/ tidak tembus penglihatan, didalam tubuli terdapat lemak yang mungkin merupakan gejala degenerasi cabang-cabang odontoblas). Baru setelah terjadi kavitasi, bakteri akan 6
menembus tulang gigi. Pada proses karies yang amat dalam, tidak terdapat lapisanlapisan tiga (lapisan demineralisasi, suatu daerah sempit, dimana dentin partibular diserang), lapisan empat dan lapisan lima ( Schuurs, 1993).
3. Kecepatan Proses Akumulasi plak pada permukaan gigi utuh dalam dua sampai tiga minggu menyebabkan terjadinya bercak putih. Waktu terjadinya bercak putih menjadi kavitasi tergantung pada umur, pada anak-anak satu setengah tahun, dengan kisaran enam bulan ke atas dan ke bawah, pada umur 15 tahun, dua tahun dan pada umur 21-24 tahun, hampir tiga tahun. Tentu saja terdapat perbedaan individual. Sekarang ini karena banyak pemakaian flourida, kavitasi akan berjalan lebih lambat daripada dahulu (Schuurs, 1993). Pada anak-anak, kemunduran berjalan lebih cepat dibanding orang tua, hal ini disebabkan : a. Email gigi yang baru erupsi lebih mudah diserang selama belum selesai maturasi setelah erupsi (meneruskan mineralisasi dan pengambilan flourida) yang berlangsung terutama satu tahun setelah erupsi b. Remineralisasi yang tidak memadai pada anak-anak, bukan karena perbedaan fisiologis, tetapi sebagai akibat pola makannya (sering makan makanan kecil) c. Lebar tumbuli pada anak-anak mungkin menyokong terjadinya sklerotisasi yang tidak memadai d. Diet yang buruk, dibandingkan dengan orang dewasa, pada anak-anak terdapat jumlah ludah dari kapasitas buffer yang lebih kecil, diperkuat oleh aktivitas proteolitik yang lebih besar di dalam mulut ( Schuurs, 1993).
4. Faktor- Faktor Internal Terjadinya Karies Gigi a. Adanya mikroorganisme streptococcus mutans atau kuman yang mengeluarkan toxin yang tidak dapat dilihat oleh mata biasa. Streptococcus berperan dalam proses awal karies yaitu lebih dulu masuk lapisan luar email. Selanjutnya 7
lactobacilus mengambil alih peranan pada karies yang lebih merusak gigi. Mikroorganisme
menempel
di gigi
bersama
plak. Plak
terdiri dari
mikroorganisme dan bahan antar sel. Plak akan tumbuh bila ada karbohidrat (Suwelo, 1992). b. Terdapatnya sisa-sisa makanan yang terselip pada gigi dan gusi terutama makanan yang mengandung karbohidrat dan makanan yang lengket seperti permen, coklat, biskuit, dan lain-lain. c. Permukaan gigi dan bentuk gigi. Komposisi gigi sulung terdiri dari email dan dentin. Dentin adalah lapisan di bawah email. Permukaan email lebih banyak mengandung mineral dan bahan organik dengan air yang relative lebih sedikit. Permukaan email terluar lebih tahan karies dibanding lapisan bawahnya, karena lebih keras dan lebih padat. Struktur email sangat menentukan dalam proses terjadinya karies (Suwelo, 1992). d. Frekuensi makan makanan yang menyebabkan karies ( makanan kariogenik ). Frekuensi makan dan minum tidak hanya menimbulkan erosi, tetapi juga kerusakan gigi atau karies gigi. Konsumsi makanan manis pada waktu senggang jam makan akan lebih berbahaya daripada saat waktu makan utama. e. Derajat keasaman saliva berperan dalam menjaga gigi. Karena Saliva merupakan pertahanan pertama terhadap karies, ini terbukti pada penderita xerostomia (produksi ludah yang kurang) dimana akan timbul kerusakan gigi menyeluruh dalam waktu singkat (Suwelo, 1992). Saliva berfungsi sebagai pelicin, pelindung, penyangga, pembersih, pelarut dan anti bakteri. Saliva memegang peranan lain yaitu dalam proses terbentuknya plak gigi,saliva juga merupakan media yang baik untuk kehidupan mikro organisme tertentu yang berhubungan dengan karies gigi (Suwelo, 1992). f. Kebersihan mulut yang buruk akan mengakibatkan prosentase karies lebih tinggi (Tarigan, 1993). Untuk mengukur indeks status kebersihan mulut, digunakan Oral Hygiene Index Simplified (OHI-S) dari green dan vermillon. Indeks ini merupakan gabungan yang menetukan skor debris dan deposit kalkulus baik untuk semua atau hanya untuk permukaan gigi yang terpilih saja.
8
Debris rongga mulut dan kalkulus dapat diberi skor secara terpisah. Skor debris rongga mulut adalah sebagai berikut :
Skor 0 :
Tidak ada debris sama sekali
1:
Debris ada di sepertiga servikal permukaan gigi
2:
Debris sampai mencapai daerah pertengahan oksula / insisial permukaan gigi
3:
Debris sampai mencapai daerah oksula / insisial permukaan gigi
5. Faktor Eksternal Terjadinya Karies Gigi Faktor luar yang berhubungan tidak langsung dengan proses terjadinya karies, antara lain : a. Usia Sejalan dengan pertambahan usia seseorang, jumlah karies pun akan bertambah. Hal ini jelas, karena faktor risiko terjadinya karies akan lebih lama berpengaruh terhadap gigi. Anak yang pengaruh faktor risiko terjadinya karies kecil akan menunjukkan jumlah karies lebih besar dibanding yang kuat pengaruhnya (Suwelo, 1992). b. Letak geografis Perbedaan prevalensi karies ditemukan pada penduduk yang geografis letak kediamannya berbeda seperti lamanya matahari bersinar, suhu, cuaca, air, keadaan tanah, dan jarak dari laut. Kandungan flour 1 ppm dalam air akan berpengaruh terhadap penurunan karies ( Suwelo, 1992). c. Pengetahuan, sikap, persepsi dan perilaku terhadap pemeliharaan kesehatan gigi Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan/ kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang ( Notoatmodjo, 2003). Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek yang diterimanya. Sikap itu belum merupakan tindakan, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan (Notoatmodjo, 2003).
9
Persepsi merupakan suatu proses yang di dahului oleh proses di terimanya dari seseorang dan di stimulusasikan oleh individu melalui alat indera stimulus tersebut di teruskan dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi (Walgito, 2004). Tindakan atau praktek yaitu suatu respon seseorang terhadap rangsangan dari luar subyek, bisa bersifat positif atau tindakan secara langsung dan bersifat negatif atau sudah tampak dalam tindakan nyata (Notoatmodjo, 2003). Fase perkembangan anak usia sekolah masih sangat tergantung pada pemeliharaan dan bantuan orang dewasa dan pengaruh paling kuat dalam masa tersebut adalah dari ibunya. Peran ibu sangat menentukan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Demikian juga keadaan kesehatan gigi dan mulut anak usia sekolah masih sangat ditentukan oleh pengetahuan, sikap dan perilaku ibunya (Suwelo, 1992).
d. Minat anak terhadap kesehatan gigi Minat pada kesehatan gigi timbul karena anak sadar akan peranan kesehatan gigi bagi penampilan. Penampilan yang sama seperti anak- anak yang lain seperti karies gigi, menjadikan anak tidak ada motivasi untuk melakukan kebersihan dan perawatan kesehatan gigi. Semakin besar kritik orang tua, semakin kuat perlawanan anak dan semakin kurang minatnya dalam melakukan kebersihan gigi. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu komponen dalam pembentukan karies adalah plak. Insiden karies dapat dikurangi dengan melakukan penyingkiran plak secara mekanis dari permukaan gigi, namun banyak pasien tidak melakukannya secara efektif. Peningkatan oral higiene dapat dilakukan dengan menggunakan alat pembersih interdental yang dikombinasi dengan pemeriksaan gigi secara teratur. Pemeriksaan gigi rutin ini dapat membantu mendeteksi dan memonitor masalah gigi yang berpotensi menjadi karies (Hurlock, 2007).
6. Jenis Karies Gigi a. Karies Insipiens Merupakan karies yang terjadi pada permukaan email gigi ( lapisan terluar dan terkaras dari gigi ), dan belum terasa sakit hanya ada pewarnaan hitam atau cokelat pada email. 10
b. Karies Superfisialis Merupakan karies yang sudah mencapai bagian dalam dari email dan kadangkadang terasa sakit. c. Karies Media Merupakan karies yang sudah mencapai bagian dentin ( tulang gigi ) atau bagian pertengahan antara permukaan gigi dan kamar pulpa. Gigi biasanya terasa sakit bila terkena rangsangan dingin, makanan asam dan manis. d. Karies Profunda Merupakan karies yang telah mendekati atau bahkan telah mencapai pulpa sehingga terjadi peradangan pada pulpa. Biasanya terasa sakit secara tiba-tiba tanpa rangsangan apapun. Apabila tidak segera diobati dan ditambal maka gigi akan mati, dan untuk perawatan selanjutnya akan lebih lama dibandingkan pada karies-karies lainnya (Schuur, 1993).
B. Persepsi Anak Terhadap Pola Asuh Orang Tua 1. Persepsi Persepsi merupakan suatu proses yang di dahului oleh proses di terimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga di sebut proses sensori. Namun proses itu tidak berhenti begitu saja, melainkan stimulus tersebut di teruskan dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi (Walgito, 2004). Persepsi dapat diartikan sebagai proses diterimanya rangsang melalui pancaindra yang didahului oleh perhatian sehingga individu mampu mengetahui, mengartikan, dan menghayati tentang hal yang diamati, baik yang ada diluar maupun dalam diri individu (Sunaryo, 2004). Persepsi
adalah proses
internal yang
memungkinkaan
kita memilih,
mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut mempengaruhi perilaku kita . Persepsi adalah inti komunikasi, sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah inti persepsi. Persepsi menentukan kita memilih suatu pesan dan mengabaikan pesan yang lain (Mulyana, 2004).
11
a. Macam – macam Persepsi Ada dua macam persepsi, yaitu : 1) External perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsang yang datang dari luar diri individu. 2) Self-perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsang yang berasal dari dalam diri individu. Dalam hal ini yang menjadi obyek adalah dirinya sendiri. (Sunaryo, 2004) b. Syarat terjadi persepsi (Sunaryo, 2004) antara lain : 1) Adanya obyek : Obyek mempengaruhi
stimulus dan dari
stimulus itu di teruskan ke alat indra ( reseptor). Stimulus berasal dari luar individu (langsung mengenai alat indra / reseptor) dan dari dalam diri individu (langsung mengenai saraf sensoris yang bekerja sebagai reseptor). 2) Adanya perhatian sebagai langkah pertama untuk mengadakan persepsi. 3) Adanya alat indra sebagai reseptor penerima stimulus. 4) Saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak ( pusat saraf atau pusat kesadaran). Dan otak dibawa melalui saraf motoris sebagai alat untuk mengadakan respon. c. Jenis-jenis persepsi Menurut
Walgito
persepsimelalui
(1997)
indera
ada
beberapa
pendengaran,
jenis
persepsi
persepsi
yaitu:
melalui
indera
penciuman, persepsi melalui indera pengecap dan persepsi melalui indera kulit atau perasa. Sedangkan menurut Irwanto (1997) ada dua jenis persepsi yaitu: 1)
Persepsi positif, yaitu persepsi yang menggambarkan segala pengetahuan dan tanggapan yang selaras dengan objek persepsi yang diteruskan dengan upaya pemanfaatannya.
2) Persepsi negatif, yaitu persepsi yang menggambarkan segala pengetahuan dan tanggapan yang tidak selaras dengan objek persepsi. Hal ini akan diteruskan dengan kepastian untuk 12
menerima atau menolak dan menentang segala usaha objek yang dipersepsikan. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa persepsi berasal dari panca indera, apabila persepsi tersebut selaras dengan pengetahuan maka hal tersebut dikatakan sebagai persepsi positif, akan tetapi jika objek persepsi tidak selaras dengan pengetahuan maka hal tersebut akan menjadi persepsi negatif.
d. Proses Terjadinya Persepsi ( Sunaryo, 2004) Persepsi melewati tiga proses,yaitu : 1) Proses fisik (kealaman)merespon obyek lalu di stimulusikan melalui reseptor atau alat indra. 2) Proses fisiologis ,respon stimulus lalu di tangkap oleh saraf sensoris lalu di teruskan ke otak Proses psikologis menuju proses dalam otak sehingga individu menyadari stimulus yang diterima melalui alat pengindra.
2. Pola asuh orang tua Pola pengasuhan (parenting) atau perawatan anak sangat bergantung pada nilainilai yang dimiliki keluarga (Supartini, 2002). Pola asuh merupakan proses dari tindakan yang mempunyai tujuan untuk dicapai sedang masa tersebut dimulai dari masa kehamilan (Wong, 2003). Kata asuh sendiri mempunyai arti suatu kebutuhan akan fisis- biomedis (Narendra,dkk, 2002). Pengasuhan (parenting) memerlukan sejumlah kemampuan interpersonal dan mempunyai tuntutan emosi yang besar, namun sangat sedikit pendidikan formal mengenai tugas ini. Kebanyakan orang tua mempelajari praktik pengasuhan dari orang tua sendiri.sebagian praktik tersebut mereka terima, namun sebagian lagi mereka tinggalkan. Gaya pengasuhan yang berbeda itu kelak mempengaruhi perkembangan anak (Santrock, 2007).
13
Pada
dasarnya
memepertahankan
tujuan kehidupan
utama fisik
pengasuhan anak
dan
orang
tua
meningkatkan
adalah
untuk
kesehatannya,
memfasilitasi anak untuk mengembangkan kemampuan sejalan dengan tahapan perkembangannya dan mendorong peningkatan kemampuan berperilaku sesuai dengan nilai agama dan budaya yang diyakininya. Kemampuan orang tua atau keluarga menjalankan peran pengasuhan ini tidak dipelajari secara formal melainan berdasarkan pengalaman dalam menjalankan peran tersebut secara trial dan error atau mempengaruhi orang tua/ keluarga lain terdahulu (Supartini, 2002) Menurut Strewart dan Koch (1983), dalam Tarmudji (2003) ada tiga bentuk pola asuh orang tua, yaitu : a. Pola asuh otoriter Pola asuh otoriter adalah suatu gaya pengasuhan yang membatasi dan menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua (Desmita, 2005). Menurut Stewart dan Koch (1983), dalam Tarmudji (2001) orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri-ciri bersifat kaku, tegas, suka menghukum dan kurang kasih sayang. Orang tua memaksa anak-anak untuk patuh terhadap nilai-nilai dan peraturan mereka. Dalam memberikan peraturan itu tidak ada usaha untuk menjelaskan kepada anak mengapa ia harus patuh pada peraturan itu (Hurlock, 1999). Anak dari orang tua yang otoriter cenderung bersifat curiga pada orang lain dan merasa tidak bahagia dengan dirinya sendiri merasa canggung berhubungan dengan teman sebaya, canggung menyesuaikan diri pada awal masuk sekolah dan memiliki prestasi belajar yang rendah dibandingkan dengan anak-anak lain. Adapun dampak dari perkembangan motorik terhadap pola asuh otoriter adalah anak cenderung agresif, impulsive, pemurung dan kurang mampu konsentrasi.
b. Pola asuh demokratis Pola asuh demokratis adalah salah satu gaya pengasuhan yang memperlihatkan pengawasan ekstra ketat terhadap tingkah laku anak-anak, tetapi mereka juga bersikap resposif (Desmita, 2005). Menurut Stewart dan Koch (1983), dalam Tarmudji (2003) bahwa orang tua yang demokratis memandang sama kewajiban 14
dan hak antara anak dan orang tua. Secara bertahap orang tua memberikan tanggung jawab bagi anak-anaknya terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka dewasa. Lebih lanjut (Suherman, 2000) menyatakan bahwa orang tua yang demokratis memperlakukan anak sesuai dengan tingkat-tingkat perkembangan motorik anak dan dapat memperhatikan serta mempertimbangkan keinginan anak. Dampak perkembangan motorik terhadap pola asuh demokratis yaitu rasa harga diri yang tinggi, memiliki moral yang standar, kematangan psikologisosial, kemandirian dan mampu bergaul dengan teman sebayanya.
c. Pola Asuh Permisif Menurut Stewart dan Koch (1983) dalam Tarmudji (2003) menyatakan bahwa pola asuh permisif anak dituntut sedikit sekali tanggung jawab tetapi mempunyai hak yang sama seperti orang dewasa. Anak diberi kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri dan orang tua tidak banyak mengatur anaknya. Dalam pola asuh ini diasosiasikan dengan kurangnya kemampuan pengendalian diri anak karena orang tua yang cenderung membiarkan anak mereka melakukan apa saja yang mereka inginkan dan akibatnya anak selalu mengharap semua keinginannya dituruti (Desmita, 2005). Lebih lanjut menurut Hurlock (1976) dalam Tarmudji (2003) bahwa dalam pola asuh permisif bimbingan terhadap anak kurang dan semua keputusan lebih banyak dibuat oleh anak daripada orang tuanya. Dalam pola asuh ini sikap acceptance orang tua tinggi namun tingkat kontrolnya rendah (Yusuf, 2001). Dampak dari perkembangan motorik terhadap pola asuh permisif yaitu kurang percaya diri, pengendalian diri yang buruk dan rasa harga diri yang rendah. Pola asuh dipengaruhi oleh faktor budaya, agama, kebiasaan dan kepercayaan serta kepribadian orang tua. Selain itu dipengaruhi pola asuh yang dirasakan orang tua saat kecil (Markum, 1998). Erikson menyebutkan bahwa pola pengasuhan diawal kehidupan seseorang akan melandasi kepribadian yang akan terus berkembang pada fase-fase berikutnya. Proses pengasuhan dimasa bayi, akan mendasari kepibadian dimasa remaja, dan seterusnya. Proses tersebut akan berlanjut 15
seumur hidupnya. Dengan demikian tampaklah bahwa kepribadian seseorang tidak dapat lepas begitu saja dari proses pengasuhan difase-fase sebelumnya (Yusuf, 2004). Menurut Dariyo (2004), membagi bentuk pola asuh orang tua menjadi empat,yaitu : a. Pola Asuh Otoriter (parent oriented) Ciri-ciri dari pola asuh ini, menekankan segala aturan orang tua harus ditaati oleh anak. Orang tua bertindak semena-mena, tanpa dapat dikontrol oleh anak. Anak harus menurut dan tidak boleh membantah terhadap apa yang diperintahkan oleh orang tua. Dalam hal ini, anak seolah-olah menjadi “robot”, sehingga ia kurang inisiatif, merasa takut tidak percaya diri, pencemas, rendah diri, minder dalam pergaulan tetapi disisi lain, anak bisa memberontak, nakal, atau melarikan diri dari kenyataan, misalnya dengan menggunakan narkoba. Dari segi positifnya, anak yang dididik dalam pola asuh ini, cenderung akan menjadi disiplin yakni mentaati peraturan. Akan tetapi bisa jadi, ia hanya mau menunjukkan kedisiplinan di hadapan orang tua, padahal dalam hatinya berbicara lain, segi negatifnya ketika di belakang orang tua, anak bersikap dan bertindak lain. Hal itu tujuannya semata hanya untuk menyenangkan hati orang tua. Jadi anak cenderung memiliki kedisiplinan dan kepatuhan yang semu. b. Pola Asuh Permisif (children centered) Sifat pola asuh ini, yakni segala aturan dan ketetapan keluarga di tangan anak. Apa yang dilakukan oleh anak diperbolehkan orang tua. Orang tua menuruti segala kemauan anak. Anak cenderung bertindak semena-mena , tanpa pengawasan orang tua. Ia bebas melakukan apa saja yang diinginkan. Dari sisi negatif lain, anak kurang disiplin dengan aturan-aturan sosial yang berlaku. Dari segi positifnya bila anak mampu menggunakan kebebasan tersebut secara bertanggung jawab , maka anak akan menjadi seorang yang mandiri, kreatif, inisiatif dan mampu mewujudkan aktualisasinya. c. Pola Asuh Demokratis Kedudukan antara orang tua dan anak sejajar. Suatu keputusan diambil bersama dengan mempertimbangkan kedua belah pihak. Anak diberi kebebasan yang 16
bertanggung jawab, artinya apa yang dilakukan oleh anak tetap harus dibawah pengawasan orang tua dan dapat dipertanggung jawabkan secara moral. Orang tua dan anak tidak dapat berbuat semena-mena. Anak diberi kepercayaan dan dilatih untuk mempertanggung jawabkan segala tindakannya. Akibat positif dari pola asuh ini, anak akan menjadi seorang individu yang mempercayai orang lain, bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakannya, tidak munafik, jujur. Namun akibat negatif, anak akan cenderung merongrong kewibawaan otoritas orang tua, kalau segala sesuatu harus dipertimbangkan anak dan orang tua.
d. Pola Asuh Situsional Pada pola asuh ini orang tua tidak menerapkan salah satu tipe pola asuh tertentu. Tetapi kemungkinan orang tua menerapkan pola asuh secara fleksibel,luwes dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berlangsung saat itu. Pola asuh orang tua yang permisif / membiarkan anak berbuat sesuka hati,dengan sedikit kekangan. Hal ini menjadikan suatu rumah tangga yang berpusat pada anak. Sikap permisif yang tidak berlebihan, akan menjadikan anak mandiri, cerdik, dan penyesuaian sosial yang baik. Sikap ini juga di lihat dari segi positifnya menumbuhkan rasa percaya diri, kreativitas dan sikap matang. Dari segi negatifnya misal pola asuh permisif terlalu berlebih akan menjadikan anak kurang percaya diri, sikapnya kurang matang yang buruk dalam penyesuaian sosial (Hurlock, 2007).
3. Persepsi Anak Terhadap Pola Asuh Orang Tua
Persepsi anak adalah sesuatu yang dapat di rasakan oleh anak berupa rangsangan yang ia peroleh dari lingkungan sekitarnya yang dapat membuatnya sadar terhadap segala sesuatu yang ada (Walgito, 2005). Persepsi anak tentang pola asuh yang di berikan orang tua akan di persepsikan secara subyektif dan berbeda – beda antara anak satu dengan anak yang lainnya meskipun pola asuh yang di berikan sama. Persepsi anak tentang pola asuh bermacam – macam ada yang merasa di manjakan , tidak di perdulikan, 17
merasa di larang, dan ada pula yang merasa di perlakukan tidak adil oleh orang tuanya (Soetjiningsih, 2004). Menurut Hurlock (2006) perlakuan terhadap seorang anak oleh orang tua mempengaruhi bagaimana anak itu memandang, menilai, dan mempengaruhi sikap anak tersebut terhadap orang tua serta mempengaruhi kualitas hubungan yang berkembang di antara mereka. Selain mengalami pertumbuhan fisik, seorang anak juga mengalami perkembangan dalam hal intelektual. Kemampuan intelektual anak memungkinkan untuk menilai pengalaman dengan pandangan yang baru. Cara memandang yang baru itu tidak hanya ditunjukkan pada lingkungan sekitarnya saja, melainkan juga pada dirinya sendiri dan orang tuanya (Gunarsa, 2007). Rakhmat (2001) mengatakan persepsi terhadap pola asuh merupakan cara pandang anak terhadap pola asuh orang tua yang diterimanya, sehingga apabila seorang anak yang mempersepsi pola asuh orang tuanya secara positif menurut pengalaman yang diterima anak, maka hal ini cenderung dapat menciptakan motivasi dari anak tersebut berdasarkan pengalaman yang di dapat tersebut. Sebaliknya menurut Goleman( 2000) memaparkan bahwa pada gaya mendidik orang tua yang mengabaikan perasaan anak, yang tercermin pada persepsi negatif dari anak ke orang tua terhadap yang di lakukan orang tua kepada anak tersebut ,emosi anak dilihat sebagai gangguan atau sesuatu yang selalu direspon orang tua dengan penolakan, merupakan suatu yang menjadikan kelak jika anak itu dewasa nanti tidak menghargai orang tuanya, karena merasa pengungkapan ekspresi emosi dirinya hanya terpendam akibat penolakan dari orang tuanya selama ini. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa persepsi terhadap pola asuh orang tua adalah cara pandang anak terhadap orang tua dalam memberikan penerapan pendidikan dan melakukan bimbingan pada anak-anaknya dan menanamkan norma-norma yang ada, sehingga apabila seorang anak yang mempersepsi pola asuh orang tuanya secara positif menurut pengalaman yang diterima anak, maka hal ini cenderung dapat menciptakan motivasi dari anak tersebut berdasarkan pengalaman yang di dapat selama ini dari orang tuanya. 18
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi terhadap pola asuh orang tua Hasil dari proses persepsi yang dilakukan oleh setiap individu berbeda meskipun objeknya sama. Hal ini disebabkan karena faktor yang mempengaruhi persepsi tersebut. Walgito (2003) secara sederhana menyebutkan adanya faktor yang memengaruhi persepsi individu yaitu: a.Faktor internal, adalah segala hal yang ada dalam diri seseorang bersumber pada dua hal yaitu kondisi fisik dan psikis. Kondisi fisik meliputi kesehatan badan, sedangkan kondisi psikis meliputi unsur pengalaman, perasaan, kemampuan berfikir, dan motivasi yang dimiliki. b. Faktor eksternal meliputi stimulus dan lingkungan, dimana proses persepsi ini berlangsung, berupa unsur kejelasan stimulus serta lingkungan atau situasi khusus yang melatar belakangi munculnya stimulus. Rakhmat (2001) berpendapat bahwa persepsi bisa dipengaruhi oleh: a. Faktor personal (fungsional), bahwa menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan respon pada stimuli. b. Faktor situasional (struktural), bahwa persepsi berasal dari sifat stimuli
Aspek-aspek persepsi terhadap pola asuh orang tua Mussen dkk (1994) menyatakan bahwa ada beberapa aspek persepsi terhadap pola asuh orang tua, yaitu: a. Kontrol, merupakan usaha mempengaruhi aktivitas anak untuk mencapai tujuan, memodifikasi ekspresi ketergantungan, agresifitas, tingkah laku, dan bermain. Orang tua yang senantiasa menjaga keselamatan anak-anak (overprotection) dan mengambil tindakan-tindakan yang berlebihan agar anakanaknya
terhindar
dari
bermacam-macam
bahaya
akan
menghasilkan
perkembangan anak dengan ciri-ciri sangat tergantung kepada orang tuanya dalam bertingkah laku. b. Tuntutan kedewasaan, menekankan kepada anak untuk mencapai suatu tingkat kemampuan secara intelektual, sosial dan emosional. Dengan memberikan kesempatan belajar pada anak untuk mengalami pahit getirnya kehidupan, menghadapi dan mengatasi berbagai masalah mereka, diharapkan 19
dari pengalaman tersebut anak bisa menjadi dewasa namun anak masih tetap memerlukan campur tangan orang tuanya untuk mengubah dan mengarahkan proses-proses perkembangan pada seluruh aspek kepribadian dalam arti orang tua perlu berusaha mempersiapkan anak dalam menghadapi masa remaja. c. Komunikasi anak dan orang tua, menggunakan penalaran untuk memecahkan masalah, menanyakan bagaimana pendapat dan perasaan anak. Sangat bijaksana jika orang tua menyediakan cukup waktu untuk percakapan yang bersifat pribadi, pada kesempatan ini orang tua akan mendengarkan dan menemukan banyak hal di luar masalah rutin. d. Kasih sayang, meliputi penghargaan dan pujian terhadap prestasi anak. Komunikasi keluarga dapat dilakukan melalui gerakan, sentuhan, belaian, senyuman, mimik wajah, dan ungkapan kata. Pola komunikasi keluarga yang demikian, keakraban, keintiman, saling memiliki, rasa melindungi anak oleh orang tuanya semakin besar. Berdasarkan aspek-aspek tersebut maka dapat diketahui ciri-ciri dari setiap pola asuh. Ciri-ciri tersebut dapat dijadikan aspek-aspek dari pola asuh itu sendiri, yaitu: a. Aspek pandangan orang tua terhadap anak, yaitu bagaimana orang tua memandang dan memberikan penilaian kepada anaknya. b. Aspek komunikasi, yaitu bentuk komunikasi yang diterapkan orang tua, cara untuk menyampaikan keinginan, harapan, keluh kesah, dan cara berdialog dalam keluarga. c. Aspek penerapan disiplin, yaitu cara yang dipakai orang tua terhadap perilaku anak dan aturan yang dibuat melalui hukuman maupun hadiah. d. Aspek pemenuhan kebutuhan anak, yaitu cara orang tua dalam memenuhi keinginan dan harapan anak.
20
Walgito (1997) menambahkan ada tiga aspek dalam persepsi, antara lain: a. Aspek kognisi, yaitu pandangan individu terhadap sesuatu berdasarkan pengalaman yang pernah di dengar atau dilihat dalam kehidupan sehari-hari. b. Aspek konasi, yaitu pandangan individu terhadap sesuatu yang berhubungan dengan motif atau tujuan timbulnya suatu perilaku yang terjadi disekitar yang diwujudkan dalam sikap atau perilaku individu dalam kehidupan sehari-hari. c. Aspek afeksi, yang menyangkut emosi dari individu dalam mempersepsi sesuatu melalui afeksi-afeksi yang berdasarkan pada emosi, hal ini dapat muncul karena adanya pendidikan moral dan etika yang didapat sejak kecil. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek persepsi terhadap pola asuh orang tua adalah kontrol, tuntutan kedewasaan, komunikasi anak dengan orang tua, kasih sayang, pandangan orang tua terhadap anak, komunikasi, penerapan disiplin, dan pemenuhan kebutuhan anak, kognisi, konasi, dan aspek afeksi
21
B. Kerangka Teori
Persepsi anak tentang pola asuh orang tua: -
Pola asuh positif Pola asuh negatif
KARIES GIGI
-
Faktor- faktor eksternal terjadinya karies gigi
-
Faktor- faktor internal terjadinya karies gigi
Gambar : 2.1 Kerangka Teori Modifikasi: (Dariyo,2004, Walgito, 2000, Suwelo, 1993, Koerniati, 2006 ,Tarmudji, 2001)
22
C. Kerangka konsep Variabel bebas
Variabel terikat
Persepsi anak: pola asuh orang tua
karies gigi
Gambar : 2.2 kerangka konsep
D. Variabel penelitian Variabel penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Variabel independent (Variabel bebas) dalam penelitian ini adalah persepsi anak : pola asuh orang tua b. Variabel dependent (Variabel terikat) dalam penelitian ini adalah karies gigi
E. Hipotesis -
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian adalah “Ada hubungan secara signifikan persepsi anak usia sekolah terhadap pola asuh orang tua dengan terjadinya karies gigi di SDN Panggung Kidul Semarang Utara”
23