6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Morfologi Jagung Tanaman jagung (Zea mays L.) termasuk famili rumput-rumputan (Graminae) dari sub famili myadeae dengan tipe perakaran monokotil yaitu akar serabut yang menyebar. Pada fase perkecambahan muncul akar primer dan setelah beberapa hari muncul akar seminal serta rambut akar, kemudian pertumbuhan selanjutnya adalah pertumbuhan akar nodal (akar mahkota) yang muncul dari buku basal dan akar udara yang keluar dari dua atau lebih buku terbawah dekat dengan permukaan tanah (Hardman dan Gunsolus 1998)
Sumber: (Hochholdinger et al., 2004) Gambar 1. Perakaran jagung pada stadia pertumbuhan kecambah Keterangan: A: 3 hari setelah berkecambahan, B: 5 hari setelah berkecambahan, dan C: 10 hari setelah berkecambahan. PR: Akar primer (primary root) ; SR: akar seminal (seminal root); CR: akar nodal atau mahkota (crown root); c: buku koleoptil (coleoptilar node); m: mesokotil; s: scutellar node. Secara umum akar jagung cenderung menyebar secara horisontal dekat permukaan tanah. Pada kondisi lingkungan optimum pertumbuhan akar seminal dapat menyebar sampai radius 100 cm.
7
Tanaman jagung mempunyai batang yang tidak bercabang, berbentuk silindris, dan teridiri atas sejumlah ruas dan buku ruas. Pada buku ruas tertentu terdapat tunas yang berkembang menjadi tongkol. Tinggi tanaman bervariasi yaitu berkisar 60-300 cm, tergantung pada varietas dan lokasi tumbuh. Sesudah koleoptil muncul di atas permukaan tanah, daun jagung mulai terbuka. Setiap daun terdiri atas helaian daun, ligula (mulut daun), dan pelepah daun yang erat melekat pada batang. Jumlah daun sama dengan jumlah buku batang. Jumlah daun umumya berkisar 10-18 helai tergantung varietasnya. Daun jagung mempunyai keragaman dalam panjang, lebar, tebal, dan warna pigmentasi.
B. Kebutuhan Air bagi Tanaman Jagung Air merupakan komponen utama pada tanaman. Menurut Fitter dan Hay (1994) kandungan air pada tanaman dapat mencapai 70-90% dari bobot segar jaringan dan organ tanaman, dan sebagian besar dikandung dalam sel. Monneveux dan Belhassen (1996) mengatakan bahwa air adalah molekul bipolar dengan ikatan hidrogen diantara molekul air yang berdekatan. Struktur air ini menyebabkan fungsi mekanik dan fisiologi di dalam tanaman. Fungsi mekanik air ialah tekanan air pada dinding sel yang bertanggung jawab terhadap turgiditas dan rigiditas tanaman. Pada tingkat jaringan, air berfungsi sebagai penghubung di antara sel tanaman secara berkesinambungan dari akar ke daun melalui xylem dan ditranspirasikan melalui stomata dan kutikula. Noggle dan Fritz (1983) menjelaskan fungsi air bagi tanaman yaitu : (1) sebagai senyawa utama pembentuk protoplasma, (2) sebagai pelarut bagi masuknya mineral-mineral dari larutan tanah ke tanaman dan sebagai pelarut mineral nutrisi yang akan diangkut dari suatu bagian sel ke bagian sel yang lain, (3) sebagai media terjadinya reaksi-reaksi metabolik, (4) menjaga turgiditas sel dan berperan sebagai tenaga mekanik pembesaran sel. Dari peran tersebut, maka konsekuensi langsung atau tidak langsung bila air tidak cukup tersedia akan mempengaruhi semua proses metabolik tanaman, sehingga menurunkan pertumbuhan dan produksi tananam.
8
Ketersediaan air dalam tubuh tanaman diperoleh melalui proses fisiologis dan hilangnya air dari permukaan bagian tanaman melalui proses evaporasi dan transpirasi. Tanaman dengan luas daun yang besar akan mengalami kehilangan air yang besar melalui transpirasi. Bila suplai air berlangsung pada tingkat yang normal maka akan menjamin kestabilan tekanan turgor yang berkaitan dengan proses membukanya stomata, sebaliknya bila tanaman mengalami kekurangan suplai air sedangkan proses transpirasi berlangsung cepat maka yang terjadi adalah kekurangan air dalam tanaman. Kebutuhan air semakin meningkat dimulai pada awal pertumbuhan hingga mencapai maksimum pada fase pembungaan dan pengisian biji, selanjutnya menurun hingga fase masak fisiologis. Tanaman jagung dengan berat kering 454 gram menyerap air kira-kira 205 liter namun yang digunakan hanya sekitar 5% saja dan selebihnya hilang melalui stomata (Kramer, 1959). Menurut Agus et al. (2000) kebutuhan air pada tanaman jagung berbeda-beda pada tiap fase pertumbuhan, dimana pada fase perkecambahan atau awal pertumbuhan membutuhkan air 56 mm, fase vegetatif 167 mm, fase pembungaan 115 mm, fase pembentukan biji 250 mm dan fase pemasakan 62 mm. Menurut Monneveux et al. (2005) kebutuhan air paling banyak pada tanaman jagung adalah periode taselling (keluarnya bunga jantan) sampai dua minggu setelah silking (keluarnya bunga betina). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan air pada saat tasseling dan sesudah sliking menyebabkan penurunan produksi.
C. Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan Ketersediaan air dalam tanah bagi tanaman umumnya pada kapasitas lapang dengan potensial air tanah -0.03 MPa dan layu permanen -1.5 MPa. Ketersediaan air tanah yang dapat diserap tanaman adalah pada potensial air -0.03 sampai -0.5 MPa dan pada kondisi tersebut tanaman mengabsorbsi air sekitar 55 – 65% dari yang tersedia. Pada kondisi potensial air tanah sekitar -0.5 sampai -1.5 MPa tanaman menunjukkan gejala kelayuan walaupun tanaman dapat mengabsorbsi air.
9
Menurut Smirnoff (1993) kekeringan dapat didefinisikan secara tepisah yaitu sebagai defisit air dan desikasi (desiccation); 1. Defisit air dapat didefinisikan sebagai kehilangan air yang moderat, dimana pada kondisi tersebut mengakibatkan stomata menutup dan membatasi pertukaran gas. Pada kondisi tersebut tanaman memiliki kandungan air relatif berkisar 60% - 70% dan menyebabkan stomata menutup sehingga pertukaran CO2 terganggu. 2. Desikasi didefinisikan sebagai kehilangan air yang sangat besar dan berpotensi mengganggu proses metabolisme dan struktur sel serta terhentinya reaksi yang dikatalis oleh aktivitas enzim.
Menurut Levit (1980) cekaman kekeringan disebabkan (a) kekurangan suplai air dari daerah perakaran dan (b) permintaan air yang berlebihan oleh daun dimana laju evapotranspirasi melebihi laju absorbsi air oleh akar tanaman. Faktor pertama banyak dialami oleh tanaman pada lahan-lahan kering di daerah tropis. Hal tersebut diperparah dengan perubahan iklim atau musim dari tahun ke tahun. Cekaman kekeringan merupakan penyebab utama terjadinya variasi hasil tanaman. Menurut Fukai dan Cooper (1995) dalam Sopandie (2006) berdasarkan kemampuan genetik tanaman, terdapat empat mekanisme adapatasi pada kondisi cekaman kekeringan yaitu: 1. Melepaskan diri dari cekaman kekeringan (drought escape), yaitu kemampuan tanaman menyelesaikan siklus hidupnya sebelum mengalami defisit air yang parah. Mekanisme ini ditunjukkan dengan perkembangan sistem pembungaan yang cepat. Namun mekanisme adaptasi tersebut memiliki kelemahan. Genotipe genjah dengan umur pendek umumnya berdaya hasil rendah dibandingkan dengan yang berumur panjang. 2. Toleransi dengan potensial air jaringan yang tinggi (dehydration avoidance), yaitu
kemampuan
tanaman
tetap
menjaga
potensial
jaringan
dengan
meningkatkan penyerapan air atau menekan kehilangan air. Pada mekanisme ini biasanya tanaman mempunyai kemampuan untuk meningkatkan sistem perakaran,
10
kemampuan
menurunkan
hantaran
epidermis
untuk
regulasi
stomata,
pengurangan absorbsi radiasi dengan pembentukan lapisan lilin, bulu yang tebal, dan penurunan permukaan evapotranspirasi melalui penyempitan luas daun serta pengguguran daun tua. 3. Toleransi dengan potensial air jaringan yang rendah (dehydration tolerance), yaitu kemampuan tanaman untuk menjaga tekanan turgor sel dengan menurunkan potensial airnya melalui akumulasi solut seperti gula, asam amino dan prolin. Prolin yang terbentuk pada tanaman berasal dari karbohidrat melalui pembentukan alfa-ketoglutarate dan glutamate. Pada kondisi cekaman kekeringan, tanaman mengakumulasi prolin dalam jumlah yang besar, namun setelah keadaan normal terjadi oksidasi prolin dengan cepat untuk menjaga kandungan prolin yang rendah dalam tanaman. 4. Mekanisme penyembuhan (drought recovery), dimana proses metabolisme berjalan normal kembali setelah mengalami cekaman kekeringan. Mekanisme ini penting manakala cekaman kekeringan terjadi pada awal perkembangan tanaman.
Pengaruh cekaman kekeringan bergantung pada genetik tanaman, dimana perbedaan morfologi, anatomi dan metabolisme akan menghasilkan respon yang berbeda terhadap cekaman kekeringan (Hamim 2004). Pada umumnya tanaman yang mengalami cekaman kekeringan akan menggunakan lebih dari satu mekanisme tersebut untuk menjaga kelangsungan hidupnya (Mitra 2001 dalam Sopandie 2006). Tanaman yang tidak mampu beradaptasi pada kondisi cekaman kekeringan akan mati apabila mengalami cekaman lebih lanjut.
D. Pengaruh Cekaman Kekeringan pada Tanaman Jagung. Salah satu faktor tanaman jagung mengalami cekaman kekeringan adalah sistem perakaran yang cenderung menyebar dekat permukaan tanah, sehingga sangat peka terhadap fluktuasi kadar air tanah. Dengan sistem perakaran tersebut maka akar tidak dapat menjangkau ke lapisan tanah yang lebih dalam dimana lengas tanah lebih tinggi dibanding lapisan dekat permukaan tanah.
11
Kekeringan
pada
tanaman
jagung
menyebabkan
penutupan
stomata,
penggulungan, senenscence daun, dan degradasi klorofil. Penggulungan daun disebabkan oleh rendahnya turgiditas sel daun dengan potensial air daun tanaman mencapai -1.5 MPa. Kekeringan juga dapat menyebabkan pertumbuhan luas daun, tinggi dan batang menjadi menurun serta organ reproduktif yang terbentuk lebih kecil dari ukuran normal. Kekeringan yang terjadi pada masa generatif akan mempercepat waktu panen dan kualitas biji menjadi rendah (Banziger et. al. 2000). Seleksi kekeringan jagung berdasarkan prosedur CIMMYT dengan perlakuan cekaman kekeringan saat fase pembungaan atau fase pengisian biji, hasilnya hanya 30- 60% dari hasil pada kondisi optimum. Jika tanaman mengalami kekeringan pada fase pembungaan sampai masak fisiologis, hasilnya 15 - 30% dari hasil pada kondisi optimum, sedangkan kekeringan pada masa vegetatif tidak berakibat langsung terhadap hasil (Banziger et. al. 2000).
E. Seleksi dan Karakter Genotipe Jagung Toleran Cekaman Kekeringan pada Beberapa Fase Pertumbuhan Penanaman varietas toleran kekeringan dapat mengatasi permasalahan lahanlahan kering yang tidak dimanfaatkan pada musim kemarau. Varietas tersebut dapat diperoleh dari hasil seleksi atau penapisan genotipe yang mampu beradaptasi pada kondisi cekaman kekeringan. Langkah penting yang perlu dikembangkan terlebih dulu dalam program perakitan varietas toleran adalah memperoleh genotipe jagung toleran cekaman kekeringan dengan cara melakukan seleksi genotipe jagung pada kondisi cekaman kekeringan. Seleksi dapat dilakukan mulai dari fase perkecambahan, vegetatif hingga generatif.
12
E.1. Penggunaan polietilena glikol (PEG) 6000 untuk simulasi lingkungan cekaman kekeringan Simulasi cekaman kekeringan banyak dilakukan dengan menggunakan larutan osmotikum yang dapat mengontrol pontensial air dalam media tanaman. Terdapat tiga jenis bahan osmotikum yang sering digunakan yaitu melibiose, mannitol dan polietilena glikol (polyethilen glycol, PEG). Menurut Verslues et al. (2006) diantara ketiga bahan osmotikum tersebut ternyata PEG merupakan bahan yang terbaik untuk mengontrol potensial air dan tidak dapat diserap tanaman atau
menyebabkan
keracunan pada tanaman. PEG adalah senyawa inert non ionik dan polimer dari ethylene oxyde dengan rumus HCOH2(CH2OCH2)n CH2OH; n adalah banyaknya grup oksi etilen. Senyawa ini tidak mudah dipecah oleh organisme hidup sehingga tidak bersifat toksid. PEG juga bersifat non metabolik sehingga tidak dapat disintesa oleh tanaman. PEG memiliki berat molekul 3.000 – 20.000 yang dapat larut sempurna dalam air (Mexal et al.1975). Penggunaan larutan PEG meyebabkan penurunan potensial air secara homogen sehingga dapat digunakan untuk meniru besarnya potensial air tanah (Michel & Kaufman 1973). Penurunan potensial air tergantung pada konsentrasi dan bobot molekul PEG yang terlarut. Total massa -CH2-O-CH2-
atau kekuatan matriks
subunit-etilen dalam mata rantai polimer PEG merupakan faktor penting yang mengontrol besarnya penurunan potensial air. Bila PEG dilarutkan dalam air maka molekul air (H2O) akan tertarik ke atom oksigen pada subunit etlien oksida melalui ikatan hidrogen sehingga menyebabkan potensial air menurun. Fenomena ini menunjukkan bahwa PEG lebih berperan sebagai “matrikum” daripada sebagai osmotikum. Meskipun kekuatan osmotikum juga muncul namun kekuatan matriks merupakan komponen utama potensial air dalam larutan PEG. Semakin pekat kosentrasi PEG semakin banyak zat terlarut yang menahan masuknya air ke dalam jaringan tanaman akibatnya akar tanaman semakin sulit untuk menyerap air. Menurut Chazen dan Neuman (1994) penggunaan PEG 6000 dalam jangka panjang pada tanaman relatif aman, karena PEG 6000 tidak dapat masuk ke dalam
13
jaringan akar tanaman atau dinding selulosa hanya dapat dilewati oleh PEG dengan berat maksimum 3500. Namun menurut Blum (2006) akar yang rusak atau putus dapat mengabsorbsi PEG 6000-8000 sehingga dalam percobaan dihindari terjadinya kerusakan akar. Asay dan Johnson (1983) menyatakan bahwa simulasi cekaman kekeringan dengan menggunakan larutan PEG dapat mendeteksi dan membedakan respon tanaman
terhadap
cekaman
kekeringan.
Keunggulan
sifat
PEG
tersebut
memungkinkan PEG dapat digunakan sebagai alternatif dalam seleksi genotipe jagung pada kondisi cekaman kekeringan pada fase perkecambahan (Ogawa & Yamauchi 2006) dan fase vegetatif dengan media pasir (Chazen & Neuman 1994).
E.2. Toleransi cekaman kekeringan pada fase perkecambahan Alternatif penapisan toleransi genotipe jagung pada fase perkecambahan dapat dilakukan di laboratorium atau rumah kaca untuk melihat respon genotipe tersebut pada kondisi cekaman kekeringan. Hasil penelitian Rumbough dan Jhonson (1981) bahwa tanaman alfalfa (Medicago sativa L.) yang mampu berkecambah pada tekanan osmotik -0.65 MPa di labotarium, menunjukkan kemampuan tumbuh yang baik di lapangan dan bertahan hidup pada kondisi cekaman kekeringan. Respon perkecambahan tiap genotipe berbeda pada kondisi cekaman kekeringan. Hasil penelitian Saint-Clair (1980) menunjukkan bahwa genotipe pearmillet yang toleran kekeringan yaitu HB-5 dan K-559, memperlihatkan kemampuan berkecambah yang tinggi jika dibandingkan dengan genotipe peka. Hal tersebut disebabkan genotipe toleran lebih efisien menggunakan air untuk berkecambah jika dibandingkan dengan genotipe peka. Fenomena yang sama juga diperlihatkan pada penelitian Krisnashmay dan Irulappan (1992) pada genotipe cabe yang toleran cekaman kekeringan mampu menggunakan air yang lebih sedikit untuk dapat berkecambah dibanding genotipe yang peka. Setiap spesies memerlukan penyerapan air yang cukup untuk bisa berkecambah dan mempunyai batas tegangan tersendiri. Nilai batas tersebut -1.25 MPa untuk jagung, -0.79 MPa untuk padi, -0.66 MPa untuk kedelai dan -0.35 MPa untuk bit
14
gula (Levitt 1980). Hasil penelitian Blum et al. (1980) menyatakan bahwa penggunaan PEG 6000 dengan tingkat potensail air -0.59 sampai -1.13 Mpa dapat digunakan untuk penapisan toleransi genotipe gandum terhadap cekaman kekeringan. Rumbough dan Johnson (1981) menyatakan bahwa seleksi genotipe toleran kekeringan pada fase perkecambahan merupakan upaya untuk mengatasi biaya yang mahal, lamanya waktu yang dibutuhkan, dan jumlah genotipe yang banyak untuk diuji di lapang. Perusahaan Pioneer telah mengevaluasi hasil seleksi genotipe jagung pada fase awal pertumbuhan dimana perlakuan cekaman diberikan 0 - 14 hari setelah tanam. Genotipe jagung yang dikelompokkan memiliki karater akar yang lebih panjang dan cabang akar yang banyak dan bobot kering akar yang besar ternyata berproduksi lebih baik dibanding genotipe yang memiliki karakter akar yang kecil (Bruce et al. 2002). Hasil penelitian Oemar et al. (1997) menyatakan bahwa untuk keperluan penyaringan ketahanan
genotipe
kedelai
terhadap
cekaman
kekeringan
pada
tingkat
perkecambahan, paling tepat menggunakan kriteria panjang akar dan bobot kering akar.
E.3. Toleransi cekaman kekeringan pada fase pertumbuhan vegetatif Pada kondisi cekaman kekeringan, tanaman mampu melakukan strategi adapatsi yang berbeda untuk mengurangi efek kerusakan akibat cekaman kekeringan. Adaptasi tersebut dapat terjadi secara mofologi, fisiologi dan biokimia (Davis et al. 1986).
E.3.1. respon morfologi Pada kondisi cekaman kekeringan, tanaman mengintesifkan perkembangan akar terutama ke arah vertikal, sedangkan pertumbuhan tajuk dihambat. Tanaman dengan panjang akar yang dalam dan perluasan akar yang besar akan mampu meningkatkan absorbsi air pada lapisan tanah yang lebih dalam, sementara kehilangan air melalui proses transpirasi dari tajuk ditekan (Karmer 1980; Sammons et. al. 1980; Creellman et al. 1990; Herawati 2000). Hal tersebut yang menyebabkan rasio bobot kering
15
akar/pucuk meningkat pada kondisi cekaman kekeringan. Pertumbuhan akar berupa panjang, densitas akar, dan bobot kering akar yang tinggi merupakan suatu indikasi tanaman menghindar dari cekaman kekeringan. Terjadinya kehilangan air pada tanaman, hampir 90% melalui stomata daun sehingga tanaman akan menekan kehilangan air dari tajuk dengan cara (a) mengurangi luas daun (b) mengubah sudut daun pada posisi hampir sejajar dengan datangnya cahaya agar suhu daun tidak cepat meningkat, dan (c) memiliki jumlah stomata daun yang rendah. Menurut Banziger et al. (2000) bahwa jumlah stomata pada tiap genotipe akan berbeda dan dikendalikan secara genetik. Tanaman yang memiliki jumlah stomata daun yang lebih kecil akan mengalami laju tranpirasi yang lebih rendah namun demikian tidak mempengaruhi laju fotosintesis. Titik kritis pengaruh cekaman kekeringan adalah kelayuan, yaitu suatu gejala defisit air yang diakibatkan laju kehilangan air melalui transpirasi lebih besar dari pada laju penyerapan air oleh akar. Oleh karena itu toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan dapat diamati dari kecepatan muculnya gejala layu (Banziger et al. 2000).
E.3.2. Respon fisiologi dan biokimia Respon fisiologi tanaman untuk beradaptasi pada kondisi cekaman kekeringan diantaranya adalah kemampuan tanaman mempertahankan tekanan turgor dengan meningkatkan potensial osmotik (Jones et al. 1981).
Menurut Hale dan Orchutt
(1987), beberapa faktor yang dapat membantu mempertahankan turgor adalah (1) meningkatkan potensial osmotik, (2) kemampuan mengakumulasi zat-zat terlarut, (3) elastisitas sel, dan (4) ukuran sel yang kecil. Pengaturan osmotik sel merupakan respon tanaman untuk mengatasi cekaman kekeringan. Pada mekanisme ini terjadi sintesis dan akumulasi senyawa organik yang dapat meningkatkan potensial osmotik dan menurunkan potensial air sel tanpa membatasi fungsi enzim. Beberapa senyawa yang berperan dalam penyesuaian osmotik sel antara lain mannitol, fructan, trehalose, ononitol, prolin, glycinebetaine,
16
ectoine dan betain. Senyawa tersebut dapat menjaga turgor dan menurunkan potensial air sel (Gupta 1997; Ober & Sharp 2003). Pembentukan senyawa osmoregulasi merupakan penanda biokimia terhadap toleransi cekaman kekeringan. Banyak peneliti menyatakan bahwa prolin banyak diakumulasi sebagai respon terhadap cekaman air yang dapat diamati pada daun dan akar. Hasil penelitian Sharp dan Davies (1979) menyatakan bahwa pada akar primer jagung, senyawa prolin berkontribusi lebih dari 50% pada osmotic adjustment dibandingkan dengan senyawa osmoregulasi lainnya. Akumulasi asam absisik (ABA) berkaitan juga dengan respon tanaman yang toleran cekaman kekeringan. Akar yang mengalami cekaman kekeringan, menurut Salisbury dan Ross (1992) akan membentuk ABA lebih banyak dan diangkut melalui xylem menuju daun untuk menutup stomata. Menurut Zeevaart dan Creelman (1988) bahwa ABA yang diproduksi dalam akar tanaman yang mengalami cekaman kekeringan berperan sebagai sinyal kimia pada tajuk sehingga mendorong penutupan stomata, sehingga tanaman dapat mengoptimalkan penggunaan air dengan cara mengurangi kehilangan air melalui transpirasi. Kondisi cekaman air
akan memicu peningkatan produksi bentuk-bentuk
oksigen reaktif yang bersifat merusak seperti singlet oksigen (O21), superoxide radical (O2-), hidrogen peroxide (H2O2) dimana molekul-molekul tersebut disebut reactive oxygen spesies (ROS). Pada kondisi cekaman kekeringan produksi ROS akan meningkat dan menyebabkan kerusakan enzim, pigmen kloroplas, membran lipid dan protein. Namun demikian kloroplas merupakan tujuan utama terhadap kerusakan ROS, karena kloroplas merupakan tempat aerobik di dalam sel tanaman (Levitt 1980). Kloroplas akan mengalami degradasi sehingga daun akan cepat mengalami klorosis dan senenscence. Oleh karena itu dalam seleksi genotipe jagung toleran cekaman kekeringan, CIMMYT memperhitungkan kemampuan tanaman untuk memperlambat senescence daun atau tanaman tetap hijau sampai waktu panen (Banziger et al. 2000). Strategi penting kemampuan tanaman untuk melindungi sel dari kerusakan akibat ROS yang diproduksi pada kondisi cekaman kekeringan adalah menghasilkan
17
senyawa antioksidan. Senyawa antioksidan berguna untuk intervensi awal yang memutuskan rentetan rantai reaksi untuk mencegah produksi ROS, senyawa tersebut antara lain: superoxide dismutase (SOD), ascorbate peroxidase (APX), catalase (CAT), guaiacol peroxydase (POD), indolacetate oxidase (IAA ox) dan polyphenol oxidase (PPO). Bukti dari genetik dan fisiologi menunjukkan bahwa peningkatan produksi antioksidan pada tanaman merupakan komponen yang penting sebagai mekanisme perlindungan tanaman terhadap cekaman kekeringan (Levitt 1980)
E.4. Toleransi cekaman kekeringan pada fase generatif Kekeringan dapat terjadi pada awal pertumbuhan, fase berbunga, fase pengisian biji sampai panen. Pada umumnya, kekeringan pada masa vegetatif tidak berakibat langsung terhadap hasil namun sebaliknya bila cekaman dialami pada fase generatif. Evaluasi dan seleksi genotipe jagung toleran kekeringan dengan menggunakan prosedur CIMMYT dengan perlakuan cekaman saat fase berbunga sampai fase pengisian biji (”tingkat cekaman sedang”), hasil jagung hanya 30-60% dibanding pada kondisi optimum. Jika tanaman mengalami kekeringan saat fase berbunga sampai panen (”tingkat cekaman berat”) hasilnya 15-30% dibandingkan hasil pada kondisi optimum (Banziger et. al. 2000). Dalam melakukan genotipe jagung toleran cekaman kekeringan perlu diketahui karakter-karakter yang dapat membedakan genotipe yang toleran dan peka cekaman kekeringan. Banziger et al. (2000) menyatakan karakter-karakter tersebut sebaiknya mudah dan murah untuk diamati, memiliki heritabilitas yang tinggi, dan dikendalikan oleh gen. CIMMYT merekombinasikan penggunaan karakter yang diamati untuk seleksi genotipe cekaman kekeringan untuk program pemuliaan pada fase generatif adalah sebagai berikut: a. Hasil pipilan biji, seleksi dilakukan berdasarkan hasil pipilan biji yang tetap atau sedikit berkurang pada kondisi cekaman kekeringan. b.
Jumlah tongkol pertanaman yang lebih banyak (prolipic).
c. Anhtesis silking interval (ASI) merupakan kriteria utama dalam merakit varietas jagung toleran cekaman kekeringan dan pengaruh terhadap produksi
18
cukup besar. Nilai ASI sekitar -1.0 sampai +3.0 hari merupakan nilai terbaik untuk varietas jagung toleran cekaman kekeringan (Bolanos & Edmeades 1993). Semakin tinggi nilai ASI semakin rendah hasil karena tidak terjadi sinkronisasi pembungaan.
ASI negatif diartikan bahwa rambut terlebih
dahulu siap diserbuki sebelum tersedia bunga jantan, sehingga
seleksi
dilakukan berdasarkan ASI yang kecil atau minus. Pengamatan ASI dilakukan pada saat 50% jumlah dari seluruh tanaman telah berbunga jantan dan betina. Perhitungan ASI adalah hari berbunga betina dikurangi hari berbunga jantan. d. Ukuran tasel, seleksi berdasarkan ukuran malai yang kecil dengan sedikit cabang, pengukuran dilakukan berdasarkan skor 1 (malai kecil dengan sedikit cabang) sampai skor 5 (malai besar dengan jumlah cabang malai banyak). Ringkasan karakter untuk seleksi, tingkat heritabilitas dan korelasinya dengan hasil disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Karakter seleksi toleransi genotipe jagung terhadap cekaman kekeringan Karakter
Heritabilitas
Seleksi
Korelasi dengan hasil
Hasil pipilan jagung
Sedang
Genotipe yang mampu menghasilkan bobot biji/tanaman yang besar
Tinggi
Jumlah tongkol/tanaman
Tinggi
Jumlah tongkol/tanaman yang lebih banyak dan tongkol aborsi sedikit
Tinggi
Anthesis-silking interval (ASI)
Sedang
ASI yang kecil atau minus
Tinggi
Senescence daun
Sedang
Tanaman stay green
Sedang
Menggulung daun (kelayuan)
Sedangtinggi
Daun yang tidak menggulung
Sedang
Pertumbuhan daun dan batang
Rendah
Klorofil daun
Rendah
Kemamun hidup pada fase perkecambahan sampai awal pertumbuhan vegetatif (14 hari setelah tanam)
Rendah
Mediumrendah
Osmotik adjusment
Rendah
rendah
Sumber: Banziger et al. (2000).
Medium rendah Daun yang lebih lambat senescense
Rendah
19
E.5. Karakter Toleransi terhadap Cekaman Kekeringan Menurut Blum (2002), karakter toleransi terhadap cekaman kekeringan dapat dipilah menjadi karakter konstitutif dan adaptif. Karakter konstitutif merupakan (a) karakter yang dikendalikan oleh gen-gen yang mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman, (b) berperan dalam mengendalikan status air jaringan dan produktivitas dalam keadaan cekaman kekeringan, dan (c) terekspresi tanpa ada pengaruh
cekaman
pertumbuhan akar,
kekeringan.
Karakter
tersebut
adalah
umur
berbunga,
warna daun, bulu daun, stay green leaves, luas daun dan
densitas stomata. Sedangkan karakter adaptasi adalah karakter yang dikendalikan oleh gen-gen yang terekspresi sebagai respons terhadap cekaman, meliputi: (a) kompatibel solut yang berperan dalam menjaga turgor dan melindungi organel sel seperti manitol, sorbitol, inositol, fructan dan prolin, (b) senyawa antioksidan seperti superoxide dismutase (SOD), ascorbate peroxidase (APX), catalase (CAT), guaiacol peroxydase (POD), indolacetate oxidase (IAA ox) dan polyphenol oxidase (PPO). Menurut Blum (2002) bahwa mempertahankan turgor atau status air sangat penting dalam toleransi kekeringan. Kemampuan ini dapat dikendalikan oleh karakter konstitutif yang secara kuantitatif lebih besar peranannya dalam toleransi terhadap cekaman kekeringan dibanding karakter adaptasi. Sehingga implikasi bagi seleksi adalah karakter konstitutif dapat diseleksi pada lingkungan tanpa cekaman.