7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Toksoplasma gondii 2.1.1
Epidemiologi Toksoplasma gondii Menurut Konishi et al, (1987) dalam Chahaya, (2003) toksoplasmosis adalah
penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii yang merupakan penyakit parasit pada manusia dan juga pada hewan yang menghasilkan daging bagi konsumsi manusia. Toxoplasma gondii pertama kali ditemukan oleh Nicole dan manceaux tahun 1908 pada limfa dan hati hewan pengerat Ctenodactylus gundi di Tunisia Afrika dan pada seekor kelinci di Brazil. Lebih lanjut Mello pada tahun 1908 melaporkan protozoa yang sama pada anjing di Italia, sedangkan Janku pada tahun 1923 menemukan protozoa tersebut pada penderita korioretinitis dan oleh Wolf pada tahun 1937 telah di isolasinya dari neonatus dengan ensefalitis dan dinyatakan sebagai penyebab infeksi kongenital pada anak. Dan pada tahun 1970 daur hidup parasit ini menjadi jelas ketika ditemukan daur seksualnya pada kucing (Hutchison, 1970 dalam Chahaya, 2003).
Parasit tersebut juga ditemukan sebagai penyebab aborsi pada
ternak domba di tahun (Dubey, 2008). Seekor kucing terinfeksi kista dapat mengeluarkan sampai 10 juta ookista sehari selama 2 minggu. Di dalam tanah yang lembab dan teduh, ookista dapat hidup lama sampai lebih dari satu tahun. Sedangkan tempat yang terkena sinar matahari langsung dan tanah kering dapat memperpendek hidupnya. Bila di sekitar rumah tidak ada tanah, kucing akan berdefekasi di lantai atau tempat lain, di mana ookista
7
8
bisa hidup cukup lama bila tempat tersebut lembab. Cacing tanah mencampur ookista dengan tanah, kecoa dan lalat dapat menjadi vektor mekanik yang dapat memindahkan ookista dari tanah atau lantai ke makanan (Gandahusada, 1988). Saat musim penghujan tinja kucing yang infektif akan terbawa ke tempat perairan sehingga terjadinya pencemaran kualitas air oleh toksoplasmosis (Moura et al., 2006) Toxoplasma gondii merupakan penyakit yang tersebar luas di seluruh dunia. Data serologi menunjukan bahwa 30-40% penduduk di dunia terinfeksi Toxoplasma gondii. Infeksi lebih banyak terjadi di dataran rendah atau daerah yang memiliki iklim panas dibandingkan dengan dataran tinggi yang beriklim dingin (Soedarto, 2012). Prevalensi toksoplasmosis ini juga lebih tinggi di daerah tropik. Pada umumnya prevalensi zat anti Toxoplasma gondii yang positif meningkat sesuai dengan umur, tidak ada perbedaan antara pria dan wanita. Pada manusia prevalensi zat anti T. gondii yang di periksa dengan tes warna di berbagai negara adalah: USA 13-68 %, Austria 7-62 %, El Salvador 40-93 %, Finlandia 7-35 %, Inggris 8-25 %, Paris 33-87 %, Tahiti 45-77 % (Remington dan Desmonts, 1982 dalam Gandahusada, 1994). Kista Toxoplasma gondii dalam daging dapat bertahan hidup pada suhu -40C sampai tiga minggu. Kista tersebut akan mati jika daging dalam keadaan beku pada suhu - 150C selama tiga hari dan pada suhu -200C selama dua hari. Daging dapat menjadi hangat pada semua bagian dengan suhu 650C selama empat sampai lima menit atau lebih maka secara keseluruhan daging tidak mengandung kista aktif, demikian juga hasil daging siap konsumsi yang diolah dengan garam dan nitrat (WHO, 1979 dalam chahaya 2003).
9
2.1.2
Siklus Hidup Toxoplasma gondii Toxoplasma gondii merupakan penyakit yang tersebar luas di seluruh dunia.
Data serologi menunjukan bahwa 30-40% penduduk di dunia terinfeksi Toxoplasma gondii. Infeksi lebuh banyak terjadi di dataran rendah atau daerah yang memiliki iklim panas dibandingkan dengan dataran tinggi yang beriklim dingin (Soedarto, 2012). Menurut zulkoni (2011) siklus hidup Toxoplasma gondii dimulai dari sekor kucing yang makan kista (bradizoid) yang terdapat dalam hewan pengerat seperti tikus, burung yang terinfeksi atau makan daging mentah dimana parasit akan mulai berkembang biak dalam dinding usus halus kucing dan brandizoid dalam tubuh kucing menghasilkan ookista. Kemudian okista dikeluarkan melalui faces setelah dua sampai tiga minggu. Ookista yang dikeluarkan kucing sangat kuat dan dapat hidup pada tanah lembab atau pasir selama berbulan-bulan selanjutnya ookista dapat menjadi spora, dan menularkan ke hewan lainnya, termasuk manusia. Dalam usus manusia, toksoplasma berkembang menjadi tachyzoites, yang dapat menyear ke organ lain tubuh manusia melalui aliran darah dan limfa dan tahap ini berakhir dengan menghasilkan kista dalam otot jantung, ginjal dan otak. Kebanyakan dari kista tersebut tetap aktif tanpa batas waktu. Okista jug dapat bertahan hidup lebih dari satu tahun diluar lingkungan rumah seperti di dalam air atau tanah basah (Soedarto, 2012). Dan secara sistematis siklus hidup Toxoplasma gondii dapat digambarkan sebagai berikut:
10
Gambar 2.1. Siklus Hidup Toxoplasma gondii Sumber : CDC 2010 2.1.3
Morfologi Toxoplasma gondii Toxoplasma gondii mempunyai beberapa bentuk kehidupan yaitu:
1.
Ookista, hanya terbentuk dalam usus hospes definitive yaitu bangsa kucing. Ookista dikeluarkan melalui faces. Bila ookista tertelan oleh manusia atau hewan lain maka berkembang menjadi tachyzoit / troposoit. Bentuk ini merupakan bentuk yang dapat memperbanyak diri secara cepat.
2.
Tachzoite / takzoit / tropozoit, bentuk bulan sabit, panjang 2-3 µm dan lebar 4-8 µm menginfeksi / terdapat dalam cairan tubuh manusia (darah, air liur, air susu) ginjal, jantung, otak, dan otot jantung.
3.
Bradizoit, yang banyak terdapat pada daging hewan yang mentah/dimasak kurang matang (Zulkoni, 2011).
11
2.1.4
Penularan Toxsoplasma gondii Seseorang dapat terinfeksi Toxoplasma gondii melalui beberapa cara, yaitu
dapat terjadi melalui cara dapatan pada anak maupun pada orang dewasa (akuista) dan dapat ditularkan melalui infeksi dari ibu ke bayi yang dikandungnya atau kongenital (Soedarto, 2012). Pada toksoplasmosis kongenital dapat diperoleh melalui plasenta ibu ketika mendapat infeksi primer waktu hamil, dari berbagai faktor yang menentukan hasil akhir janin, usia kehamilan pada saat infeksi adalah faktor yang paling menentukan. Pada toksoplasmosis akuisita infeksi dapat terjadi apabila makan daging mentah atau kurang matang yang mengandung kista, memakan sayur dan buah yang tercemar kista, percemarnya alat-alat untuk masak dan tangan oleh bentuk infektif parasit ini pada waktu pengolahan makanan merupakan sumber lain untuk penyebaran Toxoplasma gondii. (Chahaya, 2003). Infeksi lain juga dapat terjadi melalui transplantasi organ tubuh dari donor penderita toksoplasmosis laten kepada resipien yang belum pernah terinfeksi Toxoplasma gondii. Infeksi juga dapat terjadi saat bekerja di laroratorium dengan hewan uji yang terinfeksi Toxoplasma gondii (Zulkoni, 2011). 2.1.5
Pencegahan Toxsoplasma gondii Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah infeksi toksoplasmosis
yaitu dengan makanan dan minuman harus dimasak secara baik dan matang, mencegah terjadinya kontak dengan hewan yang sedang diproses seperti di tempat pemotongan hewan dan pada tempat penjualan daging hewan, menjaga kebersihan lingkungan dari kotoran kucing atau kotoran hewan lainnya yang dapat menularkan kista, memeriksakan kesehatan hewan peliharaan ke dokter hewan secara berkala,
12
menjaga kebersihan makanan dari kontaminasi lalat atau binatang yang dapat menularkan ookista (Zulkoni, 2011). Toksoplasmosis kongenital dapat dicegah dengan melakukan pemeriksaan sebelum kehamilan untuk mengetahui beberadaan Toksoplasma gondii di dalam tubuh yang dapat menyebabkan infeksi, memeriksakan kandugan secara teratur selama masa kehamilan agar dapat dilakukan tindakan secepatnya jika dalam tubuh terjadi infeksi, penanganan yang cepat dapat membantu agar kondisi bayi tidak menjadi buruk (Wahyuni, 2013). Selain itu dapat dilakukan dengan tidak melakukan kontak dengan kucing saat ibu hamil, tidak membersihkan tempat sampah, menggunakan sarung tangan saat berkebun, dan selalu mencuci tangan sesudah berkebun, sesudah mencuci daging mentah dan sebelum makan (Soedarto, 2012).
2.2 Perilaku 2.2.1
Definisi Perilaku Perilaku manusia merupakan hasil dari pada segala macam pengalaman serta
interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan: berfikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan). Sesuai dengan batasan ini, perilaku kesehatan dapat dirumuskan
sebagai
bentuk
pengalaman
dan
interaksi
individu
dengan
lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan. Perilaku aktif dapat dilihat, sedangkan perilaku pasif tidak tampak, seperti pengetahuan, persepsi, atau motivasi. Beberapa ahli membedakan bentuk-bentuk
13
perilaku ke dalam tiga domain yaitu pengetahuan, sikap, dan tindakan atau sering kita dengar dengan istilah knowledge, attitude, practice (Sarwono, 2004). Skinner, (1938) dalam Notoatmodjo, (2007) mengemukakan bahwa perilaku merupakan hubungan antara perangsang (stimulus) dan respon. Ia membedakan adanya dua stimulus: 1. Respondent response atau reflektife response ialah respon yang ditimbulkan oleh rangsangan tertentu. Perangsang semacam ini disebut elicting stimuli karena menimbulkan respon yang relatif tetap misalnya makanan lezat menimbulkan keluarnya air liur, cahaya yang kuat menyebabkan mata tertutup, menangis karena sedih, muka merah karena marah dan lain sebagainya. 2. Operant response atau instrumental response ialah respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang tertentu. Perangsang semacam ini disebut reinforcing stimuli atau reinforcer karena perangsang tersebut memperkuat respon yang telah dilakukan oleh organisme. Oleh sebab itu perangsang ini mengikuti atau memperkuat perilaku yang sudah dilakukan. 2.2.2
Perilaku Sehat Perilaku sehat adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus yang
berkaitan dengan sakit, penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makan serta lingkungan. Perilaku ini mempunyai respon terhadap fasilitas pelayanan, cara pelayanan,
petugas
kesehatan
dan
obat-obatan,
perilaku
kesehatan
dapat
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu: 1. Perilaku memelihara kesehatan Perilaku pemeliharaan
kesehatan adalah usaha seseorang untuk
memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit atau usaha untuk melakukan
14
penyembuhan ketika sakit. Perilaku pemeliharaan kesehatan terdiri dari tiga aspek yaitu: a. Perilaku pencegahan penyakit dan penyembuhan bila sakit serta pemulihan kesehatan bila telah sembuh dari sakit. b. Perilaku peningkatan kesehatan. c. Perilaku gizi. 2. Perilaku pencarian dan penanganan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan atau pencarian pengobatan. Perilaku tersebut menyangkut upaya atau tidaknya seseorang pada saat sakit atau kecelakaan. Perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri sampai mencari pengobatan ke luar negri. 3. Perilaku kesehatan lingkungan Perilaku kesehatan lingkungan adalah perilaku seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial budaya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatan (Notoatmodjo, 2007). 2.2.3
Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Menurut green, (1980) dalam Notoatmodjo, (2003) perilaku kesehatan
dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: 1. Faktor predisposing Faktor predisposing adalah faktor yang mempermudah terjadinya perilaku orang lain. Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan. Sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, social ekonomi, dan sebagainya.
15
2. Faktor pemungkin (enabling factor) Faktor pemungkin adalah faktor-faktor yang memugkinkan dan memfasilitasi perilaku masyarakat, faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya puskesmas, rumah sakit, tempat pemandian, tempat pembuangan sampah dan sebagainya. 3. Faktor penguat (reinforcing factor) Faktor penguat adalah faktor-faktor yang mendorong dan memperkuat terjadinya perilaku. Orang mengetahui berperilaku sehat belum tentu mereka melakukan hal tersebut. Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Sedangkan menurut Taylor, (2003) Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku kesehatan, antara lain: 1. Faktor demografi Menurut Gottlieb & Green, (1984) perilaku kesehatan berbeda berdasarkan pada faktor demografi. Individu yang masih muda, lebih makmur, memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik dan berada dalam kondisi stress yang rendah dengan dukungan sosial yang tinggi memiliki perilaku sehat yang lebih baik dari pada orang yang memiliki resources yang lebih sedikit. 2. Usia Menurut
Levanthal
et.al,
(1985)
perilaku
kesehatan
bervariasi
berdasarkan usia. Secara tipikal perilaku kesehatan pada anak-anak dapat dikatakan baik, memburuk pada remaja dan orang dewasa, namun meningkat kembali pada orang yang lebih tua.
16
3. Nilai Menurut Donovan et.al, (1991) nilai-nilai sangat mempengaruhi kebiasaan perilaku sehat individu. Misalnya latihan bagi wanita sangat diinginkan bagi budaya tertentu tetapi tidak bagi budaya lain. 4. Pengaruh Sosial Menurut Broman, (1993) pengaruh sosial juga dapat mempengaruhi perilaku sehat individu. Keluarga, teman, dan lingkungan kerja dapat mempengaruhi perilaku sehat. 5. Personal Goal Menurut Eiser & Gentle, (1988) kebiasan perilaku sehat juga memiliki hubungan dengan tujuan personal. Jika perilaku tersebut merupakan tujuan dari dalam diri seseorang maka seserorang akan cendrung melakukan perilaku dibandingkan jika bukan tujuan dari dalam diri seseorang. 6. Faktor kognisi Perilaku kesehatan memiliki hubungan dengan faktor kognisi, seperti keyakinan bahwa perilaku tertentu dapat mempengaruhi kesehatan. 2.2.4
Proses Perubahan Perilaku Perubahan perilaku merupakan tujuan dari pendidikan kesehatan atau
penyuluhan kesehatan sebagai penunjang program kesehatan lainnya. Perubahan yang dimagsud bukan saja sekedar convert behaviour tetapi juga overt behaviour. Dalam program kesehatan agar diperoleh perubahan perilaku yang diharapkan sesuai dengan perilaku kesehatan, dapat dilakukan dengan beberapa strategi, yang pertama yaitu memperkuat faktor pendorong melalui upaya pemberian informasi dan persuasive mengenai toksoplasmosis. Yang kedua yang dapat dilakukan dengan upaya memperkecil faktor penghambat yang berasal dari dalam diri individu seperti
17
hambatan fisik, hambatan psikologis serta hambatan ekonomi dan juga memperkecil faktor penghambat yang berasal dari masyarakat yang dapat menghabat factor pendorong, dan yang terakhir upaya yang dapat dilaukan untuk merubah perilaku yaitu dengan memperkuat faktor pendorong dan memperkecil faktor penghambat. Ini merupakan cara yang efektif untuk merubah perilaku masyarakat dan memberikan keuntungan bagi semua masyarakat dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat (Sarwono, 2007). 2.2.5
Perilaku Berisiko Terhadap Toxsoplasma Perilaku masyarakat memegang peranan penting dalam menentukan keadaan
sakit seseorang, tingginya prevalensi toksoplasmosis di Indonesia dan di Dunia baik pada manusia maupun hewan disebabkan karena cara infeksi parasit ini cukup mudah (Dharmana, 2007). Ini disebabkan karena perilaku manusia yang mengkonsumsi makanan yang kurang matang serta perilaku masyarakat yang kurang memperhatikan dan menjaga kebersihan lingkungan (Dubey, 2008). Perilaku kurang menjaga kebersihan lingkungan menurut Soedarto, (2012) yaitu menjaga kebersihan lingkungan dari kotoran kucing maupun kotoran hewan lainnya. Menurut Hanafiah, (2010) toksoplasmosis disebabkan karena perilaku masyarakat mengenai kebersihan sebelum makan, kebersihan lingkungan, jenis makanan yang dikonsumsi dan pola makanan. Selain itu Perilaku pemeliharaan binatang seperti kucing di berbagai daerah khususnya di Bali, kucing yang garis keturunannya dicatat secara resmi sebagai kucing ras dan galur murni seperti Persia, siam, manx, dan sphinx biasanya dibiakkan di tempat pemeliharaan hewan resmi dan dengan sanitasi yang baik. Sedangkan jumlah dari kucing tersebut hanyalah 1% dari seluruh populasi kucing yang ada di dunia, sisanya adalah kucing campuran seperti kucing liar dan kucing kampung yang
18
dipelihara manusia secara sederhana dan hidup liar di pemukiman (Remington et al., 2007 dalam Nurcahyo, 2014). Selain itu penularan juga bisa melalui perantara air, yakni salah satunya adalah air pada pemandian umum yang mengandung ookista Toxoplasma gondii.
2.3 Air 2.3.1
Definisi Air Pemandian Umum Air pemandian umum adalah air yang digunakan pada tempat-tempat
pemandian bagi umum tidak termasuk pemandian untuk pengobatan tradisional dan kolam renang, yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan (Permenkes RI No 416 tahun 1990). 2.3.2
Sumber Air Sumber air merupakan salah satu komponen yang ada pada suatu penyediaan
air bersih. Penyediaan air bersih harus memenuhi kebutuhan masyarakat karena persediaan air yang terbatas dapat menimbulkan masalah kesehatan pada masyarakat. Macam-macam sumber air yaitu: a. Air Hujan Air hujan adalah air yang berasal dari permukaan bumi yang diuapkan oleh sinar matahari. Air permukaan tersebut berupa air sungai, air danau dan air laut. Sinar matahari menguapkan air permukaan tanpa membawa kotoran yang terdapat di dalam air. Setelah proses penguapan, air mengalami proses kondensasi, dimana air yang menguap tersebut berubah menjadi air. Hingga terbentuklah awan. Lama-kelamaan, awan tersebut menjadi jenuh dan turunlah titik-titik air hujan (Fety dan Yogi, 2011).
19
b. Air Permukaan Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah. Yang bisa disebut air permukaan yaitu air di dalam sistem sungai, air di dalam sistem irigasi, air di dalam sistem drainase, air waduk, danau, kolam retensi. Air dimanfaatkan untuk berbagai keperluan misalnya untuk kebutuhan domestik, irigasi atau pertanian, pembangkit listrik, pelayaran, industri, wisata dll (Robert dan Roestam, 2005). c. Air Tanah Air tanah adalah air yang berada di dalam tanah. Air tanah dibagi menjadi dua, air tanah dangkal dan air tanah dalam. Air tanah dangkal merupakan air yang terjadi akibat proses penyerapan air dari permukaan tanah. Lumpur akan tertahan, demikian juga dengan bakteri, sehingga air tanah dangkal terlihat jernih tetapi banyak mengandung zat-zat kimia (garam-garam terlarut) karena melalui lapisan tanah yang berfungsi sebagai saringan. Setelah mengalami penyaringan, setelah menemui lapisan kedap air atau rapat air, maka air tanah akan dimanfaatkan sebagai sumber air bersih. Air tanah dangkal memiliki kedalaman sedalam 15 meter (Waluyo, 2009). Air Tanah Dalam merupakan air yang berasal dari lapisan air kedua di dalam tanah. Dalamnya dari permukaan tanah biasanya di atas 15 meter. Pada umumnya kualitas air tanah dalam lebih baik dari pada air tanah dangkal karena terjadi penyaringan yang lebih sempurna terutama untuk bakteri Oleh karena itu, sebagian besar air tanah dalam sudah bisa dikonsumsi secara langsung tanpa pengolahan (Notoatmodjo, 2003).
20
d. Mata Air Mata air yaitu air tanah yang keluar dengan sendirinya ke permukaan tanah dalam hampir tidak terpengaruh oleh musim dan kualitas atau kuantitasnya sama dengan air dalam (Waluyo, 2009). 1.3.3
Syarat Kualitas Air Agar air tidak menyebabkan penyakit, maka air tersebut hendaknya
diusahakan
memenuhi
persyaratan-persyaratan
kesehatan,
setidak-tidaknya
diusahakan mendekati persyaratan tersebut yang tercantum dalam Permenkes RI No 416 tahun 1990 dan PP. No. 82 Tahun 2001. Air yang sehat harus mempunyai persyaratan secara fisik, kimia dan bakteriologis (Notoatmodjo, 2003). Sunu (2001), mendefinisikan bawahwa air tidak tercemar adalah air yang tidak mengandung bahan-bahan asing tertentu dalam jumlah melebihi batas yang ditetapkan sehingga air tersebut dapat dipergunakan secara normal. Air yang memenuhi syarat diharapkan dampak negative dari penularan penyakit melalui air dapat diturunkan. 1.3.4
Sumber Pencemaran Air Sumber pencemaran air adalah asal dari penyebab perubahan sifat fisik, kimia
dan biologi air. Terdapat dua jenis sumber pencemaran yaitu pencemaran yang dapat diketahui secara pasti sumbernya misalnya limbah industry dan pencemaran yang tidak diketahui secara pasti sumbernya yaitu masuk ke perairan bersama air hujan dan limpasan air permukaan. (Husin dan Kastamana, 1991 dalam chahaya, 2003). 1.3.5
Persyaratan Biologi Air Berdasarkan Peraturan Mentri Kesehatan No. 416 Tahun 1990 tentang syarat-
syarat dan pengawasan kualitas air menyatakan bahwa persyaratan biologis air bersih itu adalah tidak mengandung mikroorganisme yang nantinya menjadi infiltran tubuh
21
manusia. Mikroorganisme itu dapat dibagi dalam empat group, yakni parasit, bakteri, virus, dan kuman. Dari keempat jenis mikroorganisme tersebut umumnya yang menjadi parameter kualitas air adalah bakteri seperti Eschericia coli. 1.3.6
Pengaruh Air Terhadap Kesehatan Menurut Soemirat (2002), secara khusus, pengaruh air terhadap kesehatan
dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. 1. Pengaruh Tidak Langsung, yaitu pengaruh yang timbul sebagai akibat pendayagunaan air yang dapat meningkatkan atau pun menurunkan kesejahteraan masyarakat. Misalnya, air yang dimanfaatkan untuk pembangkit tenaga listrik, untuk industri, untuk irigasi, perikanan, pertanian, dan rekreasi dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya pengotoran air dapat menurunkan kesejahteraan masyarakat. 2. Pengaruh langsung air atau air konsumsi penduduk dapat menyebabkan penyakit seperti: a. Water borne disease mekanisme yaitu penyebaran penyakit dimana pathogen penyebab penyakit berada dalam air yang telah tercemar dan dapat menyebabkan penyakit infeksi bila terminum oleh manusia atau hewan. Hal ini karena air tersebut mengandung kuman pathogen. b. Water washed disease mekanisme yaitu penyebaran penyakit bila suatu penyakit infeksi dapat dicegah dengan memperbanyak volume pemakaian air serta memperbaiki hygiene perorangan. Dengan terjaminnya kebersihan oleh tersedianya air yang cukup, maka penyakit-penyakit tertentu dapat dikurangi penularannya pada manusia, dan penyakit ini banyak terjadi di daerah tropis. c. Water based disease mekanisme yaitu penyebaran penyakit ini terjadi bila sebagian siklus hidup penyebab penyakit memerlukan hospes perantara
22
seperti siput air. Infeksi pada manusia dapat dicegah dengan menurunkan keinginan dengan kontak dengan air, mengontrol populasi siput air, dan memperbaiki kualitas air d. Insect vector disease mekanisme yaitu penyebaran berkaitan dengan serangga sebagai vektor penyebaran pathogen penyebab penyakit yang hidup di air. Strategi
pencegahan
pengelolaan
air
penyebaran permukaan,
penyakit
dapat
melalui
menghilangkan
perbaikan
tempat-tempat
perkembangbiakan serangga yang menjadi vektor penyebaran penyakit infeksi.