BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep, Konstruk dan Variabel Penelitian 2.1.1 Bank Menurut Undang-undang Republik Indonesia Pasal 5 Nomor 10 Tahun1998 terdapat dua jenis bank yang dibagi menjadi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Bank Umum di sini adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sedangkan pengertian Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sedangkan menurut Malayu (2001) Bank adalah pengumpul dana dan penyalur kredit berarti bank dalama operasinya mengumpulkan dana kepada surplus spending unit (SSU) dan menyalurkannya kepada defisit spending unit (DSU). Sesuai dengan Pasal 2, 3, dan 4 Undang – Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dinyatakan bahwa asas dari Perbankan Indonesia adalah melaksanakan kegiatan usahanya berasakan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati – hatian kemudian Perbankan Indonesia memiliki fungsi utama adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat sedangkan Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Sesuai dengan isi Undang Undang No.7 Tahun 1992 pelaksanaan prinsip kehati – hatian perbankan didasarkan pada fungsi utama perbankan sebagai penghimpun dan penyalur dana dari masyarakat.
2.1.2 Kredit Kata kredit berasal dari bahasa Yunani yaitu “credere” yang berarti percaya. Jika seseorang mendapat kredit berarti orang tersebut telah diberi kepercayaan (trust). Atau dengan kata lain, kredit merupakan bentuk pemberian kepercayaan dari seseorang atau lembaga, bahwa orang yang diberi kepercayaan tersebut pada waktunya nanti akan memenuhi segala kewajiban atas apa yang telah dipercayakan sesuai apa yang telah disepakati (Budiawan, 2008). Sedangkan menurut UU No.10 Tahun 1998 Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Kemudian menurut Malayu (2001) mengemukakan pengertian kredit yang lebih jelas bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang harus dibayar kembali bersama bunganya oleh peminjam sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Dari pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kredit merupakan sejumlah nominal tertentu yang dipercayakan kepada pihak lain dengan penangguhan waktu tertentu yang dalam pembayarannya akan disertakan adanya tambahan berupa bunga sebagai kompensasi atas risiko yang ditanggung oleh pihak yang memberikan pinjaman. Bahwa di dalam pemberian kredit, unsur kepercayaan adalah hal yang sangat mendasar yang menciptakan kesepakatan antara pihak yang memberikan kredit dan pihak yang menerima kredit untuk dapat melaksanakan hak dan kewajiban yang telah disepakati, baik dari jangka waktu peminjaman sampai masa pengembalian kredit serta imbalan yang diperoleh pemberi pinjaman sebagai risiko yang ditanggung jika terjadi pelanggaran atas kesepakatan yang telah dibuat. unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian fasilitas kredit adalah sebagai berikut (Kasmir,2004) : “Unsur unsur pemberian kredit : 1. Kepercayaan Kepercayaan yaitu keyakinan pemberi kredit bahwa kredit yang diberikan akan benar-benar diterima kembali di masa yang akan datang.
2. Kesepakatan Kesepakatan ini terjadi antara pihak pemberi kredit dan penerima kredit yang dituangkan dalam suatu perjanjian yang berisi hak dan kewajiban masing masing pihak. 3. Jangka waktu Setiap kredit yang diberikan pasti memiliki jangka waktu tertentu jangka waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati. 4. Risiko Penyebab tidak tertagih sebenarnya dikarenakan adanya suatu tenggang waktu pengembalian (jangka waktu). Semakin panjang jangka waktu suatu kredit semakin besar risikonya demikian pula sebaliknya. Risiko ini menjadi tanggungan perusahaan, baik risiko yang disengaja oleh nasabah yang lalai, maupun risiko yang tidak disengaja. 5. Balas jasa Balas jasa merupakan keuntungan atas pemberian suatu kredit atau jasa tersebut yang kita kenal dengan nama bunga”.
Proses kredit dilakukan secara hati-hati oleh bank dengan maksud untuk mencapai sasaran dan tujuan pemberian kredit. Ketika bank menetapkan keputusan pemberian kredit maka sasaran yang hendak dicapai adalah aman, terarah, dan menghasilakan pendapatan. Aman dalam arti bahwa bank akan dapat menerima kembali nilai ekonomi yang telah diserahkan, terarah maksudnya adalah bahwa penggunaan kredit harus sesuuai dengan perencanaan kredit yang telah ditetapkan, dan menghasilkan berarti pemberian kredit tersebut harus memberikan kontribusi pendapatan bagi bank, perusahaan debitur, dan masyarakat umumnya (Taswan, 2006 dalam Pratama, 2010). Menurut Malayu (2001) agar kredit tidak melenceng dalam penyaluran kredit harus memiliki fungsi dan tujuan yaitu :
“Fungsi kredit adalah : 1. Menjadi motivator dan dinamisator peningkatan kegiatan perdagangan dan perekonomian; 2. Merperluas lapangan kerja bagi masyarakat; 3. Memperlancar arus barang dan arus uang; 4. Meningkatkan hubungan international (LC, CGI, dan lain-lain); 5. Meningkatkan produktivitas dana yang ada; 6. Meningkatkan daya guna (utility) barang; 7. Memperbesar modal kerja perusahaan; 8. Meningkatkan kegairahan berusaha masyarakat; 9. Memperbesar modal kerja perusahaan; 10. Mengubah cara berpikir/bertindak masyarakat untuk lebih ekonomis. Tujuan kredit yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Memperoleh pendapatan bank dari bunga kredit; Memanfaatkan dan memproduktifkan dana yang ada; Melaksanakan kegiatan operasaional bank; Memenuhi permintaan kredit dari masyarakat; Memperlancar lalu lintas pembayaran Menambah modal kerja perusahaan; Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat”
Menurut Rachmat Firdaus (2004), bahwa dalam pemberian kredit dibutuhkan perhitunganperhitungan yang mendalam yang meliputi berbagai prinsip, asas, atau persyaratan tertentu meskipun dalam kenyataannya hal tersebut tidak dapat dengan mudah diterapkan oleh bank. Terdapat 3 konsep tentang prinsip-prinsip atau azas dalam pemberian kredit bank secara sehat, antara lain sebagai berikut : “Konsep tentang prinsip atau azas dalam pemberian kredit bank secara sehat : 1. Prinsip-prinsip 5C, antara lain : a. Character (watak atau kepribadian) Character merupakan salah satu pertimbangan terpenting dalam memutuskan pemberian kredit. Bank harus yakin bahwa peminjam mempunyai tingkah laku yang baik dan bersedia melunasi hutangnya pada waktu yang ditentukan. Dan untuk mengetahui watak debitur ini tidaklah semudah yang dibayangkan, terutama untuk debitur yang baru pertama kali.
b. Capacity (kemampuan) Pihak bank harus mengetahui dengan pasti kemampuan calon debitur dalam menjalankan usahanya karena menetukan besar kecilnya pendapatan atau penghasilan perusahaan di masa yang akan datang.
c. Capital (modal) Prinsip ini menyangkut berapa banyak dan bagaimana struktur modal yang dimiliki oleh calon debitur. Yang dimaksud dengan struktur permodalan disini adalah tingkat likuiditas modal yang telah ada, apakah dalam bentuk uang tunai, harta yang mudah diuangkan, atau benda lain seperti bangunan. d. Condition of economy (kondisi ekonomi) Prinsip kondisi ekonomi ini terkait dengan sektor usaha calon debitur apakah terkait langsung serta prospek usaha tersebut di masa yang akan datang. e. Collateral (jaminan atau agunan) Jaminan atau agunan merupakan harta benda milik debitur atau pihak ketiga yang diikat sebagai agunan andai kata terjadi ketidakmampuan debitur tersebut untuk menyelesaikan hutangnya sesuai dengan perjanjian kredit. Dalam hal ini jaminan tersebut mempunyai dua fungsi yaitu pertama sebagai pembayaran hutang seandainya debitur tidak mampu membayar dengan jalan menguangkan atau menjual jaminan tersebut. Kedua sebagai akibat dari fungsi pertama ialah sebagai faktor penentu jumlah kredit yang diberikan. 2. Prinsip-prinsip 5P a. Party (golongan) Maksud dari prinsip ini adalah bank menggolongkan calon debitur kedalam kelompok tertentu menurut character, capacity, dan capital b. Purpose (tujuan) Maksud dari tujuan di sini adalah tujuan penggunaan kredit yang diajukan, apa tujuan sebenarnya dari kredit tersebut apakah mempunyai aspek sosial yang positif dan luas atau tidak. Dan bank masih harus meneliti apakah kredit yang diberikan digunakan sesuai tujuan semula. c. Payment (sumber pembiayaan)
Setelah mengetahui tujuan utama dari kredit tersebut maka hendaknya diperkirakan dan dihitung kemungkinan-kemungkinan besarnya pendapatan yang akan dicapai. Sehingga bank dapat menghitung kemampuan dan kekuatan debitur untuk membayar kembali kreditnya serta menentukan cara pembayaran dan jangka waktu pengembaliannya. d. Profitability (kemampuan untuk mendapatkan keuntungan) Keuntungan di sini maksudnya bukanlah keuntungan yang dicapai oleh debitur semata melainkan juga kemungkinan keuntungan yang diterima oleh bank jika kredit diberikan terhadap debitur tertentu dibanding debitur lain atau dibanding tidak memberikan kredit. e. Protection (perlindungan) Perlindungan maksudnya adalah untuk berjaga-jaga terhadap hal-hal yang tidak terduga maka untuk melindungi kredit yang diberikan antara lain adalah dengan meminta jaminan dari debiturnya.
3. Prinsip-prinsip 3R a. Return (hasil yang dicapai) Merupakan penilaian atas hasil yang akan dicapai oleh perusahaan debitur setelah kredit tersebut diberikan, apakah hasil tersebut dapat menutup pengembalian pinjamannya serta bersamaan dengan itu memungkinkan pula usahanya dapat berkembang terus atau tidak. Return di sini dapat pula diartikan keuntungan yang akan diperoleh bank apabila memberikan kredit kepada pemohon. b. Repayment (pembayaran kembali) Dalam hal ini bank harus menilai berapa lama perusahaan pemohon kredit dapat membayar kembali pinjamannya sesuai kemampuan perusahaan serta cara pembayarannya. c. Risk Bearing Ability (kemampuan untuk menanggung risiko) Dalam hal ini bank harus mengetahui dan menilai sampai sejauh mana perusahaan pemohon kredit mampu menanggung risiko kegagalan andaikata terjadi sesuatu yang tidak diinginkan”.
Menurut Triandaru dan Budisantoso (2006 ) Jenis kredit atas dasar tujuan pengguanan dapat dibedakan menjadi: “1. Kredit Modal Kerja (KMK) KMK adalah kredit yang digunakan untuk membiayai kebutuhan modal kerja nasabah. KMK terdiri atas 2 (dua) macam,yaitu: - KMK Revolving Apabila kegiatan usaha debitor dapat diharapkan berlangsung secara berkelanjutan dalam jangka panjang dan pihak bank cukup mempercayai kemampuan dan kemauan nasabah, maka fasilitas KMK nasabah dapat diperpanjang setiap periodenya tanpa harus mengajukan permohonan kredit baru. - KMK Einmaleg Apabila volume kegiatan usaha debitor sangat berfluktuasi dari waktu kewaktu dan atau pihak bank kurang mempercayai kemampuan dan kemauan nasabah, maka pihak bank merasa lebih aman kalau memberikan KMK Einmaleg . 2. Kredit Investasi (KI) Kredit Investasi adalah kredit yang digunakan untuk pengadaan barang modal jangka panjang untuk kegiatan usaha nasabah. 3. Kredit Konsumsi Kredit konsumsi adalah kredit yang digunakan dalam rangka pengadaan barang atau jasa untuk tujuan konsumsi, dan bukan sebagai barang modal dalam kegiatan usaha nasabah.
2.1.3 faktor faktor yang mempengaruhi kredit 2.1.3.1 UMKM Sesuai dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pengertian usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Kemudian usaha kecil merupakan usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Sedangkan usaha menengah adalah ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha menengah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Dalam Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 menyebutkan kriteria dari usaha mikro yaitu : 1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha ; atau 2. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) ciri-ciri usaha mikro adalah : 1. Jenis barang/komoditi usahanya tidak selalu tetap, sewaktu-waktu dapat berganti; 2. Tempat usahanya tidak selalu menetap sewaktu-waktu dapat pindah tempat; 3. Belum melakukan administrasi keuangan yang sederhana sekalipun, dan tidak memisahkan keuangan keluarga dengan keuangan usaha; 4. Sumber daya manusianya (pengusahanya) belum memiliki jiwa wirausaha yang memadai; 5. Tingkat pendidikan rata-rata relatif sangat rendah;
6. Umumnya belum akses kepada perbankan, namun sebagian dari mereka sudah akses ke lembaga keuangan non bank; 7. Umumnya tidak memiliki izin usaha atau persyaratan legalitas lainnya termasuk NPWP. Kemudian kriteria dari usaha kecil seusuai Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 adalah : 1. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha ; atau 2. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).
Ciri-ciri usaha kecil : 1. Jenis barang/komoditi yang diusahakan umumnya sudah tetap tidak gampang berubah; 2. Lokasi/tempat usaha umumnya sudah menetap tidak berpindah-pindah; 3. Pada umumnya sudah melakukan administrasi keuangan walau masih sederhana, keuangan perusahaan sudah mulai dipisahkan dengan keuangan keluarga, sudah membuat neraca usaha; 4. Sudah memiliki izin usaha dan persyaratan legalitas lainnya termasuk NPWP; 5. Sumberdaya manusia (pengusaha) memiliki pengalaman dalam berwira usaha; 6. Sebagian sudah akses ke perbankan dalam hal keperluan modal; 7. Sebagian besar belum dapat membuat manajemen usaha dengan baik seperti business planning. Dan kriteria dari usaha menengah seusuai Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 adalah :
1. Memiliki jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang
ini
yang
memiliki
kekayaan
bersih
lebih
dari
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha ; atau 2. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).
Ciri-ciri usaha menengah : 1. Pada umumnya telah memiliki manajemen dan organisasi yang lebih baik, lebih teratur bahkan lebih modern, dengan pembagian tugas yang jelas antara lain, bagian keuangan, bagian pemasaran dan bagian produksi; 2. Telah melakukan manajemen keuangan dengan menerapkan sistem akuntansi dengan teratur, sehingga memudahkan untuk auditing dan penilaian atau pemeriksaan termasuk oleh perbankan; 3. Telah melakukan aturan atau pengelolaan dan organisasi perburuhan, telah ada Jamsostek, pemeliharaan kesehatan dll; 4. Sudah memiliki segala persyaratan legalitas antara lain izin tetangga, izin usaha, izin tempat, NPWP, upaya pengelolaan lingkungan dll; 5. Sudah akses kepada sumber-sumber pendanaan perbankan; 6. Pada umumnya telah memiliki sumber daya manusia yang terlatih dan terdidik. Kriteria jumlah karyawan berdasarkan jumlah tenaga kerja atau jumlah karyawan merupakan suatu tolak ukur yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam menilai usaha mikro, kecil,atau menengah sebagai berikut :
Tabel 2.1 Tabel kriteria usaha mikro, kecil, dan menengah Berdasarkan jumlah tenaga kerja
Jenis usaha Jumlah karyawan
Mikro 1- 4 orang
Kecil 5-19 orang
Menengah 20-99orang
Menurut Rofikoh Rokhim (2011) pengelolaan UMKM di Indonesia dilakukan di bawah Kemenkop dan UKM. Dalam rangka mewujudkan pengembangan UMKM di Indonesia, Kemenkop dan UKM memiliki beberapa strategi. Di dalam rencana strategis Kemenkop dan UKM tahun 2010 – 2014, dijelaskan bahwa arah kebijakan yang dikeluarkan memiliki beberapa fokus yang berkaitan dengan UMKM yaitu peningkatan iklim usaha yang kondusif (pengembangan peraturan dan perundang-undangan yang memudahkan, pembentukan forum dan peningkatan koordinasi antar lembaga yang berkaitan dengan UMKM, peningkatan kemampuan dan kualitas aparat, pengembangan model teknologi untuk mendukung UMKM, dan lain-lain), peningkatan akses terhadap sumber daya produktif (penguatan permodalan UMKM, pengupayaan penurunan suku bunga pinjaman bagi UMKM, restrukturisasi usaha, peningkatan produktivitas dan mutu, pemberdayaan lembaga pengembangan bisnis, fasilitas investasi UMKM, dan pengembangan sistem bisnis), pengembangan produk dan pemasaran (pemanfaatan ilmu dan teknologi, penguatan jaringan usaha dalam dan luar negeri, dan fasilitasi promosi), dan peningkatan daya saing SDM (pengembangan kewirausahaan, manajerial, keahlian teknis, dan kemampuan dasar). Selain fokus strategi tersebut, kebijakan Kemenkop dan UKM juga dimaksudkan untuk mendukung manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya, meningkatkan sarana dan prasarana aparatur kementerian, dan mengembangkan program dan kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan UMKM. Disamping program-program yang dijalankan oleh Kemenkop dan UKM, beberapa lembaga lain di Indonesia juga melakukan usaha untuk membantu perkembangan UMKM. Sebagai contoh Bank Indonesia memiliki kebijakan untuk meningkatkan fungsi intermediasi perbankan yang salah. Berdasarkan hasil penelitian Bapedda Provinsi Bali kebijakan ekonomi kedepan harus didesain kearah penguatan UMKM sehingga mampu menekan jumlah pengangguran dan angka
kemiskinan. Pemerintah perlu melakukan promosi besar untuk mengarahkan masyarakat bahwa wiraswasta mempunyai kedudukan sama dan menjadi pegawai negeri, memberikan pelatihan pemasaran, bagaimana UMKM bisa mengakses pasar internasional. UMKM dapat dikatakan sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia sebab sekitar 80 juta lebih orang Indonesia sehingga dapat dikatakan bahwa UMKM mampu meningkatkan pembangunan ekonomi Indonesia. Pembangunan UMKM yang progresif dimungkinkan karena berbagai faktor yaitu : 1) Sebagian besar UMKM mengandalkan bahan baku lokal untuk mengembangkan usahanya. 2)
Tidak memerlukan sumber daya manusia yang terlatih.
3) Perkembangan teknologi yang bersifat spesifik lokasi akam membantu meningkatkan efisiensi daya saing. 4) Fluktuasi nilai tukar dolar Amerika terhadap Rupiah tidak mempengaruhi proses produksi karena bahan baku lokal. Dengan adanya pembangunan UMKM yang progresif diharapkan UMKM sangat berperan di dalam perekonomian Indonesia yang didasarkan atas realitas, antara lain: a. UMKM merupakan sektor ekonomi yang telah terbukti tangguh dan menyangga terakhir dan menyelamatkan perekonomian Indonesia dari kebangkrutan. b. Sektor UMKM sangat kuat di dalam menghadapi dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan yang belum pulih. c. Jenis usaha yang tidak berbadan hukum ini akan menjadi motor penggerak pembangunan ekonomi tradisional maupun regional. 2.1.3.2 Dana Pihak Ketiga (DPK) Dalam peraturan Peraturan Bank Indonesia No. 10/19/PBI/2008 menjelaskan :“dana pihak ketiga bank, untuk selanjutnya disebut DPK, adalah kewajiban bank kepada penduduk dalam rupiah dan valuta asing”.Umumnya dana yang dihimpun oleh perbankan dari masyarakat akan
digunakan untuk pendanaan aktivitas sektor riil melalui penyaluran kredit (Fransisca dan Siregar, 2009). Menurut Dendawijaya (2009) dana – dana yang dihimpun dari masyarakat (DPK) ternyata merupakan sumber dana terbesar yang paling diandalkan oleh bank (bisa mencapai 80% - 90% dari seluruh dana yang dikelola oleh bank) Dana pihak ketiga terdiri atas beberapa jenis, yaitu: “Jenis jenis pihak dana pihak ketiga yaitu : 1. Tabungan (Saving Deposit) Tabungan adalah simpanan pihak ketiga pada bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat – syarat tertentu. Semua bank diperkenankan untuk mengembangkan sendiri berbagai jenis tabungan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat tanpa perlu adanya persetujuan dari bank sentral (bank Indonesia). 2. Deposito (Time Deposit) Deposito atau simpanan berjangka adalah simpanan pihak ketiga pada bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian. Dilihat dari sudut biaya dana, dana bank yang bersumber dari simpanan dalam bentuk deposito merupakan dana yang relatif mahal dibandingkan dengan sumber dana lainnya, misalnya giro atau tabungan (Siamat dalam Dendawijaya, 2009).Berbeda dengan giro, dana deposito akan mengendap di bank karena para pemegang (deposan) tertarik dengan tingkat bunga yang ditawarkan oleh bank dan adanya keyakinan bahwa pada saat jatuh tempo (apabila dia tidak ingin memperpanjang) dananya dapat ditarik kembali. Terdapat berbagai jenis deposito yakni: a. Deposito berjangka, b. Sertifikat deposito, dan c. Deposits on call. 3. Giro (demand deposit) Giro adalah simpanan pihak ketiga pada bank yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, dan surat perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindah bukuan. Dalam pelaksanaan, giro ditatausahakan oleh bank dalam suatu rekening yang disebut „rekening koran‟. Jenis rekening giro ini dapat berupa:
a. Rekening atas nama perorangan, b. Rekening atas nama suatu badan usaha/lembaga, dan c. Rekening bersama/gabungan”. 2.1.3.3 Loan to Deposit Ratio (LDR) Likuiditas bank sangat penting karena besar likuiditas wajib minimum (LWM) atau giro wajib minimum (GWM) bank telah ditetapkan Bank Indonesia selaku bank sentral. Manajemen GMW sangat penting, sulit, dan kompleks pengaturannya karena pimpinan bank harus mematuhi ketetapan (yuridis) dan ekonomis. Jadi pimpinan bank tidak bebas menetapkan besarnya GWM bank yang dipimpinnya (Malayu,2001). Menurut Dendawijaya (2009) Loan Deposit Ratio (LDR) adalah rasio antara jumlah kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank. Rasio ini dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kerawanan atau kemampuan dalam suatu bank, karena bank dituntut untuk dapat menyediakan kemampuannya dalam membayar kembali dana yang ditarik oleh deposan dengan mengandalkan pemberian kredit yang dilakukan bank tersebut untuk mendapatkan likuiditas. Sehingga aktivitas pengkreditan dapat mempengaruhi aktivitas bank, penilaian atas kesehatan bank, tingkat kepercayaan nasabah dan juga pencapaian laba yang didapatkan. Sebagian praktisi perbankan menyepakati bahwa batas aman dari LDR suatu bank adalah 80%. Namun, batas toleransi berkisar antara 85% dan 100%. LDR digunakan untuk menilai likuiditas suatu bank dengan cara membagi jumlah kredit yang diberikan oleh bank terhadap dana pihak ketiga. Rasio ini untuk mengetahui kemampuan bank dalam membayar kembali kewajiban kepada para nasabah yang telah menanamkan dana dengan kredit-kredit yang telah diberikan kepada para debiturnya. Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut (SE BI Nomor 07/ 10 /DPNP tanggal 31 Maret 2005:
“Besarnya jumlah kredit yang disalurkan akan menentukan keuntungan bank. Jika bank tidak mampu menyalurkan kredit sementara dana yang terhimpun banyak maka akan menyebabkan bank tersebut rugi (Kasmir,2004)”.
Semakin tinggi LDR maka laba perusahaan semakin meningkat (dengan asumsi bank tersebut mampu menyalurkan kredit dengan efektif, sehingga jumlah kredit macetnya akan kecil). Kredit yang diberikan adalah kredit yang diberikan bank yang sudah ditarik atau dicairkan bank. Kredit yang diberikan tidak termasuk kredit kepada bank lain.
2.1.3.4 Capital Adequacy Ratio (CAR) Permodalan merupakan hal yang pokok bagi sebuah bank, selain sebagai penyangga kegiatan operasional sebuah bank, modal juga sebagai penyangga terhadap kemungkinan terjadinya kerugian. Modal ini terkait juga dengan aktivitas perbankan dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi atas dana yang diterima nasabah. Dengan terjaganya modal berarti bank bisa mendapatkan kepercayaan dari masyarakat yang amat penting artinya bagi sebuah bank karena dengan demikian, bank dapat menghimpun dana untuk keperluan operasional selanjutnya. (Sinungan, 2000) Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor: 3/21/PBI/2001, bank wajib menyediakan modal minimum sebesar 8% dari aktiva tertimbang menurut risiko yang dinyatakan dalam rasio Capital Adequacy Ratio (CAR). Perhitungan CAR ini pada prinsipnya adalah bahwa untuk setiap penanaman dalam bentuk kredit yang mengandung risiko maka harus disediakan sejumlah modal yang disesuaikan dengan persentase tertentu sesuai jumlah penanamannya tersebut (Budiawan,2008). ” Persentase kebutuhan modal minimum diwakilkan dengan menggunakan CAR. Sementara itu, Bank Indonesia telah menetapkan kewajiban penyediaan modal inti minimum bank umum sebesar Rp 80 Milyar pada akhir tahun 2007 dan meningkat menjadi Rp 100 Milyar pada ahkir tahun 2010 (Fransisca dan Siregar, 2009). Capital Adequacy Ratio (CAR) juga bertujuan jika bank pengalami kerugian dalam menjalankan aktifitas nya maka ketersedian modal yang dimiliki oleh bank mampu meng-cover kerugian bank tersebut. Modal tersebut oleh Malayu (2001) diklafikasikan sebagai berikut :
“Klafikasi modal : a. Modal inti terdiri atas modal disetor dan cadangan-cadangan yang dibentuk dari laba setelah pajak. Secara rinci modal inti dapat berupa: 1. Modal disetor yaitu modal yang disetor secara efektif oleh pemiliknya. Bagi Bankbank yang terbentuk hukum koperasi, modal disetor terdiri atas simpanan pokok dan simpanan wajib anggotanya 2. Agio saham yaitu selisih lebih setoran modal yang diterima oleh bank sebagai akibat harga saham yang melebihi nilai nominalnya. 3. Cadangan umum yaitu cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba yang ditahan atau dari laba bersih setelah dikurangi pajak dan mendapat persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Rapat Anggota. 4. Cadangan tujuan yaitu bagian laba setelah dikurangi pajak yang disisihkan untuk tujuan tertentu dan mendapat persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham atau rapat anggota. 5. Laba yang ditahan (retained earnings), yaitu saldo laba bersih setelah dikurangi pajak yang diputuskan untuk tidak dibagikan. 6. Laba tahun lalu yaitu laba bersih tahun-tahun yang lalu setelah dikurangi pajak, dan belum ditetapkan penggunaannya oleh Rapat Umum Pemegang Saham. Jumlah laba tahun lalu yang diperhitungkan sebagai modal inti hanya sebesar 50%. Dalam hal bank mempunyai saldo rugi tahun-tahun lalu, maka seluruh kerugian tersebut menjadi faktor pengurang dari modal inti. 7. Laba tahun berjalan, yaitu laba yang diperoleh dalam tahun buku berjalan setelah dikurangi taksiran utang pajak. Jumlah laba tahun buku berjalan yang diperhitungkan sebagai modal inti hanya sebesar 50%. Dalam hal pada tahun berjalan bank mengalami kerugian, maka seluruh kerugian tersebut menjadi faktor pengurang dari modal inti. 8. Bagian kekayaan bersih anak perusahaan yang laporan keuangannya dikonsolidasikan (minority interest), yaitu modal inti perusahaan setelah dikompensasikan dengan nilai penyertaan bank pada anak perusahaan. Yang dimaksud dengan anak perusahaan adalah bank lain, lembaga keuangan atau lembaga pembiayaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh bank.
Dari seluruh modal inti yang dipapakrakn di atas harus di kurangi dengan goodwill yang ada dalam pembukuan bank dan kekurangan jumlah penyisihan penghapusan aktiva produktif dari jumlah yang sebenernya dibentuk sesuai ketentuan Bank Indonesia
b. Modal pelengkap Modal pelengkap terdiri atas cadangan-cadangan yang dibentuk tidak dari laba setelah pajak dan pinjaman yang sifatnya dipersamakan dengan modal. Secara rinci modal pelengkap dapat berupa: 1). Cadangan revaluasi aktiva tetap, yaitu cadangan yang dibentuk dari selisih penilaian kembali aktiva tetap yang telah mendapat persetujuan Direktorat Jenderal Pajak. 2). Cadangan penghapusan aktiva yang diklasifikasikan, yaitu cadangan yang dibentuk dengan cara membebani laba rugi tahun berjalan, dengan maksud untuk menampung kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari tidak diterimanya kembali sebagian atau seluruh aktiva produktif. Cadangan ini termasuk cadangan piutang ragu ragu dan cadangan penurunan surat berharga. Jumlah cadangan penghapusan aktiva yang diklasifikasikan yang dapat diperhitungkan adalah maksimum sebesar 1,25% dari jumlah aktiva tertimbang menurut risiko. 3). Modal kuasi, yaitu modal yang didukung oleh instrumen atau warkat yang memiliki sifat seperti modal atau utang dan mempunyai ciri-ciri, antara lain : a. Tidak dijamin oleh bank yang bersangkutan, dipersatukan dengan modal (subordinated) dan telah dibayar penuh. b. Tidak dapat dilunasi atau ditarik atas inisiatif pemilik, tanpa persetujuan Bank Indonesia. c. Mempunyai kedudukan yang sama dengan modal dalam hal jumlah kerugian bank melebihi retained earnings dan cadangan-cadangan yang termasuk modal inti, meskipun bank belum dilikuidasi. d. Pembayaran bunga dapat ditangguhkan apabila bank dalam keadaan rugi atau labanya tidak mendukung untuk membayar bunga tersebut. Dalam pengertian modal kuasi ini termasuk cadangan modal yang penyetornya berasal dari modal yang efektif oleh pemilik bank yang belum didukung oleh modal dasar
(yang sudah mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang) yang mencukupi. 4). Pinjaman subordinasi, yaitu pinjaman yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Ada perjanjian tertulis antara bank dengan pemberi pinjaman. b. Mendapat persetujuan dahulu dari Bank Indonesia. Dalam hubungan ini pada saat bank mengajukan permohonan persetujuan bank harus menyampaikan program pembayaran kembali pinjaman subordinasi tersebut. c. Tidak dijamin oleh bank yang bersangkutan dan telah dibayar penuh. d. Minimal berjangka waktu lima tahun. e. Pelunasan sebelum jatuh tempo mendapat persetujuan dari Bank Indonesia, dan dengan pelunasan tersebut permodalan bank tetap sehat, dan f. Hak tagihnya dalam hal terjadi likuidasi berlaku paling akhir dari segala pinjaman yang ada (kedudukannya sama dengan modal). Jumlah pinjaman subordinasi yang dapat diperhitungkan sebagai modal untuk sisa jangka waktu lima tahun terakhir adalah jumlah pinjaman subordinasi dikurangi amortisasi yang dihitung dengan menggunakan metode garis lurus. Maksimum pinjaman subordinasi yang dapat dijadikan komponen modal pelengkap adalah sebesar 50% dari modal inti”.
Selanjutnya untuk menghitung Capital Adequacy Ratio (CAR) kita juga perlu mengetahui ATMR (aktiva tertimbang menurut resiko), menurut Dendawijaya (2009), ATMR merupakan penjumlahan dari aktiva yang tercantum dalam neraca dan aktiva yang bersifat administratif.Langkah-langkah perhitungan penyediaan modal minimum bank adalah sebagai berikut : “Langkah langkah dalam menghitung Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR) : a. ATMR aktiva neraca dihitung dengan mengalikan nilai nominal masing-masing aktiva yang bersangkutan dengan bobot risiko dari masing-masing pos.
b. ATMR administratif dihitung dengan mengalikan nominal nilai rekenig administratif yang bersangkutan dengan bobot risikonya. c. Total ATMR = ATMR aktiva neraca + ATMR aktiva administratif. d. Rasio kecukupan modal tersebut dihitung dengan:
2.1.3.5 Non Performing Loan (NPL) Salah satu resiko yang dihadapi oleh bank adalah resiko tidak terbayarnya kredit yang telah diberikan kepada debitur atau disebut dengan resiko kredit. Menurut Siamat (2004) resiko kredit merupakan : “suatu resiko akibat kegagalan atau ketidakmampuan nasabah mengembalikan jumlah pinjaman yang diterima dari bank beserta bunganya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan atau dijadwalkan.”
Resiko kredit didalamnya termasuk non performing loan. Non performing loan (NPL) adalah kredit yang bermasalah dimana debitur tidak dapat memenuhi pembayaran tunggakan peminjaman dan bunga dalam jangka waktu yang telah disepakati dalam perjanjian. Hal ini juga dijelaskan dalam Standar Akuntansi Keuangan No. 31 (revisi 2000) yang menyebutkan bahwa : “Non performing loan pada umumnya merupakan kredit yang pembayaran angsuran pokok/atau bunganya telah lewat sembilan puluh hari atau lebih setelah jatuh tempo atau kredit yang pembayarannya secara tepat waktu sangat diragukan.”
Selain itu Mahmoedin (2002) juga mengatakan, “Kredit bermasalah merupakan kredit dimana debiturnya tidak dapat memenuhi persyaratan yang telah diperjanjikan sebelumnya, misalnya mengenai pembayaran bunga, pengembalian pokok pinjaman, peningkatan agunan”
Menurut Siamat (2001) menjelaskan kredit bemasalah sebagai berikut : ”Kredit bermasalah/problem loan dapat diartikan sebagai pinjaman yang mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor kesengajaan dan atau karena faktor eksternal diluar kemampuan kendali debitur.”
Kredit bermasalah menggambarkan suatu situasi dimana persetujuan pengembalian kredit mengalami resiko kegagalan, bahkan cenderung menuju atau mengalami kerugian potensial. Perlu diketahui bahwa menganggap kredit bermasalah selalu dikarenakan kesalahan nasabah merupakan hal yang salah. Kredit bermasalah menjadi bermasalah dapat dikarenakan kredit bermasalah dapat dikarenakan oleh berbagai hal yang berasal dari nasabah, dari kondisi internal dan pemberi kredit. Yang termasuk ke dalam non performing loan adalah kredit kurang lancar, kredit diragukan dan kredit macet. Menurut Surat Edaran Bank Indonesia No. 3/30/DPNP Tanggal 14 Desember 2001, NPL dapat dihitung dengan rumus :
Peningkatan NPL dalam jumlah yang banyak dapat menimbulkan masalah bagi kesehatan bank, oleh karena itu bank dituntut untuk selalu menjaga kredit tidak dalam posisi NPL yang tinggi. Agar dapat menentukan tingkat wajar atau sehat maka ditentukan ukuran standar yang tepat untuk NPL. Dalm hal ini Bank Indonesia menetapkan bahwa tingkat NPL yang wajar adalah 5% dari total portofolio kreditnya. Adapun beberapa hal yang menjadi penyebab timbulnya kredit bermasalah menurut Veithzal Rifai (2006) adalah berikut :
“Penyebab timbulnya kredit macet : a. Karena Kesalahan Bank 1. Kurang pengecekan terhadap latar belakang calon nasabah 2. Kurang tajam dalam menganalisis terhadap maksud dan tujuan penggunaan kredit dan sumber pembayaran kembali 3. Kurang mahir dalam menganalisis laporan keuangan calon nasabah 4. Kurang lengkap mencantumkan syarat-syarat 5. Pemberian kelonggaran yang terlalu banyak 6. Tidak punya kebijakan perkreditan yang sehat b.Karena Kesalahan Nasabah 1. Nasabah tidak kompeten 2. Nasabah kurang pengalaman 3. Nasabah tidak jujur 4. Nasabah serakah c. Faktor Eksternal 1. Kondisi perekonomian 2. Bencana alam 3. Perubahan peraturan”. Untuk menhindarkan kerugian yang di sebabkan kredit bermasalah, bank harus dapat mengidentifikasi gejala-gejala dininya sehingga dapat segera mengambil langkah penanganan sebelum masalahnya menjadi semakin parah. Menurut Veithzal Rifai (2006) menyebutkan bahwa gejala dini kredit bermasalah adalah sebagai berikut: ”Gejala dini kredit bermasalah(Non Performing Loan) diantaranya : a. b. c. d.
Ada tunggakan Mengajukan perpanjangan Kondisi keuangan menurun Laporan keuangan terlambat atau yang tadinya selalu diaudit akuntan menjadi tidak.
e. Hubungan semakin renggang, menghindar setiap kali dihubungi f. Penurunan nilai/hilangnya jaminan g. Penggunaan kredit tidak sesuai rencana”. Menurut Mahmoedin (2000) dapat disimpulkan bahwa bagi kredit bermasalah ini akan berdampak pada daya tahan perusahaan antara lain likuiditas, rentabilitas, profitabilitas, bonafiditas, tingkat kesehatan bank dan modal kerja. Dampak-dampak tersebut dapat disimpukan sebagai berikut :”
1.Likuiditas Likuiditas merupakan hal yang paling penting bagi perusahaan karena berhubungan dengan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Jika utang atau kewajiban meningkat maka bank perlu mengusahakan meningkatnya sisi aktiva lancar. Jika kredit yang jatuh tempo atau mulai diwajibkan membayar angsuran, namun tidak mampu mengangsur, karena kredit tidak lancar atau bermasalah, maka bank teramcam tidak likuid. 2.Solvabilitas Solvabilitas adalah kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban jangka panjangnya atau kemampuan membayar suatu bank apabila bank tersebut dilikuidasi. Adanya kredit bermasalah dapat menimbulkan kerugian bagi bank. Jika kerugian tersebut besar, bank akan mengalami kerugian besar pula, sehingga bukan tidak mungkin mengalami likuidasi. 3.Rentabilitas Rentabilitas adalah kemampuan bank untuk memperoleh penghasilan berupa bunga kredit atau perbandingan antara laba usaha dengan modal sendiri ditambah modal asing yang dipergunakan untuk menghasilkan laba yang dinyatakan dalam prosentase. Jika kredit lancar dan tidak ada masalah, maka bank akan memperoleh penghasilan bunga dengan lancar pula. 4.Profitabillitas Profitabilitas adalah kemampuan bank untuk memperoleh keuntungan. Hal ini terlihat pada perhitungan tingkat produktifitasnya, yang akan dituangkan dalam rumus ROA (Return On Assets). Jika kredit tidak lancar, maka profitabilitasnya menjadi kecil. 5.Bonafiditas Bonafiditas adalah kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada suatu bank. Hal ini bukanlah masalah yang mudah, karena ini menyangkut citra. Adanya kredit bermasalah dapat merusak citra bank. 6. Tingkat Kesehatan Bank Bank yang dilanda kredit bermasalah bisa menurunkan tingkat kesehatannya, dan pada gilirannya bank dapat dikenakan sanksi, bahkan bisa menghadapi likuidasi. 7.Modal Bank Besar kecilnya ekspansi usaha bank sangat ditentukan dengan perkembangan kredit. Jika kredit tidak tumbuh dengan baik, maka bank juga tidak dapat berkembang dengan baik”.
Dalam usaha mengatasi timbulnya kredit bermasalah, menurut Dendawijaya (2009) pihak bank dapat melakukan beberapa tindakan penyelamatan yaitu : “Tindakan penyelamatan kredit bermasalah yaitu : 1. Rescheduling Rescheduling adalah penjadwalan kembali sebagian atau seluruh kewajiban debitur. 2. Reconditioning Reconditioning adalah perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo kredit. 3. Restructuring Restructuring adalah usaha penyelamatan kredit yang terpaksa harus dilakukan bank dengan cara mengubah komposisi pembiayaan yang mendasari pemberian kredit. 4. Eksekusi barang jaminan Yaitu penjualan barang-barang yang dijadikan jaminan dalam rangka pelunasan utang”
2.1.3.6 Return On Assets (ROA) Laba merupakan tujuan utama yang ingin dicapai dalam sebuah usaha, termasuk juga bagi usaha perbankan. Alasan dari pencapaian laba perbankan tersebut dapat berupa kecukupan dalam pemenuhan dalam memenuhi kewajiban terhadap pemegang saham, penilaian atas kinerja pimpinan, dan meningkatkan daya tarik investor untuk menanamkan modalnya. Laba yang tinggi membuat bank mendapat kepercayaan dari masyarakat yang memungkinkan bank untuk menghimpun modal yang lebih banyak sehingga bank memperoleh kesempatan meminjamkan dengan lebih luas (Simorangkir, 2004). Untuk menghitung rentabilitas suatu bank salah satuanya dengan menggunakan Return On Assets (ROA) menurut Malayu (2001) ROA merupakan perbandingan (Rasio) laba sebelum pajak (earning before tax/EBT) selama 12 bulan terakhir terdapat rata-rata volume usaha dalam periode yang sama. Selanjutnya Menurut Dendawijaya (2009), terdapat dua cara perhitungan rasio ini yaitu secara teoritis dan secara praktis (sesuai perhitungan Bank Indonesia). Jika secara teoritis yang digunakan adalah laba bersih setelah pajak dibagi dengan total asset. Sedang
menurut ketentuan Bank Indonesia dan yang akan dipakai dalam penelitian ini diformulasikan sebagai berikut berikut :
Keunggulan pengguna ROA dalam pengukuran profitabilitas adalah: 1. ROA merupakan pengukuran yang komprehensif dimana seluruhnya mempengaruhi laporan keuangan yang tercermin dalam rasio ini. 2. ROA mudah dihitung, dipahami, dan sangat berarti dalam nilai absolute. 3. ROA merupakan denominator yang dapat diterapkan pada setiap unit organisai yang bertanggung jawab terhadap profitabilitas dan unit usaha. 2.1.4 Kredit Usaha Rakyat (KUR) Kredit Usaha Rakyat (KUR) sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No.135/PMK.05/2008 tentang Fasilitas Penjaminan Kredit Usaha Rakyat yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 10/PMK.05/2009. Kredit Usaha Rakyat (KUR) kredit/ pembiayaan kepada Usaha Mikro Kecil Menengah Koperasi (UMKM-K) dalam bentuk pemberian modal kerja dan investasi yang didukung fasilitas penjaminan untuk usaha produktif. Sedangkan menurut Perturan Bank Indonesia KUR adalah program yang dicanangkan oleh pemerintah namun sumber dananya berasal sepenuhnya dari dana bank, Pemerintah memberikan penjaminan terhadap resiko KUR sebesar 70% sementara sisanya sebesar 30% ditanggung oleh bank pelaksana. Penjaminan KUR diberikan dalam rangka meningkatkan akses UMKM-K pada sumber pembiayaan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) dilakukan melalui Bank yang sudah ditunjuk langsung oleh Kementrian Negara dan Koperasi (Kemennegkop). KUR disalurkan oleh 6 bank pelaksana yaitu Bank Mandiri, BRI, BNI, Bukopin, BTN, dan Bank Syariah Mandiri (BSM).,
Ada beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum Kredit Usaha Rakyat, yaitu: 1. Peraturan Presiden nomor 2 tahun 2008 tentang Lembaga Penjaminan, 2. Inpres 6 tahun 2007 tanggal 8 Maret 2007 tentang Kebijakan Percepatan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKMK guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, 3. MoU antara Departemen Teknis, Perbankan, dan Perusahaan Penjaminan yang ditandatangani pada tanggal 9 Oktober 2007, 4. Addendum I MoU Departemen Teknis, Perbankan, dan Perusahaan Penjaminan yang ditandatangani pada tanggal 14 Februari 2008, 5. Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian nomor 5 tahun 2008 tentang Komite Kebijakan Penjaminan Kredit/Pembiayaan bagi UMKMK, 6. Perjanjian Kerja Sama antara Bank Pelaksana dengan Lembaga Penjaminan, 7. Standar Operasional dan Prosedur Pelaksanaan KUR, 8. Addendum II MoU Departemen Teknis, Perbankan, dan Perusahaan Penjaminan yang ditandatangani pada tanggal 12 Januari 2010, 9. Keputusan
Menteri
Koordinator
Bidang
Perekonomian
Nomor
:
KEP-
07/M.EKON/01/2010 Tentang Penambahan Bank Pelaksana Kredit Usaha Rakyat, 10. Keputusan Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Nomor : KEP-01/D.I.M.EKON/01/2010 tentang Standar Operasional dan Prosedur Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat, Tujuan Program Penjaminan Kredit yaitu : 1. Mempercepat pengembangan sektor riil dan pemberdayaan UMKM dan Koperasi. 2. Meningkatkan akses pembiayaan dan mengembangkan UMKM dan Koperasi kepada lembaga keuangan. 3. Dalam rangka penanggulangan/pengentasan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No.135/PMK.05/2008 tentang Fasilitas Penjaminan Kredit Usaha Rakyat yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
No.10/PMK.05/2009 Beberapa ketentuan yang dipersyaratkan oleh pemerintah dalam penyaluran KUR adalah sebagai berikut : a.UMKM-K yang dapat menerima fasilitas penjaminan adalah usaha produktif yang fleksible namun belum bankable dengan ketentuan: 1. merupakan debitur baru yang belum pernah mendapat kredit/ pembiayaan dari perbankan yang dibuktikan dengan melalui Sistem Informasi Debitur (SID) pada saat Permohonan Kredit/Pembiayaan
diajukan dan/ atau belum pernah memperoleh fasilitas Kredit
Program dari Pemerintah; 2. khusus untuk penutupan pembiayaan KUR antara tanggal Nota Kesepakatan Bersama (MoU) Penjaminan KUR dan sebelum addendum I (tanggal 9 Oktober 2007 s.d. 14 Mei 2008), maka fasilitas penjaminan dapat diberikan kepada debitur yang belum pernah mendapatkan pembiayaan kredit program lainnya; 3. KUR yang diperjanjikan antara Bank Pelaksana dengan UMKM-K yang bersangkutan.
b. KUR disalurkan kepada UMKM-K untuk modal kerja dan investasi dengan ketentuan : 1. untuk kredit sampai dengan Rp.5.000.000.000,00 (lima juta rupiah) suku bunga kredit atau margin pembiyaan yang dikenakan maksimal atau sebesar 24% (dua puluh empat persen) efektif pertahun 2. untuk
kredit
diatas
Rp.5.000.000.000,00
(lima
juta
rupiah)
sampai
dengan
Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) suku bunga kredit atau margin pembiyaan yang dikenakan maksimal atau sebesar 16% (enam belas persen) efektif pertahun 3. bank pelaksana memutuskan pemberian KUR berdasarkan penilaian terhadap kelayakan usasha sesuai dengan asas-asas perkreditan yang sehat, serta dengan memperhatikan peraturan yang berlaku. Kendala penyaluran menurut suplemem 4 Bank Indonesia tentang serba serbi Kredit Usaha rakyat yaitu :
1. Adanya persepsi yang keliru dimasyarakat bahwa KUR merupakan kredit yang dijamin sepenuhnya bantuan pemerintah, dalam kenyataannya KUR merupakan kredit yang sumber dananya sepenuhnya berasal dari bank. Karena persepsi yang keliru tersebut, banyak debitur tidak memenuhi kewajiban membayar angsuran sampai dengan lunas sehingga menimbulkan kredit macet yang cukup tinggi. 2. Banyak masyarakat menganggalp bahwa penyaluran KUR tanpa agunan selalu sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) . Padahal penyaluran KUR harus disesuaikan dengan kemampuan usaha agar debitur tidak terbebani dalam membayar angsuran. 3. Banyak calon debitur yang tidak bisa memenuhi persyaratan dari bank seperti identitas diri yang tidak lengkap maupun kondisi usaha yang belum layak untuk mendapat kredit 4. Untuk beberapa bank, penyaluran KUR terkendala karena keterbatasan bank untuk menjagkau lokasi calon debitur yang relatif jauh sehingga penyebaran KUR masih belum merata dan terfokus di kota besar
Dokumen dokumen yang dibutuhkan untuk melakukan pengajuan Kredit Usaha Rakyat(KUR) sesuai dengan Modul Bimbingan Teknis Kredit Usaha Rakyat, Kementerian Koperasi dan UKM, Deputi Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha, Tahun 2012 di antaranya :” 1. Identitas diri berupa Fotokopi KTP Suami Istri (bagi yang sudah berkeluarga), Kartu Keluarga, Bukti Pembayaran Rekening Listrik Terbaru, Bukti Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (kalau ada). 2. Legalitas usaha seperti akte pendirian, NPWP, SITU, SIUP, TDP, beberapa dokumentasi lokasi usaha, dan data usaha lainnya. 3. Laporan keuangan. 4. Proposal usaha dan surat perjanjian kerjasama usaha (jika telah memiliki kontrak kerjasama dalam jangka waktu tertentu dengan pelanggan skala besar) 5. Fotokopi aset yang akan diagunkan (bisa berupa BKPB Mobil, BPKB Motor, Akte Rumah, dan lain-lain) 6. Persyaratan tambahan (disesuaikan dengan ketentuan perbankan)”
2.2 kerangka pemikiran 2.2.1 Pengaruh Tingkat Pertumbuhan Jumlah UMKM Pada sektor UKM jumlah unit usaha yang bergerak dalam sektor UKM justru semakin meningkat pasca Krisis ekonomi pada tahun 1997 silam. Hal ini dibuktikan dari data yang didapatkan dari Departemen Koperasi dan UKM Indonesia yang menunjukan bahwa jumlah UKM terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun semenjak gelombang krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997. Para pengusaha yang bergerak di sektor UKM merasakan bahwa faktor modal menjadi salah satu kendala yang sangat menghambat perkembangan usaha mereka, oleh karena itu, dunia perbankan dapat berperan aktif dalam pemecahan permasalahan ini dengan memberikan bantuan kredit kepada para pengusaha yang bergerak di bidang UKM (I Made Rajiv Permadi,2009). Berdasarkan hasil penelitian Bapedda Provinsi Bali kebijakan ekonomi kedepan harus didesain kearah penguatan UMKM, sehingga mampu menekan jumlah pengangguran dan angka kemiskinan. Pemerintah perlu melakukan promosi besar untuk mengarahkan masyarakat bahwa wiraswasta mempunyai kedudukan sama dan menjadi pegawai negeri, memberikan pelatihan pemasaran, bagaimana UMKM bisa mengakses pasar internasional. UMKM dapat dikatakan sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia. Dalam penelitian yang dilakukan I Made Rajiv Permadi (2009) yang meneliti pengaruh total kredit, PDB, dan tingkat suku terhadap perkembangan jumlah unit berskala kecil dan menengah (UKM) yang menunjukan bahwa total kredit, dan PDB mempunyai pengaruh yang berbanding lurus terhadap peningkatan jumlah unit usaha berskala kecil dan menengah, sedangkan tingkat suku bunga yang berbanding terbalik dengan peningkatan jumlah unit usaha berskala kecil dan menengah. Dengan kata lain dengan jumlah kredit yang besar mampu meningkatkan pertumbuhan UMKM begitu juga sebaliknya 2.2.2 Pengaruh Dana Pihak Ketiga terhadap jumlah penyaluran KUR Dana pihak ketiga merupakan penjumlahan dana yang dihimpun bank dari masyarakat yang berupa tabungan, deposito (time deposit) dan giro (demand deposit) (Dendawijaya,2009) . Semakin besar dana yang dikumpulkan oleh perbankan maka akan semakin besar volume kredit yang disalurkan kepada masyrakat sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Fransisca
dan Siregar (2009) bahwa Dana Pihak Ketiga berpengaruh positif dan signifikan pada pada volume kredit karena pada Umumnya dana yang dihimpun oleh perbankan dari masyarakat akan digunakan untuk pendanaan aktivitas sektor riil melalui penyaluran kredit. Selanjutnya menurut Luh Gede Meydianawathi (2007) peran intermediasi perbankan dalam menghidupkan sektor UMKM di Indonesia masih sangat dipengaruhi jumlah dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun bank umum.
2.2.3 Pengaruh Loan Deposit Ratio (LDR) terhadap jumlah penyaluran KUR Loan Deposit Ratio (LDR) adalah rasio antara jumlah kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank (Dendawijaya,2009). Sesuai dengan SE BI Nomor 07/ 10 /DPNP Loan Deposit Ratio (LDR) digunakan untuk menilai likuiditas suatu bank dengan cara membagi jumlah kredit yang diberikan oleh bank terhadap dana pihak ketiga. Rasio ini untuk mengetahui kemampuan bank dalam membayar kembali kewajiban kepada para nasabah yang telah menanamkan dana dengan kredit-kredit yang telah diberikan kepada para debiturnya. Sebagian praktisi perbankan menyepakati bahwa batas aman dari LDR suatu bank adalah 80%. Namun, batas toleransi berkisar antara 85% dan 100%. Menurut Maulina (2010) dalam Firtria (2012) menyatakan : “Perbankan yang mempunyai kemampuan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya dengan tepat waktu dikatakan dalam keadaan likuid. Tingkat likuiditas diukur dengan Loan to Deposit Ratio(LDR). Semakin tinggi rasio tersebut memberikan indikasi semakin rendahnya kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena jumlah dana yang diperlukan untuk membiayai kredit semakin besar”.
dari pernyataan diatas dapat disimpulkan semakin likuid tingkat likuiditas suatu bank maka semakin kecil jumlah kredit yang disalurkan bank kepada masyarakat. 2.2.4 Pengaruh Capital Adequacy Ratio (CAR) terhadap jumlah penyaluran KUR Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor: 3/21/PBI/2001, bank wajib menyediakan modal minimum sebesar 8% dari aktiva tertimbang menurut risiko yang dinyatakan dalam rasio Capital Adequacy Ratio (CAR). Menurut Hamonangan dan Siregar (2009) :
“Persentase kebutuhan modal minimum diwakilkan dengan menggunakan CAR. Sementara itu, Bank Indonesia telah menetapkan kewajiban penyediaan modal inti minimum bank umum sebesar Rp 80 Milyar pada akhir tahun 2007 dan meningkat menjadi Rp 100 Milyar pada ahkir tahun 2010”.
Capital Adequacy Ratio (CAR) juga bertujuan jika bank pengalami kerugian dalam menjalankan aktifitas nya maka ketersedian modal yang dimiliki oleh bank mampu meng-cover kerugian bank tersebut. Menurut Wibowo ( 2009) dalam Irma Anindita (2011) menyatakan : “ Semakin tinggi CAR maka semakin besar pula sumber daya finansial yang dapat digunakan untuk keperluan pengembangan usaha dan mengantisipasi potensi kerugian yang diakibatkan oleh penyaluran kredit. Secara singkat bisa dikatakan besarnya nilai CAR akan meningkatkan kepercayaan diri perbankan dalam menyalurkan kredit. Dengan CAR diatas 20%, perbankan bisa memacu pertumbuhan kredit hingga 20% – 25% setahun.”
Dari pernyataan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa semakin tinggi tingkat ratio CAR suatu bank maka akan semakin tinggi juga jumlah kredit yang akan disalurkan oleh perbankan kepada masyarakat. 2.2.5 Pengaruh non performing loans(NPL) terhadap jumlah penyaluran KUR Standar Akuntansi Keuangan No. 31 (revisi 2000) yang menyebutkan bahwa non performing loans(NPL) pada umumnya merupakan kredit yang pembayaran angsuran pokok/atau bunganya telah lewat sembilan puluh hari atau lebih setelah jatuh tempo atau kredit yang pembayarannya secara tepat waktu sangat diragukan. Peningkatan NPL dalam jumlah yang banyak dapat menimbulkan masalah bagi kesehatan bank, oleh karena itu bank dituntut untuk selalu menjaga kredit tidak dalam posisi NPL yang tinggi. Agar dapat menentukan tingkat wajar atau sehat maka ditentukan ukuran standar yang tepat untuk NPL. Dalm hal ini Bank Indonesia menetapkan bahwa tingkat NPL yang wajar adalah 5% dari total portofolio kreditnya. Maka semakin tingginya tingkat NPL maka akan mempengaruhi perbankan menurunkan tingkat kredit nya.
Menurut Himaniar Triasdini (2010) menyatakan Tingginya NPL dapat mempengaruhi kebijakan bank dalam menyalurkan kreditnya yaitu bank menjadi lebih berhati-hati. Karena bank yang tetap memberikan kredit ketika NPL-nya tinggi berarti bank tersebut termasuk risk taken. Kemudian Luh Gede Meydianawathi (2007) dalah hasil penelitiannya menyatakan NPL kredit investasi yang tinggi menyebabkan penawaran kredit kepada sektor UMKM menjadi berkurang. 2.2.6 Pengaruh Return On Assets (ROA) terhadap jumlah penyaluran KUR Menurut Malayu (2001) ROA merupakan perbandingan (Rasio) laba sebelum pajak (earning before tax/EBT) selama 12 bulan terakhir terdapat rata-rata volume usaha dalam periode yang sama. jumlah kredit investasi dan kredit modal kerja yang yang disalurkan bank umum kepada sektor UMKM akan bertambah apabila rentabilitas bank umum terus meningkat disertai dinaikannya rasio kecukupan modal (Luh Gede Meydianawathi,2007). ROA digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan. Laba merupakan tujuan utama dalam usaha, termasuk dalam perusahaan perbankan. Alasan pencapaian laba perbankan dapat berupa kecukupan dalam memebuhi kewajiban pemegang saham, penilaian kinerja pimpinan, dan dapat meningkatkan daya tarik terhadap investor untuk menanamkan modalnya. ROA merupakan faktor internal dalam melaksanakan penyaluran kredit yang dapat digunakan untuk mengukur profitabilitas dalam perbankan. Laba yang tinggi membuat bank mendapat kepercayaan dari masyarakat yang memungkinkan bank untuk menghimpun modal yang lebih banyak sehingga bank memperoleh kesempatan meminjamkan dengan lebih luas (Simorangkir, 2004). Menurut (Dendawijaya 2009) menyebutkan bahwa pemberian kredit pada satu perbankan yang didapatkan dari dana – dana yang dihimpun dari masyarakat mencapai 80% - 90%, sehingga membuktikan sebagian besar kegiatan usaha untuk mendapatkan profitabilitas dihasilkan dari penyaluran kredit. Oleh sebab itu, jika ROA dalam perbankan menunjukan nilai yang tinggi maka profitabilitas yang dimiliki semakin meningkat, sehingga kemampuan perbankan dalam melakukan penyaluran kredit juga dapat semakin meningkat. Tetapi menurut Menurut Himaniar Triasdini (2010) mengatakan Fakta yang terdapat di lapangan juga menunjukkan bahwa kenaikan atau penurunan ROA tidak selalu diikuti dengan perubahan yang sejalan dari jumlah kredit modal kerja yang disalurkan.
2.2.7 Penyaluran Jumlah Kredit Usaha Rakyat (KUR) Menurut UU No.10 Tahun 1998, Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Proses kredit dilakukan secara hati-hati oleh bank dengan maksud untuk mencapai sasaran dan tujuan pemberian kredit. Ketika bank menetapkan keputusan pemberian kredit maka sasaran yang hendak dicapai adalah aman, terarah, dan menghasilakan pendapatan. Aman dalam arti bahwa bank akan dapat menerima kembali nilai ekonomi yang telah diserahkan, terarah maksudnya adalah bahwa penggunaan kredit harus sesuuai dengan perencanaan kredit yang telah ditetapkan, dan menghasilkan berarti pemberian kredit tersebut harus memberikan kontribusi pendapatan bagi bank, perusahaan debitur, dan masyarakat umumnya (Taswan, 2006 dalam Pratama, 2010). Untuk Memenuhi prinsip kehatian-hatian tersebut Luh Gede Meydianawathi (2007) mengungkapkan dalam menyalurkan kreditnya bank menilai dari faktorr internal maupun faktor eksternal. Faktor eksternal seperti debitur yang tidak mampu membayar pinjaman, keadaan ekonomi di negara. Sedangkan faktor internal dapat diukur dengan jumlah dana pihak ketiga (DPK), capital adequacy ratio (CAR) ,dan return on assets (ROA) yang dalam penelitiannya berpengaruh postif dan signifikan sedangkan non performing loan (NPL) berpengaruh negatif terhadap penyaluran kredit perbankan . Kemudian penelitian yang dilakukan Penelitian yang dilakukan oleh Fransisca dan Siregar (2009) mengenai pengaruh faktor internal bank terhadap volume kredit pada bank yang go public di Indonesia, faktor internal yang digunakan adalah DPK, CAR, ROA, dan NPL dengan hasil penelitian dana pihak ketiga(DPK) memiliki pengaruh yang positif terhadap volume kredit, CAR menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan dan tidak dapat digunakan untuk memprediksi volume kredit, ROA mempunyai hubungan yang positif terhadap volume kredit, dan NPL juga tidak dapat digunakan untuk memperediksi volume kredit. Sedangkan penelitian Himaniar Triasdini (2010) yang meneliti faktor-faktor internal yang mempengaruhi penyaluran kredit modal kerja, faktor-faktor yang digunakan dalam penelitiannya adalah CAR, NPL, dan ROA yang menunjukan hasil penelitian bahwa CAR dan ROA
berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyaluran kredit modal kerja sedangkan NPL berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penyaluran kredit modal kerja. Selanjutnya penelitian yang dilakukan Irma Anindita (2011) yang meneliti pengaruh suku bunga, CAR, NPL, Dan LDR terhadap penyaluran kredit UMKM, dengan hasil penelitian yang menunjukan bahwa tingkat suku bunga, CAR, NPL, dan LDR berpengaruh secara simultan terhadap penyaluran kredit UMKM. Dan penelitian Fitri Kaidar (2012) yang meneliti faktorfaktor yang mempengaruhi penyaluran kredit diantaranya Pengaruh Loan to Deposit Ratio (LDR), Capital Adequacy Ratio(CAR), dan Suku Bunga Kredit dengan hasil penelitian Secara parsial variabel Capital Adequacy Ratio (CAR) berpengaruh positif signifikan terhadap penyaluran kredit pada bank pemerintah, dan suku bunga kredit berpengaruh negatif signifikan terhadap penyaluran kredit pada bank pemerintah sedangkan Secara parsial variable Loan to Deposit Ratio (LDR) tidak berpengaruh terhadap penyaluran kredit pada bank pemerintah Berdasarkan berbagai penelitian yang telah dijabarkan diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa faktor internal yang memperngaruhi kredit secara signifikan diantaranya Dana Pihak Ketiga(DPK), capital adequacy ratio (CAR) , return on assets (ROA), non performing loan (NPL), Loan to Deposit Ratio (LDR) dan suku bunga kredit. Dari penelitian-penelitian terdahulu di atas terdapat perbedaan baik dari periode penelitian, sampel yang digunakan, jumlah variabel independen maupun alat analisis yang digunakan. Periode penelitian yang diamati ada yang menggunakan periode selama delapan tahun, lima tahun, tiga tahun, dan ada pula yang memakai data bulanan dan tahunan. Sampel dalam penelitian-penelitian di atas ada yang menggunakan bank perkreditan rakyat namun ada juga yang menggunakan data bank umum. Sedang dalam penelitian kali ini, periode yang diteliti adalah selama lima tahun yaitu dari tahun 2008-2012, serta sampel yang digunakan adalah bank yang ditunjuk sebagai penyalur Kredit Usaha Rakyat (KUR) Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 135/PMK.05/2008 tentang Fasilitas Penjaminan Kredit Usaha Rakyat yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 10/PMK.05/2009. Adapun studi empiris yang mendukung terhadap penelitian yang akan dilakukan yaitu merujuk pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Luh Gede Meydianawathi (2007) tetapi terdapat perbedaan diantaranya adanya penambahan variable indenpenden Loan Deposit Ratio
(LDR) dan faktor eksternal perbankan yaitu pertumbuhan Jumlah UMKM. Berikut ini merupakan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya : Tabel 2.2 Penelitian terdahulu
NO.
Peneliti
Tahun Judul
1
Luh Gede 2007 Meydianawathi
Analisis perilaku penawaran kredit perbankan kepada sektor UMKM di Indonesia (2002-2006)
Hasil Secara serempak variable DPK, ROA, CAR, dan NPLs berpengaruh nyata dan signifikan. Secara parsial variabel DPK, ROA, dan CAR berpengaruh positif dan signifikan terhadap penawaran kredit investasi dan modal kerja bank umum kepada sektor UMKM di Indonesia. Sedang NPL berpengaruh negatif dan signifikan
2
Fransisca dan Siregar
2009
Pengaruh Faktor Internal Bank Terhadap Volume Kredit Pada Bank YangGo Public Di Indonesia Selama Periode (2005-2007)
DPK berpengaruh positif & signifikan, CAR berpengaruh positif & tidak signifikan, ROA berpengaruh positif & signifikan, NPL berpengaruh negatif & tidak signifikan, secara simultan DPK, ROA, & NPL berpengaruh signifikan terhadap volume kredit.
3
I Made Rajiv
2009
Pengaruh total kredit, PDB, dan tingkat suku
Variabel total kredit, dan PDB mempunyai pengaruh yang
Permadi
terhadap perkembangan jumlah unit bersekala kecil dan menengah (UKM) (tahun 2000-2008)
berbanding lurus terhadap peningkatan jumlah unit usaha berskala kecil dan menengah, sedangkan tingkat suku bunga yang berbanding terbalik dengan peningkatan jumlah unit usaha berskala kecil dan menengah.
4
Himaniar Triasdini
2010
Pengaruh CAR, NPL DAN ROA Terhadap
5
Irma Anindita
2011
Analisis Pengaruh Tingkat Suku Bunga, CAR, NPL DAN LDR Terhadap Penyaluran Kredit UMKM (Studi pada Bank Umum Swasta Nasional Periode 2003-2010)
Capital adequacy ratio (CAR) dan Loan to Deposit Ratio berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyaluran kredit UMKN sedangan Non Performing Loan (NPL) berpengaruh negative.
6
Fitri Kaidar
2012
Pengaruh Loan to Deposit Ratio (LDR), Capital Adequacy Ratio (CAR), dan
Capital Adequacy Ratio (CAR) berpengaruh positif
Capital Adequacy ratio (CAR) memiliki pengaruh yang positif dan signifikan Penyaluran Kredit terhadap penyaluran Kredit Modal Kerja Modal Kerja sedangkan Non Performing Loan (NPL) (Studi Pada Bank Umum Yang Terdaftar berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Di Bursa Efek penyaluran Kredit Modal Indonesia Kerja Periode 2004-2009)
Suku Bunga Kredit Terhadap Penyaluran Kredit Pada Bank Pemerintah
signifikan terhadap penyaluran kredit pada bank pemerintah, dan suku bunga kredit berpengaruh negatif signifikan terhadap penyaluran kredit pada bank pemerintah terutama pada bank BRI dan BNI sedangkan
Loan to Deposit Ratio (LDR) tidak berpengaruh terhadap penyaluran kredit pada bank pemerintah terutama pada bank yang diteliti yaitu BRI dan BNI
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Tingkat Pertumbuhan UMKM + Dana Pihak Ketiga +
Loan to Deposit Ratio + +
Capital Adequacy Ratio
Penyaluran Kredit usaha rakyat (KUR)
Non Performing Loan +
Return on Assets
2.3 Pengembangan Hipotesis Dari kerangka pemikiran teoritis yang telah di jabarkan di atas dapat ditarik hipotesis untuk penelitian yaitu : H1
: Tingkat Pertumbuhan UMKM berpengaruh positif terhadap penyaluran kredit rakyat (KUR)
usaha
H2
: Dana Pihak Ketiga berpengaruh positif terhadap penyaluran kredit usaha rakyat (KUR)
H3
: Loan to Deposit Ratio berpengaruh positif terhadap penyaluran kredit usaha rakyat (KUR)
H4
: Capital Adequacy Ratio berpengaruh positif terhadap penyaluran kredit usaha rakyat (KUR)
H5
: Non Performing Loan berpengaruh negatif terhadap penyaluran kredit usaha rakyat (KUR)
H6
: Return on Assets berpengaruh positif terhadap penyaluran kredit usaha rakyat (KUR)