BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Belajar Belajar merupakan salah satu unsur yang sangat fundamental dalam setiap
penyelenggaraan jenjang pendidikan. Dahar (1996) mengungkapkan bahwa belajar didefinisikan sebagai perubahan perilaku individu yang diakibatkan oleh pengalaman. Begitupula dengan Gagne dalam Dahar (1996) mengatakan bahwa belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakuknya sebagai akibat pengalaman. Higrard et al. dalam Makmun (2004) mengatakan bahwa definisi belajar selalu menunjukkan kepada suatu proses perubahan perilaku atau pribadi seseorang berdasarkan praktek atau pengalaman tertentu. Seiring dengan berjalannya waktu, Dahar (1996) mengungkapkan bahwa teori-teori belajar yang dikembangkan selama abad ke-20 dikelompokkan menjadi dua rumpun, yaitu rumpun perilaku (behavioristik) yang meliputi teori-teori stimulus-respon (S-R) conditioning, dan rumpun Gestalt-field yang meliputi teoriteori kognitif. Teori dari rumpun perilaku yang diungkapkan oleh Thorndike dalam Sanjaya (2008) bahwa belajar adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap pancaindera dengan kecenderungan untuk bertindak antara stimulus dengan respon (S-R). Teori dari keluarga Gestalt-field yang diungkapkan oleh Gestalt dalam Dahar (1996) mengungkapkan bahwa belajar merupakan suatu proses perolehan atau perubahan insait-insait (insight), pandangan-pandangan (outloks), harapanharapan, atau pola-pola berpikir seseorang. Teori yang sama menurut Gestalt-field dalam Sanjaya (2008) belajar adalah proses mengembangkan insight. Insight adalah pemahaman terhadap hubungan antarbagian di dalam suatu situasi permasalahan.
Ariya Lukman Hakim, 2012 Analisis Hasil Belajar Level Makroskopik, Mikroskopik, dan Simbolik Siswa SMP/MTs Pada Materi Perubahan Wujud Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku, pandangan-pandangan, harapan-harapan, ataupun pola berfikir seseorang yang diakibatkan berdasarkan pengalaman.
2.2
Belajar Konsep Rosser menyebutkan bahwa konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili
satu kelas objek-objek, kejadian-kejadian, kegiatan-kegiatan, atau hubunganhubungan yang mempunyai atribut yang sama. Selain itu, konsep-konsep adalah abstraksi-abstraksi berdasarkan pengalaman (Dahar, 1996). Dengan demikian, setiap orang akan membentuk konsep sesuai dengan pengalamannya. Konsepkonsep yang serupa dapat dikomunikasikan dengan menggunakan nama-nama yang diterima bersama. Sejalan dengan itu, Sagala (2006) menyatakan bahwa konsep diperoleh dari fakta, peristiwa, pengalaman melalui generalisasi dan berpikir abstrak. Konsep yang dimiliki seseorang dapat mengalami perubahan sesuai dengan fakta dan pengetahuan yang dimilikinya. Konsep berguna untuk menjelaskan dan meramalkan (Sagala, 2006). Konsep-konsep yang dijelaskan secara serupa dapat digolongkan dalam satu kelas dengan nama tertentu. Dengan demikian, maka konsep merupakan suatu abstraksi mental yang mewakili satu kelas stimulusstimulus. Seseorang yang dapat menghadapi benda atau peristiwa sebagai satu kelompok, golongan, kelas, atau kategori, ia dikatakan telah belajar konsep (Nasution, 2005). Gagne dalam Dahar (1996) membagi konsep dalam dua kategori, yaitu konsep konkret dan konsep terdefinisi. Konsep konkret dapat diperoleh melalui observasi atau pengamatan, sedangkan konsep terdefinisi adalah gagasan yang diturunkan dari objek-objek atau peristiwa-peristiwa abstrak. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar konsep adalah proses perubahan tingkah laku, cara pandang ataupun pola fikir seseorang berdasarkan fakta, peristiwa, pengalaman, ataupun pengetahuan.
Ariya Lukman Hakim, 2012 Analisis Hasil Belajar Level Makroskopik, Mikroskopik, dan Simbolik Siswa SMP/MTs Pada Materi Perubahan Wujud Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
2.3
Konsepsi dan Miskonsepsi Setiap orang dapat menafsirkan suatu konsep menurut caranya masing-
masing. Tafsiran perorangan terhadap suatu konsep disebut konsepsi (Berg, 1990). Tafsiran tersebut bisa sama dengan tafsiran para ahli yang telah disederhanakan atau pun bertentangan dengan para ahli di bidangnya. Berg (1990) menyatakan bahwa jika konsepsi tersebut bertentangan atau tidak cocok dengan maksud konsep menurut ilmu sekarang, konsepsi itu disebut miskonsepsi. Berikut diberikan beberapa pengertian miskonsepsi yang dikemukan oleh para ahli, diantaranya: a. Miskonsepsi adalah suatu konsep atau ide menyimpang dari pendapat umum yang sesuai dengan konsensus keilmuwan (Nakhleh, 1992). b. Suparno (2005), miskonsepsi atau salah konsep menunjuk pada suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam bidang itu. c. Flower (1987) memandang miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda, dan hubungan hirarkis konsepkonsep yang tidak benar (Suparno, 2005). d. Ozkawa (2002) mendefinisikan miskonsepsi sebagai suatu konsep dan masalah pengetahuan yang tidak bersesuaian dengan atau berbeda dari kesepakatan ilmiah dan tidak mencukupi untuk menjelaskan gejala ilmiah (Suparno, 2005). Dari uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa konsepsi adalah tafsiran seseorang yang sesuai atau tidak sesuai dengan kesepakatan para ahli di bidangnya. Sedangkan, konsep yang tidak sesuai dengan kesepakatan para ahli disebut dengan miskonsepsi.
2.4
Hasil Belajar Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah
ia menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan mencakup bidang kognitif, afektif dan psikomotoris yang berorientasi
Ariya Lukman Hakim, 2012 Analisis Hasil Belajar Level Makroskopik, Mikroskopik, dan Simbolik Siswa SMP/MTs Pada Materi Perubahan Wujud Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
pada proses belajar mengajar yang dialami siswa (Sudjana, 2005). Sementara menurut Gronlund (1985) hasil belajar adalah suatu bagian pelajaran misalnya suatu unit, bagian ataupun bab tertentu mengenai materi tertentu yang telah dikuasai oleh siswa. Sudjana (2005) mengatakan bahwa hasil belajar itu berhubungan dengan tujuan instruksional dan pengalaman belajar yang dialami siswa. Djamarah (2002) menyatakan bahwa berhasil atau tidaknya seseorang dalam belajar disebabkan oleh faktor yang berasal dari dalam diri (internal) individu dan faktor dari luar (eksternal) individu. Faktor-faktor internal yang mempengaruhi hasil belajar menurut Nasution dalam Djamarah (2002) adalah: 1. Fisiologis Merupakan faktor internal yang berhubungan dengan proses-proses yang terjadi pada jasmaniah. a. Kondisi fisiologis Kondisi fisiologis umunya sangat berpengaruh terhadap kemampuan belajar individu. Siswa dalam keadaan lelah akan berlainan belajarnya dari siswa dalam keadaan tidak lelah. b. Kondisi pancaindera Merupakan kondisi fisiologis yang dispesifikkan pada kondisi indera. Kemampuan untuk melihat, mendengar, mencium, meraba dan merasa mempengaruhi
hasil
belajar.
Anak
yang
memilki
hambatan
pendengaran akan sulit menerima pelajaran apabila ia tidak menggunakan alat bantu pendengaran. 2. Psikologis Faktor psikologis merupakan faktor dari dalam diri individu yang berhubungan dengan rohaniah. Faktor psikologis yang mempengaruhi hasil belajar adalah: a. Minat Minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang memerintahkan. Minat pada dasarnya Ariya Lukman Hakim, 2012 Analisis Hasil Belajar Level Makroskopik, Mikroskopik, dan Simbolik Siswa SMP/MTs Pada Materi Perubahan Wujud Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
adalah penerimaan akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau dekat hubungan tersebut, semakin besar minat. b. Kecerdasan Kecerdasan berhubungan dengan kemampuan siswa untuk beradaptasi, menyelesaikan masalah dan belajar dari pengalaman kehidupan. Kecerdasan dapat diasosiasikan dengan intelegensi. Siswa dengan nilai IQ yang tinggi umumnya mudah menerima pelajaran dan hasil belajarnya cenderung baik. c. Bakat Bakat adalah kemampuan bawaan yang merupakan potensi yang masih perlu dilatih dan dikembangkan. Bakat memungkinkan seseorang untuk mencapai prestasi dalam bidang tertentu. d. Motivasi Motivasi adalah suatu kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. e. Kemampuan kognitif Ranah kognitif merupakan kemampuan intelektual yang berhubungan dengan pengetahuan, ingatan, pemahaman dan lain-lain. Sementara faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi hasil belajar adalah: 1. Faktor lingkungan Lingkungan merupakan bagian dari kehidupan siswa. Dalam lingkunganlah
siswa
hidup
dan
berinteraksi.
Lingkungan
yang
mempengaruhi hasil belajar siswa dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Lingkungan alami Lingkungan alami adalah lingkungan tempat siswa berada dalam arti lingkungan fisik. Yang termasuk lingkungan alami adalah lingkungan sekolah, lingkungan tempat tinggal dan lingkungan bermain. b. Lingkungan sosial Makna lingkungan dalam hal ini adalah interaksi siswa sebagai makhluk sosial, makhluk yang hidup bersama atau homo socius. Ariya Lukman Hakim, 2012 Analisis Hasil Belajar Level Makroskopik, Mikroskopik, dan Simbolik Siswa SMP/MTs Pada Materi Perubahan Wujud Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Sebagai anggota masyarakat, siswa tidak bisa melepaskan diri dari ikatan sosial. Sistem sosial yang berlaku dalam masyarakat tempat siswa tinggal mengikat perilakunya untuk tunduk pada norma-norma sosial, susila, dan hukum. Sebagai contoh, ketika anak berada di sekolah, ia menyapa guru dengan sedikit membungkukkan tubuh atau memberi salam. 2. Faktor instrumental Setiap penyelenggaraan pendidikan memiliki tujuan instruksional yang hendak dicapai. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan seperangkat kelengkapan atau instrumen dalam berbagai bentuk dan jenis. Instrumen dalam pendidikan dikelompokkan menjadi: a. Kurikulum Kurikulum adalah a plan for learning yang merupakan unsur substansial dalam pendidikan. Tanpa kurikulum, kegiatan belajar mengajar tidak dapat berlangsung. Setiap guru harus mempelajari dan menjabarkan isi kurikulum ke dalam program yang lebih rinci dan jelas sasarannya, sehingga dapat diketahui dan diukur dengan pasti tingkat keberhasilan belajar mengajar yang telah dilaksanakan. b. Program Keberhasilan pendidikan di sekolah tergantung dari baik tidaknya program pendidikan yang dirancang. Program pendidikan disusun berdasarkan potensi sekolah yang tersedia baik tenaga, finansial, sarana dan prasarana. c. Sarana dan fasilitas Sarana mempunyai arti penting dalam pendidikan. Sebagai contoh, gedung sekolah yang dibangun atas ruang kelas, ruang konseling, laboratorium, auditorium, ruang OSIS akan memungkinkan untuk pelaksanan berbagai program di sekolah tersebut. Fasilitas mengajar merupakan kelengkapan mengajar guru yang harus disediakan oleh sekolah. Hal ini merupakan kebutuhan guru yang harus diperhatikan. Guru harus memiliki buku pegangan, buku penunjang, serta alat peraga Ariya Lukman Hakim, 2012 Analisis Hasil Belajar Level Makroskopik, Mikroskopik, dan Simbolik Siswa SMP/MTs Pada Materi Perubahan Wujud Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
yang sudah harus tersedia dan sewaktu-waktu dapat digunakan sesuai dengan metode pembelajaran yang akan dilaksanakan. Fasilitas mengajar sangat membantu guru dalam menunaikan tugas mengajar di sekolah. d. Guru Guru
merupakan
penyampai
bahan
ajar
kepada
siswa
yang
membimbing siswa dalam proses penguasaan ilmu pengetahuan di sekolah. Perbedaan karakter, kepribadian, cara mengajar yang berbeda pada masing-masing guru, menghasilkan kontribusi yang berbeda pada proses pembelajaran.
2.5
Tingkat Perkembangan Siswa Menurut Piaget dalam Makmun (2004) bahwa proses perkembangan
fungsi-fungsi dan prilaku kognitif dibagi ke dalam empat tahapan utama sebagai berikut: 1. Sensori motor (usia 0-2 tahun) Selama periode ini bayi mengatur alamnya dengan indera-inderanya (sensori) dan tindakan-tindakannya (motor). Selama periode ini bayi tidak mempunyai
konsepsi
“object
permanence”.
Bila
suatu
benda
disembunyikan, ia gagal untuk menemukannya. 2. Pra-operasional (usia 2-7 tahun) Tingkat pra-operasional terdiri atas dua sub-tingkat. Sub-tingkat pra-logis (2-4 tahun) dan tingkat berpikir intuitif. Pada sub-tingkat pra-logis penalaran anak adalah transduktif, yaitu penalaran yang bergerak dari yang khusus ke yang khusus tanpa menyentuh pada yang umum. Anak pada tingkat pra-operasional tidak dapat berpikir reversible, bersifat egosentris dan lebih memfokuskan diri pada aspek statis tentang suatu peristiwa daripada transformasi dari suatu keadaan kepada keadaan lain.
Ariya Lukman Hakim, 2012 Analisis Hasil Belajar Level Makroskopik, Mikroskopik, dan Simbolik Siswa SMP/MTs Pada Materi Perubahan Wujud Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
3. Operasional konkret (usia 7-11 tahun) Anak dalam periode ini dapat menyusun satu seri objek dalam urutan, bahasa anak berubah, anak-anak menjadi kurang egosentris dan lebih sosiosentris dalam berkomunikasi. 4. Operasional formal (usia 11 tahun ke atas) Kemajuan utama pada anak selama periode ini adalah bahwa ia tidak perlu berpikir dengan pertolongan benda-benda atau peristiwa-peristiwa konkret. Ia mempunyai kemampuan untuk berpikir abstrak. Jika kita amati, anak usia SMP harusnya telah mencapai tingkatan operasional formal karena berada di kisaran usia 11 tahun ke atas. Dengan demikian seharusnya siswa sudah dapat berpikir abstrak. Namun demikian, tidak selamanya tingkatan tersebut dapat dicapai dengan tepat. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk menurunkan keabstrakan materi
kimia dengan
menggunakan media, baik gambar 2 atau 3 dimensi, maupun video (Wu et al, 2000).
2.6
Level Representatif Kimia Johnstone dalam Treagust et al. (2003) mendeskripsikan bahwa fenomena
kimia dapat dijelaskan dengan tiga level representasi yang berbeda, yaitu makroskopik, mikroskopik dan simbolik. Masing-masing level representasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Level makroskopik, yaitu fenomena kimia yang benar-benar dapat diamati termasuk di dalamnya pengalaman siswa setiap hari. b. Level mikroskopik, yaitu suatu fenomena kimia yang tidak dapat dilihat secara langsung seperti elektron, molekul dan atom. c. Level simbolik, yaitu suatu representasi dari fenomena kimia yang bervariasi termasuk di dalamnya model-model, gambar-gambar, aljabar, dan bentuk komputasi.
Ariya Lukman Hakim, 2012 Analisis Hasil Belajar Level Makroskopik, Mikroskopik, dan Simbolik Siswa SMP/MTs Pada Materi Perubahan Wujud Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Gambaran level representasi kimia dapat dilihat pada Gambar 2.1 Makroskopik
Sub-mikroskopik (partikulat)
Simbolik
Gambar 2.1. Level Representasi Kimia (Chittleborough et al., 2002) Ketiga level tersebut dihubungkan dan memberikan kontribusi pada perkembangan pengertian dan pemahaman siswa yang dapat terefleksikan dari hasil belajar kimia (Treagust et al., 2003). Maksudnya ketiga level ini merupakan level yang tidak dapat terpisahkan dalam suatu pembelajaran kimia. Level mikroskopik tidak dapat diamati secara langsung sehingga Chittleborough dalam Wu et al. (2000) menyatakan bahwa perlu ada suatu model yang menghubungkan ketiga level representasi kimia ini. Representasi seringkali menimbulkan kesalahpahaman pada siswa. Hal ini diakibatkan keterbatasan pandangan mereka untuk menjadikan suatu tiruan dari sesuatu yang nyata menjadi alat yang kuat pada pengembangan model mental dari gejala kimia (Treagust et al., 2003). Representasi menghubungkan kenyataan dan teori menjadi suatu penjelasan yang penting. Level makroskopik yang merupakan level yang dapat diamati secara langsung merupakan basis dari kimia. Level ini memerlukan suatu representasi mikroskopik untuk menjelaskan suatu gejala (Treagust et al., 2003). Johnstone dalam Treagust et al. (2003) juga mengemukakan kembali bahwa level makroskopik adalah level yang berhubungan dengan suatu gejala kimia yang dapat dilihat atau dapat dirasakan dengan pancaindera. Gejala dalam level makroskopik ialah seperti garam padat dapat larut dalam air. Level yang kedua yaitu level mikroskopik adalah level yang berhubungan dengan gejala kimia yang tidak dapat dilihat dengan pancaindera seperti terjadinya ionisasi garam di dalam air. Level ketiga yaitu level simbolik adalah level yang
Ariya Lukman Hakim, 2012 Analisis Hasil Belajar Level Makroskopik, Mikroskopik, dan Simbolik Siswa SMP/MTs Pada Materi Perubahan Wujud Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
merepresentasikan bentuk materi kimia dalam bentuk formula atau persamaan reaksi (Dori dan Hercovitz, 2003). Sebagian besar siswa mengalami kesulitan untuk mentransfer bentuk satu level ke level yang lain. Namun, terkadang guru kimia tidak memberikan perhatian yang cukup untuk menjelaskan transisi ini. Untuk memperbaiki hal ini, Johnstone dalam Dori dan Hercovitz (2003) menyarankan bahwa penekanan terhadap keberadaan tiga level dan hubungan antar level akan memudahkan siswa untuk memahami konsep. Fenomena-fenomena yang dapat diamati dapat dimasukkan kedalam level makroskopik (Treagust et al., 2003). Berdasarkan definisi tersebut, ungkapan yang diberikan oleh guru untuk menjelaskan fenomena yang dapat diamati oleh siswa dapat dimasukkan kedalam makroskopik meskipun siswa tidak benar-benar mengamati fenomena-fenomena tersebut. Terdapat beberapa transformasi antar level dalam representasi kimia, antara lain: 1. Transformasi dari level makroskopik ke simbolik Level makroskopik adalah level sensori yang dapat dilihat, disentuh atau dicium dengan kemungkinan adanya perubahan warna atau massa. Level pertama ini biasanya telah dikenal siswa dalam pengalaman mereka sebelum dikenalkan pada kimia. Namun ada kemungkinan siswa mengalami kesulitan dalam mengekspresikan keadaan makroskopik ke dalam bahasa dari simbol kimia (Dori dan Hercovitz, 2003). 2. Transformasi dari level makroskopik ke mikroskopik Level makroskopik yang dapat diindera dapat dijelaskan dengan level mikroskopik secara konseptual. Lesh, Post, dan Behr dalam Wu et al. (2000) menyatakan bahwa pengetahuan konseptual mengizinkan siswa untuk menginterpretasikan informasi makroskopik yang disediakan dan untuk menyimpulkan/menduga secara mendetail mengapa fenomena itu dapat terjadi.
Ariya Lukman Hakim, 2012 Analisis Hasil Belajar Level Makroskopik, Mikroskopik, dan Simbolik Siswa SMP/MTs Pada Materi Perubahan Wujud Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
3. Transformasi dari level mikroskopik ke simbolik Nurrenberg dan Pickering dalam Dori dan Hercovitz (2003) menyatakan bahwa ada siswa yang kurang dalam pemahaman konseptual dari partikel unsur dan tidak dapat membayangkan partikel yang menjadi bagian dalam reaksi kimia. Mereka akan kesulitan untuk menghubungkan simbol kimia dengan arti mikroskopik dalam kimia yang berhubungan dengan simbol. Banyak siswa yang menemukan kesulitan untuk mengerti reaksi kimia dan simbol kimia. 4. Transformasi dari proses ke simbolik Transformasi ini adalah bentuk dari proses kimia untuk mempersiapkan suatu set simbol dalam suatu persamaan reaksi yang menetapkan proses itu atau sebaliknya (Dori dan Hercovitz, 2003).
2.7
Analisis Level Makroskopik, Mikroskopik dan Simbolik pada Materi Perubahan Wujud
2.7.1
Wujud Zat Materi adalah sesuatu yang menempati ruang dan memiliki massa. Materi
sendiri dapat memiliki wujud padat, cair, atau gas. Sebagai contoh, air dapat berupa cairan, es (padat), ataupun uap air (gas). Pada umumnya zat dapat mengalami ketiga wujud materi tersebut. Materi dapat mengalami perubahan dari wujud yang satu ke wujud yang lain dikarenakan proses perubahan energi. Sebagai contoh, dalam pembekuan air, yang cair berubah menjadi es; dalam proses penguapan, air berubah menjadi uap air. Ketiga wujud materi ini memiliki sifat fisik yang berbeda satu sama lain. Zat padat misalnya kapur, besi, dan es dimanapun ditempatkan bentuknya tetap. Begitu pula dengan volumenya. Selain itu, zat padat tak dapat dimampatkan. Adapun bila kita mengamati zat cair, misalnya air dan minyak goreng, saat ditempatkan dalam botol, maka bentuknya akan sesuai dengan bentuk botol. Begitupun saat dimasukkan ke dalam gelas atau wadah lainnya, maka zat cair selalu mengikuti bentuk wadah yang ditempatinya. Namun demikian, volume zat cair tidak berubah meskipun bentuknya menyesuaikan diri dengan wadahnya. Ariya Lukman Hakim, 2012 Analisis Hasil Belajar Level Makroskopik, Mikroskopik, dan Simbolik Siswa SMP/MTs Pada Materi Perubahan Wujud Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Di sisi lain, meskipun tak selalu tampak oleh mata, zat gas memiliki sifat berbeda dari dua wujud zat sebelumnya. Zat gas misalnya udara yang ada di ruangan kelas bentuknya seperti ruangan kelas, volumenya pun memenuhi seisi ruangan kelas. Demikian pula udara di dalam botol, bentuknya seperti botol, volumenya pun memenuhi ruang dalam botol. Selain itu, zat gas dapat dimampatkan. Dengan demikian, sifat ketiga wujud zat tersebut dapat disimpulkan dalam tabel berikut: Tabel 2.1. Daftar Sifat Fisik Zat Padat, Cair dan Gas Sifat fisik
Padat
Cair
Gas
Bentuk
Tetap
Tidak tetap
Tidak tetap
Volume
Tetap
Tetap
Tidak tetap
Sifat fisik
Padat
Cair
Gas
Kedapatmampatan
Tidak dapat
Sulit
Mudah
dimampatkan
dimampatkan
dimampatkan
Dalam kimia, wujud padat dilambangkan dengan (s) yang mewakili kata solid (bahasa inggris: padat), wujud cair dilambangkan dengan (l) yang mewakili kata liquid (bahasa Inggris: cair), dan wujud gas dilambangkan dengan (g) yang mewakili kata gas (bahasa Inggris: wujud gas). Simbol-simbol ini ditambahkan dalam tanda kurung setelah rumus kimia zat tanpa spasi. Misalnya, untuk es, maka dilambangkan dengan H2O(s), air yang cair dilambangkan dengan H2O(l), uap air dilambangkan dengan H2O(g).
2.7.2
Teori Kinetik Partikel Teori kinetik partikel menyebutkan bahwa semua materi tersusun dari
partikel-partikel yang bergerak. Partikel-partikel yang bergerak memiliki energi kinetik karenanya teori ini dinamai Teori Kinetik Partikel. Teori Kinetik Partikel ini dapat:
Menggambarkan wujud zat
Menjelaskan perbedaan sifat zat padat, cair, dan gas.
Ariya Lukman Hakim, 2012 Analisis Hasil Belajar Level Makroskopik, Mikroskopik, dan Simbolik Siswa SMP/MTs Pada Materi Perubahan Wujud Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Menjelaskan perubahan wujud
Zat padat Zat padat memiliki volume yang tetap serta tidak dapat dimampatkan. Zat padat tersusun dari kisi-kisi partikel yang memiliki jarak yang dekat dan teratur disebabkan adanya gaya tarik-menarik antar partikel yang sangat besar . Selain itu, zat padat memiliki bentuk yang tetap karena partikel-partikelnya tidak bergerak bebas melainkan hanya bergetar dan berotasi di sekitar posisi titik kisinya.
Keterangan : = partikel air
Gambar 2.2. Model Mikroskopik Partikel dalam Es; H2O(s)
Zat Cair Sebagaimana telah disampaikan di muka, zat cair memiliki bentuk yang tidak tetap, selalu menyesuaikan diri dengan wadahnya. Hal ini disebabkan karena partikel-partikelnya berada dalam kontak yang berkesinambungan antara satu dengan yang lainnya, namun tetap dapat bergerak bebas di sekitar kelompok partikel zat cair tersebut berada. Terdapat ketidakteraturan di dalam susunan partikel zat cair dibanding dengan susunan zat padat. Hal ini disebabkan oleh gaya tarik-menarik antar partikel zat cair tidak sekuat gaya tarik-menarik antar partikel pada zat padat. Selain itu, jarak antar partikel zat cair lebih renggang daripada jarak antar partikel dalam wujud padat, meski tidak berbeda jauh. Sehingga volume zat cair tetap dan sulit dimampatkan.
Ariya Lukman Hakim, 2012 Analisis Hasil Belajar Level Makroskopik, Mikroskopik, dan Simbolik Siswa SMP/MTs Pada Materi Perubahan Wujud Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Jika diamati lebih lanjut, khusus untuk air, saat berwujud padat kita akan mendapati volumenya lebih besar dibandingkan saat berwujud cair. Saat berwujud padat partikel-partikel air membentuk kisi kristal sedemikian rupa sehingga terdapat banyak ruang kosong di dalam kisi kristal tersebut. Hal ini menyebabkan volume air padat lebih besar dibandingkan volume air yang cair.
Keterangan : = partikel air
Gambar 2.3. Model Mikroskopik Partikel dalam Air Cair; H2O(l)
Zat Gas Dalam wujud gas, contohnya uap air, partikel-partikel zat terpisah jauh satu sama lain, serta tidak teratur karena gaya tarik-menarik antar partikel yang sangat lemah. Keterangan : = partikel air
Gambar 2.4. Model Mikroskopik Partikel dalam Uap Air; H2O(g)
Berdasarkan teori kinetik partikel, partikel-partikel gas memiliki energi kinetik yang besar dan tidak tersusun dalam posisi yang tetap (tidak teratur). Partikel-partikel gas memilki jarak yang lebih jauh dibandingkan dengan partikelpartikelnya dalam wujud cair atau padat. Selain itu partikel zat gas dapat bergerak dengan bebas dan cepat ke segala arah. Karena itulah, gas memiliki bentuk yang tidak tetap, melainkan menyesuaikan diri dengan tempatnya. Selain itu zat Ariya Lukman Hakim, 2012 Analisis Hasil Belajar Level Makroskopik, Mikroskopik, dan Simbolik Siswa SMP/MTs Pada Materi Perubahan Wujud Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
berwujud gas memiliki volume yang tidak tetap yaitu selalu memenuhi ruang tempatnya berada dan dapat dimampatkan.
2.7.3
Perubahan Wujud Sebagaimana telah diungkapkan bahwa jika suatu zat menerima atau
melepaskan energi, maka dapat mengalami perubahan wujud. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menemukan fenomena perubahan wujud tersebut, misalnya mentega dan es yang mencair, air yang membeku, dan lain sebagainya. Bahkan benda padat seperti emas dan besi pun sesungguhnya dapat berubah wujud menjadi cairan ataupun uapnya. Namun, peristiwa perubahan wujud keduanya tak selalu dapat kita amati dalam keseharian karena membutuhkan kondisi tertentu yang tidak sederhana seperti suhu yang jauh di atas 100oC, serta kondisi lain yang mendukung untuk terjadinya proses perubahan wujud. Menurut teori kinetik partikel, partikel materi terus-menerus bergerak. Karena itulah, partikel-partikel materi memiliki energi kinetik. Gas memiliki energi kinetik yang lebih tinggi dibanding dengan zat cair. Adapun zat padat memiliki energi kinetik paling kecil diantara ketiga wujud zat tersebut. Ketika materi dipanaskan atau didinginkan, energi panas yang dilepaskan atau diterima akan menyebabkan energi kinetik partikel berubah. Perubahan energi kinetik ini juga menyebabkan perubahan terhadap pergerakan partikel materi, baik kecepatan maupun kebebasannya. Hasilnya, semua perubahan ini dapat teramati oleh mata kita sebagai perubahan wujud. Dalam Kimia proses perubahan wujud ini dapat digambarkan dalam persamaan kimia. Keadaan awal sebelum suatu zat berubah dituliskan sebelum tanda panah, sedangkan hasil perubahan dituliskan setelah tanda panah. Contohnya untuk perubahan wujud dari air yang cair menjadi padat (es) dapat dituliskan sebagai berikut: H2O(l) → H2O(s)
Ariya Lukman Hakim, 2012 Analisis Hasil Belajar Level Makroskopik, Mikroskopik, dan Simbolik Siswa SMP/MTs Pada Materi Perubahan Wujud Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
a. Penguapan, Pendidihan, dan Pengembunan Gejala dimana terjadi perubahan wujud zat dari cair menjadi gas yang terjadi di bawah titik didihnya disebut dengan peristiwa penguapan. Peristiwa penguapan ini membutuhkan energi panas. Penguapan terjadi karena lepasnya partikel-partikel zat cair tersebut dari kumpulannya membentuk keadaan susunan partikel gas atau uap. Persamaan kimia untuk menyatakan proses penguapan dapat ditulis sebagai berikut: H2O(l) → H2O(g) Pada peristiwa penguapan, partikel-partikel zat cair yang memiliki energi kinetik cukup dapat melepaskan diri dari kumpulannya dan keluar membentuk susunan partikel gas. Proses ini terjadi sangat lambat, misalnya, pada proses pengeringan baju. Dalam proses pengeringan baju terjadi penguapan air dari kain yang basah.
Keterangan = partikel air
Gambar 2.5. Model Mikroskopik Penguapan dimana Terjadi Perubahan Susunan Partikel dari (a) Menjadi (b)
Proses perubahan zat dari wujud cair menjadi gas dapat pula terjadi dengan cepat jika zat cair tersebut diberikan energi panas yang banyak seperti pada proses pendidihan. Pendidihan adalah proses perubahan wujud dari cair menjadi gas pada titik didihnya. Persamaan kimia untuk menggambarkan proses pendidihan dapat ditulis sebagai berikut: H2O(l) → H2O(g) Ketika zat cair diberi energi panas, pada tahap awal, suhu zat cair berangsur naik. Hal ini terjadi karena partikel-partikel zat cair tersebut menyerap kemudian mengubah energi panas tersebut menjadi energi kinetik. Pertambahan Ariya Lukman Hakim, 2012 Analisis Hasil Belajar Level Makroskopik, Mikroskopik, dan Simbolik Siswa SMP/MTs Pada Materi Perubahan Wujud Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
energi kinetik ini menyebabkan parikel-partikel zat cair tersebut mulai bergerak lebih cepat. Semakin banyak energi panas yang diberikan, semakin cepat pula pergerakan partikel zat cair tersebut. Pergerakan yang lebih cepat ini akhirnya membuat partikel-partikel zat cair memiliki energi yang cukup untuk mengatasi gaya tarik-menarik antar partikelnya. Hingga akhirnya partikel zat cair dapat melepaskan diri dari kelompoknya membentuk susunan partikel gas. Inilah yang kemudian teramati oleh mata kita sebagai peristiwa mendidih. Pada saat mendidih temperatur zat cair tetap karena energi panas yang diberikan dirubah menjadi energi kinetik untuk melepaskan diri dari kelompoknya. Suhu saat zat cair mendidih disebut dengan titik didih. Pendidihan dan penguapan memiliki perbedaan satu sama lain. Pendidihan terjadi hanya pada titik didihnya, sedangkan penguapan dapat terjadi pada temperatur di bawah titik didih. Selain itu, peristiwa mendidih terjadi pada seluruh bagian zat cair, sedangkan penguapan hanya terjadi pada permukaan zat cair. Di sisi lain, ketika gas didinginkan, maka gas tersebut dapat berubah menjadi cair. Proses perubahan wujud zat dari gas menjadi cair ini disebut dengan pengembunan. Saat uap air turun suhunya atau menyentuh permukaan yang dingin, pengembunan akan terjadi ditandai dengan terbentuknya titik-titik air. Pengembunan terjadi karena adanya pelepasan energi panas dalam zat gas. Saat suhu pada tekanan tertentu menurun, energi kinetik partikel-partikel zat pun menjadi lebih kecil. Akibatnya, pergerakan partikel-partikel gas menjadi lebih lambat. Pergerakan partikel yang lambat ini menyebabkan gaya tarik-menariknya makin besar dan jarak antar partikel makin dekat. Akhirnya partikel-partikel tersebut hanya dapat bergerak di sekitar kelompoknya. Hal ini teramati oleh mata kita sebagai perubahan wujud dari gas ke cair, yaitu mengembun. Adapun persamaan kimia untuk menggambarkan peristiwa pengembunan, dapat ditulis sebagai berikut: H2O(g) → H2O(l) (pengembunan)
Ariya Lukman Hakim, 2012 Analisis Hasil Belajar Level Makroskopik, Mikroskopik, dan Simbolik Siswa SMP/MTs Pada Materi Perubahan Wujud Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Keterangan : = partikel air
Gambar
2.6.
Model
Proses
Pendidihan Air Ditunjukkan dengan Berubahnya Susunan Partikel Air (b)
Menjadi
(a),
sedangkan
Pengembunan Terjadi dari Susunan (a) Menjadi (b)
b. Peleburan dan Pembekuan Ketika suatu zat berubah dari padat menjadi cair, maka zat tersebut dikatakan mengalami peleburan. Peristiwa ini terjadi apabila terhadap padatan ditambahkan/menyerap energi panas. Persamaan kimia untuk menggambarkan peristiwa peleburan, misalnya pada air dapat dituliskan sebagai berikut: H2O(s) → H2O(l) Pada tahap awal penyerapan energi panas, suhu zat padat berangsur meningkat. Hal ini terjadi karena energi panas yang diserap oleh partikel-partikel zat padat ini dirubah menjadi energi kinetik. Pertambahan energi kinetik yang terjadi menyebabkan partikel-partikel zat padat tersebut bergetar lebih cepat di posisinya. Saat zat padat mulai melebur, temperatur zat tetap, tidak lagi naik. Pada tahap ini terjadi getaran partikel yang semakin hebat sehingga menyebabkan rusaknya keteraturan susunan partikel-partikel zat padat yang akhirnya membuat partikel-partikel tersebut dapat terlepas dari posisi tetapnya. Adapun penyebab tidak berubahnya temperatur adalah karena energi panas yang diberikan kepada zat padat pada tahap ini digunakan untuk mengatasi gaya tarik-menarik antar partikel hingga yang akhirnya dapat lepas dari posisi tetapnya. Dengan kata lain, energi panas yang diberikan digunakan untuk mengubah wujud dari padat menjadi cair.
Ariya Lukman Hakim, 2012 Analisis Hasil Belajar Level Makroskopik, Mikroskopik, dan Simbolik Siswa SMP/MTs Pada Materi Perubahan Wujud Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Setelah keseluruhan zat padat melebur barulah terjadi kenaikan temperatur seiring dengan pemanasan yang terus berlanjut. Temperatur dimana suatu zat padat menjadi cair disebut titik lebur. Kebalikan dari proses peleburan adalah pembekuan, yaitu proses perubahan wujud dari cair menjadi padat. Dalam peristiwa pembekuan terjadi pelepasan energi panas. Peristiwa pembekuan, contohnya pembekuan air dapat ditulis dalam persamaan kimia sebagai berikut: H2O(l) → H2O(s) Pada tahap awal pelepasan energi panas, suhu zat cair menurun. Energi panas ini berasal dari energi kinetik partikel zat cair. Energi kinetik dibebaskan oleh partikel-partikel zat cair sehingga membuat pergerakannya makin lambat. Pergerakan yang makin lambat tersebut akhirnya membuat tarik-menarik antar partikel makin besar. Dengan semakin banyaknya energi yang dibebaskan, akhirnya partikel-partikel zat cair tersebut kini hanya dapat bergerak di posisinya. Hal ini teramati oleh mata kita sebagai perubahan wujud cair menjadi padat. Oleh karena itu, pada tahap ini suhu zat tetap. Suhu dimana zat cair membeku disebut titik beku.
Keterangan : = partikel air
Gambar 2.7. Model Proses Peleburan Es
dimana
Terjadi
Perubahan
Susunan Partikel Air dari (a) Menjadi (b); sedangkan dalam Pembekuan Air Terjadi Perubahan Susunan Partikel dari (b) Menjadi (a)
Selama proses pembekuan suhu zat tetap. Hal ini terjadi karena energi kinetik dilepaskan sehingga partikel-partikel berinteraksi satu sama lain
Ariya Lukman Hakim, 2012 Analisis Hasil Belajar Level Makroskopik, Mikroskopik, dan Simbolik Siswa SMP/MTs Pada Materi Perubahan Wujud Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
membentuk susunan zat padat yang teratur. Campuran zat cair dan padat terbentuk pada tahap ini. Setelah seluruh zat cair membeku, barulah terjadi penurunan suhu. Pada tahap ini partikel-partikel telah berada pada posisi tetapnya dan hanya melakukan pergerakan berupa getaran dan rotasi pada posisi tetapnya tersebut. c. Sublimasi dan Deposisi Ketika es kering (padatan karbon dioksida) ditempatkan dalam bertekanan normal dengan temperatur lebih tinggi dari -78oC, maka wujudnya akan berubah dari padat menjadi gas tanpa melalui wujud cair terlebih dahulu. Zat padat lain dapat pula mengalami proses perubahan wujud dari padat menjadi gas tanpa melalui proses peleburan terlebih dahulu, contohnya kamper. Proses perubahan wujud ini disebut penyubliman. Penyubliman terjadi karena partikel-partikel zat padat tertentu memiliki energi yang cukup untuk meloloskan diri dari kisi partikelnya dan keluar sebagai partikel-partikel gas. Proses penyubliman akan semakin cepat jika zat padat yang mampu menyublim tersebut diberi energi panas. Seiring dengan naiknya temperatur, partikel-partikel zat padat yang hanya menjadi lebih besar kemampuan bergeraknya. Hingga akhirnya sebagian partikel mampu melepaskan diri dari kisi partikelnya ke ruangan sekitarnya. Partikel-partikel bebas inilah yang akhirnya kita dapati sebagai zat gas. Adapun persamaan kimia untuk menggambarkan penyubliman pada karbondioksida padat (es kering) dapat ditulis sebagai berikut: CO2(s) → CO2(g) (penyubliman) Zat yang menyublim dapat juga berubah wujudnya secara langsung dari gas menjadi padat tanpa melalui wujud cair terlebih dahulu. Proses kebalikan dari sublimasi ini dinamai deposisi. Adapun persamaan kimia untuk peristiwa tersebut dapat dituliskan sebagai berikut: CO2(g) → CO2(s) (deposisi) Pada peristiwa deposisi terjadi pelepasan energi dari partikel-partikel zat berwujud gas yang menyebabkannya kehilangan kemampuan untuk bergerak bebas, hingga akhirnya jarak antar partikelnya makin dekat. Jarak antar partikel Ariya Lukman Hakim, 2012 Analisis Hasil Belajar Level Makroskopik, Mikroskopik, dan Simbolik Siswa SMP/MTs Pada Materi Perubahan Wujud Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
yang makin dekat menyebabkan gaya tarik-menarik antar partikel makin besar hingga akhirnya hanya dapat bergerak di posisinya. Hal ini teramati oleh mata kita sebagai perubahan wujud zat dari gas menjadi padat.
Keterangan : = partikel karbondioksida
Gambar 2.8. Model Penyubliman Es Kering dimana Terjadi Perubahan Susunan Partikel Padat CO2 (b) Menjadi Susunan Partikel Gas CO2 (a); Proses Kebalikannya Terjadi Perubahan Susunan Partikel dari Susunan (a) ke (b) yang disebut Deposisi
Ariya Lukman Hakim, 2012 Analisis Hasil Belajar Level Makroskopik, Mikroskopik, dan Simbolik Siswa SMP/MTs Pada Materi Perubahan Wujud Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu