BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. BUDAYA PADI Globlalisasi telah mengubah status padi dari sumber pangan menjadi komoditas dagang dan spekulasi. Bagi Indonesia, Vietnam, dan Thailand, kenaikan produktivitas memberi kontribusi 80% terhadap kenaikan produksi selama 40 tahun terakhir. Di Indonesia, kenaikan produksi mulai menanjak sejak tahun 1969 – 1984 dengan laju 5.3% per tahun. Setelah itu (1984 – 2000), laju kenaikan produksi hanya 1.9% per tahun, terutama karena kemarau panjang (El – Nino) pada tahun 1987, 1991, 1994, dan 1997 dan dampak sampingnya berupa serangan hama dan penyakit (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2002). Inovasi teknologi yang diintroduksikan setelah terjadi pelandaian atau penurunan produksi memacu kembali kenaikan produksi. Sejak tahun 1998, diawali oleh kemarau panjang dan krisis moneter pada pertengahan 1997, subsidi saprodi dicabut dan kelembagaan sosial dan keuangan berubah – ubah. Produksi padi yang menurun drastis pada tahun 1998 terpacu kembali oleh iklim yang baik, walaupun kelembagaan sosial, keuangan, dan pemasaran belum berubah, bahkan semakin kurang kondusif. Pada tahun 2000, produksi padi mampu menembus angka 51 juta ton. Dalam dasawarsa terakhir, produksi padi Indonesia mengalami stagnasi, karena sebagian besar lahan produktif telah ditanami varietas unggul. IR64 merupakan varietas yang paling populer dengan areal tanam lebih dari 6 juta hektar. Namun Ciherang, Way Apo Buru, Sintanur, Memberamo, dan beberapa varietas lainnya mulai menggeser pertanaman IR64 di beberapa sentra produksi padi (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2002). Di Indonesia pada mulanya hanya masyarakat Jawa dan Bali yang mengenal dominasi budidaya padi sawah, sehingga telah terjadi pemilahan bahwa padi sawah bergantung pada pengairan, dan padi tegalan bergantung pada hujan karena itu disebut juga padi tadah hujan. Hal ini mungkin karena tanah di Jawa dan Bali lebih subur dengan adanya gunung – gunung berapi di tengah kedua pulau. Dari waktu ke waktu gunung – gunung tersebut meletus dan mengeluarkan lahar yang menyuburkan tanah (Tjondronegoro, 2002). Seperti disimpulkan oleh Geertz (1963) dalam Tjondronegoro (2002), kesuburan itu mengakibatkan bangsa – bangsa Timur semakin mundur pada umumnya. Sejarah mencatat bahwa setelah ekspansi plasma nutfah padi dari Timur ke Barat, panduduk di belahan Timur bumi seperti mandeg (stangnant) dan pertumbuhannya dibendung oleh penduduk di belahan Barat. Bila ditelusuri lebih lanjut, ternyata terjadi arus balik dan Barat berekspansi ke Timur dan Selatan. Beras merupakan makanan pokok bagi separuh umat manusia. Penduduk Asia memproduksi dan mengkonsumsi 90% beras dari hasil padi yang ditanam. Di Asia Tenggara, beras menyediakan 70 – 80 % kalori dan 40 – 70 % protein bagi kebutuhan penduduknya. Bagi bangsa Asia, padi berarti kehidupan (Fagi et al, 2002).
4
B. PEMUPUKAN PADI Degradasi lahan pertanian merupakan salah satu masalah dalam pembangunan pertanian. Degradasi sumberdaya lahan pertanian yang dihadapi terutama adalah kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah sebagai akibat dari penggunaan tanah yang over intensive, menurunnya penggunaan pupuk organik, serta kurangnya penerapan usaha tani konversi. Gejala terjadinya tanah “lapar pupuk” yang menuntut penggunaan dosis lebih tinggi untuk sekedar mempertahankan tingkat produktivitas yang dicapai. Hal ini berkaitan dengan terkurasnya unsur – unsur hara mikro dan menurunnya kesuburan tanah akibat semakin habisnya bahan – bahan organik. Penambahan pupuk organik merupakan suatu tindakan perbaikan lingkungan tumbuh tanaman dan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk. Penggunaan pupuk organik muncul terutama karena masalah pencemaran lingkungan yang berpengaruh buruk terhadap produk pertanian, dan aspek penting dari hal tersebut adalah penggunaan bahan organik sebagai pengganti sebagian atau seluruh pupuk kimia tanpa mengurangi tingkat produksi tanaman. Pupuk merupakan salah satu masukan yang mahal dalam sistem pertanian. Pemberian pupuk yang kurang dari mestinya menyebabkan produksi kurang optimal, sedangkan pemberian yang berlebihan akan mengakibatkan pemborosan dan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, pupuk harus diberikan secara rasional sesuai kebutuhan tanaman dan ketersediaan hara dalam tanah. Pemupukan pada tanaman padi merupakan hal yang tidak mudah, karena dosis pemupukan tanaman padi sangat relatif. Hal ini dipengaruhi oleh cuaca atau iklim, jenis tanah, ketersediaan unsur hara dalam tanah, varietas tanaman padi, jenis pupuk yang diberikan dan cara pemberian pupuk. Oleh karena itu takaran pemberian pupuk dan waktu pemberian menjadi hal yang sangat penting untuk pertumbuhan tanaman padi. Penggunaan pupuk secara rasional dan berimbang adalah salah satu kunci dalam memperbaiki dan meningktakan produktivitas lahan pertanian. Penggunaan pupuk secara rasional dan berimbang harus memperhatikan kadar unsur hara di tanah, jenis dan mutu pupuk, keadaan agroklimat, dan unsur hara yang dibutuhkan tanaman untuk berproduksi optimal. Mengingat mahalnya harga pupuk, maka penggunaannya harus diefisienkan melalui pemupukan spesifik lokasi yang didasarkan pada data uji tanah. Untuk sementara ini takaran pupuk terutama P dan K dapat didasarkan pada peta P dan K yang telah disusun oleh Puslitbangtanak dan BPTP. Jumlah kebutuhan pupuk berdasarkan peta tersebut di sebagian besar provinsi jauh lebih rendah daripada rekomendasi saat ini. Namun diakui bahwa sebagian petani memupuk melampaui takaran anjuran. Oleh karena itu peran penyuluh lapangan harus ditingkatkan. (Rochayati dan Adiningsih, 2002). Pendekatan ini menguntungkan jika rekomendasi pemupukan dilandasi oleh uji tanah dan analisis tanaman bedasarkan metodologi yang tepat dan teruji. Program pelayanan uji tanah disajikan pada Gambar 1. Contoh tanah Uji tanah Pemodelan
Petani
Lapang
Analisis
Lab.UT
Peneliti
REKOMENDASI = Hasil meningkat
Komputer
Gambar 1. Diagram alir pelaksanaan program pelayanan uji tanah. (Sumber : Badan Penelitian dan Pembangunan Pertanian, 2002)
5
Untuk menduga ketersediaan hara didalam tanah diperlukan uji tanah. Uji ini cukup sederhana, cepat, murah, tepat, dan dapat diulang. Tujuannya adalah memberikan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi yang rasional kepada petani. Untuk mendukung program tersebut laboratorium uji tanah telah dikembangkan dengan fasilitas yang memadai, antara lain di Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor; Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Yogyakarta; serta di beberapa perguruan tinggi (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2002). Peluang peningkatan produktivitas lahan sawah di Indonesia masih terbuka melalui evaluasi insidensi dan penanganan hara selain N, P, dan K, yakni hara S dan Zn. Insidensi kekurangan S diduga cukup luas dan sudah diidentifikasi pada tanah Grumusol di Ngale (Jawa Timur) dan Sulawesi Selatan. Kecenderungan penggunan pupuk N dan P berkadar S rendah atau bebas S seperti urea dan TSP juga akan meningkatkan insidensi kekurangan S. Pada sebagian lahan sawah, kekurangan Zn merupakan faktor pembatas produksi setelah N dan P. Insidensi kekurangan Zn semakin meluas karena angkatan yang besar dan terus menerus dalam produk tanaman dan adanya fiksasi Zn oleh sulfida dalam tanah sawah (Radjagukguk, 2002).
C. KAJIAN BEBERAPA STUDI TERDAHULU Penelitian yang berkaitan mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi produksi dan adopsi teknologi baru pertanian telah banyak dilakukan, antara lain Yuliarmi (2006), Yanuar (1999), Anggraeini (2005), Buana (1997), Nahraeni (2000), Santoso et al (2001) dan lain – lain. Namun untuk kasus program PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) belum ada yang menganalisis. Yanuar (1999) menganalisis pendapatan dan produksi usahatani padi di lahan gambut di Desa Blang Ramee, Kecamatan Teunom, Kabupaten Aceh Barat, Propinsi Daerah Istemewa Aceh. Usahatani di Desa Blang Ramee merupakan usahatani yang dilakukan pada kondisi yang bergambut, dengan tingkat kematangan gambut hemic dan safrik yang kesuburannya rendah. Pengusahaan lahan masih rendah disebabkan ketersediaan modal, tenaga kerja dan kondisi lahan yang miskin unsur hara. Penggunaan faktor produksi juga masih sangat rendah dan belum sesuai anjuran PPL setempat. Teknologi budi daya yang diterapkan pada usahatani padi di Desa Blang Ramee ini masih sangat sederhana dan tanpa perlakuan khusus sesuai dengan kondisi lahan walaupun sebenarnya kondisi lahan di Desa Blang Ramee menuntut penggunaan yang lebih baik. Sehingga produktivitas lahan menjadi rendah. Anggreini (2005) menganalisis usahatani padi pestisida dan non pestisida di Desa Purwasari, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa usahatani padi non pestisida lebih menguntungkan untuk dilakukan jika dibandingkan dengan usahatani padi pestisida di Desa Purwasari. Hal ini dapat dilihat dari nilai pendapatan usahatani padi non pestisida atas biaya tunai dan total yang lebih tinggi. Nilai R/C atas biaya tunai dan total yang lebih besar dari satu serta nilai imbangan penerimaan untuk tiap pekerja secara keseluruhan yang lebih besar daripada usahatani padi pestisida, baik pada saat musim kemarau maupun hujan. Faktor – faktor yang berpengaruh nyata terhadap produksi padi pestisida dan non pestisida adalah luas lahan, jumlah bibit dan pupuk KCl. Buana (1997) menganalis tingkat adopsi teknologi budidaya padi sawah di Provinsi Sulawesi Tenggara melalui pendekatan Koefisien Kolerasi Peringkat Spearman. Hasil analisisnya memberikan gambaran bahwa tingkat adopsi petani terhadap teknologi budi daya padi sawah tergolong sedang, petani telah melaksanakan budi daya padi sawah tetapi belum sesuai dengan rekomendasi penyuluh pertanian setempat. Karateristik internal (pendidikan formal, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan
6
garapan, dan pendapatan) menunjukkan hubungan yang nyata dan bersifat positif, yang menjelaskan bahwa semakin tinggi pendidikan formal, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, dan pendapatan semakin tinggi tingkat adopsi teknologinya sedangkan umur dan pengalaman berusahatani menunjukkan hubungan yang nyata dan besifat negatif, yang menjelaskan bahwa semakin lama berusahatani semakin menurun tingkat adopsi teknologinya. Nahraeni (2000) dengan analis keputusan menggunakan model logit diperoleh hasil bahwa keputusan petani untuk mengadopsi teknologi sangat terkait dengan faktor risiko, keyakinan dan pendapatan yang tinggi dari teknologi tersebut. Upaya – upaya pembinaan langsung lapang dan demonstrasi lapang lebih efektif dalam mendorong penerapan teknologi tabela di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Santoso, et al (2001) mengkaji mengenai tingkat penerapan teknologi Sitem Usaha Pertanian (SUP) padi di wilayah Kabupaten Bojonegoro, Sidoarjo dan Jember yang dilakukakan pada tahun 1998/1999 sampai dengan tahun 2000 dengan analisis deskriptif memakai sistem skor. Hasil kajian menunjukkan bahwa adopsi teknologi anjuran pada sistem usahatani padi di wilayah pengkajian, belum sepenuhnya diadopsi oleh petani. teknologi anjuran yang diadopsi oleh petani peserta di Kabupaten Bojonegoro, Sidoarjo dan Jember sekitar 53 %, sedangkan teknologi anjuran yang terdifusi oleh petani non peserta mencapai sekitar 47 %. Adopsi teknologi telah berdampak terhadap peningkatan produktivitas dan pendapatan usahatani padi, yaitu sekitar 9 % dan 26 %. Agar adopsi teknologi anjuran dapat berlanjut, disarankan agar dorongan pemerintah daerah, pembinaan dan bimbingan melalui kelompok tani ditingkatkan. Yuliarmi (2006) menganalisis produksi dan faktor – faktor penentu adopsi teknologi pemupukan berimbang pada usahatani padi. Hasilnya tingkat penerapan teknologi usahatani padi sawah di Kecamatan Plered berada pada kategoti sedang (60 - 75 %). Kalau dilihat dari tingkat produksi dan pendapatan, perbedaan produksi sebasar 976 kg dan perbedaan pendapatan yang diperoleh petani sebesar Rp 830,959. Permasalahan yang dihadapi petani dalam penerapan teknologi pemupukan berimbang pada usahatani padi sawah di Kecamatan Plered adalah kurangnya modal petani untuk membeli sarana produksi dan membiayai upah tenaga kerja serta tidak adanya jaminan harga yang layak pada saat panen raya. Proses adopsi teknologi pemupukan berimbang di Kecamatan Plered dipengaruhi oleh faktor luas lahan, biaya pupuk, dan harga gabah, dimana semakin luas lahan petani, semakin kecil biaya pupuk, dan semakin tinggi harga gabah semakin besar peluang petani dalam mengadopsi teknologi pemupukan berimbang.
D. PERTANIAN PRESISI Pertanian presisi adalah sebuah konsep manajemen yang relatif baru, diperkenalkan pada pertengahan tahun 1980-an dimana dimulai sebuah revolusi baru dalam manajemen sumber daya pertanian. Sejak diperkenalkan, pertanian presisi mendapatkan berbagai sebutan, yakni manajemen spesifik lokasi, pertanian spesifik lokasi, dan pertanian presisi, tetapi karakteristik umum yang mendasarinya adalah data yang diberikan dan penggunaan teknologinya. Meskipun penggunaan teknologi pertanian presisi dan peralatan meningkat, tingkat adopsi telah melambat dibanding dengan pertengahan dan akhir tahun 1990. Ada beberapa alasan perluasan penggunaan pertanian presisi tertunda (Murakami et al 2007). Alasan – alasan tersebut antara lain : (1) waktu untuk belajar peralatan dan perangkat lunak, (2) kurangnya ketrampilan elektronik, (3) kurangnya pelatihan bagi produsen dan industri, (4) menghubungkan pengumpulan data dan pengambilan keputusan, (5) kurangnya bantuan teknis, (6) kurangnya tenaga ahli lokal, (7) bekerja dengan data yang berbeda format, (8) hasil analisis data untuk membatasi faktor – faktor produksi, kesulitan dalam menjaga kualitas data, (9) penelitian dasar pada hasil dan hubungannya dengan tanah, dan (10) kebutuhan
7
peralatan pertanian presisi, teknik, perangkat lunak. Sebuah survey dari petani di Denmark menunjukkan bahwa meskipun mereka umumnya optimis tentang pertanian presisi, masalah utama telah menjadi kesulitan dalam membuktikan dalam hal keuntungan ekonomi dan lingkungan (Murakami et al, 2007). Seminar (2011) menyatakan bahwa ketepatan dan kecepatan waktu produksi produk pertanian menjadi tuntutan pasar pertanian global. Pertanian presisi adalah paradigma pertanian yang memberikan perlakuan presisi dalam semua simpul – simpul rantai agribisnis. Isgin et al, (2008) menyatakan pertanian presisi yang juga dikenal sebagai pengelolaan tanaman spesfiik lokasi adalah manajemen berbasis teknologi pertanian. Beberapa teknik pertanian presisi juga dirancang untuk menyediakan data berharga dan terperinci sebagai informasi tentang kandungan hara dan kualitas tanah di lapangan. Informasi yang dikumpulkan dengan cara ini sangat berguna dalam membantu petani ketika membuat alokasi masukan keputusan yang lebih baik daripada menggunakan praktik konvensional dalam manajemen aspek di segala bidang. Pertanian presisi membantu petani untuk menghindari masukan (input) pada tanaman seperti benih, pupuk, kapur, dan bahan kimia lain melebihi jumlah yang dibutuhkan tanaman yang akan mengakibatkan pencucian atau limpasan permukaan menjadi polutan potensial. Dengan demikian, penggunaan teknologi pertanian presisi memungkinkan petani untuk memantau seluruh aspek usahatani dengan menyesuaikan tingkat aplikasi masukan untuk memaksimalkan tujuan produksi dan meminimalkan jumlah bahan kimia yang diberikan. Pada akhir abad ke-20, pertanian presisi telah berkembang menjadi topik penelitian di dunia. Saat ini bidang yang paling berperan penting dalam kemajuan pertanian adalah melalui integrasi teknologi informasi ke dalam traktor, mesin dan alat pertanian lain. Namun yang cukup menarik adalah pertanian presisi selalu terkait dengan pemupukan spesifik lokasi. Petani mengharapkan penggunaan teknologi baru dapat menurunkan penggunaan pupuk sebesar dua kali lipat dengan hasil panen yang ralatif sama sengan hasil panen biasanya. (Auernhammer, 2001).
E. APLIKASI PEMUPUKAN HARA SPESIFIK LOKASI Pupuk merupakan input yang paling mahal dalam pertanian padi setelah tenaga kerja, namun pupuk yang diaplikasikan oleh petani sering kali tidak efisien. Inefisiensi penggunaan pupuk dapat disebabkan oleh penerapan nutrisi dalam jumlah dan waktu tidak serasi dengan kebutuhan tanaman. Hal ini dapat menurunkan keuntungan bagi para petani, dan aplikasi kelebihan pupuk dapat memiliki efek merugikan lingkungan. Sebagai prinsip umum, jumlah nutrisi diambil oleh tanaman secara langsung berkaitan dengan hasil panen. Petani harus menyesuaikan manajemen pupuk mereka agar sesuai dengan kebutuhan nutrisi tanaman untuk mencapai hasil yang tinggi dan menguntungkan. Hal ini memerlukan kombinasi yang tepat dari sumber pupuk, harga, dan waktu aplikasi untuk kondisi khusus mereka. Mengkombinasi dan memanajemen pupuk tertentu untuk diaplikasikan dalam lahan pertanian memerlukan pengambilan keputusan yang kompleks bagi petani. Pengembangan alat keputusan yang menyederhanakan kompleksitas dan intensitas pengetahuan pengelolaan hara di lapangan serta pedoman khusus untuk digunakan oleh penyuluh, penasihat tanaman, dan petani telah dirancang para ilmuwan IRRI. Uji tanah talah lama digunakan untuk menilai status kesuburan tanah dan untuk mengestimasi kebutuhan pupuk dan perbaikan lahan. Selain dengan uji tanah, kebutuhan pupuk diestimasi dengan uji tanaman. Semua pengujian itu dikerjakan di laboratorium, sehingga diperlukan waktu dan biaya yang mahal. Ketelitian hasil uji tanah dan uji tanaman sangat bergantung kepada alat yang digunakan dan kepada pengalaman dan keterampilan petugas laboratorium. Seringkali anjuran pemupukan dengan menggunakan hasil interpretasi data uji tanah dan uji tanaman kurang memuaskan. Dengan
8
cara ini petani, sebagai pengguna, tidak terlibat langsung dalam evaluasi. SSNM (Site Spesifik Nutrient Management) dengan metode omission plot dapat digunakan dalam menentukan kebutuhan pupuk N,P,K tanaman padi tanpa laboratorium dan petani terlibat langsung dalam evaluasi (Fagi dan Kartaatmaja, 2004). Para ilmuwan dari International Rice Research Institute (IRRI) dan organisasi - organisasi nasional di seluruh Asia, melalui sekitar 15 tahun penelitian mengembangkan Site Specific Nutrient Management (SSNM) untuk tanaman padi. SSNM menyediakan pendekatan berbasis ilmu pengetahuan untuk secara efektif memasok nutrisi ke tanaman padi bila diperlukan. SSNM telah secara konsisten meningkatkan hasil padi dan keuntungan dalam evaluasi lapang di beberapa negara Asia. Prinsip-prinsip dan manfaat dari praktik perbaikan manajemen nutrisi yang baik telah didokumentasikan dalam publikasi ilmiah, buku panduan, dan situs web (IRRI, 2010). Manajemen pupuk optimal untuk sawah tergantung dari hasil panen, varietas, sisa panen (residu tanaman), jumlah dan kualitas tambahan bahan organik, masukan nutrisi dari sedimen dan banjir musiman, dan ketersediaan air setempat pada musim tanam tertentu. IRRI dan mitra nasional bekerja sama untuk menggunakan prinsip-prinsip SSNM dan pengetahuan yang ada pada pengelolaan hara untuk mengembangkan pedoman khusus pengelolaan hara. Pada tahun 2008, hal ini melahirkan versi pertama dari inovasi alat yang mudah digunakan, interaktif dan berbasis komputer yang bernama Nutrient Management for Rice. Nutrient Management dirancang untuk membantu penyuluh pertanian, penasihat tanaman, dan petani dengan merumuskan rekomendasi pemupukan yang disesuaikan dengan kondisi lahan tertentu berdasarkan pertanyaanpertanyaan seputar kondisi di lapangan. Mulai tahun 2008, versi Nutrient Management for Rice khusus dirancang untuk budidaya padi di Filipina, dirilis dan didistribusikan melalui CD (Compact Disc) di seluruh Filipina. Versi lain dari Nutrient Management for Rice disesuaikan dengan penanaman padi di Indonesia dirilis dalam bahasa Indonesia dan didistribusikan pada CD di Indonesia dengan nama PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi). Difusi alat keputusan Nutrient Management for Rice melalui CD diperlambat oleh tingkat di mana CD bisa mencapai pengguna akhir di daerah pedesaan. Distribusi melalui CD juga membatasi memperbarui secara cepat inovasi PHSL jika terdapat temuan penelitian baru. Pada tahun 2009, Nutrient Management for Rice untuk Filipina dirilis berbentuk aplikasi Web untuk mempercepat difusi, dan kemudian pada tahun 2010 itu terus diperbarui (IRRI 2010a). Pada Gambar 2 akan dipaparkan tampilan muka saat mengakses aplikasi PHSL melalui www.webapps.irri.org/nm
Gambar 2. Tampilan aplikasi PHSL (NM RiceWeb) dan beberapa pertanyaannya. (www.webapps.irri.org/nm)
9
Aplikasi Web Nutrient Management for Rice di Filipina saat ini disebut dengan NMRiceWeb. Aplikasi ini memberikan rekomendasi pemupukan untuk sawah tadah hujan dan irigasi dengan kondisi lahan musim tanam tunggal, musim tanam ganda, atau tiga musim tanam. Biaya pemupukan dan waktu disesuaikan untuk mengakomodasi penggunaan sumber nutrisi organik dan masukan nutrisi dari sedimen yang dibawa oleh banjir. Alat ini memberikan rekomendasi pemupukan untuk tingkat hasil yang disesuaikan dengan kondisi setempat dan dapat menghitung analisis keuntungan sederhana untuk alternatif manajemen pupuk. Pada Gambar 3 dipaparkan keluaran dari aplikasi PHSL setelah menjawab semua pertanyaan yang diajukan meliputi rekomendasi pemupukan, perkiraan biaya dan keuntungan dari pemupukan, gambaran dengan penggunaan BWD.
Gambar 3. Hasil rekomendasi pemupukan aplikasi PHSL melalui Web setelah menjawab semua pertanyaan. (www.webapps.irri.org/nm) Pada tahun 2010, di Filipina telah dikembangkan aplikasi rekomendasi pemupukan untuk tanaman padi yang dapat diakses melalui ponsel. Hal ini dilakukan agar dapat menjangkau lebih banyak petani untuk menggunakannya. Potensi ponsel sebagai sumber informasi bagi petani sangat besar di negara seperti Filipina. Para ilmuwan dan teknologi informasi (TI) ahli di IRRI, dengan dukungan dari organisasi nasional dan perusahaan telepon swasta, mengembangkan aplikasi ponsel atau NMRiceMobile, sebagai alternatif untuk aplikasi Web di daerah pedesaan tanpa akses internet. Perusahaan telepon swasta menyediakan nomor bebas pulsa untuk mengakses NMRiceMobile dengan menggunakan respon suara interaktif melalui ponsel.
10
Dengan adanya NMRiceMobile di Filipina, petani dapat memanggil nomor bebas pulsa. Setelah petani terhubung, suara prompt otomatis menginstruksikan pemanggil untuk menjawab pernyataan – pertanyaan (lampiran 2) tentang kondisi lahan secara spesifik dengan menekan nomor yang sesuai pada keypad ponsel. Setelah petani menjawab semua pernyataan, rekomendasi pupuk lapangan khusus dikirim ke telepon pemanggil sebagai pesan teks. Namun demikian, aplikasi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) di Indonesia masih berbayar (belum bebas pulsa). Gambar 4 akan menampilkan contoh pesan teks yang diterima nomor yang mengakses aplikasi PHSL melalui ponsel.
Gambar 4. Pesan teks yang diterima setelah mengakses NMRiceMobile. NMRiceWeb dan NMRiceMobile di Filipina adalah aplikasi sepenuhnya kompatibel yang membutuhkan informasi lahan petani, berbagi database umum dan perhitungan, dan menghasilkan rekomendasi pemupukan untuk petani dan penyuluh berdasarkan tanggapan atas pertanyaan. Rekomendasi pemupukan yang diberikan terdiri dari jumlah pupuk untuk diterapkan dengan tahap pertumbuhan tanaman padi. Aplikasi ini mengakomodasi benih padi, termasuk varietas inbrida dan hibrida dengan berbagai jangka waktu pertumbuhan. NMRiceWeb dan NMRiceMobile memberikan panduan yang konsisten dengan prinsip-prinsip ilmiah SSNM untuk padi. Kedua aplikasi tersedia dalam bahasa Inggris dan lokal dipahami dan digunakan oleh petani. Di Indonesia sendiri telah tersedia dalam 5 bahasa, yaitu bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, Bugis dan Bali. Pengembangan aplikasi Nutrient Management for Rice dimungkinkan melalui kemitraan antar organisasi, termasuk pusat penelitian nasional pertanian, penyuluhan, dan sektor swasta. Aplikasi Nutrient Management for Rice bertujuan untuk memberikan praktik perbaikan manajemen nutrisi yang memungkinkan petani mendapatkan hasil panen yang lebih tinggi dan keuntungan finansial yang lebih tinggi. Aplikasi ini menyesuaikan waktu untuk memberikan pupuk Nitrogen untuk lebih cocok tahap pertumbuhan tanaman kritis, menyesuaikan tingkat pupuk untuk hasil yang diharapkan, dan menyesuaikan manajemen pupuk kalium berdasarkan Kalium yang dipasok dari penggunaan sisa tanaman dan penggunaan sumber nutrisi organik. Web aplikasi Nutrient Management for Rice sedang dikembangkan untuk padi, gandum, dan jagung di negara-negara di seluruh Asia. Pengembangan dan perilisan aplikasi Web memberikan kesempatan bagi perkembangan selanjutnya dari aplikasi ponsel. Web dan aplikasi ponsel di masa depan memiliki potensi untuk menghubungkan petani dengan pemasok pupuk di dekatnya. Nutrient Management akan diperluas untuk menyediakan petani dengan praktik terbaik manajemen tanaman seperti persiapan lahan, kualitas benih, irigasi, dan manajemen hama di samping pengelolaan hara. Web dan aplikasi ponsel Nutrient Management for Rice membantu mengkoordinasi keputusan yang kompleks dan membutuhkan pengetahuan untuk membuatnya menjadi mudah untuk mendapatkan rekomendasi pemupukan bagi para penyuluh, penasihat tanaman, dan petani.
11
F. ADOPSI TEKNOLOGI Seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi suatu organisasi dalam rangka menjalankan tugasnya serta mewujudkan visi dan misinya antara lain dilakukan dengan menerapkan teknologi komunikasi sebagai salah satu media dalam pengelolaan informasi. Penerapan teknologi suatu organisasi disebabkan oleh beberapa hal yang berbeda satu sama lain, antara lain : kebutuhan dan kepentingan organsasi itu sendiri, kebijakan pemerintah atau paksaan dari negara – negara maju. Dalam penerapan teknologi komunikasi perlu memeprhatikan struktur organisasi yang menampung hasil inovasi baru, kemamupuan teknis sumbeir daya manusia dan budaya yang yang ada dalam organisasi. Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) mengacu pada penggunaan peralatan elektronik (terutama komputer) untuk memproses suatu kegiatan tertentu. TIK mempunyai kontribusi yang potensial untuk berperan dalam mencapai manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan yang signifikan. Di Indonesia, bidang teknologi informasi dan komunikasi merupakan salah satu dari enam bidang fokus utama pengembangan iptek, yaitu : (1) Ketahanan pangan, (2) Sumber energi baru dan terbarukan, (3) Teknologi dan manajemen transportasi, (4) Teknologi informasi dan komunikasi, (5) Teknologi pertahanan, dan (6) Teknologi kesehatan dan obat – obatan. Dalam mendukung kegiatan pembangunan pertanian berkelanjutan, TIK memiliki peranan sangat penting untuk mendukung tersedianya informasi pertanian yang relevan dan tepat waktu. Saat ini teknologi komunikasi telah berkembang pesat dengan khususnya internet, hal ini diasumsikan memberikan peluang besar oleh para pelaku bisnis dan organisasi tertentu. Internet telah dianggap memberikan peluang besar yang bisa dimanfaatkan untuk sektor pemberian informasi secara cepat, mudah, murah dan tanpa batasan waktu. Namun, dalam bidang pertanian teknologi ini belum banyak dimanfaatkan. Dengan tidak adanya wadah yang menampung hasil inovasi berpengaruh pada proses difusi inovasi yang menimbulkan kecenderungan untuk menolak, karena individu merasa tidak jelas dalam melakukan aktivitas yang berkaitan dengan hasil inovasi yang telah diadopsi oleh organisasi. Selain penolakan ataupun keterlambatan penerimaan disebabkan adanya budaya dan kemampuan teknis. Budaya yang ada dan telah lama berkembang serta menjadi kepercayaan yang merupakan pegangan bagi setiap anggota organisasi. Dengan kondisi tersebut masuknya budaya yang dibawa oleh teknologi yang diadopsi menimbulkan pro dan kontra di tengah – tengah suatu masyarakat. Pro dan kontra tersebut tercermin dalam berbagai sikap dan tanggapan dari anggota masyarakat yang bersangkutan, ketika proses yang dimaksud berlangsung di tengah – tengah mereka. Sedangkan kemampuan teknis yang dimiliki oleh sumber daya manusia dalam kondisi tidak terlatih untuk menggunakannya. Menurut Rogers (1995) diacu dalam Soekartono (2008), organisasi dibuat untuk menangani tugas – tugas rutin dalam skala besar melalui suatu aturan tentang hubungan antar manusia. Struktur diperlukan untuk menampung hasil inovasi, selain itu dapat menjadi penghubung antara satu inovasi dan inovasi yang lain sehingga dapat saling terkait yang pada akhir akan terintegrasi secara sisteman. Program PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) merupakan suatu inovasi teknologi yang dikembangkan oleh IRRI (International Rice Research Institute), Puslitbang Tanaman Pangan, BB Padi, dan Badan Litbang Pertanain. Aplikasi ini ditujukan pada PPL dan petani sebagai pedoman atau rekomendasi pemupukan yang tepat, efektif dan efisien. Aplikasi PHSL berpedoman kepada pemupukan berimbang dan pembangunan pertanian berkelanjutan. Aplikasi PHSL sebisa mungkin dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia yang dapat menurunkan kualitas lahan, serta memaksimalkan kandungan organik yang ada pada lahan sawah.
12
Konsep berkelanjutan merupakan konsep yang sederhana namun kompleks, sehingga pengertian berkelanjutan pun sangat multi-dimensi dan multi-interpretasi. Karena adanya multidimensi dan multi-interpretasi ini, para ahli sepakat untuk sementara mengadopsi pengertian yang telah disepakati oleh Komisi Brundtland yang menyatakan bahwa “pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka” (Fauzi 2004 dalam Lubis 2010). Konsep keberlanjutan ini paling tidak mengandung dua dimensi, yaitu dimensi waktu karena keberlanjutan tidak lain menyangkut apa yang akan terjadi di masa mendatang, dan dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem sumber daya alam dan lingkungan. Soekartono (2008) menyatakan bahwa difusi (penyebar serapan) inovasi terdiri dari unsur – unsur : (1) inovasi (inovation), (2) saluran komunikasi (communication channels), (3) waktu (time), dan (4) sistem sosial (social system). Inovasi merupakan suatu ide, cara – cara ataupun objek yang dioperasikan seseorang sebagai sesuatu yang baru. Baru tidaklah semata – mata dalam ukuran waktu sejak ditemukan atau pertama kali digunakannya inovasi tersebut. Saluran komunikasi digunakan untuk menyebarluaskan inovasi yang telah diadopsi oleh organisasi kepada masyarakat ataupun kepada anggotanya. Saluran komunikasi yang digunakan untuk penyebarluasan inovasi kepada masyarakat luas dilakukan melalui media elektronik, media cetak maupun media baru. Waktu, selain itu dalam penyebarluasan inovasi kepada karyawan diperlukan adanya waktu dan adanya pemahaman terhadap sistem sosial yang ada dalam organisasi seperti budaya. Sistem sosial, setiap organisasi memiliki satu budaya atau lebih yang memuat perilaku – perilaku yang diharapkan tertulis atau tidak tertulis. Budaya suatu kelompok dapat digolongkan sebagai seperangkat pemahaman atau makna yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang. Dalam difusi inovasi terdapat faktor untuk pertimbangan bagi adopter (penerima inovasi) untuk menerima atau menolak. Terdapat lima karakteristik yang menandai setiap gagsan atau cara baru, diterima atau ditolak oleh masyarakat, yaitu : 1. Keuntungan – keuntungan relatif (relative advantages), yaitu sejauhmana inovasi, cara – cara atau gagasan baru ini memberikan suatu keuntungan bagi mereka yang menerimanya. 2. Keserasian (compatibility), yaitu apakah inovasi yang hendak di difusikan tersebut serasi dengan nilai – nilai, sistem kepercayaan, gagasan yang lebih dahulu diperkanalkan sebelumnya, kebutuhan, selera, adat – istiadat dan sebagainya dari masyarakat yang bersangkutan. 3. Kerumitan (complexity), yaitu apakah inovasi tersebut dirasakan rumit. Pada umumnya masyarakat tidak atau kurang berminat pada hal – hal yang rumit, sebab selain sukar untuk dipahami juga cenderung dirasakan merupakan tambahan beban yang baru. 4. Dapat dicobakan (trialability), yaitu bahwa suatu inovasi akan lebih cepat diterima bila dapat dicobakan dulu dalam ukuran kecil sebelum adopter terlanjur menerimanya secara menyeluruh. Hal ini adalah cerminan prinsip manusia yang selalu ingin menghindari risiko yang besar dari perbuatannya. 5. Dapat dilihat (observability), jika suatu inovasi dapat disaksikan dengan mata, dapat terlihat langsung hasilnya, maka adopter akan lebih mudah untuk mempertimbangkan menerimanya, daripada bila inovasi itu berupa sesuatu yang abstrak, yang hanya dapat diwujudkan dalam pikiran atau hanya dapat dibanyangkan. Penerimaan inovasi seseorang atau organisasi dilakukan melaui sejumlah tahapan yang disebut tahap putusan inovasi : (1) Tahap pengetahuan (knowledge), tahap dimana seseorang sadar, tahu, bahwa ada sesuatu inovasi, (2) Tahap bujukan (persuation), tahap ketika seseorang sedang mempertimbangkan atau sedang membentuk sikap terhadap inovasi yang telah diketahui tadi, (3)
13
Tahap putusan (decision), tahap dimana adopter membuat keputusan meneriam atau menolak inovasi yang diperkenalkan, (4) Tahap implementasi (implementation), tahap dimana adopter melaksanakan keputusan yang telah dibuatnya mengenai suatu inovasi, dan (5) Tahap pemastian (confirmation), tahap dimana adopter memastikan putusan yang telah diambilnya tersebut. Dalam keputusan yang dilakukan individu atau adopter ada kemungkinan untuk melanjutkan mengadopsi (continued adoption) atau menghentikannya (discontinuance). Bisa saja individu atau adopter yang menolak inovasi terus mencari informasi lebih lanjut dan terlambat mengadopsinya (later adoption) atau tetap menolak (continued rejecttion) sesuai dengan informasi yang diterimanya. Demikian dengan kategorinya, individu yang mengadopsi suatu inovasi (adopter) atas lima kategori sebagai berikut : 1. Innovator, kelompok kosmopolit yang berani dan gemar dengan pembaharuan. 2. Early Adopter, kelompok yang terdiri dari pemimpin informal sebagai panutan bagi adopter selanjutnya. 3. Early Majority, kelompok yang biasanya menjadi anggota tetapi lebih awal mengadopsi inovasi daripada anggota lain. 4. Late Majority, kelompok yang bertindak menjauhi risiko. 5. Laggard, kelompok yang tradisonal. Meskipun masih terdapat beberapa kendala sehingga pemanfaatan TIK menjadi sangat komplek dan sulit untuk diadopsi. TIK sebenarnya dapat menyediakan kesempatan yang lebih besar untuk mencapai suatu tingkatan tertentu yang lebih baik bagi petani. Hal ini ditunjukkan ketika beberapa lembaga penelitian dan pengembangan menyampaikan studi kasus yang mendeskripsikan bagaimana TIK telah dimanfaatkan oleh petani dan stakeholders usahawan pelaku bidang pertanian sehingga memperoleh peluang yang lebih besar untuk memajukan kegiatan usahataninya. Keberhasilan pemanfaatan TIK oleh petani di Indonesia dalam memajukan usahataninya ditunjukkan oleh beberapa kelompok tani yang telah memanfaatkan internet untuk akses informasi dan promosi hasil produksinya dengan menggunakan fasilitas yang disediakan Community Training and Learning Centre (CLTC) di Pancasari (Bali) dan Pabelan (Salatiga) yang dibentuk Microsoft bekerja sama dengan lembaga nonprofit di bawah Program Unlimited Potential.
G. PERAN PENYULUH PERTANIAN Pengembangan usahatani tidak terlepas dari peran kelembagaan yang terdiri dari beberapa instansi yang menyangkut penelitian maupun penyuluhan. Instansi baik pemerintah maupun swasta yang melakukan penelitian dan pengembangan pertanian merupakan tempat menghasilkan teknologi baru yang akan diadopsi oleh petani sebagai subjek pertanian. Penyuluh pertanian mempunyai peran dalam proses alih teknologi sehingga dapat diadopsi oleh petani. Cepat atau lambatnya proses adopsi teknologi oleh petani tergantung pada kinerja penyuluh pertanian di lapangan. Penyuluh pertanian menyangkut bidang tugas yang amat luas dan berhubungan dengan administrasi pemerintah untuk membantu petani melaksanakan manajemen usahatani sebaik – baiknya, menuju usahatani yang efisien dan produktif. Koordinasi dari semua tugas ini merupakan fungsi dari penyuluhan pertanian (agricultural extension). Penyuluhan pertanian dapat juga disebut bentuk pendidikan nonformal. Suatu bentuk pendidikan yang cara, bahan, dan sasarannya disesuaikan dengan kepentingan, keadaan, waktu, maupun tempat petani. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kemampuan serta menambah wawasan petani dalam melaksanakan usaha taninya. Melalui penyuluhan diharapkan akan terjadi perubahan perilaku petani, sehingga mereka dapat memperbaiki cara bercocok tanam agar lebih besar penghasilan dan lebih layak hidupnya (Daniel, 2002).
14
Kegiatan penyuluh pertanian meliputi : (1) memfasilitasi proses pembelajaran petani dan keluarganya beserta masyarakat pelaku agribisnis, (2) memberikan rekomendasi dan mengusahakan akses petani dan keluarganya ke sumber – sumber informasi dan sumber daya yang akan membantu mereka dalam memecahkan masalah yang dihadapi, (3) membantu menciptakan iklim usaha yang menguntungkan, (4) mengembangkan organisasi petani menjadi organisasi sosial ekonomi yang tangguh dan (5) menjadikan kelembagaan penyuluh sebagai lembaga mediasi dan intermediasi, terutama yang menyangkut teknologi dan kepentingan petani dan keluarganya beserta masyarakat pelaku agribisnis. Tugas penyuluhan pertanian terutama menyangkut usaha membantu petani agar senantiasa meningkatkan efisiensi usaha tani. Sedangkan bagi petani, penyuluhan itu adalah suatu kesempatan memperoleh pendidikan diluar sekolah, di mana mereka dapat belajar sambil berbuat (learning by doing). Para petani yang hidup dalam lingkungan pertanian yang sempit selalu disadarkan akan adanya berbagai praktik dan kesempatan baru yang dimanfaatkan. Praktik – praktik dan penemuan penemuan baru dalam teknologi ini kadang – kadang terdapat tidak jauh dari tempat tinggal petani walaupun sering juga berasal dari daerah – daerah yang jauh atau bahkan dari luar negeri. Fungsi untuk memperkenalkan hal – hal baru ini pada para petani setempat inilah yang merupakan masalah pokok dari penyuluhan pertanian. Bila dilakukan percobaan atau demonstrasi di lingkungan petani, petani akan melihat sendiri sampai di mana hal – hal baru tersebut benar – benar cocok dengan keadaan setempat. Jika memang demikian, makan kemudian petani akan mempertimbangkan untung dan ruginya. Setelah secara teknis dan ekonomis dianggap menguntungkan barulah petani memutuskan untuk menerima dan mempraktikkan penemuan baru ini.
15